BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
No.464, 2010 KEMENTERIAN KESEHATAN. Pelayanan
Kedokteran. SPO.
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1438/MENKES/PER/IX/2010
TENTANG
STANDAR PELAYANAN KEDOKTERAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 44 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Standar Pelayanan Kedokteran;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
4. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 439/Menkes/Per/VI/2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG
STANDAR PELAYANAN KEDOKTERAN. BAB I
KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Standar Pelayanan Kedokteran adalah pedoman yang harus diikuti oleh
dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran.
2. Standar Prosedur Operasional, selanjutnya disingkat SPO adalah suatu
3. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
4. Strata Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah tingkatan pelayanan yang
standar tenaga dan peralatannya sesuai dengan kemampuan yang diberikan.
5. Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter
atau dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan.
6. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah tempat penyelenggaraan upaya
pelayanan kesehatan yang dapat digunakan untuk praktik kedokteran atau kedokteran gigi.
7. Kondisi adalah gambaran klinis yang berupa gejala dan/atau tanda yang
tampak pada pasien.
8. Organisasi profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia beserta Perhimpunan
Dokter Spesialis untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia beserta Perhimpunan Dokter Gigi Spesialis untuk dokter gigi.
9. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan.
BAB II TUJUAN
Pasal 2
Penyusunan Standar Pelayanan Kedokteran bertujuan untuk:
a. Memberikan jaminan kepada pasien untuk memperoleh pelayanan
kedokteran yang berdasarkan pada nilai ilmiah sesuai dengan kebutuhan medis pasien;
b. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan kedokteran yang
diberikan oleh dokter dan dokter gigi. BAB III PRINSIP DASAR
Pasal 3
(1) Standar Pelayanan Kedokteran meliputi Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran (PNPK) dan SPO.
(2) PNPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Standar Pelayanan
(3) SPO sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dan ditetapkan oleh pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan.
Pasal 4
(1) Standar Pelayanan Kedokteran disusun secara sistematis dengan
menggunakan pilihan pendekatan:
a. Pengelolaan penyakit dalam kondisi tunggal, yaitu tanpa penyakit lain atau komplikasi;
b. Pengelolaan berdasarkan kondisi.
(2) Standar Pelayanan Kedokteran dibuat dengan bahasa yang jelas, tidak bermakna ganda, menggunakan kata bantu kata kerja yang tepat, mudah dimengerti, terukur dan realistik.
(3) Standar Pelayanan Kedokteran harus sahih pada saat ditetapkan, mengacu pada kepustakaan terbaru dengan dukungan bukti klinis, dan dapat berdasarkan hasil penapisan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan atau institusi pendidikan kedokteran.
BAB IV
PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN
Pasal 5
Penyusunan PNPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dilakukan untuk penyakit atau kondisi yang memenuhi satu atau lebih kriteria sebagai berikut:
a. penyakit atau kondisiyang paling sering atau banyak terjadi;
b. penyakit atau kondisi yang memiliki risiko tinggi;
c. penyakit atau kondisiyang memerlukan biaya tinggi;
d. penyakit atau kondisi yang terdapat variasi/keragaman dalam
pengelolaannya.
Pasal 6
Pasal 7
PNPK memuat penyataan yang dibuat secara sistematis yang didasarkan pada
bukti ilmiah (scientific evidence) untuk membantu dokter dan dokter gigi serta
pembuat keputusan klinis tentang tata laksana penyakit atau kondisi klinis yang spesifik.
Pasal 8
PNPK harus ditinjau kembali dan diperbaharui sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran atau kedokteran gigi.
Pasal 9
Pemerintah dan organisasi profesi melakukan sosialisasi setiap adanya perubahan dan/atau perbaikan terhadap PNPK.
BAB V
STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL
Pasal 10
(1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan wajib memprakarsai penyusunan
SPO sesuai dengan jenis dan strata fasilitas pelayanan kesehatan yang dipimpinnya.
(2) PNPK harus dijadikan acuan pada penyusunan SPO di fasilitas pelayanan
kesehatan.
(3) SPO harus dijadikan panduan bagi seluruh tenaga kesehatan di fasilitas
pelayanan kesehatan dalam melaksanakan pelayanan kesehatan.
(4) SPO disusun dalam bentuk Panduan Praktik Klinis (clinical practice
guidelines) yang dapat dilengkapi dengan alur klinis (clinical pathway),
algoritme, protokol, prosedur atau standing order.
(5) Panduan Praktik Klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus memuat
sekurang-kurangnya mengenai pengertian, anamnesis, pemeriksaan fisik, kriteria diagnosis, diagnosis banding, pemeriksaan penunjang, terapi, edukasi, prognosis dan kepustakaan.
Pasal 11
Pasal 12
SPO harus selalu ditinjau kembali dan diperbaharui sekurang-kurangnya 2 (dua)
tahun sekali sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran atau kedokteran gigi.
BAB VI
KEPATUHAN KEPADA STANDAR
DAN PENYANGKALAN (DISCLAIMER)
Pasal 13
(1) Dokter dan dokter gigi serta tenaga kesehatan lainnya di fasilitas pelayanan
kesehatan harus mematuhi PNPK dan SPO sesuai dengan keputusan klinis yang diambilnya.
(2) Kepatuhan kepada PNPK dan SPO menjamin pemberian pelayanan
kesehatan dengan upaya terbaik di fasilitas pelayanan kesehatan, tetapi tidak menjamin keberhasilan upaya atau kesembuhan pasien;
(3) Modifikasi terhadap PNPK dan SPO hanya dapat dilakukan atas dasar
keadaan yang memaksa untuk kepentingan pasien, antara lain keadaan khusus pasien, kedaruratan, dan keterbatasan sumber daya.
(4) Modifikasi PNPK dan SPO sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
dicatat di dalam rekam medis.
BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 14
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota bersama dengan organisasi profesi melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi.
(2) Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, Menteri, Pemerintah Daerah
Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangan masing-masing dapat mengambil tindakan administratif.
(3) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
a. teguran lisan,
b. teguran tertulis, atau
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 15
(1) Standar Pelayanan dan SPO yang telah disusun sebelum ditetapkannya Peraturan ini dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diperbaharui.
(2) Organisasi profesi dalam menyusun PNPK, dan fasilitas pelayanan kesehatan dalam menyusun SPO harus menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan ini paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Peraturan ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 16
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 September 2010
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
ENDANG RAHAYU SEDYANINGSIH
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 24 September 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,