• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Wacana Naskah Drama Sidang Susi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Wacana Naskah Drama Sidang Susi"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Analisis wacana tidak hanya berhenti pada media umum baik cetak maupun non cetak namun analisis wacana juga dapat membedah suatu karya sastra secara lebih jeli dari segi linguistik dan aspek sosial. Salah satu jenis wacana yang berkembang dalam masyarakat adalah jenis wacana sastra. Landsteen 1976 (Tarigan,1987:23) menyatakan bahwa wacana mencakup empat tujuan penggunaan bahasa yaitu ekspresi diri sendiri, eksposisi, sastra, dan persuasi. Perkembangan sastra yang akhir-akhir ini berkembang cukup pesat karena memang masyarakat membutuhkannya sebagai pendamping kehidupan yang sudah cukup penat sebagai bagian yang mampu menghibur untuk bersantai atau lebih dari itu. Karya sastra bukan hanya sekedar gambaran keindahan dan romansa kehidupan yang digoreskan oleh penulis atau pengarang pada karyanya, namun ada juga pengarang yang ingin menyampaikan kritikan dalam karya sastranya.

Dunia sastra yang cukup kompleks dengan berbagai genre dan cukup menarik untuk dikaji dari segi wacana. Salah satu jenis karya sastra yang banyak diminati adalah drama karena memiliki jalan cerita dan semua kejadian diungkapkan melalui percakapan antar tokohnya sehingga ketika dibaca atau dipentaskan penikmat sastra dapat menikmatinya secara langsung dan mudah. Sebuah karya sastra yang berupa naskah drama yang cukup fenomenal dan unik untuk dikaji adalah naskah drama Sidang Susila yang ditulis oleh dua pengarang ternama Indonesia dengan ciri khas seksismenya yaitu Agus Noor dan Ayu Utami. Ayu Utami dikenal sebagai seorang novelis dengan pendobrak kemapanan khususnya masalah seks dan agama sedangkan Agus Noor dikenal sebagai cerpenis, penulis prosa, dan lihai menulis naskah panggung dengan gaya parodi.

(2)

2 Brawijaya pada tahun 2012 dan Universitas Negeri Malang pada tahun 2011. Naskah ini dianggap sebagai naskah yang menantang untuk digarap oleh sebagian komunitas teater di Indonesia karena cerita dan makna yang ada di balik naskah Sidang Susila tersebut.

Naskah drama Sidang Susila dibuat pada tahun 2008 karena sebuah reaksi Ayu Utami dan Agus Noor sebagai sastrawan terhadap pembuatan RUU Pornografi di Indonesia pada Tahun 2007-2008. Undang-Undang Pornografi No.44 tahun 2008 berisikan 45 butir pasal yang mengatur tentang pornografi dan pornoaksi di Indonesia ini disahkan oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 26 November 2008. Banyak pro dan kontra yang timbul dalam pengesahan Undang-Undang pornografi ini, protes datang dari masyarakat, musisi, seniman, bahkan sastrawan. Undang-Undang pornografi dianggap kurang jelas dalam pembatasannya dan pengaplikasiannya sehingga dianggap akan banyak kesalahan dalam penegakan hukum pornografi tersebut.

Drama Sidang Susila mengisahkan kekonyolan, nilai hidup, dan beberapa dialog tentang pelanggaran hukum susila yang ada. Naskah Sidang Susilasebenarnya merupakan kritik sosial yang ditujukan kepada pemerintah melalui sebuah naskah drama. Sebuah wacana yang memiliki tujuan mengkritik maka pasti akan ditemukan marjinalisasi dalam teks wacana tersebut. Sidang Susila merupakan satu-satunya naskah yang merupakan kritik pada suatu pemberlakuan undang-undang. Pada umumnya naskah drama biasanya berisi tentang romansa, kritik pada kehidupan sosial, dan kritik pada pemerintah umumnya namun naskah Sidang Susila ini hadir sebagai reaksi dan tindak protes Ayu Utami serta Agus Noor atas pro kontra dalam pengaplikasian UU Pornografi yang tidak jelas.

(3)

3 marjinalisasi agar mengetahui kritik seperti apa yang dihadirkan oleh penulis pada naskah dramanya.

1.2Rumusan Masalah

Dari penjabaran latar belakang sebelumnya maka peneliti dapat mengambil empat rumusan masalah yang akan dibahas pada penelitian ini.

1) Apa saja bentuk marjinalisasi yang terdapat dalam naskah drama Sidang Susila karya Agus Noor dan Ayu Utami?

2) Bagaimana naskah drama Sidang Susila karya Agus Noor dan Ayu Utami jika dikaji melalui Analisis Wacana dengan teori Van Dijk?

3) Bagaimana kritik yang ada dalam naskah drama Sidang Susila karya Agus Noor dan Ayu Utami terhadap pemberlakuan UU Pornografi di Indonesia? 1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat diambil tiga tujuan dalam penelitian ini.

1) Untuk mengetahui bentuk-bentuk marjinalisasi yang terdapat dalam naskah drama Sidang Susila karya Agus Noor dan Ayu Utami

2) Untuk mengetahui Struktur wacana dalam naskah drama Sidang Susila karya Agus Noor dan Ayu Utami jika dikaji melalui Analisis Wanacana dengan teori Van Dijk

3) Untuk mengetahui kritik yang ada dalam naskah drama Sidang Susila karya Agus Noor dan Ayu Utami terhadap pemberlakuan UU Pornografi di Indonesia

1.4Manfaat Penelitian

Manfaat Praktis

1) Bagi komunitas teater penelitian ini dapat memberikan gambaran makna yang utuh dalam memahami maksud naskah drama Sidang Susila karya Agus Noor dan Ayu Utami.

(4)

4 naskah drama Sidang Susila karya Agus Noor dan Ayu Utami dengan pemberlakuan UU Pornografi di Indonesia.

3) Bagi pemerintah penelitian ini dapat menambah bahan pertimbangan dalam pengaplikasian UU Pornografi di masyarakat karena penelitian ini juga disertai angket pendapat masyarakat dan juga mahasiswa atas UU Pornografi itu sendiri.

Manfaat Teoritis

1) Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan pada bidang analisis wacana khususnya pada kajian wacana teks naskah drama.

2) Menambah referensi dalam analisis wacana karya sastra naskah drama yang dikaji melalui teori Van Dijk.

1.5Batasan Masalah

(5)

5 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka

Dalam hal ini beberapa penelitian-penelitian terdahulu menjadi acuan peneliti dalam meneliti analisis wacana. Pada penelitian tersebut peneliti lebih condong pada dialog teks drama yang berjudul Sidang Susila. Dalam penelitian-penelitian terdahulu terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan topik peneliti. Dalam beberapa hal yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat, terdapat banyak penelitian yang berkaitan dengan judul penelitian Naskah Drama Sidang Susila Karya Agus Noor Dan Ayu Utami Sebagai Representasi Kritik Penegakan UU Pornografi di Indonesia (Analisis Wacana Teks Naskah Drama Dengan Teori Van Djik). Beberapa penelitian yang berkaitan tersebut menjadi referensi peneliti, diantaranya sebagai berikut.

Penelitian pertama dengan judul “Analisis Wacana Teun A. Van Dijk Terhadap Skenario Film Perempuan Punya Cerita” (Haiatul Umam: 2009). Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui permasalahan perempuan yang sering terjadi di masyarakat. Dari penelitian itu penulis memperoleh beberapa hal sebagai berikut: pertama dari struktur teks atau naskah skenario terdapat struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro. Kedua dalam hasil penelitian apabila di lihat dari segi kognisi sosial pada film “Perempuan Punya Cerita” kenyataannya perempuan di Indonesia memiliki masalah yang cukup kompleks dan masih banyak pihak yang belum memperhatikan atau peka terhadap masalah perempuan. Ketiga dari segi konteks sosial kurang adanya sarana yang mewadai sehingga munculnya kejadian di masyarakat mengenai perempuan yaitu banyaknya perempuan di Indonesia yang telah banyak menjadi korban kekerasan, pelecehan seksual, dan woman trafficking.

(6)

6 teks yang dapat diamati. Kedua, superstruktur yang merupakan struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks tersusun ke dalam berita secara utuh. Ketiga, struktur mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dari bagian terkecil dari suatu teks yakni kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase, dan gambar.

Penelitian ini dilakukan karena penulis tertarik dengan karakter masyarakat Surabaya dalam berinteraksi untuk mengkritisi permasalahan-permasalahan yang terjadi di negeri ini. Selain itu juga dikarenakan untuk-untuk mendukung karya-karya lokal yang dihasilkan oleh sineas muda kota surabaya agar bisa eksis dan mampu bersaing. Di samping itu, film Kere Tapi Mbois ini menampilkan guyonan dan banyolan yang cerdas, serta memberikan kritik yang solutif mengenai permasalahan-permasalahan terkini melalui sentilan khas suroboyoan. Film ini juga mengajarkan kita untuk bisa berfikir lebih dewasa dan lebih bijak, dengan harapan kita mampu mengaplikasikan dalam menyelesaikan berbagai masalah pada kehidupan kita.

Penelitian ketiga dilakukan oleh Hendri (2010) dengan judul Wacana Marjinalisasi Politik Perempuan Dalam Media (Studi Analisis Wacana Marjinalisasi Perempuan dalam Berita Calon Legislatif tahun 2009 di Harian Jawa Pos Periode 1 Maret - 30 April 2009). Dalam penelitian ini dibahas tentang Caleg tahun 2009 yang dimuat di harian Jawa Pos kurun waktu 1 Maret-30 April 2009 yang terdapat kecenderungan perempuan dimarjinalisasikan dalam ranah politik. Artinya, kehadiran perempuan dalam berita ‘diciptakan’ agar tidak terlibat jauh dalam ruang politik. Hal ini dilihat dari banyaknya berita yang memposisikanperempuan sebagai objek ketimbang subjek. Ketika sebagai objek, perempuantidak diberikan ruang untuk berpendapat dan berargumen karena wartawanmemilih berita dari perpektif laki-laki. Selanjutnya, marjinalisasi terjadi ketikaperempuan ditiadakan (pasivasi) dalam berita. Dalam hal ini strategi yangdigunakan berupa penghilangan dan penyamaran posisi perempuan dalam berita.Terakhir praktek marjinalisasi ketika dalam berita terjadi pengingkaran (negasi)terhadap kehadiran dengan tema-tema perempuan.

2.2Kajian Teori

2.2.1 Teori Analisis Wacana Van Dijk

(7)

7 Indonesia yang menimbulkan banyak pro dan kontra. Analisis wacana ini akan diterapkan pada suatu karya sastra drama yang merupakan representasi kritik pemberlakuan Undang-Undang no.44 tentang pornografi. Penggunan analisis wacana Van Dijk ini untuk menguak isu sosial sesuai dengan pernyataan Van Dijk.

First, the focus on dominance and inequality implies that, unlike other domains or approaches in discourse analysis, CDA does not primarily aim to contribute to a specific discipline, paradigm, school or discourse theory. It is primarily interested and motivated by pressing social issues, which it hopes to better understand through discourse analysis.( Dijk, 1993:252)

Dari begitu banyak model analisis wacana yang diintroduksikan dan dikembangkan oleh beberapa ahli, model van Dijk adalah model yang paling banyak dipakai. Hal ini mungkin disebabkan karena van Dijk memformulasikan elemen-elemen wacana, sehingga bisa dipakai secara praktis. Model yang dipakai oleh van Dijk ini sering disebut sebagai “kognisi sosial” (Eriyanto 2001:221). Menurut van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati. Di sini harus dilihat juga bagaimana suatu teks diproduksi. Proses produksi itu melibatkan suatu proses yang disebut sebagai kognisi sosial.

Van Dijk (Rani, 2004:4) menyatakan bahwa wacana itu sebenarnya adalah bangunan teoritis yang abstrak (the abstract theoritical construct) dengan begitu wacana belum dapat dilihat sebagai perwujudan wacana adalah teks. Naskah drama Sidang Susila ini dianalisis meggunakan analisis wacana karena naskah ini merupakan reaksi Agus Noor dan Ayu Utami pada pemberlakuan UU Pornografi, sehingga di dalamnya terdapat implikatur atau makna yang tersembunyi di dalam naskah Sidang Susila. Esensi sebuah wacana tidak hanya dipandang pada satuan bahas tetapi juga dipandang dari sisi komunikasi dan maksud komunikasi itu sendiri (Achmad dan Abdullah, 2012:129).

(8)

8 Kognisi sosial tersebut mempunyai dua arti. Di satu sisi ia menunjukkan bagaimana proses teks tersebut diproduksi oleh wartawan/ media, di sisi lain ia menggambarkan nilai-nilai masyarakat itu menyebar dan diserap oleh kognisi wartawan dan akhirnya digunakan untuk membuat teks berita (Eriyanto 2001:222).

Van Dijk membagi suatu teks kedalam tingkatan struktur yaitu, struktur makro, struktur mikro dan superstruktur. Struktur makro merupakan makna global atau umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema dalam suatu teks. Struktur mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dari suatu teks yakni kata, kalimat, preposisi, anak kalimat, parafrase, dan gambar. Supersruktur wacana adalah hal yang berhubungan dengan kerangka suatu teks. berikut ini bagan yang akan menjelakan tentang isi atau lapisan dari setiap struktur teks.

Struktur Wacana Hal yang Diamati Elemen

Struktur Makro Tematik

Tema/topik yang dikedepankan dalam suatu berita

Topik

Superstruktur Skematik

Bagaimana bagian dan urutan berita diskemakan dalam teks

berita utuh.

Skema

Struktur Mikro Semantik

Makna yang ingin ditekankan dalam teks berita. Misal dengan memberi detil pada satu sisi atau

membuat eksplisit satu sisi dan mengurangi sisi yang lain

Latar, Detil, Maksud, Praanggapan, Nominalisasi

Struktur Mikro Sintaksis

Bagaimana kalimat (bentuk, susunan yang dipilih)

Bentuk kalimat, Koherensi, Kata

(9)

9 2.2.1.1 Tematik

Dalam hal ini tematik merujuk pada gambaran umum dari suatu teks. Dapat disebut juga sebagai gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu teks (Eriyanto, 2012: 229). Topik menggambarkan apa yang ingin diungkapkan oleh wartawan dalam pemberitaannya. Topik menunjukkan konsep yang dominan, sentral, dan yang paling penting dari isi suatu berita. Oleh sebab itu sering disebut sebagai tema atau topik. Dalam suatu wacana tema adalah suatu amanat utama yang disampaikan oleh penulis melalui tulisannya (Sobur, 2006:75)

Topik ini menggambarkan tema umum dari suatu teks berita, topik ini akan didukung oleh subtopik satu dan subtopik lain yang saling mendukung terbentuknya topik umum. Subtopik ini biasanya juga didukung oleh serangkaian fakta yang ditampilkan yang menunjuk dan menggambarkan subtopik sehingga sub bagian yang saling mendukung antara satu bagian dengan bagian yang lain, teks dapat membentuk teks yang koheren dan utuh. Berikut ini penjabaran tematik yang ada dalam naskah drama Sidang Susila.

Dalam teks naskah drama tersebut tema umumnya adalah penegakan hukum moral asusila tentang Undang-Undang Pornografi. Topik ini jika menggunakan kerangka Van Dijk dalam teks akan didukung oleh beberapa subtopik yakni: hukum moral asusila yang salah kaprah, Susila yang melakukan tindak asusila yang melanggar Undang-undang, dan penegakan hukum semena-mena.

Struktur Mikro Stilistik

Bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam teks berita

Leksikon

Struktur Mikro Retoris

Bagaimana dan dengan cara penekanan dilakukan

(10)

10 Masing-masing dari subtopik ini jika diperhatikan dapat mendukung, memperkuat, bahkan membentuk topik utama berupa anarkisme penegakan hukum. Masing-masing subtema ini juga akan didukung oleh sebagian yang lebih kecil. Dengan kata lain, semua fakta saling mendukung membentuk satu pengertian umum yang koheren.

2.2.1.2 Skematik

Teks atau wacana umumnya mempunyai skema atau alur dari pendahuluan sampai akhir. Skematik merupakan bagaimana bagian dan urutan berita diskemakan dalam teks utuh. Alur tersebut menunjukan bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga membentuk kesatuan arti. Menurut Van Dijk (Eriyanto2012:234) arti penting dari skematik adalah strategi wartawan untuk mendukung topik tertentu yang ingin disampaikan dengan menyusun bagian-bagian dengan urutan tertentu. Dalam teks drama skema diatur berdasarkan bagian babak. Babak pertama dimulai dengan pengenalan konflik ketika Susila ikut menari tayuban.

Skema dalam naskah drama ini akan dipisahkan menjadi dua skema yaitu alur dalam setiap babaknya dan alur percakapan dalam setiap babak. Alur percakapaan akan menunjukan tokoh mana yang paling banyak mendominasi dalam suatu babak. Untuk mengetahui tokoh-tokoh mana yang merupakan tokoh pro dan tokoh kontra maka alur percakapan inilah yang paling tepat digunakan untuk menganalisisnya. Berikut ini contoh skematik pada babak I

Keteran gan

Kode Lakon Percakapan Marjinal

(11)

11

(12)

12 teks dapat menjadi pembenaran gagasan yang diajukan dalam suatu teks. Latar yang dipilih menentukan ke arah mana pandangan masyarakat hendak dibawa. Berikut ini penjabaran latar yang ada dalam naskah Sidang Susila. Latar peristiwa itu dipakai untuk menyediakan latar belakang hendak kemana makna suatu teks itu dibawa (Sobur, 2006:79). Latar dapat mempengaruhi semantik yang ingin ditampilkan dalam wacana.

Latar 1: Para penari tayub asik ngibing. Orang-orang yang yanggembira pun ikut menari dan berteriak-teriak menyenggaki goyang para penari. Mira, seorang penari tayub bergerak sensual, mengundang gairah para lelaki yang ikut berjoget. Suasana meriah dan bergairah.( I-PR2)

Latar 2: Muncul susila membawa pikulan berisi dagangannya: mainan anak-anak. Bermcam-macam mainan anak-anak ada mobil-mobilan, wayang, balon yang dibentuk dilekuk-lekuk aneka bentuk, kitiran dll. Begitu melihat susila muncul mira langsung menyambut dengan genit. (I-PR3)

Latar dalam bagian 1 naskah Sidang Susila digambarkan ada sebuah tayuban yang diikuti oleh banyak laki-laki. Namun pada saat itu juga Susila yang berdagang mainan datang dan digoda oleh Mira salah satu penari tayub agar ikut bertayub. Pada latar di bagian 1 lebih menjelaskan bahwa Susila hanyalah seorang pedagang yang ikut bertayub karena godaan dari Mira. Latar pada bagian 1 ini dimunculkan untuk mengenalkan tokoh Susila yang tidak bersalah yang pada bagian selanjutnya dianggap sebagai penjahat moral.

2.2.1.4 Detil

(13)

13 keseluruhan dimensi peristiwa, bagian mana yang diuraikan secara panjang lebar oleh penulis.

Detil 1 :Mendadak terjadi kepanikan. Muncul beberapa Polisi Moral – yang langsung mengobrak-abrik tayuban itu. Para penari dan pengunjung yang lain langsung kabur. Susila yang bertubuh tambun terlihat kaget, bingung dan hanya melongo memandangi itu semua. Ia ingin ikut lari juga, tapi tubuhnya yang tambun tak bisa membuatnya bergerak cepat. (I- PR8)

Detil 2 : Para petugas yang meringkus Susila itu segera menggelendangnya. Memukulinya. Susila hanya bisa berteriak-teriak mengaduh kesakitan. Mereka exit. (I-PR11)

Elemen detil pada bagian I ini lebih banyak menjelaskan atau menjabarkan bagaimana Susila yang hanya pedagang mainan dan sedang ikut menari tayub ditangkap oleh para polisi moral. Susila yang ditangkap oleh polisi moral sudah diperlakukan berlebihan dengan menggelandang dan memukulinya, padahal ketika penangkapan Susila hanya pasrah tanpa perlawanan dan tak tahu apa yang terjadi. Detil pada bagian I menjelaskan bahwa diawal penulis mengisahkan seorang Susila yang tidak tahu ditangkap dan diperlakukan semena-mena oleh polisi moral karena sedang menari tayub.

2.2.1.5Bentuk Kalimat

Bentuk kalimat adalah segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir logis, yaitu prinsip kausalitas. Di mana ia menanyakan apakah A yang menjelaskan B, ataukah B yang menjelaskan A. logika kausalitas ini kalau diterjemahkan ke dalam bahasa menjadi susunan subjek (yang menerangkan) dan predikat (yang diterangkan) (Eriyanto, 2012 : 252) . Bentuk kalimat ini bukan hanya persoalan teknis kebenaran tata bahasa, tetapi menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat. Dalam kalimat yang berstruktur aktif, seseorang menjadi subjek dari pernyataannya, sedangkan dalam kalimat pasif seseorang menjadi objek dari pernyataannya. Contoh kalimat pada naskah drama Sidang Asusila.

Kita benar-benar menghadapi Pesakitan yang tidak saja berbahaya, tapi juga tidak punya etika (VII-PC30-JK)

(14)

14 tersebut. Penggunaan kata ‘tapi’ sebagai preposisi di akhir kalimat semakin menegaskan keburukan pesakitan yang merupakan julukan untuk Susila

Bentuk kalimat ini menentukan apakah subjek diekspresikan secara eksplisit atau implisit dalam teks. Kalimat aktif umumnya digunakan agar seseorang menjadi subjek dari tanggapannya, sebaliknya kalimat pasif menempatkan seseorang sebagai objek. Semua struktur adalah benar, tetapi semua variasi menunjukkan pada tingkatan mana yang ditonjolkan, mana yang difokuskan, bagian mana yang di fokuskan dengan kata-kata khusus, frase atau anak kalimat yang secara langsung mempengaruhi makna kata secara keseluruhan.Bentuk lain adalah dengan pemakaian urutan kata-kata yang mempunyai dua fungsi sekaligus. Pertama, menekankan atau menghilangkan dengan penempatan dan pemakaian kata atau frase yang mencolok dengan menggunakan permainan semantik. Yang juga penting dalam sintaksis selain bentuk kalimat adalah posisi proposisi dalam kalimat.

Bagaimana proposisi-proposisi diatur dalam satu rangkaian kalimat. Proposisi mana yang ditempatkan di awal kalimat, dan mana yang di akhir kalimat. Penempatan itu mempengaruhi makna yang timbul karena akan menunjukkan bagian mana yang lebih ditonjolkan kepada khalayak. Selain itu pemakaian bentuk deduktif dan induktif juga berpengaruh. Deduktif adalah bentuk penulisan kalimat dimana inti kalimat (umum) ditempatkan di bagian muka, kemudian disusul dengan keterangan tambahan (khusus) ditempatkan kemudian. Sebaliknya, bentuk induktif adalah bentuk penulisan dimana inti kalimat ditempatkan di akhir setelah keterangan tambahan. Dalam bentuk kalimat deduktif, aspek penonjolannya lebih kentara, sementara dalam bentuk induktif initi dari kalimat ditempatkan tersamar dan tersembunyi

2.2.1.6Koherensi

(15)

15 untuk menjelaskan suatu fakta atau peristiwa. Koherensi ini secara mudah dapat diamati diantaranya dari kata hubung (konjungsi) yang dipakai untuk menghubungkan fakta. Apakah dua kalimat dipandang sebagai hubungan kausal (sebab akibat), hubungan keadaan, waktu, kondisi, dan sebagainya. Menurut Chaer(2007: 267) kekoherensian dapat tercipta jika dalam suatu wacana terdapat kekohesian yang membuat isi dari wacana itu apik dan benar. Berikut contoh penjabaran koherensi dalam naskah “Sidang Susila”

Kata Hubung “dan”

Orang-orang yang gembira pun ikut menari dan berteriak-teriak menyenggaki goyang para penari. (OP II-PR2)

Kata Hubung “akibat”

Dia penjahat moral paling berbahaya. Karena itulah, kami menempatkannya di sel khusus, dengan penjagaan ekstra ketat. (II-PC10-JK)

2.2.1.7 Koherensi Kondisonal

Menurut (Eriyanto, 2001:244) koherensi kondisional di antaranya ditandai dengan pemakaian anak kalimat sebagai penjelas. Di sini ada dua kalimat, di mana kalimat kedua adalah penjelas atau keterangan dari proposisi pertama yang dihubungkan dengan kata hubung (konjungsi) seperti “yang”, atau “dimana”. Kalimat kedua fungsinya dalam kalimat semata hanya penjelas (anak kalimat), sehingga ada atau tidak ada anak kalimat itu tidak akan mengurangi arti kalimat. Berikut contoh penjabaran koherensi kondisional dalam naskah “Sidang Susila”

Tanpa Koherensi

Mira, seorang penari tayub bergerak seksual, mengundah gairah para lelaki (I-PR2)

Dengan Koherensi

Mira, seorang penari tayub bergerak seksual, mengundang gairah para lelaki yang ikut berjoged (I-PR2)

2.2.1.8Koherensi Pembeda

(16)

16 hendak dibedakan. Dua buah peristiwa dapat dibuat seolah-olah saling bertentangan dan berseberangan (contrast) dengan menggunakan koherensi ini. Berikut contoh penjabaran koherensi pembeda dalam naskah “Sidang Susila”

Tanpa Koherensi Pembeda

Sebagaimana dalam Pasal 4 Undang-undang Susila. Dilarang mempertontonkan bagian tubuh tertentu yang sensual…atau yang dianggap sensual. Seperti alat kelamin, payudara, pusar, paha, pinggul, pantat…(VII-PC45-JK)

Koherensi Pembeda

Dalam penjelasan Pasal 4 tersebut dinyatakan bahwa bagian tubuh tertentu yang sensual adalah antara lain payudara perempuan. Terdakwa adalah seorang laki-laki. Bukan perempuan. Karena itu tuntutan Jaksa absurd dan tak berdasar (VII-PC49-JK)

2.2.1.9 Kata Ganti

Elemen kata ganti merupakan elemen untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu komunitas imajinatif. Kata ganti merupakan alat yang dipakai oleh komunikator untuk menunjukkan posisi di mana seseorang dalam wacana. Dalam mengungkapkan sikapnya, seseorang dapat menggunakan kata ganti “saya” atau “kami”yang menggambarkan bahwa sikap tersebut merupakan sikap resmi komunikator semata-mata. Akan tetapi, ketika memakai kata ganti “kita” menjadi sikap tersebut sebagai representasi dari sikap bersama dalam suatu komunitas terterntu. Batas antara komunikator dengan khalayak dengan sengaja dihilangkan untuk menunjukkan apa yang menjadi sikap komunikator juga menjadi sikap komunitas secara keseluruhan.

(17)

17 “kami” dan “mereka”. Untuk yang sependapat dengan tokoh dipakai kata ganti “kami” sedangkan dengan pihak yang tidak sependapat dipakai kata ganti “mereka”

JAKSA: Tepat pukul kosong kosong lebih kosong kosong, Undang-undang Susila telah ditetapkan secara sah dan meyakinkan. Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka secara resmi dan konstitusional kita telah menjadi bangsa yang bermoral. Untuk itu secepatnya kita juga akan menyusun Garis-garis Besar Haluan Moral Negara… Bertepatan dengan itulah, kami mencanangkan Gerakan Nasional Moral Bangsa untuk mencapai moralitas yang adil dan beradab. Kami sudah menggelar razia moral. Dan Alhmandulillah, kami telah berhasil menangkep dari pada seorang penjahat moral, yang secara terang-terangan melakukan tindakan pornografi dan pornoaksi… (II-PC1-JK)

2.2.1.10Leksikon

Pada dasarnya elemen ini menandakan bagaimana seseorang melakukan

pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Suatu fakta umumnya terdiri atas beberapa kata yang merujuk pada fakta. Kata “meninggal”, misalnya, mempunyai kata lain: mati, tewas, gugur, meninggal, terbunuh, menghembuskan nafas yang terakhir, dan

sebagainya. Di antara beberapa kata itu seseorang dapat memilih di antara pilihan yang

tersedia. Dengan demikian pilihan kata yang dipakai tidak semata hanya karena kebetulan,

tetapi juga secara ideologis menunjukan bagaimana pemaknaan seseorang terhadap

fakta/realitas.Pilihan kata-kata yang dipakai menunjukkan sikap dan ideologis tertentu.

Peristiwa sama dapat digambarkan dengan pilihan kata yang berbeda-beda.

Contoh:

JAKSA: Faktanya Pesakitan memang bersikap cabul dan amoral, karena mempertontonkan bagian tubuhnya yang sensual… Lihat saja sendiri kelakuannya… Saya yakin dia seorang eksibisionis…(VII-PC55-JK)

Kalimat tersebut menggunakan kata pesakitan untuk menyebut seorang terdakwa, pilihan kata tersebut digunakan untuk memarjinalkan tokoh Susila. Kata lain yang bisa ditemukan adalah pilihan kata eksibisionis, yakni menyangkut kelainan untuk mempertontonkan kelamin dan alat genital di depan umum. Kedua pilihan kata tersebut sengaja dipilih guna memarjinalkan tokoh Susila.

2.2.1.11Grafis dan Ekspresi

(18)

18 (Eriyanto, 2012: 257). Dalam hal ini biasanya wacana berita akan dimunculkan lewat bagian tulisan yang akan dibuat lain dibandingkan dengan tulisan yang lain. Contohnya saja pemakaian huruf tebal, huruf miring, pemakaian garis bawah, huruf yang dibuat dengan ukuran lebih kecil atau lebih besar. Selanjutnya dapat pula di dalamnya pemakaian grafik atau gambar yang dapat mendukung pentingnya suatu pesan. Hal ini biasanya terdapat dalam teks berita atau teks iklan. Bagian-bagian ini perlu ditonjolkan untuk menekankan pada khalayak umum akan pentingnya hal tersebut.

Namun hal ini berbeda jika wacana yang dikaji adalah wacana yang berupa pembicaraan. Ekspresi ini diwujudkan dalam bentuk intonasi dari pembicara yang mempengaruhi pengertian dan mensugesti khalayak pada bagian mana yang harus diperhatikan dan bagian mana yang tidak. Berikut ini penjabaran grafis yang ada dalam naskah drama Sidang Susila.

JAKSA: (Langsung bernada membentak marah) Bagimana pun Sodara-sodara, pornografi dan pornoaksi harus kita babat! Karna begitulah, Sodara-sodara… Sebagaimana firman Allah.Moral masyarakat harus dijaga, Sodara-sodara. Kalau penjahat moral ini tidak segera dihukum, pasti masyarakat akan resah. Dia akan mengganggu ketertiban. Membuat hidup kita sengsara. Haleluya! (II-PC8-JK).

Hal ini ekspresi ini diwujudkan dalam bentuk intonasi dari pembicara yang dapat mempengaruhi pengertian dan mensugesti khalayak pada bagian mana yang harus diperhatikan dan bagian mana yang tidak. Dalam percakapan di atas dapat terlihat bahwa ekspresi seorang jaksa yang sedang marah-marah dengan menggunakan nada yang membentak. Intonasi yang digunakan oleh jaksa sedikit meninggi dengan nada yang marah dalam percakapan naskah drama tersebut. Hal ini ekspresi ini diwujudkan dalam bentuk intonasi dari pembicara yang dapat mempengaruhi pengertian dan mensugesti khalayak pada bagian mana yang harus diperhatikan dan bagian mana yang tidak.

2.2.1.12Praanggapan

(19)

19 seolah penulis menyetujui sesuatu dengan memberikan argumentasi atau fakta yang menyangkal persetujuanya tersebut. Dengan kata lain, pengingkaran merupakan bentuk strategi wacana di mana penulis tidak secara tegas dan secara eksplisit menyampaikan pendapat dan gagasannya kepada khalayak. Pengingkaran adalah sebuah elemen di mana kita bisa membongkar ekspresi penulis yang disampaikan secara tersembunyi. Hal yang tersembunyi itu dilakukan oleh penulis seolah ia menyetujui suatu pendapat, padahal adalah sebaliknya

JAKSA: Saya hanya ingin menegaskan: yang kita lawan adalah kejahatan pikiran… Kita melawan sebuah ide, Bapak Hakim. Ide yang yang dibungkus kebebasan berekspresi dan keberagaman. Tapi semua itu tak lebih omong kosong, Bapak Hakim. Bagi saya, ide kebebasan berekspresi bukanlah ide yang genial, tapi ide yang bersifat genital. Yakni ide-ide yang hanya dipenuhi gagasan seputar alat vital. Inilah ide yang lebih berbahaya dari pada ide komunisme…(VII-PC10-JK)

Melalui tokoh jaksa (antagonis), penulis seolah menyutujui bahwa ide (Susila) berekspresi dan keberagaman hanyalah omong kosong, ide kebebasan berekspresi bukanlah ide yang genial (luar biasa) tetapi ide yang mengarah pada genital (kelamin) yang ujungnya pada tindakan asusila. Padahal maksud penulis lewat kalimat ironi tersebut adalah menentang RUU karena terlalu membatasi ekspresi dan keberagaman yang muncul.

2.2.1.13Metafora

Dalam hal ini metafora merupakan suatu kiasan atau ungkapan. Metafora dapat dijadikan sebuah ornamen dalam suatu teks. Namun pemakaian metafora tertentu dapat menjadikan sebuah petunjuk utama untuk mengerti suatu makna teks. Biasanya metafora dapat berupa ungkapan sehari-hari, peribahasa, pepatah, dan petuah. Metafora disebutkan oleh Pradopo (1994:66) merupakan bentuk perbandingan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat.

(20)

20 juga dimiliki oleh unsur kedua, yaitu topik. Berikut ini penjabaran metafora yang ada dalam naskah drama Sidang Susila.

Panggung perlahan menggelap. Musik transisi, seperti derap langkah kaki itu lama-kelamaan terdengar seperti menderap menggemuruh, seakan ruangan itu sudah terkepung ribuan langkah kaki yang menyebar dan menderap ke segenap penjuru

(V-PR7).

Dalam prolog di atas dapat terlihat bahwa “terkepung ribuan langkah kaki yang menyebar dan menderap ke segenap penjuru” merupakan sebuah ungkapan yang berarti panggung dibuat menjadi lama-lama menggelap seolah-olah dikelilingi oleh musuh yang berjumlah banyak orang yang berjalan berbaris yang ada diberbagai sudut.

2.2.2 Marjinalisasi

Menurut Eriyanto, 2001:124 mengatakan bahwa praktik marjinalisasi adalah misrepresentasi yang berbeda dengan eksklusi dan pengucilan. Dalam ekskomunikasi dan eksklusi, kelompok lain atau orang lain dipandang sebagai the others, yang lain yang berbeda dengan kita. Praktik itu mengimplikasikan adanya pembagian antara pihak kita di satu sisi dengan pihak mereka di pihak lain. Ada beberapa praktik pemakaian bahasa sebagai strategi wacana dari marjinalisasi ini. Pertama, Penghalusan makna (eufinisme). Kata eufinisme barangkali yang paling banyak dipakai oleh media. Kata ini dipakai dalam bidang budaya, terutama untuk menjaga kesopanan dan norma-norma. Kedua, pemakaian bahasa pengasaran (disfemisme). Kalau eufemisme dapat mengakibatkan realitas menjadi halus, disfemisme sebaliknya dapat mengakibatkan realitas menjadi kasar. Ketiga, labelisasi. Labelisasi merupakan perangkat bahasa yang digunakan oleh mereka yang berada di kelas atas untuk menundukkan lawan-lawan. Keempat, stereotipe. Stereotipe adalah penyamaan sebuah kata yang menunjukkan sifat-sifat negatif atau positif (tetapi umumnya negatif) dengan orang, kelas, atau perangkat tindakan.

Contoh

(21)

21 Dari cuplikan naskah drama di atas dapat dilihat bahwa terdapat marjinalisasi terhadap Susila yang merupakan bentuk labelisasi. Dalam hal ini kata pesakitan mengacu pada sikap mengucilkan Susila. Orang-orang tidak boleh mendekat pada Susila karena Susila dianggap berbahaya.

2.2.3 Nakah Drama Sidang Susila

Naskah drama Sidang Susila dibuat oleh Agus Noor dan Ayu Utami pada tahun 2008. Naskah drama Sidang Susila ini merupakan refleksi dari adanya rencana pembuatan RUU Pornografi di Indonesia pada Tahun 2007-2008, naskah ini pun dibuat pada tahun 2008 dan pertama kali dipentaskan tanggal 21-23 februari bertempat di Taman Ismail Marzuki oleh Teater Gandrik.

2.2.3.1Agus Noor

Agus Noor lahir di Tegal, Jawa Tengah, 26 Juni1968 merupakan seorang sastrawan berkebangsaan Indonesia. Agus Noor telah berkecimpung di dunia sastra dengan menulis karya-karya puisi dan prosa. Dia merupakan penulis naskah untuk program Sentilan Sentilun Metro TV yang diadopsi dari naskah monolognya, Matinya Sang Kritikus, yang sebelumnya telah dipentaskan di sejumlah kota oleh Butet Kertaradjasa. Agus Noor lahir dan dibesarkan di Kecamatan Margasari, Kabupaten Tegal. Berlatar belakang pendidikan Jurusan Teater, Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta. Meskipun berlatar belakang pendidikan teater, ia aktif menulis. Dia dikenal sebagai cerpenis, penulis prosa, dan naskah panggung dengan gaya parodi yang terkadang satir.

(22)

22 Dalam hal ini Agus Noor hanya menulis ulang naskah Ayu yang sudah jadi. Hal ini bermula dari Butet yang ingin pentas monolog, namun Agus Noor menyarankan agar Butet memainkan naskah orang lain agar terlihat lebih menarik. Hal ini dikarenakan selama ini Butet cenderung memainkan naskah-naskah yang ditulis oleh teman-teman yang tumbuh di lingkungan komunitas yang sama yakni seperti Agus Noor atau Indra Tranggono.

Setelah itu saat Ayu merespon dan mau menulis naskah lakon itu, seperti yang dikatakan Ayu, naskah itu merespon soal RUU Pornografi dan Pornoaksi itu. Seperti biasa, Agus Noor dan kawan-kawan mendiskusikannya dan saat proses latihan terasa benar kalau naskah Ayu ini akan lebih ‘nendang’ bila diwujudkan dalam repertoar teater dan pada akhirnya Agus Noor memikirkan agar Teater Gandrik yang melakonkan. Atas ide itulah Agus Noor menulis ulang naskah Ayu yang sudah jadi. Dalam proses penulisan itulah gagasan dasar Ayu dikembangkan oleh Agus, setidaknya agar memenuhi standar dramaturgi dan dramatik lakon teater

2.2.3.2Ayu Utami

Ayu Utami yang nama lengkapnya Justina Ayu Utami dikenal sebagai novelis pendobrak kemapanan, khususnya masalah seks dan agama.Ia dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968. Ayahnya bernama Johanes Hadi Sutaryo dan ibunya bernama Bernadeta Suhartina. Ia berasal dari keluarga Katolik. Pendidikan terakhirnya adalah S-1 Sastra Rusia dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1994).Ia juga pernah sekolah Advanced Journalism, Thomson Foundation, Cardiff, UK (1995) dan Asian Leadership Fellow Program, Tokyo, Japan (1999). Ayu menggemari cerita petualangan, seperti Lima Sekawan, Karl May, dan Tin Tin. Selain itu ia menyukai musik tradisional dan musik klasik. Sewaktu mahasiswa, ia terpilih sebagai finalis gadis sampul majalah Femina, urutan kesepuluh. Namun, ia tidak menekuni dunia model.

(23)

23 mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan ikut membangun Komunitas Utan Kayu, sebuah pusat kegiatan seni, pemikiran, dan kebebasan informasi, sebagai kurator.Ia anggota redaktur Jurnal Kalam dan peneliti di Institut Studi Arus Informasi.

Setelah tidak beraktivitas sebagai jurnalis, Ayu kemudian menulis novel. Novel pertama yang ditulisnya adalah Saman (1998). Dari karyanya itu, Ayu menjadi perhatian banyak pembaca dan kritikus sastra karena novelnya dianggap sebagai novel pembaru dalam dunia sastra Indonesia. Melalui novel itu pula, ia memenangi Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Novel tersebut mengalami cetak ulang lima kali dalam setahun. Para kritikus menyambutnya dengan baik karena novel Saman memberikan warna baru dalam sastra Indonesia. Karyanya yang berupa esai kerap dipublikasikan di Jurnal Kalam. Karyanya yang lain, Larung, yang merupakan dwilogi novelnya, Saman dan Larung, juga mendapat banyak perhatian dari pembaca.

(24)

24 media komunikasi dan pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

2.2.4 Undang Undang No.44 Pornogafi Tahun 2008

Undang-Undang Pornografi (sebelumnya saat masih berbentuk rancangan bernama Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi, disingkat RUU APP, dan kemudian menjadi Rancangan Undang-Undang Pornografi) adalah suatu produk hukum berbentuk undang-undang yang mengatur mengenai pornografi (dan pornoaksi pada awalnya). UU ini disahkan menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna DPR pada 30 Oktober2008. UU Nomor 44 tentang Pornografi ini terdiri dari 45 pasal dengan 8 Bab, yang secara keseluruhan mengatur tentang pornografi dan pornoaksi.

Pada RUU Pornografi, definisi pornografi disebutkan dalam pasal 1: "Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat." Isi pasal RUU APP ini menimbulkan kontroversi di masyarakat. Kelompok yang mendukung diantaranya MUI, ICMI, FPI, MMI, Hizbut Tahrir, dan PKS. MUI mengatakan bahwa pakaian adat yang mempertontonkan aurat sebaiknya disimpan di museum. Sedangkan kelompok yang menentang berasal dari aktivis perempuan (feminisme), seniman, artis, budayawan, dan akademisi.

(25)
(26)

26 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini yang digunakan adalah penelitian jenis kualitatif deskriptif karena penelitian dilakukan dengan cara mengklasifikasikan data, mengolah data, kemudian menganalisis data (Sugiyono, 2012:315). Pada penelitian ini klasifikasi data dilakukan pada kalimat-kalimat yang megandung unsur marjinalisasi dalam naskah drama Sidang Susila. Berikutnya data diolah dengan teori analisis wacana Van Dijk. Penelitian kualitatif menurut Moleong (2014:6) adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, dan tindakan. Secara holistikdengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.

Menurut Bogdan dan Taylor (Moleong, 2014:4) mengemukakan bahwa metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.Penelitian kualitatif deskriptif (Wibowo, 2011:43) merupakan penggambaran secara kualitatif fkta, data, atau objek material yang bukan berupa rangkaian angka namun ungkapan bahasa atau wacana melalui interpretasi yang tepat dan sistematis. Berdasarkan pendapat ahli di atas peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif deskripif karena data yang digunakan berupa wacana pada naskah drama Sidang Susila yang dapat dideskripsikan sedemikian rupa melalui kalimat marjinalisasi dalam naskah tersebut.

3.2 Data dan Sumber Data

(27)

27 dapat menguak bagaimana kritik terhadap pemberlakuan Undang-Undang Pornografi yang ada di Indonesia.

Sumber data adalah subjek darimana data dapat diperoleh (Arikunto, 2002:107). Data yang dipilih dalam penelitian ini merupakan sumber data yang berupa paper.Paper adalah data yag berupa huruf, angka atau simbol. Sumber data penelitian ini yaitu naskah drama “Sidang Susila” dalam bentuk file naskah yang diperoleh dari media online, diunduh pada tanggal 18 November 2014. Naskah tersebut merupakan naskah asli inventaris Naskah Bandul Nusantara (2009).

Suatu data yang digunakan dalam penelitian harus valid dan terpercaya, sehingga data naskah drama Sidang Susila yang dipakai harus mengalami validasi data. Menurut Sugiyono (Fuad dan Nugroho, 2014:65) validitas adalah derajat ketepatan antara data yang terjadi pada objek penelitian dengan daya yang dapat dilaporkan oleh peneliti. Dalam hal ini peneliti menggunakan teknik triangulasi sumber untuk menjadi strategi validasi data. Triangulasi sumber dilakukan dengan wawancara kepada dua narasumber dari perwakilan teater UKM Universitas di malang yang pernah mementaskan Sidang Susila untuk menegtahui apakah isi naskah yang digunakan dalam penelitian denga naskah yang pernah dipentaskan sama. Selain itu triangulasi sumber juga dilakukan pengecekan data dari berbagi sumber di internet.

3.3Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data memuat uraian mengenai cara proses pengumpulan data secara rinci dengan menunjukkan urutan langkah-langkah yang akan ditempuh. Sugiyono (2009:193) jika dilihat dari segi cara atau teknik pengumpulan data, maka teknik pengumpulan data dilakukan dalam penelitian ini adalah teknik trangulasi data dengan metode wawancara, kuesioner (angket), dan studi pustaka. Teknik triagulasi data ini untuk memperdalam respon masyarakat sekitar terhadap RUU Pornografi sejalan dengan respon yang ingin ditampilkan Agus Noor dan Ayu Utami.

(28)

28 Susila.Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara tidak terstruktur. Sugiyono (2015:197) wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah disusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya, pedoman wawancara hanya menggunakan garis-garis besar pertanyaan saja.

Teknik kedua adalah teknik angket atau kuesioner dengan bentuk angket multiple choice. Angket ini disebar dengan sasaran mahasiswa dan masyarakat umum dengan berbagai kelas sosial. Penggunaan angket ini digunakan peneliti untuk mengetahui apakah kontra terhadap UU Pornografi itu juga terjadi di lingkungan penelitian yaitu kota Malang. Selain itu dari angket peneliti akan memperkuat data untuk menjawba rumusan masalah yang ketiga tentang kritik terhadap UU Pornografi yang ditampilkan dalam drama Sidang Susila apakah sesuai dengan apa yang dipikirkan masyarakat ataukah justru masyarakat bertolak belakang dari pendapat Agus Noor dan Ayu Utami terhadap UU pornografi.

Teknik ketiga adalah studi pustaka (Fuad dan Nugroho, 2014:61) yang merupakan teknik pengumpulan data dengan cara memperoleh data dari karya ilmiah, media massa, teks book, dan masih banyak lagi lainnya untuk menambah atau mendukung sumber informasi atau data yang diperlukan dalam penelitian untuk memperkuat aspek data yang dihasilkan. Studi pustaka ini juga dilakukan peneliti dengan membaca artikel Agus Noor yang dimuat dalam Blognya tentang Sidang Susila.

3.4 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data penelitian ini menggunakan teknik anaalisis data Hubberman dan Miles (1992:20). Teknik analisis data meliputi reduksi data, penyajian data, dan verivikasi data. Dalam hal ini Analisis data Bogdan dan Biklen (Moleong, 2014:248) adalah sebuah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.

(29)

29 di Indonesia. Marjinalisasi umum yaitu marjinalisasi pada setiap tokoh yang ada dalam Sidang Susila. Dalam reduksi data dilakukan juga koding untuk mempermudah dalam mengklasifikasikan data dan menganalisis data. Berikut ini koding yang digunakan dalam analisis naskah drama Sidang Susila.

Koding Penjelasan

OP Bagian Opening

PCR Percakapan

PR Prolong

PB Pembela

JK Jaksa

SS Susila

HK Hakim

PK Petugas Kepala

PT Penari Tayub

MR Mira

WT Wartawan

PM Polisi Moral

P1 Petugas 1

P2 Petugas 2

Mjr Marjinalisasi

PMS Petugas Medis

OPH Oknum Penegak Hukum

DPR Dewan Perwakilan Rakyat

PMR Pemerintah

UUD Undang Undang Poronografi

(30)

30 keterang tokoh yang mengungkapkan dialog tersbut. Contohnya: (VII-PC16-JK) koding tersebut merujuk pada data di babak ketujuh percakapan keenambelas yang disampaikan oleh tokoh jaksa. Contoh berikutnya (I-PR2) koding tersebut merujuk pada yang ada di baba pertana prolog kedua. Selain koding dalam cuplikan dialog yang ada dalam naskah drama koding juga diunakan pada skematik yang ada pada tiap-tiap babak, misalnya (Jaksa : Mjr Disfemisme  Susila) koding tersebut maksudnya adalah percakapan jaksa yang menunjukan marjinalisasi disfemisme kepada tokoh susila.

(31)

31 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Marjinalisasi dalam Naskah Drama Sidang Susila

Marjinalisasi digunakan untuk mengetahui pihak-pihak ana yang dituju oleh penulis untuk dikritik dalam naskah drama Sidang Susila. Marjinalisasi dibedakan menjadi dua bagian yaitu marjinalisasi umum dan bentuk marjinalisasi khusus. Marjinalisasi umum adalah proses marjinalisasi pada tokoh-tokoh dalam naskah Sidang Susila, marjinalisasi umum ini masih dibagi menjadi empat macam yaitu eufimisme, disfemisme, stereotipe, dan labelisasi. Marjinalisasi khusus yaitu marjinalisasi yang secara tersirat ataupun tersurat yang tertuju pada kritik pemberlakuan UU Pornografi 2008. Pemberlakuan UU Pornografi pasti akan melibatkan oknum penegak hukum, Undang-Undang pornografi itu sendiri, Dewan Perwakilan Rakyat, dan juga Pemerintahan.

4.1.1 Marjinalisasi Umum (Proses Marjinalisasi) 4.1.1.1Eufimisme

Penghalusan makna digunakan untuk menjaga kesopanan dan norma. Seiring berkembangnya zaman eufimisme digunakan untuk menutupi realitas yang buruk. Akibatnya masyarakat tidak bisa melihat kenyataan yang sebenarnya. Eufimisme digunakan oleh kelompok atas kepada kelompok bawah, sehingga dalam banyak hal bisa menipu, terutama kelompok bawah.

(1) Saya harap, Sodara Pembela tidak mengaburkan persoalan. Terlalu sering alasan sakit digunakan untuk menghindari persidangan.

Bagaimana pun sidang harus dilanjutkan, demi keadilan… (VII-PC 39-JK)

(32)

32 menggunakan kalimat tersebut seoalah-olah hakim “membela keadilan”, mengatasnamakan keadilan yang berfungsi untuk memarjinalkan si pembela.

(2) Bukan seperti itu yang saya dengar… Karena itulah saya berkewajiban meluruskan berita soal itu! (IX-PC11-PB)

Kutipan lainnya yakni pada kata “meluruskan berita”, yaitu membuktikan, menulusuri kebenaran berita, diucapkan pembela untuk mengungkap kebenaran berita.. Pada cerita muncul berita tentang Susila yang telah membunuh seorang petugas ketika ia kabur, padahal yang melakukan pembunuhan adalah petugas kepala itu sendiri, karena mengetahui petugas bawahanya membiarkan susila kabur. Contoh lainnya.

(3) Tapi fakta bahwa ia punya hubungan darah dengan pesakitan itu, saya kira tidak bisa kita abaikan… (kepada Pembela) Itu artinya, kamu tidak bersih lingkungan… Lebih-lebih, dalam arsip ini, kamu disebut-sebut bersama Ulil ikut dalam Jaringan Moralis Liberal… (IX-PC29-HK)

Pada dialog ini menceritakan Hakim yang membeberkan apa yang disembunyikan oleh si pembela. “Hubungan Darah” sendiri yang memiliki arti masih kerabat/ saudara, eufimisme di sini berfungsi untuk menyindir si Pembela yang masih berkerabat dengan terdakwa Susila, yang biasa dikenal dengan istilah Nepotisme. Masih berkaitan dengan kata selanjutnya yakni “tidak bersih lingkungan” yang merujuk pada Nepotisme.

(4) Sistem moral yang kuat, ataukah sebuah upaya untuk memonopoli kebenaran! (IX-PC19-PK)

Pada kutipan diatas “memonopoli kebenaran” yaitu memalsukan fakta atau kejadian yang sebenarnya. Suatu kebenaran yang dianggap benar tetapi disalahgunakan sehingga kebenaran itu berbalik menjadi kesalahan. Hal inilah yang sering terjadi di Negara kita ini terutama kejadian yang menimpa Susila. Pada mulanya Susila ini tidak bersalah tetapi karena ada oknum penegak hukum yang terkait seperti hakim dan jaksa yang bekerjasama untuk menahan Susila dalam penjara.

(33)

33 4.1.1.2Disefimisme

Disefimisme merupakan kebalikan dari eufimisme yang menghaluskan realitas yang ada, yaitu untuk mengasarkan realitas yang ada. Hal tersebut digunakan oleh kelompok dominan, untuk menyebut tindakan yang dilakukan oleh kelompok bawah.

(1) Teteknya juga tidak bermoral! (XIII-PC28-JK)

Buah pelirnya tak bermoral! (XIII-PC30-JK)

Kutilnya tidak bermoral! (XIII-PC33-PB)

Adegan ketika hakim, jaksa dan lainnya memaki-maki kloset yang dipakai susila, karena tidak ditemukan Susila maka Klosetlah yang menjadi terdakwa. Kutipan tersebut menggunakan disfemisme dengan kata-kata yang langsung tanpa ditutupi, guna tidak memunculkan kesopanan/ mengasarkan, yakni kata “Tetek”, “Buah Pelir” dan “Kutilnya”.

(2) Dengarlah suara mereka… Suara Tuhan yang akan mengazab para pendosa yang tak bermoral! ( VII-PC 87-JK)

Dialog ketika jaksa mendengar suara demonstran diluar ruang sidang. Menggunakan kata “Mengazab” dan “Para Pendosa” yakni untuk mengasarkan realita, yang sebenarnya adalah pelanggar UU Susila. Jadi Hal tersebut digunakan oleh kelompok dominan, untuk menyebut tindakan yang dilakukan oleh kelompok bawah.

(3) (Menenangkan suasana) Biarlah saya yang bicara… (Kepada Pembela, penuh pengertian) Saya bangga dengan kegigihanmu membela pesakitan itu. Tapi marilah kita pikirkan hal yang lebih besar. Situasi makin membahayakan keamanan Negara. Pesakitan itu makin tak terkedali. Kau pasti sudah dengar: pesakitan itu sudah membunuh seorang petugas! (IX-PC10-JK)

(34)

34 4.1.1.3Labelisasi

Labeling merupakan cara oleh kelas atas untuk menundukkan lawan atau kelas dibawahnya. Pemakaian label tidak hanya membuat posisi kelompok atau kegiatan menjadi buruk, tapi juga mempunyai kesempatan bagi mereka yang memproduksi untuk melakukan tindakan tertentu. Pada kutipan ditemukan strategi marginalisasi jenis labelisasi dengan penggunaan kata “penjahat moral” untuk menggambarkan keburukan (susila).

(1) Tepat pukul kosong kosong lebih kosong kosong, Undang-Undang Susila telah ditetapkan secara sah dan meyakinkan…Kami sudah menggelar razia moral. Dan Alhmandulillah, kami telah berhasil menangkep dari pada seorang penjahat moral, yang secara terang-terangan melakukan tindakan pornografi dan pornoaksi… (II-PC1-JK)

Susila dilabeli dengan kata “penjahat moral”, memberi kesan orang yang melanggar moral seolah-olah seperti sedang melakukan tindakan kriminal yang berat, sehingga disebut sebagai penjahat. unsur semantik dalam kata penjahat memunculkan citraan yang buruk terhadap tokoh Susila. Padahal dalam cerita di hanyalah seorang penjual mainan yang lugu, ketika dia sedang asik menari tayub tiba-tiba ditangkap oleh polisi moral karena dianggap telah melanggar Undang-Undang Susila. Tokoh susila merpresentasikan orang kecil/ masyarakat kelas bawah yang menjadi korban dari pengesahan dan penerapan hukum yang berlaku. Selain itu dalam cerita, bagi orang yang meproduksi tersebut (penegak hukum) mempunyai kesempatan untuk melakukan tindakan tertentu, memperlakukan susila dengan tidak wajar. Contoh lain dari marjinalisasi labelisasi lainya terdapat dalam kutipan berikut.

(2) Itu buat berjaga-jaga. Langsung semprotkan antiseptik itu ke tubuh kalian, bila kalian terpaksa bersenggolan atau bersentuhan langsung dengan pesakitan itu. Biar virus pornonya langsung mati, dan kalian tidak tertular… (III-PC11-PK)

Sedangkan pada kutipan ini, tokoh Susila diberi label seorang pesakitan sebagai kata ganti terdakwa. Jelas memberi efek buruk dengan kemunculan diksi pesakitan yang biasa digunakan untuk menyebut orang yang memiliki kelainan jiwa.

(35)

35 Contoh teks tersebut merupakan labelisasi yang ditujukan kepada tokoh Susila. Susila dianggap sebagai seorang pesakita, pesakita sendiri dalam KBBI merupakan kata nomina yang ditujukan kepada orang hukuman atau terdakwa. Arti dari kata pesakitan seharusnya tidak pantas ditujukan kepada Susila karena dia belum terbukti bersalah dalam kasus tersebut. Kata pesakitan yang digunakan untuk menyebut Susila seolah-olah menegaskan bahwa ia sudah terbukti dan pasti bersalah. Marjinalisasi labelisasi yang digunakan dalam teks tersebut berdampak citra yang buruk bagi tokoh Susila.

Jadi dari contoh tersebut, labelisasi digunakan untuk menjelakan pihak tertentu lewat pelabelan serta dengan adanya labelisasi menguntungkan pihak yang memproduksi untuk melakukan tindakan tertentu.

4.1.1.4Stereotipe

Streotipe adalah penyamaan sebuah kata yang menunjukkan sifat-sifat negatif dan positif ( tetapi umumnya negatif) dengan orang, kelas, atau perangkat tindakan. (Eriyanto, 2001:126) merupakan praktik representasi yang menggambarkan sesuatu dengan penuh prasangka, konotasi yang negative dan bersifat subjektif.

(1) Muncul derap serombongan demonstran, membawa bermacam poster yang menghujat Susila. “Gantung Susila”, “Hukum Susila Seberat -beratnya”, “Pornografi Antek Komunis”, “Ganyang Pornografi Pornoaksi”, dan lain-lain. Rombongan demonstran itu berteriak mengacungkan tangan dan poster-poster yang dibawanya, dan bernyanyi... (VI-PR 1)

Kutipan ini menunjukan sifat negatif dengan memunculkan frasa “Pornografi Antek Komunis”, dengan memunculkan kata komunis, seolah-olah meminjam citra yang melekat di dalam kata komunis. di Indonesia, citra komunis sendiri banyak mengarah kepada hal yang negatif dalam kognisi masyarakat dan sejarah formal. Lalu kata komunis dikait-kaitkan dengan pornografi untuk menambah citra buruk, bahwa Pornografi menjadi antek, kaki tangan, atau bagian dari komunis. Jika di dalam cerita, demonstaran berupaya untuk memarjinalkan susila dengan teriakan-teriakan mereka.

(36)

36 Kutipan selanjutnya ini menggunakan stereotipe yang biasa melekat pada wanita, yakni kata “montok”, digunakkan untuk menggambar bagian tubuh yang sintal pada wanita. Namun dalam kutipan dialog tersebut digunakan pada tokoh laki-laki yakni Susila yang bertubuh gemuk. Adegan ketika Mira sedang memanggil Susila untuk ikut menari tayub.

(3) Jangan lupa, dia seorang penjahat susila paling tidak senonoh di negeri ini. Sodara pasti tahu, penjahat susila sudah pasti jauh lebih berbahaya dari penjahat jenis biasa. Lebih berbahaya dari pencopet. Lebih berbahaya dari garong. Bahkan lebih berbahaya dari psikopat yang paling berbahaya. (VII-PC 4-JK)

Contoh teks tersebut bersifat negatif yang merupakan marjinalisasi streotipe kepada Susila. Pada teks ini dikatakan bahwa penjahat Susila lebih berbahaya dari penjahat jenis lainnya seperti pencopet bahkan psikopat. Penggunan kata dalam teks tersebut semuanya berprasangka dan berkonotasi negatif. Susila digambarkan merupakan sosok yang sangat tidak senonoh dan sangat berbahaya sehingga harus dijauhi juga dihindari. Jadi dari contoh tersebut, stereotipe menggunakan sifat-sifat tertentu dengan, orang kelas atau perangkat tindakan lainnya.

4.1.2 Marjinalisasi Khusus

Marjinalisasi khusus yang pertama adalah marjinalisai kepada UU Pornografi yang disahkan pada tahun 2008. Marjinalisasi kepada UU Pornografi ini sebenaarnya adalah kritikan yang dimunculkan secara implisit dalam sebuah karya sastra naskah drama. Marjinalisasi terhadap Undang-Undang Pornografi ditemukan sebanyak 39 marjinalisasi. Marjinalisasi terhadap Undang-Undang Pornografi adalah marjinalisasi yang paling banyak ditemukan dalam data setelah marjinalisasi terhadap oknum penegak hukum. Berikut ini contoh data dari marjinalisasi terhadap Undang-Undang Pornografi.

(37)

37 Dari kutipan data diatas dapat diketahui bahwa susila parna tokoh yang menjal mainan seperti balon dianggap menjual barang yang berbau porografi. Kenyataannya suatu barang bagaimanapun bentuknya itu bergantung pada pemikiran inividu tersebut. Bisa jadi kutipan diatas merupakan kitik terhadap ketidak jelasan atau batasan-batasan pornografi dalam UU No. 44 tentang pornografi tahun 2008. Pada UU No. 44 tentang pornografi pasal 1 BAB I, butir pertama menyatakan bahwa “Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi,

kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media

komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi

seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”.

(2) Sebagaimana dalam pasal 4 Undang-Undang Susila. Dilarang mempertontonkan bagian tubuh tertentu yang sensual.. atau yang dianggap sensual. Seperti alat kelamin, payudara, pusar, paha, pinggul, pantat. (VII-PC 45-JK)

Kutipan data diatas adalah ketika Jaksa membacakan tuntuntan kepada Susila Parna yang dianggap melanggar pasal 4 yaitu mempertontonkan bagaian tubuhnya seperti payudara. Namun yang aneh apa kah seorang laki-laki juga akan terjerat pasal tersebut bila mempertontokan bagian dadanya, karena pada umumnya payudara adalah bagian tubuh sensual yang dimiliki oleh perempuan bukan laki-laki. Dari kutipan data diatas dapat di analisis bahwa percakapan tersebut adalah sindiran atau kritikan pada UU No. 44 tentang pornografi tahun 2008 pasal 4 BAB II butir ke pertama yaitu “Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,

memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit

memuat: persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; kekerasan

seksual; masturbasi atau onani; ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; alat kelamin; atau pornografi anak”.

Marjinalisasi khusus yang kedua adalah marjinalisasi khusus pada pemerintah (Mjr-PMR). Marjinalisasi kepada pemerintah yang ditampilkan secara eksplisit dan implisit oleh pengarang ditemukan sebanyak 14 kalimat marjinalisasi dalam naskah Sidang Susila. Berikut ini contoh dan penjabarannya

(38)

38 Pada percakapan diatas menegaskan bahwa kalimat itu ditunjukkan kepada pemerintah. Tujuan dari kalimat itu agar pemerintah sadar dengan sindiran yang dilakukan oleh rakyat biasa. Nama Susila yaang biasanya orang Jawa akan menggantinya dengan fonem ‘o’ menjadi susilo, namun Susila tidak mau disebut Susila kerena akan dianggap menyindir pemerintah. Nama Susilo ini akan merujuk pada presiden Indonesia pada tahun 2008 yaitu Susilo Bambang Yudhoyono.

(4) Sistem moral yang kuat, ataukah sebuah upaya untuk memonopoli kebenaran! (IX-PC19-PK)

Pada percakapan diatas jelas sekali kalimat itu menyindir pemerintahan . Pada kenyataannya terlalu banyak monopoli kebenaran yang terjadi di pengadilan, sehingga untuk memperjuangkan suatu kebenaran dan keadilan butuh perjuangan yang sangat keras. Bahkan dalam naskah ini kata memonopoli diucapkan oleh pemebela kepada jaksa dan hakim yang merupakan oknum penegak hukum. Daat dikatakan pengarang ingin menyampaikan kritikannya terhadap Hukum Indonesia yang bisa dimainkan atau disuap.

(5) Kamu yakin kalau saya lari saya tak akan mati? Di penjara ini saya bisa mati… Kabur pun saya pasti mati… Saya nggak ngerti… Jaman apakah ini… Jaman harta? Jaman susila? ….Dulu zaman Suharto, zaman nyari harta. Sekarang kan zaman Susila. Zaman menegakkan susila. Su-sila…, dasar yang baik. Setelah dapat harta, lantas nyari susila…. Tapi saya? Sudah nggak dapat harta, eh malah kesandung susila… Apalagi yang bisa saya percaya? (X-PC34-SS)

(39)

39 Bentuk marjinalisasi khusus yang ketiga adalah marjinalisasi terhadap Dewan Perwakilan Rakyat selaku pencetus Undang-Undang Pornografi. Ditemukan 4 data marjinalisasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada Naskah Sidang Susila, berikut ini contoh dan penjabarannya.

(6) Sudara Pembela dan Jaksa!!! Bicaralah yang pelan. Saya jantungan! Sini… (memberi kode agar Jaksa dan Pembela mendekat.) Harap kalian bisa bekerja sama menjaga jalannya persidangan. Saling pengertian begitu… Seperti kalau biasanya kalian lagi tawar-menawar uang suap. Ingat, saya belum lagi membuka sidang, lha kok kalian sudah sibuk berdebat kayak anggota dewan kurang kerjaan… (VII-PC 16-HK)

Seperti terlihat pada contoh ke 1, secara jelas terlihat marjinalisasi pada anggota DPR yang dengan jelas menyatakan bahwa anggota dewan kurang kerjaan karena sering ribut saat menjalani forum diskusi formal. Di Indonesia banyak sekali kasus ketika para anggota dewan sedang menjalankan rapat atau sebuah musyawarah nasional ketik tidak terjadi kesepakatan maka akan terjadi keributan antar anggota dewan. Keributan anggota dewan adalah hal umum yang sudah banyak dibahas oleh berbai media seperti yang diungkapkan oleh kompas.com pada 28 0ktober 2014 tentang kericuhan saat sidang paripurna DPR yang membahas penetapan komisi dan alat kelengkapan dewan. Bahkan, dalam sidang paripurna tersebut anggota Fraksi PPP Hasrul Azwar mengobrak-abrik meja rapat hingga membuat gelas-gelas pecah.

(7) Anda lihat sendiri, Sodara Pembela… Semua rakyat berbaris dibelakang kita, agar kita bertindak tegas menghukum pesakitan ini… Mereka ingin penjahat moral ini dihukum seberat-beratnya… Hukum adalah suara rakyat… Suara rakyat adalah suara Tuhan… (VII-PC 86-JK)

(40)

40 melanggar pornografi hal-hal kecil seperti inilah yang kurang diperimbangkan anggota DPR dalam mencetuskan Undang-Undang Pornografi.

(8) Langit hitam penuh kemesuman

Kita bergerak harus meringkusnya

Kebebasan jadi ancaman

Pikiran kotor harus dibersihkan Yang berbeda harus disingkirkan

Moral Negara harus ditegakkan

Kita bergerak untuk ketertiban

Pornografi telah mengancam Pikiran kotor harus dibersihkan

Yang berbeda harus disingkirkan Penjarakan Susila… Penjarakan Pikiran Penjarakan Susila… Penjarakan kemesuman Penjarakan Susila… Penjarakan Susila… Penjarakan Susila… Penjarakan Susila… (VI-PR 2)

Contoh ke-3 merupakan sindiran untuk pemerintah terutama DPR yang telah mengeluarkan Undang-Undang tersebut. Sindiran pada percakapan di atas pada akhirnya menyatakan bahwa yang berbeda harus disingkirkan. Secara tidak langusng menyatakan bahwa Undang-Undang asusila tidak menghargai adanya perbedaan pada masyarakat.

Marjinalisasi khusus yang keempat adalah marjinalisasi kepada oknum penegak hukum. Ditemukan sebanyak 118 data marjinalisasi pada oknum penegak hukum berikut ini contoh dan pemapranya.

(41)

41 Data di atas dapat dilihat bahwa oknum penegak hukum juga tidak mau munafik bahwa ia juga mengkonsumsi barang-barang yang berbau porno yakni majalah Playboy. Data yang ada menunjukkan bahwa oknum penegak hukum yang sebenarnya juga suka membeli majalah Playboy yakni majalah porno yang berisi wanita-wanita telanjang. Majalah Playboy yakni majalah yang berisi hal-hal yang berbau porno dan seks terdapat gambar wanita telanjang. Dalam hal ini oknum penegak hukum sebenarnya juga suka dengan hal-hal yang berbau seks namun dengan cara ditutup-tutupi. Hal ini merupakan sebuah bentuk ketidak adilan yang terjadi antara rakyat kecil dan oknum penegak hukum. Oknum penegak hukum yang jelas-jelas bekerja dalam sebuah instansi peradilan saja suka mengkonsumsi hal-hal yang berbau porno, namun ia tidak mendapatkan teguran. Sedangkan rakyat kecil yang dicontohkan sebagai Susila, yang belum menjadi status terdakwa sudah dihukum kurungan penjara. Hal ini membuktikan bahwa penulis naskah drama ingin menyampaikan pesan bahwa hukum yang ditegakkan belum seimbang.

Selanjutnya marjinalisasi khusus yang kedua juga mengarah pada oknum penegak hukum. Di sini penulis naskah drama Sidang Susila yakni Agus Noor dan Ayu Utami menuliskan bahwa Petugas Kepala mengakui dirinya sendiri bahwa ia suka memonopoli keadaan. Dalam hal ini petugas kepala yang merupakan atasan dari petugas suka memutarbalikkan fakta. Hal ini dapat terlihat pada data di bawah ini.

(10)Tak usah sungkan-sungkan… Saya tak merasa diperalat kok… Karena aparat seperti saya ini memang sudah terbiasa ikhlas diperalat…Kalau lama tak diperalat, ayan saya malah kumat… Saya kira ini juga akan menstimulus militansi anak buah saya…Bapak Hakim tahu, belakangan ini anak buah saya lebih suka menangkapi para pelanggar susila, ketimbang menangkapi pelanggar lalu lintas…Karena inkam-nya jauh lebih menguntungkan.( VIII-PC57-PK)

(42)

42 lintas. Hal ini terbukti bahwa oknum penegak hukum bisa dikatakan memeras para pelanggar dengan meminta sejumlah uang yang akan masuk ke dalam kantongnya bukan uang kas negara. Hal ini didukung juga dengan adanya berita mengenai Kasus suap hakim Tipikor Semarang, KPK Tahan hakim di Semarang yang terdapat dalam kpk.go.id. Hal ini semakin memperkuat bahwa hakim sudah terbiasa dalam penerimaan uang suap yang dilakukan dalam dunia peradilan. Hal tersebut menjadikan satu masalah besar yang harus diselesaikan secara adil.

Terakhir marjinalisasi khusus pada oknum penegak hukum yang terjadi dalam sebuah peradilan. Dalam hal ini terjadi sebuah kejadian yakni Hakim yang mencumbui seorang Jaksa. Seorang hakim dan jaksa yang sama-sama berprofesi sebagai oknum penegak hukum yang juga melakukan hubungan terlarang tanpa ada ikatan suatu apapun. Hal ini bisa saja dikenai hukuman. Mereka yang jelas-jelas anggota penegak hukum melakukan hubungan seks namun tidak dihukum. Sedangkan Susila yang merupakan seorang rakyat kecil yang berjualan balon-balon berbentuk bulat dan panjang sudah dituduh bahwa ia berjualan balon menyerupai alat kelamin wanita dan pria. Hal ini merupakan sindiran tegas yang ditujukan pada peradilan yang tidak bisa menegakkan hukum dengan benar. Oknum yang benar-benar melakukan hubungan seks tidak mendapatkan hukuman, sedangkan rakyat kecil seperti Susila yang masih dianggap sebagai terdakwa sudah dijatuhi hukuman berupa kurungan penjara walaupun ia belum terbukti bersalah.

(11) Keduanya berjalan ke satu sudut, dimana kemudian keduanya menjadi bayangan. Mereka berpelekan. Bergairah dan bercumbu liar. Hakim tampak mengikat kedua tangan Jaksa terentang. Kemudian dengan penh gairah mencambuki tubuh Jaksa dengan penuh berahi.( IX-PR12).

(43)

43 4.2Struktur Wacana Van Dijk dalam Naskah Sidang Susila

Analisis struktur wacana Van Dijk meliputi Struktur Makro, Superstruktur, dan Strukturmikro. Data analisis struktur wacana Van Dijk diambil dari data yang mengalami bentuk-bentuk marjinalisasi khusus,sehingga akan diketahui marjinalisasi kepada pihak mana yang lebih dominan dalam naskah Sidang Susila jika dilihat dari tema, sintaksis, emilihan diksi, dan berdasarkan gaya retoris dalam naskah drama Sidang Susila.

4.2.1 Struktur Makro (Tematik)

Tema secara keseluruhan dapat dilihat dari judul suatu wacana begitu juga Naskah Sidang Susila. Judul Sidang Susila digunakan oleh Agus Noor dan Ayu Utami untuk mewakili dua hal yang ada dalam naskah tersebut. Pertama ‘Sidang Susila’ memiliki arti persidangan hukum yang dialami oleh tokoh utama Susila. Makna yang kedua yaitu persidangan yang dijalankan demi suatu kesusilaan, namun para penegak hukum sendiri melanggar apa itu yang disebut susila. Susila sendiri memilki arti yang baik, sopan, dan sebuah keadaban namun dalam cerita ini susila selalu disangkutkan dengan pelanggaran pornografi dan pornoaksi. Selain dilihat dari judul tema naskah Sidang Susila ini juga dilihat dari tema setiap babak. Naskah Sidang Susila memiliki 13 babak dan satu opening. Berikut ini penjabaran tema dalam setiap babak yang ada dalam naskah Sidang Susila.

Babak Tema

Babak 1 Penangkapan Susila oleh Polisi Moral ketika sedang asik menari tayub

Babak 2 Pemberitahuan mengenai pengesahan UU Susila (berlebihan) oleh Jaksa serta berita penangkapan Susila yang dianggap sebagai penjahat moral

Babak 3 Interogasi petugas: Pemaksaan Susila untuk menjawab bahwa dia menjual mainan porno

Babak 4 Pertemuan hakim, Jaksa, Pembela dengan tersangka

Referensi

Dokumen terkait