ABSTRAK
Filsafat eksistensialisme menyatakan bahwa cara berada manusia
dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia; sapid an pohon
juga. Akan tetapi, cara beradanya tidak sama. Manusia berada di dalam
dunia; ia mengalami beradanya di dunia itu; manusia menyadari dirinya
berada di dunia. Manusia menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti
yang dihadapinya itu. Manusia mengerti guna pohon, batu dan salah satu
diantaranya adalah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Apa
artinya semua ini? Artinya ialah bahwa manusia adalah subjek, subjek
artinya menyadari, yang sadar. Barang-barang yang disadarinya disebut
objek. Kesadaran sebagai subjek ini menjadikan manusia berkehendak
bebas, tidak mau diikat dalam suatu aturan. Pada kondisi seperti itu,
masalah besar muncul terutama bagi orang-orang beragama. Agama syarat
dengan aturan-aturan yang selalu ‘terkesan’ mengekang manusia. Kebebasan manusia dapat terbelenggu dengan hadirnya agama. Di sisi lain,
agama adalah kebutuhan mutlak manusia. Agama dapat dikatakan terdiri
dari seperangkat keyakinan. Sedangkan keyakinan adalah sikap mental atas
dasar kepastian bahwa ada kebenaran. Namun masalahnya adalah agama
syarat dengan aturan. Ketika manusia beragama, maka manusia akan
diwajibkan untuk memamatuhi segala yang diperintahkan Tuhan dan
menjauhi larangan yang diperintahNya. Inilah yang memunculkan tanda
Tanya besar terkait bagaimana eksistensi manusia dalam keberagamaan?
Melalui pendekatan filosofis terhadap pemikiran Soren Kierkeegard,
penelitian ini berusaha untuk menemukan keberagamaan manusia. Manusia
yang beragama namun tanpa kehilangan jati dirinya sebagai manusia yang
berkehendak bebas. Manusia yang masih memiliki kesadaran aktif dalam
DAFTAR ISI
SAMPUL LUAR ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iv
ABSTRAK ... v
MOTTO ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... x
BAB I: PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 4
D. Manfaat Penelitian ... 4
E. Kajian Pustaka ... 5
F. Metode Penelitian ... 7
G. Sistematika Pembahasan ... 9
BAB II:
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN EKSISTENSI SOREN
KIEKERGAARD
………
10B. Klasifikasi Eksistensi dalam Perspektif Soren Kierkegaard ... 13
1. Estetis ... 14
2. Etis ... 19
3. Religious ... 29
BAB III: PENGERTIAN EKSISTENSIALISME dan SEJARAH KEMUNCULAN EKSISTENSIALISME ... 35
A. Pengertian Eksistensialisme ... 35
B. Pra-Eksistensialisme ... 38
C. Perjalanan Eksistensialisme ... 40
D. Tingkat Eksistensi ... 42
E.Eksistensi dan Eksistensial ... 43
F.Tokoh-tokoh Eksistensialisme ... 43
1. Kierkegaard ... 43
2. Jean Paul Sartre ... 45
3. Albert Camus ... 49
BAB IV: ANALISIS EKSISTENSI BAGI ORANG BERAGAMA DARI PEMIKIRAN SOREN KIERKEGAARD TENTANG EKSISTENSIALISME ... 53
A. Soren Kierkegaard dan 3 Tahap Eksistensi ... 53
1. Tahap estetis ... 53
3. Tahap Religious ... 68
BAB V: KESIMPULAN
A. Kesimpulan ... .76
a. Keterangan Tambahan ... .87
b. kritik ... .88
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah kelam kehidupan manusia pernah dialami di dunia barat hingga
mendapat sebuatan dark age1. Kebebasan di dunia barat pernah mendapat belenggu yang teramat berat ketika pihak otoritas gereja memaksakan kebenaran
dalam versinya. Bahkan, pemaksaan itu semakin membrutal manakala terdapat
kebenaran ilmiah datang. Di saat pihak gereja berkeyakinan bahwa bumi adalah
pusat tata surya, datang pengetahuan lain dari para ilmuan yang sangat
bertentangan. Pengetahuan itu mengatakan bahwa, “pusat tata surya adalah
matahari”. Sehingga banyak Para ilmuan yang sepakat bahwa pusat tatasurya
adalah matahari.
Sontak ilmu pengetahuan itu sangat mencibir pihak gereja kala itu. Maka
tak segan pihak gereja memanggil sang ilmuan, saat itu Copernicus2, supaya
mencabut pengetahuan yang bertentangan dengan keyakinan gereja itu. Singkat
kata, manusia sangat terkekang pada saat itu.
Al hasil, peradaban barat tidak berkembang, hingga mendapat sebutan
zaman kegelapan pada waktu itu. Ini merupakan salah satu bukti bahwa
1
Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat; dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), 30
2
kebebasan atau eksistensi sangat dibutuhkan oleh manusia untuk menemukan
jatidirinya dan memaksimalkan potensi diri.
Hingga akhirnya, Galileo-galilei menemukan sebuah bukti yang tak
terbantahkan lagi. Melalui teleskop, ilmuan tersebut mampu membuktikan secara
empiris bahwa matahari memang pusat dari tatasurya.
Semenjak itu, pemikiran-pemikiran agama yang kerdil, mendapat kecaman
keras bahkan muncul paham eksistensialis. Eksistensialisme merupakan paham
yang sudah tidak asing lagi dalam dunia akademis, terlebih lagi bidang filsafat.
Eksistensialisme yang menitikberatkan pada pemahaman kebebasan manusia ini
nampaknya memiliki daya tarik tersendiri. Manusia yang pada hakikatnya ingin
bebas menambah dukungan terhadap suksesnya gerakan ini.
Manusia adalah makhluk yang sedang dalam proses menjadi pribadi.
Seorang yang berpribadi berarti mempunyai kemampuan untuk menentukan
kemana arah dirinya sendiri, dan ini berarti kebebasan.3 Kebebasan dapat
memunculkan eksistensi diri.
Hal tersebut senada dengan fitrah manusia. Manusia mempunyai ciri
istimewa, yaitu kemampuan berfikir yang ada dalam satu struktur dengan
perasaan dan kehendaknya.4 Kemampuan untuk berkehendak inilah yang
menimbulkan hasrat untuk bebas. Manusia memiliki kesadaran aktif.
Maka tak heran jika pada abad modern, eksistensialisme mengudara
dengan begitu cepat. Hingga muncul „quote‟ yang sangat familiar,”Tuhan telah
3
Franz Magnis Suseno, Sesudah Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 2006)
4
Mati”. Manusia berusaha membunuh segala sesuatu yang ada indikasi untuk
mengerucutkan kebebasan manusia.
Filsafat eksistensialisme menyatakan bahwa cara berada manusia dan
benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia; sapid an pohon juga. Akan
tetapi, cara beradanya tidak sama. Manusia berada di dalam dunia; ia mengalami
beradanya di dunia itu; manusia menyadari dirinya berada di dunia. Manusia
menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu. Manusia
mengerti guna pohon, batu dan salah satu diantaranya adalah ia mengerti bahwa
hidupnya mempunyai arti. Apa artinya semua ini? Artinya ialah bahwa manusia
adalah subjek, subjek artinya menyadari, yang sadar. Barang-barang yang
disadarinya disebut objek.5 Kesadaran sebagai subjek ini menjadikan manusia
berkehendak bebas, tidak mau diikat dalam suatu aturan.
Pada kondisi seperti itu, masalah besar muncul terutama bagi orang-orang
beragama. Agama syarat dengan aturan-aturan yang selalu „terkesan‟ mengekang
manusia. Kebebasan manusia dapat terbelenggu dengan hadirnya agama.
Di sisi lain, agama adalah kebutuhan mutlak manusia. Agama dapat
dikatakan terdiri dari seperangkat keyakinan. Sedangkan keyakinan adalah sikap
mental atas dasar kepastian bahwa ada kebenaran.6 Namun masalahnya adalah
agama syarat dengan aturan. Ketika manusia beragama, maka manusia akan
diwajibkan untuk memamatuhi segala yang diperintahkan Tuhan dan menjauhi
larangan yang diperintahNya. Inilah yang memunculkan tanda Tanya besar terkait
bagaimana bereksistensi bagi orang beragama.
5
A. Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu (Jakarta: Rineka Cipta, 2010)
6
Melalui pendekatan filosofis terhadap pemikiran Soren Kierkeegard,
penelitian ini berusaha untuk menemukan eksistensi manusia dalam agama.
Manusia yang beragama namun tanpa kehilangan jati dirinya sebagai manusia
yang berkehendak bebas. Manusia yang masih memiliki kesadaran aktif dalam
beragama.
B.Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Eksistensi secara umum?
2. Bagaimana pemikiran Eksistensi Soren Kierkeegard?
3. Bagaimana pemikiran Soren Kierkeergard dalam 3 Tahap beragaman
dapat memberikan penjelasan tentang keberagamaan manusia?
C. Tujuan Penelitian
1. Menjelaskan pengertian Eksistensi secara umum
2. Menjelaskan pemikiran Eksistensi Soren Kierkeegard
4. Menganalisis pemikiran Eksistensi Soren Kierkeegard tentang 3 Tahap
beragaman, yang dapat memberikan penjelasan tentang keberagamaan
manusia?
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis yang dapat menambah wawasan tentang eksistensialisme
2. Manfaat praktis adanya kesadaran dalam keberagamaan manusia dalam
E. Kajian Pustaka
Banyak akademisi yang membahas permasalahan eksistensi. Diantaranya
adalah Muhammad Shofa. Ia menyimpulkan bahwa eksistensi terdiri dari
beberapa tahap. Kesimpulan itu dicapai dari analisis pemikiran Soren Kierkegaard
dan Ali Syariati.7
Menurut Soren Kierkegaard ada 3 tahapan manusia dalam bereksistensi.
Pertama, tahap estetis. Tahap ini manusia hanya berorientasi pada kesenangan
semata. Manusia mengarah pada kesenangan-kesenangan seksual, hedonis dan
bersifat kontemporer. Kedua adalah tahap etis. Pada tahap ini manusia lebih
mendalami nilai-nilai kemanusiaan yang lebih tinggi. Ketiga, tahap religious.
Tahap ini merupakan tahap puncak. Manusia menjadi subjek,
Sedangkan, menurut Ali Syariati terdapat 4 pasung yang menghalangi
manusia untuk menjadi makhluk yang otentik. Pertama adalah determinisme
natural. Hal tersebut mengandung pengertian, hukum alam yang dipahami secara
deterministic akan menghambat terjadinya evolusi manusia. Kedua, determinitas
historisisme, yakni memandang manusia sebagai hasil sejarah. Ketiga,
determinisme sosiologisme, yakni manusia dianggap mengambil semua
identitasnya dari masyarakat, masyarakat menjadi penentu manusia. Keempat
adalah ego manusia.
Auhaena juga membahas Eksistensi Jean Paul Sartre. Dikatakan sartre
manusia itu kebebasan. Akan tetapi, kebebasan tanpa batas sungguh tak dapat
dibayangkan. Manusia bebas namun justru akan berbenturan dengan kebebasan
7
orang lain. Manusia juga harus mementingkan kepentingan orang lain. Sehingga,
kebebasan harus dibarengi dengan tanggung jawab moral. Kewajiban moral itulah
yang disebut humanism.
Humanisme merupakan pandangan hidup yang dipusatkan pada
kepentingan nilai kemanusiaan. Humanisme dibutuhkan supaya tindakan manusia
terkontrol. Dengan harapan, manusia tidak bersifat reaktif dan berimbas negatif.
Dari ukuran humanism tersebut, muncul sebuah konsep dan ukuran baik dan
buruk. Ini dilakukan karena perbuatan manusia (individu) memiliki pengaruh pada
kemanusiaan dalam suatu lingkungan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa humanisme secara prinsip
adalah sebagai pertimbangan manusia dalam melakukan kehendak.8 Sehingga
keseimbangan masyarakat dalam suatu lingkungan dapat tercapai.
Selain itu, Wulan Kusumawardani juga membahas tentang eksistensi Jean
Paul Sartre. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian tersebut adalah
identifikasi manifestasi pemikiran eksistensialisme Sartre terhadap tokoh
Meursault yang didalamnya juga menganalisis: (1) konsep dua cara berada
melalui l’être-en-soi dan l’être-pour-soi, (2) bentuk kebebasan Meursault menurut
konsep Sartre, (3) konsep Ketiadaan yang berupa mauvaise foi yang terjadi dalam diri Meursault, (4) relasi antar manusia yang terwujud melalui; emosi, rasa benci,
sikap acuh tak acuh, cinta, dan nafsu seksual.9
8
Auhaena, Humanisme Jean Paul Sartre (Telaah Filosofis) (Yogyakarta, UIN SUnan Kalijaga, 2012),
9
Sedangkan, dalam penelitian ini, akan membahas pemikiran eksistensi
Soren Kierkeegard dari sisi kebebasan dalam menentukan pilihan dan tanggung
jawab. Manusia memiliki kebebasan penuh untuk memutuskan segala sesuatu.
Eksistensi Soren ini memberikan keseimbangan antara kebebasan individu dengan
kebebasan individu lain. Pembahasan ini diharapkan dapat menemukan titik di
mana letak dan bagaimana bereksistensi dalam beragama.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian ini akan
menginterpretasikan pemikiran seseorang, dalam hal ini adalah pemikiran
Soren Kierkiegard. Pemikiran Soren Kierkeegard akan dipelajari sedalam
mungkin kemudian menganalisisnya dan memberikan kesimpulan terkait
eksistensi bagi orang yang beragama.
Penelitian ini termasuk dalam penelitian individual, penelitian yang
dikerjakan oleh perseorangan.
2. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian adalah dengan
menggunakan referensi. Dalam hal ini, peneliti membagi sumber referensi
menjadi 2 yakni, referensi primer dan sekunder10. Referensi primer adalah dari
buku-buku langsung karya Soren Kierkeegard. Sedangkan, referensi sekunder
10
berasal dari buku-buku karangan orang lain yang membahas tentang Soren
Kierkeegard.
Selain itu, data juga akan diperoleh dari hasil penelitian-penelitian
terdahulu. Data yang berasal dari berbagai sumber ini diharapkan benar-benar
dapat menghasilkan sebuah pengetahuan yang otentik.
3. Metode Analisis
Metode analisis dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode
deduktif. Cara analisis deduktif ialah cara analisis yang berangkat dari hal yang
umum (general) kepada hal-hal yang khusus (spesifik). Hal-hal yang umum ialah
teori (dalil/hukum), sedangkan yang bersifat khusus (spesifik) tidak lain adalah
masalah yang diidentifikasi itu.11
Pemikiran Soren Kierkeegard akan dianalisis sehingga memberikan
kesimpulan-kesimpulan tentang eksistensi. Dari kesimpulan-kesimpulan itu akan
ditarik sebuah pengetahuan baru tentang eksistensi manusia dalam agama.
Adapun untuk memperoleh pengetahuan yang otentik. Penelitian ini juga
akan menelusuri jejak-rekam dari Soren Kierkeegard. Latar belakang Soren
Kierkeegard yang akan sangat membantu dalam menganalisis pemikiran Soren
Kierkeegard. Latar belakang tersebut akan meliputi pendidikan, sosial, budaya
dan lain-lain.
11
G. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan dalam penelitian ini terdiri dari 5 bab.
Kesemuanya adalah sebagai berikut.
Bab satu adalah pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode
penelitian, dan sistematika pembahasan. Hal ini akan berguna sebagai kerangka
awal berfikir.
Bab dua berisi penjelasan tentang biografi Soren Kierkeergard. Ini akan
sangat berguna dalam membantu menganalisis pemikiran Soren Kierkeegard
sehingga didapat pengetahuan yang otentik.
Bab tiga akan memuat sejarah kemunculan eksistensialisme yaitu
penjelasan sejarah awal kemunculan pemikiran eksistensi. Dan akan membahas
pengertian eksistensi dari beberapa pemikiran tokoh. Hal tersebut akan membantu
dalam menentukan tipologi pemikiran eksistensi daripada Soren Kierkeegard.
Bab empat akan membahas analisis pemikiran Soren Kierkeegard tentang
eksistensialisme. Dalam bab ini akan dibahas eksistensi bagi orang yang
beragama dari analisis pemikiran Kierkeegard tersebut.
BAB II
RIWAYAT HIDUP dan PEMIKIRAN SOREN KIERKEGAARD
A. Biografi Soren Kierkegaard
Soren Kierkegaard lahir di Kopenhagen, Denmark, tanggal 05 Mei 1813.
Ia merupakan anak ketujuh dari pasangan Michael Pedersen Kierkegaard dan
Anne Sørendatter Lund.1 Pada saat itu, Ayah Soren, Michael Pedersen bekerja di
pabrik pakaian di Kopenhagen.
Setelah itu, Michael Pederson menjadi seorang pedagang. Sampai pada
akhirnya ia menjadi saudagar yang sukses. Akan tetapi, ia merubah pikiran untuk
berhenti dari berdagang pada usia empat puluh tahun. Ia lebih ingin memfokuskan
perhatiannya pada kegiatan spiritual dan pendidikan anak-anaknya. Pada saat
itulah, kehidupan Michael Pedersen sangat berpengaruh pada Soren.
Kebersamaan Soren dengan ayahnya benar-benar membentuk karakter dan
pola pemikiran Soren. Ini didukung dengan semakin seringnya sang ayah untuk
mengundang tamu-tamu elit untuk makan malam. Di tengah pertemuan itu,
mereka berdiskusi tentang filsafat juga. Soren sering mendengarkan mereka ketika
mereka sedang berdikusi.
1
Anne Sørendatter Lund merupakan istri kedua dari Michael Pedersen. The Journals of Søren Kierkegaard (New York: Herpers Torch Books, 1959), 10; juga Alasdair Maclntyre,
“Kierkegaard, Soren Aabye,” The Encyclopedia of Philosophy, vol. IV, edited by Paul Edwards (New York: Macmillan Publishing Co.; Inc. and The Free Press, 1972).
Soren sangat kagum dan tertarik dengan kepiawaian pemikiran ayahnya dan
sahabat-sahabat ayahnya. Karena kekaguman itu Soren telah memiliki
pengetahuan dan pemikiran kuat sejak
masih muda. Pendidikan agama pun Soren dapatkan dari ayahnya sehingga Soren
tergolong orang yang taat pada agama2. Soren tumbuh menjadi anak yang sangat
cerdas. Ayahnya pun menaruh perhatian lebih padanya.
Akan tetapi, disamping memiliki sisi kehidupan yang mapan, Soren
Kierkegaard juga pernah mengalami masa kelam. Pada masa kelam itu Soren
banyak cobaan yang menimpanya. Bahkan, ketika masih anak-anak ia telah
menyaksikan dengan mata kepala sendiri kematian dua orang kakaknya.3
Selayaknya manusia, Kierkegaard juga memiliki hubungan spesial dengan
seorang perempuan. Hingga pada akhirnya hubungan itu mempengaruhi pola pikir
Kierkegaard. Gadis itu adalah Regina Olsen, puteri seorang pegawai di Denmark4.
Keseriusan hubungan ini ditunjukan dengan Kierkegaard melamar Regina Olsen
pada tanggal 10 September 1840. Nahasnya, setahun kemudian, ia memutuskan
pertunangan itu dengan alasan dirinya yang terlalu melankolis. Selain itu,
sebenarnya Kierkegaard juga terpengaruh akan panggilan religiusnya. Ia merasa
itu akan mengahalangi perkawinan dalam hidup berkeluarga.5
2Bdk. Alasdair Maclntyre, “Kierkegaard, Søren Aabye,” The Encyclopedia of Philosophy
.
3
Bdk. Fuad Hasan, Berkenalan dengan Eksistensialisme (Jakarta: Pustaka Jaya, 1973), 14.
4
Bdk. Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy (California: University of Redlands, 1951), hlm. 463. Ayah Regina Olsen bernama Etatsraad Olsen, seorang pegawai pemerintahan Denmark yang secara khusus bertugas sebagai konselor negara.
5 Mark Taylor, “Søren Kierkegaard,”
Pada kesempatan pertama kali menginjakan kaki di univeritas, sang ayah
menyarankan supaya Soren masuk di Univeritas Kopenhagen, fakultas teologi.
Pada tahun 1830, Soren mendaftar di tempat itu.6 Kehidupannya di kuliah telah
membuatnya banyak mendapat ilmu baru. Ia juga mempelajari filasafat Hegel
yang pada saat itu sangat populer. Semangat belajarnya dapat dilihat ketika ia tak
hanya tertarik pada dunia filsafat, namun juga bidang seni, literatur dan teater.7
Dari waktu ke waktu, ia tumbuh jadi seorang cendekiawan yang sangat menonjol
di universitas itu, sehingga semua orang banyak yang mengenalnya. Tahun 1883,
Kierkegaard menulis Jurnal. Tulisan itu memberikan pengaruh yang luas.8
Adapun beberapa karya utama Soren Kierkegaard, sebagai berikut:
1. Concluding Unscientific Postcript 2. Either/Or
3. Fear and Trembling 4. The Sickness Unto Death
5. Stages On Life’s Way9
Kierkegaard telah dielu-elukan sebagai bapak “eksistensialisme” yang
meraih ketenarannya pada abad kedua puluh. Para ahli filsafat dan teolog
mengembangkan pemikirannya dengan berbagai cara, ada yang mungkin
membuat Kierkegaard marah dan yang lain mungkin ia setujui.
6
James Collins, The Mind of Kierkegaard (Chicago: Henry Regnery Company, 1965), hlm. 6. juga Frederick Copleston, A History of Philosophy, vol. VII Fichte to Nietzsche (New York: Image Books, 1965), 338.
7
Bdk. Mayer, A History of Modern Philosophy, hlm. 463.
8
Peter Vardy, Kierkegaard, terj. Hardono Hadi (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 15.
9
Mark B. Woodhouse, Berfilsafat: Sebuah Langkah Awal Terj;Ahmad Norma Permata
Kiekergaard berjasa bagi banyak unsur subjektivitas dalam pemikiran
teologi modern, tetapi subjektivitas itu datang dari kerendahan hati. Ia
berkesimpulan bahwa Allah bukanlah benda yang secara ilmiah dapat dibedah dan
dianalisis. Ia adalah keberadaan (being) yang hidup dan bertindak, yang
berhadapan dengan kita untuk menyelamatkan kita.
Bukan hanya kita sebagai manusia seperti kepingan-kepingan teka-teki,
kita juga adalah keberadaan, seru kiekergaard, dengan kemauan, harapan dan
kesedihan. Kiekergaard memerangi system abstrak, apakah itu filsafat ataupun
agama yang mencari semacam kebenaran yang abstrak. Ia menegaskan bahwa
agama mengajarkan bagaimana kita harus hidup.10
B. Klasifikai Eksistensi dalam Perspektif Soren Kiekegaard
Eksistensialisme merupakan paham yang sangat berpengaruh pada abad
modern. Paham ini menyadarkan akan pentingnya kesadaran diri. Manusia
disadarkan atas keberadaannya di bumi ini. Kierkegaard adalah salah satu tokoh
yang berpengaruh di kala itu. Kiekergaard mengklasifikasi eksistensi menjadi 3
tahap, yaitu tahap estetis (the aesthetic stage), etis (the ethical stage) dan religius
(the religious stage).
10
1. Tahap Estetis (The Aesthetic Stage)
Situasi keputusasaan sebagai situasi batas dari eksistensi merupakan ciri
khas dari tahap ini. Tahap ini berbeda dengan 2 tahap lainnya. Berikut akan
dijelakan lebih detail terkait tahap estetis ini.
a. Pengalaman emosi dan Sensual memiliki ruang yang terbuka
Dalam pembahasan ini, Kierkegaard menerangkan adanya dua kapasitas
dalam hidup ini. Dua kapasitas itu adalah sebagai manusia sensual dan makhluk
rohani. Kapasitas sensual merujuk pada inderawi sedang makhluk rohani lebih
menunjuk pada manusia yang sadar secara rasio. Dalam tahap ini, lebih cenderung
pada wilayah inderawi. Jadi, kesenangan yang hendak dikejar berupa kesenangan
inderawi.11Dengan penjelasan singkat, motivasi dalam hidupnya hanyalah
“nikmati saja”. Yang paling berbahaya, pada tingkat ini manusia dapat diperbudak
oleh kesenangan nafsu. Tahap ini juga senang dengan sesuatu yang instan yang
paling penting dapat memberikan kesenangan inderawi.
Yang radikal dari tahap ini adalah adanya kecenderungan untuk menolak
moral universal. Ini dilakukan karena kaidah moral dinilai dalam mengurangi
kenikmatan-kenikmatan inderawi yang didapat. Sehingga tidak ada prinsip moral
di sini. Ini juga berarti bahwa tidak ada pertimbangan baik (good) dan buruk
11
Enjoy life, and again express in thus: enjoy yourself; in enjoyment you should enjoy yourself
(bad). Yang ada adalah kepuasan (satisfaction) dan frustrasi, nikmat dan sakit, senang dan susah, ekstasi dan putus asa.12
Dengan kata lain, manusia estetis tidak mau dibatasi. Ia ingin bebas
dengan keinginannya. Maka tak heran dengan tindakan mereka yang menolak
nilai moral yang dianggap memberi batas pada yang menyenangkan. Manusia
estetis senang mengejar yang tak terbatas.13 Akan tetapi, Kierkegaard menjelaskan
pada tahap ini manusia sebenarnya terperangkap dalam “gudang” (celar) berbagai
pengalaman inderawi. Ketaatan pada pengalaman inderawi ini membuat manusia
estetis tidak berfikir apakah itu baik atau tidak. Eksistensi tahap estetis dapat
digambarkan sebagai usaha untuk mendefinisikan dan menghayati kehidupan
tanpa merujuk pada yang baik (good) dan yang jahat (evil).14
Kierkegaard memaparkan bahwa manusia estetis memiliki jiwa dan pola
hidup berdasarkan pada keinginan-keinginan pribadinya, naluriah dan
perasaannya. Bisa disimpulkan bawha manusia estetis sangat egois,
mementingkan diri sendiri.15
Don Juan, pahlawan atau mahkota (crown) opera Mozart16, dianggap sebagai representasi atau contoh dari manusia estetis. Kierkegaard menggunakan
Don Juan untuk menerangkan tipe manusia estetis. Manusia ini dianggap sebagai
seorang perayu (seducer). Don Juan merupakan orang yang senang memuaskan
12
Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, Jakarta: Gramedia, 2004). 89
13
Copleston, A History of Philosophy, vol. VII Fichte to Nietzsche, 342.
14
Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, 88.
15
Kierkegaard, Either/Or, 182-183
16
hasrat sensualnya. Kehidupannya dituntun oleh kebutuhan-kebutuhan inderawi
sesaat, seperti kebutuhan seksual. Dan kesenangan yang didapat secara sensual ini
diperuntukan untuk dirinya sendiri.17 Dengan bahasa kasarnya, seseorang yang
hidup dalam tahap ini seperti seorang play boy, yang mana selalu mengejar
kenikmatan sesaat, sebagai contoh konkretnya lewat perburuan terhadap
gadis-gadis. Dalam Either/Or, Kierkegaard melukisskannya sebagai berikut:
Don Juan merupakan gambar yang terus tampak dalam pandangan, tetapi tidak
mencapai bentuk dan konsistensi, seorang individu yang terus dibentuk tetapi tidak pernah selesai atau sempurna, dari sejarah kita dapat memperoleh sesuatu yang tidak lebih daripada yang kita peroleh lewat deru ombak yang terdengar.18
Jika dianalisis, pernyataan Kierkegaard di atas, sebenarnya hendak
menunjukan bahwa manusia estetis pada dasarnya tak memiliki ketenangan.
Ketika mereka mendapatkan satu akan berusaha mencapai yang lain untuk
memenuhi kebutuhan inderawinya. Ia mengalami kekurangan serta kekosongan
dalam hidup. Sebenarnya ia telah berusaha untuk mengisi kekosongan yang
selama itu ia rasakan. Namun, manusia estetis tidak dapat menemukan apa yang
diharapkannya. Dalam bahasa Kierkegaard ini disebut juga sebagai cinta
romantis, cinta yang dilandaskan pada kebutuhan natural, dimunculkan dalam
17
Dalam bukunya Either/Or, Kierkegaard menulis: “… the concept „a seducer’ is essentially
modified with respect to Don Juan, since the obyek of his desire is sensuous, and that alone”
(Kierkegaard, Either/Or, 46).
18
kenikmatan sensual.19Salah satu alasan kenapa pada tahap ini seseorang
cenderung tidak dapat menemukan kepuasaan adalah karena nafsu. Sebagai
contoh kecil, kenikmatan nafsu yang semakin dituruti maka akan semakin
menginginkan yang lebih, tak pernah puas, hingga akhirnya menjadi hampa.
Manusia dapat keluar dari zona ini sebenarnya. Dalam istilahnya
Kierkegaard, manusia dapat keluar dari tahap estetis ini jika telah mencapat titik
keputus asaan. Ketika manusia estetis mencari kepuasan secara terus menerus dan
tidak kunjung menemukannnya, maka diposisi seperti itulah manusia dapat
berputus asa (despair).
Keadaan putus asa ini yang kemungkinan besar akan menimpa
orang-orang estetis. Memang diakui bahwa kebutuhan akan kesenangan lahir secara
natural pada dari manusia. Pada tahap ini manusia sangat terbuka pada
pengalaman emosi dan sensual serta tidak adanya standar-standar moral maupun
religius karena keduanya dianggap sebagai pembatas kesenangan inderawi. Untuk
itu manusia cenderung mencari sesuatu yang mendatangkan rasa aman dan
kepuasan diri.20
pada hakikatnya, manusia estetis hidup secara semu. Atau dalam bahasa
Kierkegaard disebut sebagai “gudang” (cellar) dari pengalaman sensual.
19
Kierkegaard membedakan dua bentuk cinta dalam bahasa Denmark. Pertama, kjærligheden
sebagai cinta yang lebih umum (fisik). Kedua, elskoven adalah cinta spiritual. (Kierkegaard,
Either/Or, hlm. 223).
Sayangnya, semua bentuk kesenangan yang dikejar oleh kaum estetis ini hanya
bersifat sementara. Pada akhirnya kaum estetis mencari kesenangan-kesenangan
lain untuk memenuhi hasratnya. Saat itulah, ketika semua telah dijelajah, sedikit
demi sedikit akan tumbuh kebosanan atau mengalami titik kejenuhan. Ha Ini
dikarenkan tumbuhnya rasa yang mendatangkan tidak ada ketenangan dalam
hidup. Suatu ketika individu estetis ini menemukan sebuah kesadaran bahwa
hidup yang dibangun selama ini adalah fana (transitory), aksidental (accidental)
dan tidak kekal (temporal). Kierkegaard berargumentasi bahwa, “seseorang yang tinggal dalam tahap estetis adalah manusia aksidental.”21
Mereka sadar bahwa
hidupnya didasarkan pada keharusan (neccessity) dan bukan kepada kebebasan
(freedom). Inilah kesadaran yang akan didapat manusia estetis.
Manusia estetis membayangkan dirinya sebagai orang yang terhegemoni
dalam keadaan yang bercorak sementara (temporal) dan tidak ada jalan lain yang dapat membawanya pada sesuatu yang lain selain keputusasaan22. Titik kesadaran
yang menyadari bahwa hidup dalam tahap estetis selalu berakhir dalam
keputusasaan. Pada akhirnya akan membawa individu pada suatu tempat usaha
untuk mengambil sikap terhadap situasi konflik yang tengah dihadapinya23. Pada
akhirnya, ia harus berani dan tegas untuk memutuskan apakah tetap dalam
keputusasaan atau tidak, yakni dengan meloncat pada eksistensi yang lebih tinggi.
Kierkegaard mendeskripsikan hal ini sebagai either/or: atau-atau, suatu situasi pilihan pilihan untuk tetap bertahan dalam tahap estetis yang dikepung oleh
21
The one who lives aesthetically is the accidental man (Kierkegaard, Either/Or, 208).
22
Peter Vardy, Kierkegaard, terj. Hardono Hadi (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 53.
23Ohoitimur, “
daya tarik sensual belaka, terjebak dalam belenggu dan yang diketahui
keterbatasannya atau bergerak lintas batas estetis menuju eksistensi tahap berikut
yang lebih tinggi. Kierkegaard mengatakan;
… setiap pendirian hidup estetis merupakan keputusasaan, dan bahwa tiap orang
yang hidup secara estetis berada dalam keputusasaan, entah ia tahu atau tidak. Tetapi jika ia mengetahuinya, maka suatu bentuk eksistensi yang lebih tinggi menjadi tuntutan yang penting..24
Dari statement di atas, Kierkegaard hendak menyimpulkan bahwa
kebebasan adalah hal yang sangat dibutuhkan untuk memilih dan menetapkan
keputusan. Hal tersebut bertujuan untuk menuju tahap berikutnya sebagai jawaban
atas keputusasaan yang selama ini dialami.
2. Tahap Etis dalam Eksistensi Kierkegaard (The Ethical Stage)
Tahap ini merupakan tahap lanjut dari estetis. Tahap ini dinilai lebih tinggi
daripada tahap sebelumnya yang hanya berakhir pada keputusasaan dan
kekecewaan. Tahap etis ini dianggap lebih menjanjikan untuk memperoleh
kehidupan yang lebih menenangkan.
24
a. Kaidah-kaidah Moral menjadi Hal yang Dipertimbangkan
Dalam tahap etis (the ethical stage), seorang individu mulai
mempertimbangkan aturan-aturan univeral yang harus dipertahankan. Mereka
merasa hidup dengan orang lain dan mempunyai aturan. Sehingga, tahap ini
adalah kesadaran adanya aturan dalam bermasyarakat. Akhirnya, mereka akan
mulai mempertimbangkan nilai baik dan buruk.25 Pada tahap ini manusia tidak
lagi membiarkan dirinya terlena dengan kesenangan inderawi. Bagi Kierkegaard,
“Orang yang hidup secara etis mengekspresikan yang universal dalam dirinya, ia
membuat dirinya masuk dalam manusia universal.”26
Itu artinya, manusia secara
sadar diri menerima dengan kemauannya sendiri pada suatu aturan tertentu.
Tidak seperti tahap estetis yang merasa berat untuk menerima
norma-norma atau aturan-aturan, tahap etis tidak menganggap aturan adalah sebuah
pembatasan. Hal tersebut terjadi karena mereka masuk ke dalamnya secara sadar
atau tanpa dipaksa. Bahkan orang etis melihat norma adalah suatu hal yang
dibutuhkan oleh manusia. Ia benar-benar menginginkan adanya aturan karena
aturan membimbing dan mengarahkannya, terutama ketika hidup dalam
kebersamaan. Sehingga, dapat disimpulkan kewajiban dari makhluk etis adalah
untuk menata dirinya ke dalam aturan universal itu.27 Artinya manusia memiliki
kewajiban dalam dirinya untuk mematuhi pada aturan itu. Pada kondisi ini muncul
kebebasan yang bertanggung jawab. Sederhananya ia sadar adanya kebebasan,
25
Søren Kierkegaard, The Present Age and of The Difference Between A Genius and Apostle, translated by Alexander Dru (New York: Harper Tochbooks, 1962), 43.
26 … the one who lives ethically expresses the universal in his life, he makes himself into the universal man (Kierkegaard, Either/Or, 183).
27
namun juga sadar akan adanya kebebasan dari orang lain. Aturan atau norma
adalah wujud konkret untuk memberikan pencerahan pada problematika seperti
ini. Manusia akan menjadi saling menghargai dan tidak arogan dengan manusia
yang lain. Mereka pada akhirnya dapat hidup dalam tatanan masyarakat yang
baik.
Untuk menerangkan situasi ini secara mudah, Kierkegaard memberikan
kiasan bahwa pada tahap ini seperti pernikahan. Jadi pada tahap estetis ke
eksistensi tahap etis ibarat seorang yang mulai meninggalkan dorongan
kesenangan seksual yang memikat, dan masuk ke jenjang perkawinan. Dalam
perkawinan itu berarti menerima segala kewajibannya karena perkawinan adalah
institusi etis. Secara tidak langsung berarti masuk dalam hukum universal.28
Alasan mengapa kierkegaaard mengambil pernikahan sebagai bentuk dari
implementasi tahap etis. Hal tersebut dikarenakan, ketika manusia telah berani
menikah berarti ia telah berani untuk memberikan batas pada dirinya sendiri. Di
sisi lain ia juga diketahui oleh orang banyak secara luas seahingga sangat minim
ia akan terjun dalam melanggar aturan dari pernikahan ini. Contoh sederhana, si A
menikah dengan si B. Maka, keduanya tidak akan secara bebas menjalin
hubungan lain dengan orang lain, semisal si C. Ini karena konsep etis yang telah
tertanam dalam diri makhluk etis itu sendiri. Timbullah kesadaran.
Perasaan manusia sangatlah labil, semua orang menyadarinya, bahkan
dalam hal cinta. Seseorang dapat cinta pada satu orang saat ini, namun suatu
28
ketika ia kan tertarik pada yang lain. Jalan perkawinan adalah jalan yang harus
ditempuh untuk menstabilkan jiwa manusia ini. Dalam perkawinan ada yang
namanya komitmen. Kesadaran juga akan perasaan manusia yang selalu
berubah-ubah. Akhirnya komitmenlah yang membedakan antara cinta sesaat dengan cinta
perkawinan. Mau tidak mau manusia harus bisa mempertahankan perkawinan itu
sekuat mungkin29. Pada posisi ini manusia harus konsisten terhadap pilihannya.
Dalam Stages on Life’s Way, Kierkegaard menjelaskan betapa pentingnya
perkawinan;
Perkawinan adalah perjalanan yang paling penting yang bisa dilakukan oleh manusia. Semua pengalaman lain yang pernah dialami bersifat tidak mendalam
dibandingkan dengan pengalaman yang diperoleh seseorang yang telah menikah karena ia telah memahami dengan tepat kedalaman dari eksistensi manusia.30
Ketegasan Kierkegaard akan pentingnya perkawinan di atas amat
dijunjung tinggi oleh kaum etis. Manusia bukanlah hewan yang semata hanya
memenuhi kebutuhan seksual saja, namun ia mulai sadar adanya peran rasio yang
dapat membedakan apakah tindakannya etis atau tidak.
Pada pembahasan tahap eksistensi kali ini, Kierkegaard memilih Sokrates
sebagai makhluk yang merepresentasikan tahap etis ini. Sokrates (470-399 sM)
merupakan seorang filsuf Yunani kuno yang memiliki daya nalar yang luar biasa.
Tokoh ini dikenal sebagai orang yang cinta akan kebijaksanaan. Bahkan melalui
29
Søren Kierkegaard, Stages on Life’s Way, translated by Walter Lowrie (Princeton: Princeton University Press, 1945, 95.
30
metode dialektikanya ia mampu membuat orang lain tercengang hingga sadar
bahwa dirinya harus bersikap bijak dan tidak boleh arogan dengan apa yang
dimilikinya.
Lebih-lebih, Sokrates adalah seorang penganut moral yang absolut.
Sebagai seorang filsuf, Sokrates merasa wajib untuk menegakkan serta
mengkampanyekan tentang moral. Untuk mewujudkan apa yang diinginkan oleh
Sokrates itu tentu bukan tanpa metode yang bagus. Ia memiliki ide-ide rasional
yang dapat membuat orang lain tercengang dengan apa yang dia katakan. Ia juga
memiliki pengetahuan yang mendalam.31 Karena perannya itu, Kierkegaard
menjuluki Sokrates sebagai “Pahlawan Tragis” (Tragic Hero), yang mana ia rela
mempertaruhkan namanya demi membela kemurnia nilai dan norma
universal.32Menurut Sokrates, penerapan nilai moral harus dimulai dalam diri
sendiri semurni mungkin. Sampai akhirnya Sokrates membuktikan apa yang ia
katakan ketika ia mendapat hukuman mati. Ia berkata pada dirinya tidak akan
melanggar aturan Athena. Sehingga ketika ia dihukum mati untuk meminum
racun ia laksanakan. Padahal ia dapat mengajukan hukuman yang lebih ringan.
Sokrates menganggap bahwa waktu itula yang tepat untuk menyadarkan semua
orang akan pentingnya moral sehingga ia dengan kesadarannya tanpa melawan
ketika disuruh meminum racun. Nyawa Sokrates tidak lebih berharga dari
kebenaran.33 Pengorbanan Sokrates ini menurut Kierkegaard adalah suatu bentuk
kesetiaan dalam memperjuangkan sesuatu yang lebih tinggi. Maka dari itu,
31
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra, cetakan ke-9 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), 53.
32
Kierkegaard, Fear and Trembling and The Sickness unto Death, 126
33
Sokrates dengan begitu tenang menenggak racun, yang tentunya akan
membunuhnya. Baginya, membela suatu yang lebuh tinggi adalah segalanya.
Kebenaran menjadi harga mutlak baginya.
Jika dianalisis mendalam, tokoh seperti Sokrates yang digunakan sebagai
contoh manusia etis oleh Kierkegaard ini tampak sebagai manusia yang sangat
idealis. Dengan bahasa yang agak puitis dapat dikatakan bahwa Sokrates ibarat
sebuah lilin. Ia memang mampu untuk menerangi sekitarnya, namun ia akan sirna
secara perlahan.
Seperti yang dibahas diawal, baginya kebenaran adalah harga mati. Orang
etis selalu berpegang pada prinsip kebenaran yang telah diketahuinya. Ia sadar
bahwa nilai moral ini lah yang sebagai kunci untuk menciptakan suatu keadaan
bersama yang harmoni. Semua orang akan taat pada tuntutan nilai dan hukum.34
Dengan bahasa lain, nilai keobjektifan inilah yang mendorong kaum etis untuk
memperjuangkannya. Sifat ego dalam diri makhluk etis juga tidak nampak dalam
ini, sehingga ia sangat berbeda dengan tahap estetis yang cenderung sangat egois,
mementingkan diri sendiri.
Akan tetapi, pada tahap ini pun juga memiliki sebuah kelemahan yang
tidak bisa dianggap remeh. Ketika seseorang telah sangat ideal dan mematuhi
aturan dan nilai yang berlaku maka masalah yang muncul adalah konteks aturan
itu. Manusia boleh memiliki aturan, namun pada kondisi tertentu aturan itu
bersifat universal dalam kelompoknya saja. Sebagai contoh aturan orang
34
indonesia, orang barat dan lain-lain memiliki kaidah tersendiri. Kelemahannya
adalah aturan itu datang dalam ruang dan lingkup waktu yang tidak kekal sampai
pada akhirnya mereka dapat saja bentrok dengan yang lain.
Pada kondisi seperti inilah, manusia menyadari bahwa ada kekurangan
fundamental yang perlu diselesaikan bersama. Manusia tidak bisa seutuhnya
terkungkung dalam satu aturan yang membuatnya fanatik. Sampai akhirnya
mereka juga sadar bahwa hidup secara etis bukanlah hidup yang paling mulia.
Dengan akata lain, kelemahan dari tahap ini adalah mereka mengahayati
kehidupan berdasarkan kesesuaian norma universal yang berlaku dalam
komunitas, bukan pada kesesuaian dengan Tuhan.35
Pada akhirnya, tahap etis juga akan terjerat dalam situasi keputusasaan. Ini
dapat terjadi ketika seseorang yang begitu taat pada aturan atau norma namun
norma itu hanya bersifat universal dalam sebuah komunitas. Hingga akhirnya ia
merasa ada aturan yang seharusnya lebih universal lagi yang tidak bertabrakan
dengan aturan yang lain. Dimana aturan itu sesuai dengan batin.36
Pada konteks tersebut, ketika manusia terjebak dalam universalitas sebuah
komunitas, partikularitas individu benar-benar tenggelam dalam universalitas.
Individu keluar dari dirinya sendiri dalam partikularitasnya. Mereka mendasarkan
hidupnya pada universalitas, seperti masyarakat, komunitas atau kelompok,
negara. Dalam pandangan Kierkegaard, hidup yang seperti ini akan melahirkan
35
Vardy, Kierkegaard, 62-63.
36
Kierkegaard menyatakan bahwa “inwardness is the relationship of the individual to himself
keputusasaan yang mendalam. Individu mengalami keputusasaan karena tidak
ingin menjadi diri sendiri (despair at not willing to be oneself)37. Mereka tidak sanggup menjalnkan semua norma yang ada sehingga muncullah perasaan
bersalah.
Perasaan bersalah ini tidak bisa dianggap sepele. Ini dapat menimbulkan
keputusasaan juga. Pada akhirnya ia merasa bahwa hidup ini gersang, tidak
bergairah dan bahkan tidak bermakna. Pertanyaan besar akan muncul adalah
bagaimana sebenarnya dampak atas kesadaran atau tidak sadar akan keputusasaan
dari manusia etis ini. Dengan tegas Kierkegaard menjawab bahwa disadari
maupun tidak proses keputusasaan ini akan mencelakakan. Keputusasaan adalah
langkah negatif yang berpengaruh buruk pada eksistensi manusia.38 Dengan kata
lain, manusia tidak akan menjadi manusia yang seutuhnya jika tidak menyadari
akan keputusasaannya dan tidak berusaha melampauinya.
Kierkegaard sendiri menyatakan bahwa keputusasaan akan menjadi suatu
langkah yang positif jika pengalaman itu disadari sebagai suatu pengalaman
keterbatasan manusiawi yang melahirkan suatu usaha baru dalam diri individu
untuk mengatasi dan melampauinya. Jadi, apabila sadar saja tidak akan membuat
manusia menjadi manusia yang sepenuhnya. Namun, sadar akan keputusasaannya
dan berusaha melampauinya.
37
Kierkegaard, Fear and Trembling and The Sickness unto Death, 182.
38
“Seorang yang benar-benar menyadari keputusasaannya mungkin mendapati
rumah tempat tinggalnya sungguh menjijikkan atau memahami bahwa terlalu
memperhatikan hal-hal duniawi yang merupakan kelemahan.”39
Dalam pernyataan itu terkandung makna bahwa keputusasaaan yang
positif ialah yang disadari dan dihayati kemudian melampauinya. Manusia tidak
cukup jika hanya sadar tanpa sebuah aksi. Teori dibangun untuk dijadikan sebuah
aksi. Jadi teori yang bagus adalah yang dapat diaplikasikan, bukan semata untuk
didiskusikan. Kierkegaard juga menuliskan sebagai berikut;
Keputusasaan pada dirinya sendiri merupakan sesuatu yang negatif, ketidaksadaran terhadapnya merupakan suatu unsur negatif yang baru. Tetapi
untuk meraih kebenaran orang harus menerobos segala yang negatif.40
Kierkegaard memiliki argumentasi tersendiri dengan menyatakan hal
tersebut. Menurutnya keputusasaan bukanlah sesuatu hal yang final. Dalam arti
keputusasaan di sini akan menjadi titik dasar kesadaran yang menuju kehidupan
yang lebih cerah. Dengan adanya keputusasaan manusia akan berfikir kembali dan
pada akhirnya akan menumbuhkan kesadaran yang tak pernah disadari
sebelumnya. Dapat dikatakan bahwa keputusasaan merupakan awal dari
39
Terkutip dalam: Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, 105-106.
40
kehidupan yang sebenarnya.41 Namun peryataan itu menimbulkan pertanyaan
besar baru. Seperti apakah kehidupan yang lebih cerah itu?
Dalam menjawab tersebut, Kierkegaard mengembalikan pada hakikat
dasar, yakni manusia kembali dalam relasi dengan Tuhan. Manusia menemukan
ketidakpuasan dalam hidup dan terasa kering serta gersang karena jauh dari
Tuhannya. Keterpisahan manusia dengan Tuhan ini akan membuat dirinya
kehilangan pegangan, bagai mengarungi sebuah lautan yang luas, namun
kehilangan arah, tidak tahu mau pergi ke mana. Dengan demikian yang dimaksud
dengan kehidupan cerah dalam perspektif Kierkegaard adalah kebersatuan antara
manusia dengan Tuhannya.
Untuk itu, jalan terbaik adalah dengan kerendahan hati menyerahkan diri
kepada Tuhan. Ini karena ketika manusia berpaling dari Tuhan, akan
memunculkan jiwa yang gerang dalam dirinya. Secara tidak langsung, sebenarnya
Kierkegaard mengajak kepada setiap orang untuk mendekatkan diri pada Tuhan.
Karena hanya dengan cara itu manusia akan benar-benar mendapat kehidupan
yang sebenarnya.
Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa sebenarnya
keputusasaan adalah pintu gerbang menuju kehidupan yang sejatinya. Karena
dengan keputusasaan akan berfikir ulang dan tidak menutup kemungkinan, sesuai
analisis Kierkegaard akan menemukan kesejatian hidup. Cara konkret yang
ditawarkan oleh Kierkegaard adalah dengan mengakui akan keberadaan Tuhan
41
serta menyerahkan diri pada Tuhan. Namun, ketundukan di sini bukan karena
keterpaksaan melainkan kesadaran. Individu yang demikian dapat diterka bahwa
akan memilih untuk meloncat ke tahap berikut yang oleh Kierkegaard disebut
sebagai tahap religius.
3. Eksistensi Tahap Religius (The Religious Stage)
Telah dibahas sebelumnya bahwa pada tahap estetis maupun etis memiliki
kekurangan, yakni berakhir pada keputusasaan. Namun manusia tidak perlu
bermuram karena adanya keputusasaan itu karena sebenanrnya ia hanya pintu
gerbang untuk menuju eksistensi yang lebih tinggi lagi. Dimensi religius akan
terbuka pada saat itu. Dengan demikian, akan ada yang namanya eksitensi
religius, eksistensi yang paling tinggi dalam pandangan Kierkegaard. Ini tentu
dengan beberapa alasan.42
a. Keputusasaan sebagai Cara Cepat Munuju Kepercayaan (The Leap of
Faith)
Seperti yang telah ditegaskan sebelumnya, keputusasaan bukanlah sebuah
final dalam kehidupan, namun ia adalah sebuah jalan menuju permulaan yang
sesungguhnya. Dapat juga dikatakan dengan bahasa lain bahwa keputusasaan
adalah prakondisi manusia sebelum menuju tahap eksistensi religius yang
sebenarnya.
42
Memang pada dasarnya manusia menganggap bahwa keputusaaan adalah
sebuah penderitaan yang mendalam yang dialami individu. Memang pernyataan
itu juga tak sepenuhnya dapat disalahkan karena jika keputusasaan itu dibawa
tanpa kesadaran atau sadar namun tidak ada respon positif atau kehendak dan aksi
untuk berbenah, maka itu akan benar-benar menyudutkan manusia pada jurang
kehancuran. Kesadaran untuk berbenah ini dimaksudkan adalah kemauan dari
dalam diri untuk sadar akan kekurangannya dan menyerahkan diri pada Tuhan. Ia
mengakui bahwa ada realitas Tuhan yang sebagai topangan. Dengan demikian,
manusia ketika mendapat problematika besar dalam hidupnya tidak mudah
tergoyah. Ketika tergoyah pun ia akan berpegangan dengan tali yang sangat kuat,
yakni keyakinan.43 Jadi manusia dalam menyerahkan diri kepada Tuhan tanpa
adanya syarat apapun. Ia dengan kesadaran primanya menuju dan menyadari
realitas yang sebenarnya. Sehingga ia tidak merasa dalam kekangan atau dalam
belenggu tertentu.44
Tahap religius ini merupakan hasil dari kristalisasi perjalanan hidup. Pada
tahap ini tentu akan melahirkan sikap bijaksana juga. Seseorang yang mendapat
konklusi dari dalam dirinya atau secara bahasa lain pengalaman pribadi akan lebih
menyentuh pada ranah terdalam dalam diri manusia. Pun dengan penyerahan,
manusia akan menyimpulkan bahwa jalan terakhir memperoleh ketenangan hidup
hanyalah dengan menyatu dengan Tuhan. Dalam pernyataan Kierkegaard
disebutkan;
43
P. A. van der Weij, Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, terj. K. Bertens (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 138.
44
“diri dalam keadaan sehat dan terbebas dari keputusasaan hanya ketika,
tepatnya dalam keputusasaan, diri itu bertumpu secara transparan pada
Tuhan.”45
Dalam pernyataan Kierkegaard tersebut di atas sejatinya ia hendak
mempertegas bahwa manusia harus menyerahkan diri pada Tuhan tanpa
kesombongan apapun. Bukan hanya itu, manusia juga dituntut untuk
menyerahkan diri secara terbuka tanpa ada rasa setengah hati. Individu pada tahap
ini benar-benar yakin bahwa Tuhan dapat menghapuskan penderitaan dan
keputusasaan manusia. Harapan besar pada tahap ini adalah Tuhan.46
Maka dari itu, Kierkegaard memberi istilah pada situasi seperti ini sebagai
loncatan kepercayaan (the leap of faith). Kierkegaard menjelaskan bahwa satu-satunya cara atau jalan untuk sampai kepada Tuhan adalah kepercayaan atau iman
(faith). Dengan demikian, dalam menuju Tuhan manusia tidak mempunyai formula yang objektif dan rasional. Semua berjalan berdasarkan subjektifitas
individu yang diperoleh hanya dengan iman. Jadi eksisteni tahap ini dicapai
manakala manusia berhenti berfikir.47 Kierkegaard juga menegaskan tidak ada
satu konsep rasional pun yang dapat menjelaskan tentang Tuhan karena Ia ada
dalam keyakinan.
45
The self is in sound health and freedom from despair only when, precisely by having been in despair, it is grounded transparently in God (Kierkegaard, Fear and Trembling and The Sickness unto Death, 163).
46
Søren Kierkegaard, Crisis in The Life of an Actrees, translated by Stephen D. Crites (New York: Harper Torchbooks, 1967), 55.
47
Untuk lebih memperdalam dan mengetahui secara jelas konsep tahap ini,
Kierkegaard menganalisisnya dalam dua bagian, yakni Religiositas A
(Religiousness A) dan Religiositas B (Religiousness B). Pertama, Kierkegaard, Religiositas A atau lebih dikenal dengan nama Religius Immanen (Immanent Religion).
Dengan “immanen”, yang dimaksudkan oleh Climacus adalah
ketidakbergantungan pada yang “transenden”, pada pewahyuan historis tetapi
muncul dari pengalaman yang dialami secara umum bahwa seorang pribadi religius mendasarkan kebahagiaan abadinya pada Tuhan.48
Makna dalam pernyataan di atas adalah pada tahap ini, religiositas A,
manusia akan hanya percaya pada kekuasaan Tuhan dan mengabaikan segala yang
bukan Tuhan. Ia mengabaikan sisi transendensi Tuhan atau pewahyuan Tuhan
(dalam diri Kristus) untuk menyelamatkan manusia. Individu dalam Religiositas
A tercermin dalam ungkapan bahwa semua yang ada di bumi ini bersifat
temporal. Jadi ia melihat agama sebagai contoh manusia yang sempurna, bukan
penyelamat.49
48 By “immanent”, Climacus means that is not dependent upon any “transcendent”, historical
revelation, but is generated from a universally available experience, the religious person’s attempt
to stake her eternal life happiness on God (Climacus adalah nama samaran Kierkegaard. Terkutip dalam: David J. Gouwens, Kierkegaard as Religious Thinker [New York: Cambridge University Press, 1996], 110).
49
Kierkegaard memberikan pendapat bahwa pada tahap ini cenderung pada
corak panteistik.50 Individu secara langsung tanpa sebuah pertobatan menuju
kebahagiaan. Pada konteks ini, kebahagiaan tergambar sebagai hal yang
sederhana.51 Namun, Kierkegaard menyatakan bahwa religiositas yang sejatinya
bukanlah seperti itu. Sehingga manusia masih perlu melakukan perjalanan lagi
menuju religiositas B.
Religiositas B berbeda dengan Religiositas A. Kebalikan dari Religiositas
A, religiositas B berifat transenden. Ini disadari bahwa sebenarnya manusia
mencari kebahagiaan dari being diluar dirinya, yang transenden.52 Paradoks Absolut Manusia-Tuhan (sebagai contoh, Kristus yang merupakan Paradoks besar
yang mempersatukan Yang Abadi dan yang mewaktu, Yang Ilahi dan yang
manusiawi) menjadi topik pembahan dalam tahap ini.
Pada tipe ini manusia tidak hanya menerima dan percaya akan adanya
Tuhan, namun juga yakin bahwa Tujhan adalah kekal.53 Yang terpenting pula
dalam pemahaman tipe ini, manusia adalah sesuai apa yang dipercayainya. Ketika
manusia percaya bahwa dirinya kekal, maka ia akan kekal juga. Sehingga, percaya
menurut Kierkegaard adalah menjadi. Dalam pernyataannya menyebutkan;
50
Panteistik: kata sifat dari Panteisme. Panteisme (Inggris: panteism) dari bahasa Yunani pan
(semua) theos (Allah). Panteisme adalah ajaran filosofis yang mengemukakan bahwa Allah merupakan prinsip impersonal, yang berada di luar alam tetapi identik dengan-Nya. Panteisme meleburkan Allah ke dalam alam seraya menolak unsur adikodrati-Nya. ( Lorens Bagus,
“Panteisme,” Kamus Filsafat [Jakarta: Gramedia, 1996], 774 dan 325
51
Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript, 497
52
In his quest for happiness, man seeks an entity that is transcendent, a being which is outside man (Lescoe, Existentialism: With or Without God, 41). Kierkegaard juga menyatakan bahwa “In
Religiousness B, the edifying is a something outside the individual, the individual does not find edification by finding the relationship within himself, but relates himself to something outside himself to find edification (Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript, 498).
53
“sebagaimana engkau percaya, demikianlah jadinya sebagaimana engkau
percaya, demikianlah engkau adanya; percaya adalah menjadi.”54
Menurut Kierkegaard, individu beriman kepada Tuhan tanpa dibuktikan
secara obyektif-rasional. Tuhan dapat ditemukan dalam keyakinan dan juga
pengalaman pribadi yang subjektif. Di lain sisi, Religiositas B, diindikasikan
dengan adanya kesadaran akan dosa dan penerimaan pengampunan. Tahap ini
menganggap Agama sebagai juru selamat. Inilah yang dianggap oleh Kierkegaard
sebagai puncak pengembaraan manusia.
Kierkegaard memberikan prototipe terkait tahap ini dengan menunjuk
Abraham sebagai aktornya yang menjadi gambaran. Abraham dinilai sebagai
orang yang bertindak sesuai dengan iman. Ini dapat dilihat ketika Abraham
diminta untuk mengorbankan Ishak, anak yang disayanginya, ia lakukan.
54
As thou believest, so it comes to pass; or As thou believest, so art thou; to believe is to be
BAB III
PENGERTIAN EKSISTENSIALISME dan
SEJARAH KEMUNCULAN EKSISTENSIALISME
A.
Pengertian Eksistensialisme
Pengertian eksistensialisme memang tidak mudah dirumuskan. Ini karena
ketika ada definisi berarti adanya pembatasan. Kaum eksistensialis sendiri belum
menemukan kesepakatan mengenai apa makna dari eksistensi itu sendiri. Namun,
setidaknya dalam kesempatan ini ada beberapa referensi tentang definisi
eksistensi1. Istilah Eksistensialisme berasal dari kata latin “ eksistere” yakni “ex” yang berarti “keluar” dan “sitere” yang berarti membuat, berdiri. Sehingga eksistensi berarti ”apa yang ada”, “apa saja yang dialami”, “apa yang memiliki
kualitas”. Secara singkatnya, eksistensi menekankan akan keberadaan.
Definisi lain menyatakan bahwa, Eksistensi berasal dari eks artinya keluar,
sintesi artinya berdiri. Tidak jauh berbeda dengan definisi awal, eksistnsi di sini
berarti berdiri sebagai diri sendiri. Menurut Heideggard “Das wesen des daseins
liegh in seiner Existenz” , da-sein adalah tersusun dari dad an sein. “da” disana.
Sein berarti berada. Dengan demikian manusia sadar dengan tempat atau
keberadaannya. Ini definisi dari eksistensi2.
1
Fuad Hasan, Kita dan Kami (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 8
2
Senada dengan definisi di atas, dengan redaksi yang sedikit berbeda.
Istilah Eksistensialisme dari kata “eks” yang artinya “keluar” dan sintensi yang
diturunkan dari kata kerja “sisto” yang artinya “berdiri ,menempatkan” oleh
karena itu kata eksistensi diartikan sebagai ” manusia yang berdiri sendiri sebagai
diri sendiri dengan keluar dari dirinya" sadar bahwa dirinya ada, yaitu yang
disebut Aku”.3
Jika mau jujur, definisi tersebut belum mewakili secara penuh tentang arti
dari eksistnsialisme. Ini karena masih banyaknya perbedaan dikalangan parah ahli
eksistensialis sendiri. Namun jika kita mau menarik benang merahnya, akan
terlihat titik persamaan dari mereka. Eksistensialisme pada dasarnya menekankan
pada manusia yang konkrit atau seutuhnya. Manusia sebagai makhluk yang
bereksistensi, sadar akan keberadaan dirinya.4
Kemudian kesempurnaan eksistensi terletak di dalam “segala sesuatu”
konsep eksistensi sebagai suatu yang paling komperehensif dan paling universal
yang mempunyai landasan objektif, karena ia bukan sekedar kata kosong atau
hayalan pengertian kita belaka tetapi konsep ini memiliki keluasan yang paling
luas melampaui semua bidang dari segi isi, dan konsep ini hanya menyangkut satu
patokan yaitu eksistensi. Bila Hegel mengatakan eksistensi itu berkonsidasi
dengan ketiadaan, sebaliknya gerakan eksistensialisme mengatakan konsep
3
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai James (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 1992), 191.
4
eksistensi itu tidak memperhatikan diterminasi-isi partikular dari eksisten itu
tetapi konsep ini adalah konsep yang seluruhnya tidak ditentukan.5
Secara primordial, eksistensi adalah kesempurnaan fundamental dari setiap
eksisten. Konsekuensinya ada yang berperan sebagai partisipasi dari eksistensi itu.
Eksistensi akan memberikan pengendali sebagai pusat. Ia menjadi pusat dari
pengendalian itu sendiri. Kalau menurut pengrtian yang lebih luas, eksistensi
mencakup “ada yang mungkin” dan sesuatu apakah “memiliki” eksistensi.
Pembahasan tentang Tuhan masuk dalam pengrtian ini. Eksistensi dapat ditelusuri
dari sifat-sifat dasarnya.6
Sedangkan, menurut Parkey (1998) aliran eksistensialisme terbagi menjadi
2 sub besar, yaitu; bersifat theistic dan atheistic. Theistic adalah aliran eksistensi
yang masih menganggap keberadaan Tuhan, mengakuinya. Sedang Athistic
adalah aliran yang melepas diri dari Tuhan. Ia sudah tidak menganggap lagi
adanya Tuhan. Bahkan mereka tidak segan-segan mengungkapkan kata-kata yang
sangat sensitive bagi orang yang beragama, seperti kata “Tuhan telah Mati”.
Jika mau ditelusuri, pendidikan memiliki hubungan erat dengan
Eksistensialisme. Ini terjadi karena hanya manusialah yang mendapat pendidikan.
Diketahui juga bahwa eksistensi mendasarkan pembahasannya pada manusia.
Eksistensi sudah barang tentu merujuk pada sesuatu yang ada.
Keberadaannya pun harus dialami oleh banyak orang. Ini salah satu bentuk
5
Save M. Dagun, filsafat eksistensialisme, (jakarta, rineka cipta, 1990.)19-20
6
pembuktian adanya eksistensi7. Diketahui bahwa ada dua metode pembenaran
atau pembuktian dalam filsafat, yakni verifikasi dan falsifikasi. Dalamverifikasi
berarti kita mengambil objek yang sama untuk mendukung. Bertentangan dengan
falsifikasi yang berarti bahwa kita mencari tentang objek yang berlawanan. Jadi,
dalam verifikasi, semakin banyak objek pendukung kian kuat, sedang dalam
falsifikasi semakin banyak objek yang berlawanan ditemukan, maka semakin
lemah.
B.
Pra-Eksistensialisme
Masa abad pertengahan, yang juga dikenal dengan masa kegelapan8,
nampaknya benar-benar memukul telak para ilmuan. Kebebasan dalam berfikir
dikekang. Semua kalangan diharuskan berfikir sesuai dengan arah pemikiran
gereja. Jika mereka tak mampu melaksanakan hal tersebut, maka pemikiran akan
dicekal. Sebuah gagasan yang tidak senada dengan gereja yang disebarkan, dan
dikonsumsi masyarakat luas, maka pemilik ide itu akan segera berhadapan dan
diadili di gereja.
Contoh konkrit, Copernicus9, penemu teori “Matahari Sentris” sangat
ditentang kala itu, khususnya oleh kalangan gereja yang mengakui “Bumi
Sentris”. Pada tahun 1609, Galileo, sang penemu teleskop mendukung teori
Copernicus. Melalui teleskopnya dia bisa melihat Saturnus yang dilingkari
7
Louis O.Katsof, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004)
8
Linda Smith and William Raeper. Ide-ide Filsafat dan Agama, dulu dan sekarang, Terj. P Hardono Hadi (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 121
9
gelang-gelang, dan tahulah ia bahwa ada empat buah planet yang berputar-putar
mengelilingi bumi ini. Selanjutnya, penelitian itu beralih ke planet Venus. Ini
merupakan bagian dari bukti penting yang mengukuhkan teori Copernicus bahwa
bumi dan semua planet lainnya berputar mengelilingi matahari. Sementara,
dukungannya terhadap Copernicus menyebabkan Galileo berhadapan dengan
kalangan gereja yang menentangnya habis-habisan.
Pertentangan gereja ini mencapai puncaknya pada tahun 1616. Dia
diperintahkan menahan diri dari menyebarkan hipotesa Copernicus. Galileo
merasa terjepit selama bertahun-tahun. Baru sesudah Paus meninggal dunia pada
tahun 1623, dia (Paus) digantikan oleh orang yang mengagumi Galileo. Paus baru
ini, Urban VII, memberi pertanda walau samar bahwa larangan terhadap Galileo
tidak lagi diteruskan.
Enam tahun kemudian, Galileo membuat gebrakan baru dengan
menyusun karya ilmiahnya berjudul "Dialog tentang dua sistem penting dunia".
Meskipun begitu, penguasa-penguasa Gereja menanggapi dengan sikap berang,
tatkala buku itu terbit dan Galileo langsung diseret ke muka pengadilan Agama di
Roma. Galileo diminta untuk mencabut kembali pendapatnya bahwa bumi
Ilmuan berusia 69 tahun ini terpaksa menuruti keinginan penguasa Gereja.
Tetapi, dia menunduk ke bumi dan berbisik pelan, "Tengok, dia (bumi ini) masih
terus bergerak (berevolusi)10. Mereka tetap berprinsip pada kebenaran.
Otoritas gereja pada saat itu, justru sebenarya membuat manusia berfikir
ulang11. Kalangan penentang gereja lambat laun mulai menampakkan tajinya
dalam mengusung kebenaran mereka. Mereka ingin medapat sebuah kebebasan,
mereka hendak menunjukkan bahwa dalam diri manusia ada sebuah potensi yang
sangat besar.
Salah satu pemikiran aliran yang berusaha sadar pada diri manusia itu
sendiri adalah aliran eksistensialisme. Mereka mencoba mengkampanyekan
bahwa dalam diri manusia ada sesuatu yang sangat hebat. Manusia hanya perlu
percaya pada dirinya sendiri. Dengan begitu, segala potensi akan terasah.
C.
Perjalanan Eksistensialisme
Filsafat eksistensialisme merupakan aliran yang sempat menggemparkan
dunia keilmuan waktu itu. Manusia beramai-ramai mempelajari aliran ini. Kendati
pada masa mendatang, aliran ini cukup rapuh pula, tidak tahan terhadap kritik12.
10
Ary Gynanjar Agustian, ESQ (Jakarta: Arga, 2001), 124-125
11
TIM Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia (Jakarta: PT PBK Gunung Mulia,2007), 132
12
Pada masa awalnya, istilah eksistensialisme dirumuskan oleh ahli filsafat
Jerman yaitu Martin Heidegger (1889-1976). Sedangkan, akar metodologi
pngetahuan ini berasal dari tokoh fenomenologi, yakni Edmund husserl
(1859-1938)13. Epos sebagai salah satu cara fenomenologi dalam mencapai kebenaran
nampaknya cukup berpengaruh dalam perenungan eksistensialisme.
Pada dasarnya istilah eksistensialisme merupakan reaksi kecendrungan
terhadap semangat jaman modern, terutama terhadap pemutlakan akal manusia,
oleh karena itu eksistensialisme secara khusus dikatakan sebagai lawan dari aliran
rasionalisme.
Semua itu tidak mengherankan dalam filsafat. Memang itu adanya, dari
kritik antar kritik, tesis dan anti tesis akan terbentuk pengtahuan baru (thesis).
Sehingga, Filsafat terlahir dari suatu kritik. Bila terjadi krisik, orang biasanya
meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah ia dapat tahan
uji. Itulah mengapa ada yang mengatakan bahwa filsafat anti kemapanan14.
Kemudian Pada awal abad ke-19, Kerkegaard telah menyaksikan
kecendrungan rasionalis