• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Responsibility of Airline of Denied Boarding Passanger (Case Study Jakarta High Court Decision Number 319/PDT/2013/PT.DKI)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "The Responsibility of Airline of Denied Boarding Passanger (Case Study Jakarta High Court Decision Number 319/PDT/2013/PT.DKI)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

“Tanggung Jawab Perdata Maskapai Penerbangan Atas Tidak

Diangkutnya Penumpang Dengan Alasan Melebihi Kapasitas

Pesawat Udara (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta

Nomor 319/PDT/2013/PT.DKI)”

Nadia Aprillika, Suharnoko (Pembimbing) Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia

E-mail: nadia.aprillika@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini disusun untuk menganalisis peristiwa tidak diangkutnya penumpang dengan alasan melebihi kapasitas pesawat udara sebagai tindakan wanprestasi dan sebagai perbuatan melawan hukum serta menganalisis pengaturan dan pelaksanaan tanggung jawab pengangkut udara atas tidak diangkutnya penumpang dengan alasan melebihi kapasitas pesawat udara. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Hasil penelitian ini adalah peristiwa tidak diangkutnya penumpang dengan alasan melebihi kapasitas pesawat udara dapat digolongkan sebagai tindakan wanprestasi dan sebagai perbuatan melawan hukum serta pengangkut udara dianggap selalu bertanggung jawab untuk memberi ganti rugi apabila terjadi peristiwa tidak diangkutnya penumpang dengan alasan melebihi kapasitas pesawat udara. Dibutuhkan suatu definisi dan pengaturan yang lebih jelas mengenai peristiwa tidak diangkutnya penumpang dengan alasan melebihi kapasitas pesawat udara sehingga kepastian hukum bagi penumpang dapat lebih terjamin.

Kata kunci:

Penumpang, Perbuatan Melawan Hukum, Wanprestasi, Tanggung Jawab, Ganti Rugi, Pengangkut Udara.

“The Responsibility of Airline of Denied Boarding Passanger

(Case Study Jakarta High Court Decision Number

319/PDT/2013/PT.DKI)”

Abstract

This research is analyzing denied boarding passanger as a failure to perform and as a tort and also analyzing the regulations and practices of the responsibility of airline of denied boarding passanger. This research is qualitative decriptive interpretative. The result of this research are denied boarding passanger can be classified as a failure to perform and can be classified as a tort. In addition, airline always be responsible to give compensation if there is denied boarding passanger. The researcher suggest that needs a definition and regulation more clearly about denied boarding passanger so the passanger can be more protected.

Keywords:

(2)

Pendahuluan

Di Indonesia perkembangan dunia penerbangan amatlah pesat. Pesatnya perkembangan penerbangan tersebut telah menyebabkan ketatnya persaingan antara maskapai penerbangan di Indonesia. Hal tersebut tercermin dari semakin banyaknya maskapai penerbangan yang berlomba-lomba menawarkan tarif tiket dengan harga yang rendah kepada para calon penumpang. Tarif tiket dengan harga yang rendah disebut pula dengan Low Cost Carrier. Low Cost Carrier sering dikenal dengan sebutan no frills, discount, atau budget carrier ialah angkutan udara niaga berjadwal yang dalam menjalankan kegiatannya dikelompokkan dalam pelayanan dengan standar minimum.1 Low Cost Carrier merupakan sebutan bagi maskapai penerbangan yang menawarkan biaya penerbangan yang relatif lebih rendah dibandingkan maskapai penerbangan pada umumnya. Sayangnya, tarif tiket dengan harga yang rendah tersebut seringkali berbanding lurus dengan penurunan pada segi kualitas pelayanan yang diberikan bahkan yang lebih mengkhawatirkan lagi ialah terjadinya penurunan kualitas pemeliharaan sehingga akan memberikan dampak buruk terhadap keamanan, kenyamanan, dan perlindungan konsumen.2 Hal ini tentu saja akan berpotensi besar merugikan penumpang, yang notabenenya merupakan salah satu pihak yang terdapat dalam kegiatan pengangkutan udara.

Pada dasarnya dalam kegiatan pengangkutan udara terdapat dua pihak yakni pelaku usaha penerbangan sebagai pihak pengangkut udara dan konsumen sebagai pihak penumpang. Di antara para pihak tersebut terdapat suatu hubungan hukum yakni hubungan kontraktual berdasarkan perjanjian pengangkutan udara. Menurut Pasal 1 angka 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, yang dimaksud dengan perjanjian pengangkutan udara ialah perjanjian antara pengangkut dan pihak penumpang dan/atau pengirim kargo untuk mengangkut penumpang dan/atau kargo dengan pesawat udara dengan imbalan bayaran atau

                                                                                                               

1  Indonesia, Undang-Undang Penerbangan, UU No. 1 Tahun 2009, LN No. 1 Tahun

2009, Ps. 97 angka 1 huruf c Jo. Pasal 98 angka 1.  

2 E. Saefullah Wiradipradja (a), Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Terhadap

(3)

dalam bentuk imbalan jasa yang lain.3 Perjanjian pengangkutan udara antara pengangkut udara dengan penumpang dapat dibuktikan dengan tiket penumpang pesawat udara. Akan tetapi, tiket penumpang pesawat udara bukan satu-satunya bukti adanya perjanjian pengangkutan udara karena masih dapat dibuktikan dengan bukti lain, misalnya tanda terima uang pembelian tiket penumpang pesawat udara.4

Perjanjian pengangkutan udara tidak terlepas dengan aspek komersial yang terdapat didalamnya. Salah satu aspek komersial dalam perjanjian pengangkutan udara ialah kapasitas pesawat udara. Mengetahui arus penerbangan dan sistem operasional yang ada sudah seharusnya dapat ditentukan jumlah kapasitas yang disepakati pada perjanjian pengangkutan udara yang harus dilayani oleh pengangkut udara secara adil.5 Akan tetapi, pada nyatanya pengangkut udara seringkali menetapkan batas jumlah penjualan tiket melebihi kapasitas kursi pesawat yang sebenarnya. Hal ini bertujuan untuk menghindari kemungkinan adanya cancellation dan no show customer. Cancellation ialah pembatalan pemesanan tiket yang dapat dilakukan oleh penumpang yang telah melakukan pemesanan sebelumnya. No show customer ialah keadaan dimana penumpang yang telah memesan tiket untuk suatu penerbangan, namun pada saat keberangkatan ia tidak datang. Adanya cancellation dan no show customer

dikhawatirkan akan menimbulkan kerugian bagi pihak pengangkut udara. Pertama, uang refund yang diberikan akan mengurangi pendapatan pihak pengangkut udara. Kedua, akan terdapat kursi-kursi kosong dimana pihak pengangkut udara akan mengalami kesulitan untuk menjual kembali tiket yang telah dibatalkan pada saat telah mendekati atau pada saat keberangkatan penerbangan. Dimana dengan menetapkan batas jumlah penjualan tiket melebihi kapasitas kursi pesawat yang sebenarnya maka penumpang lain dapat mengisi kekosongan kursi apabila terjadi cancellation atau no show customer. Sayangnya, di beberapa kasus jumlah penumpang yang datang pada saat jadwal penerbangan                                                                                                                

3 Indonesia, Undang-Undang Penerbangan, UU No. 1 Tahun 2009, LN No. 1 Tahun 2009, Ps. 1 angka 29.

4 K. Martono dan Agus Pramono, Hukum Udara Perdata Internasional dan Nasional, cet. 1, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 194.    

5 K. Martono dan Usman Melayu, Perjanjian Angkutan Udara di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1996), hlm. 154.

(4)

justru melebihi kapasitas pesawat udara sehingga beberapa penumpang yang telah memiliki tiket penumpang pesawat udara tidak dapat diangkut dengan alasan pesawat telah melebihi kapasitasnya. Mengenai hal itu, pihak pengangkut udara seringkali berdalih bahwa peristiwa tersebut dapat terjadi karena alasan manajemen maupun alasan operasional.6

Peristiwa tidak diangkutnya penumpang dengan alasan melebihi kapasitas pesawat udara telah menimbulkan suatu ketidakpastian bagi para penumpang dalam memperoleh haknya berupa pengangkutan diri penumpang melalui pesawat udara sesuai dengan jadwal penerbangan yang seharusnya. Lebih jauh lagi, peristiwa tersebut berpotensi besar menimbulkan banyak kerugian bagi diri penumpang, baik kerugian yang bersifat material maupun yang bersifat immaterial. Berdasarkan hal-hal tersebut, penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian dengan judul “Tanggung Jawab Perdata Maskapai Penerbangan Atas Tidak Diangkutnya Penumpang Dengan Alasan Melebihi Kapasitas Pesawat Udara (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 319/PDT/2013/PT.DKI)”.

1. Bagaimanakah peristiwa tidak diangkutnya penumpang dengan alasan melebihi kapasitas pesawat udara dapat digolongkan sebagai tindakan wanprestasi dan sebagai perbuatan melawan hukum menurut hukum perdata barat?

2. Bagaimanakah pengaturan dan pelaksanaan tanggung jawab pengangkut udara atas tidak diangkutnya penumpang dengan alasan melebihi kapasitas pesawat udara menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 Jo. Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 Jo. Peraturan Menteri Perhubungan No. 92 Tahun 2011?

Tujuan khusus dari penelitian ini antara lain:

1. Untuk mengetahui bagaimana peristiwa tidak diangkutnya penumpang dengan alasan melebihi kapasitas pesawat udara dapat digolongkan

                                                                                                               

6 http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate-14798-chapter1pdf.pdf, diunduh 3 Juli 2014.

(5)

sebagai tindakan wanprestasi dan sebagai perbuatan melawan hukum menurut hukum perdata barat.

2. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan dan pelaksanaan tanggung jawab pengangkut udara atas tidak diangkutnya penumpang dengan alasan melebihi kapasitas pesawat udara menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 Jo. Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 Jo. Peraturan Menteri Perhubungan No. 92 Tahun 2011.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yudiris normatif yaitu penelitian hukum yang meneliti kaidah-kaidah atau norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.7 Berdasarkan metode pengolahan dan analisis data, penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Berdasarkan sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif. Berdasarkan sudut bentuknya, penelitian ini merupakan penelitian preskriptif.

Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini ialah data sekunder. Dilihat dari sudut kekuatan mengikatnya maka data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain:8

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat di Indonesia. Bahan hukum primer pada penelitian ini ialah KUHPerdata, Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 Jo. Peraturan Menteri Perhubungan No. 92 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder pada penelitian ini ialah laporan penelitian, artikel ilmiah, buku, majalah, internet, dan makalah.

                                                                                                               

7 Sudikno Mertokusumo (a), Penemuan Hukum Suatu Pengantar, cet. 2. (Yogyakarta: Liberty, 2001), hlm. 29.

8 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

(6)

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier pada penelItian ini ialah kamus bahas Indonesia, kamus bahasa Inggris-Indonesia, kamus bahasa Belanda-Inggris-Indonesia, kamus terminologi hukum, dan aneka istilah hukum.

Kasus Posisi

Budi Santoso selaku Penggugat adalah seorang Pegawai. Berdasarkan Surat Tugas Perjalanan Dinas Dalam Negeri, Penggugat diberi tugas untuk melakukan Perjalanan Dinas ke Makassar dan Manado dari tanggal 17-22 Oktober 2011. Akan tetapi, karena Penggugat hendak merayakan hari ulang tahunnya pada tanggal 20 Oktober 2011 dan hari ulang tahun anaknya pada tanggal 21 Oktober 2011 maka Penggugat memohon kepada pimpinannya agar dapat kembali ke Jakarta pada tanggal 19 Oktober 2011. Oleh karena itu, pada tanggal 13 Oktober 2011, Penggugat membeli tiket elektronik dengan Nomor Tiket 9902169968242 untuk penerbangan tanggal 17 Oktober 2011 dari Jakarta ke Ujung Pandang dengan Nomor Penerbangan JT. 778, untuk penerbangan tanggal 18 Oktober 2011 dari Ujung Pandang ke Manado dengan Nomor Penerbangan JT. 749, dan untuk penerbangan tanggal 19 Oktober 2011 dari Manado ke Jakarta dengan Nomor Penerbangan JT. 743. Ketiga tiket penerbangan tersebut atas nama Penggugat sendiri yakni Budi Santoso.

Pada tanggal 19 Oktober 2011 pukul 17.30 WITA, Penggugat tiba di Bandara Samratulangi Manado untuk melakukan check in atas tiket miliknya. Setelah beberapa lama mengantri, tibalah giliran Penggugat untuk memvalidasi tiket miliknya dan pada saat itu, petugas yang melayani Penggugat menyatakan bahwa pesawat telah melebihi kapasitas. Selanjutnya, Penggugat diminta oleh petugas yang melayaninya untuk mengumpulkan e-ticket bersama dengan beberapa penumpang lain yang gagal diberangkatkan dalam penerbangan JT. 743, tetapi Penggugat menolak untuk mengumpulkan tiketnya.

Dikarenakan tidak diangkutnya Penggugat dari Manado ke Jakarta dengan Lion Air maka Penggugat dan beberapa penumpang lain, yang juga tidak diangkut, mendesak pihak Lion Air untuk menjelaskan perihal tidak diangkutnya

(7)

mereka dengan cara meminta keterangan tertulis dari perwakilan Lion Air yang bertugas di Bandara Samratulangi Manado. Lalu, dikeluarkanlah surat keterangan yang menyatakan bahwasannya Penggugat tidak dapat diangkut karena alasan operasional yakni pesawat telah melebihi kapasitasnya dimanaterjadi penggantian pesawat dari kapasitas 215 kursi menjadi 205 kursi. Alasan tersebut dirasa sangat tidak beralasan bagi Penggugat karena Penggugat telah memesan tiket penerbangan dan dibukukukan pada tanggal 13 Oktober 2011 atau 6 hari sebelum jadwal keberangkatan.

Selanjutnya, Penggugat bersama penumpang lain, yang juga tidak diangkut, melakukan peneguran secara lisan kepada pihak Lion Air. Akan tetapi, karena pihak Lion Air tidak dapat memberi pemenuhan prestasi dan memberi jumlah kompensasi yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen maka Penggugat mencari maskapai penerbangan lain yang dapat membawa Penggugat ke Jakarta dan pada akhirnya Penggugat menggunakan maskapai Garuda Indonesia dengan penerbangan Nomor GA 067 yang memiliki jadwal keberangkatan pada keesokan harinya atau pada tanggal 20 Oktober 2011. Dimana selama menunggu penerbangan esok hari, Penggugat bersama beberapa penumpang lain, yang juga dinyatakan gagal berangkat, terpaksa harus bermalam di Bandara Samratulangi Manado.

Dampak dari tidak diangkutnya Penggugat dari Manado ke Jakarta dirasa sangat merugikan Penggugat karena Penggugat tidak dapat berkumpul dengan istri dan kedua anaknya serta keluarga besarnya untuk ibadah dan/atau syukuran menjelang perayaan hari ulang tahun Penggugat. Dimana pada malam menjelang hari ulang tahun Penggugat atau pada tanggal 19 Oktober 2011 telah disiapkan jamuan makan malam bersama keluarga besar dengan jumlah 50 (lima puluh) orang. Hal tersebut telah menjadi sebuah kebiasaan di keluarga besar Penggugat sehingga memiliki nilai spiritual yang mendalam bagi Penggugat dan keluarga besarnya.

Terhadap kejadian yang telah diuraikan di atas maka Budi Santoso selaku Penggugat mengajukan gugatan kepada PT. Lion Mentari Ar Lines yakni perusahaan angkutan udara yang mengoperasikan pesawat Lion Air ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 12 Desember 2011. Pada tanggal 4 Juli 2012,

(8)

Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan putusan yakni putusan No. 506/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Pst, yang mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian. Dikatakan demikian karena dalil gugatan Penggugat ialah perbuatan melawan hukum, tetapi majelis hakim justru “memelintirnya” menjadi wanprestasi dengan tetap mengabulkan gugatan Penguggat.

PT. Lion Mentari Air Lines yang merasa tidak puas dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Pada akhirnya putusan tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta melalui putusan No. 319/PDT/2013/PT.DKI pada tanggal 10 September 2013. Dimana Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta berpendapat bahwa Tergugat memang terbukti melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana yang didalilkan Penggugat dalam gugatannya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Pembahasan

Sebelum kasus ini dikaitkan dengan tindakan wanprestasi, perlu diketahui apakah perjanjian pengangkutan udara yang dibuat antara Penggugat dan Tergugat telah memenuhi syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata. Penjelasannya sebagai berikut:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri

Kesepakatan antara para pihak yang membuat perjanjian berarti terjadinya pertemuan atau kesesuaian kehendak di antara para pihak.9 Pada kasus ini telah terdapat kesepakatan antara kedua belah pihak bahwa Penggugat selaku konsumen pengguna jasa penerbangan bertindak sebagai pembeli yang menginginkan pengangkutan udara terhadap dirinya dari Manado ke Jakarta pada tanggal 19 Oktober 2011, sedangkan Tergugat selaku pelaku usaha jasa penerbangan bertindak sebagai penjual yang menginginkan sejumlah uang pembayaran atas jasa pengangkutan udara yang dilakukannya. Dimana tidak terdapat paksaan, kekhilafan, maupun penipuan di antara kedua belah pihak saat mencapai kesepakatan berupa perjanjian pengangkutan udara.

                                                                                                               

9 Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata, (Jakarta: CV. Gitama Jaya, 2008), hlm. 129.

(9)

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

Untuk membuat perjanjian, para pihak harus cakap menurut hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Selain manusia sebagai subyek hukum dikenal juga badan hukum sebagai subyek hukum. Pada kasus ini Sdr. Budi Santoso selaku Penggugat merupakan seseorang yang telah cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Sementara PT. Lion Mentari Airlines selaku Tergugat adalah suatu badan hukum yang juga cakap untuk melakukan perbuatan hukum.

3. Mengenai suatu hal tertentu

Hal tertentu maksudnya adalah obyek perjanjian atau prestasi yang diperjanjikan harus jelas, dapat dihitung, dan dapat ditentukan jenisnya.10 Pada kasus ini hal tertentu yang dimaksud ialah harga tiket penerbangan sebesar Rp 2.820.000,- (dua juta delapan ratus dua puluh ribu rupiah) dan jasa berupa pengangkutan udara terhadap diri Penggugat pada tanggal 19 Oktober 2011 dengan tujuan Manado ke Jakarta.

4. Suatu sebab yang halal

Sebab halal yang dimaksud disini ialah isi dari perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Pada kasus ini isi dari perjanjian pengangkutan udara adalah halal dan tidak membahayakan kepentingan umum. Tidak ada suatu hal terlarang yang diperjanjikan dalam perjanjian pengangkutan udara tersebut.

Dengan demikian syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata telah terpenuhi sehingga perjanjian pengangkutan udara tersebut akan mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi kedua belah pihak.

Selanjutnya, barulah dapat diketahui apakah memang kasus antara Penggugat dan Tergugat dapat digolongkan sebagai tindakan wanprestasi. Dimana Hans Nieuwenhuis berpendapat bahwa:

“If a contract is not adequately fulfilled, the articles 6:74 and further apply, excluding the applicability of articles 6:162 and other (torts). Only when

                                                                                                               

10 Sri Soesilowati, Hukum Perdata;Suatu Pengantar, cet. 1, (Jakarta: Gitama Jaya, 2005), hlm. 143.    

(10)

not adequately performing a contractual obligation constitutes a tort in itself, independent of the terms of the contract, can the articles about torts be applied to the execution of contracts.”11

Pendapat Hans Nieuwenhuis tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

1. A dan B merupakan tetangga yang telah membuat sebuah perjanjian. Mengingat rumah A dan B saling bersebelahan dan akses jalan terdekat yang dapat B lalui agar dapat keluar dari wilayah rumahnya ialah dengan melewati pekarangan rumah A maka perjanjian yang mereka buat berisi larangan bagi A untuk mendirikan pagar di antara rumah A dan B. Akan tetapi, sebulan kemudian A justru mendirikan pagar di antara rumah A dan B sehingga B tidak dapat menikmati akses jalan terdekat untuk keluar dari wilayah rumahnya dan harus melalui akses jalan lain yang notabenenya berjarak lebih jauh.

2. A melakukan sewa terhadap rumah B. Setelah jangka waktu sewa rumah berakhir, B menemukan banyak kerusakan yang dibuat oleh A terhadap rumah sewa tersebut.

Menurut Hans Nieuwenhuis, pada kasus 1 sebenarnya tidak ada aturan hukum yang melarang A untuk mendirikan pagar di sekitar rumah miliknya sehingga B hanya dapat menyatakan bahwa A telah melakukan wanprestasi karena tidak melaksanakan isi dari perjanjian yang mereka buat yang melarang A untuk mendirikan pagar di antara rumah A dan B. Sementara pada kasus 2, B dapat memilih apakah akan menyatakan bahwa A telah melakukan perbuatan melawan hukum karena tidak bertindak sebagai seorang bapak rumah yang baik selayaknya seorang penyewa rumah seharusnya bertindak atau akan menyatakan bahwa A telah melakukan wanprestasi karena tidak melaksanakan isi dari perjanjian sewa menyewa yang melarang A untuk merusak rumah sewa.

Pada kasus ini apabila dikaitkan dengan pendapat Hans Nieuwenhuis maka sebenarnya tidak terdapat aturan hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mewajibkan Tergugat selaku pengangkut udara untuk mengangkut Penggugat selaku konsumen jasa penerbangan dalam penerbangan JT. 743 pada tanggal 19 Oktober 2011 dengan tujuan Manado ke Jakarta. Dimana kewajiban Tergugat                                                                                                                

(11)

selaku pengangkut udara untuk mengangkut Penggugat selaku konsumen jasa penerbangan dalam penerbangan JT. 743 pada tanggal 19 Oktober 2011 dengan tujuan Manado ke Jakarta hanya lahir dari perjanjian pengangkutan udara yang telah disepakati antara Penggugat dan Tergugat. Dengan demikian, apabila kasus ini dikaitkan dengan pendapat dari Hans Neuwenhuis maka kasus ini digolongkan sebagai tindakan wanprestasi dan Penggugat hanya dapat menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan wanprestasi karena telah tidak melaksanakan isi perjanjian pengangkutan udara dengan tidak mengangkut Penggugat pada penerbangan JT. 743 pada tanggal 19 Oktober 2011 dengan tujuan Manado ke Jakarta.

Meskipun demikian, pada prakteknya adanya hubungan kontraktual tidak menghalangi diajukannya gugatan perbuatan melawan hukum. Pada mulanya hal ini tidak terlepas dari keberadaan kasus Lindenbaum melawan Cohen. Keberadaan kasus Lindenbaum melawan Cohen telah memperluas pengertian perbuatan melawan hukum. Dimana kasus Lindenbaum melawan Cohen telah mempengaruhi berbagai kasus di Indonesia sehingga pada prakteknya di Indonesia adanya hubungan kontraktual tidak lagi menghalangi seseorang untuk mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum. Di Indonesia hal tersebut dimungkinkan sejak adanya kasus PT. Dua Berlian melawan Lee Kum Kee Co Ltd. Dimana Lee Kum Kee Co Ltd dianggap melakukan pemutusan perjanjian secara sepihak sehingga PT. Dua Berlian menganggap Lee Kum Kee Co Ltd telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum. Pengadilan Negeri Jakarta Utara menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum karena mengakhiri perjanjian secara sepihak dan menunjuk distributor lain, tetapi putusan itu dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Menurut Mahkamah Agung tindakan Tergugat bertentangan dengan asas kepatutan dan moral serta bertentangan dengan kewajiban hukum Tergugat. Tindakan Tergugat telah merugikan Penggugat yang beritikad baik.

Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Agung pada kasus PT. Dua Berlian melawan Lee Kum Kee Co Ltd dapat terlihat bahwa adanya hubungan kontraktual tidak menjadikan tertutupnya kemungkinan salah satu pihak untuk menyatakan pihak lainnya telah melakukan perbuatan melawan hukum. Dengan demikian,

(12)

pada kasus antara Budi Santoso selaku Penggugat dengan PT. Lion Mentari Airlines selaku Tergugat apabila dikaitkan dengan pertimbangan Mahkamah Agung pada kasus PT. Dua Berlian melawan Lee Kum Kee Co Ltd maka tindakan PT. Lion Mentari Airlines selaku Tergugat dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Hal tersebut dapat terjadi karena tindakan Tergugat yang telah tidak mengangkut Penggugat pada penerbangan JT. 743 pada tanggal 19 Oktober 2011 tujuan Manado ke Jakarta dengan alasan melebihi kapasitas pesawat udara merupakan perbuatan yang bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian karena seharusnya Tergugat telah mengetahui bahwa pesawat yang akan diterbangkan dari Manado ke Jakarta pada tanggal 19 Oktober 2011 berkapasitas 205 kursi, tetapi tiket yang diperjualbelikan oleh Tergugat justru sebanyak 215 buah, yang mana salah satu tiket yang diperjualbelikan tersebut telah dibeli Penggugat pada tanggal 13 Oktober 2011 atau 6 hari sebelum jadwal penerbangan. Dengan kata lain, Tergugat tidak seharusnya menjual tiket penerbangan kepada Penggugat selaku pengguna jasa penerbangan ketika Tergugat telah mengetahui bahwa tiket yang diperjualbelikan melebihi kapasitas kursi yang terdapat di dalam pesawat. Tindakan Tergugat tersebut dapat pula dianggap sebagai itikad buruk.

Selanjutnya, penting untuk diketahui apakah tindakan Tergugat telah memenuhi unsur-unsur Pasal 1365 KUHPerdata sehingga dapat digolongkan sebagai perbuatan melawan hukum. Penjelasannya sebagai berikut:

1. Adanya suatu perbuatan

Perbuatan yang dimaksud disini ialah perbuatan secara aktif maupun perbuatan secara pasif. Pada kasus ini tindakan Tergugat yang telah tidak mengangkut Penggugat pada penerbangan JT. 743 sesuai dengan jadwal penerbangan yang seharusnya merupakan perbuatan pasif karena Tergugat dianggap telah melakukan perbuatan diam atau tidak berbuat sesuatu, sedangkan tindakan Tergugat yang menjual tiket penerbangan melebihi kapasitas fisik pesawat merupakan perbuatan aktif yang telah merugikan orang lain.

(13)

2. Perbuatan tersebut melawan hukum

Secara luas, definisi melawan hukum mencakup empat kriteria perbuatan yang melawan hukum antara lain a) Melanggar hak subjektif orang lain; b) Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; c) Bertentangan dengan kaedah kesusilaan; d) Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, serta sikap kehati-hatian yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain.12 Pada kasus ini tindakan Tergugat dianggap bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, dan kehatian-hatian yang seharusnya dimiliki Tergugat selaku pengangkut udara dalam hubungannya dengan Penggugat selaku pengguna jasa penerbangan karena seharusnya Tergugat telah mengetahui bahwa pesawat yang akan diterbangkan dari Manado ke Jakarta pada tanggal 19 Oktober 2011 berkapasitas 205 kursi, tetapi tiket yang diperjualbelikan oleh Tergugat justru pesawat yang berkapasitas 215 kursi, yang mana salah satu tiket yang diperjualbelikan tersebut telah dibeli Penggugat pada tanggal 13 Oktober 2011 atau 6 hari sebelum jadwal penerbangan. Hal ini terjadi tidak terlepas karena kriteria bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian merupakan kriteria perbuatan yang melawan hukum yang paling luas dan paling banyak dipergunakan dalam yurisprudensi.13

3. Adanya kesalahan dari pihak pelaku

Kesalahan dapat berarti kesalahan dalam arti luas dimana terdapat kealpaan dan kesengajaan serta kesalahan dalam arti sempit yang hanya berupa kesengajaan.14 Pada kasus ini, Tergugat dianggap telah melakukan kesengajaan karena Tergugat mengetahui bahwa pesawat yang akan diberangkatkan dari Manado ke Jakarta pada tanggal 19 Oktober 2011 berkapasitas 205 kursi, tetapi tiket yang diperjualbelikan justru pesawat yang berkapasitas 215 kursi. Hal ini seyogyanya telah disadari oleh                                                                                                                

12 Setiawan (a), Empat Kriteria Melawan Hukum dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi.dalam Varia Peradilan No.16 Th II, (Jakarta: 1987), hlm. 176.

13 Setiawan (b), Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 269.  

14 Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum; Pendekatan Kontemporer, (Bandung: Pradnya Paramita, 1982), hlm. 66.

(14)

Tergugat bahwa akan menimbulkan konsekuensi tertentu, baik terhadap fisik dan/atau mental maupun harta benda 10 penumpang, termasuk didalamnya Penggugat, yang nyatanya tidak akan dapat diangkut pada penerbangan JT. 743 karena melebihi kapasitas pesawat udara.

4. Adanya kerugian korban

Dalam perbuatan melawan hukum dikenal dua jenis kerugian yakni kerugian materiil dan kerugian immateril.15 Pada kasus ini, Penggugat telah dirugikan, baik secara material maupun immaterial. Secara material, kerugian Penggugat meliputi tiket Lion Air yang tidak memberangkatkan dirinya, tiket Garuda sebagai tiket pengganti, biaya pulsa, biaya makan, biaya transportasi, dan biaya konsumsi ulang tahun. Secara immaterial, Penggugat menyatakan bahwa kerugian yang dideritanya meliputi hilangnya waktu, tersitanya tenaga dan pikiran selama Penggugat bermalam di bandara, hilangnya kebersamaan dan nilai-nilai spiritual dengan keluarga untuk berkumpul bersama pada saat menjelang perayaan hari ulang tahunnya, serta perubahan jadwal untuk bertemu rekan bisnis, yang telah membuat kepercayaan rekan bisnis terhadap Penggugat menjadi dipertaruhkan dan menjadikan terbengkalainya pekerjaan.

5. Adanya kausalitas antara perbuatan dengan kerugian

Yang dimaksud dengan kausalitas ialah adanya hubungan antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukannya tersebut. Pada kasus ini, kausalitas antara perbuatan dengan kerugian jelas ada dimana tindakan tergugat yang telah tidak mengangkut Penggugat pada penerbangan JT. 743 sesuai dengan jadwal penerbangan yang seharusnya karena alasan pesawat telah melebihi kapasitasnya dimana Tergugat telah menjual tiket penerbangan melebihi kapasitas fisik pesawat telah menyebabkan Penggugat mengalami kerugian, baik secara material maupun secara immaterial.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa tindakan Tergugat telah memenuhi unsur-unsur yang terdapat pada Pasal 1365                                                                                                                

15 Munir Fuadi, Perbuatan Melawan Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Mandiri, 2002), hlm. 13.

(15)

KUHPerdata sehingga pada kasus ini, tindakan Tergugat dapat pula digolongkan sebagai perbuatan melawan hukum.

Selanjutnya, pada kasus ini, Tergugat telah tidak mengangkut Penggugat pada penerbangan JT. 743 pada tanggal 19 Oktober 2011 dengan tujuan Manado ke Jakarta karena pesawat telah melebihi kapasitasnya.

Pasal 147 Ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 merupakan salah satu pasal yang mengatur mengenai tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang atas tidak terangkutnya penumpang karena alasan kapasitas pesawat udara. Pasal tersebut berbunyi:

“Pengangkut bertanggung jawab atas tidak terangkutnya penumpang, sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dengan alasan kapasitas pesawat udara.”

Berdasarkan ketentuan pasal di atas maka pada kasus ini, Tergugat selaku pengangkut udara dianggap bertanggung jawab atas tidak diangkutnya Penggugat selaku penumpang pada penerbangan JT. 743 sesuai dengan jadwal penerbangan yang seharusnya dengan alasan pesawat telah melebihi kapasitasnya.

Pasal 11 Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 Jo. Peraturan Menteri Perhubungan No. 92 Tahun 2011 mengatur mengenai ganti rugi yang seharusnya diberikan oleh pengangkut kepada penumpang atas tidak diangkutnya penumpang karena alasan kapasitas pesawat udara. Pasal tersebut berbunyi:

“Terhadap tidak terangkutnya penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b, pengangkut wajib memberikan ganti kerugian berupa: a. Mengalihkan ke penerbangan lain tanpa membayar biaya tambahan;

dan/atau

b. Memberikan konsumsi, akomodasi, dan biaya transportasi apabila tidak ada penerbangan lain ke tempat tujuan.”

Berdasarkan ketentuan pasal di atas maka pada kasus ini, Tergugat diwajibkan untuk memberi ganti rugi terhadap Penggugat atas tidak diangkutnya Penggugat pada penerbangan JT. 743 sesuai dengan jadwal penerbangan yang seharusnya dengan alasan pesawat telah melebihi kapasitasnya. Ganti rugi yang diberikan berupa pengalihan Penggugat ke penerbangan lain tanpa kewajiban

(16)

membayar biaya tambahan dan/atau memberikan konsumsi, akomodasi, dan biaya transportasi apabila tidak dimungkinkan untuk mengalihkan Penggugat ke penerbangan lain. Melalui kesaksian beberapa orang saksi, yang notabenenya merupakan penumpang yang juga tidak diangkut pada penerbangan JT. 743, diketahui bahwa Tergugat telah menawari kompensasi berupa penginapan, transportasi, makan, dan pengalihan ke penerbangan lain pada keesokan harinya atau pada tanggal 20 Oktober 2011, tetapi Penggugat menolak untuk menerima kompensasi tersebut. Penulis berpendapat bahwa alasan Penggugat menolak pemberian kompensasi yang ditawarkan oleh Tergugat ialah karena Penggugat khawatir akan terjadi pelepasan hak (rechtsverwerking). Yang dimaksud dengan pelepasan hak (rechtsverwerking) ialah suatu sikap dari pihak kreditur yang dapat disimpulkan oleh pihak debitur bahwa pihak kreditur tidak akan menuntut ganti rugi kepada pihak debitur.16 Dengan demikian, dikhawatirkan apabila Penggugat menerima kompensasi yang ditawarkan oleh Tergugat maka Tergugat akan menyimpulkan bahwa Penggugat tidak lagi memperdulikan haknya untuk memperoleh ganti rugi selain yang ditawarkan oleh pihak Tergugat sehingga apabila kemudian Penggugat menuntut ganti rugi maka dikhawatirkan hakim tidak akan menerima tuntutan ganti rugi tersebut. Dimana pada nyatanya dalam hal penumpang yang dirugikan merasa tidak puas atas besaran ganti rugi yang di atur dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 Jo. Peraturan Menteri Perhubungan No. 92 Tahun 2011 maka penumpang dapat menuntut ganti rugi lainnya melalui pengadilan, arbitrase, atau alternatif penyelesaian sengketa lain sesuai ketentuan peraturan perundangan-undangan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 23 Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 Jo. Peraturan Menteri Perhubungan No. 92 Tahun 2011.17

Adapun prinsip tanggung jawab yang digunakan atas peristiwa tidak diangkutnya penumpang dengan alasan kapasitas pesawat udara ialah prinsip tanggung jawab praduga bersalah (presumption of liability) sehingga pada kasus ini Tergugat dianggap bertanggung jawab atas kerugian yang timbul pada diri                                                                                                                

16 http://www.pn-lahat.go.id/index.php/kpr/kepaniteraan-perdata/kitab-undang-undang-perdata, diunduh pada 5 Juli 2014.

17http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt4e6d82a093116/node/lt4a0a533e31979 /bagaimana-cara-menuntut-ganti-kerugian-dari-maskapai-penerbangan?-, diunduh pada 5 Juli 2014.  

(17)

Penggugat atas peristiwa tidak diangkutnya Penggugat pada penerbangan JT. 743 dengan alasan pesawat telah melebihi kapasitasnya. Menurut prinsip ini, Tergugat hanya terikat memberi ganti rugi sebesar jumlah yang telah ditetapkan dalam Pasal 11 Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 Jo. Peraturan Menteri Perhubungan No. 92 Tahun 2011, yakni ganti rugi berupa pengalihan Penggugat ke penerbangan lain tanpa kewajiban membayar biaya tambahan dan/atau memberikan konsumsi, akomodasi, dan biaya transportasi apabila tidak dimungkinkan untuk mengalihkan Penggugat ke penerbangan lain. Akan tetapi, dikarenakan Tergugat terbukti telah melakukan kesalahan yang disengaja dimana tiket yang diperjualbelikan ialah sebanyak 215 buah padahal Tergugat mengetahui bahwa pesawat yang akan diberangkatkan dari Manado ke Jakarta pada tanggal 19 Oktober 2011 berkapasitas 205 kursi maka Tergugat harus bertanggung jawab secara tidak terbatas terhadap kerugian yang dialami Penggugat, baik material maupun immaterial. Dengan kata lain, Tergugat tidak lagi terikat dengan jumlah ganti rugi yang ditetapkan dalam Pasal 11 Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 Jo. Peraturan Menteri Perhubungan No. 92 Tahun 2011.

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan maka penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan antara lain:

1. Peristiwa tidak diangkutnya penumpang dengan alasan melebihi kapasitas pesawat udara dapat digolongkan sebagai tindakan wanprestasi utamanya apabila dikaitkan dengan pendapat dari Nieuwenhuis dan dapat pula digolongkan sebagai perbuatan melawan hukum apabila dikaitkan dengan pertimbangan Mahkamah Agung pada kasus PT. Dua Berlian melawan Lee Kum Kee Co Ltd yang pada intinya menyatakan bahwa meskipun terdapat hubungan kontraktual di antara para pihak, tetapi apabila tindakan salah satu pihak terbukti bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian maka salah satu pihak tersebut dapat dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum. Lebih jauh lagi, tindakan Tergugat juga telah

(18)

memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang terdapat pada Pasal 1365 KUHPerdata.

2. Berdasarkan Pasal 147 Ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 2009, Tergugat dianggap bertanggung jawab atas peristiwa tidak diangkutnya Penggugat pada penerbangan JT. 743 sesuai dengan jadwal penerbangan yang seharusnya dengan alasan melebihi kapasitas pesawat udara dimana menurut Pasal 11 Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 Jo. Peraturan Menteri Perhubungan No. 92 Tahun 2011 Tergugat wajib untuk memberi ganti rugi berupa pengalihan Penggugat ke penerbangan lain tanpa kewajiban membayar biaya tambahan dan/atau memberikan konsumsi, akomodasi, dan biaya transportasi apabila tidak dimungkinkan untuk mengalihkan Penggugat ke penerbangan lain. Sementara implementasi prinsip tanggung jawab praduga bersalah (presumption of liability) pada kasus ini ialah Tergugat dianggap bertanggung jawab atas kerugian yang timbul pada diri Penggugat atas peristiwa tidak diangkutnya Penggugat pada penerbangan JT. 743 dengan alasan pesawat telah melebihi kapasitasnya. Dimana Tergugat hanya terikat memberi ganti rugi sebesar jumlah yang telah ditetapkan dalam Pasal 11 Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 Jo. Peraturan Menteri Perhubungan No. 92 Tahun 2011. Akan tetapi, dikarenakan pada kasus ini Tergugat telah terbukti melakukan kesalahan yang disengaja dengan menjual tiket melebihi kapasitas fisik pesawat udara maka Tergugat harus bertanggung jawab secara tidak terbatas terhadap kerugian yang dialami Penggugat, baik secara material maupun secara immaterial.

Saran

Beberapa saran yang dapat penulis berikan terkait penelitian ini antara lain: 1. Perlu adanya definisi serta pengaturan yang lebih jelas terkait peristiwa

tidak diangkutnya penumpang dengan alasan melebihi kapasitas pesawat udara sehingga kepastian hukum bagi penumpang dapat lebih

(19)

terjamin, mengingat peristiwa ini berbeda dengan peristiwa keterlambatan penerbangan dan peristiwa pembatalan penerbangan. 2. Perlu kecermatan hakim dalam memutus setiap perkara sehingga hakim

dapat menghindari kesalahan sebagaimana yang terjadi pada kasus ini dimana Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah melakukan ultra petita dengan tetap mengabulkan gugatan Penggugat, tetapi dengan melakukan perubahan redaksi dari perbuatan melawan hukum menjadi wanprestasi.

Daftar Referensi

Cahyono, Akhmad Budi dan Surini Ahlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata, Jakarta: CV. Gitama Jaya, 2008.

Djojodirdjo, Moegni. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita, 1982.

Fuadi, Munir. Perbuatan Melawan Hukum; Pendekatan Kontemporer. Bandung: PT. Citra Aditya Mandiri, 2002.

Nieuwenhuis, Hans. “Tort”. (Februari, 2010): 1.

http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate-14798-chapter1pdf.pdf. Diunduh 3 Juli 2014.

http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt4e6d82a093116/node/lt4a0a533e

31979/bagaimana-cara-menuntut-ganti-kerugian-dari-maskapai-penerbangan?-. Diunduh 5 Juli 2014.

http://www.pn-lahat.go.id/index.php/kpr/kepaniteraan-perdata/kitab-undang-undang-perdata. Diunduh 5 Juli 2014.

(20)

Indonesia, Undang-undang Penerbangan. UU No. 1 Tahun 2009. LN No. 1 Tahun 2009.

Martono dan Agus Pramono, Hukum Udara Perdata Internasional dan Nasional. Cet. 1. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2013.

Martono dan Usman Melayu, Perjanjian Angkutan Udara di Indonesia. Bandung: Mandar Madju, 1996.

Mertokusumo, Sudikno. Penemuan Hukum Suatu Pengantar. Cet. 2. Yogyakarta: Liberty, 2001.

Setiawan. Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata. Bandung: Alumni, 1992.

Setiawan. “Empat Kriteria Melawan Hukum dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi.” Dalam Varia Peradilan No. 16 Th II. Jakarta: 1987.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Cet. 14. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2012.

Soesilawati, Sri. Hukum Perdata; Suatu Pengantar. Cet. 1. Jakarta: Gitama Jaya, 2005.

Wiradipradja, E. Saefullah. Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Terhadap Penumpang Menurut Hukum Indonesia. Jakarta: 2006.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil pengujian untuk balok laminasi bambu petung dengan bambu apus akibat pengaruh suhu kempa dapat direkomendasikan untuk dipakai dalam komponen kapal untuk

Dari masalah inilah dibutuhkanlah rancangan sebuah sistem yang dapat membantu dokter dalam mencatat medical record pasien secara online, sehingga data-data pasien

Seterusnya untuk mengkaji struktur Tari Ula-ula Lembing yang terdapat dalam kebudayaan masyarakat melayu Aceh Tamiang, yang merupakan media seni gerak yang

Sesuai ketentuan Dokumen Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Pasca Kualifikasi dengan metode pelelangan umum BAB III E.29.1 Pembuktian Kualifikasi terhadap peserta yang

Karena diidentifikasi lebih dari satu alternatif pemecahan masalah, maka kita harus memilih dan mengurutkan alternatif mana yang terbaik, dan waktu yang

Di Jepang untuk masuk kedalam onsen (pemandian air panas) tidak diperbolehkan memakai pakaian sehelai benang pun, tentu untuk individu dari negara indonesia akan

Taman Rekreasi adalah suatu usaha yang menyediakan tempat dan berbagai jenis fasilitas untuk memberikan kesegaran jasmani dan rohani yang mengandung unsur

Kelompok Kerja (Pokja) II Jasa Konstruksi Panitia Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Lingkup Pemerintah Daerah Kabupaten Sabu Raijua akan melaksanakan pelelangan Umum