• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSISTENSI KEBERAGAMAAN; STUDI TERHADAP PEMIKIRAN EKSISTENSIALISME SOREN KIERKEGAARD.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "EKSISTENSI KEBERAGAMAAN; STUDI TERHADAP PEMIKIRAN EKSISTENSIALISME SOREN KIERKEGAARD."

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Filsafat eksistensialisme menyatakan bahwa cara berada manusia

dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia; sapid an pohon

juga. Akan tetapi, cara beradanya tidak sama. Manusia berada di dalam

dunia; ia mengalami beradanya di dunia itu; manusia menyadari dirinya

berada di dunia. Manusia menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti

yang dihadapinya itu. Manusia mengerti guna pohon, batu dan salah satu

diantaranya adalah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Apa

artinya semua ini? Artinya ialah bahwa manusia adalah subjek, subjek

artinya menyadari, yang sadar. Barang-barang yang disadarinya disebut

objek. Kesadaran sebagai subjek ini menjadikan manusia berkehendak

bebas, tidak mau diikat dalam suatu aturan. Pada kondisi seperti itu,

masalah besar muncul terutama bagi orang-orang beragama. Agama syarat

dengan aturan-aturan yang selalu ‘terkesan’ mengekang manusia. Kebebasan manusia dapat terbelenggu dengan hadirnya agama. Di sisi lain,

agama adalah kebutuhan mutlak manusia. Agama dapat dikatakan terdiri

dari seperangkat keyakinan. Sedangkan keyakinan adalah sikap mental atas

dasar kepastian bahwa ada kebenaran. Namun masalahnya adalah agama

syarat dengan aturan. Ketika manusia beragama, maka manusia akan

diwajibkan untuk memamatuhi segala yang diperintahkan Tuhan dan

menjauhi larangan yang diperintahNya. Inilah yang memunculkan tanda

Tanya besar terkait bagaimana eksistensi manusia dalam keberagamaan?

Melalui pendekatan filosofis terhadap pemikiran Soren Kierkeegard,

penelitian ini berusaha untuk menemukan keberagamaan manusia. Manusia

yang beragama namun tanpa kehilangan jati dirinya sebagai manusia yang

berkehendak bebas. Manusia yang masih memiliki kesadaran aktif dalam

(6)

DAFTAR ISI

SAMPUL LUAR ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iv

ABSTRAK ... v

MOTTO ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

BAB I: PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

E. Kajian Pustaka ... 5

F. Metode Penelitian ... 7

G. Sistematika Pembahasan ... 9

BAB II:

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN EKSISTENSI SOREN

KIEKERGAARD

………

10
(7)

B. Klasifikasi Eksistensi dalam Perspektif Soren Kierkegaard ... 13

1. Estetis ... 14

2. Etis ... 19

3. Religious ... 29

BAB III: PENGERTIAN EKSISTENSIALISME dan SEJARAH KEMUNCULAN EKSISTENSIALISME ... 35

A. Pengertian Eksistensialisme ... 35

B. Pra-Eksistensialisme ... 38

C. Perjalanan Eksistensialisme ... 40

D. Tingkat Eksistensi ... 42

E.Eksistensi dan Eksistensial ... 43

F.Tokoh-tokoh Eksistensialisme ... 43

1. Kierkegaard ... 43

2. Jean Paul Sartre ... 45

3. Albert Camus ... 49

BAB IV: ANALISIS EKSISTENSI BAGI ORANG BERAGAMA DARI PEMIKIRAN SOREN KIERKEGAARD TENTANG EKSISTENSIALISME ... 53

A. Soren Kierkegaard dan 3 Tahap Eksistensi ... 53

1. Tahap estetis ... 53

(8)

3. Tahap Religious ... 68

BAB V: KESIMPULAN

A. Kesimpulan ... .76

a. Keterangan Tambahan ... .87

b. kritik ... .88

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejarah kelam kehidupan manusia pernah dialami di dunia barat hingga

mendapat sebuatan dark age1. Kebebasan di dunia barat pernah mendapat belenggu yang teramat berat ketika pihak otoritas gereja memaksakan kebenaran

dalam versinya. Bahkan, pemaksaan itu semakin membrutal manakala terdapat

kebenaran ilmiah datang. Di saat pihak gereja berkeyakinan bahwa bumi adalah

pusat tata surya, datang pengetahuan lain dari para ilmuan yang sangat

bertentangan. Pengetahuan itu mengatakan bahwa, “pusat tata surya adalah

matahari”. Sehingga banyak Para ilmuan yang sepakat bahwa pusat tatasurya

adalah matahari.

Sontak ilmu pengetahuan itu sangat mencibir pihak gereja kala itu. Maka

tak segan pihak gereja memanggil sang ilmuan, saat itu Copernicus2, supaya

mencabut pengetahuan yang bertentangan dengan keyakinan gereja itu. Singkat

kata, manusia sangat terkekang pada saat itu.

Al hasil, peradaban barat tidak berkembang, hingga mendapat sebutan

zaman kegelapan pada waktu itu. Ini merupakan salah satu bukti bahwa

1

Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat; dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), 30

2

(10)

kebebasan atau eksistensi sangat dibutuhkan oleh manusia untuk menemukan

jatidirinya dan memaksimalkan potensi diri.

Hingga akhirnya, Galileo-galilei menemukan sebuah bukti yang tak

terbantahkan lagi. Melalui teleskop, ilmuan tersebut mampu membuktikan secara

empiris bahwa matahari memang pusat dari tatasurya.

Semenjak itu, pemikiran-pemikiran agama yang kerdil, mendapat kecaman

keras bahkan muncul paham eksistensialis. Eksistensialisme merupakan paham

yang sudah tidak asing lagi dalam dunia akademis, terlebih lagi bidang filsafat.

Eksistensialisme yang menitikberatkan pada pemahaman kebebasan manusia ini

nampaknya memiliki daya tarik tersendiri. Manusia yang pada hakikatnya ingin

bebas menambah dukungan terhadap suksesnya gerakan ini.

Manusia adalah makhluk yang sedang dalam proses menjadi pribadi.

Seorang yang berpribadi berarti mempunyai kemampuan untuk menentukan

kemana arah dirinya sendiri, dan ini berarti kebebasan.3 Kebebasan dapat

memunculkan eksistensi diri.

Hal tersebut senada dengan fitrah manusia. Manusia mempunyai ciri

istimewa, yaitu kemampuan berfikir yang ada dalam satu struktur dengan

perasaan dan kehendaknya.4 Kemampuan untuk berkehendak inilah yang

menimbulkan hasrat untuk bebas. Manusia memiliki kesadaran aktif.

Maka tak heran jika pada abad modern, eksistensialisme mengudara

dengan begitu cepat. Hingga muncul „quote‟ yang sangat familiar,”Tuhan telah

3

Franz Magnis Suseno, Sesudah Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 2006)

4

(11)

Mati”. Manusia berusaha membunuh segala sesuatu yang ada indikasi untuk

mengerucutkan kebebasan manusia.

Filsafat eksistensialisme menyatakan bahwa cara berada manusia dan

benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia; sapid an pohon juga. Akan

tetapi, cara beradanya tidak sama. Manusia berada di dalam dunia; ia mengalami

beradanya di dunia itu; manusia menyadari dirinya berada di dunia. Manusia

menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu. Manusia

mengerti guna pohon, batu dan salah satu diantaranya adalah ia mengerti bahwa

hidupnya mempunyai arti. Apa artinya semua ini? Artinya ialah bahwa manusia

adalah subjek, subjek artinya menyadari, yang sadar. Barang-barang yang

disadarinya disebut objek.5 Kesadaran sebagai subjek ini menjadikan manusia

berkehendak bebas, tidak mau diikat dalam suatu aturan.

Pada kondisi seperti itu, masalah besar muncul terutama bagi orang-orang

beragama. Agama syarat dengan aturan-aturan yang selalu „terkesan‟ mengekang

manusia. Kebebasan manusia dapat terbelenggu dengan hadirnya agama.

Di sisi lain, agama adalah kebutuhan mutlak manusia. Agama dapat

dikatakan terdiri dari seperangkat keyakinan. Sedangkan keyakinan adalah sikap

mental atas dasar kepastian bahwa ada kebenaran.6 Namun masalahnya adalah

agama syarat dengan aturan. Ketika manusia beragama, maka manusia akan

diwajibkan untuk memamatuhi segala yang diperintahkan Tuhan dan menjauhi

larangan yang diperintahNya. Inilah yang memunculkan tanda Tanya besar terkait

bagaimana bereksistensi bagi orang beragama.

5

A. Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu (Jakarta: Rineka Cipta, 2010)

6

(12)

Melalui pendekatan filosofis terhadap pemikiran Soren Kierkeegard,

penelitian ini berusaha untuk menemukan eksistensi manusia dalam agama.

Manusia yang beragama namun tanpa kehilangan jati dirinya sebagai manusia

yang berkehendak bebas. Manusia yang masih memiliki kesadaran aktif dalam

beragama.

B.Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pengertian Eksistensi secara umum?

2. Bagaimana pemikiran Eksistensi Soren Kierkeegard?

3. Bagaimana pemikiran Soren Kierkeergard dalam 3 Tahap beragaman

dapat memberikan penjelasan tentang keberagamaan manusia?

C. Tujuan Penelitian

1. Menjelaskan pengertian Eksistensi secara umum

2. Menjelaskan pemikiran Eksistensi Soren Kierkeegard

4. Menganalisis pemikiran Eksistensi Soren Kierkeegard tentang 3 Tahap

beragaman, yang dapat memberikan penjelasan tentang keberagamaan

manusia?

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis yang dapat menambah wawasan tentang eksistensialisme

2. Manfaat praktis adanya kesadaran dalam keberagamaan manusia dalam

(13)

E. Kajian Pustaka

Banyak akademisi yang membahas permasalahan eksistensi. Diantaranya

adalah Muhammad Shofa. Ia menyimpulkan bahwa eksistensi terdiri dari

beberapa tahap. Kesimpulan itu dicapai dari analisis pemikiran Soren Kierkegaard

dan Ali Syariati.7

Menurut Soren Kierkegaard ada 3 tahapan manusia dalam bereksistensi.

Pertama, tahap estetis. Tahap ini manusia hanya berorientasi pada kesenangan

semata. Manusia mengarah pada kesenangan-kesenangan seksual, hedonis dan

bersifat kontemporer. Kedua adalah tahap etis. Pada tahap ini manusia lebih

mendalami nilai-nilai kemanusiaan yang lebih tinggi. Ketiga, tahap religious.

Tahap ini merupakan tahap puncak. Manusia menjadi subjek,

Sedangkan, menurut Ali Syariati terdapat 4 pasung yang menghalangi

manusia untuk menjadi makhluk yang otentik. Pertama adalah determinisme

natural. Hal tersebut mengandung pengertian, hukum alam yang dipahami secara

deterministic akan menghambat terjadinya evolusi manusia. Kedua, determinitas

historisisme, yakni memandang manusia sebagai hasil sejarah. Ketiga,

determinisme sosiologisme, yakni manusia dianggap mengambil semua

identitasnya dari masyarakat, masyarakat menjadi penentu manusia. Keempat

adalah ego manusia.

Auhaena juga membahas Eksistensi Jean Paul Sartre. Dikatakan sartre

manusia itu kebebasan. Akan tetapi, kebebasan tanpa batas sungguh tak dapat

dibayangkan. Manusia bebas namun justru akan berbenturan dengan kebebasan

7

(14)

orang lain. Manusia juga harus mementingkan kepentingan orang lain. Sehingga,

kebebasan harus dibarengi dengan tanggung jawab moral. Kewajiban moral itulah

yang disebut humanism.

Humanisme merupakan pandangan hidup yang dipusatkan pada

kepentingan nilai kemanusiaan. Humanisme dibutuhkan supaya tindakan manusia

terkontrol. Dengan harapan, manusia tidak bersifat reaktif dan berimbas negatif.

Dari ukuran humanism tersebut, muncul sebuah konsep dan ukuran baik dan

buruk. Ini dilakukan karena perbuatan manusia (individu) memiliki pengaruh pada

kemanusiaan dalam suatu lingkungan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa humanisme secara prinsip

adalah sebagai pertimbangan manusia dalam melakukan kehendak.8 Sehingga

keseimbangan masyarakat dalam suatu lingkungan dapat tercapai.

Selain itu, Wulan Kusumawardani juga membahas tentang eksistensi Jean

Paul Sartre. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian tersebut adalah

identifikasi manifestasi pemikiran eksistensialisme Sartre terhadap tokoh

Meursault yang didalamnya juga menganalisis: (1) konsep dua cara berada

melalui l’être-en-soi dan l’être-pour-soi, (2) bentuk kebebasan Meursault menurut

konsep Sartre, (3) konsep Ketiadaan yang berupa mauvaise foi yang terjadi dalam diri Meursault, (4) relasi antar manusia yang terwujud melalui; emosi, rasa benci,

sikap acuh tak acuh, cinta, dan nafsu seksual.9

8

Auhaena, Humanisme Jean Paul Sartre (Telaah Filosofis) (Yogyakarta, UIN SUnan Kalijaga, 2012),

9

(15)

Sedangkan, dalam penelitian ini, akan membahas pemikiran eksistensi

Soren Kierkeegard dari sisi kebebasan dalam menentukan pilihan dan tanggung

jawab. Manusia memiliki kebebasan penuh untuk memutuskan segala sesuatu.

Eksistensi Soren ini memberikan keseimbangan antara kebebasan individu dengan

kebebasan individu lain. Pembahasan ini diharapkan dapat menemukan titik di

mana letak dan bagaimana bereksistensi dalam beragama.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian.

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian ini akan

menginterpretasikan pemikiran seseorang, dalam hal ini adalah pemikiran

Soren Kierkiegard. Pemikiran Soren Kierkeegard akan dipelajari sedalam

mungkin kemudian menganalisisnya dan memberikan kesimpulan terkait

eksistensi bagi orang yang beragama.

Penelitian ini termasuk dalam penelitian individual, penelitian yang

dikerjakan oleh perseorangan.

2. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian adalah dengan

menggunakan referensi. Dalam hal ini, peneliti membagi sumber referensi

menjadi 2 yakni, referensi primer dan sekunder10. Referensi primer adalah dari

buku-buku langsung karya Soren Kierkeegard. Sedangkan, referensi sekunder

10

(16)

berasal dari buku-buku karangan orang lain yang membahas tentang Soren

Kierkeegard.

Selain itu, data juga akan diperoleh dari hasil penelitian-penelitian

terdahulu. Data yang berasal dari berbagai sumber ini diharapkan benar-benar

dapat menghasilkan sebuah pengetahuan yang otentik.

3. Metode Analisis

Metode analisis dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode

deduktif. Cara analisis deduktif ialah cara analisis yang berangkat dari hal yang

umum (general) kepada hal-hal yang khusus (spesifik). Hal-hal yang umum ialah

teori (dalil/hukum), sedangkan yang bersifat khusus (spesifik) tidak lain adalah

masalah yang diidentifikasi itu.11

Pemikiran Soren Kierkeegard akan dianalisis sehingga memberikan

kesimpulan-kesimpulan tentang eksistensi. Dari kesimpulan-kesimpulan itu akan

ditarik sebuah pengetahuan baru tentang eksistensi manusia dalam agama.

Adapun untuk memperoleh pengetahuan yang otentik. Penelitian ini juga

akan menelusuri jejak-rekam dari Soren Kierkeegard. Latar belakang Soren

Kierkeegard yang akan sangat membantu dalam menganalisis pemikiran Soren

Kierkeegard. Latar belakang tersebut akan meliputi pendidikan, sosial, budaya

dan lain-lain.

11

(17)

G. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan dalam penelitian ini terdiri dari 5 bab.

Kesemuanya adalah sebagai berikut.

Bab satu adalah pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode

penelitian, dan sistematika pembahasan. Hal ini akan berguna sebagai kerangka

awal berfikir.

Bab dua berisi penjelasan tentang biografi Soren Kierkeergard. Ini akan

sangat berguna dalam membantu menganalisis pemikiran Soren Kierkeegard

sehingga didapat pengetahuan yang otentik.

Bab tiga akan memuat sejarah kemunculan eksistensialisme yaitu

penjelasan sejarah awal kemunculan pemikiran eksistensi. Dan akan membahas

pengertian eksistensi dari beberapa pemikiran tokoh. Hal tersebut akan membantu

dalam menentukan tipologi pemikiran eksistensi daripada Soren Kierkeegard.

Bab empat akan membahas analisis pemikiran Soren Kierkeegard tentang

eksistensialisme. Dalam bab ini akan dibahas eksistensi bagi orang yang

beragama dari analisis pemikiran Kierkeegard tersebut.

(18)

BAB II

RIWAYAT HIDUP dan PEMIKIRAN SOREN KIERKEGAARD

A. Biografi Soren Kierkegaard

Soren Kierkegaard lahir di Kopenhagen, Denmark, tanggal 05 Mei 1813.

Ia merupakan anak ketujuh dari pasangan Michael Pedersen Kierkegaard dan

Anne Sørendatter Lund.1 Pada saat itu, Ayah Soren, Michael Pedersen bekerja di

pabrik pakaian di Kopenhagen.

Setelah itu, Michael Pederson menjadi seorang pedagang. Sampai pada

akhirnya ia menjadi saudagar yang sukses. Akan tetapi, ia merubah pikiran untuk

berhenti dari berdagang pada usia empat puluh tahun. Ia lebih ingin memfokuskan

perhatiannya pada kegiatan spiritual dan pendidikan anak-anaknya. Pada saat

itulah, kehidupan Michael Pedersen sangat berpengaruh pada Soren.

Kebersamaan Soren dengan ayahnya benar-benar membentuk karakter dan

pola pemikiran Soren. Ini didukung dengan semakin seringnya sang ayah untuk

mengundang tamu-tamu elit untuk makan malam. Di tengah pertemuan itu,

mereka berdiskusi tentang filsafat juga. Soren sering mendengarkan mereka ketika

mereka sedang berdikusi.

1

Anne Sørendatter Lund merupakan istri kedua dari Michael Pedersen. The Journals of Søren Kierkegaard (New York: Herpers Torch Books, 1959), 10; juga Alasdair Maclntyre,

“Kierkegaard, Soren Aabye,” The Encyclopedia of Philosophy, vol. IV, edited by Paul Edwards (New York: Macmillan Publishing Co.; Inc. and The Free Press, 1972).

(19)

Soren sangat kagum dan tertarik dengan kepiawaian pemikiran ayahnya dan

sahabat-sahabat ayahnya. Karena kekaguman itu Soren telah memiliki

pengetahuan dan pemikiran kuat sejak

masih muda. Pendidikan agama pun Soren dapatkan dari ayahnya sehingga Soren

tergolong orang yang taat pada agama2. Soren tumbuh menjadi anak yang sangat

cerdas. Ayahnya pun menaruh perhatian lebih padanya.

Akan tetapi, disamping memiliki sisi kehidupan yang mapan, Soren

Kierkegaard juga pernah mengalami masa kelam. Pada masa kelam itu Soren

banyak cobaan yang menimpanya. Bahkan, ketika masih anak-anak ia telah

menyaksikan dengan mata kepala sendiri kematian dua orang kakaknya.3

Selayaknya manusia, Kierkegaard juga memiliki hubungan spesial dengan

seorang perempuan. Hingga pada akhirnya hubungan itu mempengaruhi pola pikir

Kierkegaard. Gadis itu adalah Regina Olsen, puteri seorang pegawai di Denmark4.

Keseriusan hubungan ini ditunjukan dengan Kierkegaard melamar Regina Olsen

pada tanggal 10 September 1840. Nahasnya, setahun kemudian, ia memutuskan

pertunangan itu dengan alasan dirinya yang terlalu melankolis. Selain itu,

sebenarnya Kierkegaard juga terpengaruh akan panggilan religiusnya. Ia merasa

itu akan mengahalangi perkawinan dalam hidup berkeluarga.5

2Bdk. Alasdair Maclntyre, “Kierkegaard, Søren Aabye,” The Encyclopedia of Philosophy

.

3

Bdk. Fuad Hasan, Berkenalan dengan Eksistensialisme (Jakarta: Pustaka Jaya, 1973), 14.

4

Bdk. Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy (California: University of Redlands, 1951), hlm. 463. Ayah Regina Olsen bernama Etatsraad Olsen, seorang pegawai pemerintahan Denmark yang secara khusus bertugas sebagai konselor negara.

5 Mark Taylor, “Søren Kierkegaard,”

(20)

Pada kesempatan pertama kali menginjakan kaki di univeritas, sang ayah

menyarankan supaya Soren masuk di Univeritas Kopenhagen, fakultas teologi.

Pada tahun 1830, Soren mendaftar di tempat itu.6 Kehidupannya di kuliah telah

membuatnya banyak mendapat ilmu baru. Ia juga mempelajari filasafat Hegel

yang pada saat itu sangat populer. Semangat belajarnya dapat dilihat ketika ia tak

hanya tertarik pada dunia filsafat, namun juga bidang seni, literatur dan teater.7

Dari waktu ke waktu, ia tumbuh jadi seorang cendekiawan yang sangat menonjol

di universitas itu, sehingga semua orang banyak yang mengenalnya. Tahun 1883,

Kierkegaard menulis Jurnal. Tulisan itu memberikan pengaruh yang luas.8

Adapun beberapa karya utama Soren Kierkegaard, sebagai berikut:

1. Concluding Unscientific Postcript 2. Either/Or

3. Fear and Trembling 4. The Sickness Unto Death

5. Stages On Life’s Way9

Kierkegaard telah dielu-elukan sebagai bapak “eksistensialisme” yang

meraih ketenarannya pada abad kedua puluh. Para ahli filsafat dan teolog

mengembangkan pemikirannya dengan berbagai cara, ada yang mungkin

membuat Kierkegaard marah dan yang lain mungkin ia setujui.

6

James Collins, The Mind of Kierkegaard (Chicago: Henry Regnery Company, 1965), hlm. 6. juga Frederick Copleston, A History of Philosophy, vol. VII Fichte to Nietzsche (New York: Image Books, 1965), 338.

7

Bdk. Mayer, A History of Modern Philosophy, hlm. 463.

8

Peter Vardy, Kierkegaard, terj. Hardono Hadi (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 15.

9

Mark B. Woodhouse, Berfilsafat: Sebuah Langkah Awal Terj;Ahmad Norma Permata

(21)

Kiekergaard berjasa bagi banyak unsur subjektivitas dalam pemikiran

teologi modern, tetapi subjektivitas itu datang dari kerendahan hati. Ia

berkesimpulan bahwa Allah bukanlah benda yang secara ilmiah dapat dibedah dan

dianalisis. Ia adalah keberadaan (being) yang hidup dan bertindak, yang

berhadapan dengan kita untuk menyelamatkan kita.

Bukan hanya kita sebagai manusia seperti kepingan-kepingan teka-teki,

kita juga adalah keberadaan, seru kiekergaard, dengan kemauan, harapan dan

kesedihan. Kiekergaard memerangi system abstrak, apakah itu filsafat ataupun

agama yang mencari semacam kebenaran yang abstrak. Ia menegaskan bahwa

agama mengajarkan bagaimana kita harus hidup.10

B. Klasifikai Eksistensi dalam Perspektif Soren Kiekegaard

Eksistensialisme merupakan paham yang sangat berpengaruh pada abad

modern. Paham ini menyadarkan akan pentingnya kesadaran diri. Manusia

disadarkan atas keberadaannya di bumi ini. Kierkegaard adalah salah satu tokoh

yang berpengaruh di kala itu. Kiekergaard mengklasifikasi eksistensi menjadi 3

tahap, yaitu tahap estetis (the aesthetic stage), etis (the ethical stage) dan religius

(the religious stage).

10

(22)

1. Tahap Estetis (The Aesthetic Stage)

Situasi keputusasaan sebagai situasi batas dari eksistensi merupakan ciri

khas dari tahap ini. Tahap ini berbeda dengan 2 tahap lainnya. Berikut akan

dijelakan lebih detail terkait tahap estetis ini.

a. Pengalaman emosi dan Sensual memiliki ruang yang terbuka

Dalam pembahasan ini, Kierkegaard menerangkan adanya dua kapasitas

dalam hidup ini. Dua kapasitas itu adalah sebagai manusia sensual dan makhluk

rohani. Kapasitas sensual merujuk pada inderawi sedang makhluk rohani lebih

menunjuk pada manusia yang sadar secara rasio. Dalam tahap ini, lebih cenderung

pada wilayah inderawi. Jadi, kesenangan yang hendak dikejar berupa kesenangan

inderawi.11Dengan penjelasan singkat, motivasi dalam hidupnya hanyalah

“nikmati saja”. Yang paling berbahaya, pada tingkat ini manusia dapat diperbudak

oleh kesenangan nafsu. Tahap ini juga senang dengan sesuatu yang instan yang

paling penting dapat memberikan kesenangan inderawi.

Yang radikal dari tahap ini adalah adanya kecenderungan untuk menolak

moral universal. Ini dilakukan karena kaidah moral dinilai dalam mengurangi

kenikmatan-kenikmatan inderawi yang didapat. Sehingga tidak ada prinsip moral

di sini. Ini juga berarti bahwa tidak ada pertimbangan baik (good) dan buruk

11

Enjoy life, and again express in thus: enjoy yourself; in enjoyment you should enjoy yourself

(23)

(bad). Yang ada adalah kepuasan (satisfaction) dan frustrasi, nikmat dan sakit, senang dan susah, ekstasi dan putus asa.12

Dengan kata lain, manusia estetis tidak mau dibatasi. Ia ingin bebas

dengan keinginannya. Maka tak heran dengan tindakan mereka yang menolak

nilai moral yang dianggap memberi batas pada yang menyenangkan. Manusia

estetis senang mengejar yang tak terbatas.13 Akan tetapi, Kierkegaard menjelaskan

pada tahap ini manusia sebenarnya terperangkap dalam “gudang” (celar) berbagai

pengalaman inderawi. Ketaatan pada pengalaman inderawi ini membuat manusia

estetis tidak berfikir apakah itu baik atau tidak. Eksistensi tahap estetis dapat

digambarkan sebagai usaha untuk mendefinisikan dan menghayati kehidupan

tanpa merujuk pada yang baik (good) dan yang jahat (evil).14

Kierkegaard memaparkan bahwa manusia estetis memiliki jiwa dan pola

hidup berdasarkan pada keinginan-keinginan pribadinya, naluriah dan

perasaannya. Bisa disimpulkan bawha manusia estetis sangat egois,

mementingkan diri sendiri.15

Don Juan, pahlawan atau mahkota (crown) opera Mozart16, dianggap sebagai representasi atau contoh dari manusia estetis. Kierkegaard menggunakan

Don Juan untuk menerangkan tipe manusia estetis. Manusia ini dianggap sebagai

seorang perayu (seducer). Don Juan merupakan orang yang senang memuaskan

12

Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, Jakarta: Gramedia, 2004). 89

13

Copleston, A History of Philosophy, vol. VII Fichte to Nietzsche, 342.

14

Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, 88.

15

Kierkegaard, Either/Or, 182-183

16

(24)

hasrat sensualnya. Kehidupannya dituntun oleh kebutuhan-kebutuhan inderawi

sesaat, seperti kebutuhan seksual. Dan kesenangan yang didapat secara sensual ini

diperuntukan untuk dirinya sendiri.17 Dengan bahasa kasarnya, seseorang yang

hidup dalam tahap ini seperti seorang play boy, yang mana selalu mengejar

kenikmatan sesaat, sebagai contoh konkretnya lewat perburuan terhadap

gadis-gadis. Dalam Either/Or, Kierkegaard melukisskannya sebagai berikut:

Don Juan merupakan gambar yang terus tampak dalam pandangan, tetapi tidak

mencapai bentuk dan konsistensi, seorang individu yang terus dibentuk tetapi tidak pernah selesai atau sempurna, dari sejarah kita dapat memperoleh sesuatu yang tidak lebih daripada yang kita peroleh lewat deru ombak yang terdengar.18

Jika dianalisis, pernyataan Kierkegaard di atas, sebenarnya hendak

menunjukan bahwa manusia estetis pada dasarnya tak memiliki ketenangan.

Ketika mereka mendapatkan satu akan berusaha mencapai yang lain untuk

memenuhi kebutuhan inderawinya. Ia mengalami kekurangan serta kekosongan

dalam hidup. Sebenarnya ia telah berusaha untuk mengisi kekosongan yang

selama itu ia rasakan. Namun, manusia estetis tidak dapat menemukan apa yang

diharapkannya. Dalam bahasa Kierkegaard ini disebut juga sebagai cinta

romantis, cinta yang dilandaskan pada kebutuhan natural, dimunculkan dalam

17

Dalam bukunya Either/Or, Kierkegaard menulis: “… the concept „a seducer’ is essentially

modified with respect to Don Juan, since the obyek of his desire is sensuous, and that alone”

(Kierkegaard, Either/Or, 46).

18

(25)

kenikmatan sensual.19Salah satu alasan kenapa pada tahap ini seseorang

cenderung tidak dapat menemukan kepuasaan adalah karena nafsu. Sebagai

contoh kecil, kenikmatan nafsu yang semakin dituruti maka akan semakin

menginginkan yang lebih, tak pernah puas, hingga akhirnya menjadi hampa.

Manusia dapat keluar dari zona ini sebenarnya. Dalam istilahnya

Kierkegaard, manusia dapat keluar dari tahap estetis ini jika telah mencapat titik

keputus asaan. Ketika manusia estetis mencari kepuasan secara terus menerus dan

tidak kunjung menemukannnya, maka diposisi seperti itulah manusia dapat

berputus asa (despair).

Keadaan putus asa ini yang kemungkinan besar akan menimpa

orang-orang estetis. Memang diakui bahwa kebutuhan akan kesenangan lahir secara

natural pada dari manusia. Pada tahap ini manusia sangat terbuka pada

pengalaman emosi dan sensual serta tidak adanya standar-standar moral maupun

religius karena keduanya dianggap sebagai pembatas kesenangan inderawi. Untuk

itu manusia cenderung mencari sesuatu yang mendatangkan rasa aman dan

kepuasan diri.20

pada hakikatnya, manusia estetis hidup secara semu. Atau dalam bahasa

Kierkegaard disebut sebagai “gudang” (cellar) dari pengalaman sensual.

19

Kierkegaard membedakan dua bentuk cinta dalam bahasa Denmark. Pertama, kjærligheden

sebagai cinta yang lebih umum (fisik). Kedua, elskoven adalah cinta spiritual. (Kierkegaard,

Either/Or, hlm. 223).

(26)

Sayangnya, semua bentuk kesenangan yang dikejar oleh kaum estetis ini hanya

bersifat sementara. Pada akhirnya kaum estetis mencari kesenangan-kesenangan

lain untuk memenuhi hasratnya. Saat itulah, ketika semua telah dijelajah, sedikit

demi sedikit akan tumbuh kebosanan atau mengalami titik kejenuhan. Ha Ini

dikarenkan tumbuhnya rasa yang mendatangkan tidak ada ketenangan dalam

hidup. Suatu ketika individu estetis ini menemukan sebuah kesadaran bahwa

hidup yang dibangun selama ini adalah fana (transitory), aksidental (accidental)

dan tidak kekal (temporal). Kierkegaard berargumentasi bahwa, “seseorang yang tinggal dalam tahap estetis adalah manusia aksidental.”21

Mereka sadar bahwa

hidupnya didasarkan pada keharusan (neccessity) dan bukan kepada kebebasan

(freedom). Inilah kesadaran yang akan didapat manusia estetis.

Manusia estetis membayangkan dirinya sebagai orang yang terhegemoni

dalam keadaan yang bercorak sementara (temporal) dan tidak ada jalan lain yang dapat membawanya pada sesuatu yang lain selain keputusasaan22. Titik kesadaran

yang menyadari bahwa hidup dalam tahap estetis selalu berakhir dalam

keputusasaan. Pada akhirnya akan membawa individu pada suatu tempat usaha

untuk mengambil sikap terhadap situasi konflik yang tengah dihadapinya23. Pada

akhirnya, ia harus berani dan tegas untuk memutuskan apakah tetap dalam

keputusasaan atau tidak, yakni dengan meloncat pada eksistensi yang lebih tinggi.

Kierkegaard mendeskripsikan hal ini sebagai either/or: atau-atau, suatu situasi pilihan pilihan untuk tetap bertahan dalam tahap estetis yang dikepung oleh

21

The one who lives aesthetically is the accidental man (Kierkegaard, Either/Or, 208).

22

Peter Vardy, Kierkegaard, terj. Hardono Hadi (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 53.

23Ohoitimur, “

(27)

daya tarik sensual belaka, terjebak dalam belenggu dan yang diketahui

keterbatasannya atau bergerak lintas batas estetis menuju eksistensi tahap berikut

yang lebih tinggi. Kierkegaard mengatakan;

… setiap pendirian hidup estetis merupakan keputusasaan, dan bahwa tiap orang

yang hidup secara estetis berada dalam keputusasaan, entah ia tahu atau tidak. Tetapi jika ia mengetahuinya, maka suatu bentuk eksistensi yang lebih tinggi menjadi tuntutan yang penting..24

Dari statement di atas, Kierkegaard hendak menyimpulkan bahwa

kebebasan adalah hal yang sangat dibutuhkan untuk memilih dan menetapkan

keputusan. Hal tersebut bertujuan untuk menuju tahap berikutnya sebagai jawaban

atas keputusasaan yang selama ini dialami.

2. Tahap Etis dalam Eksistensi Kierkegaard (The Ethical Stage)

Tahap ini merupakan tahap lanjut dari estetis. Tahap ini dinilai lebih tinggi

daripada tahap sebelumnya yang hanya berakhir pada keputusasaan dan

kekecewaan. Tahap etis ini dianggap lebih menjanjikan untuk memperoleh

kehidupan yang lebih menenangkan.

24

(28)

a. Kaidah-kaidah Moral menjadi Hal yang Dipertimbangkan

Dalam tahap etis (the ethical stage), seorang individu mulai

mempertimbangkan aturan-aturan univeral yang harus dipertahankan. Mereka

merasa hidup dengan orang lain dan mempunyai aturan. Sehingga, tahap ini

adalah kesadaran adanya aturan dalam bermasyarakat. Akhirnya, mereka akan

mulai mempertimbangkan nilai baik dan buruk.25 Pada tahap ini manusia tidak

lagi membiarkan dirinya terlena dengan kesenangan inderawi. Bagi Kierkegaard,

“Orang yang hidup secara etis mengekspresikan yang universal dalam dirinya, ia

membuat dirinya masuk dalam manusia universal.”26

Itu artinya, manusia secara

sadar diri menerima dengan kemauannya sendiri pada suatu aturan tertentu.

Tidak seperti tahap estetis yang merasa berat untuk menerima

norma-norma atau aturan-aturan, tahap etis tidak menganggap aturan adalah sebuah

pembatasan. Hal tersebut terjadi karena mereka masuk ke dalamnya secara sadar

atau tanpa dipaksa. Bahkan orang etis melihat norma adalah suatu hal yang

dibutuhkan oleh manusia. Ia benar-benar menginginkan adanya aturan karena

aturan membimbing dan mengarahkannya, terutama ketika hidup dalam

kebersamaan. Sehingga, dapat disimpulkan kewajiban dari makhluk etis adalah

untuk menata dirinya ke dalam aturan universal itu.27 Artinya manusia memiliki

kewajiban dalam dirinya untuk mematuhi pada aturan itu. Pada kondisi ini muncul

kebebasan yang bertanggung jawab. Sederhananya ia sadar adanya kebebasan,

25

Søren Kierkegaard, The Present Age and of The Difference Between A Genius and Apostle, translated by Alexander Dru (New York: Harper Tochbooks, 1962), 43.

26 … the one who lives ethically expresses the universal in his life, he makes himself into the universal man (Kierkegaard, Either/Or, 183).

27

(29)

namun juga sadar akan adanya kebebasan dari orang lain. Aturan atau norma

adalah wujud konkret untuk memberikan pencerahan pada problematika seperti

ini. Manusia akan menjadi saling menghargai dan tidak arogan dengan manusia

yang lain. Mereka pada akhirnya dapat hidup dalam tatanan masyarakat yang

baik.

Untuk menerangkan situasi ini secara mudah, Kierkegaard memberikan

kiasan bahwa pada tahap ini seperti pernikahan. Jadi pada tahap estetis ke

eksistensi tahap etis ibarat seorang yang mulai meninggalkan dorongan

kesenangan seksual yang memikat, dan masuk ke jenjang perkawinan. Dalam

perkawinan itu berarti menerima segala kewajibannya karena perkawinan adalah

institusi etis. Secara tidak langsung berarti masuk dalam hukum universal.28

Alasan mengapa kierkegaaard mengambil pernikahan sebagai bentuk dari

implementasi tahap etis. Hal tersebut dikarenakan, ketika manusia telah berani

menikah berarti ia telah berani untuk memberikan batas pada dirinya sendiri. Di

sisi lain ia juga diketahui oleh orang banyak secara luas seahingga sangat minim

ia akan terjun dalam melanggar aturan dari pernikahan ini. Contoh sederhana, si A

menikah dengan si B. Maka, keduanya tidak akan secara bebas menjalin

hubungan lain dengan orang lain, semisal si C. Ini karena konsep etis yang telah

tertanam dalam diri makhluk etis itu sendiri. Timbullah kesadaran.

Perasaan manusia sangatlah labil, semua orang menyadarinya, bahkan

dalam hal cinta. Seseorang dapat cinta pada satu orang saat ini, namun suatu

28

(30)

ketika ia kan tertarik pada yang lain. Jalan perkawinan adalah jalan yang harus

ditempuh untuk menstabilkan jiwa manusia ini. Dalam perkawinan ada yang

namanya komitmen. Kesadaran juga akan perasaan manusia yang selalu

berubah-ubah. Akhirnya komitmenlah yang membedakan antara cinta sesaat dengan cinta

perkawinan. Mau tidak mau manusia harus bisa mempertahankan perkawinan itu

sekuat mungkin29. Pada posisi ini manusia harus konsisten terhadap pilihannya.

Dalam Stages on Life’s Way, Kierkegaard menjelaskan betapa pentingnya

perkawinan;

Perkawinan adalah perjalanan yang paling penting yang bisa dilakukan oleh manusia. Semua pengalaman lain yang pernah dialami bersifat tidak mendalam

dibandingkan dengan pengalaman yang diperoleh seseorang yang telah menikah karena ia telah memahami dengan tepat kedalaman dari eksistensi manusia.30

Ketegasan Kierkegaard akan pentingnya perkawinan di atas amat

dijunjung tinggi oleh kaum etis. Manusia bukanlah hewan yang semata hanya

memenuhi kebutuhan seksual saja, namun ia mulai sadar adanya peran rasio yang

dapat membedakan apakah tindakannya etis atau tidak.

Pada pembahasan tahap eksistensi kali ini, Kierkegaard memilih Sokrates

sebagai makhluk yang merepresentasikan tahap etis ini. Sokrates (470-399 sM)

merupakan seorang filsuf Yunani kuno yang memiliki daya nalar yang luar biasa.

Tokoh ini dikenal sebagai orang yang cinta akan kebijaksanaan. Bahkan melalui

29

Søren Kierkegaard, Stages on Life’s Way, translated by Walter Lowrie (Princeton: Princeton University Press, 1945, 95.

30

(31)

metode dialektikanya ia mampu membuat orang lain tercengang hingga sadar

bahwa dirinya harus bersikap bijak dan tidak boleh arogan dengan apa yang

dimilikinya.

Lebih-lebih, Sokrates adalah seorang penganut moral yang absolut.

Sebagai seorang filsuf, Sokrates merasa wajib untuk menegakkan serta

mengkampanyekan tentang moral. Untuk mewujudkan apa yang diinginkan oleh

Sokrates itu tentu bukan tanpa metode yang bagus. Ia memiliki ide-ide rasional

yang dapat membuat orang lain tercengang dengan apa yang dia katakan. Ia juga

memiliki pengetahuan yang mendalam.31 Karena perannya itu, Kierkegaard

menjuluki Sokrates sebagai “Pahlawan Tragis” (Tragic Hero), yang mana ia rela

mempertaruhkan namanya demi membela kemurnia nilai dan norma

universal.32Menurut Sokrates, penerapan nilai moral harus dimulai dalam diri

sendiri semurni mungkin. Sampai akhirnya Sokrates membuktikan apa yang ia

katakan ketika ia mendapat hukuman mati. Ia berkata pada dirinya tidak akan

melanggar aturan Athena. Sehingga ketika ia dihukum mati untuk meminum

racun ia laksanakan. Padahal ia dapat mengajukan hukuman yang lebih ringan.

Sokrates menganggap bahwa waktu itula yang tepat untuk menyadarkan semua

orang akan pentingnya moral sehingga ia dengan kesadarannya tanpa melawan

ketika disuruh meminum racun. Nyawa Sokrates tidak lebih berharga dari

kebenaran.33 Pengorbanan Sokrates ini menurut Kierkegaard adalah suatu bentuk

kesetiaan dalam memperjuangkan sesuatu yang lebih tinggi. Maka dari itu,

31

Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra, cetakan ke-9 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), 53.

32

Kierkegaard, Fear and Trembling and The Sickness unto Death, 126

33

(32)

Sokrates dengan begitu tenang menenggak racun, yang tentunya akan

membunuhnya. Baginya, membela suatu yang lebuh tinggi adalah segalanya.

Kebenaran menjadi harga mutlak baginya.

Jika dianalisis mendalam, tokoh seperti Sokrates yang digunakan sebagai

contoh manusia etis oleh Kierkegaard ini tampak sebagai manusia yang sangat

idealis. Dengan bahasa yang agak puitis dapat dikatakan bahwa Sokrates ibarat

sebuah lilin. Ia memang mampu untuk menerangi sekitarnya, namun ia akan sirna

secara perlahan.

Seperti yang dibahas diawal, baginya kebenaran adalah harga mati. Orang

etis selalu berpegang pada prinsip kebenaran yang telah diketahuinya. Ia sadar

bahwa nilai moral ini lah yang sebagai kunci untuk menciptakan suatu keadaan

bersama yang harmoni. Semua orang akan taat pada tuntutan nilai dan hukum.34

Dengan bahasa lain, nilai keobjektifan inilah yang mendorong kaum etis untuk

memperjuangkannya. Sifat ego dalam diri makhluk etis juga tidak nampak dalam

ini, sehingga ia sangat berbeda dengan tahap estetis yang cenderung sangat egois,

mementingkan diri sendiri.

Akan tetapi, pada tahap ini pun juga memiliki sebuah kelemahan yang

tidak bisa dianggap remeh. Ketika seseorang telah sangat ideal dan mematuhi

aturan dan nilai yang berlaku maka masalah yang muncul adalah konteks aturan

itu. Manusia boleh memiliki aturan, namun pada kondisi tertentu aturan itu

bersifat universal dalam kelompoknya saja. Sebagai contoh aturan orang

34

(33)

indonesia, orang barat dan lain-lain memiliki kaidah tersendiri. Kelemahannya

adalah aturan itu datang dalam ruang dan lingkup waktu yang tidak kekal sampai

pada akhirnya mereka dapat saja bentrok dengan yang lain.

Pada kondisi seperti inilah, manusia menyadari bahwa ada kekurangan

fundamental yang perlu diselesaikan bersama. Manusia tidak bisa seutuhnya

terkungkung dalam satu aturan yang membuatnya fanatik. Sampai akhirnya

mereka juga sadar bahwa hidup secara etis bukanlah hidup yang paling mulia.

Dengan akata lain, kelemahan dari tahap ini adalah mereka mengahayati

kehidupan berdasarkan kesesuaian norma universal yang berlaku dalam

komunitas, bukan pada kesesuaian dengan Tuhan.35

Pada akhirnya, tahap etis juga akan terjerat dalam situasi keputusasaan. Ini

dapat terjadi ketika seseorang yang begitu taat pada aturan atau norma namun

norma itu hanya bersifat universal dalam sebuah komunitas. Hingga akhirnya ia

merasa ada aturan yang seharusnya lebih universal lagi yang tidak bertabrakan

dengan aturan yang lain. Dimana aturan itu sesuai dengan batin.36

Pada konteks tersebut, ketika manusia terjebak dalam universalitas sebuah

komunitas, partikularitas individu benar-benar tenggelam dalam universalitas.

Individu keluar dari dirinya sendiri dalam partikularitasnya. Mereka mendasarkan

hidupnya pada universalitas, seperti masyarakat, komunitas atau kelompok,

negara. Dalam pandangan Kierkegaard, hidup yang seperti ini akan melahirkan

35

Vardy, Kierkegaard, 62-63.

36

Kierkegaard menyatakan bahwa “inwardness is the relationship of the individual to himself

(34)

keputusasaan yang mendalam. Individu mengalami keputusasaan karena tidak

ingin menjadi diri sendiri (despair at not willing to be oneself)37. Mereka tidak sanggup menjalnkan semua norma yang ada sehingga muncullah perasaan

bersalah.

Perasaan bersalah ini tidak bisa dianggap sepele. Ini dapat menimbulkan

keputusasaan juga. Pada akhirnya ia merasa bahwa hidup ini gersang, tidak

bergairah dan bahkan tidak bermakna. Pertanyaan besar akan muncul adalah

bagaimana sebenarnya dampak atas kesadaran atau tidak sadar akan keputusasaan

dari manusia etis ini. Dengan tegas Kierkegaard menjawab bahwa disadari

maupun tidak proses keputusasaan ini akan mencelakakan. Keputusasaan adalah

langkah negatif yang berpengaruh buruk pada eksistensi manusia.38 Dengan kata

lain, manusia tidak akan menjadi manusia yang seutuhnya jika tidak menyadari

akan keputusasaannya dan tidak berusaha melampauinya.

Kierkegaard sendiri menyatakan bahwa keputusasaan akan menjadi suatu

langkah yang positif jika pengalaman itu disadari sebagai suatu pengalaman

keterbatasan manusiawi yang melahirkan suatu usaha baru dalam diri individu

untuk mengatasi dan melampauinya. Jadi, apabila sadar saja tidak akan membuat

manusia menjadi manusia yang sepenuhnya. Namun, sadar akan keputusasaannya

dan berusaha melampauinya.

37

Kierkegaard, Fear and Trembling and The Sickness unto Death, 182.

38

(35)

“Seorang yang benar-benar menyadari keputusasaannya mungkin mendapati

rumah tempat tinggalnya sungguh menjijikkan atau memahami bahwa terlalu

memperhatikan hal-hal duniawi yang merupakan kelemahan.”39

Dalam pernyataan itu terkandung makna bahwa keputusasaaan yang

positif ialah yang disadari dan dihayati kemudian melampauinya. Manusia tidak

cukup jika hanya sadar tanpa sebuah aksi. Teori dibangun untuk dijadikan sebuah

aksi. Jadi teori yang bagus adalah yang dapat diaplikasikan, bukan semata untuk

didiskusikan. Kierkegaard juga menuliskan sebagai berikut;

Keputusasaan pada dirinya sendiri merupakan sesuatu yang negatif, ketidaksadaran terhadapnya merupakan suatu unsur negatif yang baru. Tetapi

untuk meraih kebenaran orang harus menerobos segala yang negatif.40

Kierkegaard memiliki argumentasi tersendiri dengan menyatakan hal

tersebut. Menurutnya keputusasaan bukanlah sesuatu hal yang final. Dalam arti

keputusasaan di sini akan menjadi titik dasar kesadaran yang menuju kehidupan

yang lebih cerah. Dengan adanya keputusasaan manusia akan berfikir kembali dan

pada akhirnya akan menumbuhkan kesadaran yang tak pernah disadari

sebelumnya. Dapat dikatakan bahwa keputusasaan merupakan awal dari

39

Terkutip dalam: Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, 105-106.

40

(36)

kehidupan yang sebenarnya.41 Namun peryataan itu menimbulkan pertanyaan

besar baru. Seperti apakah kehidupan yang lebih cerah itu?

Dalam menjawab tersebut, Kierkegaard mengembalikan pada hakikat

dasar, yakni manusia kembali dalam relasi dengan Tuhan. Manusia menemukan

ketidakpuasan dalam hidup dan terasa kering serta gersang karena jauh dari

Tuhannya. Keterpisahan manusia dengan Tuhan ini akan membuat dirinya

kehilangan pegangan, bagai mengarungi sebuah lautan yang luas, namun

kehilangan arah, tidak tahu mau pergi ke mana. Dengan demikian yang dimaksud

dengan kehidupan cerah dalam perspektif Kierkegaard adalah kebersatuan antara

manusia dengan Tuhannya.

Untuk itu, jalan terbaik adalah dengan kerendahan hati menyerahkan diri

kepada Tuhan. Ini karena ketika manusia berpaling dari Tuhan, akan

memunculkan jiwa yang gerang dalam dirinya. Secara tidak langsung, sebenarnya

Kierkegaard mengajak kepada setiap orang untuk mendekatkan diri pada Tuhan.

Karena hanya dengan cara itu manusia akan benar-benar mendapat kehidupan

yang sebenarnya.

Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa sebenarnya

keputusasaan adalah pintu gerbang menuju kehidupan yang sejatinya. Karena

dengan keputusasaan akan berfikir ulang dan tidak menutup kemungkinan, sesuai

analisis Kierkegaard akan menemukan kesejatian hidup. Cara konkret yang

ditawarkan oleh Kierkegaard adalah dengan mengakui akan keberadaan Tuhan

41

(37)

serta menyerahkan diri pada Tuhan. Namun, ketundukan di sini bukan karena

keterpaksaan melainkan kesadaran. Individu yang demikian dapat diterka bahwa

akan memilih untuk meloncat ke tahap berikut yang oleh Kierkegaard disebut

sebagai tahap religius.

3. Eksistensi Tahap Religius (The Religious Stage)

Telah dibahas sebelumnya bahwa pada tahap estetis maupun etis memiliki

kekurangan, yakni berakhir pada keputusasaan. Namun manusia tidak perlu

bermuram karena adanya keputusasaan itu karena sebenanrnya ia hanya pintu

gerbang untuk menuju eksistensi yang lebih tinggi lagi. Dimensi religius akan

terbuka pada saat itu. Dengan demikian, akan ada yang namanya eksitensi

religius, eksistensi yang paling tinggi dalam pandangan Kierkegaard. Ini tentu

dengan beberapa alasan.42

a. Keputusasaan sebagai Cara Cepat Munuju Kepercayaan (The Leap of

Faith)

Seperti yang telah ditegaskan sebelumnya, keputusasaan bukanlah sebuah

final dalam kehidupan, namun ia adalah sebuah jalan menuju permulaan yang

sesungguhnya. Dapat juga dikatakan dengan bahasa lain bahwa keputusasaan

adalah prakondisi manusia sebelum menuju tahap eksistensi religius yang

sebenarnya.

42

(38)

Memang pada dasarnya manusia menganggap bahwa keputusaaan adalah

sebuah penderitaan yang mendalam yang dialami individu. Memang pernyataan

itu juga tak sepenuhnya dapat disalahkan karena jika keputusasaan itu dibawa

tanpa kesadaran atau sadar namun tidak ada respon positif atau kehendak dan aksi

untuk berbenah, maka itu akan benar-benar menyudutkan manusia pada jurang

kehancuran. Kesadaran untuk berbenah ini dimaksudkan adalah kemauan dari

dalam diri untuk sadar akan kekurangannya dan menyerahkan diri pada Tuhan. Ia

mengakui bahwa ada realitas Tuhan yang sebagai topangan. Dengan demikian,

manusia ketika mendapat problematika besar dalam hidupnya tidak mudah

tergoyah. Ketika tergoyah pun ia akan berpegangan dengan tali yang sangat kuat,

yakni keyakinan.43 Jadi manusia dalam menyerahkan diri kepada Tuhan tanpa

adanya syarat apapun. Ia dengan kesadaran primanya menuju dan menyadari

realitas yang sebenarnya. Sehingga ia tidak merasa dalam kekangan atau dalam

belenggu tertentu.44

Tahap religius ini merupakan hasil dari kristalisasi perjalanan hidup. Pada

tahap ini tentu akan melahirkan sikap bijaksana juga. Seseorang yang mendapat

konklusi dari dalam dirinya atau secara bahasa lain pengalaman pribadi akan lebih

menyentuh pada ranah terdalam dalam diri manusia. Pun dengan penyerahan,

manusia akan menyimpulkan bahwa jalan terakhir memperoleh ketenangan hidup

hanyalah dengan menyatu dengan Tuhan. Dalam pernyataan Kierkegaard

disebutkan;

43

P. A. van der Weij, Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, terj. K. Bertens (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 138.

44

(39)

“diri dalam keadaan sehat dan terbebas dari keputusasaan hanya ketika,

tepatnya dalam keputusasaan, diri itu bertumpu secara transparan pada

Tuhan.”45

Dalam pernyataan Kierkegaard tersebut di atas sejatinya ia hendak

mempertegas bahwa manusia harus menyerahkan diri pada Tuhan tanpa

kesombongan apapun. Bukan hanya itu, manusia juga dituntut untuk

menyerahkan diri secara terbuka tanpa ada rasa setengah hati. Individu pada tahap

ini benar-benar yakin bahwa Tuhan dapat menghapuskan penderitaan dan

keputusasaan manusia. Harapan besar pada tahap ini adalah Tuhan.46

Maka dari itu, Kierkegaard memberi istilah pada situasi seperti ini sebagai

loncatan kepercayaan (the leap of faith). Kierkegaard menjelaskan bahwa satu-satunya cara atau jalan untuk sampai kepada Tuhan adalah kepercayaan atau iman

(faith). Dengan demikian, dalam menuju Tuhan manusia tidak mempunyai formula yang objektif dan rasional. Semua berjalan berdasarkan subjektifitas

individu yang diperoleh hanya dengan iman. Jadi eksisteni tahap ini dicapai

manakala manusia berhenti berfikir.47 Kierkegaard juga menegaskan tidak ada

satu konsep rasional pun yang dapat menjelaskan tentang Tuhan karena Ia ada

dalam keyakinan.

45

The self is in sound health and freedom from despair only when, precisely by having been in despair, it is grounded transparently in God (Kierkegaard, Fear and Trembling and The Sickness unto Death, 163).

46

Søren Kierkegaard, Crisis in The Life of an Actrees, translated by Stephen D. Crites (New York: Harper Torchbooks, 1967), 55.

47

(40)

Untuk lebih memperdalam dan mengetahui secara jelas konsep tahap ini,

Kierkegaard menganalisisnya dalam dua bagian, yakni Religiositas A

(Religiousness A) dan Religiositas B (Religiousness B). Pertama, Kierkegaard, Religiositas A atau lebih dikenal dengan nama Religius Immanen (Immanent Religion).

Dengan “immanen”, yang dimaksudkan oleh Climacus adalah

ketidakbergantungan pada yang “transenden”, pada pewahyuan historis tetapi

muncul dari pengalaman yang dialami secara umum bahwa seorang pribadi religius mendasarkan kebahagiaan abadinya pada Tuhan.48

Makna dalam pernyataan di atas adalah pada tahap ini, religiositas A,

manusia akan hanya percaya pada kekuasaan Tuhan dan mengabaikan segala yang

bukan Tuhan. Ia mengabaikan sisi transendensi Tuhan atau pewahyuan Tuhan

(dalam diri Kristus) untuk menyelamatkan manusia. Individu dalam Religiositas

A tercermin dalam ungkapan bahwa semua yang ada di bumi ini bersifat

temporal. Jadi ia melihat agama sebagai contoh manusia yang sempurna, bukan

penyelamat.49

48 By “immanent”, Climacus means that is not dependent upon any “transcendent”, historical

revelation, but is generated from a universally available experience, the religious person’s attempt

to stake her eternal life happiness on God (Climacus adalah nama samaran Kierkegaard. Terkutip dalam: David J. Gouwens, Kierkegaard as Religious Thinker [New York: Cambridge University Press, 1996], 110).

49

(41)

Kierkegaard memberikan pendapat bahwa pada tahap ini cenderung pada

corak panteistik.50 Individu secara langsung tanpa sebuah pertobatan menuju

kebahagiaan. Pada konteks ini, kebahagiaan tergambar sebagai hal yang

sederhana.51 Namun, Kierkegaard menyatakan bahwa religiositas yang sejatinya

bukanlah seperti itu. Sehingga manusia masih perlu melakukan perjalanan lagi

menuju religiositas B.

Religiositas B berbeda dengan Religiositas A. Kebalikan dari Religiositas

A, religiositas B berifat transenden. Ini disadari bahwa sebenarnya manusia

mencari kebahagiaan dari being diluar dirinya, yang transenden.52 Paradoks Absolut Manusia-Tuhan (sebagai contoh, Kristus yang merupakan Paradoks besar

yang mempersatukan Yang Abadi dan yang mewaktu, Yang Ilahi dan yang

manusiawi) menjadi topik pembahan dalam tahap ini.

Pada tipe ini manusia tidak hanya menerima dan percaya akan adanya

Tuhan, namun juga yakin bahwa Tujhan adalah kekal.53 Yang terpenting pula

dalam pemahaman tipe ini, manusia adalah sesuai apa yang dipercayainya. Ketika

manusia percaya bahwa dirinya kekal, maka ia akan kekal juga. Sehingga, percaya

menurut Kierkegaard adalah menjadi. Dalam pernyataannya menyebutkan;

50

Panteistik: kata sifat dari Panteisme. Panteisme (Inggris: panteism) dari bahasa Yunani pan

(semua) theos (Allah). Panteisme adalah ajaran filosofis yang mengemukakan bahwa Allah merupakan prinsip impersonal, yang berada di luar alam tetapi identik dengan-Nya. Panteisme meleburkan Allah ke dalam alam seraya menolak unsur adikodrati-Nya. ( Lorens Bagus,

“Panteisme,” Kamus Filsafat [Jakarta: Gramedia, 1996], 774 dan 325

51

Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript, 497

52

In his quest for happiness, man seeks an entity that is transcendent, a being which is outside man (Lescoe, Existentialism: With or Without God, 41). Kierkegaard juga menyatakan bahwa “In

Religiousness B, the edifying is a something outside the individual, the individual does not find edification by finding the relationship within himself, but relates himself to something outside himself to find edification (Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript, 498).

53

(42)

“sebagaimana engkau percaya, demikianlah jadinya sebagaimana engkau

percaya, demikianlah engkau adanya; percaya adalah menjadi.”54

Menurut Kierkegaard, individu beriman kepada Tuhan tanpa dibuktikan

secara obyektif-rasional. Tuhan dapat ditemukan dalam keyakinan dan juga

pengalaman pribadi yang subjektif. Di lain sisi, Religiositas B, diindikasikan

dengan adanya kesadaran akan dosa dan penerimaan pengampunan. Tahap ini

menganggap Agama sebagai juru selamat. Inilah yang dianggap oleh Kierkegaard

sebagai puncak pengembaraan manusia.

Kierkegaard memberikan prototipe terkait tahap ini dengan menunjuk

Abraham sebagai aktornya yang menjadi gambaran. Abraham dinilai sebagai

orang yang bertindak sesuai dengan iman. Ini dapat dilihat ketika Abraham

diminta untuk mengorbankan Ishak, anak yang disayanginya, ia lakukan.

54

As thou believest, so it comes to pass; or As thou believest, so art thou; to believe is to be

(43)

BAB III

PENGERTIAN EKSISTENSIALISME dan

SEJARAH KEMUNCULAN EKSISTENSIALISME

A.

Pengertian Eksistensialisme

Pengertian eksistensialisme memang tidak mudah dirumuskan. Ini karena

ketika ada definisi berarti adanya pembatasan. Kaum eksistensialis sendiri belum

menemukan kesepakatan mengenai apa makna dari eksistensi itu sendiri. Namun,

setidaknya dalam kesempatan ini ada beberapa referensi tentang definisi

eksistensi1. Istilah Eksistensialisme berasal dari kata latin “ eksistere” yakni “ex” yang berarti “keluar” dan “sitere” yang berarti membuat, berdiri. Sehingga eksistensi berarti ”apa yang ada”, “apa saja yang dialami”, “apa yang memiliki

kualitas”. Secara singkatnya, eksistensi menekankan akan keberadaan.

Definisi lain menyatakan bahwa, Eksistensi berasal dari eks artinya keluar,

sintesi artinya berdiri. Tidak jauh berbeda dengan definisi awal, eksistnsi di sini

berarti berdiri sebagai diri sendiri. Menurut Heideggard “Das wesen des daseins

liegh in seiner Existenz” , da-sein adalah tersusun dari dad an sein. “da” disana.

Sein berarti berada. Dengan demikian manusia sadar dengan tempat atau

keberadaannya. Ini definisi dari eksistensi2.

1

Fuad Hasan, Kita dan Kami (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 8

2

(44)

Senada dengan definisi di atas, dengan redaksi yang sedikit berbeda.

Istilah Eksistensialisme dari kata “eks” yang artinya “keluar” dan sintensi yang

diturunkan dari kata kerja “sisto” yang artinya “berdiri ,menempatkan” oleh

karena itu kata eksistensi diartikan sebagai ” manusia yang berdiri sendiri sebagai

diri sendiri dengan keluar dari dirinya" sadar bahwa dirinya ada, yaitu yang

disebut Aku”.3

Jika mau jujur, definisi tersebut belum mewakili secara penuh tentang arti

dari eksistnsialisme. Ini karena masih banyaknya perbedaan dikalangan parah ahli

eksistensialis sendiri. Namun jika kita mau menarik benang merahnya, akan

terlihat titik persamaan dari mereka. Eksistensialisme pada dasarnya menekankan

pada manusia yang konkrit atau seutuhnya. Manusia sebagai makhluk yang

bereksistensi, sadar akan keberadaan dirinya.4

Kemudian kesempurnaan eksistensi terletak di dalam “segala sesuatu”

konsep eksistensi sebagai suatu yang paling komperehensif dan paling universal

yang mempunyai landasan objektif, karena ia bukan sekedar kata kosong atau

hayalan pengertian kita belaka tetapi konsep ini memiliki keluasan yang paling

luas melampaui semua bidang dari segi isi, dan konsep ini hanya menyangkut satu

patokan yaitu eksistensi. Bila Hegel mengatakan eksistensi itu berkonsidasi

dengan ketiadaan, sebaliknya gerakan eksistensialisme mengatakan konsep

3

Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai James (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 1992), 191.

4

(45)

eksistensi itu tidak memperhatikan diterminasi-isi partikular dari eksisten itu

tetapi konsep ini adalah konsep yang seluruhnya tidak ditentukan.5

Secara primordial, eksistensi adalah kesempurnaan fundamental dari setiap

eksisten. Konsekuensinya ada yang berperan sebagai partisipasi dari eksistensi itu.

Eksistensi akan memberikan pengendali sebagai pusat. Ia menjadi pusat dari

pengendalian itu sendiri. Kalau menurut pengrtian yang lebih luas, eksistensi

mencakup “ada yang mungkin” dan sesuatu apakah “memiliki” eksistensi.

Pembahasan tentang Tuhan masuk dalam pengrtian ini. Eksistensi dapat ditelusuri

dari sifat-sifat dasarnya.6

Sedangkan, menurut Parkey (1998) aliran eksistensialisme terbagi menjadi

2 sub besar, yaitu; bersifat theistic dan atheistic. Theistic adalah aliran eksistensi

yang masih menganggap keberadaan Tuhan, mengakuinya. Sedang Athistic

adalah aliran yang melepas diri dari Tuhan. Ia sudah tidak menganggap lagi

adanya Tuhan. Bahkan mereka tidak segan-segan mengungkapkan kata-kata yang

sangat sensitive bagi orang yang beragama, seperti kata “Tuhan telah Mati”.

Jika mau ditelusuri, pendidikan memiliki hubungan erat dengan

Eksistensialisme. Ini terjadi karena hanya manusialah yang mendapat pendidikan.

Diketahui juga bahwa eksistensi mendasarkan pembahasannya pada manusia.

Eksistensi sudah barang tentu merujuk pada sesuatu yang ada.

Keberadaannya pun harus dialami oleh banyak orang. Ini salah satu bentuk

5

Save M. Dagun, filsafat eksistensialisme, (jakarta, rineka cipta, 1990.)19-20

6

(46)

pembuktian adanya eksistensi7. Diketahui bahwa ada dua metode pembenaran

atau pembuktian dalam filsafat, yakni verifikasi dan falsifikasi. Dalamverifikasi

berarti kita mengambil objek yang sama untuk mendukung. Bertentangan dengan

falsifikasi yang berarti bahwa kita mencari tentang objek yang berlawanan. Jadi,

dalam verifikasi, semakin banyak objek pendukung kian kuat, sedang dalam

falsifikasi semakin banyak objek yang berlawanan ditemukan, maka semakin

lemah.

B.

Pra-Eksistensialisme

Masa abad pertengahan, yang juga dikenal dengan masa kegelapan8,

nampaknya benar-benar memukul telak para ilmuan. Kebebasan dalam berfikir

dikekang. Semua kalangan diharuskan berfikir sesuai dengan arah pemikiran

gereja. Jika mereka tak mampu melaksanakan hal tersebut, maka pemikiran akan

dicekal. Sebuah gagasan yang tidak senada dengan gereja yang disebarkan, dan

dikonsumsi masyarakat luas, maka pemilik ide itu akan segera berhadapan dan

diadili di gereja.

Contoh konkrit, Copernicus9, penemu teori “Matahari Sentris” sangat

ditentang kala itu, khususnya oleh kalangan gereja yang mengakui “Bumi

Sentris”. Pada tahun 1609, Galileo, sang penemu teleskop mendukung teori

Copernicus. Melalui teleskopnya dia bisa melihat Saturnus yang dilingkari

7

Louis O.Katsof, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004)

8

Linda Smith and William Raeper. Ide-ide Filsafat dan Agama, dulu dan sekarang, Terj. P Hardono Hadi (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 121

9

(47)

gelang-gelang, dan tahulah ia bahwa ada empat buah planet yang berputar-putar

mengelilingi bumi ini. Selanjutnya, penelitian itu beralih ke planet Venus. Ini

merupakan bagian dari bukti penting yang mengukuhkan teori Copernicus bahwa

bumi dan semua planet lainnya berputar mengelilingi matahari. Sementara,

dukungannya terhadap Copernicus menyebabkan Galileo berhadapan dengan

kalangan gereja yang menentangnya habis-habisan.

Pertentangan gereja ini mencapai puncaknya pada tahun 1616. Dia

diperintahkan menahan diri dari menyebarkan hipotesa Copernicus. Galileo

merasa terjepit selama bertahun-tahun. Baru sesudah Paus meninggal dunia pada

tahun 1623, dia (Paus) digantikan oleh orang yang mengagumi Galileo. Paus baru

ini, Urban VII, memberi pertanda walau samar bahwa larangan terhadap Galileo

tidak lagi diteruskan.

Enam tahun kemudian, Galileo membuat gebrakan baru dengan

menyusun karya ilmiahnya berjudul "Dialog tentang dua sistem penting dunia".

Meskipun begitu, penguasa-penguasa Gereja menanggapi dengan sikap berang,

tatkala buku itu terbit dan Galileo langsung diseret ke muka pengadilan Agama di

Roma. Galileo diminta untuk mencabut kembali pendapatnya bahwa bumi

(48)

Ilmuan berusia 69 tahun ini terpaksa menuruti keinginan penguasa Gereja.

Tetapi, dia menunduk ke bumi dan berbisik pelan, "Tengok, dia (bumi ini) masih

terus bergerak (berevolusi)10. Mereka tetap berprinsip pada kebenaran.

Otoritas gereja pada saat itu, justru sebenarya membuat manusia berfikir

ulang11. Kalangan penentang gereja lambat laun mulai menampakkan tajinya

dalam mengusung kebenaran mereka. Mereka ingin medapat sebuah kebebasan,

mereka hendak menunjukkan bahwa dalam diri manusia ada sebuah potensi yang

sangat besar.

Salah satu pemikiran aliran yang berusaha sadar pada diri manusia itu

sendiri adalah aliran eksistensialisme. Mereka mencoba mengkampanyekan

bahwa dalam diri manusia ada sesuatu yang sangat hebat. Manusia hanya perlu

percaya pada dirinya sendiri. Dengan begitu, segala potensi akan terasah.

C.

Perjalanan Eksistensialisme

Filsafat eksistensialisme merupakan aliran yang sempat menggemparkan

dunia keilmuan waktu itu. Manusia beramai-ramai mempelajari aliran ini. Kendati

pada masa mendatang, aliran ini cukup rapuh pula, tidak tahan terhadap kritik12.

10

Ary Gynanjar Agustian, ESQ (Jakarta: Arga, 2001), 124-125

11

TIM Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia (Jakarta: PT PBK Gunung Mulia,2007), 132

12

(49)

Pada masa awalnya, istilah eksistensialisme dirumuskan oleh ahli filsafat

Jerman yaitu Martin Heidegger (1889-1976). Sedangkan, akar metodologi

pngetahuan ini berasal dari tokoh fenomenologi, yakni Edmund husserl

(1859-1938)13. Epos sebagai salah satu cara fenomenologi dalam mencapai kebenaran

nampaknya cukup berpengaruh dalam perenungan eksistensialisme.

Pada dasarnya istilah eksistensialisme merupakan reaksi kecendrungan

terhadap semangat jaman modern, terutama terhadap pemutlakan akal manusia,

oleh karena itu eksistensialisme secara khusus dikatakan sebagai lawan dari aliran

rasionalisme.

Semua itu tidak mengherankan dalam filsafat. Memang itu adanya, dari

kritik antar kritik, tesis dan anti tesis akan terbentuk pengtahuan baru (thesis).

Sehingga, Filsafat terlahir dari suatu kritik. Bila terjadi krisik, orang biasanya

meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah ia dapat tahan

uji. Itulah mengapa ada yang mengatakan bahwa filsafat anti kemapanan14.

Kemudian Pada awal abad ke-19, Kerkegaard telah menyaksikan

kecendrungan rasionalis

Referensi

Dokumen terkait

Setelah dilakukan perhitungan analisis ekonomi teknik untuk sistem PLTS yang akan dirancang dinyatakan tidak layak untuk diinvestasikan, karena pendapatan yang didapat dari

mulut ke mulut (Word Of Mouth) merupakan salah satu ciri khusus dari promosi. bisnis barang

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan, sebagai berikut: (1) Bagaimana pelaksanaan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia

Tanggung jawab sosial dalam perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) adalah mekanisme bagi suatu organisasi untuk secara sukarela mengintegrasikan perhatian terhadap

Perbedaan penelitian kali ini terletak pada obyek yang diteliti.Pada penelitian kali ini obyek yang diteliti adalah perusahaan farmasi yang terdaftar di Bursa

 Sel mikroba secara kontinyu berpropagasi menggunakan media segar yang masuk, dan pada saat yang bersamaan produk, produk samping metabolisme dan sel dikeluarkan dari

Untuk menghindari terjadinya hal-hal tersebut maka dilakukan perancangan dan pembuatan pintu gerbang yang dapat membuka dan menutup secara otomatis.. Cara kerja