• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manajemen PNBP.doc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Manajemen PNBP.doc"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

2013

Manajemen PNBP

2013

KELOMPOK 5

ALFIAN DWI CHANDRA (04), DIAN JUWITA SARI (10),

LUTFIA NUR AFIFAH (16), RINO ROMADHONI

(22), TAUFIK ISMAIL (28)

sekolah tinggi akuntansi

negara

VII A Akuntansi

Reguler

(2)

Manajemen Penerimaan Negara Bukan

Pajak

I. Definisi dan Klasifikasi PNBP

A. Landasan Hukum Pengelolaan PNBP

1. UU Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 merupakan landasan utama penyelenggaraan pengelolaan PNBP. Sasaran yang diharapkan melalui Undang-undang PNBP, selain tertib administrasi dan penyetoran PNBP ke Kas Negara, juga memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat yang berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan agar dapat menikmati manfaat dari kegiatan yang menghasilkan PNBP. Pada akhirnya pelaksanaan Undang 20 Tahun 1997 tentang PNBP ini diarahkan pada upaya menunjang kebijaksanaan Pemerintah dalam pembangunan. Parameter yang ingin dicapai antara lain peningkatan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta investasi diseluruh pelosok tanah air.

Jika sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP, masih banyak ditemukan rekening antara di beberapa departemen/lembaga pemerintah non departemen Maka setelh lahirnya Undang-Undang tersebut, Menteri Keuangan mulai melakukan penertiban rekening yang ada di seluruh departemen/lembaga pemerintah non departemen, dan menginstruksikan agar seluruh pungutan PNBP disetorkan ke Kas Negara sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP.

Kelompok penerimaan yang termasuk dalam PNBP sesuai Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP meliputi:

a. penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah; b. penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam;

c. penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan; d. penerimaan dari kegiaatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah;

e. penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi;

(3)

f. penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah; g. penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang-undang tersendiri.

Sedangkan jenis-jenis PNBP yang berlaku pada instansi pemerintah atau Kementerian dan Lembaga, selanjutnya lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP, telah ditetapkan beberapa Peraturan Pemerintah sebagai berikut:

a. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran PNBP; b. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan PNBP

Yang Bersumber dari Kegiatan Tertentu;

c. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004 tentang Tata Cara Penyampaian Rencana dan Laporan realisasi PNBP;

d. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2005 tentang Pemeriksaan PNBP;

e. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penentuan Jumlah, Pembayaran, dan Penyetoran PNBP Terutang;

f. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2010 tentang pengajuan dan penyelesaian Keberatan atas Penetapan PNBP Yang Terutang.

Selain Peraturan Pemerintah tersebut diatas, telah diterbitkan beberapa peraturan tentang tarif atas jenis PNBP dan Peraturan Menteri Keuangan tentang Izin Penggunaan PNBP yang berlaku pada masingmasing Kementerian dan Lembaga.

2. UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

Terbitnya Undang-Undang Nomor 17 tentang Keuangan Negara membawa

perubahan dalam pengelolaan keuangan negara. Selama ini dalam pengelolaan keuangan negara masih digunakan ketentuan perundangan pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang berlaku berdasarkan Aturan peralihan Undang-undang Dasar 1945 yaitu Indische Comptabiliteitswet (ICW) Stbl. 1925 Nomor 448 yang diubah dengan UU Nomor 9 Tahun 1968.

Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, maka pengelolaan keuangan negara tidak lagi mengacu kepada Indische Comptabiliteitswet (ICW) Stbl. 1925 Nomor 448 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1968. Dengan

(4)

demikian beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP seharusnya juga harus direvisi dan disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

B. Definisi, Kelompok, dan Jenis PNBP

Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 20/1997 tentang PNBP, penerimaan negara bukan pajak adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan. Namun demikian, dengan diundangkannya UU no.17 Tahun 2003 tentang keuangan Negara dan Undang-undang tentang APBN, definisi PNBP dalam UU Nomor 20 perlu disesuaikan yaitu dengan mengeluarkan penerimaan hibah dari PNBP. Sehingga definisi penerimaan negara bukan pajak menjadi seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan dan penerimaan hibah.

Dalam UU tentang APBN saat ini PNBP dikelompokkan menjadi empat kelompok besar yaitu:

1. Penerimaan sumber daya alam

Dalam kelompok ini, kita mengenal pendapatan sumber daya alam (SDA) migas dan non-migas. Pendapatan SDA migas merupakan pendapatan yang diperoleh dari bagian bersih pemerintah atas kerjasama pengelolaan sektor hulu migas. Pendapatan SDA nonmigas dikenal dengan beberapa pendapatan sektoral yang cukup populis, yaitu pertambangan umum, kehutanan, perikanan, dan panas bumi.

2. Pendapatan bagian laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

Pendapatan ini merupakan imbalan kepada pemerintah pusat selaku pemegang saham BUMN (return on equity) yang dihitung berdasarkan persentase tertentu terhadap laba bersih (pay-out ratio). Tidak kurang dari 70 BUMN yang menjadi kontributor dividen secara reguler setiap tahunnya, dimana Pertamina menjadi superior di atas BUMN lainnya. Di dalam APBN, pendapatan ini diklasifikasikan ke dalam kelompok perbankan dan nonperbankan.

3. PNBP lainnya

Pada prinsipnya, PNBP lainnya meliputi berbagai jenis pendapatan yang dipungut oleh Kementerian Negara/Lembaga atas produk layanan yang diberikan kepada

(5)

masyarakat. Termasuk di dalam kelompok ini adalah pendapatan atas pengurusan SIM, STNK, dan surat nikah sebagaimana contoh di atas. Pungutan yang dilakukan oleh instansi pemerintah tersebut dilakukan atas dasar Peraturan Pemerintah tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP pada K/L tertentu. Tidak kurang dari sepuluh ribu jenis dan tarif PNBP yang dikenakan secara sah oleh instansi pemerintah.

4. Pendapatan Badan Layanan Umum (BLU)

Seperti PNBP lainnya, pendapatan BLU diperoleh atas produk layanan instansi pemerintah yang diberikan kepada masyarakat. Bedanya, pendapatan yang diperoleh melalui mekanisme BLU ini dapat langsung digunakan oleh instansi yang bersangkutan. Selain itu, jenis dan tarif PNBP BLU tidak ditetapkan melalui PP melainkan Peraturan Menteri Keuangan.

Selain itu, Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak disebutkan bahwa kelompok PNBP, meliputi jenis - jenis penerimaan sebagai berikut :

1. Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah. 2. Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam.

3. Penerimaan dari hasil-hasil kegiatan pelayanan yang dilaksanakan pemerintah. 4. Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan pemerintah.

5. Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi.

6. Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak pemerintah.

7. Penerimaan lainnya yang diatur dalam undang - undang tersendiri.

Jenis PNBP yang berlaku pada setiap Kementerian/Lembaga antara lain sebagai berikut :

1. PNBP pada Kementerian Luar Negeri :

a. Penerimaan dari pemberian surat perjalanan Republik Indonesia. b. Penerimaan dari jasa pengurusan dokumen konsuler.

2. PNBP pada Kementerian Pertahanan dan Keamanan.

a. Penerimaan dari pemberian Surat Izin Mengemudi (SIM).

(6)

c. Penerimaan dari pemberian Surat Tanda Coba Kendaraan (STCK).

d. Penerimaan dari pemberian Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) baru.

e. Penerimaan dari pelayanan kesehatan. 3. PNBP pada Kementerian Kehakiman

a. Penerimaan denda administrasi.

b. Penerimaan dari pelayanan jasa hukum.

c. Penerimaan dari penggunaan jasa tenaga narapidana dan hasil penjualan barang keterampilannya.

d. Penerimaan dari pendaftaran ciptaan. e. Penerimaan dari permintaan hak paten. f. Penerimaan dari pemberian merek. g. Penerimaan dari keimigrasian. h. Penerimaan balai harta peninggalan. i. Penerimaan pengadilan.

4. PNBP pada Kementerian Penerangan a. Penerimaan dari siaran iklan.

b. Penerimaan dari siaran iklan spot Radio Republik Indonesia (RRI).

c. Penerimaan dari penyelenggaraan sensor film, video tape, kaset, film reklame komersial dan non komersial.

d. Penerimaan dari pembuatan film untuk instansi pemerintah dan penyewaan peralatan perfilman.

5. PNBP pada Kementerian Keuangan

a. Penerimaan denda administrasi atas keterlambatan penyampaian laporan perusahaan di bidang pasar modal.

b. Penerimaan denda administrasi yang dikenakan pada pihak yang melanggar peraturan perundang undangan di bidang pasar modal.

c. Penerimaan Bea Lelang.

d. Penerimaan dari biaya administrasi lelang swasta. e. Penerimaan dari Bea Lelang Batal.

(7)

f. Penerimaan dari biaya administrasi Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN).

g. Penerimaan dari penjualan saham bagian Pemerintah.

h. Penerimaan dari bagian Pemerintah atas laba badan usaha milik negara.

i. Penerimaan dari selisih lebih karena perubahan harga jual yang ditetapkan Pemerintah atas persediaan gula pasir di gudang-gudang Bulog dan gudang dari pabrik gula, dan persediaan pupuk di semua gudang Pusri.

j. Penerimaan dari denda keterlambatan penyampaian laporan oleh Perusahaan Pembiayaan.

k. Penerimaan dari denda tidak menyampaikan laporan keuangan tahunan dan laporan operasional tahunan dan atau tidak mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi bagi perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan.

l. Penerimaan dari denda tidak menyampaikan laporan keuangan tahunan dan laporan operasional tahunan bagi perusahaan pialang asuransi atau perusahaan pialang reasuransi sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan.

m.Penerimaan dari denda keterlambatan penyampaian laporan bagi Dana Pensiun.

n. Penerimaan kembali pinjaman yang disalurkan oleh Pemerintah. o. Penerimaan dari laba bersih minyak.

p. Penerimaan bagian Pemerintah dari annual fee PT. Inalum. 6. PNBP pada Kementerian Perindustrian dan Perdagangan

a. Penerimaan dari biaya pengujian mutu barang dan sertifikasi mutu barang. b. Penerimaan dari biaya jasa pelatihan.

c. Penerimaan dari pendaftaran perusahaan

d. Penerimaan dari penerbitan Surat Keterangan Asal (SKA). e. Penerimaan dari jasa pengujian/pemeriksaan tembakau.

f. Penerimaan dari jasa pembinaan petani tembakau oleh pabrikan rokok. g. Penerimaan dari penyelenggaraan jasa pendidikan.

(8)

i. Penerimaan dari jasa pelayanan teknis.

j. Penerimaan dari pengaturan tata niaga cengkeh. k. Penerimaan dari jasa tera/tera ulang.

7. PNBP pada Kementerian Pertanian

a. Penerimaan dari pungutan pengusahaan perikanan. b. Penerimaan dari pungutan hasil perikanan.

c. Penerimaan dari pungutan perikanan atas penggunaan kapal perikanan berbendera asing dengan cara sewa untuk menangkap ikan di zona ekonomi eksklusif Indonesia.

d. Penerimaan dari pungutan perikanan yang berasal dari hasil penangkapan atau pembudidayaan.

e. Penerimaan dari hasil pembibitan ternak dan hijauan makanan ternak. f. Penerimaan dari penetapan pendaftaran dan pengujian mutu obat hewan. g. Penerimaan dari pendapatan perubahan harga hasil produksi pusat veterinaria. h. Penerimaan dari penjualan hasil pendidikan dan pelatihan, balai benih ikan dan

udang.

i. Penerimaan dari penjualan embrio ternak untuk bibit.

j. Penerimaan dari penjualan obat hewan, vaksin dan semen beku. k. Penerimaan dari jasa tambah labuh.

l. Penerimaan dari jasa pengadaan es.

m. Penerimaan dari jasa pengadaan air sumur dan air minum. n. Penerimaan dari jasa penyewaan fasilitas.

o. Penerimaan dari jasa karantina tumbuhan, ikan dan hewan. p. Penerimaan dari jasa pelayanan diagnosa penyakit hewan.

q. Penerimaan dari jasa pemeriksaan lapangan dan pengujian benih tanaman pangan.

r. Penerimaan dari jasa pelayanan teknologi, penelitian dan pengembangan. s. Penerimaan dari redistribusi ternak Pemerintah.

t. Penerimaan dari penyelenggaraan jasa pendidikan pertanian. 8. PNBP pada Kementerian Pertambangan dan Energi

(9)

a. Penerimaan dari jasa teknologi di bidang pertambangan umum.

b. Penerimaan dari jasa penelitian/pengembangan dan jasa penerapan teknologi pada puslitbang teknologi minyak dan gas bumi.

c. Penerimaan dari iuran tetap/landrent.

d. Penerimaan dari iuran eksplorasi/iuran eksploitasi/royalti.

e. Penerimaan dari perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara. f. Penerimaan dari jasa teknologi geologi tata lingkungan.

9. PNBP pada Kementerian Kehutanan

a. Penerimaan dari Provisi Sumber Daya Hutan.

b. Penerimaan dari Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH).

c. Penerimaan dari Iuran Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (IHPHTI). d. Penerimaan dari Iuran Hak Pengusaha Hutan (IHPH) Bambu.

e. Penerimaan dari Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) Tanaman Rotan. f. Penerimaan dari pengusahaan pariwisata alam.

g. Penerimaan dari pungutan masuk hutan wisata, taman nasional, tanam hutan raya dan taman wisata laut.

h. Penerimaan dari Iuran menangkap/mengambil dan mengangkut satwa liar dan tumbuhan alam yang tidak dilindungi Undang-undang serta jarahan satwa baru.

i. Penerimaan dari Denda Pelanggaran Eksploitasi Hutan (DPEH). j. Penerimaan dari Denda post audit dan tata usaha iuran hasil hutan.

k. Penerimaan dari pengambilan jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi Undang-undang dari alam maupun dari hasil penangkaran

10. PNBP pada Kementerian Pekerjaan Umum

a. Penerimaan dari jasa penyewaan peralatan dan jasa perbengkelan. b. Penerimaan dari jasa laboratorium.

c. Penerimaan dari penyelenggaraan jasa pendidikan dan latihan. d. Penerimaan dari jasa pembuatan peta citra dari data media satelit. e. Penerimaan dari jasa penyelidikan geoteknik.

(10)

g. Penerimaan dari jasa pengkajian mutu komponen. 11. PNBP pada Kementerian Perhubungan

a. Penerimaan dari pemberian surat izin mengemudi.

b. Penerimaan dari jasa pelabuhan penyeberangan laut, selat dan teluk.

c. Penerimaan dari jasa terminal dan fasilitas sandar kapal penyeberangan sungai dan danau.

d. Penerimaan dari jasa kepelabuhan untuk kapal pelayaran dalam negeri dan luar negeri pada pelabuhan unit pelaksana teknis (UPT) kantor pelabuhan. e. Penerimaan dari jasa dermaga dan penumpukan di pelabuhan unit pelaksana

teknis (UPT) kantor pelabuhan.

f. Penerimaan dari penyewaan tanah pelabuhan di pelabuhan unit pelaksana teknis (UPT) kantor pelabuhan.

g. Penerimaan dari jasa pelayanan penerbangan (JP2) untuk penerbangan internasional.

h. Penerimaan dari jasa pelayanan penumpang pesawat udara (JP3U) pada bandar udara untuk angkutan udara luar negeri.

i. Penerimaan dari jasa pendaratan, penempatan dan penyimpanan pesawat udara (JP4U) penerbangan internasional.

j. Penerimaan dari jasa pemeriksaan kesehatan. k. Penerimaan dari pemberian dokumen penerbangan.

l. Penerimaan dari jasa pelayanan meteorologi dan geofisika dan penyewaan peralatan.

m. Penerimaan dari sumbangan pembinaan pendidikan dan latihan (SPPL). 12. PNBP pada Kementerian Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi

a. Penerimaan dari penyelenggaraan jasa pendidikan pariwisata.

b. Penerimaan dari uang ujian perwira radio elektronika dan operator radio. c. Penerimaan dari pemberian izin usaha jasa titipan.

d. Penerimaan dari pemberian izin amatir radio.

e. Penerimaan dari pemberian izin antene parabola penerima siaran televisi. f. Penerimaan dari pemberian izin komunikasi radio antar penduduk (KRAP).

(11)

g. Penerimaan dari pemberian hak penyelenggaraan (BHP) frekuensi radio konsesi.

h.Penerimaan dari pemberian izin hak penyelenggaraan (BHP) jasa telekomunikasi.

i. Penerimaan dari jasa penyelenggaraan/pengawasan ujian amatir 13. PNBP pada Kementerian Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi

a.Penerimaan dari pembinaan tenaga kerja Indonesia dalam rangka pengembangan program Antar Kerja Antar Negara (AKAN).

b. Penerimaan dari jasa latihan kerja dan kursus latihan kerja (BLK/KLK). c. Penerimaan dari pungutan Tenaga kerja Warga Negara Asing Pendatang

(TKWNAP).

d. Penerimaan dari pendayagunaan fasilitas hiperkes dan keselamatan kerja. 14. PNBP pada Kementerian Pendidikan Nasional

a. Penerimaan dari penyelenggaraan pendidikan. b. Penerimaan karcis tanda masuk museum.

c. Penerimaan dari kontrak kerja yang sesuai dengan peran dan fungsi perguruan tinggi.

d. Penerimaan dari hasil penjualan produk yang diperoleh dari penyelenggaraan pendidikan tinggi.

e. Penerimaan dari sumbangan dan hibah dari perorangan, lembaga pemerintahan, atau lembaga non pemerintah.

15. PNBP pada Kementerian Kesehatan

a. Penerimaan dari pemberian izin peredaran makanan dan minuman. b. Penerimaan dari pemberian izin peredaran minuman keras.

c. Penerimaan dari pemberian izin pelayanan kesehatan oleh swasta. d. Penerimaan dari pemberian izin mendirikan rumah sakit oleh swasta. e. Penerimaan dari jasa pendidikan tenaga kesehatan.

f. Penerimaan dari jasa pemeriksaan laboratorium.

g. Penerimaan dari jasa pemeriksaan air secara kimia lengkap. h. Penerimaan dari jasa Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4).

(12)

i. Penerimaan dari jasa Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM).

j. Penerimaan dari jasa pemeriksaan obat, minuman, makanan, kosmetika, dan alat-alat kesehatan.

k. Penerimaan dari uji pemeriksaan spesimen. l. Penerimaan dari jasa pelayanan rumah sakit. 16. PNBP pada Kementerian Agama

a. Penerimaan dari penyelenggaraan jasa pendidikan. b. Penerimaan dari peradilan agama.

c. Penerimaan dari pencatatan nikah dan rujuk. 17. PNBP pada Kementerian Sosial

a. Penerimaan Pendidikan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung.

b. Penerimaan dari izin pengumpulan uang dan barang. c. Penerimaan dari izin penyelenggaraan undian. d. Penerimaan hibah yang merupakan hak Pemerintah. 18. PNBP pada Kejaksaan Agung

a. Penerimaan dari penjualan barang rampasan. b. Penerimaan dari penjualan hasil sitaan/rampasan. c. Penerimaan dari ganti rugi dan tindak pidana korupsi. d. Penerimaan biaya perkara.

e. Penerimaan lain-lain, berupa uang temuan, hasil lelang barang temuan dan hasil penjualan barang bukti yang tidak diambil oleh yang berhak.

f. Penerimaan denda.

19. PNBP pada Lembaga Administrasi Negara

a. Penerimaan dari penyelenggaraan jasa pendidikan. 20. PNBP pada Badan Pusat Statistik

a. Penerimaan dari penjualan publikasi statistik. 21. PNBP pada Badan Tenaga Atom Nasional

a. Penerimaan dari hak dan perizinan penggunaan (kalibrasi). b. Penerimaan dari jasa analisa (tenaga/pekerjaan).

(13)

c. Penerimaan dari penerbitan Sertifikat Bekas Radiasi Komoditi Ekspor/Impor. 22. PNBP pada Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional

a. Penerimaan dari pelayanan jasa pemotretan jarak jauh. 23. PNBP pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

a. Penerimaan dari penyelenggaraan jasa pendidikan dan latihan. b. Penerimaan dari penjualan hasil penelitian.

c. Penerimaan dari jasa penyewaan fasilitas.

d. Penerimaan dari penyelenggaraan jasa analisa, penelitian dan pengembangan jasa konsultasi,pelayanan informasi, jasa rekayasa, jasa kalibrasi dan metrologi, dan jasa tenaga ahli.

24. PNBP pada Arsip Nasional

a. Penerimaan dari pelayanan jasa kearsipan.

25. PNBP pada Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional a. Penerimaan dari penjualan hasil survey dan pemetaan. 26. PNBP pada Badan Pengkajian dan Penerapan Tekonologi

a. Penerimaan dari penyelenggaraan jasa pengkajian, penelitian dan pengembangan, dan pelayanan jasa teknologi.

27. PNBP pada Badan Pertanahan Nasional

a. Penerimaan dari pengukuran dan pemetaan. b. Penerimaan dari pemeriksaan tanah.

c. Penerimaan dari konsolidasi tanah secara swadaya. d. Penerimaan dari redistribusi tanah secara swadaya. e. Penerimaan dari izin lokasi.

II. Forecasting yang Andal

Forecasting adalah proses analisis untuk memperkirakan masa depan dengan metode-metode tertentu dan mempertimbangkan segala variabel yang mungkin berpengaruh di dalamnya. Forecasting merupakan suatu estimasi tentang hal-hal yang paling mungkin tejadi di masa mendatang berdasarkan eksplorasi dari masa lalu

(14)

Forecasting juga merupakan bagian dari future research. Forecasting bersifat eksploratif dan berkaitan dengan apa yang mungkin terjadi di masa depan. Artinya setiap hal yang akan terjadi di masa depan tersebut tidak dapat dipengaruhi oleh siapapun.

Forecasting dengan metode-metodenya akan menghasilkan suatu pemetaan mengenai hal-hal yang paling mungkin terjadi di msasa yang akan datang. Kini forecasting telah digunakan pada hampir seluruh disiplin ilmu, termasuk ilmu ekonomi dan seluruh aktifitas di dalamnya. Misalnya dalam kegiatan ekonomi suatu perusahaan, seorang pengambil keputusan akan melakukan eksplorasi dari masa lalu yang kemudian akan digunakan untuk memprediksikan hal-hal yang paling mungkin terjadi di masa depan. Kegiatan tersebut penting karena dapat mengurangi kemungkinan salah (error) dalam pengambilan keputusan.

Dalam hubungannya dengan penerimaan PNBP, kegiatan forecasting diperlukan untuk menentukan jumlah target pendapatan yang akan diperoleh pada tahun anggaran tertentu, menentukan tariff PNBP yang akan diterapkan serta penetapan jumlah pagu pengeluaran PNBP yang akan digunakan di tahun anggaran tertentu.

A. Penentuan Tarif

Salah satu ketentuan dalam UU PNBP menyatakan bahwa tarif atas jenis ditetapkan dengan UU atau Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur jenis dan tarif PNBP (Pasal 3 ayat 1 UU No. 20 Tahun 1997 tentang PNBP). Selain itu, sesuai Pasal 3 ayat (2) UU PNBP tarif PNBP yang diatur dalam UU atau PP, harus memperhatikan beberapa aspek penting yaitu:

1. dampak pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya;

2. biaya penyelenggaraan kegiatan Pemerintah sehubungan dengan jenis PNBP yang bersangkutan; dan

3. aspek keadilan dalam pengenaan beban kepada masyarakat.

Mengapa penetapan tarif PNBP harus memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat? Hal ini tentu tidak terlepas dari peranan Pemerintah sebagai pelaksana amanat rakyat yang tentunya tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Penetapan tarif PNBP yang terlalu rendah akan berdampak pada berkurangnya pangsa pasar atau bahkan matinya pasar dari industri pelayanan yang serupa dengan pelayanan yang diberikan Pemerintah, misalnya jasa pengujian sampel. Dan sebaliknya pula apabila tarif PNBP

(15)

ditetapkan terlalu tinggi, masyarakat pengguna layanan PNBP akan merasa keberatan pada saat melakukan pembayaran dan bahkan akan berdampak pada kenaikan biaya produksi barang yang pada akhirnya harga jual akan melambung tinggi. Hal ini dapat terjadi pada jenis PNBP yang berupa jasa sertifikasi produk yang merupakan bagian dari syarat edar suatu produk.

Aspek selanjutnya yang harus dipenuhi dalam penetapan tarif PNBP berkaitan dengan biaya penyelenggaraan dari PNBP itu sendiri. Meskipun tarif PNBP harus memperhatikan dampak pengenaannya terhadap masyarakat, bukan berarti tarif PNBP ditetapkan dengan tanpa mempertimbangkan biaya penyelenggaraannya sama sekali. Bagaimanapun juga, Pemerintah telah mengeluarkan sejumlah biaya untuk membiayai kegiatan pelayanan yang menghasilkan PNBP dimaksud. Biaya penyelenggaraan di sini terbatas hanya biaya yang dikeluarkan untuk pelayanan PNBP dan tidak termasuk biaya-biaya lain yang dikeluarkan instansi Pemerintah yang tidak berkaitan langsung dengan PNBP. Namun, perlu digarisbawahi bahwa biaya penyelenggaraan bukanlah satu-satunya acuan dalam penetapan tariff PNBP sehingga biaya penyelenggaraannya tidak secara otomatis menjadi besaran tarif PNBP yang dikenakan kepada masyarakat pengguna layanan. Koridor terakhir yang harus dipenuhi adalah aspek keadilan.

Hal ini tentu sudah merupakan suatu kaidah yang wajar dalam suatu negara yang mengusung keadilan sosial sebagai salah satu sila dalam dasar negara. Keadilan dalam penerapan suatu tarif PNBP dapat berbentuk dengan penerapan tarif yang berbeda-beda untuk kelompok pengguna yang berbeda. Sebagai contoh, untuk pengguna layanan pengujian sampel yang berasal dari kalangan mahasiswa, diberikan tarif diskon sebesar 50% dari tarif yang berlaku untuk masyarakat umum. Pembedaan tarif ini wajar mengingat mahasiswa belum memiliki penghasilan sendiri dan mereka juga merupakan calon pemimpin bangsa di masa depan.

Memperhatikan ketentuan perundangan tersebut di atas, penetapan tarif atas jenis PNBP membutuhkan analisis dan pertimbangan yang cermat sebelum ditetapkan dalam ketentuan perundangan termasuk melakukan sosialisasi kepada pihak terkait. Hal ini perlu dilakukan agar pembebanan biaya atas jasa (pengaturan dan pelayanan) yang diberikan oleh Pemerintah kepada masyarakat masih dalam skala kewajaran. Selain itu,

(16)

tarif yang ditetapkan masih dapat memberikan kemungkinan perolehan keuntungan atau tidak menghambat kegiatan usaha masyarakat.

Berkaitan dengan aspek tersebut, pendekatan yang dilakukan dalam penentuan besaran tarif PNBP yang ditetapkan dalam UU atau PP dapat dibedakan dalam tiga kelompok utama, yaitu:

1. Pendekatan Zero or Cost Minus Tarif

Di dalam pendekatan ini, tarif PNBP yang dikenakan kepada masyarakat adalah nol (gratis) atau lebih rendah dibandingkan dengan biaya penyelenggaraan atau penyediaan jasa (dalam rangka melaksanakan kegiatan pengaturan dan pelayanan) yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Pengenaan tarif (bersifat subsidi) seperti ini umumnya diberikan pada jasa pelayanan publik yang merupakan kebutuhan mendasar bagi masyarakat. Kebutuhan mendasar masyarakat antara lain pendidikan dan kesehatan.

2. Pendekatan Just Cost Tarif

Metode Just Cost Tarif merupakan cara penentuan tarif PNBP dengan menyamakan antara tarif dengan biaya penyelenggaraan atau penyediaan jasa (dalam rangka melaksanakan kegiatan pengaturan dan pelayanan) yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Pengenaan tariff seperti ini umumnya dikenakan atas jasa pelayanan publik yang bukan merupakan kebutuhan dasar masyarakat dan/atau pemanfaatan asset pemerintah antara lain laboratorium uji mutu dan gedung/balai pertemuan.

3. Pendekatan Cost Plus Tarif

Cara yang ketiga yakni bahwa tarif PNBP yang dikenakan kepada masyarakat adalah lebih tinggi dibandingkan dengan biaya penyelenggaraan atau penyediaan jasa (dalam rangka melaksanakan kegiatan pengaturan dan pelayanan) yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Pengenaan tarif seperti ini umumnya dikenakan atas jasa pengaturan dan pelayanan publik tertentu dimana masyarakat memperoleh manfaat yang besar dari jasa yang diberikan dan/atau untuk melindungi kelestarian lingkungan/alam. Sebagai contoh pengenaan tarif PNBP di bidang pertambangan umum dan kehutanan.

(17)

Berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang PNBP, setiap Kementerian/Lembaga yang mempunyai PNBP harus memiliki peraturan perundangan (minimal Peraturan Pemerintah /PP) tentang jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada masing-masing Kementerian/ Lembaga. PP tersebut digunakan sebagai dasar pemungutan atas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Adapun proses penetapan tarif dan jenis PNBP pada Kementerian/ Lembaga secara umum dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Pimpinan kementerian/lembaga (Instansi Pemerintah) menyampaikan usulan tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada kementerian/lembaga yang bersangkutan kepada Menteri Keuangan.

2. Selanjutnya usulan besaran tarif tersebut dibahas oleh Kementerian Keuangan bersama dengan kementerian/lembaga yang bersangkutan, Kementerian Hukum dan HAM, serta Sekretariat Negara untuk mendapatkan justifikasi atas tarif yang diusulkan. Selain itu, pembahasan juga bertujuan untuk mempelajari dampak atas pengenaan tarif tersebut terhadap kementerian/lembaga dan masyarakat serta memastikan pelayanan (jenis PNBP) yang diberikan merupakan kewenangan kementerian/lembaga yang bersangkutan.

3. Jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada kementerian/lembaga hasil pembahasan, disampaikan kepada Menteri Hukum dan HAM melalui surat Menteri Keuangan.

4. Kementerian Hukum dan HAM melakukan harmonisasi dan pembulatan terhadap RPP dimaksud, untuk selanjutnya disampaikan kepada Menteri Keuangan untuk diproses lebih lanjut.

5. Menteri Keuangan menyampaikan kepada Presiden untuk ditetapkan menjadi PP. 6. Setelah PP ditetapkan dan diundangkan, Kementerian/Lembaga wajib memungut dan

menyetorkan PNBP yang diperolehnya ke Kas Negara sesuai dengan tarif dalam PP. Tidak semua kegiatan pelayanan publik dapat dikenakan PNBP, atau dengan kata lain terdapat beberapa kegiatan yang tidak dapat dikenakan PNBP, seperti:

1. Kegiatan pelayanan yang seluruh biaya operasionalnya telah didanai secara penuh dalam APBN, misalnya pelayanan penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)

(18)

oleh Direktorat Jenderal Pajak dan pelayanan penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN);

2. Kegiatan pelayanan yang merupakan kewajiban Pemerintah untuk membiayainya sesuai dengan amanat Undang-undang, misal: pelayanan Kementerian Sosial terhadap anak-anak terlantar, tunanetra, dan lansia;

3. Kegiatan pelayanan yang ditetapkan berdasarkan kebijakan, misalnya bebas visa.

C. Penyusunan Target PNBP

Target atau Rencana PNBP merupakan hasil penghitungan atau penetapan Penerimaan Negara Bukan Pajak, yang diperkirakan secara realistis akan diterima dalam 1 (satu) tahun yang akan datang (1 Januari s.d. 31 Desember tahun yang akan datang). Beberapa point yang harus diperhatikan dalam menyusun target PNBP, antara lain : 1. Target (rencana) PNBP disusun se-realistis mungkin dengan menggunakan formula

volume x tarif per jenis PNBP sesuai dengan PP tarif PNBP dan tarif layanan yang ditetapkan Menkeu untuk satker BLU. Materi dalam Rencana dan Laporan Realisasi PNBP sekurangnya memuat jenis, tarif, periode, dan jumlah PNBP

2. Penyusunan target (rencana) PNBP dikoordinasikan oleh Biro Perencanaan dan Keuangan masing – masing K/L.

3. Target disusun dengan mempertimbangkan data historis (realisasi 3 tahun),

4. Penyusunan target (rencana) PNBP dilakukan secara berjenjang naik sesuai klasifikasi menurut organisasi, mulai dari Organisasi Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran tingkat terendah hingga yang tertinggi, yaitu dari tingkat Satker/UPT, Unit Eselon I s.d. K/L.

5. Target di susun dengan pendekatan medium terms budget (telahdiperkirakan sampai tahun x+3).

6. Dalam penyusunan target, masing – masing jenis PNBP dikelompokkan sesuai Akun PNBP, dengan mengacu pada PMK No. 91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar.

7. Pejabat Instansi Pemerintah wajib menyampaikan Rencana PNBP Tahun Anggaran yang akan datang kepada Menteri. Penyampaian Rencana PNBP dilakukan secara tertulis dan disampaikan paling lambat pada tanggal15 Juli Tahun Anggaran berjalan.

(19)

8. Dalam hal Pejabat Instansi Pemerintah tidak atau terlambat menyampaikan Rencana PNBP, Menteri dapat menetapkan Rencana PNBP Pemerintah yang bersangkutan. 9. Dalam hal terdapat revisi Rencana PNBP Tahun Anggaran berjalan, Pejabat Instansi

Pemerintah menyampaikan revisi Rencana PNBP dimaksud paling lambat tanggal 15 Agustus Tahun Anggaran berjalan atau sebelum penyusunan perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Anggaran berjalan kepada Menteri. Jika Pejabat Instansi Pemerintah tidak atau terlambat menyampaikan Revisi Rencana PNBP, Menteri dapat menetapkan Rencana PNBP Pemerintah yang bersangkutan

10. Direktorat Jenderal Anggaran telah menyediakan aplikasi TRPNBP yang merupakan aplikasi untuk membuat atau menyusun rencana maupun laporan realisasi PNBP. 11. Laporan Realisasi PNBP triwulanan disampaikan secara tertulis oleh Pejabat Instansi

kepada Menteri paling lambat 1 (satu) bulan setelah triwulan yang bersangkutan berakhir.

12. Laporan perkiraan realisasi PNBP triwulan IV disampaikan kepada Menteri paling lambat tanggal 15 Agustus Tahun Anggaran berjalan.

D. Penyusunan Pagu Penggunaan PNBP

Dana PNBP pada prinsipnya dapat digunakan untuk membiayai kegiatan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan yang menghasilkan PNBP itu sendiri sebagaimana amanat Pasal 8 Undang-Undang No. 20 Tahun 1997. Penggunaan PNBP tersebut dilakukan secara selektif dan tetap harus memenuhi terlebih dahulu ketentuan bahwa seluruh PNBP wajib disetor langsung secepatnya ke Kas Negara dan dikelola dalam sistem APBN. Namun, yang perlu digarisbawahi, Kementerian/Lembaga baru dapat menggunakan dana PNBP tersebut setelah mendapat persetujuan penggunaan sebagian dana PNBP dari Menteri Keuangan. Adapun tata cara pengajuan dan penetapan atau persetujuan atas jumlah PNBP yang dapat digunakan dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Pimpinan Kementerian/Lembaga menyampaikan usulan penggunaan sebagian dana

PNBP kepada Menteri Keuangan dengan dilengkapi proposal sesuai outline yang antara lain berisi:

a. Latar belakang; b. Visi dan misi;

(20)

c. Tugas pokok dan fungsi;

d. Realisasi PNBP dan penggunaan dana PNBP 3 (tiga) tahun terakhir dari tahun anggaran berjalan;

e. Pokok-pokok kebijakan PNBP; f. Target PNBP TA yang dianggarkan;

g. Alasan/justifikasi kenaikan atau penurunan target PNBP TA yang dianggarkan dari target tahun anggaran sebelumnya;

h. Besaran pagu yang diusulkan untuk dibiayai dari dana PNBP dengan mengacu pada persetujuan penggunaan sebagian dana PNBP yang ditetapkan Menteri Keuangan;

i. Perkiraan target dan pagu penggunaan PNBP 3 (tiga) tahun yang akan datang dari tahun yang dianggarkan.

2. Selanjutnya usulan penggunaan dana PNBP tersebut dibahas bersama oleh wakil dari Kementerian Keuangan (dikoordinasikan oleh Direktorat PNBP, Direktorat Jenderal Anggaran) dan Kementerian/Lembaga yang bersangkutan untuk mendapatkan justifikasi atas usulan penggunaan beserta kegiatan yang diusulkan untuk dibiayai dari dana PNBP.

3. Berdasarkan hasil pembahasan, Direktorat Jenderal Anggaran c.q. Direktorat PNBP melakukan analisis kelayakan atas usulan penggunaan PNBP. Analisis dilakukan untuk memastikan kegiatan yang diusulkan untuk dibiayai merupakan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga yang bersangkutan, tidak adanya duplikasi pembiayaan serta berkaitan langsung dengan pelayanan yang menghasilkan PNBP. Selain itu, analisis juga dilakukan untuk menilai kelayakan besaran satuan dan volume yang digunakan agar sesuai dengan standar biaya yang berlaku.

4. Selanjutnya, Direktur Jenderal Anggaran mengusulkan kegiatan yang akan dibiayai beserta besaran dana (persentase) hasil analisis tersebut kepada Menteri Keuangan. 5. Menteri Keuangan menetapkan KMK tentang Persetujuan Penggunaan Sebagian

Dana PNBP yang Berlaku pada Kementerian/Lembaga yang memuat unit yang mendapatkan ijin beserta sumber PNBP, besaran persentase PNBP yang dapat

(21)

digunakan serta kegiatan yang dapat dibiayai dari PNBP pada Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.

6. Pimpinan Kementerian/Lembaga menerima KMK tentang Persetujuan Penggunaan Sebagian Dana PNBP yang Berlaku pada Kementerian/Lembaga dan selanjutnya unit yang bersangkutan dapat menggunakan sebagian dana PNBP setelah PNBP disetorkan ke Kas Negara dan telah tercantum dalam dokumen anggarannya.

7. Berdasarkan hasil pembahasan target (rencana) PNBP, Direktorat PNBP menetapkan pagu penggunaan PNBP dengan formula sebagai berikut :

X X = =

Pengalokasian pagu penggunaan PNBP lebih lanjut ke dalam program, sub program, kegiatan, sub kegiatan, dan akun belanja dilakukan oleh Direktorat Anggaran I, II, III dengan berpedoman pada juknis penyusunan RKA-KL serta KMK Persetujuan Penggunaan Sebagian Dana PNBP.

III. Kebijakan Optimalisasi PNBP 2013

A. Penerimaan Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi (SDA Migas)

1. Pencapaian target lifting minyak mentah dan lifting gas bumi;

• mendorong optimalisasi produksi pada lapangan eksisting termasuk penerapan Enchaced Oil Recovery (EOR)

• mempercepat pengembangan lapangan baru dan struktur idle

• term and condition yang lebih menarik untuk wilayah kerja yang berada di remote area dan/atau laut dalam

• meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait untuk menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan regulasi perijinan, dan tumpang tindih lahan dalam rangka peningkatan produksi minyak bumi nasional

• melaksanakan inpres Nomor 2 Tahun 2012 tentang peningkatan produksi Minyak Bumi Nasional

Target (Rencana) PNBP % yang Disetujui Menkeu Pagu Penggunaan PNBP

(22)

2. Efisiensi cost recovery dan mengupayakan penurunan angka rasio cost recovery terhadap gross revenue;

Cost recovery adalah pengembalian atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan (recoverable ost) oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dengan menggunakan hasil produksi minyak bumi dan gas bumi (migas) sesuai dengan ketentuan/peraturan yang berlaku. Biaya eksplorasi dan eksploitasi yang dikeluarkan perusahaan migas kemudian diganti pemerintah setelah lapangan migas berproduksi.

3. Melakukan secara intensif penagihan atas penjualan hasil migas bagian Pemerintah.

B. Penerimaan Sumber Daya ALam Non Minyak dan Gas Bumi (SDA Nonmigas)

1. Pertambangan Umum

• Peningkatan produksi komoditas mineral dan batu bara

• Peningkatan nilai tambah mineral melalui upaya peningkatan nilai tambah bahan galian tambang

• Penerapan jenis dan tariff PNBP yang berlaku untuk kegiatan pertambangan

• Peningkatan pembinaan dan pengawasan mineral dan batubara serta inventarisasi dan penyusunan produksi mineral dan batubara nasional

• Inventarisasi dan verifikasi potensi PNBP pertambangan umum

2. Kehutanan

• pengembangan sistem penatausahaan hasil hutan (PUHH) berbasis teknologi informasi

• peningkatan produksi dan diversifikasi usaha hutan alam

• penerbitan ijin usahapemanfaatan hasil hutan kayu - hutan alam dan/atau restorasi ekosistem (IUPHHK-HA/RE) pada areal bekas tebangan (logged over area/LOA)

• penambahan luas areal pencadangan ijin usaha pemanfaatan hutan tanaman

3. Perikanan

• peningkatan pelayanan dan penertiban perijinan usaha

(23)

• peningkatan fasilitas sarana dan prasarana pelayanan

• penyesuaian tarif PNBP yang lebih memberikan kepastian bagi wajib bayar/pengguna jasa sektor kelautan dan perikanan

• penyesuaian harga patokan ikan (HPI)

• peningkatan jaminan usaha sektor kelautan dan perikanan

4. Panas bumi

• pemberlakuan pajak penghasilan ditanggung Pemerintah (PPh DTP) bagi pengusaha panas bumi yang ijin, kuasa, atau kontraknya ditandatangani sebelum ditetapkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 Tentang Panas Bumi.

• intensifikasi dan ekstensifikasi, penyusunan dan penyempurnaan ketentuan peraturan, dan memberikan dukungan kebijakan fiskal dan nonfiskal untuk investasi di sektor panas bumi

C. Penerimaan Bagian Pemerintah atas Laba BUMN

1. pay out ratio (POR) 0 persen s.d 25 persen untuk BUMN sektor kehutanan, asuransi, dan BUMN dengan akumulasi rugi

2. POR 5 persen s.d 55 persen untuk BUMN laba tanpa akumulasi rugi 3. POR 40 persen s.d 45 persen untuk PT. Pertamina

4. POR 30 persen untuk PT. PLN

5. tidak menarik dividen untuk BUMN laba yang mengalami kesulitan cash flow

6. optimalisasi investasi (capital expenditure) BUMN, terutama dari penyisihan laba yang ditahan, untuk meningkatkan kinerjanya

D. Penerimaan PNBP Lainnya

1. Kementerian Komunikasi dan Informasi

• Melaksanakan penagihan PNBP secara intensif kepada penyelenggara telekomunikasi dan pengguna spektrum frekuensi radio yang bekerja sama dengan BPKP untuk mengaudit wajib bayar

• menegakkan hukum terhadap penyelenggaraan telekomunikasi dan pengguna frekuensiradio

(24)

• melakukan otomasi/modernisasi proses perijinan sehingga mempercepat dan mempermudah proses pelayanan public

2. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

• melaksanakan sistem anggaran yang bersifat transparan dan akuntabel serta berbasis pada aktifitas (activity based budgeting)

• optimalisasi aset yang dimiliki dalam rangka meningkatkan nilai tambah lembaga sesuai visi, misi, dan tujuan pendidikan tinggi

• tidak ada kenaikan tarif uang kuliah/SPP untuk perguruan tinggi negeri

• menggunakan tarif uang kuliah tunggal untuk perguruan tinggi negeri mulai tahun 2013, yaitu tarif dihitung berdasarkan harga satuan dari semua komponen yang terkait dengan proses pembelajaran di perguruan tinggi

• menyediakan bantuan operasional perguruan tinggi negeri oleh Pemerintah

• sumbangan murni yang tidak terkait dengan penerimaan mahasiswa baru dari masyarakat dapat diterima oleh perguruan tinggi negeri

3. Kementerian Kesehatan

• meningkatkan ketertiban pengelolaan PNBP serta penyetoran PNBP

• meningkatkan mutu pelayanan secara berkelanjutan sesuai dengan yang dipersyaratkan

• meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia serta ilmu pengetahuan dan teknologi

4. Kepolisian Republik Indonesia

• memperkuat Polres sebagai unit pelayanan terdepan polentas yang meliputi pelayanan samsat, satpas, pelayanan BPKB dan pelayanan kecelakaan, serta mendekatkan akses pelayanan kepada masyarakat

• meningkatkan kemampuan SDM Polri melalui pendidikan dan pelatihan teknis, dan fungsional lalu lintas

membangun jaringan online samsat di seluruh Polda dalam rangka online system

(25)

menyiapkan pembangunan traffic management centre (TMC) di wilayah yang terintegrasi dari tingkat Mabes Polri sampai dengan tingkat Polres, dalam rangka mewujudkan keamanan keselamatan ketertiban dan kelancaran lalu lintas (kamseltibcar);

menyelenggarakan kegiatan open government information (OGI) dalam rangka keterbukaan informasi terhadap pelayanan publik di bidang SIM, BPKB, STNK dan TNKB (SBST), antara lain dengan mengikuti kompetisi pelayanan publik yang diselenggarakan oleh unit kerja presiden bidang pengawasan dan pengendalian pembangunan (UKP4)

• mencukupi kebutuhan blangko/formulir dalam rangka penyelenggaraan pelayanan di bidang fungsi lalu lintas dan fungsi intelijen keamanan (intelkam) dan mencukupi biaya listrik, telepon satuan pelayanan administrasi (satpas) serta honor petugas pelaksana kegiatan PNBP

• memperluas pelayanan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) sampai dengan tingkat polsek (kecamatan) sebagai ujung tombak pelayanan Polri kepada masyarakat

5. Kementerian Hukum dan HAM

• menerapkan elektronik kartu ijin tinggal terbatas (E-KITAS) dan elektronik kartu ijin tinggal tetap (E-KITAP)

• mengembangkan sistem informasi manajemen keimigrasian (SIMKIN) secara berkelanjutan

• membangun system intelijen keimigrasian

• membina dan mengelola PNBP di bidang keimigrasian

meningkatkan jumlah layanan hakkekayaan intelektual secara online

• mengusulkan peningkatan jenis dan tariff atas jenis PNBP yang berlaku pada Kementerian Hukum dan HAM.

6. Badan Pertanahan Nasional

membangun kepercayaan masyarakat pada BPN (trust building) melalui sosialisasi tarif kepengurusan tanah di media cetak

(26)

• meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan pendaftaran serta sertifikasi tanah secara menyeluruh

• memastikan penguatan hak-hak rakyat atas tanah

• menyelesaikan persoalan pertanahan di daerah korban bencana alam dan daerah konflik

• membangun sistem informasi dan manajemen pertanahan nasional (SIMTANAS) dan sistem pengaman dokumen pertanahan di seluruh Indonesia

7. Kementerian Perhubungan

• memperbaiki keselamatan dan kualitas pelayanan lalu lintas angkutan sungai danau penyeberangan (LLASDP)

• melaksanakan pengujian kendaraan bermotor sesuai Standar Euro-2 untuk mobil penumpang berkategori bahan bakar bensin dan sepeda motor

• investasi terkait sarana dan prasarana pelayanan public

• memberikan kepastian usaha di bidang angkutan laut untuk membina dan memberdayakan ekonomi kepulauan Indonesia, melayani dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional guna menjamin kontinuitas arus barang

• menciptakan iklim usaha yang sehat untuk melindungi kelangsungan hidup dan pengembangan usaha pelayaran, termasuk pembinaan usaha-usaha tradisional dan golongan ekonomi lemah

• intensifikasi PNBP dengan cara meningkatkan penagihan terhadap wajib bayar

• meninjau kembali tarif pelayanan jasa dalam PP 6 Tahun 2009 tentang Jenisdan Tarif atas PNBP Kementerian Perhubungan

• ekstensifikasi PNBP dengan caramengoptimalkan aset/BMN dan meningkatkan kualitas sarana dan prasarana.

E. Optimalisasi PNBP BLU IV. Sistem dan Administrasi PNBP

(27)

1. Seluruh PNBP wajib disetor langsung secepatnya ke Kas Negara. (Pasal 4 UU No. 20 Tahun 1997 tentang PNBP

2. Penerimaan harus disetor seluruhnya ke Kas Negara pada waktunya. (Pasal 16 ayat (3) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara)

3. Penerimaan Kementerian/Lembaga tidak boleh digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran. (Pasal 16 ayat (3) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara)

4. Seluruh PNBP dikelola dalam sistem APBN. (Pasal 5 UU No. 20 Tahun 1997 tentang PNBP)

5. Semua penerimaan yang menjadi hak negara dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBN. (Pasal 3 ayat (5) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara)

6. Tarif atas jenis PNBP ditetapkan dalam UU atau PP yang menetapkan jenis PNBP yang bersangkutan. (Pasal 3 ayat (2) UU No. 20 Tahun 1997 tentang PNBP)

7. Dengan tetap memenuhi kewajiban menyetor langsung ke Kas Negara dan dikelola dalam sistem APBN, Sebagian dana dari suatu jenis PNBP dapat digunakan untuk kegiatan tertentu yang berkaitan dengan jenis PNBP tersebut oleh instansi yang bersangkutan.

8. Besarnya sebagian dana PNBP yang dapat digunakan untuk kegiatan tertentu yang berkaitan dengan jenis PNBP ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

9. Instansi dapat menggunakan sebagian dana PNBP dimaksud setelah memperoleh persetujuan dari Menteri Keuangan.

10. Persetujuan penggunaan PNBP dimaksud sewaktu-waktu dapat ditinjau kembali oleh Menteri Keuangan.

B. Waktu Pemungutan dan Penyetoran

Pemungutan PNBP merupakan tahap awal dari proses penyelenggaraan dan pengelolaan PNBP. Berdasarkan waktu pemungutan, pemungutan PNBP menerapkan dua prinsip, yaitu prinsip

(28)

Cara ‘prabayar’ ini umumnya diterapkan pada jenis-jenis PNBP yang tarifnya telah ditetapkan besarannya, atau dikenal dengan sebutan official assessment. prinsip Pra Bayar menekankan pada (1) penetapan besaran tarif yang dilakukan oleh pemerintah (official assessment), dan (2) Masyarakat membayar PNBP sebelum memperoleh barang atau jasa dari Pemerintah.

2. Prinsip Pasca Bayar

Dalam pemungutan PNBP, prinsip ‘pasca bayar’, juga dipergunakan, namun dalam penerapan yang berbeda. Contoh yang paling sederhana dari skema tersebut adalah pemungutan PNBP yang berasal dari royalti pertambangan. Pengusaha pertambangan dapat mengambil dan menikmati hasil tambangnya terlebih dahulu, baru kemudian membayar kewajiban PNBP. Prinsip ‘pascabayar’ umumnya diberlakukan pada PNBP yang dihitung sendiri oleh wajib bayar, atau self assessment dengan didasarkan pada rumus dan peraturan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, prinsip pasca bayar dalam pemungutan PNBP menekankan pada (1) penetapan besaran tarif di hitung sendiri oleh wajib bayar (self assessment), dan (2) PNBP dibayarkan setelah wajib bayar memanfaatkan barang dan jasa Pemerintah.

C. Penentuan Jumlah PNBP Terutang

1. ditetapkan oleh Instansi Pemerintah

Pimpinan Instansi Pemerintah selaku Pengguna Anggaran wajib melakukan penagihan dan/atau pemungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang. Pimpinan Instansi Pemerintah selaku Pengguna Anggaran wajib mengangkat Bendahara Penerimaan untuk menerima pembayaran, menyimpan, menyetorkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang diterima sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. PNBP tersebut disetor oleh Bendahara penerimaan dengan menggunakan formulir SSPB (Surat Setoran Bukan Pajak).

2. dihitung sendiri oleh Wajib Bayar.

Dalam hal Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang dihitung sendiri oleh Wajib Bayar, Pimpinan Instansi Pemerintah atau Pejabat Instansi Pemerintah dapat menetapkan jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang. , Pimpinan

(29)

Instansi Pemerintah wajib melakukan penagihan terhadap Wajib Bayar yang sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran yang ditentukan belum melunasi kewajibannya dan/atau masih terdapat kekurangan pembayaran jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang. Pimpinan Instansi Pemerintah menerbitkan Surat Tagihan Pertama atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang, yang jika belum dilunasi juga akan terbit hingga Surat Tagihan ketiga (dengan selang waktu masing-masing 1 bulan) sampai akhirnya Instansi Pemerintah menerbitkan Surat Penyerahan Tagihan kepada instansi yang berwenang mengurus Piutang Negara untuk diproses lebih lanjut penyelesaiannya. Wajib Bayar yang menghitung sendiri Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang harus menyampaikan surat tanda bukti pembayaran yang sah kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal Anggaran.

Jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang dihitung dengan menggunakan tarif:

1. Spesifik adalah tarif yang ditetapkan dengan nilai nominal uang.

Contoh: Jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang = tarif x volume Tarif = Rp50,00/m3 Volume = 1.000 m3

Maka jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang adalah: Rp50,00/m3 x 1.000 m3 =Rp50.000,00.

2. Advalorem adalah tarif yang ditetapkan dengan persentase (%) dikalikan dengan dasar pengenaan tertentu. Dasar pengenaan tertentu merupakan satuan nilai yang digunakan sebagai dasar perhitungan, antara lain Harga Patokan (HP), indeks harga, kurs, pendapatan kotor, atau penjualan bersih.

Contoh: Jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang = tarif x volume Tarif = persentase x dasar pengenaan

Besaran persentase = 10% Dasar pengenaan = Rp1.000,00/m3 Tarif = 10% x Rp1.000,00/m3

Volume = 1.000 m3

Maka jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang adalah: (10% x Rp1.000,00/m3) x 1.000 m3= Rp100.000,00

(30)

Jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang yang dihitung dengan menggunakan tarif dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan volume. Selain dihitung dengan menggunakan tarif, jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

D. Wajib Bayar Pelaporan PNBP Khusus BUN

1. Proses Pencatatan Transaksi

Pencatatan realisasi dan piutang terkait dengan pendapatan yang dikelola oleh Satker PNBP Khusus BUN dilakukan dalam dua mekanisme, manual dan elektronik. Pencatatan manual dilakukan oleh tiga subdit yakni Subdit Penerimaan Minyak dan Gas Alam, Subdit Penerimaan Panas Bumi dan Hilir Migas, dan Subdit Penerimaan Laba BUMN. Secara periodik, ketiga subdit tersebut menyampaikan dokumen transaksi realisasi PNBP kepada Subdit Data dan Dukungan Teknis untuk dilakukan pembukuan secara elekronik. Pencatatan secara elektronik dilakukan dengan menggunakan aplikasi Sistem Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran (SAKPA). Output yang dihasilkan oleh aplikasi SAKPA adalah Laporan Realisasi Anggaran (LRA) dan Neraca. Kedua laporan tersebut dapat dibuat baik secara bulanan, triwulanan, semesteran maupun tahunan.

2. Rekonsiliasi

Setiap bulan Direktorat PNBP melakukan rekonsiliasi atas realisasi pendapatan yang dibukukan, dengan Direktorat Pengelolaan Kas Negara (PKN) Ditjen Perbendaharaan. Rekonsiliasi tersebut dilakukan untuk menyamakan angka realisasi PNBP antara yang dicatat oleh Direktorat PNBP selaku unit akuntansi di tingkat satker, dengan Direktorat PKN selaku pengelola sistem akuntansi kas umum negara (SA KUN). Rekonsilasi juga dilakukan dengan Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan (Dit. APK), DJPB bersama-sama dengan Sekretariat Ditjen Anggaran selaku pengelola unit akuntansi pembantu pengguna anggaran tingkat eselon I (UAPPA-E1).

3. Pelaporan dan Pertanggungjawaban

Laporan keuangan disampaikan secara berjenjang melalui UAPPA-E1 untuk diteruskan ke Direktorat APK, DJPB. Laporan yang rutin disusun secara triwulanan

(31)

adalah LRA yang sudah direkonsiliasi dengan DJPB. Adapun neraca disusun setiap triwulan dan menyajikan posisi saldo piutang migas dan piutang laba BUMN. Disamping kedua laporan tersebut, disusun pula Catatan atas Laporan Keuangan sebagai penjelas LRA dan Neraca baik untuk laporan semester I maupun tahunan. Laporan keuangan tahunan disampaikan kepada DJPB selambat-lambatnya pada tanggal 28 Februari pada tahun anggaran berikutnya. Laporan keuangan satker tersebut dikonsolidasikan ke dalam Laporan KeuanganBA BUN untuk Transaksi Khusus (999.99). Laporan keuangan ini menjadi salah satu objek pemeriksaan BPK setiap tahunnya.

E. Sanksi

Sanksi denda sebanyak 2% perbulan dikenakan pada Wajib Bayar PNBP, jika

1. Dalam hal pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang melampaui jatuh tempo pembayaran yang ditetapkan, Wajib Bayar dikenakan.

2. Dalam hal terjadi keterlambatan pembayaran kekurangan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang. Dengan batas maksimal 24 (dua puluh empat) bulan.

Dalam pasal 20 UU 20 Tahun 1997 disebutkan adanya ketentuan pidana untuk Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), yang karena kealpaannya:

1. tidak menyampaikan laporan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang; atau 2. menyampaikan laporan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang tetapi isinya

tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar, atau tidak melampirkan keterangan yang benar, sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak sebesar 2 (dua) kali jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang.

V. Pengendalian Kebocoran Penerimaan PNBP

PNBP menyumbang angka yang sangat besar tetapi tidak banyak yang masuk ke dalam kas negara. Keberadaan PNBP dengan jumlah dana terkumpul sangat besar selama ini

(32)

menjadi pemicu adanya tindakan korupsi yang sulit dipantau. Sebab, dana yang terkumpul selalu digunakan oleh instansi tertentu untuk memenuhi kebutuhannya dan sangat sedikit dana PNBP itu yang diberikan kepada negara. Semuanya mempunyai alasan masing-masing untuk berhak mengelola PNBP itu karena bukan pajak. Pada tahun 2011 masih terdapat kebocoran PNBP di 28 Kementerian dan Lembaga (K/L) hingga Rp331,9 miliar.

Kebocoran terjadi karena:

1. penerimaan yang terlambat atau belum disetorkan ke kas negara, 2. kurang/belum dipungut, atau

3. digunakan langsung tanpa mekanisme APBN dan

4. dipungut melebihi tarif yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) 5. pengelolaan dan pencatatan yang belum memadai

6. Keterbatasan auditor negara untuk dapat memeriksa potensi kebocoran

Akurasi dan akuntabilitas jumlah produksi minyak mentah siap jual (lifting)tidak pernah diketahui pasti oleh DPR, apalagi oleh publik. Pasalnya, untuk menghitung kapasitas minyak bumi yangdihasilkan dari perut bumi Indonesia dipakai alat hitung yang dipasang di tempat pengeboran minyak.Meskipun alat pengukur itu terpasang, tidak ada jaminan angka lifting yang selama ini diumumkan pemerintah adalahrealisasi sebenarnya.

Meski alat pengukur dipasang dengan benar, kolusi antara kontraktor eksplorasi dan petugas bisa saja terjadi untuk menyembunyikan realisasi lifting yangsebenarnya, sehingga potensi kebocoran penerimaan migas sangat mungkin terjadi di ladang-ladang eksplorasi. Langkah-langkah pencegah kebocoran:

1. Dibentuknya suatu unit yang khusus menangani dansupervisi PNBP disejumlah K/L dengan tingkat PNBP tinggi.

Misalkan di Kementerian ESDM banyak terjadi pungutan batubara di luar Jakarta, unit khusus yang dibentuk dapat mengatur atau memantau PNBP itu. Tergantung besaran, kalau kecil tidak ditangani unit besar, karena bisa digabung dengan unit lain.Namun dikarenakan pembentukan unit khusus di sejumlah K/L dinilai memerlukan waktu lama, yang bisa dilakukan pada saat ini adalah memperkuat fungsi supervisi pemerintah. Dalam hal ini Kementerian Keuangan dapat meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan supervisi PNBP. Selain itu juga dilakukan

(33)

peningkatan pengawasan PNBP oleh BPK baik melalui audit kinerja ataupun audit investigasi.

2. Penertiban dana off budget. Dana tersebut tidak dilaporkan ke Kementerian Keuangan dan digunakan tanpa melalui mekanisme APBN. Misalnya Polri yang mempunyai kewenangan menggunakan dana non APBN secara off budget dengan pencatatan sendiri dan di luar mekanisme pengelolaan anggaran. Penggunaan dana tersebut akhirnya tidak disertai bukti pertanggungjawaban yang valid dan berpotensi disalahgunakan.

Terdapat praktik instansi yang memungut dan mengelola PNBP tanpa terkait dengan sistem penganggaran negara (nonbujeter). Misalnya pungutan sumbangan pembangunan pendidikan di Kementerian Pendidikan Nasional dan pungutan pelayanan haji di Kementerian Agama tak disetorkan ke kas negara. Padahal Pasal 4 dan Pasal 5 UU 20/1997 menghendaki Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) harus masuk bujet yang dianggarkan karena merupakan bagian dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Setiap instansi seharusnya menyetorkan pendapatannya ke bendaharawan negara (Menteri Keuangan). Pengecualian diberikan kepada satuan kerja yang diubah statusnya menjadi badan layanan umum, yang hanya diminta memberikan laporan.

3. Dilakukan revisi UU PNBP Tahun 1997 karena dianggap sudah tidak sesuai dengan kondisi pada saat ini.

Pasal 3 UU 20/1997: Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak ditetapkan dalam Undang-undang atau Peraturan Pemerintah yang menetapkan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan.

Penyesuaian tarif PNBP itu harus dengan PP sehingga membutuhkan waktu yang lama, padahal kondisi harga komoditas dinilai sangat aktual. Dengan adanya fleksibilitas dan penguatan, diharapkan masalah di K/L yang menjadi temuan di BPK karena perbedaan prinsip penghitungan dapat dihindarkan.

4. Optimalisasi dengan melakukan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara KementerianKeuangan (Kemenkeu) dengan seluruhK/L.

Optimalisasi PNBP merupakan salah satu dari upaya reformasi birokrasi, awal dari sebuah reformasi keuangan. MoU adalah bentuk tindak lanjut menjaga penerimaan negara, terutama PNBP. MoU ini merupakan tindak lanjut Instruksi Presiden (Inpres)

(34)

Nomor 17 tahun 2011 tentang pencegahan dan pemberantasan korupsi serta Pasal 9 PMK 192/PMK.02/2012 perihal peningkatan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak.

5. Menutup rekening penampung PNBP yang masih menggunakan nama pribadi pejabat terkait. Sekitar 7.500 rekening telah ditutup dan penertiban itu berhasil menambah Rp 7,1 triliun setoran ke kas negara.

Referensi

Dokumen terkait

Tidak adanya pengaruh berbeda nyata pada perlakuan dan interaksi kedua faktor terhadap jumlah polong hampa per tanaman dipengaruhi oleh pupuk organik dari kompos eceng

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai pengaruh manajemen model asuhan keperawatan professional tim terhadap kualitas pelayanan keperawatan di bangsal

Pengaruh Ukuran Perusahaan (UP) terhadap Struktur Modal (SM) pada Sektor Pertambangan Periode 2008-2012 Coefficients a Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients

NO NUPTK NAMA JENJANG TEMPAT TUGAS KECAMATAN PEND USIA MK GOL STATUS PEGAWAI BIDANG STUDI SERTIFIKASI KETERANGAN. 477 9449757659300013 YULIA KURNIAWATI

Dari pernyataan diatas dapat dianalisa dalam nilai etika yang terjadi pada pelaksanaan upacara Tawur Kesanga dikota Palangka Raya bahwa: pelaksanaan upacara Tawur

Pada penelitian ini, tidak begitu banyak informasi-informasi atau masalah-masalah yang dihadapi dan diketahui oleh pasar coffee shop sehingga peneliti melakukan

Tingkat kecukupan natrium lebih (52,4%), tingkat kecukupan kalium kurang (92,2%), tingkat kecukupan magnesium kurang (38,1%) presentasenya lebih banyak pada

Konsep : abstraksi yang digunakan peneliti sebagai batasan (building block) untuk membangun proposisi dan teori yg kelak diharapkan untuk menerangkan suatu fenomena.. MODAL