Superfluiditas pada Materi Nuklir
Skripsi
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Sains
Yunita Umniyati
030002079Y
Departemen Fisika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Indonesia
Lembar Persetujuan
Judul Skripsi : Superfluiditas pada Materi Nuklir Nama : Yunita Umniyati
NPM : 030002079Y
Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui
Depok, 6 Agustus 2004 Mengesahkan
Pembimbing I
Dr. Anto Sulaksono
Penguji I Penguji II
Kata Pengantar
Syukur Alhamdulillah tak lupa penulis haturkan kepada Yang Maha Kuasa atas izin-Nya lah penulisan skripsi ini dapat diselesaikan.
Akhirnya pada bagian yang PALING TIDAK PENTING ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat baik secara lang-sung atau tidak langlang-sung dalam penulisan skripsi ini. Dan tak lupa,special thanks to “gank teori depok” Angga Darmawan, Anton Wiranata, Ardy Mustofa, (pak) Ayung, Chandi Wijaya, Freddy Simanjuntak, Julio, (pak) L. T. Handoko, Mulya-di Tjoa, Nofirwan, Nowo Riveli, dan (pak) Terry Mart atas kebersamaannya se-lama ini.
Abstrak
Fenomena superfluiditas pada sistem nuklir banyak-benda dapat dijelaskan berdasarkan teori medan kuantum. Sifat-sifat pasangan1
S0materi nuklir simetris dipelajari dengan menggunakan formalisme Dirac-Hartree-Bogoliubov. Model nuklir yang digunakan adalah model Walecka linear. Penyelidikan difokuskan pa-da keterbergantungan gap pasangan (△) terhadap cutoff dan parameter set dari model nuklir yang digunakan.
Kata kunci: persamaan gap, superfluiditas, materi nuklir.
Abstract
Superfluidity behavior of nuclear many-body system can be described by quan-tum field theory. The pairing properties of symmetric nuclear matter can be studied by of Dirac-Hartree-Bogoliubov formalism (1
S0 pairing). Linear Walecka models are used to describe matter. The investigation is focused to wheather or not the pairing gap (△) depend strongly on parameter set of nuclear model and cutoff.
Daftar Isi
Kata Pengantar iii
Abstrak iv
Daftar Isi v
Daftar Gambar vii
Lampiran vii
1 Pendahuluan 1
1.1 Latar Belakang Masalah . . . 1
1.2 Tujuan . . . 2
1.3 Sistematika . . . 2
2 Materi Nuklir 3 2.1 Materi Nuklir Simetrik . . . 3
2.1.1 Pendekatan Medan Rata-Rata . . . 5
2.2 Teori Dirac-Hartree-Bogoliubov Relativistik (RHB) . . . 8
2.2.1 Pendekatan BCS . . . 10
3 Hasil dan Pembahasan 13 3.1 Pengaruh Cut Off pada △(k) . . . 13
3.2 Massa Efektif M∗ . . . . 20
4 Kesimpulan 21
B Alur Program 23
B.1 Inisialisasi . . . 23 B.2 Iterasi . . . 24
Daftar Gambar
2.1 HubunganM∗ terhadapρB berdasarkan pendekataan medan
rata-rata relativistik. Parameter dari L-W, L-HS, dan L1 dapat dilihat pada lampiran 1. . . 7 3.1 Hubunganpairing gappada permukaan Fermi△(k) terhadap
mo-mentum Fermi kF . . . 13 3.2 Perbandingan pairing gap untuk 3 parameter yang berbeda . . . 15 3.3 Hubunganpairing gap terhadap momentum k . . . 16 3.4 Perbandingan pairing gap untuk 3 parameter yang berbeda . . . 17 3.5 Hubungan potensial terhadap momentumk . . . 18 3.6 Perbandingan potensial Vpp(k,kF) untuk 3 parameter yang berbeda 19 3.7 RelasiM∗ denganρ
Bab 1
Pendahuluan
1.1
Latar Belakang Masalah
Superfluiditas pada materi nuklir menarik perhatian fisikawan selama 40 tahun terakhir. Hal ini terutama disebabkan fenomena ini memberikan konsekuensi penting terhadap bintang neutron, seperti menjelaskan laju pendinginan bintang neutron dan pulsar glitches [1]. Oleh karena itu perhitungan Hartree-Bogoliubov diperlukan. Perlu dicatat di sini superfluiditas pada materi neutron dan materi nuklir berdasarkan model-model nonrelativistik sudah banyak dipelajari, tetapi sejauh ini ekstensi ke model relativistik dan perhitungan kualitatif dari gap pasan-gan untuk jenis baryon lain masih belum banyak dikerjakan.
Di sisi lain model relativistik mempunyai keunggulan terhadap model nonrel-ativistik dalam hal deskripsi interaksi nukleon-nukleus dan sifat-sifat saturasi materi nuklir. Untuk itulah di sini digunakan pendekatan relativistik. Adapun pada skripsi ini dipergunakan model nuklir relativistik Walecka linear. Berbe-da dengan model lain, model ini Berbe-dapat mengakomoBerbe-dasi kelakuan materi nuklir pada momentum Fermi yang besar dengan baik. Seperti diketahui, pada materi superfluida apabila jumlah seluruh momentum berhingga, kontribusi komponen momentum yang besar dari interaksi dan energi kuasi-partikel yang letaknya jauh dari permukaan Fermi tidak dapat diabaikan. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi pada materi nuklir atau materi neutron biasa dimana tidak terdapat cut-off pada momentum [2].
dibatasi hanya dengan menggunakan model nuklir yang linear.
1.2
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mereproduksi persamaan gap pada superfluiditas di materi nuklir dengan menggunakan model nuklir relativistik Walecka yang linear. Hasil yang diperoleh nantinya akan dibandingkan dengan hasil yang telah diperoleh berdasarkan perhitungan-perhitungan sebelumnya. Hal ini digunakan untuk menyelidiki keterbergantungan △ terhadap cutoff dan parameter set dari model nuklir serta kelakuan M∗ sebagai fungsi ρ0.
1.3
Sistematika
Bab 2
Materi Nuklir
Pada nuklir berhingga diketahuiA=N+Z, dalam hal iniZmenunjukkan jumlah proton dan N menunjukkan jumlah neutron, jika A dilimitkan menuju ∞maka sifat-sifat permukaan dapat diabaikan. Keadaan ini disebut materi nuklir. Jika
N = Z sehingga energi simetris hilang, maka tidak ada interaksi Coulomb dan isovektor. Dalam hal ini materi nuklir menjadi uniform(proton dan neutron tak terbedakan). Keadaan ini disebut sebagai materi nuklir simetrik. Pada materi nuklir terdapat faktor degenerasi yang bernilai 4. Hal ini dihubungkan dengan spin-up dan spin-down dari proton dan neutron. Di sini hanya akan dibahas materi nuklir simetrik yaitu interaksi nukleon hanya terjadi dengan medan skalar-isoskalar (φ) dan medan vektor-isoskalar (Vµ).
2.1
Materi Nuklir Simetrik
Pada bab ini akan dijelaskan materi nuklir simetrik berdasarkan model Walecka linear. Lagrangian model Walecka dikonstruksi dengan memperkenalkan medan-medan berikut [3]
• Medan baryon untuk neutron dan proton
ψ =
Ã
p n
!
(2.1)
• Medan vektorVµyang dipasangkan dengan arus baryon terkonservasiψγµψ
untuk mensimulasikan interaksi yang repulsif.
Pada materi nuklir simetrik diasumsikan medanψ hanya berinteraksi dengan medan skalar φ dan medan vektor Vµ, sehingga lagrangian efektifnya adalah
L = −1
dimana, medan tensor Fµν didefinisikan sebagai
Fµν ≡ ∂Vν ∂xµ −
∂Vµ
∂xν. (2.3)
Adapun persamaan medan diturunkan dari prinsip variasi sebagai berikut
δ
dengan q adalah variabel medan ψ, φ, dan Vµ. Persamaan ini dapat diseder-hanakan menjadi
Dengan memasukkan variabel medanVµ,φ, danψ secara eksplisit akan dihasilkan persamaan medan sebagai berikut
•
∂
∂xνFµν +m
2
vVµ =igvψγµψ (2.6)
Persamaan ini merupakan bentuk relativistik dari persamaan Maxwell den-gan kuanta massiveVµ (persamaan Proca), sedangkan arus baryon terkon-servasiBµ=iψγµψberperan sebagai sumbernya. mv adalah massaωmeson
Vµ dan gv adalah konstanta kopling antara nukleon dengan ω meson.
• "
Persamaan ini adalah persamaan Dirac untuk medan nukleon ψ dan M
adalah massa nukleon.
Perlu diingat setelah “kuantisasi”, medan klasik Vµ, φ, dan ψ menjadi operator ˆ
Vµ, ˆφ, dan ˆψ.
2.1.1
Pendekatan Medan Rata-Rata
Untuk mempermudah perhitungan biasanya dilakukan pendekatan. Pendekatan yang banyak dilakukan adalah pendekatan medan rata-rata yang justifikasi fisis pendekatan ini adalah sebagai berikut.
Bayangkan terdapat sebuah kotak yang besar dengan volume V ter-isi baryon B secara uniform. Jika jumlah baryon terkonservasi, ma-ka demikian pula dengan kerapatan ρB ≡ B/V. Jika ukuran ko-tak diperkecil, maka kerapatan baryon menjadi besar, maka demikian pula bagian sumber pada sisi kanan persamaan medan meson pada persamaan (2.6) dan (2.7). Saat sumber bernilai besar dan timbul beberapa kuanta, dapat ditempatkan untuk mengganti medan meson dengan medan klasik dari sumber dengan nilai ekspektasinya. Pada limit ρB yang besar
ˆ
φ → hφˆi = φ0, (2.9) ˆ
Vλ → hVˆˆλi = iδλ4V0. (2.10) Untuk sistem yanguniform pada keadaan diam medan klasikφ0 dan V0 kon-stan atau tidak bergantung ruang dan waktu. Sebagai contoh, persamaan medan meson vektor pada (2.6) direduksi menjadi
V0 =
Lagrangian Density dalam pendekatan medan rata-rata
yang mana φ0 dan V0 adalah medan konstan. Massa efektif nukleon didefinisikan sebagai
M∗ ≡M −gsφ0. (2.13)
Hamiltonian densitydiperoleh dari persamaan (2.12), kemudian setelah
ortonor-malisasi dari fungsi gelombang, dan menggunakan relasi antikomutasi kanonik maka diperoleh
ˆ
H = ˆHM F T +δH, (2.14) dimana Hamiltonian ˆHM F T nya adalah
ˆ
Sedangkan bagian δH didefinisikan sebagai
δH ≡ −1 Dari persamaan (2.15) diketahui bahwa keadaan dasar materi nuklir dalam pen-dekatan medan rata-rata diperoleh dengan mengisi penuh level-level dengan nuk-leon secara penuh sampai momentum Fermi kF, dengan faktor degenerasi untuk materi nuklir adalah γ = 4. Adapun ρB dan ρs dalam teori medan rata-rata dapat dihitung yang hasilnya adalah
ρB = γ Persamaan (2.8) dan persamaan (2.13) dapat diselesaikan secara self consistent
untuk menghitung M∗. Hasil perhitungan M∗ sebagai fungsi ρB dapat dilihat
pada gambar 2.1.1. Gambar 2.1.1 menunjukkan hubungan M∗ terhadap ρ [4].
Terlihat bahwa kecenderungannya menurun. Semakin besar nilaiρmaka semakin kecil nilai M∗. Dapat dilihat pada gambar 2.1.1, penurunannya tidaklah linear.
Kami catat bahwa M∗ adalah besaran yang sangat menentukan pada persamaan
890 900 910 920 930 940 950
0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45 0.5 0.55 0.6
M
*
RH0
LW LHS
L1
Gambar 2.1: Hubungan M∗ terhadap ρB berdasarkan pendekataan medan
2.2
Teori Dirac-Hartree-Bogoliubov Relativistik
(RHB)
Perbaikan dari model medan rata-rata relativistik adalah adalah model relativis-tik Hartree-Bogoliubov. Dalam pendekatan ini memungkinkan adanya keadaan materi nuklir dalam bentuk superfluid. Keadaan superfluid adalah keadaan yang
nonviscous. Hal ini dikarenakan efek berpasangannya nukleon-nukleon pada
sis-tem, dimana tiap-tiap pasangan mempunyai energi gap △(k).
Pada subbab ini akan diberikan perhitungan RHB dalam kerangka model Walec-ka linear untuk materi nuklir simetrik.
Lagrangian density pada persamaan (2.2) juga dapat dituliskan sebagai
L=LN +LM +Lint (2.19)
yang mana LN menjelaskan nukleon bebas sebagai partikel titik relativistik, LM
merepresentasikan meson bebas, dan Lint menjelaskan interaksi antara nukleon
dan meson. Dalam hal ini, meson dibatasi pada meson skalar (σ) dan meson vektor (ω). Sehingga pada materi nuklir simetrik
Lσ =
yang mana mσ dan mω adalah massa diam σ meson dan ω meson.
Ωµν =∂µων −∂νωµ, (2.22)
adalah tensor medan meson ω. Interaksi antara nukleon dan meson juga dapat dituliskan sebagai
Lint=−gσψσψ−gωψγµωµψ, (2.23)
yang mana konstanta gσ dan gω adalah konstanta kopling dari interaksi nukleon dengan σ dan ω meson.
Untuk sistem nuklir, operator Hamiltoniannya adalah
bagian nukleon
dengan kontribusi meson σ Hσ = 1
dan interaksi antara nukleon dan meson
Hint=
yang terdiri dari verteks nukleon-nukleon-meson Γµαβ
σ Γαβ =gσδαβ (2.30) ω Γµαβ =gωγαβµ (2.31) Seperti sebelumnya σ, ω, dan ψ setelah kuantisasi adalah operator medan. Pada pendekatan ini harga ekspektasi dari kombinasi 4 buah operator ψ dapat ditulis dalam bentuk persamaan gerak fungsi Green 4-titik Gdan F
hA|Tψeˆψˆdψcˆψˆb|Ai ≈ −GedGcb+GcdGeb+FecFdb,e (2.32)
hA+ 2|Tψeˆψˆdψˆcψˆb|Ai ≈ −GedF cb+GecFdb−GebFdc, (2.33)
Dalam hal ini Gab didefinisikan sebagai
Gab =−ihA|Tψaˆψˆb|Ai, (2.34) yang mana |Ai adalah keadaan dasar sistem A nukleon. Sedangkan Fab didefin-isikan sebagai
Fab =−ihA+ 2|Tψˆaψˆb|Ai. (2.35)
diabaikan maka hasilnya akan kembali ke hasil dengan pendekatan medan rata-rata.
Jika Hamiltonian Dirac h didefinisikan sebagai
h=αp+βΣ (2.36)
dimana Σ adalah operator massa dan p adalah momentum, maka persamaan Dirac-Hartree-Fock-Bogoliubov menjadi
yang mana △ adalah pairing potensial, εν adalah energi kuasi partikel, dan λ
adalah potensial kimia (εF).
2.2.1
Pendekatan BCS
Model mikroskopik diperkenalkan oleh Bardeen, Cooper, dan Schrieffer (BCS) pada tahun 1957. Model ini telah berhasil menghubungkan dan menjelaskan sifat-sifat superkonduktor simpel dalam hubungan dengan parameter-parameter eksperimen. Kita akan memperoleh persamaan gap BCS dengan mendiagonal-isasi persamaan (2.37). Penurunan selengkapnya dapat dilihat pada [5].
Pada subbab ini hanya dituliskan kembali hasil akhirnya sebagai berikut. Pa-da perhitungan berikut suku Fock diabaikan karena kontribusinya dianggap tiPa-dak signifikan.
Operator massa memiliki bentuk sederhana sebagai
Σ = S+βV, (2.38)
yang nilainya ditentukan dengan menghitung kerapatan skalar
ρs =hA|ψψ|Ai, (2.40)
dan kerapatan vektor
ρv =hA|ψ+
Energi kinetik adalah nilai eigen dari operator (2.36)
εk =V ±E∗(k), (2.42)
dimanaE∗(k) = √k2+M∗2, danM∗ =M+S adalah massa efektif dari nukleon.
Fungsi eigennya adalah spinor Dirac untuk energi positif dan negatif.
Sedangkan matriks diagonal untuk densitas skalar dan vektor adalah
ρs(ks,k′s′) = δ(k−k′)δss′v sehingga setelah dijumlahkan untuk semua k′dan s′ kita dapatkan kerapatan
skalar sebagai Sedangkan massa efektif menjadi
M∗ =M − g
Perhatikan di sini jika v2
diset sama dengan satu dan batas atas integrasi ∞ digantikan dengankF makaρs,ρv, danM∗kembali keρs,ρv, danM∗berdasarkan
pendekatan medan rata-rata yang manaoccupation numbersdidefinisikan sebagai
v2(k) = 1 parameter gap ditentukan dengan persamaan gap non-linear sebagai
Persamaan ini merupakan hasil utama pada perhitungan ini.
Interaksi dalam particle-particle channel vpp memiliki kontribusi dari per-tukaran meson yang berbeda [5]
vpp =vppσ +vωpp (2.51)
yang mana kontribusi medan σ adalah [5]
vppσ (k, p) = − g
dan kontribusi medan ω adalah
vωpp(k, p) = g2
Bab 3
Hasil dan Pembahasan
3.1
Pengaruh
Cut Off
pada
△
(
k
)
Pada bab ini akan dihitung secara numerik secara silmultan (self consistent) per-samaan (2.45) sampai (2.53) untuk memperoleh △(k). Untuk memperoleh hasil yang berhingga pada persamaan (2.50), integral R0∞ diganti dengan
R∧c
0 yang mana ∧c adalah cutoff. Untuk melihat keterbergantungan gap (△) terhadap ∧c
pada subbab berikut akan dihitung △ dengan variasi ∧c. Hasilnya ada pada
gambar 3.1.
0 1 2 3 4 5
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
delta(k
F
)(MeV)
kF(fm-1)
Gamma=240 Gamma=260
Gamma=280
Gamma=300
Gambar 3.1: Hubungan pairing gappada permukaan Fermi △(k) terhadap mo-mentum Fermi kF
Gambar (3.1) menjelaskan hubungan antara momentum Fermi kF dengan gap (△), yang mana persamaan gap merupakan fungsi eksplisit dari kF. Ada-pun parameter set yang digunakan adalah parameter linear L-W. Harga kopling konstannya dapat dilihat pada lampiran 1. Yang ingin kita amati di sini adalah pengaruh cutoff terhadap gap, dimana dalam hal ini kita membandingkan hasil dari 4 nilai cutoff yaitu 240, 260, 280, dan 300. Pengaruh cutoff terlihat dari besarnya nilai peak dari gap dan pada nilai kF berapa terjadinya peak tersebut. Terlihat bahwa nilai-nilai yang dihasilkan tidak memiliki selisih yang terlalu be-sar, dengan kata lain pengaruh cutoff terhadap gap untuk keempat nilai tersebut tidak lah terlalu besar. Hal yang sama berlaku pula untuk nilai cutoff diatas 300, namun tidak demikian untuk nilai cutoff di bawah 240. Pada nilai cutoff dibawah 240 yang terjadi adalah kita memperoleh 2 peak yang nilainya berbe-da paberbe-da nilai kF yang berbeda. Dalam hal ini untuk nilai kF yang lebih kecil diperoleh peak yang lebih besar dibandingkan dengan peak pada kF yang lebih
0 1 2 3 4 5
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
Delta(k
F
)(MeV)
kF(fm-1)
Gamma=240, L-HS
Gamma=240, L-W
Gamma=240, L1
Gambar 3.2: Perbandingan pairing gap untuk 3 parameter yang berbeda
Pada gambar 3.2 diberikan perbandingan gap untuk parameter set yang berbe-da. Terlihat bahwa peak terjadi untuk nilai kF yang sama. Hal ini disebabkan
-4 -2 0 2 4 6
0 2 4 6 8 10 12
Delta(k)(MeV)
k(fm-1)
Gamma=200
Gamma=250
Gamma=260 Gamma=190
Gambar 3.3: Hubunganpairing gap terhadap momentum k
Pada gambar 3.3 dan 3.4 diberikan hubungan △(k) terhadap momentum k
untuk variasi ∧c dan parameter set. Gambar 3.3 menjelaskan hubungan gap
-4 -2 0 2 4 6
0 2 4 6 8 10 12
Delta(k)(MeV)
k(fm-1)
Gamma=200, L1
Gamma=200, L-W
Gamma=200, L-HS
Gambar 3.4: Perbandingan pairing gap untuk 3 parameter yang berbeda
-20 -10 0 10 20 30
0 5 10 15 20
Vpp
(fm
2 )
K(fm-1)
Gamma=200 Gamma=200, omega
Gamma=200, sigma
Gambar 3.5: Hubungan potensial terhadap momentumk
Pada gambar 3.5 ditunjukkan bagaimanainterplayantara kontribusi σ danω
meson (kanselasi dari potensial yang atraktif dan repulsif) pada potensial pairing
Vpp(k,kF). Gambar 3.5 menjelaskan hubungan potensial partikel-partikel sebagai fungsi k. Terlihat bahwa meson skalar memberikan kontribusi atraktif dan meson vektor memberikan kontribusi repulsif. Bagian meson skalar potensial partikel-partikelnya memiliki nilai yang terus naik hingga mendekati nilai nol. Sedangkan meson vektor nilainya terus turun hingga mendekati nilai nol. Gabungan dari meson skalar dan meson vektor memberikan bagian atraktif sampai batas k sek-itar 1.5 (fm) dan diatas itu memberikan bagian repulsif. Terlihat bahwa bagian repulsif mencapai nilai yang besar yakni 6 (fm2
-20 -10 0 10 20 30
0 5 10 15 20
Vpp
(fm
2 )
K(fm-1)
Gamma=200, L-HS
Gamma=200, L-W
Gamma=200, L1
Gambar 3.6: Perbandingan potensial Vpp(k,kF) untuk 3 parameter yang berbeda
Efekparameter setyang digunakan padaVpp(k,kF) dapat dilihat pada gambar
3.6. Pada perbandingan potensial dengan 3 parameter, data yang diambil sudah merupakan gabungan meson skalar dan meson vektor. Terlihat bahwa hasil yang diperoleh memiliki kecenderungan yang sama. Maksimum repulsif dicapai padak
sekitar 3 (fm) dengan nilai potensial sekitar 6 (fm2
). Demikian pula pada bagian atraktif terjadi sampai nilai k sekitar 1.5 (fm) dengan nilai maksimum atraktif sekitar -6 (fm2
). Sehingga dapat disimpulkan pada model linear Walecka, Vpp
3.2
Massa Efektif
M
∗Pada subbab ini akan dihitung efek superfluiditas pada massa efektif M∗. Pada
890 900 910 920 930 940 950
0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45 0.5 0.55 0.6
M
*
RH0
Gamma=200, L-W
medan rata-rata, L-W
Gamma=380, L-W
Gambar 3.7: Relasi M∗ denganρ
0
gambar 3.7 diberikan relasi M∗ terhadap ρ0. Tampak hasilnya linear. Hal ini
tampaknya tidak terlalu sesuai dengan yang diharapkan, yang mana M∗(ρ0)
se-harusnya tidak terlalu berbeda dengan M∗(ρ0) berdasarkan perhitungan medan
Bab 4
Kesimpulan
• Pairing gap sebagai fungsi kF sangat dipengaruhi oleh nilai cutoff,
sedan-gkan sebagai fungsi k tidak terlalu bergantung pada cutoff (pengaruh cut-offnya kecil).
• Pairing gapsebagai fungsikF dan sebagai fungsiktidak terlalu bergantung
pada parameter set yang digunakan.
• PotensialVppakan bersifat atraktif untuk momentum yang kecil. Sedangkan untuk momentum yang besar akan diperoleh potensial Vpp yang repulsif.
• M∗ sebagai fungsi ρ
Lampiran A
Parameter Set
yang Digunakan
Parameter set yang digunakan di sini dapat dilihat pada tabel di bawah ini [6].
Set
M
m
σm
ωg
σg
ωL-W
939.0 550.000 783.000
9.57269
11.67114
L-HS 939.0 520.000 783.000 10.47026 13.79966
Lampiran B
Alur Program
B.1
Inisialisasi
• konstanta awal
Konstanta awal diperlukan sebagai input pada program. Adapun konstanta yang kita masukkan adalah sebagai berikut:
k1 = 0, k2 = ∧2c,k3 =∧c, kF
Dapat dilihat bahwa di sini kita hanya menggunakan 3 titik.
• Menghitung M∗
Konstanta yang diperlukan disini adalah k dan V2
0 yang nilainya telah di-tentukan diatas. M∗ yang dituliskan disini sudah merupakan penjabaran
integral sampai suku ke-3, sesuai dengan jumlah titik yang ditentukan.
M∗ =M
dari sini dihasilkan M∗ awal yang kita beri nama M∗
0
• Menghitung E∗
k dan Ek
Yang pertama dihitung adalahE∗
kyang hasilnya akan dijadikan input untuk
menghitung Ek.
dari E∗
k inilah kita peroleh E∗
0 dari sini dihasilkan Ek yang kita beri nama E0
k
Semua nilai yang diperoleh dari penghitungan diatas, akan dijadikan konstanta dalam menghitung V(p, k) dan △(p) awal.
B.2
Iterasi
• Menghitung V(p, k):
Besarnya momentum p yang dimasukkan di sini adalah sama dengan k. Maka E∗
△(p) = ∧c/2
Dari sini dihasilkan △(p) yang selanjutnya diperlakukan sebagai △(k)
• Menghitung V2 (k): Terakhir dihitung V2
(k) yang merupakan bagian terpenting karena akan dijadikan input dalam program secara menyeluruh.
V2
Dari sini dihasilkan V2
(k) yang kita jadikan sebagai input V2 0
Kemudian dilakukan iterasi berulang dimana iterasi akan berhenti saat kondisi
V2
(k) = V2
Daftar Acuan
[1] Isaac Vidana and Laura Tolos, Superfluidity of Σ− Hyperons in β
-Stable Neutron Star Matter, Phys. Rev. Lett C 70, 028802 (2004) [2] F. Matera, G. Fabbri and A. Dellafiore, Relativistic Approach to
Su-perfluidity in Nuclear Matter, Phys. Rev. Lett C 56, 1 (1997)
[3] John Dirk Walecka, Theoritical Nuclear and Subnuclear Physics, Ox-ford University Press, 1995
[4] Parada T. P. Hutahuruk,Lintasan Bebas Rata-Rata Neutrino di Bin-tang Neutron, Tesis, 2004
[5] H. Kucharek and P. Ring, Relativistik Field Theory of Superfluidity in Nuclei, Hadrons and Nuclei 339, 23-35 (1991)
[6] K. C. Chung, C. S. Wang, A. J. Santiago, and J. W. Zhang,Nuclear Mat-ter Properties and Relativistic Mean-Field Theory, Eur. Phys. J. A9 (2000), 453-461
[7] F. B. Guimaraes, B. V. Carlson and T. Frederico, Hartree-Fock-Bogoliubov Approximation to Relativistic Nuclear Matter, Phys. Rev. Lett C 54, 5 (1996)
[8] Alexander L. Fetter and John Dirk Walecka, Quantum Theory of Many-Particle Systems, McGraw-Hill Book Company, 1971
[10] F. Montani, C. May, and H. Muther,Mean Field and Pairing Properties in The Crust of Neutron Stars, Phys. Rev. Lett C09 (2004)
[11] Xian-Rong Zhou, H. J. Schule, En-Guang Zhao, Feng Pan, and J. P. Draayer,
Pairing Gap in Neutron Stars, Phys. Rev. Lett C 70, 048802 (2004) [12] Isaac Vidana and Laura Tolos, Superfluidity of Σ− Hyperons in β