• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab III. Hasil dan Pembahasan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab III. Hasil dan Pembahasan"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

25

Bab III

Hasil dan Pembahasan

Bab 3 menguraikan formulasi model siklus hidup nyamuk Aedes aegypti, pengolahan dan analisis data serta model regresi data telur nyamuk hasil pengamatan

3.1 Siklus Hidup Nyamuk Aedes Aegypti

Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti terdiri dari empat fase, mulai dari telur, larva, pupa dan kemudian menjadi nyamuk dewasa. Fase-fase siklus hidup nyamuk

Aedes aegypti ini dapat dilihat pada tabel 3.1.

Tabel 3.1 Ringkasan siklus hidup nyamuk Aedes aegypti

No. Fase Keterangan

1. Telur 1. Telur menjadi larva dalam waktu 1 – 2 hari. 2. Ukuran telur 0.7 mm per butir

3. Bentuk telur ovoid

4. Telur diletakkan nyamuk satu per satu pada dinding bejana 1,5 cm di atas permukaan air.

5. Telur tidak berpelampung

6. Sekali bertelur nyamuk betina menghasilkan 100 butir

7. Telur kering dapat tahan 6 bulan

2. Larva • Terdapat empat tahapan perkembangan larva yang disebut instar.

• Tahapan perkembangan larva (instar) dari 1 sampai 4 memerlukan waktu 6 hari.

(2)

26 • Setelah mencapai instar ke-4 larva ada yang berubah menjadi

pupa.

• Larva memiliki sifon dengan satu kumpulan rambut • Pada waktu istirahat larva membentuk sudut dengan

permukaan air.

3. Pupa • Sebagian kecil tubuhnya kontak dengan permukaan air.

• Bentuk terompet panjang dan ramping.

Dalam 1 – 2 hari pupa menjadi nyamuk Aedes aegypti.

4. Nyamuk • Nyamuk Aedes aegypti rata-rata hidupnya 8 – 10 hari. • Panjang 3 – 4 mm.

• Bintik hitam dan putih pada badan dan kepala, dan punya ring putih di kakinya.

Sumber: data diolah dari berbagai sumber.

3.3 Formulasi Model Siklus Hidup Nyamuk Aedes Aegypti 3.3.1 Persamaan Model Matematika Siklus Hidup Nyamuk

Berdasarkan siklus model yang telah dipelajari sebelumnya seperti yang dirangkum pada sub bab 3.1, selanjutnya akan dibuat model matematis siklus hidup nyamuk Aedes aegypti. Dalam tugas akhir ini, model siklus hidup nyamuk Aedes

aegypti ini mengacu pada tulisan D. R. Miller, D. E. Weidhaas, dan R. C. Hall [2].

Dalam tulisannya, Miller, et al. [2] membangun model ini untuk memahami dan menjelaskan perilaku populasi nyamuk Culex pipiens quinquefasciatus secara rinci mulai dari fase telur sampai dengan fase dewasa dalam keadaan tunak serta parameter-parameter yang berpengaruh terhadap populasi nyamuk dalam setiap

(3)

27 tingkatan siklus hidupnya, seperti dapat dilihat pada gambar 3.1. Dalam model ini, siklus hidup nyamuk digambarkan dalam bentuk kompartemen yang dibagi menjadi interval-interval yang sama panjangnya (dalam kasus ini interval waktunya adalah hari).

Meskipun model kompartemen dalam [2] digunakan untuk menjelaskan nyamuk Culex pipiens quinquefasciatus, namun model ini dapat digunakan untuk menjelaskan populasi nyamuk Aedes aegypti yang digunakan sebagai objek penelitian tugas akhir ini. Secara umum, siklus hidup nyamuk Culex pipiens

quinquefasciatus dan Aedes aegypti mempunyai kesamaan, mulai dari fase telur,

larva, pupa, dan nyamuk dewasa, seperti dirangkum pada tabel 3.1.

Pada kondisi sesaat, model populasi nyamuk dapat dijelaskan dengan jumlah individu-individu yang berada dalam masing-masing interval atau kompartemen tersebut. Parameter-paremater yang menjelaskan peningkatan individu-individu populasi dari kompartemen ke kompartemen lainnya membolehkan model untuk mengikuti perkembangan suatu populasi sesuai dengan berjalannya waktu. Dalam model ini waktu intervalnya adalah satu hari karena untuk nyamuk lebih tepat horisontal waktunya adalah hari.

(4)

28 Gambar 3.1 Model kompartemen siklus hidup serangga nyamuk.

Sumber Miller, et. al [2]

Jika gambar 3.1 digunakan untuk memodelkan nyamuk Aedes aegypti, maka dapat dilihat bahwa masing-masing individu nyamuk diasumsikan pada kondisi saat ini berada dalam satu dari 21 kompartemen. Perpindahan dari satu blok ke blok lainnya, dalam model gambar 3.1, diindikasikan dengan garis panah tebal, yang diasumsikan memenuhi dengan pasti satu hari. Dari model gambar 3.1 dapat dinyatakan bahwa x1, x2,… ,x21 berturut-turut merupakan jumlah individual nyamuk

yang hidup pada hari 1, 2, 3, …, 21. Nilai subskrip 1, 2, 3, pada xi mengacu pada

posisi kompartemen model. Dalam model tersebut, terdapat perbedaan antara nyamuk jantan dan betina setelah ruang kamar x10. Untuk nyamuk jantan, fase yang

akan dilalui setelah fase pupa (x10) menjadi nyamuk jantan muda-1, x19, nyamuk

jantan muda-2, x20, sampai menjadi nyamuk dewasa, x21. Nyamuk dewasa pada

tahap ini (x21) akan membuahi betina untuk kemudian tetap bertahan pada sampai

akhirnya mati. Berbeda dengan nyamuk jantan, untuk nyamuk betina, tahapan yang dilalui setelah fase pupa x10 adalah nyamuk betina muda-1, x11, nyamuk betina

(5)

29 Untuk nyamuk betina dewasa, setelah tahap x18, nyamuk tersebut kembali ke tahap

G1, x14, tahap nyamuk betina dewasa yang dibuahi nyamuk jantan dewasa.

Pada model tersebut terdapat beberapa fraksi P, yaitu P1, P2, P3, P4, P5, dan

P6. Nilai probabilitas yang ada tersebut merupakan nilai-nilai parameter untuk

menjelaskan empat tahapan yang berbeda. Akan tetapi dalam kenyataannya, nilai-nilai parameter ini sangat sulit untuk didapatkan. Dari model, P1 merupakan fraksi

yang menyatakan peluang larva berubah menjadi pupa setelah 4 hari (x6) dari fase

larva. P2 merupakan peluang seekor larva berubah menjadi pupa pada hari ke-5 (x7)

dari fase larva. P3 merupakan peluang pupa menjadi nyamuk betina muda. Nyamuk

betina muda menjadi dewasa dalam dua hari, dan fraksi nyamuk muda dinyatakan dengan parameter P4. P4 merupakan peluang seekor nyamuk betina dibuahi tepat 1

hari setelah fase pupa, yaitu pada fase nyamuk betina muda (x11). P5 merupakan

peluang seekor nyamuk betina bertelur, tepat 2 hari setelah dibuahi. P6 adalah

peluang seekor nyamuk betina bertelur, tepat 3 hari setelah dibuahi. Penjelasan tingkat bertahan hidup nyamuk sulit untuk diprediksi lebih akurat. Pada tahapan dewasa, diasumsikan bahwa kematian nyamuk tetap setelah kemunculannya. Salah satu kondisi terpenting dalam kematian nyamuk adalah pada fase larva akhir. Pada fase ini akan masuk akal jika diasumsikan fraksi bertahan hidup akan berkurang dengan meningkatnya kerapatan populasi kondisi maksimum 1 ke kondisi minimal 0. Parameter ini dinyatakan dengan N. Tingkat kematian larva diasumsikan terjadi pada semua tahapan keempat fase tersebut untuk penyederhanaan. Disamping parameter P, terdapat beberapa parameter lainnya, yaitu: R yang menyatakan jumlah rata-rata telur nyamuk, F merupakan fraksi fertilitas telur menjadi larva, D adalah

(6)

30 peluang hidup nyamuk dari fase larva ke fase pupa, dan s adalah peluang hidup nyamuk setelah fase pupa.

Selanjutnya berdasarkan gambar 3.1 persamaan-persamaan yang menyatakan populasi siklus hidup nyamuk dapat dinyatakan dengan persamaan-persamaan x1(k)

sampai persamaan x21(k) berikut. Jumlah telur hari pertama pada hari k+1 akan

bergantung pada jumlah nyamuk betina yang bertelur pada hari k dalam media R, sebagai berikut.

x

1

(k+1) = Rx

18

(k)

(3.1)

Selanjutnya jumlah seluruh telur sampai hari kedua akan berjumlah

x

2

(k+1) = x

1

(k)

(3.2)

Diasumsikan bahwa tidak semua telur dapat menetas menjadi larva. Terdapat parameter F yang menyatakan peluang telur menjadi larva. Parameter ini bergantung pada beberapa kriteria, termasuk kondisi lingkungan, persaingan dan lain-lain). Parameter F merupakan parameter yang dapat mengendalikan jumlah telur menjadi larva, sehingga persamaan pada fase ini adalah sebagai berikut.

x

3

(k+1) = F.x

2

(k)

(3.3)

x

3

(k+1)

merupakan hari pertama nyamuk dalam fase larva atau hari ketiga dari

siklus. Selanjutnya persamaan dalam fase larva, berturut-turut dapat dilihat pada persamaan (3.4) sampai dengan (3.6).

x

4

(k+1) = x

3

(k)

(3.4)

x

5

(k+1) = x

4

(k)

(3.5)

(7)

31 Pada persamaan (3.6) terdapat parameter D yang menyatakan fungsi bertahan hidup nyamuk, dan dalam kasus ini dinyatakan dengan persamaan berikut.

D = 0.9 – 0.89 x

5

/N

Nilai N merupakan nilai populasi tunak pada hari keempat pada fase larva. Untuk penyederhanaan, jumlah larva secara substansial akan bertambah besar dan nilai N juga akan bertambah besar. Untuk nilai x5 lebih besar dari N, nilai D dapat diset

menjadi 0.01 untuk menghindari nilai negatif.

Selajutnya dari gambar 3.1 tersebut, persamaan-persamaan berikutnya akan dinyatakan sebagai berikut.

x

7

(k+1) = (1-P

1

). x

6

(k)

(3.7)

(3.7) adalah persamaan yang menyatakan sebagian larva menjadi pupa pada hari ke-5 fase larva dengan peluang (1-P1).

x

8

(k+1) = (1-P

2

) x

7

(k)

(3.8)

(3.8) menyatakan persamaan sisa larva yang ada berubah menjadi pupa pada hari ke-6 fase larva dengan peluang (1-P2).

x

9

(k+1) = P

1

x

6

(k) + P

2

x

7

(k) + x

8

(k)

(3.9)

(3.9) menyatakan persamaan hari dimana seluruh nyamuk dari fase larva telah menjadi pupa dan yang tidak berubah diasumsikan musnah.

x

10

(k+1) = x

9

(k)

(3.10)

(3.10) menyatakan persamaan hari kedua dalam fase pupa

(8)

32 (3.11) menyatakan persamaan hari pertama nyamuk betina muda. Dalam persamaan ini nilai parameter P3 adalah peluang munculnya nyamuk betina muda dari fase

pupa. Mulai hari ke-1 dari fase ini ada parameter tambahan yaitu s. Paremeter s timbul karena nyamuk telah dapat terbang, sehingga nyamuk mempunyai peluang mati karena faktor lingkungan pada saat nyamuk terbang.

x

12

(k+1) = (1-P

4

) s x

11

(k)

(3.12)

(3.12) menyatakan persamaan hari kedua nyamuk dalam fase nyamuk betina muda. Pada hari kedua ini nyamuk betina dapat dibuahi oleh jantan. Oleh karena itu muncul peluang dibuahi pada hari ini adalah (1-P4).

x

13

(k+1) = P

4

s x

11

(k) + s x

12

(k)

(3.13)

(3.13) menyatakan persamaan hari pertama nyamuk dalam kondisi telah dibuahi. Pada fase kawin, jumlah nyamuk merupakan penjumlahan dari jumlah nyamuk betina muda yang dibuahi pada hari pertama ditambah nyamuk betina muda yang dibuahi pada hari kedua.

x

14

(k+1) = s x

13

(k) + s x

18

(k)

(3.14)

(3.14) merupakan persamaan hari pertama nyamuk mengandung atau hari pertama nyamuk siap bertelur (G1). Jumlah nyamuk pada fase G1 adalah nyamuk yang telah

dibuahi ditambah nyamuk yang telah bertelur, namun akan bertelur lagi. Ini terdapat pada penjelasan model bagan siklus hidup nyamuk.

x

15

(k+1)=s x

14

(k)

(3.15)

(3.15) merupakan persamaan hari dimana nyamuk yang telah siap bertelur, bertelur tepat pada satu hari setelahnya.

(9)

33 (3.16) merupakan persamaan hari nyamuk bertelur tepat 2 hari setelah siap bertelur.

x

17

(k+1) = (1-P

6

) s x

16

(k)

(3.17)

(3.17) merupakan persamaan hari nyamuk bertelur tepat 3 hari setelah siap bertelur.

x

18

(k+1) = P

5

s x

15

(k) + P

6

s x

16

(k)+P

7

s x

17

(k)

(3.18)

(3.18) merupakan persamaan hari dimana nyamuk telah bertelur. Jumlahnya adalah hasil penjumlahan dari fase nyamuk bertelur. Pada tahap ini nyamuk yang telah bertelur dan akan bertelur lagi kembali pada fase G1.

Setelah sampai pada x18, telur nyamuk akan berada dalam siklus, yaitu mulai

dari x1 dan akan mengikuti iterasi hingga sampai ia bertelur (untuk betina) atau

membuahi (jantan) kemudian pada suatu saat akan mati. Selanjutnya persamaan (3.19) menyatakan persamaan hari pertama nyamuk menjadi nyamuk jantan muda. Peluang menjadi nyamuk jantan muda adalah 1-P3.

x

19

(k+1) = (1-P

3

) s x

10

(k)

(3.19)

x

20

(k+1) = s x

19

(k)

(3.20)

(3.20) menyatakan persamaan hari kedua nyamuk dalam fase nyamuk jantan muda.

x

21

(k+1) = s x

20

(k) + s x

21

(k)

(3.21)

(3.21) menyatakan persamaan hari dimana nyamuk jantan muda menjadi dewasa. Nyamuk dapat menjadi dewasa hanya dalam 1 hari, karena itu x21 (t) adalah

penjumlahan dari 2 hari sebelumnya. Tidak seperti betina, nyamuk jantan tidak dapat membuahi betina jika belum dewasa. Sedangkan nyamuk betina sudah dapat dibuahi semenjak menjadi nyamuk muda pada hari pertama.

(10)

34 Dari gambar 3.1 didapatkan bahwa terdapat 21 persamaan dengan 21 variabel yang tidak diketahui mulai dari x1 sampai dengan x21. Jika diasumsikan

bahwa semua tahapan populasi nyamuk tersebut dalam keadaan setimbang sesuai dengan berjalannya waktu, seluruh k dalam persamaan-persamaan tersebut dapat diabaikan. Dengan demikian, kondisi tunak tersebut dapat digunakan untuk mendapatkan solusi xi di tahapan manapun. Dari gambar 3.1, dapat diamati bahwa

tahapan siklus tersebut dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu: a. Bagian linear

Bagian linier ini dimulai dari fase telur sampai fase pupa. Dalam bagian ini terdapat beberapa faktor (parameter) yang mempengaruhi, yaitu D, F dan R, yang semua nilainya tetap (semua fase dalam keadaan setimbang).

b. Bagian yang dimulai dari muculnya nyamuk sampai proses kawin terdapat faktor s, yaitu “survival rate”, parameter P3, dan P4

c. Bagian peletakkan telur oleh nyamuk betina yang telah dibuahi terdapat faktor s, P5, dan P6.

Langkah awal proses kondisi tunak dimulai dari bagian c. Persamaan (3.22) merupakan probabilitas bahwa nyamuk betina pada tahap G1 (blok 14) akan bertahan hidup cukup lama untuk bertelur, misalnya sampai mencapai blok 18.

P

e

= P

5

s

2

+ P

6

(1-P

5

)s

3

+ (1-P

5

)(1-P

6

)s

4 (3.22) dimana Pe adalah probabilitas nyamuk betina yang dapat bertahan hidup

cukup lama dari pembuahan hari pertama sampai menaruh telur sebanyak satu kali. Namun ada kemungkinan nyamuk betina tersebut dapat menaruh telurnya lebih dari satu kali ke dalam ovitrap. Anggaplah setelah menaruh telur nyamuk tersebut akan

(11)

35 menaruh telurnya kembali ke dalam ovitrap yang sama, maka probabilitas nyamuk betina tersebut menaruh telur sebanyak 2 kali adalah

sP

e. Dengan asumsi yang

sama, probabilitas nyamuk betina yang menaruh telur sebanyak 3 kali adalah

sP

e2 dan seterusnya. Dari sini didapatkan ekspektasi banyaknya nyamuk betina menaruh telur ke ovitrap adalah Nr, dan dinyatakan dengan persamaan (3.23).

e e 2 e e e e e

sP

1

P

...

)

(sP

P

)

(sP

P

P

=

+

+

+

(3.23) Akhirnya nilai e e

sP

P

Nr

=

1

jumlah kemungkinan telur yang dihasilkan nyamuk betina selama hidupnya sejak kawin.

Selanjutnya dari bagian b dapat dicari nilai probabilitas bahwa nyamuk betina yang lahir baru akan bertahan untuk kawin, dan P3 merupakan probabilitas

munculnya nyamuk dewasa adalah betina. Dengan demikian, perkalian semua ini akan menghasilkan persamaan (3.24)

)]

P

(

s

P

s

[

P

RN

N

e

=

r 3 2 4

+

3

1−

4 (3.24)

Jika nilai Ne pada persamaan (3.24) ini digabungkan ke dalam bagian a akan menghasilkan persamaan (3.25)

1

1

1

1

1

1

1

1

1

4 6 5 3 5 6 2 5 4 4 3 4 4 6 5 3 5 6 2 5

=

+

+

+

+

+

DFR

]

s

)

P

(

)

P

(

s

)

P

(

P

s

P

[

s

]

s

)

P

(

s

P

][

s

)

P

(

)

P

(

s

)

P

(

P

s

P

[

(3.25)

Karena parameter F dan D berada dalam keadaan setimbang, maka persamaan kondisi tunaknya menjadi persamaan (3.26)

(12)

36 3.3 Hasil dan Pengolahan Data Telur Nyamuk

3.3.1 Lokasi Pengamatan Telur Nyamuk

Pengamatan dan pegumpulan data telur nyamuk Aedes aegypti dilakukan dengan menempatkan ovitrap nyamuk sebanyak 50 buah yang diletakkan di lokasi lingkungan gedung Labtek III, Departemen Matematika, ITB. Pengumpulan data telur ini dimaksudkan untuk mendapatkan salah satu parameter model, yaitu rata-rata telur nyamuk, R, seperti telah diuraikan pada sub bab 3.2.

Seperti dijelaskan pada sub bab 2.1.3 e, nyamuk Aedes aegypti menyukai tempat gelap yang tersembunyi sebagai tempat beristirahat dan berkembang biaknya, dan telur nyamuk banyak ditemukan tidak jauh dari lokasi tempat beristirahatnya [3]. Atas dasar tersebut, dipilihlah lokasi-lokasi tempat menyimpan ovitrap nyamuk percobaan tersebut. Adapun lokasi yang tempat penyimpanan ovitrap adalah sebagai berikut:

a. Lantai dasar

Lokasi di dekat AC sebanyak 4 ovitrap, di selasar sebanyak 5 ovitrap, di depan kantor TU sebanyak 3 ovitrap, di depan ruang rapat sebanyak 2 ovitrap,

b. Lantai I

Di lorong I sebanyak 6 ovitrap, di lorong II sebanyak 7 ovitrap, dan di taman sebanyak 9 ovitrap.

(13)

37 Gambar 3.2 Ovitrap yang digunakan dalam penelitian

3.3.2 Ovitrap Nyamuk

Ovitrap nyamuk yang digunakan untuk mengamati dan mendata jumlah telur nyamuk Aedes aegypti terbuat dari bekas gelas air mineral yang dicat berwarna hitam, sedangkan tempat nyamuk betina menempatkan telur digunakan stik es krim, seperti dapat dilihat pada gambar 3.2.

3.3.3 Waktu Pengamatan Telur Nyamuk

Pengamatan dan pengumpulan data penelitian telur nyamuk Aedes aegypti dilakukan selama dua minggu berturut-turut.

No Lantai Jumlah Ovitrap(posisi) Jumlah Telur Minggu I Minggu I (%) Minggu II Minggu II (%) 1 Dasar 4 (dekat AC) 111 26.81 61 18.60

2 5 (selasar) 70 16.91 35 10.67

3 3 (depan TU) 28 6.76 21 6.40

4 7 (Rudis) 37 8.94 47 14.33

(14)

38 Tabel 3.2 Data populasi telur hasil pengamatan

3.3.4 Hasil Pengamatan Telur Nyamuk

Hasil pengamatan jumlah telur pada ovitrap yang dilakukan dengan lokasi berbeda di lingkungan gedung Matematika ITB dapat dilihat pada tabel 3.2. Dari tabel 3.1 dapat dilihat bahwa pada minggu I, populasi telur nyamuk terbanyak berada di lokasi lantai dasar dekat AC sebanyak 111 buah atau sebesar 26,81 %, sedangkan populasi telur nyamuk terkecil berada di lokasi lantai dasar lorong I sebanyak 25 buah atau sebesar 6,04 %. Pada minggu II, populasi telur nyamuk terbanyak berada di lokasi lantai I taman sebanyak 97 buah atau sebesar 29,57 %, sedangkan populasi telur nyamuk terkecil berada di lantai I lorong II sebanyak 0 atau sebesar 0 %Gambar 3.3, gambar 3.3, dan gambar 3.4 berturut-turut merupakan grafik jumlah telur nyamuk pada pengamatan minggu I, grafik jumlah telur nyamuk pada pengamatan minggu II, dan grafik jumlah telur nyamuk pada minggu I dan minggu II digabungkan. Pada minggu I, jumlah telur nyamuk Aedes aegypti berturut-turut dari yang paling banyak berada di dekat AC, selasar, taman, depan ruang rapat, rudis, depan TU, lorong II, dan lorong I. Di lokasi lantai dasar, jumlah telur nyamuk yang paling banyak terdapat di dekat AC, selasar, rudis, dan depan TU. Kondisi ini polanya tidak jauh berbeda dengan jumlah telur nyamuk hasil

6 6 (lorong I) 25 6.04 23 7.01

7 7 (lorong II) 28 6.76 0 0.00

8 9 (taman) 67 16.18 97 29.57

(15)

pengamatan minggu II. Begitu

minggu I, jumlah telur nyamuk yang terdapat di ovitrap dari yang paling banyak berturut-turut adalah lokasi taman, depan ruang rapat, lorong II, dan lorong I. Kondisi ini polanya tidak jauh berbeda dengan ha

minggu II, seperti pada gambar 3.5.

Gambar 3.3 Jumlah telur nyamuk pada pengamatan minggu I

Gambar 3.4 Jumlah Telur Nyamuk Pengamatan Minggu II

0 20 40 60 80 100 120

Jumlah Telur Nyamuk Pada Pengamatan Minggu I

0 20 40 60 80 100

Jumlah Telur Nyamuk Pada Pengamatan Minggu II

pengamatan minggu II. Begitu juga dengan pengamatan di lokasi lantai I, pada minggu I, jumlah telur nyamuk yang terdapat di ovitrap dari yang paling banyak turut adalah lokasi taman, depan ruang rapat, lorong II, dan lorong I. Kondisi ini polanya tidak jauh berbeda dengan hasil pengamatan telur nyamuk pada minggu II, seperti pada gambar 3.5.

Gambar 3.3 Jumlah telur nyamuk pada pengamatan minggu I

Gambar 3.4 Jumlah Telur Nyamuk Pengamatan Minggu II Jumlah Telur Nyamuk Pada Pengamatan Minggu I

Jumlah Telur

Lokasi ovitrap

Jumlah Telur Nyamuk Pada Pengamatan Minggu II

Jumlah Telur

Lokasi ovitrap

39 juga dengan pengamatan di lokasi lantai I, pada minggu I, jumlah telur nyamuk yang terdapat di ovitrap dari yang paling banyak turut adalah lokasi taman, depan ruang rapat, lorong II, dan lorong I. sil pengamatan telur nyamuk pada

Gambar 3.3 Jumlah telur nyamuk pada pengamatan minggu I

Jumlah Telur

Lokasi ovitrap

Jumlah Telur

(16)

Gambar 3.5 Jumlah Telur Nyamuk Pengamatan Minggu I dan II

3.4 Penjelasan Nilai Parameter Model

Untuk memahami dan mengendalikan dinamika populasi nyamuk

aegypti, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengetahui parameter

parameter yang mempunyai pengaruh penting dalam dinamika populasi nyamuk model yang telah dibangun sebelumnya. Pada sub bab 3.1 telah diformulasikan model matematika siklus hidup nyamuk

terdiri dari 21 persamaan dengan 21 variabel yang tidak diketahui mulai dari x sampai dengan x21. Variabel

x3 sampai dengan x8 menyatakan populasi nyamuk pada fase larva, variabel x

x10 merupakan populasi nyamuk fase pupa, dan x

populasi dalam fase nyamuk dewasa. P fraksi P1, P2, P3, P4, P5, dan P

merupakan nilai-nilai parameter untuk menjelaskan empat tahapan nyamuk yang berbeda. Seperti telah dijelaskan sebelumnya,

0 20 40 60 80 100 120

Jumlah Telur Nyamuk Pada Pengamatan Minggu I dan II

Gambar 3.5 Jumlah Telur Nyamuk Pengamatan Minggu I dan II

asan Nilai Parameter Model

ntuk memahami dan mengendalikan dinamika populasi nyamuk , salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengetahui parameter parameter yang mempunyai pengaruh penting dalam dinamika populasi nyamuk

yang telah dibangun sebelumnya. Pada sub bab 3.1 telah diformulasikan model matematika siklus hidup nyamuk Aedes aegypti. Formulasi model tersebut 21 persamaan dengan 21 variabel yang tidak diketahui mulai dari x

. Variabel x1 dan x2 menyatakan populasi telur nyamuk, variabel

menyatakan populasi nyamuk pada fase larva, variabel x merupakan populasi nyamuk fase pupa, dan x11 sampai dengan x21 menyatakan

populasi dalam fase nyamuk dewasa. Pada model ini terdapat 6 parameter lain, yaitu , dan P6. Nilai parameter ini berkisar antara 0 sampai 1,

nilai parameter untuk menjelaskan empat tahapan siklus hidup . Seperti telah dijelaskan sebelumnya, parameter P1

Jumlah Telur Nyamuk Pada Pengamatan Minggu I dan II

Jumlah Telur m 1

Jumlah Telur m 2

Lokasi ovitrap

40 Gambar 3.5 Jumlah Telur Nyamuk Pengamatan Minggu I dan II

ntuk memahami dan mengendalikan dinamika populasi nyamuk Aedes , salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengetahui parameter-parameter yang mempunyai pengaruh penting dalam dinamika populasi nyamuk dari

yang telah dibangun sebelumnya. Pada sub bab 3.1 telah diformulasikan . Formulasi model tersebut 21 persamaan dengan 21 variabel yang tidak diketahui mulai dari x1

menyatakan populasi telur nyamuk, variabel menyatakan populasi nyamuk pada fase larva, variabel x9 dan

menyatakan ini terdapat 6 parameter lain, yaitu parameter ini berkisar antara 0 sampai 1, siklus hidup

1 merupakan

Jumlah Telur m 1

(17)

41 fraksi yang menyatakan peluang larva berubah menjadi pupa setelah 4 hari dari fase larva. Nilai P1= 0.1 karena diasumsikan bahwa 10 % dari larva menjadi pupa pada

hari ke-4 setelah fase larva. P2 merupakan parameter probabilitas larva berubah

menjadi pupa setelah 5 hari dari fase larva. Nilai P2 = 0,1 atau P2 = 0,111. P3

merupakan peluang pupa menjadi nyamuk betina muda. Nilainya diasumsikan P3=0.7. P4 merupakan peluang seekor nyamuk betina dibuahi tepat 1 hari setelah

fase pupa, yaitu pada fase nyamuk betina muda (x11). Nilai P4 = 0.1. P5 merupakan

peluang seekor nyamuk betina bertelur, tepat 2 hari setelah dibuahi, nilainya adalah 0.5. Sedangkan P6 menyatakan peluang seekor nyamuk betina bertelur, tepat 3 hari

setelah dibuahi. Nilainya adalah 0.5. Dari beberapa publikasi [1], keberlangsungan hidup (bertahan hidup) nyamuk antara 90 % sampai 80%. Salah satu kondisi terpenting dalam kematian nyamuk adalah pada fase larva akhir. Pada fase ini akan masuk akal jika diasumsikan fraksi bertahan hidup akan berkurang dengan meningkatnya kerapatan populasi kondisi maksimum 1 ke kondisi minimal 0. Dalam model dapat diasumsikan bahwa kemampuan bertahan hidup pada saat kerapatan populasi rendah adalah 0.9, kondisi ini akan menurun menjadi 0.01 ketika populasi mencapai nilai tertentu. Parameter ini dinyatakan dengan N. Tingkat kematian larva diasumsikan terjadi pada semua tahapan keempat fase tersebut untuk penyederhanaan. Disamping parameter P, terdapat beberapa parameter lainnya, yaitu: R yang menyatakan jumlah rata-rata telur nyamuk, F merupakan peluang hidup nyamuk dari fase telur ke fase larva, D adalah peluang hidup nyamuk dari fase larva ke fase pupa, dan s adalah peluang hidup nyamuk setelah fase pupa. Secara lengkap nilai-nilai parameter model dapat dilihat pada tabel 3.3.

(18)

42 Dalam tugas akhir ini, data R diperoleh dengan cara melakukan pengamatan dengan memasang ovitrap yang digunakan untuk menangkap nyamuk di lingkungan matematika ITB. Dari percobaan ovitrap didapatkan nilai rata-rata banyaknya telur (R) dalam satu kali siklus hidup nyamuk, yaitu 50. Dari nilai parameter model di atas diperoleh bahwa probabilitas nyamuk betina yang bertahan hidup dari sejak menjadi nyamuk sampai melakukan pembuahan adalah 0.435. Faktor yang paling penting adalah banyaknya jumlah telur yang diharapkan dari pembuahan yang dilakukan (lebih atau sama dengan 1).

Selanjutnya dengan menggunakan persamaan (3.22), (3.23) dan (3.24) model Miller [2] serta nilai-nilai parameter tabel 3.3, nilai dari Pe, Nr dan Ne berturut-turut dapat dihitung sebagai berikut.

P

e

= P

5

s

2

+ P

6

(1-P

5

)s

3

+ (1-P

5

)(1-P

6

)s

4

= 0.5*0.75

2

+ 0.5 * (1-0.5)*0.75

3

+ (1-0.5)*(1-0.5)*0.75

4

= 0,466

e e

sP

P

Nr

=

1

1

0

75

0

465

465

0

.

*

.

.

=

= 0,537

)]

P

(

s

P

s

[

P

RN

N

e

=

r 3 2 4

+

3

1−

4

= 50*0.537*0.7*(0.75

2

*0.1+0.75

3

*(1-0.1))

= 8,19

Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa nilai Pe, probabilitas nyamuk betina yang dapat bertahan hidup cukup lama dari pembuahan hari pertama sampai menaruh

(19)

43 telur sebanyak satu kali adalah 0.46, nilai Nr, jumlah kemungkinan telur yang dihasilkan nyamuk betina selama hidupnya sejak kawin adalah 0.537, sedangkan nilai Ne, rata-rata telur yang diproduksi oleh nyamuk betina muda dalam siklus hidupnya adalah 8.19.

Salah satu parameter penting adalah jumlah ekspektasi telur dari total nyamuk yang beranjak dewasa, Ne = 8.19. Sebagai catatan bahwa gambaran ini

untuk keseluruhan nyamuk dewasa, termasuk nyamuk jantan. Berkaitan dengan ini, nilai rata-rata banyaknya telur per ovitrap per total nyamuk dewasa yang berhasil adalah 8.19/50 = 0.1638, dan nilai rata-rata banyaknya telur per ovitrap per nyamuk betina yang berhasil mencapai fase dewasa adalah 0.233.

Dari persamaan (3.26) diperoleh bahwa nilai D.F = 1/8.19 = 0.122 = 12.2 % untuk rate bertahan dari telur sampai menjadi dewasa. Jika nilai F = 1, tidak ada nyamuk jantan yang membuahi, kerapatan populasi akan mendekati maksimum, didefinisikan sebagai level dimana bertahannya fase larva berkurang sampai mendekati nilai 1 %.

Tabel 3.3 Nilai parameter model

No. Parameter Nilai Keterangan Sumber

1 P1 0.1 10 % dari larva menjadi pupa setelah

4 hari berada pada fase larva.

Miller,et. al. [1] 2 P2 0.11 11 % dari larva menjadi pupa setelah

5 hari berada pada fase larva.

Miller,et. al. [1] 3 P3 0.7 70 % pupa menjadi nyamuk betina Miller,et. al. [1]

4 P4 0.1 10 % nyamuk betina menjadi dewasa

dalam dua hari

Miller,et. al. [1] 5 P5 0.5 Nyamuk betina yang menghasilkan

telur setelah 3, 4 atau 5 hari inseminasi.

Miller,et. al. [1]

6 P6 0.5 Nyamuk betina yang menghasilkan

telur setelah 3, 4 atau 5 hari

(20)

44 inseminasi.

7 R 50 Rata-rata banyaknya telur (R) dalam satu kali siklus hidup nyamuk hasil pengamatan di lapangan

Pengamatan di lapangan 8 s 0.75 Probabilitas kemampuan bertahan

nyamuk

Miller,et. al. [1] 10 D 0.01 peluang hidup nyamuk dari fase

larva ke fase pupa

Miller,et. al. [1] 11 F 1 Fraksi fertilitas telur Miller,et. al. [1] 12 Pe 4.66 Probabilitas nyamuk betina yang

dapat bertahan hidup cukup lama dari pembuahan hari pertama sampai menaruh telur sebanyak satu kali

Perhitungan

13 Nr 0.537 jumlah kemungkinan telur yang dihasilkan nyamuk betina selama hidupnya sejak kawin

Perhitungan

14 Ne 8.19 Rata-rata telur yang diproduksi oleh nyamuk betina muda dalam siklus hidupnya.

Perhitungan

15 Ar 6.37 nilai ratio anhiliasi Perhitungan

Satu hal yang perlu di perhatikan adalah jika terdapat sejumlah kecil saja nyamuk dewasa yang mandul, menyebabkan nilai F berkurang secara drastis, dan kemudian menyebabkan meningkatnya faktor rate bertahan dari D.

Program melepaskan nyamuk jantan steril akan mempunyai hasil jika ia menyebabkan nilai F menurun sampai titik dimana bahkan suatu nilai maksimum untuk D tidak dapat mempertahankan nilai persamaan

N

e

DF=1

. Jika nilai Ne

konstan, dan jika nyamuk jantan steril sama bersaingnya dengan nyamuk jantan fertile, sehingga nilai F hanya merupakan rasio nyamuk jantan steril terhadap nyamuk jantan total. Nilai rasio ini dikenal dengan nilai ratio anhiliasi.

6.37

1

0.9

*

8.19

1

D

N

fertil

steril

Ar

=

=

e maks

=

=

(21)

45 Nilai Ar (atau rasio anhiliasi) ini juga berkaitan dengan potensial biotik sekitar 6.37

kali untuk populasi ini. Nilai sebenarnya bisa jadi lebih kecil dari nilai tersebut.

3.5 Analisis Regresi Linier Data Telur Nyamuk

Berdasarkan data telur nyamuk hasil pengamatan tabel 3.1, selanjutnya akan dicari persamaan regresi liniernya. Dari tabel 3.1 data hasil pengamatan, akan dicari persamaan regresi liniernya masing-masing untuk data lantai dasar, data lantai I, dan data gabungan antara lantai dasar dan lantai I. Pengolahan data untuk mencari persamaan regresi ini menggunakan paket program SPSS r.18.

3.5.1 Persamaan Regresi Data Pengamatan Lantai Dasar

Tabel 3.4 merupakan data hasil pengamatan telur nyamuk di lantai dasar gedung Departemen Matematika ITB yang diurutkan dari jumlah telur yang terkecil ke jumlah telur yang terbesar untuk minggu I.

Tabel 3.4 Data hasil pengamatan telur nyamuk di lantai dasar minggu I

Lokasi Jumlah Telur

Depan TU 1 28

Rudis 2 37

Selasar 3 70

(22)

46 Dengan menggunakan paket program SPSS, besarnya koefisien penduga, persamaan regresi dan grafik persamaan regresi liniernya data tabel 3.4 dapat dilihat pada gambar 3.6. Persamaan regresi linier data telur nyamuk di lantai dasar adalah sebagai berikut.

Y = -9,00 + 28,20 X

(3.27)

dengan X menyatakan jumlah lokasi ovitrap di lantai dasar Y menyatakan jumlah telur nyamuk

Dari pesamaan (3.27), nilai -9,00 merupakan parameter penduga bagi intersep, sedangkan nilai 28,200 merupakan penduga bagi koefisien regresi. Persamaan (3.27) tersebut dapat dituliskan kembali menjadi

Jumlah Telur Nyamuk = -9,00 + 28,20 x (lokasi ovitrap lt dasar m I) Jika lokasi ovitrap di lantai dasar jumlahnya bertambah sebanyak 1 satuan lokasi , maka jumlah telur nyamuk akan bertambah sebesar 19.2 buah ≅ 19 buah.

Model Summary and Parameter Estimates Dependent Variable:Jml_Telur

Equation Model Summary Parameter Estimates R Square F df1 df2 Sig. Constant b1

dime nsi

on 1

Linear .937 29.585 1 2 .032 -9.000 28.200

(23)

47 Gambar 3.6 Hasil pengolahan data telur nyamuk di lantai dasar minggu I:

koefisien regresi dan grafik persamaan regresinya.

Tabel 3.5 merupakan data hasil pengamatan telur nyamuk di lantai dasar gedung Departemen Matematika ITB yang diurutkan dari jumlah telur yang terkecil ke jumlah telur yang terbesar untuk minggu II.

Tabel 3.5 Data hasil pengamatan telur nyamuk di lantai dasar minggu II

Lokasi Jumlah Telur

Depan TU 5 21

Selasar 6 35

(24)

48

Dekat AC 8 61

Persamaan regresi linier data telur nyamuk di lantai dasar pada minggu II dari hasil pengolahan data tabel 3.5 menggunakan paket program SPSS adalah sebagai berikut.

Y = 8,00 + 13,200 X

(3.28)

dengan X menyatakan jumlah lokasi ovitrap di lantai dasar Y menyatakan jumlah telur nyamuk

Dari pesamaan (3.28) dapat dilihat bahwa nilai 8,00 merupakan parameter penduga bagi intersep, sedangkan nilai 13,20 merupakan penduga bagi koefisien regresi persamaan regresinya. Persamaan (3.28) tersebut dapat dituliskan kembali menjadi

Jumlah Telur Nyamuk = 8,00 + 13,200 x (lokasi ovitrap lt dasar m II)

Dari pesamaan (3.28) didaptkan bahwa jika lokasi ovitrap di lantai dasar minggu II jumlahnya bertambah sebanyak 1 satuan lokasi, maka jumlah telur nyamuk akan bertambah sebesar 21,2 buah ≅ 21 buah

Model Summary and Parameter Estimates Dependent Variable:Jml_Telur

Equation Model Summary Parameter Estimates R Square F df1 df2 Sig. Constant b1

(25)

49 dime nsi

on 1

Linear .999 2178.000 1 2 .000 8.000 13.200

The independent variable is Lokasi_Ovitrap.

Gambar 3.7 Hasil pengolahan data telur nyamuk di lantai dasar minggu II: koefisien regresi dan grafik persamaan regresinya.

Dari kedua persamaan regresi linier yang didapatkan dapat dilihat bahwa untuk setiap penambahan 1 ovitrap pada setiap data, jumlah telur akan bertambah masing-masing sebanyak 19 untuk minggu I dan 21 buah untuk minggu II. Jika kedua hasil ini dibandingkan dapat dilihat bahwa meskipun kedua hasil ini berbeda, namun perbedaan ini relatif kecil. Dengan demikian data kedua persamaan regresi ini masih dapat dianggap sama.

(26)

50 3.5.2 Persamaan Regresi Data Pengamatan Lantai I

Tabel 3.6 merupakan data hasil pengamatan telur nyamuk di lantai I gedung Departemen Matematika ITB yang sudah diurutkan dari mulai jumlah telur yang terkecil ke jumlah telur yang terbesar untuk minggu I.

Tabel 3.6 Data hasil pengamatan telur nyamuk di lantai I minggu I

Lokasi Jumlah Telur

Lorong I 1 25

Lorong II 2 28

R. rapat 3 48

Taman 4 67

Dengan menggunakan paket program SPSS, besarnya koefisien penduga, persamaan regresi dan grafik persamaan regresi liniernya data tabel 3.6 dapat dilihat pada gambar 3.8. Persamaan regresi linier data telur nyamuk di lantai dasar adalah sebagai berikut.

Y = 5,50 + 14,620 X

(3.29)

dengan X menyatakan jumlah lokasi ovitrap di lantai I Y menyatakan jumlah telur nyamuk

Dari pesamaan (3.29), nilai 5,50 merupakan parameter penduga bagi intersep, sedangkan nilai 14,620 merupakan penduga bagi koefisien regresi. Persamaan (3.29) tersebut dapat dituliskan kembali menjadi

(27)

51 Jika lokasi ovitrap di lantai dasar jumlahnya bertambah sebanyak 1 satuan lokasi , maka jumlah telur nyamuk akan bertambah sebesar 20,1 buah ≅ 20 buah.

Model Summary and Parameter Estimates Dependent Variable:Jml_Telur

Equation Model Summary Parameter Estimates R Square F df1 df2 Sig. Constant b1

dime nsi

on 1

Linear .930 26.579 1 2 .036 5.500 14.600

The independent variable is Lokasi_Ovitrap.

Gambar 3.8 Hasil pengolahan data telur nyamuk di lantai I minggu I: koefisien regresi dan grafik persamaan regresinya.

(28)

52 Tabel 3.7 merupakan data hasil pengamatan telur nyamuk di lantai I gedung Departemen Matematika ITB yang diurutkan dari jumlah telur yang terkecil ke jumlah telur yang terbesar untuk minggu II.

Tabel 3.7 Data hasil pengamatan telur nyamuk di lantai I minggu II

Lokasi Jumlah Telur

Lorong II 1 0

Lorong I 2 23

R. rapat 3 44

Taman 4 97

Dengan menggunakan paket program SPSS, besarnya koefisien penduga, persamaan regresi dan grafik persamaan regresi liniernya data tabel 3.7 dapat dilihat pada gambar 3.9. Persamaan regresi linier data telur nyamuk di lantai dasar adalah sebagai berikut.

Y = -37,00 +31,20 X

(3.30)

dengan X menyatakan jumlah lokasi ovitrap di lantai I Y menyatakan jumlah telur nyamuk

Dari pesamaan (3.30), nilai -37,00 merupakan parameter penduga bagi intersep, sedangkan nilai 31,200 merupakan penduga bagi koefisien regresi. Persamaan (3.30) tersebut dapat dituliskan kembali menjadi

Jumlah Telur Nyamuk

Y = -37,00 +31,20 x

(lokasi ovitrap lt I m II) Jika lokasi ovitrap di lantai dasar jumlahnya bertambah sebanyak 1 satuan lokasi , maka tidak ada penambahan jumlah telur (hasilnya negatif).

(29)

53

Model Summary and Parameter Estimates Dependent Variable:Jml_Telur

Equation Model Summary Parameter Estimates R Square F df1 df2 Sig. Constant b1

dime nsi

on 1

Linear .945 34.421 1 2 .028 -37.000 31.200

The independent variable is Lokasi_Ovitrap.

Gambar 3.9 Hasil pengolahan data telur nyamuk di lantai I minggu II: koefisien regresi dan grafik persamaan regresinya.

Dari kedua persamaan regresi linier yang didapatkan untuk lokasi lantai I dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan antara hasil minggu I dan hasil minggu II. Pada

(30)

54 minggu I, untuk setiap penambahan 1 ovitrap pada setiap data, jumlah telur akan bertambah 20 buah. Sedangkan hasil pada minggu II, setiap penambahan 1 ovitrap tidak ada penambahan telur. Besarnya perbedaan hasil antara minggu I dan minggu II karena pada pengamatan minggu II, data pengamatan di lokasi lorong II nilainya nol. Dugaan sementara data pengamatan di lorong II ini nol, karena lorong ini relatif sering dilewati orang, sehingga ovitrap yang ditempatkan di tempat ini seringkali harus diganti karena airnya seringkali tumpah akibat tersapu atau terinjak orang yang lewat.

3.5.3 Persamaan Regresi Data Pengamatan Lantai Dasar dan Lantai I

Jika hasil persamaan regresi linier lantai dasar (3.27) dan lantai I (3.29) untuk pengamatan minggu I dibandingkan, maka hasilnya dapat dilihat untuk setiap penambahan 1 lokasi ovitrap di kedua lantai tersebut, jumlah telur nyamuk akan bertambah masing-masing sebesar 19 dan 20 buah. Besar penambahan telur ini relatif sama untuk kedua lokasi ini untuk hasil persamaan regresi linier minggu I.

Untuk pengamatan minggu II, hasil persamaan regresi linier lantai dasar (3.28) dan lantai I (3.30) dapat dilihat bahwa untuk setiap penambahan 1 lokasi ovitrap di lantai dasar, jumlah telur akan bertambah sebanyak 21 buah, sedangkan di lokasi lantai I tidak ada penambahan.

Dari hasil pengamatan yang dilakukan selama dua minggu berturut-turut untuk kedua lokasi pengamatan yang berbeda (lantai dasar dan lantai I), secara umum dapat dilihat bahwa untuk setiap penambahan 1 lokasi ovitrap, baik minggu I maupun minggu II, jumlah telur yang akan bertambah jumlahnya relatif sama, rata-rata 20 buah (tanpa memasukkan data pengamatan di lantai I pada minggu II).

(31)

55 Seperti telah disinggung sebelumnya, adanya perbedaan mencolok hasil regresi linier data pengamatan di lantai I pada minggu II karena adanya data di lokasi lorong II yang hasilnya = 0. Tempat ovitrap di lorong II ini relatif mudah hilang atau tumpah airnya ketika orang melewati lorong ini. Ovitrap di lorong II seringkali harus diganti karena tumpah. Dengan demikian telur nyamuk di ovitrap ini tidak dapat diamati. Dari hasil pengamatan diperkirakan bahwa lokasi lantai dasar lebih disukai nyamuk Aedes aegypti untuk bertelur dibandingkan dengan lokasi lantai I. Lokasi lantai dasar merupakan lokasi yang lebih disukai nyamuk Aedes Aegypti karena tempatnya lebih rendah, lebih gelap, dan lebih tersembunyi dibandingkan lantai I.

Tabel 3.8 Nilai Ne, DF, dan Ar karena penambahan jumlah telur untuk per lokasi pengamatan Lokasi Penambahan telur (1 ovitrap) Ne D.F Ar Lantai dasar (data mg I) 19 11,307 0,088441 9,176259 Lantai dasar (data mg II) 21 11,6347 0,08595 9,471223 Lantai I (data mg I) 20 11,4708 0,087178 9,323741 Lantai I (data mg II) 0 8,19345 0,122049 6,374101

(32)

56 Dari uraian sub bab 3.1.1 terdapat beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menganalisis model tersebut dalam keadaan tunak. Parameter-parameter tersebut adalah Pe, Nr, Ne. Masing-masing nilai Pe, Nr, dan Ne hasil perhitungan

berdasarkan nilai-nilai parameter tabel 3.3 adalah 0.466, 0,537, dan 8,19. Dari percobaan ovitrap yang dilakukan di kedua lokasi pengamatan didapatkan nilai rata-rata banyaknya telur (R) dalam satu kali siklus hidup nyamuk, yaitu 50. Dengan menggunakan persamaan (3.24) diperoleh jika nilai nilai Ne, yaitu jumlah ekspektasi telur dari total nyamuk yang beranjak dewasa sebesar 8,19. Dalam perhitungan ini nilai telur nyamuk dianggap konstan.

Jika nilai telur nyamuk ini berubah (dianggap tidak konstan), hasil perhitungan persamaan regresi linier (lokasi lantai dasar, lantai I) digunakan terhadap persamaan (3.24), maka hasilnya dapat dilihat pada tabel 3.8. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa nilai R sekarang untuk masing-masing lokasi tersebut adalah 69, 71, 70, dan 50. Besarnya nilai Ne, DF, dan Ar untuk ketiga lokasi pengamatan sekarang dapat dilihat pada tabel 3.6. Dari tabel 3.5 untuk penambahan sebesar 1 satuan lokasi ovitrap, jumlah ekspektasi telur dari total nyamuk yang beranjak dewasa (Ne) masing-masing untuk lantai dasar dan lantai I sebesar 11.307, 11,367, 11,47, dan , 8,19. Sedangkan rate bertahan dari telur sampai menjadi dewasa (D.F) akan mengalami penurunan dengan semakin banyaknya jumlah telur. Sedangkan nilai ratio anhiliasi semakin bertambah dengan pertambahan rata-rata telur di lokasi pengamatan.

Dari tabel 3.8 diperoleh bahwa ketika jumlah telur nyamuk bertambah karena adanya penambahan ovitrap akan menyebabkan perubahan nilai Ne masing-masing sebesar 38 %, 42 %, 40%, 0%, pengurangan nilai DF masing-masing sebesar 27,52

Gambar

Tabel 3.1 Ringkasan siklus hidup nyamuk Aedes aegypti
Gambar 3.3 Jumlah telur nyamuk pada pengamatan minggu I
Gambar 3.5 Jumlah Telur Nyamuk Pengamatan Minggu I dan II
Tabel 3.3 Nilai parameter model
+7

Referensi

Dokumen terkait

Angka tersebut tentunya cukup menggembirakan karena merefleksikan keberpihakan perbankan dalam mendorong pengembangan UMKM di Provinsi Gorontalo.Dari ketiga jenis kredit UMKM

BAB 4 PEMBANGUNAN PRASARANA SEBELUM DAN SESUDAH AUTONOMI DAERAH DI TIGA KAWASAN KAJIAN (KOTA PEKANBARU, KABUPATEN INDRAGIRI HULU SERTA KABUPATEN INDRAGIRI HILIR)... 395 4.12

Dalam tulisan yang diterbitkannya pada tahun 1913, Seki menegaskan bahwa konsep Garden City tidak hanya sekedar konsep yang membahas mengenai solusi kebutuhan

Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Siswa SMP dalam Matematika melalui pendekatan Advokasi dengan Penyajian Masalah Open-Ended.. Tesis SPS UPI:

231 Menteng Dalam Tebet Jakarta Selatan, telp.

Dalam membengkokkan pipa tembaga agar dapat berbentuk spiral maka digunakan mesin roll atau alat pembengkok(manual) untuk membengkokkannya. Jika dalam proses membengkokkan pipa

(1) Saham yang dibeli kembali oleh perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, tidak dapat digunakan untuk mengeluarkan suara dalam RUPS dan tidak diperhitungkan dalam

berhubungan dengan pelaksanaan syariat Islam; aparat yang selama ini menjadi backing bisnis minuman keras, pelacuran, dan perjudian; aparat penegak syariat Islam yang