• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH FAKTOR INDIVIDU DAN PERILAKU TERHADAP KEJADIAN BAKTERIAL VAGINOSIS PADA WANITA PEKERJA SEKS DI EKS LOKALISASI X TAHUN 2016 THE INFLUENCE OF INDIVIDUAL FACTORS AND BEHAVIOR WITH THE INCIDENCE OF BACTERIAL VAGINOSIS IN COMMERCIAL SEX WORKERS AT EX

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGARUH FAKTOR INDIVIDU DAN PERILAKU TERHADAP KEJADIAN BAKTERIAL VAGINOSIS PADA WANITA PEKERJA SEKS DI EKS LOKALISASI X TAHUN 2016 THE INFLUENCE OF INDIVIDUAL FACTORS AND BEHAVIOR WITH THE INCIDENCE OF BACTERIAL VAGINOSIS IN COMMERCIAL SEX WORKERS AT EX "

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH FAKTOR INDIVIDU DAN PERILAKU

TERHADAP KEJADIAN BAKTERIAL VAGINOSIS

PADA WANITA PEKERJA SEKS DI EKS LOKALISASI X TAHUN 2016

THE INFLUENCE OF INDIVIDUAL FACTORS AND BEHAVIOR WITH THE INCIDENCE OF BACTERIAL VAGINOSIS IN COMMERCIAL SEX WORKERS AT EX LOCALIZATION IN 2016

Lisda Riani1, Atikah Rahayu2, Fauzie Rahman3 1 Mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat

2 Bagian Gizi, Kesehatan Ibu dan Anak 3 Bagian Administrasi Kebijakan Kesehatan

Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRAK

Bakterial vaginosis (BV) disebabkan oleh ketidakseimbangan flora normal dari vagina yang disebabkan oleh bakteri Lactobacillus sp. Flora normal vagina digantikan oleh bakteri fakultatif anaerob khususnya Gardnerella vaginalis. Pengertian lain dari BV adalah salah satu penyakit yang sangat umum dengan gejala klinik yang ditandai dengan adanya cairan vagina yang berlebihan dan berbau. Risiko terinfeksi HIV lebih besar pada wanita yang mengalami BV ketika berhubungan seksual. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh pengetahuan, frekuensi berganti-ganti pasangan, higiene perorangan, dan penggunaan kondom dengan kejadian BV di Eks Lokalisasi X. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan rancangan observasional analitik melalui pendekatan kasus-kontrol. Populasi berjumlah 357 orang dan sampel sebanyak 126 orang menggunakan teknik purposive sampling. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner dan lembar isian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan tentang BV dengan kejadian BV (p-value = 0,001), terdapat hubungan antara frekuensi berganti-ganti pasangan dengan kejadian BV (p-value = 0,000) dan frekuensi yang sering berganti-ganti pasangan seksual memiliki risiko 12 kali mengidap BV, tidak terdapat hubungan antara higiene perorangan dengan kejadian BV (p-value = 0,99), serta tidak terdapat hubungan antara penggunaan kondom dengan kejadian BV (p-value = 1,00). Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa variabel frekuensi berganti-ganti pasangan (OR=11,711; 95%CI=4,012-34,179) merupakan faktor paling dominan terhadap kejadian BV.

Kata-kata kunci: Bakterial vaginosis, pengetahuan, perilaku.

ABSTRACT

Bacterial vaginosis caused by an imbalance from the normal flora of the vagina, causing the disease by Lactobacillus sp. The normal flora replaced by facultative bacteria is Gardnerella vaginalis. Bacterial vaginosis is a very common disease with clinical symptoms are exessive and smelly vaginal discharge. The risk of becoming infected HIV is bigger with a person having bacterial vaginosis. The aim of this study was to analyze the influence of knowledge, frequency of changing sexual partners, personal hygiene, and use of condoms with the incidence of bacterial vaginosis. This research use the quantitative method with observational analytic design through case-control approach. The population is 357 peoples with the number of samples is 126 peoples taken with purposive sampling

technique. Research instrument using questionnaires and filling sheet. The results of

the study showed that there is corellation between knowledge with the incidence of bacterial vaginosis (p-value=0,001), there is a corellation between frequency of changing sexual partners with the incidence of bacterial vaginosis (p-value=0,000) and frequency of changing sexual partners has a risk 12 times of having bacterial vaginosis, there is no correlation between personal hygiene with the incidence of bacterial vaginosis (p-value=0,99), and there is no correlation between use of condoms with the incidence of bacterial vaginosis (p-value=1,0). Multivariate analysis showed frequency of changing sexual partner (OR=11,711; 95%CI=4,012-34,179) is the most dominant factor in bacterial vaginosis.

(2)

PENDAHULUAN

Berdasarkan The Centers for Disease Control and Prevention (CDC), sekitar 20 juta kasus baru Infeksi Menular Seksual (IMS) dilaporkan setiap tahun (1). Kegiatan pelacuran cenderung meningkat dengan menyebarnya aktivitas Wanita Pekerja Seks (WPS) yang ada di sebagian kota-kota besar, bahkan dikota-kota kecil. Dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pelacuran adalah penyebaran IMS yang sebagian besar ditularkan melalui hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan (2). Salah satu IMS adalah bacterial vaginosis (BV). Penelitian Amsel dkk (2005) di pusat kesehatan Universitas Washington, Amerika mendapatkan prevalensi BV sebesar 25% dan 50% diantaranya adalah asimtomatis (3). Penelitian Ocviyanti (2010) di Puskesmas Kabupaten Karawang, Balai Kesehatan Batalyon 201 Cijantung, FKUI, dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo mendapatkan prevalensi BV pada wanita sebesar 30,7% (4).

Bakterial vaginosis disebabkan karena ketidakseimbangan flora normal di vagina, sehingga memungkinkan timbulnya penyakit yang disebabkan oleh bakteri Lactobacillus sp, flora normal vagina digantikan oleh bakteri fakultatif anaerob antara lain didominasi oleh Mobiluncus species, Bacteroides

species, khususnya Gardnerella vaginalis (5). Bakterial Vaginosis adalah penyakit yang sangat umum

dengan gejala klinik yang ditandai dengan adanya cairan vagina yang berlebihan dan berbau (6). Berdasarkan data dari dari eks lokalisasi X dapat diketahui bahwa jumlah penderita bakterial vaginosis pada Oktober 2015 sebanyak 39 penderita dari 162 WPS yang menjalani tes IMS. Lalu, pada Desember 2015 ditemukan sebanyak 20 penderita bakterial vaginosis dari 221 WPS. Pada Januari 2016 ditemukan sebanyak 43 penderita bakterial vaginosis dan 1 penderita gonorhea dari 238 WPS. Pada Februari 2016 terjadi peningkatan kasus bakterial vaginosis, yaitu ditemukan sebanyak 45 penderita bakterial vaginosis dari 244 WPS. Didapatkan nilai Insidence Rate sebesar 42 orang per 100 penduduk (7).

Kejadian BV dapat disebabkan oleh faktor individu yaitu pengetahuan dan perilaku yaitu frekuensi berganti-ganti pasangan, higiene perorangan, dan penggunaan kondom. Adanya perbedaan pengetahuan, berganti-ganti pasangan, higiene perorangan, dan penggunaan kondom yang mempengaruhi kejadian BV. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian untuk menganalisa pengaruh faktor individu dan perilaku terhadap kejadian bakterial vaginosis pada wanita pekerja seks di Eks Lokalisasi X tahun 2016.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan rancangan observasional analitik melalui pendekatan kasus-kontrol. Populasi pada penelitian ini berjumlah 357 orang dan sampel sebanyak 126 orang menggunakan teknik purposive sampling. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner dan lembar isian. Sampel dalam penelitian ini terbagi menjadi sampel kasus dan sampel kontrol. Perhitungan sampel kasus menggunakan metode totally sampling yaitu semua kasus bakterial vaginosis sebanyak 42 kasus, dengan menggunakan perbandingan 1:2, maka didapatkan jumlah sampel kontrol sebanyak 84 kontrol dengan sebanyak 126 sampel. Cara analisis data, yaitu analisis univariat menggunakan tabel distribusi frekuensi, analisis bivariat menggunakan analisis tabulasi silang dengan uji chi-square dan multivariat menggunakan regresi logistik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran pengetahuan tentang BV, frekuensi berganti-ganti pasangan, higiene perorangan, penggunaan kondom, dan kejadian bakterial vaginosis sebagai berikut:

Tabel 1. Distribusi dan Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahuan tentang BV pada WPS di Eks Lokalisasi X

Pengetahuan tentang BV Frekuensi Persentase (%)

Kurang 19 15,1

Baik 107 84,9

Total 126 100

Sumber: Data primer hasil penelitian tahun 2016

(3)

penyuluhan adalah sedang melayani tamu. Menurut Notoatmodjo, pengetahuan merupakan salah satu hal yang sangat mempengaruhi terbentuknya perilaku seseorang. Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman langsung atau pun melalui pengalaman orang lain. Pengetahuan seseorang dapat ditingkatkan melalui cara penyuluhan individu atau kelompok untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan agar tercapai perubahan perilaku individu (8).

Tabel 2. Distribusi dan Frekuensi Responden Berdasarkan Frekuensi Berganti Pasangan pada WPS di Eks Lokalisasi X

Frekuensi Berganti Pasangan Frekuensi Persentase (%)

Sering 69 54,8

Jarang 57 45,2

Total 126 100

Sumber: Data Primer Hasil Penelitian Tahun 2016

Berdasarkan tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa responden yang berganti-ganti pasangan seksual kurang dari 4 kali dalam seminggu yaitu 57 responden (45,2%). Namun, masih banyak responden yang berganti-ganti pasangan lebih dari 4 kali dalam seminggu yaitu 69 responden (54,8%). Banyaknya jumlah pasangan seksual yang dilayani WPS dipengaruhi beberapa faktor, salah satunya umur WPS dan pasangan langganan yang selalu datang ke tempat prostitusi. Ditinjau dari umur, WPS termuda berusia 18 tahun dan setiap minggu dapat melayani tamu sebanyak 8 orang, WPS berumur 24 tahun dapat melayani 35 kali dalam seminggu dan WPS berumur 27 tahun dapat melayani sebanyak 12 sampai 14 kali dalam seminggu. Sedangkan WPS tertua berumur 58 tahun dan setiap minggu hanya melayani 1 orang. Ditinjau dari umur berdasarkan kuesioner, umur WPS yang lebih muda rentang 18-35 tahun memiliki jumlah pasangan seksual lebih banyak daripada WPS yang berumur lebih dari 35 tahun. Berdasarkan penelitian Amalya GH, responden yang terlah berumur di atas 35 tahun telah mengalami penurunan fungsi organ seksual, sehingga secara fisik mudah lelah. Faktor mudah lelah tersebut yang menyebabkan responden tidak melayani banyak tamu (9).

Tabel 3. Distribusi dan Frekuensi Responden Berdasarkan Higiene Perorangan pada WPS di Eks Lokalisasi X

Higiene Perorangan Frekuensi Persentase (%)

Buruk 38 30,2

Baik 88 69,8

Total 126 100

Sumber: Data Primer Hasil Penelitian Tahun 2016

Berdasarkan tabel 3 di atas dapat diketahui bahwa responden yang memiliki higiene perorangan yang baik yaitu 88 responden (69,8%). Namun, masih ada responden yang memiliki higiene perorangan yang buruk yaitu 38 responden (30,2%). Berdasarkan temuan lapangan, sebanyak 51,6% responden membasuh alat kelamin dari arah yang salah, yaitu dari arah belakang dan sebanyak 93,7% responden menggunakan sabun atau produk pembersih organ kewanitaan. Cara membersihkan alat kelamin yang benar adalah dari arah depan (vagina) ke belakang (anus). Membersihkan alat kelamin dalam posisi terbalik, yaitu dari arah anus ke vagina akan membuat bakteri yang ada di sekitar anus bisa terbawa ke dalam vagina (10). Berdasarkan penelitian Sholikah A dan Widiastuti T, terdapat hubungan penggunaan pembersih genetalia eksterna dengan kejadian keputihan patologis. Pembersih genetalia eksterna dapat mengurasi keasaman daerah intim, sehingga mudah terinfeksi pada area kewanitaan. Sabun memiliki sifat basa yang tidak sesuai dengan area kewanitaan yang bersifat asam (11). Meskipun responden mengetahui jika menggunakan celana dalam yang ketat bukan perilaku higiene yang baik, sebanyak 60,3% responden menggunakan celana dalam yang ketat dalam aktivitas sehari-hari karena tetap merasa nyaman dengan celana dalam ketat tersebut dan tuntutan pekerjaan sebagai Wanita Pekerja Seks (WPS).

Tabel 4. Distribusi dan Frekuensi Responden Berdasarkan Penggunaan Kondom pada WPS di Eks Lokalisasi X

Penggunaan Kondom Frekuensi Persentase (%)

Buruk 74 58,7

Baik 52 41,3

Total 126 100

(4)

Berdasarkan tabel 4 di atas dapat diketahui bahwa responden yang memiliki sikap yang baik dalam penggunaan kondom yaitu 52 responden (41,3%). Namun, masih ada responden yang memiliki sikap buruk dalam penggunaan kondom yaitu 74 responden (58,7%). Meskipun banyak WPS mengaku bahwa mereka mengetahui dan ingin pasangan seksual mereka menggunakan kondom dalam berhubungan seksual, tetapi pasangan seksual mereka melarang dengan alasan tertentu, seperti perasaan kurang nyaman saat berhubungan seksual dan rasa percaya diri bahwa mereka tidak memiliki penyakit seksual yang dapat menular.

Terdapat 60% WPS tidak menggunakan kondom saat berhubungan seksual dengan alasan tamu menolak menggunakan kondom. Alasan pria menolak menggunakan kondom karena merasa sakit karena ukuran yang tidak pas. Pemakaian kondom yang tidak pas dapat merobek kondom atau membuat kondom terlepas sehingga mengurani hasrat seksual. Selain itu, kekurangan kondom yaitu mengganggu kenyamanan bersenggama, selalu harus memakai kondom yang baru, selalu harus ada persediaan, bahkan ada yang alergi terhadap karetnya, tingkat kegagalannya tinggi jika terlambat memakainya, dan sobek apabila dimasukkan tergesa-gesa (9). Namun, berdasarkan pengakuan dari responden, banyak pasangan seksual mereka dengan kesadaran sendiri menggunakan kondom karena takut terinfeksi penyakit menular seperti HIV/AIDS di kemudian hari.

Tabel 5. Hubungan antara pengetahuan dengan kejadian BV pada Wanita Pekerja Seks (WPS) di Eks Lokalisasi X

Pengetahuan Kejadian BV Total p-value

Positif Negatif

Kurang 13 (68,4%) 6 (31,6%) 19

0,001

Baik 29 (27,1%) 78 (72,9%) 107

Sumber: Data Primer Hasil Penelitian Tahun 2016

Berdasarkan temuan lapangan, terdapat 29 (27,1%) responden yang memiliki pengetahuan baik tetapi positif BV. Penyuluhan dilakukan bertujuan agar masyarakat tahu, mau, dan mampu menyelesaikan permasalahan kesehatan yang sedang dihadapi (12). Responden memiliki pengetahun yang baik tetapi masih menderita BV disebabkan tidak mau dan tidak mampu untuk menghindari perilaku seksual karena itu adalah kegiatan mereka sehari-hari. Terdapat 6 (31,6%) responden yang memiliki pengetahuan rendah tetapi negatif BV. Berdasarkan kuesioner, responden yang negatif BV disebabkan karena tidak memiliki pasangan seks lebih dari 4 orang dalam seminggu. Dari hasil p-value (0,001), artinya ada hubungan antara pengetahuan dengan kejadian BV.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Irwansyah yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian infeksi vaginitis diantaranya adalah pengetahuan tentang infeksi vagina atau vaginitis (13). Selain itu, penelitian Ernawati, Seweng, dan Ishak menunjukkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan kejadian BV. Responden yang berpengetahuan rendah memiliki peluang 3,6 kali menderita BV dibandingkan dengan yang berpengetahuan tinggi (5). Penelitian lain dari Kusnan menunjukkan bahwa pengetahuan mempunyai hubungan terhadap kejadian IMS dengan p-value = 0,000. Hal ini karena responden dapat memahami tentang IMS, tentu responden akan berupaya menjaga penularan penyakit dengan membujuk pasangan seksual mereka untuk menggunakan kondom dan memeriksakan diri jika ditemukan gejala IMS. Hal tersebut sesuai dengan penelitian di Denpasar, bahwa dengan mengintervensi pengetahuan yang insentifakan dapat menurunkan angka IMS (14).

Tabel 6. Hubungan antara frekuensi berganti-ganti pasangan dengan kejadian BV pada Wanita Pekerja Seks (WPS) di Eks Lokalisasi X

(5)

responden yang memiliki usia lebih tua, yaitu rentang 43 hingga 58 tahun. Responden mengaku bahwa mereka mengetahui higiene perorangan, tetapi merasa tidak memiliki kebiasan rutin membersihkan organ genital. Pada dasarnya, semakin buruk kebersihan seseorang dalam organ genital semakin cepat pula terinfeksi penyakit (15).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Gama dan Aprilianingrum yang menyatakan bahwa WPS yang memiliki pasangan seks sebanyak 6 orang per hari memiliki risiko 3,65 kali lebih tinggi terjadi IMS dibandingkan dengan pasangan seks kurang dari 6 orang per hari (16). Penelitian lain dari Kusnan yang menyatakan bahwa frekuensi berganti-ganti pasangan seksual mempunyai hubungan dengan kejadian IMS. Menurut pengakuan responden bahwa berapa pun jumlah tamu atau pelanggan dan kapan pun waktu yang diinginkan, mereka akan tetap dilayani. Bila frekuensi hubungan seksual dengan responden berkurang, maka tentu IMS juga akan berkurang. Dengan demikian, wajar saja bila dikatakan bahwa semakin banyak frekuensi hubungan seksual yang dilakukan oleh responden, semakin tinggi kejadian IMS (14).

Tabel 7. Hubungan antara higiene perorangan dengan kejadian BV pada Wanita Pekerja Seks (WPS) di Eks Lokalisasi X

Higiene Perorangan Kejadian BV Total p-value

Positif Negatif

Kurang 17 (44,7%) 21 (55,3%) 38

0,99

Baik 25 (28,4%) 63 (71,6%) 88

Sumber: Data Primer Hasil Penelitian Tahun 2016

Berdasarkan temuan lapangan, terdapat 21 (55,3%) responden yang memiliki higiene perorangan yang kurang tetapi negatif BV. Berdasarkan penghitungan statistik, higiene perorangan tidak berhubungan dengan kejadian BV. Meskipun masih terdapat responden yang memiliki higiene perorangan yang buruk tidak berpengaruh dengan kejadian BV. Terdapat 25 (28,4%) responden yang memiliki higiene perorangan yang baik tetapi positif BV. Terdapat faktor lain yang membuat responden yang memiliki higiene perorangan baik tetapi positif BV, yaitu frekuensi berganti-ganti pasangan. Sering berganti-ganti pasangan seksual memiliki risiko 12 kali mengidap BV dibanding dengan responden yang jarang berganti-ganti pasangan seksual. Meskipun higiene perorangan tidak memiliki hubungan dengan kejadian BV, tetapi faktor lain memiliki faktor risiko sehingga memperparah kejadian BV tersebut. Dari hasil p-value (0,99), artinya tidak ada hubungan antara higiene perorangan dengan kejadian BV.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Ernawati, Seweng, dan Ishak yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara higiene perorangan dengan kejadian BV (5). Penelitian lain dari Mardyana (2009) juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan higiene perorangan dengan kejadian BV (17).

Tabel 8. Hubungan antara penggunaan kondom dengan kejadian BV pada Wanita Pekerja Seks (WPS) di Eks Lokalisasi X

Penggunaan Kondom Kejadian BV Total p-value

Positif Negatif

Buruk 25 (33,8%) 49 (66,2%) 74

1,00

Baik 17 (32,7%) 35 (67,3%) 52

Sumber: Data Primer Hasil Peneliti an Tahun 2016

Berdasarkan temuan lapangan, terdapat 49 (66,2%) responden yang buruk dalam penggunaan kondom, tetapi negatif BV. Dari hasil p-value (1,00), artinya tidak ada hubungan antara penggunaan kondom dengan kejadian BV. Alasannya adalah sistim imun responden dalam kondisi baik pada saat itu, sehingga tidak mudah terkena penyakit. Namun, apabila dalam kondisi imunitas yang menurun, pertahanan tubuh pun akan menurun dan tubuh akan mudah terserang penyakit dan kemudian sakit. Penekanan pada fungsi sistem imun akan menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap terjadinya penyakit infeksi (18). Terdapat 17 (32,7%) responden yang baik dalam penggunaan kondom, tetapi positif BV. Terdapat penyebab lain responden yang baik dalam penggunaan kondom tetapi postif BV, yaitu banyaknya jumlah pasangan seks yang dilayani dalam seminggu. Sering berganti-ganti pasangan seksual memiliki risiko 12 kali mengidap BV.

(6)

penggunaan kondom dipengaruhi oleh tingkatan pelanggan, yaitu adanya pelanggan tetap, pelanggan baru, dan pelanggan spesial. Dalam kasus pelanggan baru, mereka cenderung akan memakai kondom saat berhubungan seksual. Sedangkan pada pelanggan tetap dan spesial, WPS akan menuruti kehendak pasangan seksual mereka karena alasan bayaran yang lebih tinggi dan kepercayaan maupun perasaan kepada pasangan.

Tabel 9. Analisis Multivariat Kejadian BV pada Wanita Pekerja Seks (WPS) di Eks Lokalisasi X

Variabel B S.E Wald Sig Exp(B)

Pengetahuan -1,706 0,628 7,387 0,007 0,182

Berganti-ganti pasangan 2,461 0,546 20,272 0,0001 11,711 Variabel frekuensi berganti-ganti pasangan (OR=11,711; 95%CI=4,012-34,179) merupakan faktor paling dominan atau paling berpengaruh terhadap kejadian BV. Berdasarkan penelitian Aprilianingrum (2007), menunjukkan bahwa meningkatnya insiden IMS dipengaruhi oleh banyaknya jumlah pasangan seksual. Wanita Pekerja Seks (WPS) yang memiliki pasangan seksual ≥ 6 orang memiliki risiko 3,74 kali lebih tinggi terkena IMS. Laju IMS berbanding lurus dengan jumlah pasangan seksual, sehingga semakin banyak jumlah pasangan seksual, makin besar risiko paparan IMS (19). Penelitian lain dari Cempaka (2012) menyebutkan bahwa memiliki pasangan seksual rata-rata lebih dari 5 pasangan memiliki risiko 9 kali lebih tinggi terkena IMS dibandingkan dengan yang tidak memiliki banyak pasangan seksual (20). Pasangan seksual berpengaruh terhadap kejadian IMS. Seorang WPS yang memiliki pasangan seksual baru yang berbeda-beda memiliki faktor risiko hampir 3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan WPS yang tidak mempunyai pasangan seksual baru yang berbeda-beda (21).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan tentang BV dengan kejadian BV (p-value = 0,001), terdapat hubungan antara frekuensi berganti-ganti pasangan dengan kejadian BV (p-value = 0,000) dan memiliki Odd Ratio (OR) yaitu 12,025 yang artinya yang memiliki frekuensi sering berganti-ganti pasangan seksual memiliki risiko 12,025 kali mengidap BV, tidak terdapat hubungan antara higiene perorangan dengan kejadian BV (p-value = 0,99), serta tidak terdapat hubungan antara penggunaan kondom dengan kejadian BV (p-value = 1,00). Faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian BV adalah frekuensi berganti-ganti pasangan (OR=11,711; 95%CI=4,012-34,179). Rekomendasi yang dapat diberikan adalah perlu dilakukannya penelitian lanjutan mengenai pengaruh faktor lingkungan terhadap kejadian Bakterial Vaginosis (BV) pada WPS di Eks Lokalisasi X. Sehingga dapat diketahui seberapa besar pengaruh faktor lingkungan terhadap kejadian BV tersebut. Selain itu, perlu dibuat kebijakan oleh pemerintah tentang penggunan kondom kepada tamu/pelanggan, sehingga dapat ditekankan kepada WPS di Eks Lokalisasi X untuk membujuk pasangan seksual mereka setiap melakukan hubungan seksual dan meningkatkan higiene perorangan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Agustini NNM dan Arsini NLKA. Infeksi menular seksual dan kehamilan. Diajukan pada Seminar Nasional FMIPA UNDIKSHA III, 10 Maret 2014, Bali. Bali: Universitas Pendidikan Ganesha. 2. Sumardjoko T, Kartono DT, dan Susiloadi P. Tanggung jawab pemerintah terhadap kesehatan

pelacur di Kota Salatiga. Jurnal Public Issues 2013 (1)1; 2013: 1-9.

3. Hillier SL. The complexity of microbial diversity in bacterial vaginosis. New England Journal Medicine 2005; (353)18: 11-26.

4. Octaviyanti D. Keputihan pada wanita hamil. Jakarta: Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSCM, 2010.

5. Ernawati, Seweng A, dan Ishak H. Faktor determinan terjadinya vaginosis bakterial pada wanita usia subur di Kota Makassar. Artikel Ilmiah. Makassar: Universitas Hasanuddin, 2013.

6. Moegni EH. Penyakit menular seksual: dampaknya terhadap kesehatan alat reproduksi wanita dan kehamilan. Jakarta: Rineka Cipta, 2001.

7. Data Kesehatan Komunitas Kenanga Sehat di Eks Lokalisasi Pembatuan 2015. 8. Notoatmodjo S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta.

9. Amalya GH. Perilaku pemakaian kondom dengan kejadian infeksi menular seksual. Jurnal Keperawatan Ilmiah 2012; 3(2): 17-23.

(7)

11. Sholikah A dan Widiastuti T. Hubungan penggunaan pembersih genetalia eksterna dengan kejadian keputihan pada siswi kelas XI IPA di SMAN 1 Mayong Jepara. Jurnal Kesehatan dan Budaya 2012; 3(1): 8-14.

12. Amanah S. Makna penyuluhan dan transformasi perilaku manusia. Jurnal Penyuluhan 2007; 3(1): 63-67.

13. Irwansyah. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian vaginitis di poli kandungan BLUD Rumah Sakit Umum Provinsi Sultra Tahun 2012. Artikel Ilmiah. Makassar: Universitas Hasanuddin, 2012.

14. Kusnan A. Analisis hubungan determinan kejadian penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) pada Wanita Penjaja Seksual (WPS). Jurnal Kesehatan 2012; 4(2): 344-350.

15. Indrawati T. Hubungan personal higiene organ genital dengan kejadian kanker serviks di RSUP Dr. Kariadi Kota Semarang. Jurnal Dinamika Kesehatan 2012; 2(1): 1-14.

16. Gama TA dan Aprilianingrum F. Pengaruh aktivitas seksual dan vaginal douching terhadap timbulnya infeksi menular seksual kondiloma akuminata pada pekerja seks komersial Resolasi Argorejo Kota Semarang. Jurnal Penelitian Sains dan Teknologi 2006; 7(2): 119-140.

17. Mardyana NB. Hubungan tingkat pengetahuan, higiene perorangan dan penggunaan kondom dengan kejadian bacterial vaginosis pada pekerja seks komersial di Resosialisasi Argorejo Kelurahan Kalibanteng Kulon Kota Semarang tahun 2009. Skripsi. Semarang: Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang, 2009.

18. Mayasari D. Hubungan respon imun dan stress dengan tingkat kekambuhan demam tifoid pada masyarakat di wilayah Puskesmas Colomadu Karangayar. Skripsi Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2009.

19. Aprilianingrum F, dkk. Faktor risiko kondilomina akuminata pada pekerja seks komersial: Studi kasus pada PSK Resosialisasi Argorejo Kota Semarang. Artikel Ilmiah Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman, 2007.

20. Cempaka, dkk. Pola hubungan seksual dan riwayat IMS pada gay di Bali. Jurnal Kesehatan Masyarakat 2012; 1(2): 84-89.

Gambar

Tabel 2. Distribusi dan Frekuensi Responden Berdasarkan Frekuensi Berganti Pasangan pada WPS di Eks Lokalisasi X
Tabel 5. Hubungan antara pengetahuan dengan kejadian BV pada Wanita Pekerja Seks (WPS) di Eks Lokalisasi X
Tabel 8.  Hubungan antara penggunaan kondom dengan kejadian BV pada Wanita Pekerja Seks (WPS) di Eks Lokalisasi X

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa luas lahan, biaya pupuk, biaya bahan bakar, dan hasil produksi memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap tingkat pendapatan

Penanganan sampah yang dilakukan responden dengan membuang sendiri ke TPS memiliki nilai yang paling tinggi karena umumnya peraturan di Kecamatan Jekan Raya memnghimbau untuk

Data pada Tabel 4 juga menunjukkan bahwa pola tanam agroforestri pada kedua varietas padi akan menghasilkan produksi padi gogo yang lebih sedikit jika dibandingkan

Saat ini banyak ritel modern yang menggunakan diskon untuk menarik pelanggan, mempengaruhi keputusan konsumen untuk melakukan pembelian bahkan mempunyai

Investasi dalam bidang teknologi informasi menjadi salah satu aspek penting dalam strategi organisasi saat ini.Organisasi harus mampu mengambil keputusan investasi

konsep yang digunakan untuk menggambarkan berbagai konsep komputasi yang melibatkan beberapa konsep yang digunakan untuk menggambarkan berbagai konsep komputasi yang melibatkan

Think of it like a little factory that takes the property values you want to set in your object, and then hands you back a nice new object with all the right properties