• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERAGAMAN JENIS DAN FLUKTUASI KEPADATAN NYAMUK PADA PETERNAKAN SAPI UNIT REPRODUKSI DAN REHABILITASI INSTITUT PERTANIAN BOGOR M IKHSAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KERAGAMAN JENIS DAN FLUKTUASI KEPADATAN NYAMUK PADA PETERNAKAN SAPI UNIT REPRODUKSI DAN REHABILITASI INSTITUT PERTANIAN BOGOR M IKHSAN"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

KERAGAMAN JENIS DAN FLUKTUASI KEPADATAN NYAMUK

PADA PETERNAKAN SAPI UNIT REPRODUKSI DAN REHABILITASI

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

M IKHSAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keragaman Jenis dan Fluktuasi Kepadatan Nyamuk pada Peternakan Sapi Unit Reproduksi dan Rehabilitasi Institut Pertanian Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2014 M Ikhsan NIM B04090078

(4)

ABSTRAK

M IKHSAN. Keragaman Jenis dan Fluktuasi Kepadatan Nyamuk pada Peternakan Sapi Unit Reproduksi dan Rehabilitasi Institut Pertanian Bogor. Dibimbing oleh SUSI SOVIANA dan UPIK KESUMAWATI HADI.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keragaman jenis dan fluktuasi kepadatan nyamuk pada peternakan sapi Unit Reproduksi Rehabilitasi Institut Pertanian Bogor (URR IPB). Koleksi nyamuk menggunakan perangkap cahaya dan dilakukan dari pukul 18.00 hingga 06.00 pada bulan Juni hingga Oktober 2012. Preservasi nyamuk yang tertangkap dilakukan dengan metode pinning untuk proses identifikasi spesies. Total nyamuk yang diperoleh sebanyak 470 nyamuk dari 8 kali pengambilan, yang terdiri atas tujuh spesies Culex (Cx. tritaeniorhynchus, Cx. bitaeniorhynchus, Cx. gelidus, Cx. fuscocephalus, Cx. hutchinsoni, Cx. quinqeufasciatus, dan Cx. pseudosinensis), satu spesies Armigeres (Ar. subalbatus), satu spesies Anopheles (An. nigerrimus), dan satu spesies Aedes (Ae. albopictus). Spesies dominan adalah Armigeres subalbatus (35.53%) dan Cx. tritaeniorhynchus (21.91%). Kepadatan nyamuk tertinggi terjadi pada pukul 18.00 sampai 19.00. Berdasarkan hasil analisis Pearson correlation didapatkan hubungan antara kepadatan nyamuk dengan curah hujan sebesar -0.641, kelembaban 0.21, dan suhu 0.681.

Kata kunci: nyamuk, keragaman nyamuk, fluktuasi kepadatan nyamuk, perangkap cahaya, peternakan sapi.

ABSTRACT

M IKHSAN. Species Diversity and Density Fluctuation of Mosquitoes in Cattle Farm Unit Reproduction and Rehabilitation Farm Bogor Agricultural University. Supervised by SUSI SOVIANA and UPIK KESUMAWATI HADI.

The aim of the research to study species diversity and density fluctuation of mosquitoes in cattle farm Unit Reproduction and Rehabilitation Bogor Agricultural University (URR IPB). Mosquitoes was collected by light trap from 6 pm to 6 am on June to October 2012. The mosquitoes preservation used pinning method to identify the species. There were 470 mosquitoes from 8 times collections, consisted of 7 species Culex (Cx. tritaeniorhynchus, Cx. gelidus ,Cx. bitaeniorhynchus, Cx. fuscocephalus, Cx. hutchinsoni, Cx. quinqeufasciatus, and Cx. pseudosinensis), 1 species Armigeres (Ar. subalbatus), 1 species Anopheles (An. nigerrimus), and 1 species Aedes (Ae. albopictus). The dominant species was Armigeres subalbatus (35.53%) and Cx. tritaeniorhynchus (21.91%). The highest mosquitoes density was discovered at 6 pm to 7 pm. The result of Pearsons corellation analysis showed that corellation of mosquitoes density to rainfall was -0.641, to humidity 0.21, and to temperature 0.681.

Keywords: cattle farm, light trap, mosquitoes, mosquitoes density, mosquitoes fluctuation.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

KERAGAMAN JENIS DAN FLUKTUASI KEPADATAN NYAMUK

PADA PETERNAKAN SAPI UNIT REPRODUKSI DAN REHABILITASI

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

M IKHSAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(6)
(7)

Judul Skripsi : Keragaman Jenis dan Fluktuasi Kepadatan Nyamuk pada Peternakan Sapi Unit Reproduksi dan Rehabilitasi Institut Pertanian Bogor.

Nama : M Ikhsan NIM : B04090078

Disetujui oleh

Dr drh Susi Soviana, MSi Pembimbing I

Prof Dr drh Upik Kesumawati Hadi, MS Pembimbing II

Diketahui oleh

drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet Wakil Dekan

(8)

Judul Skripsi : Keragaman Jenis dan Fluktuasi Kepadatan Nyamuk pada Petemakan Sapi Unit Reproduksi dan Rehabilitasi

Institut Pertanian Bogor. Nama : M Ikhsan

NIM : B04090078

Disetujui oleh

usi Soviana. MSi Pembimbing I

'---

2~~

---2::-:===_-,r

__

--~----Prof Dr drh Upik Kesumawati Hadi, MS Pembimbing II

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni hingga Desember 2012 ini ialah Keragaman Jenis dan Fluktuasi Kepadatan Nyamuk pada Peternakan Sapi Unit Reproduksi dan Rehabilitasi Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Ibu Dr. drh Susi Soviana, M.Si selaku dosen pembimbing dan Ibu Prof. Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, MS selaku dosen pembimbing skripsi dan pembimbing akademik yang telah memberikan banyak nasehat selama perkuliahan dan penulisan skripsi. Ungkapan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya juga disampaikan kepada orang tua tercinta Bapak Ajuzar dan Ibu Hafni Nazar. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kakak tersayang Alfi Nelly dan Rifki, serta adik tersayang Syukri dan Rahmi dan keluarga besar atas segala doa dan kasih sayangnya. Di samping itu, salam persahabatan penulis ucapkan kepada teman-teman Geochelone 46 yang telah banyak membantu selama perkuliahan.

Penulis menyadari penulisan skripsi ini tidak luput dari kekurangan, untuk itu Penulis sangat berterimakasih atas kritik dan saran-saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat, baik bagi penulis maupun pembaca.

Bogor, Januari 2014 M Ikhsan

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 2

Keragaman Jenis Nyamuk di Peternakan 2

Permasalahan Keberadaan Nyamuk terhadap Kesehatan Ternak 3

Faktor yang Mempengaruhi Perkembangbiakan Nyamuk 4

METODE 4 Waktu dan Tempat 4

Metode Penelitian 5

Analisis Data 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 6 Keragaman Jenis Nyamuk 6

Jenis-Jenis Nyamuk yang Tertangkap 9

Frekuensi, Kelimpahan Nisbi, dan Dominasi Spesies 10

Fluktuasi Kepadatan Nyamuk 11

Hubungan Kepadatan Nyamuk dengan Curah Hujan 12

Hubungan Kepadatan Nyamuk dengan Kelembaban 13

Hubungan Kepadatan Nyamuk dengan Suhu Ruangan 14

Potensi Permasalahan Keberadaan Nyamuk pada Peternakan Sapi 15

SIMPULAN DAN SARAN 16

Simpulan 16

Saran 16

DAFTAR PUSTAKA 16

LAMPIRAN 19

(11)

DAFTAR TABEL

1 Keragaman jenis dan jumlah nyamuk yang tertangkap selama penelitian 9 2 Keragaman jenis, kelimpahan nisbi, frekuensi, dan dominasi spesies

nyamuk yang tertangkap di peternakan sapi URR IPB, Juni-Oktober

2012. 10

DAFTAR GAMBAR

1 Ragam jenis nyamuk di peternakan sapi URR IPB, Juni-Oktober 2012. 8 2 Rata-rata kepadatan nyamuk yang tertangkap setiap jam di peternakan

sapi URR IPB, Juni-Oktober 2012. 11

3 Hubungan indeks curah hujan (mm) dengan kepadatan nyamuk yang tertangkap di peternakan sapi URR IPB, Juni-Oktober 2012 12 4 Hubungan kelembaban (%) dengan kepadatan nyamuk yang tertangkap

di peternakan sapi URR IPB, Juni-Oktober 2012. 13 5 Hubungan suhu udara (⁰C) dengan kepadatan nyamuk yang tertangkap

di peternakan sapi URR IPB, Juni-Oktober 2012. 13

DAFTAR LAMPIRAN

1 Tempat-tempat potensial bagi perkembangbiakan pradewasa nyamuk di

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ternak sapi merupakan salah satu sumber daya penghasil protein hewani berupa daging dan susu yang memiliki arti penting dalam kehidupan masyarakat. Permintaan akan kebutuhan daging dan susu di Indonesia tiap tahunnya mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan jumlah penduduk (Suryana 2009). Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) hasil Sensus Pertanian tahun 2011 menyebutkan bahwa tingkat kebutuhan konsumsi daging sapi di Indonesia sebesar 1.83 kg/kapita/tahun dan konsumsi susu sebesar 12.5 liter/kapita/tahun.

Pengembangan peternakan perlu menjadi perhatian penting bagi peternak dalam meningkatkan mutu hasil produksi. Keberadaan parasit di sekitar lingkungan peternakan cukup memberikan pengaruh terhadap mutu hasil produksi ternak. Nyamuk merupakan satu di antara beberapa ektoparasit di sekitar ternak yang dapat mengganggu kenyamanan ternak sehingga menurunkan nafsu makan, status gizi, dan hasil produksi ternak (Hadi 2011).

Permasalahan lain akibat keberadaan nyamuk pada peternakan sapi adalah nyamuk dapat berperan sebagai vektor penularan penyakit. Beberapa penyakit pada ternak sapi yang ditularkan nyamuk seperti Japanese Encephalitis (Weissenbock et al. 2010), Rift Valley Fever (Abd El-Rahim et al. 1999), dan Bovine Ephemeral Fever (Hsieh et al. 2005). Nyamuk juga dapat menyebabkan iritasi, kehilangan darah, dan alergi pada ternak (Mullen dan Durden 2002).

Lingkungan sekitar peternakan sapi Unit Reproduksi dan Rehabilitasi Institut Pertanian Bogor (URR IPB) terdapat kolam, parit, dan dikelilingi semak. Keadaan lingkungan ini yang memungkinkan menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk. Banyaknya faktor yang mendukung tempat perkembangbiakan nyamuk di lingkungan peternakan menuntut peternak untuk waspada terhadap timbulnya permasalahan akibat keberadaan nyamuk.

Program pengendalian perlu dilakukan untuk menurunkan, menekan, dan mengendalikan perkembangbiakan nyamuk. Menurut Sigit (2006) bahwa upaya pengendalian merupakan suatu usaha untuk menekan populasi hama serangga agar tidak merugikan masyarakat. Beragamnya permasalahan yang ditimbulkan, perlu dilakukan studi keragaman jenis dan fluktuasi kepadatan nyamuk di lingkungan peternakan sapi.

Perumusan Masalah

Keberadaan nyamuk pada peternakan sapi dapat menimbulkan masalah bagi ternak dan daerah pemukiman sekitar peternakan. Adanya genangan-genangan air dari kolam, parit, tempat minum ternak dan semak di sekitar kandang dapat menjadi sarana perkembangbiakan nyamuk. Keberadaaan nyamuk dapat mengganggu kenyamanan ternak dan berperan sebagai vektor penyakit. Hal ini berdampak pada penurunan produksi ternak sehingga menimbulkan kerugian pada peternak. Akan tetapi saat ini masih sedikit laporan atau tulisan tentang nyamuk dan perannya dalam peternakan, khususnya peternakan hewan besar.

(13)

2

Tujuan Penelitian

Studi yang dilakukan di kawasan peternakan sapi ini bertujuan untuk menentukan keragaman jenis dan fluktuasi nyamuk di peternakan sapi URR IPB serta risiko yang dapat ditimbulkan akibat keberadaan nyamuk.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi terhadap keragaman jenis nyamuk di peternakan sapi URR IPB sehingga dapat menjadi perhatian dalam upaya peningkatan produktivitas ternak. Selain itu, dapat dilakukan pengendalian yang cocok untuk menekan populasi nyamuk di peternakan sapi.

TINJAUAN PUSTAKA

Keragaman Jenis Nyamuk di Peternakan

Berbagai penelitian keragaman jenis nyamuk pada peternakan di Indonesia telah banyak dilakukan. Sigit dan Kesumawati (1988) melaporkan hasil penangkapan nyamuk yang ditemukan di desa Cikarawang dan Sindangbarang Bogor menggunakan perangkap cahaya (light trap) di kandang kerbau terdiri atas 25 spesies , yaitu 10 spesies Anopheles (An. annularis, An. vagus, An. indefinitus, An. tesselatus, An. barbirostris, An. aconitus, An. subpictus, An. peditaeniatus, An.kochi, dan An. nigerrimus), 10 spesies Culex (Cx. tritaeniorhynchus, Cx. pseudovishnui, Cx. bitaeniorhynchus, Cx. nigropunctatus, Cx. quinquefasciatus, Cx. gelidus, Cx. pallidotrorax, Cx. pseudosinensis, Cx. sinensis, dan Cx. cinctellus) 1 spesies Mansonia (M. uniformis), 1 spesies Aedes (Ae. albopictus), 1 spesies Armigeres (Ar. subalbatus), 1 spesies Ficalbia (Ficalbia sp.), dan 1 spesies Tripteroides (Tripteroides sp.).

Selain itu, Andiyatu (2005) melaporkan nyamuk yang ditemukan di kandang kerbau dengan menggunakan light trap di wilayah kampus IPB Dramaga dan sekitarnya berjumlah 22 spesies dari 8 genus, yaitu 9 spesies Culex (Cx. quinquefasciatus, Cx. tritaeniorhynchus, Cx. vishnui, Cx. hutchinsoni, Cx. fuscocephalus, Cx. pallidothorax, Cx. bitaeniorhynchus, Cx. gelidus dan Cx. whitmorei), 5 spesies Anopheles (An. aconitus, An. barbirostris, An. indefinitis, An. kochi, dan An. vagus), 3 spesies Aedes (Ae. aegypti, Ae. albopictus, dan Ae. poecilus), 2 spesies Armigeres (Ar. subalbatus dan Ar. foliatus), 1 spesies Mansonia (M. uniformis), 1 spesies Malaya (Malaya sp.), 1 spesies Topomyia (Topomyia sp.), dan 1 spesies Uranotaenia (Uranotaenia sp.).

Ragam jenis nyamuk di Desa Segara Kembang, Sumatera Selatan juga telah dilaporkan Taviv (2005). Di daerah tersebut ditemukan 17 spesies nyamuk terdiri atas 8 spesies Anopheles (An. aconitus, An. barbirostris, An. nigerrimus, An. umbrosus, An. annularis An. kochi, An. schueffneri, dan An. vagus,), 6 spesies Culex (Cx. quinquefasciatus, Cx. tritaeniorhynchus, Cx. bitaeniorhynchus, Cx. sitiens, Cx. halifaxli dan Cx. gelidus), 2 spesies Mansonia (M. annulifera, dan M. uniformis) dan 1 spesies Armigeres (Ar. subalbatus). Metode penangkapan yang

(14)

3 digunakan adalah perangkap hewan (magoon trap) dan aspirator. Hewan yang digunakan pada penelitian ini adalah sapi.

Permasalahan Keberadaan Nyamuk terhdap Kesehatan Ternak

Keberadaan nyamuk pada peternakan sapi dapat mengganggu kenyamanan ternak dan berperan sebagai pembawa beberapa agen penyakit. Beberapa penyakit pada ternak sapi yang proses penularannya melalui vektor nyamuk, diantaranya Japanese Encephalitis (JE), Bovine Ephemeral Fever (BEF), dan Rift Valley Fever (RVF). Selain sebagai vektor penyakit, keberadaan nyamuk di sekitar ternak dapat menyebabkan iritasi, alergi, dan kehilangan darah (blood loss) pada ternak. Kondisi ini menyebabkan gangguan pada kesehatan ternak yang berdampak pada turunnya produksi, bahkan menyebabkan kematian pada ternak (Mullen dan Durden 2002).

Penyakit Japanese Encephalitis (JE) merupakan penyakit viral yang menginfeksi ternak ruminansia, babi, kuda maupun manusia. Virus JE termasuk dalam anggota kelompok Flavivirus dari famili Flaviviridae (NVBDCP 2006). Aktivitas virus secara alami akan terpelihara melalui siklus hidup nyamuk dengan babi sebagai induk semang penting tempat perbanyakan dari virus tersebut. Ragam jenis nyamuk yang telah dinyatakan sebagai vektor penyakit JE di Indonesia bermacam-macam, antara lain Cx. tritaeniorhynchus, Cx. fuscocephalus, dan Cx. gelidus, di Jakarta dan Bogor, Cx. bitaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus, Ar. subalbatus, An. vagus, Cx. fuscocephalus, An. kochi dan Cx. tritaeniorhynchus di Semarang, Cx. vishnui dan Cx. annulus di Pontianak, Cx. gelidus, Cx. tritaeniorhynchus, An. annularis, dan An. vagus di Pulau Lombok (DEPKES 1999 dalam Hadi et al. 2011).

Penyakit Bovine Ephemeral Fever (BEF) atau penyakit demam tiga hari pada sapi atau kerbau merupakan penyakit viral yang ditularkan melalui gigitan nyamuk dan bersifat benign non contagius. Penyakit ini disebabkan oleh virus golongan Rhabdovirus dari famili Rhabdoviridae (Dirjennak 2012). Menurut Hseih et al. (2005) bahwa virus BEF yang ditularkan melalui gigitan nyamuk masuk ke dalam tubuh sapi atau kerbau selanjutnya menyebabkan viremia yang disertai dengan demam yang cukup tinggi. Nyamuk yang bertindak sebagai vektor penyakit ini adalah golongan Aedes sp. dan Culex sp. Penyakit BEF pertama kali ditemukan tahun 1867 pada sapi di Afrika Tengah. Di Indonesia kasus BEF pertama kali dilaporkan di Sumatera pada tahun 1920 (Dirjennak 2012). Suwito dan Nurini (2009) melaporkan bahwa gejala klinis yang muncul pada ternak yang terinfeksi penyakit BEF adalah demam tinggi (40.5-41 ⁰C), nafsu makan hilang, tremor, kelemahan otot dan peningkatan pulsus. Kasus BEF pada pedet di Puskewan Godean, suhu tubuh pedet dapat mencapai 43°C.

Penyakit Rift Valley Fever (RVF) merupakan penyakit zoonosis yang menginfeksi ternak sapi, domba, kambing dan unta serta manusia. Penyakit ini mengakibatkan kerugian ekonomi yang signifikan karena kematian dan aborsi di kalangan ternak yang terinfeksi RVF. Virus Rift Valley Fever merupakan virus dari genus Phlebovirus dari famili Bunyaviridae. Virus ini pertama kali diidentifikasi pada tahun 1931 selama penyelidikan epidemi di sebuah peternakan di Rift Valley Kenya. Aedes spp. merupakan nyamuk yang berpotensi menularkan virus ini melalui gigitan (WHO 2010). Gejala klinis penyakit ini pada ternak

(15)

4

adalah demam tinggi, ikhterus, diare berdarah, dan abortus (Abd El-Rahim et al. 1999), sedangkan gejala klinis parah pada manusia adalah lesio retina, meningoencephalitis dan demam berdarah. Kejadian pada manusia biasanya terjadi karena pekerjaan. Kasus pada manusia umumnya ringan tetapi pada beberapa individu yang peka dapat menimbulkan gejala penyakit yang berat (Gould dan Higgs 2009).

Faktor yang Mempengaruhi Perkembangbiakan Nyamuk

Perubahan iklim seperti cuaca, curah hujan, suhu, dan kelembaban dapat mempengaruhi dinamika biologi dan populasi dari vektor nyamuk yang sebagian siklus hidupnya berhabitat di dalam air (McMichael dan Woodruff 2008). Menurut Hadi dan Soviana (2010), faktor yang dapat mempengaruhi kepadatan nyamuk adalah topografi, populasi manusia atau hewan sebagai sumber darah, halaman, dan kebun-kebun sebagai tempat hinggap dan istirahat serta adanya genangan air sebagai tempat perkembangbiakan.

Suhu optimum perkembangbiakan nyamuk adalah 27 ⁰C (Rowley dan Graham 1968). Suhu yang ekstrim akan mengurangi populasi nyamuk, misalnya larva Culex annulirostris akan mati pada suhu di bawah 10⁰C dan di atas 40⁰C. Akan tetapi, suhu yang meningkat sampai batas tertentu dapat mengurangi waktu perkembangan larva, sehingga akan lebih banyak generasi nyamuk yang dihasilkan pada satuan waktu yang sama. Sebagai contoh, Culex annularis umumnya memerlukan 12-13 hari dari stadium telur sampai dengan dewasa pada suhu 25 ⁰C, tetapi pada suhu 30 ⁰C hanya memerlukan waktu 9 hari dari telur sampai dengan dewasa (McMichael dan Woodruff 2008).

Kelembaban merupakan jumlah air yang terdapat dalam udara yang dinyatakan dengan persen (%). Kelembaban dapat mempengaruhi kecepatan berkembangbiak, kebiasaan menggigit, dan istirahat nyamuk. Akan tetapi, kelembaban yang rendah dapat mempercepat penguapan pada tubuh nyamuk sehingga mengurangi aktivitas dan dapat memperpendek umur nyamuk. Rata-rata kelembaban minimal dalam perkembangbiakan nyamuk adalah 60% (Dhiman et al. 2008), sedangkan kelembaban optimal untuk perkembangbiakan nyamuk adalah 80% (Rowley dan Graham 1968).

Curah hujan mempengaruhi keberadaan habitat perkembangbiakan nyamuk karena semakin banyak tempat penampungan air alami yang terisi air hujan. Akan tetapi, curah hujan yang berlebihan dapat menyapu tempat perkembangbiakan nyamuk sehingga banyak telur, larva, dan pupa terbawa oleh arus air. Curah hujan yang rendah dapat menjaga genangan air sehingga mendukung perkembangbiakan nyamuk (Ginanjar 2011; Epstein et al. 1998).

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan pada bulan Juni hingga Desember 2012. Pengoleksian nyamuk dilakukan pada bulan Juni hingga Oktober 2012 di peternakan sapi URR IPB. Proses identifikasi spesimen dilakukan di Laboratorium Entomologi, Bagian

(16)

5 Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Metode Penelitian

Penangkapan Nyamuk

Penangkapan sebanyak delapan kali yang dilakukan secara bertahap yaitu empat kali pada bulan Juni sampai Juli 2012 dan sisanya pada bulan September sampai Oktober 2012. Penangkapan nyamuk menggunakan perangkap cahaya (light trap). Perangkap cahaya yang digunakan sebanyak dua buah. Perangkap cahaya dipasang pada kandang ternak dengan cara di gantungkan pada ketinggian kira-kira 1.5 meter dari permukaan tanah, dimulai pukul 18.00 sampai 06.00 keesokan harinya. Koleksi nyamuk dilakukan setiap jam selama 12 jam penangkapan. Nyamuk yang diperoleh di masukkan ke dalam kantung plastik dan dimatikan menggunakan kloroform. Suhu kandang diamati setiap jam menggunakan termometer ruangan.

Preservasi Nyamuk

Preservasi nyamuk dilakukan dengan cara kering menggunakan metode pinning. Pembuatan preparat dengan cara menempelkan bagian toraks nyamuk pada kertas segitiga kecil yang telah ditancapkan pada jarum. Keseragaman tinggi nyamuk pada jarum menggunakan sebuah balok khusus (pinning block). Setelah dilakukan pinning, nyamuk diberi label dan disimpan dalam kotak penyimpan serangga. Bagian dasar kotak dialasi gabus dan tiap sudut kotak diberi kapur barus yang telah dibungkus dengan tisu agar nyamuk tidak rusak. Preparat nyamuk diberi label sesuai jam penangkapan.

Identifikasi Nyamuk

Identifikasi nyamuk dilakukan di Laboratorium Entomologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Acuan yang digunakan untuk menentukan spesies nyamuk adalah kunci bergambar untuk Anopheles betina dari Indonesia (O’Connor dan Soepanto A 1979), kunci identifikasi Aedes jentik dan dewasa di Jawa (Depkes 1989), dan kunci identifikasi nyamuk Culex (Depkes 2008).

Analisis Data

Pengukuran kepadatan dan keragaman jenis nyamuk dinyatakan dalam kelimpahan nisbi, frekuensi, dan dominasi spesies.

Kelimpahan Nisbi

Kelimpahan nisbi adalah perbandingan jumlah individu spesies nyamuk terhadap total jumlah spesies nyamuk yang diperoleh dan dinyatakan dalam persen.

Kelimpahan nisbi =

(17)

6

Frekuensi

Frekuensi nyamuk tertangkap dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah penangkapan diperolehnya nyamuk spesies tertentu terhadap jumlah total penangkapan.

Frekuensi =

Dominasi Spesies

Angka dominasi spesies dihitung berdasarkan hasil perkalian antara kelimpahan nisbi dengan frekuensi nyamuk tertangkap spesies tersebut dalam satu waktu penangkapan.

Dominasi spesies = Kelimpahan nisbi X Frekuensi tertangkap

Fluktuasi Kepadatan Nyamuk

Fluktuasi aktivitas masing-masing spesies nyamuk selama penelitian disajikan dalam bentuk grafik dan disampaikan secara deskriptif.

Hubungan Fluktuasi Kepadatan Nyamuk Dengan Curah Hujan, Kelembaban dan Suhu

Data curah hujan dan kelembaban diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Dramaga Bogor. Data suhu diperoleh dari pengukuran suhu kandang setiap jam selama penangkapan menggunakan termometer ruangan. Data disajikan dalam bentuk grafik. Uji Pearson correlation digunakan untuk mengetahui hubungan fluktuasi kepadatan nyamuk terhadap curah hujan, kelembaban dan suhu. Data dianalisis menggunakan program komputer SPSS 16.0 dan Microsoft Excel 2010.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaman Jenis Nyamuk

Ragam jenis nyamuk yang ditemukan dengan perangkap cahaya (light trap) di peternakan sapi URR IPB terdiri atas 10 spesies, yaitu satu spesies Aedes (Ae. albopictus), satu spesies Armigeres (Ar. subalbatus), tujuh spesies Culex (Cx. quinquefasciatus, Cx. bitaeniorhynchus, Cx. gelidus, Cx. pseudosinensis, Cx. tritaeniorhynchus, Cx. fuscocephalus, Cx. hutchinsoni), dan satu spesies Anopheles (An. nigerrimus).

Ae. albopictus memiliki ciri morfologi pada tibia kaki belakang terdapat gelang putih. Probosis lebih pendek dari femur kaki depan. Sepanjang mesonotum terdapat garis memanjang yang sempit. Sisik-sisik putih pada pleura dalam bentuk bercak-bercak putih tidak beraturan. Ciri khas dari nyamuk ini adalah terdapat kumpulan sisik-sisik putih yang lebar di atas akar sayap di anatara bulu-bulu supra alar (Gambar 1A).

(18)

7 Ar. subalbatus merupakan nyamuk berukuran besar. Ar. subalbatus memiliki ciri morfologi probosis yang panjang dan melengkung ke bawah. Pada sternit abdomen terdapat bercak-bercak putih (Gambar 1B).

Cx. quinquefasciatus memiliki ciri morfologi pada probosis tanpa gelang putih. Integumen dari pleuron berwarna pucat merata. Tergit abdomen terdapat gelang basal yang sempit (Gambar 1C).

Cx. bitaeniorhynchus memiliki ciri morfologi pada probosis terdapat gelang putih. Sayap terdapat sisik-sisik pucat yang tersebar di antara sisik-sisik gelap, terutama pada costa dan subcosta, dan skutum tanpa sisik-sisik keperakan. Tergit abdomen terdapat gelang pucat apical yang bagian atasnya mirip segitiga (Gambar 1D).

Cx. pseudosinensis memiliki ciri morfologi pada probosis terdapat gelang putih. Sayap tanpa sisik-sisik pucat dan skutum dengan sisik-sisik keperakan. Tergit abdomen dengan gelang-gelang pucat apical dengan bercak mirip segitiga dan gelang pucat basal agak lebar (Gambar 1E).

Cx. gelidus memiliki ciri morfologi pada probosis terdapat gelang putih. Skutum tertutup sisik-sisik putih yang lebat setidaknya di bagian anterior sampai prescutellar. Tergit abdomen terdapat gelang basal putih, tidak terdapat gelang apical dan tanpa bercak-bercak (Gambar 1F).

Cx. tritaeniorhynchus merupakan nyamuk berukaran kecil, berwarna hitam kecoklatan. Nyamuk ini memiliki ciri morfologi pada probosis terdapat gelang putih. Skutum tertutup sisik-sisik coklat merata atau beberapa sisik kuning atau keemasan. Tergit abdomen terdapat gelang basal putih, tidak terdapat gelang apical dan tanpa bercak-bercak. Sayap tanpa bercak-bercak berupa sisik-sisik putih yang jelas (Gambar 1G).

Cx. fuscocephalus memiliki ciri morfologi pada probosis tanpa gelang putih. Ciri khas nyamuk ini adalah tergit abdomen berwarna hitam kecoklatan tanpa gelang putih (Gambar 1H).

Cx. hutchinsoni memiliki ciri morfologi pada probosis tanpa gelang putih. Integumen dari pleuron berwarna coklat kehitam-hitaman. Tergit abdomen terdapat gelang basal yang sempit (Gambar 1I).

An. nigerrimus mempunyai ciri khas gelang-gelang tarsi kaki belakang sedang, gelang pucat pada ruas 3-4 sama panjangnya, pada sayap terdapat tanda gelap preapical tanpa sisik-sisik pucat (Gambar 1J).

Berdasarkan hasil penangkapan, nyamuk yang ditemukan di peternakan sapi URR IPB cukup beragam. Hal ini disebabkan oleh lingkungan peternakan yang dikelilingi oleh semak dengan kondisi lingkungan yang teduh. Selain itu, terdapat sapi sebagai sumber darah bagi nyamuk yang dapat meningkatkan keberadaan nyamuk di lingkungan peternakan. Peternakan sapi URR IPB terletak di kawasan kampus IPB sehingga jauh dari pemukiman warga. Lingkungan sekitar kandang terdapat genangan air di parit, kolam, lekukan tanah dan air pada tempat minum ternak yang berpotensi sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk (Lampiran 1). Pada penelitian ini tidak dikonfirmasi dengan pengambilan larva di lingkungan peternakan karena keterbatasan waktu.

Pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di kandang ternak juga di temukan spesies nyamuk yang beragam. Kondisi serupa juga dilaporkan Hadi et al. (2011) menggunakan perangkap cahaya bahwa ragam jenis nyamuk yang ditemukan di Peternakan Babi Simangunsong terdiri atas Cx. quinquefasciatus,

(19)

8

Cx. bitaeniorhynchus, Cx. fuscocephalus, Cx. tritaeniorhynchus, Cx. gelidus, An. subpictus, An. annularis An. kochi, An. brevipalpis, An. vagus, Ar. subalbatus, dan M. uniformis. Selain itu, Taviv (2005) juga melaporkan hasil koleksi nyamuk di Desa Segara Kembang, Sumatera Selatan yang terdiri atas Cx. quinquefasciatus, Cx. sitiens, Cx. tritaeniorhynchus, Cx. gelidus, An. aconitus, An. barbirostris An. kochi, An. schuefneri, An. vagus, Ar. subalbatus, M. annulifera, dan M. uniformis. Penangkapan nyamuk dilakukan di kandang sapi dan rumah warga dengan metode perangkap cahaya.

Tingginya ragam jenis nyamuk yang ditemukan pada masing-masing peternakan diduga karena lingkungan sekitar peternakan mendukung perkembangbiakan nyamuk dengan banyaknya tempat potensial bagi perkembangbiakan nyamuk. Selain itu, perbedaan topografi lingkungan juga mempengaruhi keragaman jenis nyamuk. Menurut Hadi dan Koesharto (2006), nyamuk merupakan serangga yang memanfaatkan air lingkungan dalam perkembangbiakan. Danau, parit, saluran irigasi, air payau, air bebatuan, septik teng, dan selokan dapat sebagai tempat perkembangbiakan pradewasa nyamuk.

A. Ae. albopictus B. Ar.subalbatus

C. Cx. quinquefasciatus D. Cx. bitaeniorhynchus E. Cx. pseudosinensis F. Cx. gelidus a b a b c a c b a c a c b a c c b b

(20)

9

G. Cx. tritaeniorhynchus H. Cx. fuscocephalus

I. Cx. hutchinsoni J. An. nigerrimus

Gambar 1 Ragam jenis nyamuk di peternakan sapi URR FKH IPB, Juni-Oktober 2012. (a. Probosis, b. Toraks, c. Abdomen)

Jenis-Jenis Nyamuk yang Tertangkap

Jenis-jenis nyamuk yang tertangkap selama penelitian disajikan pada Tabel 1. Total nyamuk yang diperoleh selama penangkapan sebanyak 470 nyamuk yang terdiri atas 10 spesies. Total tertangkapnya nyamuk genus Culex paling tinggi yaitu 276 nyamuk (58.7%). Pada penelitian ini terdapat dua spesies nyamuk yang paling banyak tertangkap selama penelitian yaitu Ar. subalbatus dan Cx. tritaeniorhynchus. Ar. subalbatus merupakan spesies nyamuk paling banyak diperoleh yaitu 167 nyamuk (35.53%). Cx. tritaeniorhynchus menempati persentase tertinggi kedua yaitu 21.91%.

Tabel 1 Keragaman jenis dan jumlah nyamuk yang tertangkap selama penelitian.

No Spesies Jumlah Persentase

1 Ar. subalbatus 167 35.53% 2 Cx. tritaeniorhynchus 103 21.91% 3 Cx. bitaeniorhynchus 42 8.93% 4 Cx. fuscocephalus 40 8.51% 5 Cx. pseudosinensis 32 6.81% 6 An. nigerrimus 26 5.53% 7 Cx. quinquefasciatus 25 5.32% 8 Cx. gelidus 21 4.47% 9 Cx. hutchinsoni 13 2.76% 10 Ae. albopictus 1 0.21% Total 470 100% a b a c a b c a c b c b

(21)

10

Tingginya jumah spesies Ar. subalbatus yang dilaporkan berbeda dengan Taviv (2005) bahwa total Ar. subalbatus yang diperoleh di kandang sapi di Desa Segara Kembang sangat sedikit yaitu 12 nyamuk (4.0%). Hal ini diduga adanya perbedaan kondisi lingkungan pada lokasi penangkapan. Menurut Harbach (2008) bahwa habitat perkembangbiakan pradewasa nyamuk Ar. subalbatus adalah air kotor, seperti genangan air hasil feses ternak atau air dengan kandungan organik tinggi, pada genangan air pada lubang batu, pohon, tanggul,dan bambu. Selain itu pada sekam, wadah buatan yang mengandung bahan organik dan genangan air tanah serta semak dengan kondisi lingkungan yang teduh.

Total nyamuk genus Culex yang ditemukan Andiyatu (2005) di kandang kerbau juga paling tinggi dibandingkan genus lainnya yaitu 293 nyamuk (78.97%). Selain itu, Hadi et al. (2011) melaporkan pada penangkapan nyamuk di Peternakan Babi Simangunsong, Kota Medan, Cx. tritaeniorhynchus merupakan spesies yang memiliki kelimpahan nisbi terbesar yaitu (59.86%). Tingginya genus Culex yang ditemukan pada masing-masing peternakan diduga karena lingkungan peternakan mendukung tahap erkembangbiakan pradewasa nyamuk Culex.

Kelimpahan Nisbi, Frekuensi dan Dominasi Spesies

Nilai-nilai kelimpahan nisbi, frekuensi dan dominasi spesies nyamuk tertangkap selama penelitian disajikan pada Tabel 2. Spesies Ar. subalbatus dan Cx. tritaeniorhynchus merupakan spesies yang memiliki nilai kelimpahan nisbi dan dominasi tertinggi dibandingkan spesies lain.

Tabel 2 Keragaman jenis, kelimpahan nisbi, frekuensi, dan dominasi spesies nyamuk yang tertangkap di peternakan sapi URR FKH IPB, Juni-Oktober 2012. No Spesies Kelimpahan Nisbi Frekuensi Dominasi Spesies 1 Ar. subalbatus 35.53% 1.00 35.53% 2 Cx. tritaeniorhynchus 21.91% 1.00 21.91% 3 Cx. bitaeniorhynchus 8.93% 1.00 8.93% 4 Cx. fuscocephalus 8.51% 1.00 8.51% 5 Cx. pseudosinensis 6.81% 1.00 6.81% 6 An. nigerrimus 5.53% 0.875 4.84% 7 Cx. quinquefasciatus 5.32% 1.00 5.32% 8 Cx. gelidus 4.47% 0.875 3.91% 9 Cx. hutchinsoni 2.76% 1.00 2.76% 10 Ae. albopictus 0.21% 0.125 0.03%

Hasil penelitian ini menunjukkan Ar. subalbatus memiliki kelimpahan nisbi tertinggi yaitu 35.53% dan ditemukan secara teratur selama penangkapan, dengan nilai dominasi tertinggi yaitu 35.53%. Akan tetapi, Andiyatu (2005) melaporkan bahwa kelimpahan nisbi Ar. subalbatus cukup rendah yaitu 1.89%, frekuensi tertangkapnya 0.33, dan nilai dominasi yaitu 0.62%. Rendahnya nilai kelimpahan nisbi, frekuensi dan dominasi spesies diduga perbedaan lingkungan sekitar tempat penangkapan. Lokasi kandang kerbau pada penelitian Andiyatu (2005) berada di

(22)

11 sekitar rumah warga di Desa Cikarawang, Babakan dan Cibanteng sehingga tidak mendukung dalam perkembangbiakan pradewasa nyamuk Ar. subalbatus.

Nilai kelimpahan nisbi Cx. tritaeniorhynchus tertinggi dibandingkan spesies Culex lainnya yaitu 21.91% dan nilai dominasi 21.91%. Andiyatu (2005) melaporkan bahwa Cx. tritaeniorhynchus merupakan spesies dengan nilai kelimpahan nisbi tertinggi yaitu 26.15% dengan frekuensi tertangkap 0.73 dan nilai dominasi 19.1%. Tingginya nilai kelimpahan nisbi, frekuensi dan dominasi spesies nyamuk Cx. tritaeniorhynchus pada masing-masing peternakan diduga nyamuk ini bersifat zoofilik atau menyerang hewan.

An. nigerimus merupakan satu-satunya spesies dari genus Anopheles yang diperoleh selama penelitian ini. Nilai kelimpahan nisbi An. nigerrimus cukup tinggi yaitu 5.53%, frekuensi 0.875, dan nilai dominasi 4.48%. Menurut Jastal (2005) An. nigerrimus cenderung menunjukkan perilaku zoofilik daripada antropofilik, karena hasil penangkapan nyamuk dewasa An. nigerrimus lebih banyak ditemukan mengisap darah hewan (11.2 nyamuk/bulan) daripada darah manusia (8.6 nyamuk/bulan).

Fluktuasi Kepadatan Nyamuk

Fluktuasi aktivitas nyamuk selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Secara keseluruhan menunjukkan nyamuk paling banyak tertangkap pada pukul 18.00 sampai 20.00, kemudian mengalami penurunan dan meningkat lagi pukul 04.00 sampai 06.00. Pada pukul 02.00 sampai 03.00 tidak diperoleh nyamuk tertangkap.

Gambar 2 Rata-rata kepadatan nyamuk yang tertangkap setiap jam di peternakan sapi URR IPB, Juni-Oktober 2012.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Kep ad atan n y am u k ( n y am u k /m ala m )

Cx. quiquenfasciatus Cx. bitaeniorhynchus Cx.tritaeniorhynchus

Cx. fuscocephalus Cx. pseudosinensis Cx. hutchinsoni

Cx. gellidus An. nigerrimus Ar. subalbatus

(23)

12

Puncak fluktuasi kepadatan Ar. subalbatus terjadi pada pukul 18.00 sampai 19.00. Kondisi ini sesuai dengan penelitian Pandian dan Chandrashekaran (1980) menunjukkan puncak fluktuasi kepadatan Armigeres terjadi pukul 18.00 sampai 19.00. Hal ini disebabkan aktivitas Armigeres terjadi menjelang matahari terbit dengan paparan cahaya diatas 17 lux dan menjelang matahari terbenam dengan paparan cahaya dibawah 4 lux.

Aktifitas nyamuk genus Culex hampir ditemukan setiap jam selama penangkapan. Pada pukul 02.00-03.00 tidak ditemukan nyamuk Culex. Puncak fluktuasi kepadatan nyamuk genus Culex terjadi pukul 18.00 sampai 19.00 kemudian semakin malam nyamuk tertangkap semakin sedikit dan mengalami peningkatan pukul 04.00 sampai 06.00. Fluktuasi kepadatan terendah terjadi pukul 22.00 sampai 02.00 dan pukul 03.00 sampai 04.00. Pada penelitian Hadi et al. (2011) puncak fluktuasi nyamuk genus Culex di Peternakan Babi Simangunsong terjadi pukul 20.00 sampai 24.00, kemudian semakin malam nyamuk yang tertangkap semakin sedikit dan meningkat lagi pukul 04.00 sampai 06.00. Berdasarkan aktivitas nyamuk genus Culex pada masing-masing peternakan menunjukkan bahwa Culex bersifat nokturnal atau aktif pada malam hari.

Pada penelitian ini diperoleh aktivitas Ae. albopictus pada malam hari pukul 18.00 sampai 19.00. Kondisi yang sama juga ditemukan pada penelitian Andiyatu (2005) diperoleh spesies Ae. albopictus pada penangkapan malam hari di kandang kerbau dan puncaknya terjadi pada pukul 18.00 sampai 20.00. Akan tetapi, Ae. albopictus merupakan spesies nyamuk yang berifat diurnal atau aktif pada siang hari. Hal ini diduga nyamuk yang ditemukan merupakan nyamuk yang sedang beristirahat, tetapi adanya usikan, bau dan karbondioksida sehingga nyamuk mendekat dan tertangkap light trap.

Fluktuasi kepadatan An. nigerrimus selama penelitian terjadi pada pukul 18.00 sampai 20.00. Puncak fluktuasi kepadatan An. nigerrimus terjadi pada pukul 18.00 sampai 19.00 dan aktivitas berakhir pada pukul 20.00. Jastal (2005) melaporkan bahwa puncak kepadatan An. nigerrimus di Desa Tongoa Sulawesi Tengah terjadi pada pukul 22.00 sampai 24.00. Penangkapan menggunakan metode umpan sapi. Perbedaan hasil ini diduga karena adanya perbedaan kondisi lingkungan penangkapan. Munif et al. (2007) menyatakan bahwa puncak aktivitas nyamuk Anopheles dipengaruhi oleh faktor suhu, kelembaban udara, dan angin yang dapat menyebabkan bertambah dan berkurangnya nyamuk di suatu tempat.

Hubungan Kepadatan Nyamuk dengan Curah Hujan

Curah hujan yang terjadi selama penelitian cukup fluktuatif, yaitu berkisar antara 0.0-56.5 mm. Curah hujan tertinggi terjadi pada penangkapan ke-6. Pada penangkapan tersebut rata-rata nyamuk tertangkap adalah 5.75 nyamuk/malam yang merupakan rata-rata nyamuk tertangkap terendah. Hal berbeda terjadi pada penangkapan ke-1 hingga ke-4 tidak terjadi hujan dan jumlah nyamuk yang tertangkap cukup tinggi yaitu 8.38-8.88 nyamuk/malam (Gambar 3). Curah hujan yang rendah menyebabkan terbentuknya genangan-genangan air sehingga dapat mendukung proses perkembangbiakan nyamuk. Akan tetapi, curah hujan dapat mengganggu aktifitas nyamuk sehingga populasi nyamuk yang mendekat ke kandang semakin sedikit.

(24)

13

Gambar 3 Hubungan indeks curah hujan (mm) dengan kepadatan nyamuk yang tertangkap di peternakan sapi URR IPB, Juni-Oktober 2012.

Hubungan antara kepadatan nyamuk terhadap curah hujan dengan menggunakan uji Pearson correlation didapatkan nilai -0.641. Berdasarkan hasil tersebut, hubungan kepadatan nyamuk terhadap curah hujan memiliki nilai negatif. Nilai negatif menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik, yakni curah hujan tinggi menyebabkan kepadatan nyamuk rendah dan sebaliknya. Kondisi ini berkaitan dengan keadaan lingkungan peternakan sapi yang memiliki sistem drainase buruk. Tingginya curah hujan menyebabkan tempat perkembangbiakan nyamuk rusak, sedangkan curah hujan yang rendah dapat menjaga dan memperbanyak tempat perkembangbiakan nyamuk sehingga mendukung perkembangbiakan nyamuk (Ginanjar 2011).

Hubungan Kepadatan Nyamuk dengan Kelembaban

Kelembaban selama penelitian berkisar antara 71.3 hingga 86.0%. Kelembaban tertinggi terjadi pada penangkapan ke-3 yaitu 86.0% dan terendah pada penangkapan ke-5 yaitu 71.3%. Kisaran kelembaban di kandang pada malam hari merupakan kelembaban yang tinggi dan berada pada kisaran optimum yang dibutuhkan nyamuk dalam perkembangbiakan dan aktifitas nyamuk. Kelembaban yang tinggi dapat meningkatkan metabolisme nyamuk, sehingga proses pematangan telur lebih cepat (Clements 1999). Hal ini menyebabkan kebiasaan nyamuk mengisap darah semakin meningkat. Kelembaban yang rendah dapat meningkatkan penguapan cairan dari tubuh nyamuk sehingga menurunkan aktivitas nyamuk.

Hubungan antara kepadatan nyamuk terhadap kelembaban udara dianalisis menggunakan uji Pearson correlation didapatkan nilai 0.211. Berdasarkan hasil tersebut, kepadatan nyamuk terhadap kelembaban memiliki nilai hubungan yang lemah. Hal ini diduga karena kepadatan nyamuk tidak hanya dipengaruhi oleh kelembaban udara, namun juga dipengaruhi oleh curah hujan, suhu udara, dan karakteristik habitat. Epstein (2001) melaporkan bahwa keberadaan nyamuk pada suatu daerah dapat dipengaruhi oleh suhu udara, kelembaban, dan angin

0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.00

I II III IV V VI VII VIII

C u rah h u jan ( m m ) Kep ad aa n n y am u k (n y am u k /m ala m ) Penangkapan Kepadatan Curah hujan

(25)

14

Gambar 4 Hubungan kelembaban (%) dengan kepadatan nyamuk yang tertangkap di peternakan sapi URR IPB, Juni-Oktober 2012.

Hubungan Kepadatan Nyamuk dengan Suhu Ruangan

Suhu kandang sapi selama penelitian berkisar antara 25.7-28.7⁰C. Suhu kandang tertinggi terjadi pada penangkapan ke-1 yaitu 28.7⁰C dan pada penangkapan selanjutnya mengalami penurunan. Suhu kandang terendah terjadi pada penangkapan ke-8 yaitu 25.7⁰C. Berdasarkan data tersebut perbedaan suhu pada setiap penangkapan tidak berbeda jauh dan berada pada kisaran suhu optimum perkembangbiakan nyamuk sehingga dapat dikatakan suhu di lingkungan peternakan dapat mendukung perkembangbiakan nyamuk.

Gambar 5 Hubungan suhu udara (⁰C) dengan kepadatan nyamuk yang tertangkap di peternakan sapi URR IPB, Juni-Oktober 2012.

0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0 100.0 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.00

I II III IV V VI VII VIII

Kele m b ab an ( %) Kep ad atan n y am u k (n y am u k /m ala m ) Penangkapan Kepadatan Kelembaban 0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.00

I II III IV V VI VII VIII

Su h u ( ⁰C) Kep ad atan n y am u k (n y am u k /m ala m ) Penangkapan Kepadatan Suhu Udara

(26)

15 Hubungan antara kepadatan nyamuk terhadap suhu ruangan dianalisis menggunakan uji Pearson correlation didapatkan nilai 0.681. Hasil analisis uji korelasi menunjukkan terdapat hubungan yang cukup kuat antara kepadatan nyamuk dan suhu ruangan. Hal ini menunjukkan bahwa suhu yang tinggi dapat meningkatkan kepadatan dan aktivitas nyamuk. Keadaan suhu pada batas tertentu dapat meningkatkan aktifitas menggigit nyamuk sehingga periode hidupnya lebih sering bertelur dan meningkatkan populasi nyamuk (Martens et al. 1997 dalam Epstein et al. 1998).

Potensi Permasalahan Keberadaan Nyamuk pada Peternakan Sapi

Beragamnya jenis nyamuk yang ditemukan di sekitar kandang sapi URR IPB memberikan dampak negatif pada ternak dan peternak. Nyamuk merupakan ektoparasit yang memerlukan darah untuk kegiatan metabolisme dan reproduksi. Menurut Mulen dan Durden (2002) aktivitas nyamuk di sekitar ternak dapat menyebabkan iritasi, alergi, dan kehilangan darah (blood loss) pada ternak. Kondisi ini dapat mengakibatkan stress dan turunnya nafsu makan pada ternak sehingga berdampak pada produksi ternak di antaranya turunnya bobot ternak.

Selain itu, nyamuk dapat berperan sebagai vektor penyakit. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terdapat beberapa spesies nyamuk yang ditemukan di peternakan sapi URR IPB berpotensi sebagai vektor penyakit BEF, RVF, dan JE. BEF merupakan penyakit yang dapat menyebabkan kematian pada ternak. Keberadaan spesies Aedes spp. dapat berpotensi menjadi vektor penularan penyakit ini kepada ternak sapi lainnya. Berdasarkan penelitian sebelumnya, penyakit ini dapat ditularkan dengan menyuntikkan 0.002 ml darah sapi sakit yang sedang menunjukkan gejala demam, secara intravena (WHO 2010).

Penyakit RVF dan JE merupakan penyakit zoonosis. Penyakit zoonosis merupakan penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia dan sebaliknya. Keberadaan beberapa spesies nyamuk yang berpotensi sebagai vektor penyakit ini perlu mendapat perhatian bagi para peternak dan lingkungan sekitar peternakan. Gould dan Higgs (2009) melaporkan bahwa munculnya penyakit RVF biasanya mengikuti tingginya curah hujan dan biasanya ada hubungan dengan terjadinya genangan air di daratan yang cukup lama yang mendukung perkembangbiakan vektor (nyamuk). Selain itu, menurut Bahri dan Syafriati (2011) bahwa pada perubahan iklim yang cenderung terjadinya peningkatan suhu dan kelembaban di Indonesia, dapat memicu ledakan populasi serangga nyamuk vektor JE sehingga peluang manusia dan hewan terinfeksi virus JE melalui gigitan nyamuk (vektor) yang telah terinfeksi virus JE akan semakin tinggi.

Dominasi spesies merupakan salah satu faktor yang diperhatikan dalam memperkirakan penyakit yang berpotensi ditularkan melalui nyamuk di suatu tempat (Andiyatu 2005). Berdasarkan perhitungan analisis kelimpahan nisbi dan dominasi spesies, Ar. subalbatus dan Cx. tritaeniorhynchus merupakan spesies yang mendominasi dari total nyamuk yang tertangkap. Kedua spesies nyamuk ini berpotensi dalam penularan penyakit JE (DEPKES 1999 dalam Hadi et al. 2011).

Beragamanya permasalahan yang ditimbulkan akibat keberadaan nyamuk di lingkungan peternakan perlu dilakukan program pengendalian pengelolaan lingkungan. Pengelolaan lingkungan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu manipulasi lingkungan dan modifikasi lingkungan. Manipulasi lingkungan

(27)

16

merupakan tindakan sementara untuk mengurangi tempat perkembangbiakan nyamuk. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan cara pembersihan genangan air, pengaturan pengairan dan pembersihan lingkungan sekitar. Modifikasi lingkungan merupakan tindakan yang bersifat permanen. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan cara penimbunan, perataan tanah dan pembuatan bangunan pengatur air (Hadi dan Soviana 2010).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Keragaman jenis nyamuk yang dapat ditemukan pada peternakan sapi URR IPB terdiri atas, Ae. albopictus, Ar. subalbatus, Cx. bitaeniorhynchus, Cx. pseudosinensis, Cx. quinquefasciatus, Cx. gelidus, Cx. tritaeniorhynchus, Cx. fuscocephalus, Cx. hutchinsoni, An. nigerrimus. Ar. subalbatus dan Cx. tritaeniorhynchus merupakan spesies yang paling dominan ditemukan selama penangkapan. Nyamuk ini berpotensi sebagai pembawa agen penyakit Japanese Encephalitis. Analisis korelasi menunjukkan hubungan kepadatan nyamuk dengan curah hujan memiliki nilai negatif, dengan kelembaban memiliki hubungan yang lemah dan dengan suhu udara memiliki hubungan yang cukup kuat.

Saran

Mengingat resiko keberadaan nyamuk, terutama tingginya populasi Ar. subalbatus dan Cx. tritaeniorhynchus yang dapat berperan sebagai vektor JE perlu dilakukan program pengendalian lingkungan untuk menekan populasi nyamuk di lingkungan peternakan.

DAFTAR PUSTAKA

Abd El-Rahim IHA, Abd El-Hakim U, Hussein M. 1999. An epizootic of Rift Valley Fever in Egypt in 1997. Rev Sci Tech. 18:741-748.

Andiyatu. 2005. Fauna nyamuk di wilayah kampus IPB Darmaga dan sekitarnya serta potensinya sebagai penular penyakit [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Astuti EP dan Marina R. 2009. Ovoposisi dan perkembangan nyamuk Armigeres pada berbagai kontainer. Aspirator. 1(2): 87-93.

Bahri S dan Syafiriati T. 2011. Mewaspadai munculnya beberapa penyakit menular hewan strategis di Indonesia terkait pemanasan global dan perubahan iklim. Wartazoa. 21(1): 25-39.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Statistik Indonesia. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik Indonesia.

Clements AN. 1999. Mosquitoes Vol 2, Sensory Reception and Behaviour. New York (US): CABI Publishing.

Dellate H, Gimonneau G, Triboire A, Fontenille D. 2009. Influence of temperature on immature development, survival, longevity, fecundity, and

(28)

17 gonotrophic cyclesof Aedes albopictus, vector of chikungunya and dengue in the Indian Ocean. J of Med Entomol. 46(1):33–41.

[DEPKES] Departemen Kesehatan 1989. Kunci Identifikasi Aedes Jentik dan Dewasa di Jawa. Jakarta (ID): Departemen Kesehatan RI.

[DEPKES] Departemen Kesehatan 2008. Kunci Identifikasi Nyamuk Culex. Jakarta (ID): Departemen Kesehatan RI.

Dhiman RC, Pahwa S and Dash AP. 2008. Climate change and malaria in India: Interplay between temperatures and mosquitoes. Regional Health Forum. 12(1): 27-31.

[Dirjennak] Direktorat Jenderal Peternakan. 2012. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Peternakan.

Epstein PR, Diaz HR, Ellias S, Grabherr G, Graham NE, Martens WJM, Thomson EM, Susskind J. 1998. Biological and physical signs of climate change: focused on mosquito-borne diseases. Bull Amer Meterolog Soc. 79:409-417. Epstein PR. 2001. Climate change and emerging infectious diseases. Microbes

and Infection. 3:747−754.

Ginanjar RA. 2011. Densitas dan perilaku nyamuk (Diptera: Culicidae) di Desa Bojong Rangkas Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Gould EA dan Higgs A. 2009. Impact of climate change and other factors on emerging arbovirus disease. Trans Roy Soc Trop Med Hyg. 103:109-121. Hadi UK. 2011. Bioekologi berbagai jenis serangga pengganggu peternakan di

Indonesia [Internet]. [diunduh 2013 Mei 20]. Tersedia pada: http://upikke. staff.ipb.ac.id/files/2011/03/Bioekologi-Berbagai-Jenis-Serangga-Penggang- gu-Peternakan-di-Indonesia-dan-Pengendaliannya.pdf.

Hadi UK, Soviana S, Syafriati T. 2011. Ragam jenis nyamuk di sekitar kandang babi dan kaitannya dalam penyebaran Japanese Encephalitis. J Vet. 12(4):326-334.

Hadi UK, Soviana S. 2010. Entomologi: Pengenalan, Diagnosis dan Pengendaliannya. Bogor (ID): IPB Pr.

Hadi UK, Koesharto FX. 2006. Nyamuk. Di dalam: Hama Pemukiman Indonesia, Pengenalan, Biologi, dan Pengendalian. Singgih SH, Upik KS, editor. 3:23-51. Bogor (ID): IPB Pr.

Harbach R. 2008. Genus Armigeres Theobald 1901 [Internet]. [diunduh 2013 Januari 30). Tersedia pada: http://mosquito-taxonomic-inventory. info/genus -armigeres-theobald- 1901.

Hsieh YC, Chen SH, Chou CC, Ting IC, Utakura C, and Wang FI. 2005. Bovine Ephemeral Fever in Taiwan 2001 – 2002. J Vet Sci. 67(4):411–416.

Jastal. 2005. Perilaku nyamuk Anopheles menghisap darah di Desa Tongoa, Donggala, Sulawesi Tengah [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. McMichael AJ and Woodruff RE. 2008. Climate change and infectious disease.

In the social ecology of infectious diseases 1st Ed. Meyer KH and HF Pizer, editor. London (UK): Academic Pr Elsevier. Hlm 378-407.

Mullen G, Durden L. 2002. Medical and Veterinary Entomology. Ed ke-1. California (US): Academic Pr.

Munif A, Sudomo M, Soekirno. 2007. Bionomik Anopheles spp. di daerah endemis malaria kecamatan Lenkong, Sukabumi. Bul Penel Kes. 35(2):57-80.

(29)

18

[NVBDCP] National Vector Borne Diseases Control Programme. 2006. Guidelines for Surveillance of Acute Encephalitis Syndrome (with special reference to Japanese Encephalitis). New Delhi (IN): Directorate of National Vector Borne Diseases Control Programme.

O’Connor CT dan Soepanto A. 1979. Kunci Bergambar Untuk Anophele Betina dari Indonesia. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal P3M, Departemen Kesehatan RI.

Pandian RS and Chandrashekaran MK. 1980. Rhythms in the biting behaviour of a mosquitoes Armigeres subalbatus. Oecologia. 47:89-95.

Rowley WA dan Graham CL. 1968. The effect of temperature and relative humidity on the flight performance of female Aedes aegypti. J Insect Physiol. 14:1251-1257

Suryana. 2009. Pengembangan usaha ternak sapi potong berorientasi agribisnis dengan pola kemitraan. J Litbang Pertan. 28(1):29-37.

Sigit SH. 2006. Masalah hama permukiman dan falsafah dasar pengendaliannya. Di dalam: Hama Pemukiman Indonesia, Pengenalan, Biologi, dan Pengendalian. Singgih SH, Upik KS, editor. Hal 1-13. Bogor (ID): IPB Pr. Sigit SH, Kesumawati H. 1988. Telaah infestasi nyamuk pada kerbau di Bogor.

Hemera Zoa, Indonesian J of Animal Sci. 73(1):20-33.

Suwito W dan Nurini S. 2009. Penyakit pada sapi di Puskeswan Godean tahun 2006-2008. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009. Yogyakarta. 290-299.

Taviv Y. 2005. Fauna nyamuk di Desa Segara Kembang Kecamatan Lengkiti, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

[WHO] World Health Organization. 2010. Rift Valley Fever [Internet]. [diunduh 2013 Januari 30). Tersedia pada: http://www.who.who.int/mediacentre/fact sheets /fs207/en.

(30)

19 Lampiran 1 Tempat-tempat potensial bagi perkembangbiakan pradewasa nyamuk

di lingkungan peternakan sapi URR IPB.

Tempat minum ternak yang jarang diganti

Semak yang mengelilingi kandang ternak sapi URR IPB

Aliran parit yang mengalami gangguan sehingga terdapat genangan air

(31)
(32)

21

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Solok, Sumatera Barat pada tanggal 13 Desember 1990 sebagai anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Ajuzar dan Ibu Hafni Nazar. Penulis menempuh pendidikan formal yang dimulai dari TK Bhayangkari Painan pada tahun (1996-1997), SDN 23 Painan pada tahun (1997-2003), SMPN 1 Painan pada tahun (2003-2006), SMAN 2 Painan pada tahun (2006-2009), dan kemudian melanjutkan ke IPB pada tahun 2009 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Jurusan yang dipilih penulis adalah Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis berperan sebagai Asisten Mata Kuliah Parasitologi Veteriner (2011/2012 dan 2012/2013), sebagai Asisten Mata Kuliah Anatomi Veteriner (2011/2012), dan sebagai Asisten Mata Kuliah Patologi Sistemik II (2012/2013). Selain itu, penulis aktif dalam beberapa organisasi, yaitu sebagai Staf Divisi Kewirausahaan Badan Eksekutif Mahasiswa TPB IPB (2009/2010), Anggota Himpunan Minat Profesi Ruminansia (2010/2011), Staf Divisi Budaya, Olahraga, dan Seni Badan Eksekutif Mahasiswa FKH IPB (2010/2011), Ketua Himpunan Minat Profesi Ruminansia (2011/2012), dan Badan Pengawas Himpunan Minat Profesi Ruminansia (2012/2013). Penulis juga aktif pada organisasi luar kampus yaitu sebagai Pengurus Ikatan Pelajar Mahasiswa Minang Bogor (2010/2011).

Gambar

Tabel 1 Keragaman  jenis dan jumlah nyamuk yang tertangkap selama penelitian.
Gambar  3  Hubungan  indeks  curah  hujan  (mm)  dengan  kepadatan  nyamuk  yang  tertangkap di peternakan sapi URR IPB, Juni-Oktober 2012
Gambar 4 Hubungan kelembaban (%) dengan kepadatan nyamuk yang tertangkap  di peternakan sapi URR IPB, Juni-Oktober 2012

Referensi

Dokumen terkait

PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 6 TAHUN 2016 

 Pirolisis memiliki kelebihkan dalam menghasilkan gas atau produk minyak dari limbah yang dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk proses pirolisis itu

Disini pada algoritma Canny menggunakan sistem thresholding ganda dimana tepian dengan nilai yang lebih besar dari threshold atas ditandai sebagai titik kuat, tepian

Setiap kehamilan, dalam perkembangannya mempunyai risiko mengalami penyulit atau komplikasi. Oleh karena itu, pelayanan antenatal harus dilakukan secara rutin, sesuai standar

Individu dengan kepribadian sosial tinggi memiliki orientasi positif terhadap interaksi sosial, hal tersebut akan mempengaruhi kepuasan kerja, sehingga kecenderungan karyawan

Jika terdapat bukti obyektif bahwa kerugian penurunan nilai telah terjadi atas instrumen ekuitas yang tidak memiliki kuotasi yang tidak dicatat pada nilai wajar

PEMERINTAH KABUPATEN KLATEN PEJABAT PENGADAAN BARANG/JASA. DINAS KESEHATAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam mengembangkan usaha bonsai serut serta menentukan strategi pengembangan