• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sufisme di Tengah Masyarakat Postmodernisme Oleh: Barsihannor MZ * Kata kunci: humanisme, posmodernisme, recontructed sufism

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sufisme di Tengah Masyarakat Postmodernisme Oleh: Barsihannor MZ * Kata kunci: humanisme, posmodernisme, recontructed sufism"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Barsihannor MZ * Abstrak

Tulisan ini menyajikan sebuah analisis tentang fenomena masyarakat perkotaan yang hidup di tengah arus modernisasi dan globalisasi yang menjanjikan kemudahan dan kesenangan duniawi. Akan tetapi, ternyata kebahagiaan yang dirasakan bersifat kamuflatif dan semu. Masyarakat perkotaan modern terhempas oleh gelombang modernisasi yang begitu dahsyat.

Dunia materialisme modern menghancurkan tatanan dan nilai sendi-sendi kehidupan. Akibatnya, masyarakat panik, pegangan hidup mulai goyah dan jalan hidup pun mulai kehilangan arah. Sebaliknya pada sebagian kelompok masyarakat dunia terdapat pula mereka yang sudah mulai jenuh bahkan muak dengan glamouritas, materialisme, hidonisme, kompetisi tidak sehat, keserakahan, keangkuhan, sadisme, dan kekerasan. Mereka mulai mencari pegangan, arahan dan perlindungan untuk tetap meng”ada”kan dan menghadirkan nilai spiritualitas di dalam kehidupannya. Dalam konteks seperti ini, sufisme menjadi rujukan dan lahan subur bagi mereka yang mencari perlindungan dari ancaman duniawi yang penuh dengan sandiwara.

Kata kunci: humanisme, posmodernisme, recontructed sufism

A. Pendahuluan

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi disertai perubahan sosial dewasa ini melaju begitu cepat hampir-hampir meninggalkan dimensi spiritualitas. Produk-produk yang dihasilkannya kadang menjadi trauma bagi kemanusiaan. Ini pula yang pernah membuat seorang fisikawan kenamaan Albert Einstien merasa gundah. Menurutnya, ilmu dan teknologi yang mestinya membuat kehidupan sosial menjadi mudah justeru membawa nestapa. Dalam peperangan, ilmu dan teknologi membuat orang saling meracun, membantai dan menjegal. Dalam perdamaian ia telah membuat hidup manusia semakin dikejar dengan waktu dan penuh ketidakpastian.1

Keinginan Einstien ternyata jauh dari cita-cita sucinya semula untuk

menyanyikan hymne penuh puji dengan harapan adanya kemajuan pesat di

* Dosen dalam ilmu Pemikiran Islam di UIN Alauddin Makassar.

1Lihat G. J. Whitrow, “Einstien, Arbert” dalam The Encyclopaedia Americana, Cet. VI,

(2)

bidang keilmuan dan sosial. Sebaliknya perkembangan Iptek yang seharusnya merupakan keberkatan justeru menjadi “bumerang” bagi manusia dengan mengalirkan arus globalisasi dan informasi yang demikian dahsyat bahkan menurut Hosen Nasr, ilmu akhirnya menjadi penguasa

dan mendominasi alam.2

Munculnya manusia-manusia individualistik dan materialistik yang selalu ingin mencari jalan pintas (short-cut) merupakan indikasi dari fenomena perkembangan sosial di atas. Tata nilai agama mulai lentur dan luntur, bahkan ada tendensi agama hanya dianggap sebagai suatu kepentingan “kifayah” dan bukan kebutuhan pribadi.

Di era industrialisasi dan informasi ini sudah dapat diramalkan pengaruh dan akibat pertambahan penduduk, perubahan struktur ekonomi dan sosial-politik dan dekandensi moral sebagai efek samping dari perkembangan sosial serta munculnya dinamika polemik pemikiran melahirkan berbagai masalah dan konflik sosial sebagai implikasi dari

perubahan zaman, politik dan budaya.3 Sebaliknya pada sebagian

kelompok masyarakat dunia terdapat pula mereka yang sudah mulai jenuh bahkan muak dengan glamouritas, materialisme, hidonisme, kompetisi tidak sehat, keserakahan, keangkuhan, sadisme, kekerasan dan sebagainya. Mereka mulai mencari pegangan, arahan dan perlindungan untuk tetap meng”ada”kan dan menghadirkan nilai spiritualitas di dalam kehidupannya.

Dalam konteks seperti ini, sufisme menjadi rujukan dan lahan subur bagi mereka yang mencari perlindungan dari “ancaman” duniawi yang penuh dengan sandiwara. Hanya saja mungkinkan sufisme mampu memberikan jawaban dan menghilangkan kedahagaan rohani ? mengingat paradigma sufisme terlanjur dikemas dalam sebuah tatanan “anti duniawi”, padahal manusia yang berada di dalamnya justru berada dalam genggaman dunia itu sendiri.

Sebuah fenomena kehidupan dewasa ini—terutama di kota besar— menunjukkan munculnya berbagai wacana spiritual, baik dalam bentuk seminar, training ESQ maupun pengajian kelompok-kelompok yang bertujuan untuk mencerahkan jiwa. Kehadiran kelas-kelas sufi ini, di satu sisi menjadi sebuah alternatif menjanjikan, tetapi di sisi lain juga mengkhawatirkan.

Dikatakan menjanjikan, karena sufisme dapat menjadi lahan eskapisme positif bagi mereka yang sudah menemui jalan buntu mengejar

2Sayyed Hosen Nasr, A Young Muslim’s Guide to The Modern World, terj. oleh Hasti

Tarikat dengan judul Menjelajah Dunia Modern, (Bandung: Mizan, 1994), p. 194.

3Disari dari John Kenneth Galbraith, The Affluent Society, (New York: The

(3)

“kebahagiaan duniawi”, serta penjaga gawang kesucian jiwa di tengah masyarakat yang mengalami goncangan patologi kejiwaan. Sebaliknya dikatakan mengkhawatirkan karena budaya post-modernisme sering dituduh sebagai budaya yang sangat paradoks dan dapat menggiring pada paradoks sufisme itu sendiri, sehingga sufisme terperangkap dalam mekanisme mesin hasrat postmodernisme.

Beranjak dari persoalan di atas, penulis ingin menguraikan tentang sufisme dan kemanusiaan di era postmodern dengan mengemukakan rumusan masalah sebagai berikut : (1) Kenapa manusia melirik dunia sufisme sebagai alternatif ? (2) Bagaimana hubungan sufisme dengan kemanusiaan ? (3) Bagaimana fenomena sufisme kini dan di masa mendatang ?

B. Fenomena Sufisme dalam Masyarakat Urban

Sufisme dalam masyarakat posmodern4 ibarat sebuah “cahaya” di tengah lorong gelap kehidupan hasrat manusia, seuntaian “mutiara” di tengah padang tandus immoralitas, seberkas “senyuman” di tengah hiruk-pikik ketidakacuhan, individualisme dan hidonisme. Ia memberikan secercah harapan kepada manusia untuk menghapus kedahagaan spiritual. Kenapa fenomena ini terjadi ?

Harifuddin Cawidu mengemukakan tiga faktor utama penyebab manusia-manusia perkotaan modern melirik spiritualitas sebagai alternatif yaitu:5

1. Faktor ideologi dan pandangan hidup

Masyarakat modern (diwakili oleh Barat) didominasi oleh pandangan hidup materialistik, pragmatis dan sekularistik. Pandangan hidup semacam ini amat menjunjung tinggi nilai material dan menafikan aspek spiritual. Akibatnya terjadi desakralisasi kehidupan. Realitas hidup adalah “kini/kekinian” dan “di sini/kedisinian”. Masa depan, apalagi hidup sesudah mati, merupakan hal yang nisbi.6 Jika mereka beragama, tampaknya agama hanya dianggap sebagai sebuah identitas simbolik,

4Postmodernisme adalah masa yang ditandai oleh semakin majemuknya wacana

sosial, kultural dan keagamaan antara lain akibat globalisasi informasi, pluralisme menjadi kenyataan yang tidak bisa dihapuskan. Lihat Azyumardi Azra, Konteks berteologi di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1999), p. 125. Postmodernisme membawa kepada nilai pentingnya keragaman, kebutuhan terhadap toleransi dan perlunya memahami orang lain, lihat Akbar S. Ahmad, Postmodernism and Islam: Predicament and Promise, terj. oleh M. Sirozi dengan judul Postmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Islam, (Bandung: Mizan, 1992), p. 27.

5Harifuddin Cawidu, Sufisme dan Fenomena Spiritualitas Masyarakat Industri (Suatu

Telaah terhadap Tren Religiusitas di Akhir Abad XX), (Makassar: PPs IAIN Alauddin, 1994), p. 4.

(4)

bukan sebagai suatu nilai yang tercermin dalam perilaku. Konsekuensinya terjadilah pembusukan nilai agama akibat agama melekat pada individu yang mengartikulasikan nilainya sebatas simbol/topeng.

Pandangan hidup seperti di atas berpadu dengan falsafah humanistik esktrem yang menjadikan manusia sebagai pusat dan ukuran segala-galanya. Di satu sisi mereka mengagungkan kedudukan manusia sebagai makhluk yang termulia, tetapi di sisi lain justeru menginjak-injak harkat dan martabat manusia itu sendiri. Di samping itu, humanisme hipokrit juga melanda dunia modern. Pada waktu tertentu, atas nama demokrasi dan keadilan terdapat sekelompok bangsa perkasa menindas, membantai bahkan menghancurleburkan peradaban bangsa lain, tetapi di sisi lain, juga atas nama keadilan dan demokrasi bangsa perkasa tersebut juga membiarkan kejahatan kemanusiaan terjadi di depan batang hidungnya.7

Gejala semacam ini menyebabkan terjadinya distorsi pada nilai-nilai kemanusiaan. Agama dan Tuhan seakan diabaikan, bahkan ada kecenderungan manusia modern memerankan dirinya sebagai “tuhan” di atas bumi dan membuang dimensi transcendental dari kehidupannya. 2. Faktor dominasi Ilmu Pengetahuan dan teknologi

Kecanggihan material sebagai hasil kemajuan ilmu dan teknologi dewasa ini telah mempermudah hidup dan kehidupan manusia. Banyak kesenangan dan fasilitas hidup dapat dinikmati dengan bertambahnya setiap penemuan baru di bidang teknologi.8 Persoalan teknologi ini

sesungguhnya bukanlah hal baru. Sejak 5000 tahun yang lalu orang sudah

memanfaatkan teknologi, sesuai dengan ukuran zamannya.9

Akan tetapi fenomena dominasi Iptek yang dipaketkan dengan ideologi kapitalisme menyebabkan manusia kehilangan kebebasan dan makna kemanusiannya yang hakiki di tengah kehidupan megamekanis. Peran-peran manusia telah digantikan oleh dominasi mesin yang bersifat atomistis, bahkan pemberian nilai-nilai edukatif orang tua di rumah tangga sekalipun, diambil alih oleh peran media elektronik. Jika pada masa lalu, anak tertidur di dalam belaian ibunya, diiringi dengan senandung religius, budaya atau dongeng sebelum tidur, fenomena sekarang menunjukkan sebaliknya. Tidak sedikit anak tertidur di depan tayangan sinetron televisi

7Lihatlah misalnya bagaimana Amerika dan sekutunya menghancurkan Irak dan

Afganistan, termasuk membiarkan berlarut-larutnya penderitaan bangsa Palestina, sementara di sisi lain mereka membiarkan kejahatan Israel atas dunia Islam terutama Palestina.

8Lihat Asmaran, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Jakarta: LKiS, 1994), p. 1.

9Lihat Masrshal G. S. Hodgson, The Venture of Islam, (Chicago: The University of

(5)

yang menyajikan kekerasan, dendam, romantisme, pergaulan bebas dan lain-lain.

Akibatnya, tujuan hidup mulai kabur, ekosistem dikacaukan, masyarakat diracuni oleh posmodernisme, lembaga perkawinan tidak dianggap lagi sakral, rumah tangga berantakan, adat dan tradisi menjadi rusak dan iman telah lama menguap dari lubuk hati manusia. Mereka terasing dari dirinya sendiri, dari lingkungan dan dari Tuhannya.10

Terjadilah apa yang diistilahkan ahli psikologi sebagai dislokasi kejiwaan, disorientasi dan deprivasi relatif. Mereka merasa tersingkir, terhempas dalam ketidakberdayaan. Eskapisme ini akhirnya mengambil bentuk mabuk-mabukan, penyalahgunaan zat-zat adiktif, selingkuh (memburu “kesenangan” di luar rumah tangganya) dan ada juga yang lari ke agama atau ke pseudo agama yang menjanjikan ketenteraman batin.

3. Melemahnya pengaruh gereja tradisional menyebabkan

disfungsionalnya agama Nasrani (Kasus di Barat)

Pelarian manusia kepada non organized religion disebabkan agama formal di Barat (Nasrani) tidak memberi tempat yang sejuk bagi kegersangan masyarakat. Agama formal tersebut tidak cukup akomodatif menampung aspirasi, keresahan, kegelisahan jiwa, frustasi, dan penyakit modern seperti perceraian, broken home, kekerasan seksual dan berbagai bentuk sadisme yang lain. Jembatan Golden Gate di Amerika Serikat sebagai simbol kemajuan Intelegence Qoutient (IQ) manusia, justeru saat ini menjadi saksi bisu tewasnya ribuan manusia akibat terjun bebas dari jembatan tersebut.

Kondisi seperti ini terjadi akibat tidak adanya keseimbangan antara dimensi zikir dan pikir, rasa dan rasio. Akal tidak diharmoniskan dengan wahyu, aspek individu tidak diimbangi dengan sosial, kreatifitas tidak dibarengi dengan cita, cinta kasih dan sebagainya.11 Akibatnya, manusia

modern (perkotaan ) terhempas dalam badai kehampaan. Oleh karena itu, agama menawarkan jalan alternatif (khususnya) di dalam ajaran Islam melalui pintu sufisme/tasawuf yang lebih mengedapankan kasih sayang, humanisme, peradaban, kesamaan yang berorientasi kepada persaudaraan universal.

Terdapat beberapa cara pandang mengapa urban sufism (Sufisme

perkotaan) semakin berkembang terutama di kota-kota besar. Dalam kaitan ini, Komaruddin Hidayat memberikan beberapa catatan penting. Pertama, sufisme di perkotaan lahir sebagai bentuk dari pencarian makna hidup (searching for meaning) akibat menguatnya paham dan gaya hidup

10Harifuddin Cawidu, Sufisme, p. 6. 11Ibid., p. 7.

(6)

materialisme yang menyisakan ruang hampa dan kering dalam lubuk hati seseorang. Kedua, maraknya spritualitas pada masyarakat perkotaan

mungkin juga sebagai medium catarsis dari rasa dosa yang melilit

kehidupan sosial serta sebagai pelarian diri dari kepengapan hidup di kota modern yang penuh kompetisi (Psychological Escapism). Ketiga, maraknya fenomena sufisme juga dilihat sebagai respons dan kritik terhadap wacana keagamaan yang kering dan legalisitik yang kurang memberikan ruang imajinasi dan eskplorasi rasa keagamaan, sehingga ruang agama terasa sempit dan penuh ancaman neraka yang menakutkan. Keempat, pendekatan tasawuf dirasakan sebagai jalan termudah dan ternyaman untuk menemukan identitas keberagamaan bagi kelas menengah kota yang selama ini merasa jauh dari agama.12

Di atas semua itu, sufisme perkotaan harus dilihat sebagai fenomena yang terkait dengan tasawuf yang berakar dalam tradisi Islam, baik secara historis maupun teologis. Tasawuf dalam Islam sesungguhnya aspek esoterik penting bahkan inti (heart) dari esoterisme Islam.

Lebih jauh Kamaruddin Hidayat menyatakan bahwa sufisme perkotaan yang tumbuh saat ini lebih merupakan ekspresi dan minat orang pada ajaran agama yang menekankan dimensi spiritual-psikologis yang jelas berbeda dari pendekatan fikih, politik, teologi dan filsafat yang memang lebih mapan dalam tradisi kajian keislaman. Kritik yang sering dilontarkan kepada sufisme perkotaan adalah bahwa mereka mencari jalan pintas dan nyaman untuk mendekati agama tanpa harus bersusah payah melakukan kajian intelektual secara mendalam. Yang penting kebutuhan psikologis keagamaan terpenuhi, sementara dahaga intelektual agak terlupakan.

Berbeda dengan sufisme konvensional, gerakan sufisme perkotaan berasal dari kelas menengah ke atas. Sufisme yang pernah dituduh sebagai biang keladi kemunduran Islam, bertentangan dengan etos modernisme dan dianggap sebagai infiltrasi budaya luar yang menggerogoti Islam, kini justeru menjadi trend di kalangan orang-orang ”berada” di perkotaan.

Tekanan kepada dimensi kemanusiaan, menjadikan sufisme semakin relevan dan mendesak diaplikasikan dalam mengadapi era globalisasi ini, yaitu zaman yang menyaksikan proses semakin menyatunya peradaban seluruh umat manusia berkat kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi.13

12Komaruddin Hidayat, Kata pengantar dalam, Arifin Ilham, Dai Kota Penabur

Kedamaian Jiwa, karya Tb Ace Hasan Sadzily, (Jakarta: Hikmah, 2005), p. vi.

13Lihat Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina,

(7)

Berkenaan dengan itu, umat Islam boleh merasa mujur, sebab mereka mewarisi peradaban yang pernah benar-benar berfungsi sebagai peradaban global. Kosmopolitanisme Islam pernah menjadi kenyataan sejarah, yang meratakan jalan bagi terbentuknya warisan kemanusiaan yang tidak dibatasi oleh pandangan-pandangan kebangsaan sempit dan

parokialistik.14 Jika sekarang kita menumbuhkembangkan semangat

kemanusiaan universal melalui sufisme, maka sebagian besar hal itu berarti merupakan pengulangan sejarah.

Sufisme yang dikenal di dalam ajaran Islam sangat menekankan ajaran kemanusiaan. Hal ini pula yang menyebabkan seorang sufi besar

Ibrahim bin Adham15 harus berjalan ke sana ke mari untuk

mengembalikan semut ke sarangnya, akibat semut tersebut terbawa di jubahnya. Jika bukan karena humanisme yang tinggi, hal semacam ini tentu tidak akan pernah terjadi, bahkan orang yang tidak memiliki nilai-nilai sufisme, dengan semena-mena membunuh atau menyakiti binatang.

Jika kepada binatang saja seorang sufi begitu sayang, apalagi kepada sesama manusia. Bagi seorang sufi, humanisme transcendental dan peri-kemahklukan harus dijunjung tinggi. Humanisme sufistis jauh mengatasi humanisme yang dianut oleh masyarakat Barat. Jika yang pertama menekankan terhadap semangat kasih sayang dan cinta abadi kepada segenap makhluk, maka humanisme Barat menjadikan manusia sebagai titik sentral segala-galanya, sementara makhluk lain harus mengabdi untuk kepentingan manusia. Oleh karena itu, humanisme Barat langsung atau tidak langsung telah melegalkan terjadinya eksploitasi alam secara

semena-mena untuk kepentingan manusia.16

Humanisme yang diajarkan dalam sufisme adalah humanisme

transcendental yang berbasis tauhid. Menurut Harun Nasution, dari ajaran

dasar tauhid ini timbullah paham bahwa segenap makhluk ini seluruhnya

bersaudara, meski berbeda warna kulit, bahasa dan agama.17 Tuhan adalah

objek pengabdian dan penghambaan yang sama bagi segenap makhluk. Di hadapan Tuhan, semua makhluk pada hakekatnya sama, kecuali takwa yang membedakannnya. Bahkan dalam filsafat Ibn 'Arabi (w.638 H/1240 M) yang ada hanyalah Allah, sebagai wujud yang hakiki. Selain Allah pada dasarnya tidak mempunyai wujud sendiri karena wujudnya tergantung

14Ibid., p. xix.

15Ia adalah sufi abad pertama dan kedua Hijriyah. Lahir di Balk dan meninggal di

Persia. Lihat Asmaran, Pengantar, p. 263.

16 Harifuddin Cawidu, Sufisme, p. 9.

(8)

kepada wujud Allah.18 Oleh karena itu, pluralisme yang tampak pada makhluk pada hakikatnya tidak substantif, sehingga tidak perlu dipertentangkan, apalagi menjadi pemicu terjadinya permusuhan atau konflik.

Bertolak belakang dengan konsep humanisme sufistik yang

transcencdental, humanisme rasional juga memperlihatkan kontradiksi pada

dirinya, khususnya pada tingkat implementasi. Di negara-negara industri yang memproklamirkan diri sebagai berpaham humanisme, justru kekerasan, sadisme, pemerkosaan, pembunuhan dan kriminalitas lainnya jauh lebih tinggi dibanding negara lain. Superioritas dan hegemoni menyebabkan mereka merasa berhak untuk memaksakan kehendaknya dan mendikte serta menghakimi negara-negara lain atas nama humanisme dan hak asasi. Inkonsistensi ini terjadi karena landasan pijakannya hanya pada sudut humanisme rasional, bukan transcendental.19

Di dalam ajaran tasauf, humanisme tidak mengenal demarkasi dan deskriminasi rasial. Pijakan dasarnya adalah melihat selain dirinya sebagai dirinya sendiri yang harus diperlakukan sama dengan memperlakukan diri sendiri. Ajaran cinta kasih menjadi ciri utama humanisme sufistis. Konsep

ini seirama dengan hadis Nabi saw sebagai diriwayatkan oleh Bukhari.

ﻦﻋ

ﹴﺲﻧﹶﺃ

ﻦﻋ

ﻲﹺﺒﻨﻟﺍ

ﻰﱠﻠﺻ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻪﻴﹶﻠﻋ

ﻢﱠﻠﺳﻭ

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﺎﹶﻟ

ﻦﻣﺆﻳ

ﻢﹸﻛﺪﺣﹶﺃ

ﻰﺘﺣ

ﺐﺤﻳ

ﻪﻴﺧﹶﺄﻟ

ﺎﻣ

ﺐﺤﻳ

ﻪِﺴﹾﻔﻨﻟ

.

Beranjak dari doktrin semacam inilah, salah seorang sufi perempuan Rabiah al Adawiyyah (w. 185 H/713 M) mengembangkan konsep

mahabbah dalam ajaran tasaufnya. Tuhan bagi Rabiah, bukan sekedar zat

yang dipuja, tetapi juga dicinta. Karena cinta kepada Tuhan yang memiliki alam ini, maka cinta itu juga terpancar kepada segenap makhluknya. Memandang, melihat, merasakan sesuatu di luar dirinya, harus atas dasar cinta. Cinta sebagai fondasi nilai humamnisme. Oleh karena itu, berbuat baik dalam masalah sosial maupun ibadah, semata-mata atas dasar cinta.

Rabiah berkata “ Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena aku takut kepada neraka…. bukan pula ingin masuk surga….tetapi aku mengabdi karena aku cinta kepadaNya. Tuhanku! jika aku mengabdi kepadaMu karena takut kepada neraka, bakarlah aku di dalamnya, dan jika kupuja Engkau karena mengharapkan surga, jauhkanlah aku daripadanya, tetapi jika Engkau kupuja karena semata-mata karena Engkau, maka

18 Ibn Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, Juz II, (Cairo: Nur al-Saqafat al-Islamiyah,

1972), p. 223.

(9)

jangan sembunyikan kecintaanMu yang kekal dariku.20 Begitu mendalam cinta Rabiah kepada Allah, sehingga di hatinya tidak ada tersisa ruang untuk sebuah kebencian, bahkan kepada syaitan sekalipun karena seluruh lorong hatinya dipenuhi cinta ilahi.

Dengan mencermati fenomena humanisme sufistis sebagaimana dikembangkan di dalam ajaran tasawuf dapat disimpulkan bahwa ajaran sufisme tentang humanisme ini sangat tepat dikembangkan dalam masyarakat modern yang sedang mengalami krisis ekologi dan kemanusiaan ini. Kemanusiaan yang diajarkan di dalam tasawuf adalah persamaan hakiki dan substantif yang berpijak pada filosofi humanistis dan kemakhlukan, sementara implementasinya senantiasa mengakar pada ajaran tauhid—ajaran yang menekankan adanya keragaman dalam kesatuan dan kebebasan dalam keterikatan yang telah diatur oleh Allah.

C. Rekonstruksi Sufisme

Jika fenomena sufisme masih berjalan seperti dalam bentuk kelahirannya pada masa lalu, ia akan menjadi sebuah delima dalam kehidupan yang serba modern ini. Memalingkan masyarakat dari segala bentuk materi di tengah dunia yang justeru bergantung kepada materi (teknologi, transportasi, komunikasi dan lain-lain) adalah sesuatu yang amat sulit.

Hasan Hanafi sebagai dikutip oleh Harifuddin Cawidu menolak dengan tegas sufisme semacam ini. Atas nama gerakan kiri Islam, dia melontarkan kritik pedas terhadap sufisme sebagai penyebab dekadensi kaum muslimin, sebuah kritik yang sudah sering terdengar sebelumya. Menurut Hasan Hanafi, orang-orang sufi yang cenderung meninggalkan duniawi adalah orang yang sok suci. Karena itu, sufisme ditolak atas dasar asosial, ahistoris, egoistik, naif dan destruktif. Nilai yang dikembangkan di dalamnya menurut Hanafi semuanya serba negatif dan mematikan kreatifitas.21

Maqamat seperti sabar, rida, juhud, wara, tawakkal, demikian pula

konsep al-faqr, al-khauf dan alju’ membuat manusia benar-benar kehilangan kreatifitas, sedangkan konsep tahallul dan al-Ijtihad telah menenggelamkan manusia dalam ilusi semu. Hal ini akan terjadi jika fenomena ajaran sufisme tidak berubah, dipahami dan diimplementasikan dengan mengabaikan ruang dan waktu kekinian.

20 Harus Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,

1973), p. 72.

(10)

Fenomena semacam ini sungguh masih banyak dilakukan oleh kaum muslimin, sehingga tidak aneh hingga sekarang kondisi umat Islam masih berjalan di tempat di tengah kompetesi lari cepat penduduk dunia. Di saat orang lain telah menciptakan teknologi komunikasi tercanggih, umat Islam masih sibuk berzikir ritual di rumah maupun di mesjid. Zikir bagi mereka masih dipahami sebatas melafalkan al-kalimat al-tayyibah.22 Gerakan umat Islam masih terlalu kaku, dibatasi oleh konsep halal dan haram, meski hal itu sesungguhnya masih dianggap khilafiyah.

Umat Islam masih sibuk “bertengkar” dengan umat Islam sendiri. Mereka masih senang menyalahkan kelompok lain, hanya karena

persoalan khilafiyah. Membangun persamaan dengan sesama Muslim saja

masih belum mampu, apalagi membangun persaudaraan dengan orang yang tidak seagama.

Implementasi maqamat masih tidak berubah. Sabar diartikan sebagai

kondisi kejiwaan yang rela menerima apa adanya meski hak-haknya diabaikan. Rida dipahami sebagai keadaan jiwa yang ikhlas menerima keadaan apapun sebagai sebuah takdir Tuhan, sehingga membuat kita membiarkan segala hal, tawakkal membuat kita mengabaikan masa depan, dan zuhud membuat kita memalingkan diri dari kehidupan dunia. Hidup adalah orientasi masa depan bukan sekarang.

Mencermari fenomena seperti itu, sufisme untuk kondisi kekinian dan kedisinian memerlukan rekonstruksi nilai-nilai yang harus diselaraskan dengan perkembangan zaman. Sufisme tidak harus lagi dipahami sebagai ajaran yang memalingkan diri dari kehidupan dunia, dan memasung kreatifitas, tetapi sufisme harus dipahami sebagai nilai-nilai esotesris yang

memberikan inspirasi transcendental untuk membumikan ajaran kewahyuan

22Sebenarnya Islam mengajarkan tiga buah jenis zikir yang harus dilakukan

secara sinergis. Pertama, zikir lisani, yaitu yaitu zikir dengan cara melafalkan sejumlah wirid (bacaan) yang dapat menghantarkan pembacanya merasa dekat kepada Allah. Zikir seperti ini mampu memberikan pencerahan spiritualitas kepada pembacanya sehingga dia merasakan ketenangan dan kedamaian. Kenapa zikir dapat memberikan terapi kesehatan kepada pembacanya? Tidak heran, karena Ibn Sina menyatakan kesembuhan manusia dari sakitnya ditentukan dua faktor; 1) medis, dan 2) kondisi kejiwaan (Ibn Sina; al-Thib). Zikir lisani merupakan upaya terapis untuk menetralkan kondisi kejiwaan dari sejumlah problematika psikologis, agar mampu kembal ke titik nol (zero). Kedua, zikir qalbi yaitu sebuah proses mengingat Tuhan melalui kemampuan metanarasi dan metafisika (kemampuan ”membaca” di balik sesuatu atau teks). Jika memandang matahari, bukanlah materti matahari yang menjadi objek renungannya, tetapi ”sesuatu” di balik matahari tersebut yaitu kekuasaan Tuhan yang diaktualisasikan (tajalli) melalui cahaya yang bersinar. Karena itulah Allah juga di sebut An- Nur (Sang Maha Cahaya). Ketiga, zikir

amali yaitu semua aktifitas kehidupan yang dilakukan secara ikhlas, bermanfaat buat diri dan orang lain serta tidak bertentangan dengan aturan dan nilai-nilai agama.

(11)

dalam tatanan dunia secara aktif dan kreatif melalui gerakan umat dalam setiap dinamika sejarah dan peradaban.

Ibrahim Madkur dengan nada antusias mendudukkan sufisme dalam hubungan perimbangan antara kecenderungan duniawi dan ukhrawi. Islam selalu mengajak manusia berkarya meraih dunia demi menikmati segala kenikmatan hidup yang memang diperbolehkan.23 Jika sufisme dimaknai seperti itu, minimal sebagai dikemukakan oleh Ibrahim Madkur, maka ia akan menjadi harapan di masa kini maupun ke depan. Sebuah konsep penyatuan antara rasio dan rasa, zikir dan pikir atas dasar humanisme, cinta, kasih dan persaudaraan hakiki.

Hal ini diperkuat lagi dengan penyataan Reynold A.Nicholson yang mengatakan bahwa sufisme merupakan salah satu unsur vital ajaran Islam. Menurutnya, tanpa adanya pemahaman mengenai gagasan dan bentuk sufisme dalam Islam, maka agama Muhammad hanya dipahami di

permukaannya saja.24 Bahkan Khaja Khan menyatakan jika Islam

dipisahkan dari aspek esoterisnya (sufisme), maka ia hanya menjadi kerangka formalitas saja yang akhirnya akan menghilangkan keindahan Islam itu sendiri.25 Dengan demikian, kini maupun ke depan sufisme

(reconctructed sufism) dengan wajahnya yang telah direkonstruksi,

menjanjikan alternatif terbaik bagi manusia untuk mencari kedamaian dan pemenuhan kedahagaan spiritualitas.

Di tengah masyarakat posmodern, selain lobang ozon yang menganga mengancam kehidupan manusia di bumi, ada lobang “ozon” lain yang tidak kalah bolongnya. Lobang “ozon” spiritualitas telah kehilangan bentuknya yang asli akibat bolongnya sudah sedemikian parah. Lobang ini tidak mengancam manusia lewat penyakit fisik, tetapi melalui penyakit yang tidak kalah ganasnya yaitu ketidakpedulian, keangkuhan, kesombongan, angkara murka, kebencian, hedonisme, hilangnya rasa malu dan penindasan. Dengan demikian, reconstructed sufisme (sufisme dengan paradigma baru) diharapkan dapat menjadi mesin pengendali hasrat masyarakat yang tak terbatas dan liar.

Pembumian nilai sufisme merupakan sebuah keharusan sebagai proses pencucian jiwa-jiwa manusia yang kerdil dan kotor, nilai luhur sufisme harus terus diwacanakan di berbagai ruang kehidupan masyarakat, sehingga tumbuh nilai-nilai luhur seperti kasih sayang, keadilan,

23Ibrahim Madkur, Fi al-Falsafat al-Islamiyah I, (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1976 ), p. 66. 24R. A. Nicholson, Studies in Islamic Mysticism, (London: Cambridge University

Press, 1921), p. vi.

25Lihat Khan Sahib Khaja Khan, Studies in Tasawuf, (New Delhi: Idarat

(12)

kebersamaan, kejujuran, kepedulian dan kesantunan sebagai refleksi dari nilai sufisme di tengah masyarakat postmodernisme.

D. Penutup

Dari uraian sebelumnya, penulis menyimpulkan bahwa:

1. Kehidupan manusia harus dilandasi oleh prinsip keseimbangan, yaitu keseimbangan pemenuhan kebutuhan jasmani dan ruhani. Kebahagiaan hakiki tidak pernah dirasakan jika yang dipenuhi hanya kebutuhan jasmani semata, sebaliknya kehidupan tidak dapat dikatakan layak jika manusia hanya mengutamakan kebutuhan ruhani seraya mengabaikan kebutuhan jasmaninya.

2. Mengamalkan nilai-nilai sufisme dalam kehidupan postmodernisme

merupakan sebuah alternatif dalam mengimbangi kehidupan kapitalisme global yang menawarkan ruang yang di dalamnya hasrat dapat mengalir dengan bebas. Perangkap kapitalisme global menyeret manusia menjadi pelayan dari jaringan semiotika kapitalisme; irama dan gaya hidup; hanyut dalam badai hasrat yang tidak pernah berhenti, sehingga tidak memiliki lagi ruang bagi peningkatan kualias jiwa.

3. Untuk menyikapi perkembangan global seperti itu, sufisme yang

ditawarkan tampaknya tidak cukup dengan mengedepakan ajaran sufisme masa lalu. Nilai-nilanya harus dikembangkan, disesuaikan, direformulasi atau direkonstruksi sesuai dengan irama perkembangan zaman, dengan susbtansi yang nilai-nilainya tidak tercabut dari akar sufisme itu sendiri yang berlandaskan pada nilai-nilai humanistis dan

transcendental.

(13)

Daftar Pustaka

Ahmad, Akbar S., Postmodernism and Islam: Predicament and Promise, terj. oleh M. Sirozi dengan judul Postmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Islam .Bandung: Mizan, 1992.

Arabi, Ibn, al-Futuhat al-Makkiyah, II, Cairo: Nur al-Saqafat al-Islamiyah, 1972.

Asmaran, Pengantar Ilmu Tasawuf, Jogjakarta: LKiS, 1994.

Azra, Azyumardi, Konteks Berteologi di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1999. Cawidu, Harifuddin, Sufisme dan Fenomena Spiritualitas Masyarakat Industri

(Suatu Telaah terhadap Tren Religiusitas di Akhir Abad XX), Makassar:

PPs IAIN Alauddin, 1994.

Galbraith, John Kenneth, The Affluent Society, New York: The Americana Library, 1958.

Hidayat, Komaruddin, Kata pengantar dalam Arifin Ilham, Dai Kota Penabur

Kedamaian Jiwa, karya Tb Ace Hasan Sadzily, Jakarta: Hikmah, 2005.

Hodgson, Masrshal G. S., The Venture of Islam, Chicago: The University of

Chicago Press, 1974.

Khaja Khan, Khan Sahib, Studies in Tasawuf, New Delhi: Idarat al-Adabiyah, 1978.

Madjid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992. Madkur, Ibrahim, Fi al-Falsafat al-Islamiyah I, Cairo: Dar al-Ma’arif, 1976. Nasr, Sayyed Hosen, A Young Muslim’s Guide to The Modern World, terj. oleh

Hasti Tarikat dengan judul Menjelajah Dunia Modern, Bandung;

Mizan, 1994.

Nasution, Harun, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1995.

_______, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973. Nicholson,R.A., Studies in Islamic Mysticism, London: Cambridge University

Press, 1921.

Whitrow, G. J., "Arbert Einstien” dalam The Encyclopaedia Americana, Cet vi, Vol x, New York: Americana Corporation, 1977.

Referensi

Dokumen terkait