• Tidak ada hasil yang ditemukan

makalah - TOPENG SIDHAKARYA SEBUAH SIMBOL DAN IKON ABSTRAKSI BRAHMANA KELING DARI JAWA TIMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "makalah - TOPENG SIDHAKARYA SEBUAH SIMBOL DAN IKON ABSTRAKSI BRAHMANA KELING DARI JAWA TIMUR"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Salah satu tari wali yang sangat penting di Bali adalah Topeng Pajegan. Dalam Topeng Pajegan ada satu tari topeng sakral yang harus ditampilkan yaitu Topeng Sidhakarya. Tari itu harus dipentaskan dalam upacara-upacara besar keagamaan.Topeng Sidhakarya adalah topeng wali karena fungsinya sebagai pelaksana upacara keagamaan.

Topeng Sidhakarya merupakan sebuah tanda yang memiliki arti penting bagi masyarakat Hindu. Selama ini baik dalam pembicaraan lisan maupun tertulis, topeng itu dikatakan sebagai simbol.

Dalam tulisan ini Topeng Sidhakarya akan dibahas kehadirannya sebagai tanda. Apakah topeng itu termasuk ikon, indeks, atau simbol? Hal itu penting diungkap agar tidak terjadi salah pemaknaan. Masyarakat Hindu di Indonesia khususnya yang terikat pada upacara keagamaan sangat membutuhkan informasi, mengingat kurangnya sumber-sumber tertulis.

Untuk mengkaji hal itu digunakan teori semiotika Peirce. Peirce membagi tanda menjadi tiga bagian yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang mewakili sumber acuan melalui sebuah bentuk replikasi, simulasi, imitasi, atau persamaan. Indeks adalah tanda yang mewakili sumber acuan dengan cara menunjuk padanya atau mengaitkannya (secara eksplisit atau implisit) dengan sumber acuan lain. Simbol adalah tanda yang mewakili objeknya melalui kesepakatan atau persetujuan dalam konteks spesifik.

Simpulan yang diperoleh bahwa secara umum pertunjukan Topeng Sidhakarya merupakan simbol tercapainya tujuan melaksanakan kegiatan. Makna itu diacu dari arti nama topeng. Semua penampilan dari gerak-gerak topeng, figur topeng yang mengacu pada nama sidhakarya, persembahan sajen, penaburan beras kuning, sampai anak kecil kembali ke area penonton adalah simbol yang memiliki makna “sidhakarya”.

Secara khusus pertunjukan Topeng Sidhakarya merupakan ikon abstraksi dari Brahmana Keling. Itu terjadi karena mengacu dari sejarah adanya Topeng Sidhakarya, bahwa sebenarnya figur topeng itu adalah tiruan dari Brahmana Keling. Seluruh penampilan topeng merupakan kegiatan simulasi yang diabstraksi. Itu berarti pertunjukan Topeng Sidhakarya adalah sebuah ikon abstraksi.

▸ Baca selengkapnya: topeng mata melotot dan gigi menyeringai topeng tersebut biasanya berkarakter

(2)

TOPENG SIDHAKARYA

Berdasarkan fungsinya tari bali dapat dibedakan menjadi tiga yaitu tari wali, bebali, dan balih-balihan. Tari wali adalah tari sakral yang berfungsi untuk upacara keagamaan. Tari bebali adalah jenis tari yang khusus berfungsi sebagai

pendukung upacara, sedangkan balih-balihan merupakan jenis tari tontonan yang fungsinya memang untuk pertunjukan. (I Made Bandem dan I Wayan Dibia, 1982/1983: 4)

Salah satu tari wali yang sangat penting di Bali adalah Topeng Pajegan. Dalam Topeng Pajegan ada satu tari topeng sakral yang harus ditampilkan yaitu Topeng Sidhakarya. Tari itu harus dipentaskan dalam upacara-upacara besar

keagamaan. Kedudukan pertunjukannya sejajar dengan wayang lemah, sebuah pertunjukan wayang untuk upacara. (I Made Bandem dan I Nyoman Rembang, 1983: 11).

Kehadiran Topeng Sidhakarya sangat dibutuhkan oleh masyarakat Hndu baik di Bali maupun di luar Bali. Pertunjukannya di Bali selalu disajikan dalam bentuk dramatari topeng. Sebelum Topeng Sidhakarya ditampilkan didahului dengan berbagai penampilan topeng yang berkarakter sesuai dengan cerita yang dibawakan, sedangkan di Jawa Timur mengalami perubahan. Acap kali pertunjukannya tidak didahului oleh penampilan topeng-topeng yang lain. Topeng Sidhakarya ditampilkan seperti halnya pementasan tari tunggal.

Topeng Sidhakarya merupakan sebuah tanda yang memiliki arti penting

bagi masyarakat Hindu. Selama ini baik dalam pembicaraan lisan maupun tertulis, topeng itu dikatakan sebagai simbol. I Wayan Dana mengatakan Topeng Sidhakarya memiliki arti simbolis. (I Wayan Dana, 1993: 35) Topeng itu merupakan sebuah simbol. Demikian pula dalam buku Perkembangan Topeng Bali sebagai Seni Pertunjukan disampaikan secara implisit bahwa Topeng

1

I Nengah Mariasa adalah Dosen Tari pada Jurusan Sendratasik Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya.

(3)

Sidhakarya merupakan tanda yang simbolis. (I Made Bandem dan I Nyoman Rembang, 1983: 11)

Dalam tulisan ini Topeng Sidhakarya akan dibahas kehadirannya sebagai tanda. Apakah topeng itu termasuk ikon, indeks, atau simbol? Hal itu penting diungkap agar tidak terjadi salah pemaknaan. Masyarakat Hindu di Indonesia khususnya yang terikat pada upacara keagamaan sangat membutuhkan informasi, mengingat kurangnya sumber-sumber tertulis.

B. Definisi Istilah

Kata topeng (baca: topéng) berarti penutup muka (dari kayu, kertas, dan sebagainya) yang menyerupai muka orang, binatang, dan sebagainya. (http://kbbi.web.id/ topeng) Topeng merupakan benda penutup muka memiliki karakter baik berbentuk kepala/ muka, dewa, manusia, binatang, dan makhluk lainnya. (R. Murdowo, 1975: 1) Topeng adalah sesuatu benda yang ditekankan pada muka yang menyebabkan perubahan wajah. (Beryl de Zoate and Walter Spies, 1973: 178)

Arti topeng di Bali berbeda dengan arti topeng pada umumnya. Topeng yang berarti penutup muka itu di Bali disebut tapel. Orang Bali tidak biasa menyebut topeng untuk penutup muka, tetapi dengan istilah lain yaitu tapel. Topeng di Bali adalah sebuah pertunjukan tari atau dramatari memakai tapel dengan monolog, dialog dan tembang. Semua penari memakai tapel dengan sebuah busana khusus yang dapat digunakan untuk memainkan berbagai peran yang berbeda. Jika penari topeng memainkan tiga peran maka ia tidak perlu lagi mengganti busananya, tetapi cukup hanya dengan mengganti tapel dan perlengkapan kepalanya.

Topeng Sidhakarya adalah pertunjukan tari topeng yang berfungsi sebagai pelaksana upacara keagamaan. Kehadirannya dalam pertunjukan berkaitan erat dengan seorang pendeta Hindu dari Jawa Timur yang bernama Brahmana Keling.

(4)

(Soedarsono, 1972:4-5) Abstraksi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara memperhalus bentuk disebut stilisasi dan dengan cara memperkasar bentuk disebut distorsi.

C. Teori Semiotika Peirce

Mengetahui makna dari sebuah bentuk X, orang harus menentukan ter-lebih dahulu itu adalah sebuah tanda. Tanda memiliki struktur. Bentuk X adalah tanda jika: pertama, ia dapat dibedakan dari bentuk lain (paradigmatik) ; dan kedua, ia dikonstruksi dengan cara yang dapat diprediksi (sintagmatik). Jika Topeng Sidhakarya disebut “X” dan maknanya disebut “Y” maka tanda X

mewakili Y, artinya X=Y yang merupakan proses penandaan. Tanda adalah segala sesuatu (X) yang merepresentasi sesuatu selain dirinya (Y). Sistem tanda (verbal, visual, gestural, dan lain-lain) mempunyai sifat tertentu, dan karenanya dapat digunakan berulang kali untuk mengodifikasi dan mendekodifikasi teks dan pesan. (Marcel Danesi, 2010: 7-31)

Pertunjukan Topeng Sidhakarya dapat dikatakan sebagai sebuah tanda. Topeng itu adalah tanda non verbal yang dapat dibedakan dari bentuk

topeng-topeng yang lain (paradigmatic). Tari itu dikonstruksi oleh berbagai unsur menjadi satu bentuk tari yang khas yang dapat disebut tari Topeng Sidhakarya (syntagmatic).

Topeng Sidhakarya sebagai tanda dipahami sebagai sebuah teks. Analisis tanda sebuah pertunjukan merupakan analisis tekstual dengan pendekatan multidisiplin. Analisis teks pertunjukan berbeda sekali dengan analisis teks bahasa, karena sifat dan bentuknya yang multi lapis. Pertunjukan merupakan satu entitas multi lapis. Semiotika pertunjukan dipahami sebagai sebuah prinsip metodologi dan sebagai sebuah bentuk dari konsep integrasi. Sebuah pertunjukan terjadi dari gabungan berbagai aspek seperti pemain, busana, tempat pentas, penonton, dan lain-lain, yang saling terkait menjadi satu. (Marco de Marinis, 1993: 7-9)

(5)

objeknya melalui kesepakatan atau persetujuan dalam konteks spesifik. (Marcel Danesi, 2010: 37-45)

Topeng Sidhakarya merupakan sebuah tanda yang perlu dimaknai.

Apa-kah itu sebuah ikon, indeks, atau simbol, atau memiliki ketiga unsur tanda itu. Sesuatu itu merupakan ikon, jika tanda dirancang untuk merepresentasikan sumber acuan melalui simulasi atau persamaan. Parfum merupakan ikon penciuman yang meniru wangi alamiah. Semua gambar, foto, tokoh-tokoh dalam seni pertunjukan juga merupakan ikon. Tanda sebagai ikon memiliki makna yang cenderung denotatif, yang tidak memerlukan kesepakatan untuk mengartikannya seperti halnya makna simbol.

Sesuatu disebut indeks, jika tanda dirancang untuk mengindikasikan sumber acuan atau saling berhubungan dengan sumber acuan. Indeks dibagi tiga, yaitu indeks ruang, indeks temporal, dan indeks persona. Indeks ruang mengacu pada lokasi ruang sebuah benda misalnya jari tangan menunjuk arah, figur anak panah, dan kata penjelas ini atau itu. Indeks temporal meng-hubungkan benda-benda dari segi waktu. Angka tanggal-tanggal di kalender, dan juga sebuah peta adalah indeks temporal. Indeks persona menghubungkan pihak-pihak yang ikut ambil bagian dalam sebuah situasi, misalnya kata ganti orang kau, aku, atau kata ganti tak tentu seperti yang ini, yang itu.

Simbol menunjuk pada tanda menyandikan sesuatu yang merupakan kesepakatan konvensional. Makna tanda yang terjadi cenderung konotasi, sehingga membutuhkan kesepakatan kelompok atau masyarakat. Kesepakatan itu telah diakui keberadaannya sebagai makna sebuah tanda. Garuda pancasila merupakan simbol bangsa Indonesia, demikian pula dengan warna putih merupakan simbol kesucian dan lain-lain.

D. Topeng Sidhakarya

Ada dua jenis topeng yaitu Topeng Pajegan dan Topeng Panca. Topeng Pajegan adalah dramatari topeng yang ditampilkan oleh seorang penari dengan

(6)

Cerita yang disajikan dalam topeng adalah babad-babad Bali, sejarah dan legenda lainnya. Cerita-cerita itu menekankan pada aspek pendidikan moral, agama, adat dan lain-lain. Topeng dengan jenis penyajian cerita seperti itu termasuk jenis tari bebali, yaitu tari yang berfungsi sebagai pendukung upacara keagamaan.

Topeng Pajegan adalah topeng wali karena hadirnya tari sakral yaitu Topeng Sidhakarya. Topeng Panca merupakan tari bebali karena fungsinya untuk pendidikan, penyebaran informasi keagamaan dan lain-lain. Jika Topeng Panca membawakan cerita yang menghadirkan Topeng Sidhakarya, maka topeng panca menjadi tari wali.

Dramatari Topeng Sidhakarya menyajikan cerita upacara Nanggluk Merana” di Besakih yang dilaksanakan oleh raja Bali yaitu Dalem Waturenggong. Ketika itu datanglah seorang brahmana (pendeta) dari Keling yang bernama Brhamana Keling untuk mencari saudaranya. Dia mengatakan bahwa Dalem Waturenggong adalah saudaranya. Sudah tentu brahmana itu dianggap gila oleh

(7)

tikus, walang sangit, dan lain-lainnya). (I Made Bandem dan I Nyoman Rembang, 1976: 11-12)

Cerita tersebut di atas merupakan satu versi cerita pokok Topeng Sidhakarya, yang paling sering disajikan dalam pertunjukan topeng wali. Adapun

cerita-cerita lain dari babad-babad seperti Dalem Dukut, Pasek Buduk, dan lain-lain dapat disajikan dengan menghadirkan Topeng Sidhakarya di bagian akhir pertunjukan (babak penyuwud).

Bentuk pertunjukan Topeng Sidhakarya yang paling sering disajikan itu, terbagi menjadi tiga babak, yaitu babak I pengawit, babak II petangkilan, dan babak III penyuwud. Babak I pengawit terdiri dari sajian dua atau tiga sajian topeng panglembar. Panglembar adalah tarian topeng pembuka, yang biasanya

ditampilkan Topeng Keras dan Topeng Tua.

Babak II petangkilan adalah babak pertemuan antara raja Dalem Waturenggong dengan abdinya. Peran Dalem Waturenggong disajikan dengan Topeng Arsawijaya dan abdinya dengan topeng penasar. Babak itu dilanjutkan dengan adanya konflik kacaunya proses upacara Nanggluk Merana. Di tengah-tengah konflik hadir Danghyang Nirarta sebagai penasihat. Tokoh itu disajikan dengan Topeng Peranda yang membawa tongkat. Babak petangkilan itu diakhiri dengan penampilan babondresan, yaitu penyajian masyarakat dengan berbagai karakter yang cenderung melawak.

Babak III penyuwud berisi penyajian Topeng Sidhakarya sebagai pemuput yaitu topeng penuntas acara. Topeng itu menari pada awalnya dengan

gerak-gerak yang menakutkan dan mencekam, seperti gerak mengintai, menakut-nakuti, mengejar dan lain-lain. Berikutnya gerak memantrani sesaji. Pada bagian ini penari topeng benar-benar berfungsi sebagai pendeta yang melantunkan doa-doa upacara, oleh karena itu syarat sebagai penari Topeng Sidhakarya telah melalui proses pawintenan pemangku (penyucian sebagai pinandita). Penyajian selanjutnya penari topeng menaburkan beras kuning ke segala penjuru. Babak III ini diakhiri dengan mengajak anak kecil mendekati sajen untuk diberi uang dan menirukan kata-kata yang diucapkan topeng.

(8)

Gambar 1. Topeng Sidhakarya sedang memantrani sajen yang ada di depannya.

(9)

Gambar 2. Wajah tapel dan kepala Topeng Sidhakarya

E. Topeng Sidhakarya sebagai Simbol dan Ikon Abstraksi

Pertunjukan Topeng Sidhakarya merupakan sebuah tanda non verbal yang dapat dikaji. Topeng itu sebagai tanda dipahami sebagai sebuah teks. Pertunjukan Topeng Sidhakarya adalah pertunjukan ritual yang bentuk pertunjukannya seperti yang tercantum dalam babak III penyuwud tersebut di atas. Tanda itu dimulai dari hadirnya topeng menari di atas pentas, kemudian memantrani sajen, menari menaburkan beras kuning ke segala penjuru, sampai akhirnya menari mengajak anak kecil mendekati sajen untuk diberi uang dan menirukan kata-kata yang diucapkan topeng.

(10)

kesatuan aktivitas gerak, sikap, dan kata-kata yang ada dari topeng dan anak kecil.

Figur tari Topeng Sidhakarya adalah sosok seorang pendeta. Ini dapat dibuktikan dengan adanya lontar Bebali Sidhakarya. Dalam lontar itu tertulis bahwa Sidhakarya adalah seorang brahmana keturunan Sakya dari Keling. Beliau adalah putra dari Danghyang Kayumanis yang bersaudara dengan Empu Tantular, keturunan dari Empu Baradah dari Jawa Timur. (I Wayan Dana, 1993:

85)

Beliau bertapa di gunung Bromo Tengger Jawa Timur. Brahmana Keling pergi ke Keraton Madura dari pertapaannya untuk menegakkan kembali upacara sesaji pajegan. Selanjutnya beliau pergi ke Bali ingin bertemu dengan Raja Gelgel Dalem Waturenggong. Seperti cerita upacara Nanggluk Merana yang telah disebutkan di atas, Dalem Waturenggong mengakui Brahmana Keling sebagai saudaranya dan memberi gelar Dalem Sidhakarya. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1615 Caka atau 1693 Masehi. (I Wayan Dana, 1993: 30-31)

Ditinjau dari cerita itu figur Topeng Sidhakarya adalah sebuah tanda yang merupakan ikon. Topeng itu adalah ikon dari Brahmana Keling. Ikon yang ada sebenarnya merupakan tiruan bentuk brahmana, tetapi ada sebuah perubahan yang dapat disebut sebagai abstraksi. Topeng yang dibuat merupakan abstraksi dari bentuk awal yang ditiru. Hal itu dapat dijelaskan dalam lanjutan cerita Brahmana Keling sebagai berikut.

Pada hari Rabu Kliwon Pahang tahun 1703, Dalem Waturenggong menyuruh I Pasek Akoluh Luhandalah membuat tiga buah tapel yang menggam-barkan tiga tokoh penting, yaitu Dalem Sidhakarya, Dalem Waturenggong, dan Danghyang Nirarta. Selanjutnya tapel-tapel itu dihadirkan dalam tari topeng wali, yaitu pertunjukan Topeng Sidhakarya (I Wayan Dana, 1993: 31) Figur Topeng Sidhakarya merupakan abstraksi, baik dari busana maupun bentuk tapel yang disajikan. Busana topeng merupakan abstraksi yang sangat jauh dari asalnya. Bentuk dan desain busana menyesuaikan busana tari topeng dengan gaya Bali. Demikian pula wajah tapel yang dibuat cendrung abstraksi jauh. Bentuk tapel danawa, mulut terbuka gigi sengoh, mata sipit, pipi-dahi dan dagu cembung,

serta ekspresinya menakutkan merupakan abstraksi jauh.

(11)

dua kata sidha yang berarti jadi, atau berhasil, dan karya berarti pekerjaan. Sidhakarya adalah simbol keberhasilan sebuah pekerjaan. Itu merupakan idam-idaman umat Hindu. Mereka mengharapkan keberhasilan jika melaksanakan upacara atau pekerjaan besar. Mereka yakin sebuah upacara akan tuntas, akan tercapai tujuannya jika mementaskan Topeng Sidhakarya. Makna simbolis itu tidak hanya terdapat pada arti kata nama topeng, tetapi pada rangkaian tanda-tanda pertunjukannya.

Gerak-gerak tari topeng merupakan kelanjutan dari figur topeng yang merupakan ikon abstraksi. Kita bisa memaknai bahwa Brahmana Keling sedang beraktivitas. Aktivitasnya ternyata didistorsi dan distilisasi ke dalam sebuah bentuk gerak-gerak topeng. Karakter gerak yang menakutkan, dengan penampilan danawa adalah sebuah distorsi, sedangkan gerak-gerak lain yang murni adalah stilisasi.

Tiga tanda yang lain yaitu sajen dimantrani topeng, penaburan beras kuning, dan aktivitas anak kecil menjawab pertanyaan topeng adalah simbol. Topeng menggunakan sajen sesayut Kasturi Bhatara Maisora. Sajen yang disepakati oleh umat Hindu di Bali sebagai sajen Topeng Sidhakarya itu merupakan simbol yan penuh makna. Secara garis besar sajen itu mendukung makna sidhakarya, terlebih lagi jika sajen dimantrani sebagai ikon Bhrahmana Keling berdoa.

Topeng menaburkan beras kuning ke segala penjuru merupakan simbol

kesejahteraan. Biasanya sebelum penari menaburkan beras ke segala penjuru, ia menaburkannya ke empat arah mata angin. Beras adalah bahan makanan, warna kuning berwatak dunia (Mahadewa) yang jika itu ditaburkan ke empat arah merupakan simbol kuat mendatangkan kesejahteraan di dunia. (I Nengah Mariasa, 2015: 297)

(12)

sidham” (doa pembuka). Selanjutnya bertanya kepada anak kecil “apa karyane ene suba pragat” (artinya: apa upacara ini sudah selesai), anak kecil disuruh menjawab “sampun.” Ditanya kembali “sida rahayu” (artinya: apakah jadi selamat), anak kecil disuruh menjawab “rahayu.” Selesai menjawab pertanyaan anak kecil biasanya diberi uang Rp. 20.000,00 atau Rp. 50.000,00, bahkan ada yang memberi Rp. 100.000,00. Aktivitas anak kecil menjawab pertanyaan adalah simbol pendukung sidhakarya.

F. Simpulan

Secara umum pertunjukan Topeng Sidhakarya merupakan simbol tercapainya tujuan melaksanakan kegiatan. Umat Hindu yang melaksanakan ritual akan merasa nyaman dan yakin kepada tercapainya tujuan ritual jika menghadirkan pertunjukan Topeng Sidhakarya. Makna itu mengacu dari arti nama topeng. Simbol itu merupakan satu kesatuan proses pertunjukan dari awal kehadiran Topeng Sidhakarya menari sampai anak kecil kembali ke area penonton. Semua penampilan dari gerak-gerak topeng, figur topeng yang mengacu pada nama sidhakarya, persembahan sajen, penaburan beras kuning, sampai anak kecil kembali ke area penonton adalah simbol yang memiliki makna “sidhakarya”.

Secara khusus pertunjukan Topeng Sidhakarya merupakan ikon abstraksi dari Brahmana Keling. Itu terjadi karena mengacu dari sejarah adanya Topeng Sidhakarya, bahwa sebenarnya figur topeng adalah tiruan dari Brahmana Keling.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Aryasa, I Wayan Madra. 1993. Materi Pokok Seni Sakral; 1-6; PAHD2433 / 2SKS. Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha dan Universitas Terbuka.

Bandem, I Made dan I Nyoman Rembang. 1976. Prkembangan Topeng Bali sebagai Seni Pertunjukan. Denpasar: Proyek Penggalian, Pembinaan, Pengembangan Seni Klasik/Tradisional dan Kesenian Baru Pemerintah Daerah Tingkat I Bali.

Bandem, I Made dan I Wayan Dibia. 1982/1983. Pengembangan Tari Bali. Denpasar: Proyek Pengembangan Institut Kesenian Indonesia Sub/ Bagian Proyek Pengembangan ASTI Denpasar.

O’Healy, Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press.

de Zoete, Beryl and Walter Spies. 1973. Dance and Drama in Bali. Kuala Lumpur: Oxford University Press.

Dibia, I Wayan. 2012. Geliat Seni Pertunjukan Bali. Denpasar: Buku Arti.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (online) (http://kbbi.web.id/topeng), diakses 9 Februari 2017.

Mariasa, I Nengah. 2015. “Rejang Kuningan di Kecamatan Abang Kabupaten

Karangasem, Bali: Aspek Bentuk, Fungsi, dan Makna.” Disertasi untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat S3 Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Moerdowo, R. 1975. “Fungsi Tapel dalam Seni Tari di Bali.” Makalah dalam Loka

Karya Topeng Bali di Denpasar, 1975.

Soedarsono. 1972. Djawa dan Bali: Dua Pusat Perkembangan Drama Tari Tradisionil di Indonesia. Jogjakarta: Gadjah Mada University Press.

(14)

TOPENG SIDHAKARYA

SEBUAH SIMBOL DAN IKON ABSTRAKSI BRAHMANA KELING DARI JAWA TIMUR

Makalah disampaikan dalam acara Penyambutan Doktor Baru Fakultas Bahasa dan Seni ke-3 Universitas Negeri Surabaya pada 17 Februari 2017 di Auditorium Prof. Dr. Leo Idra Ardiana, M.Pd.

GedungT2 Lantai 3 FBS Unesa

Oleh

I Nengah Mariasa 196412311990021002

FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

(15)

Lampiran Identitas Penulis:

Nama Penulis : Dr. I Nengah Mariasa, M.Hum. Tempat, Tgl Lahir : Rendang, Karangasem Bali, 1964

Alamat : Jl. Aquamarin 3 No 24 Perum Kota Baru Driyorejo, Gresik, Jawa Timur

Institusi : Jurusan Sendratasik, FBS Universitas Negeri Surabaya Pendidikan : SMA PIRI II Yogyakarta (1984)

S1 Komposisi Tari, Fakultas Kesenian ISI Yogyakarta (1990) S2 Pengkajian Seni Pertunjukan UGM Yogyakarta (2000) S3 Pengkajian seni Pertunjukan UGM Yogyakarta (2015) No. Hp : 087753057895 dan 08123574537

(16)
(17)
(18)

Gambar

Gambar 1. Topeng Sidhakarya sedang memantrani sajen yang ada di   depannya.
Gambar 2. Wajah tapel dan kepala Topeng Sidhakarya

Referensi

Dokumen terkait

Bila benih yang berasal dari pohon induk Parigi ditanam pada media dengan penambahan pupuk kandang maka daya berkecambah benih aren menurun (78.62%), dan daya berkecambah

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil sebagai berikut: Pengalaman mengajar, pelatihan dan sarana prasarana pembelajaran berpengaruh terhadap efikasi diri;

[r]

[r]

Mengumpulkan tugas yang diberikan oleh guru Nilai Total Characterization

Registrasi Nama Tempat Tanggal Lahir Penguruan Tinggi No... Registrasi Nama Tempat Tanggal Lahir Penguruan

Pembangunan ekonomi dilakukan dengan melakukan suatu transformasi potensi sumber daya wilayah pesisir dan laut menjadi barang dan jasa, melalui proses industri, sehingga

Universitas Negeri