• Tidak ada hasil yang ditemukan

MIKROFISIKA AWAN DAN HUJAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MIKROFISIKA AWAN DAN HUJAN"

Copied!
282
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

MIKROFISIKA AWAN DAN HUJAN

BAYONG TJASYONO HK.

(4)

Bayong Tjasyono

Mikrofisika Awan Dan Hujan / Bayong Tjasyono- Jakarta: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

xxiv + 257 hlm: 16x21 cm ISBN: 978-979-1241-02-1

1. Meteorologi 1. Judul

551.6

Penulis : Bayong Tjasyono HK.

Editor & Reviwer : Hadi Widiyatmoko Ratna Satyaningsih Welly Fitria

Penerbit : Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

Jl. Angkasa 1 No.2 Kemayoran, Jakarta, Indonesia 10720 Telp. (6221) 4246321; Faks. (6221) 4246703

Cetakan I, Tahun 2007 Cetakan II, Tahun 2012

(5)

Kata Pengantar Penerbit

Cetakan ke-2

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya atas perkenanNya, buku Mikrofisika Awan dan Hujan dapat diterbitkan kembali untuk cetakan ke-2. Buku ini diterbitkan kembali atas dasar banyaknya permintaan dari para pengguna, yaitu peneliti, mahasiswa, dan dari lingkungan BMKG sendiri.

Penerbitan kembali untuk cetakan ke-2 ini dilakukan setelah proses penyempurnaan yaitu dengan mengkompilasi usulan perubahan/koreksi dari pengguna dan Reviewer yang secara khusus ditunjuk untuk memberikan masukan/koreksi baik dari segi penulisan maupun substansinya. Reviewer untuk buku ini adalah Drs. Hadi

Widiatmoko, M.Si yang dianggap mempunyai kompetensi di bidang

ini. Usulan perubahan tersebut kemudian disampaikan kepada Penulis untuk mendapat persetujuannya.

Besar harapan kami, buku ini dapat digunakan menjadi acuan baik untuk pembelajaran maupun penelitian, sehingga dapat mempunyai andil dalam pengembangan ilmu pengetahuan, utamanya di bidang meteorologi.

Kepada Reviewer dan Penulis kami mengucapkan terima kasih, mudah-mudahan usaha penyempurnaan buku ini bisa berlanjut, sehingga menjadi buku yang semakin berbobot.

Jakarta, Agustus 2012

Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika

(6)

Prakata

Buku Mikrofisika Awan dan Hujan dapat dibaca dan dimanfaatkan oleh para peneliti di bidang sains atmosfer dan meteorologi, serta dapat dipakai sebagai buku ajar dalam kuliah-kuliah program Sarjana, Magister dan Doktoral di bidang Sains Atmosfer, Fisika Atmosfer, Meteorologi Fisis, Modifikasi Cuaca, Agrometeorologi, Teknik Lingkungan, dan lain-lain. Konsentrasi buku ini adalah pada aspek mikrofisis awan terutama yang melibatkan proses-proses pembentukan tetes awan, kristal es dan tetes hujan. Di Indonesia, presipitasi dimaksudkan sebagai hujan, karena faktanya yang diukur adalah tetes-tetes air, meskipun kadang-kadang terjadi batu es (hail) tetapi segera meleleh sehingga menjadi tetes air ketika diukur oleh penakar hujan.

Buku Mikrofisika Awan dan Hujan, membahas sejarah perkembangan mikrofisika awan dan hujan, proses fisis uap air yaitu perubahan fasa uap yang memainkan peranan penting dalam mikrofisika awan. Aerosol atmosferik sebagai inti kondensasi awan sangat penting dalam proses pengintian heterogen. Formasi tetes awan yaitu pertumbuhan tetes dengan kondensasi. Pertumbuhan tetes awan melalui benturan–tangkapan menjadi tetes hujan. Pertumbuhan kristal es dengan difusi dan “akresi”. Modifikasi cuaca, modifikasi awan dan presipitasi, melenyapkan kabut, menindas batu es hujan dan mereda siklon tropis.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika melalui Pusat

Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) BMKG yang telah

(7)

Hujan sampai selesai. Kepada Prof. Dr. Mezak A. Ratag yang

mengevaluasi naskah buku ini kami mengucapkan terima kasih. Kepada Bapak Maman Sanukman yang telah membantu pengetikan dan Bapak Otang yang membuat gambar-gambar naskah buku ini, serta kepada semua pihak yang mendukung penyelesaian buku ini, kami mengucapkan terima kasih. Tidak pernah ada waktu yang ideal untuk menulis buku semacam ini. Karena itu kekurangan-kekurangan harap dimaklumi dan kritik membangun akan kami terima dengan senang hati. Akhirnya kami berharap semoga buku Mikrofisika Awan dan Hujan mencapai sasaran dan bermanfaat bagi pembacanya.

Bandung, 17 Juli 2007

Bayong Tjasyono HK.

Kelompok Keahlian Sains Atmosfer Institut Teknologi Bandung

(8)

Pengantar

Mikrofisika Awan dan Hujan

Mikrofisika awan dan hujan adalah cabang dari disiplin ilmu meteorologi fisis yang menekankan pada kajian proses-proses fisis

pembentukan partikel awan dan presipitasi (tetes hujan dan kristal es). Penekanan dari mikrofisika awan dan hujan adalah pada kajian tentang pembentukan awan dan pertumbuhan presipitasi. Pembentukan tetes awan dan interaksinya dalam pembentukan partikel presipitasi dikendalikan oleh proses-proses berskala sangat kecil (ukuran partikel awan dan presipitasi) yang disebut mikrofisika awan. Meskipun demikian makrofisika awan yaitu kendali proses berskala besar oleh gerak atmosfer yang menyebabkan terjadinya awan juga perlu diketahui. Kemajuan mikrofisika awan dan hujan masih terhambat oleh pengertian yang miskin tentang interelasi antara fenomena pengintian (nukleasi) pada skala molekuler dan dinamika sistem awan pada skala ratusan atau ribuan kilometer.

Studi awan sangat penting bagi meteorologiwan dan ilmuwan

atmosfer. Observasi dan fotografi awan merupakan alat yang sangat bernilai untuk menentukan karakteristik termodinamika dan dinamika udara yang selanjutnya dipakai dalam peramalan cuaca jangka pendek. Pentingnya studi awan karena awan adalah fasa yang penting dalam siklus air di atmosfer. Awan bertindak sebagai pengubah uap air (fasa gas) menjadi air (fasa cair) yang sangat dibutuhkan manusia, karena tanpa air manusia dipastikan tidak dapat mempertahankan hidup di bumi. Manusia dapat bertahan hidup tanpa makan sampai satu bulan,

(9)

jika kehilangan cairan tubuh lebih dari 1%, dan tanpa atmosfer hanya dapat bertahan hidup beberapa menit saja.

Awan adalah kumpulan butiran air dan kristal es yang sangat

kecil atau campuran keduanya dengan konsentrasi berorde 100 per centimeter kubik dan mempunyai radius sekitar 10 mikrometer. Awan terbentuk jika volume udara lembap mengalami pendinginan sampai di bawah temperatur titik embunnya. Dalam lapisan atmosfer di atas benua maritim Indonesia, pendinginan sangat sering disebabkan oleh ekspansi adiabatik udara yang naik melalui konveksi, orografi dan konvergensi. Jenis awan yang terbentuk disebut awan konvektif, awan orografik dan awan konvergensi. Pendinginan dapat juga disebabkan oleh proses radiatif atau percampuran udara yang berbeda temperatur dan kelembapannya.

Presipitasi (endapan) adalah bentuk air cair (hujan) atau bentuk

air padat (salju) yang jatuh sampai permukaan tanah. Jika sebelum mencapai permukaan, partikel air atau kristal es menguap, disebut virga atau stalaktit. Bentuk presipitasi adalah hujan, gerimis, salju, dan batu es hujan. Hujan adalah bentuk presipitasi yang sering dijumpai di bumi dan di Indonesia yang dimaksud dengan presipitasi adalah curah

hujan. Presipitasi berasal dari awan dan asal usul awan merupakan studi

khusus. Di atmosfer tidak terjadi pengintian homogen tetapi sebaliknya terjadi pengintian heterogen, karena atmosfer bebas selalu mengandung partikel aerosol yang bertindak sebagai inti kondensasi awan (IKA) atau inti es (IES).

Kondensasi uap air terjadi dalam bentuk tetes air, tetapi jika temperatur awan di bawah 0 C maka di dalam awan terdapat campuran kristal es dan tetes awan kelewat dingin sampai temperatur awan mencapai – 40 C. Di bawah temperatur ini (< -40 C), tetes awan kelewat dingin spontan membeku menjadi kristal es. Awan dengan temperatur > – 10 C, pada umumnya berisi tetes-tetes air, disebut

(10)

mempunyai temperatur < – 10 C berisi campuran tetes air kelewat dingin dan kristal es, disebut awan dingin atau awan campuran. Penggolongan ini didasarkan bahwa inti es mulai aktif pada temperatur sekitar – 10 C. Bagian awan yang mempunyai temperatur di atas 0 C seluruhnya berisi tetes-tetes air, bagian awan yang mempunyai temperatur antara 0 C dan – 40 C berisi tetes air kelewat dingin dan kristal es bagi yang menemukan inti es (IES), dan bagian awan dengan temperatur di bawah – 40 C berisi seluruhnya kristal es.

Partikel presipitasi (tetes hujan dan kristal es) akan tumbuh jika populasi awan menjadi tidak stabil. Kelabilan mikrostruktur awan

panas disebabkan oleh perbedaan ukuran tetes awan atau perbedaan

kecepatan jatuh terminal tetes. Sedangkan mikrostruktur awan dingin

tidak stabil akibat beda tekanan uap di atas air kelewat dingin (e ) dan s

tekanan uap di atas es (e ), dimana e > e pada temperatur di bawah 0 C i s i

yang sama. Ada dua mekanisme pertumbuhan partikel presipitasi.

Pertama, mekanisme Bowen – Ludlam atau proses kolisi – koalisensi. Dalam hal ini tetes (drop) membentur dan menangkap

butiran (droplet) awan, jadi tetes awan tumbuh menjadi tetes hujan (raindrops), sedangkan butiran awan melenyap. Kedua, mekanisme

Bergeron – Findeisen atau proses kristal es. Karena tekanan uap di

atas air kelewat dingin (e ) lebih besar dari pada tekanan uap di atas es s

(e ), maka tetes air kelewat dingin berdifusi ke kristal es, sehingga kristal i

es akan tumbuh dengan mengorbankan tetes air kelewat dingin.

Pertumbuhan butiran awan melalui kondensasi sangat lambat sehingga tidak dapat menjelaskan terbentuknya tetes hujan. Dari butiran awan mula-mula yang terbentuk oleh pengintian heterogen melalui inti kondensasi menjadi ukuran tetes dengan jari-jari 50 m diperlukan waktu lebih dari 10 jam, sedangkan waktu hidup awan pada umumnya berkisar dua jam. Dalam awan panas yang mengandung tetes berukuran heterogen akan menjadi labil akibat beda kecepatan jatuh

(11)

terminal di antara tetes-tetes awan. Pertumbuhan awan panas melibatkan fasa cair melalui mekanisme kolisi–koalisensi. Tetes yang mempunyai kecepatan terminal lebih cepat, akan menumbuk dan menangkap butiran (tetes kecil) yang mempunyai kecepatan terminal lambat dalam proses koleksi sehingga tetes awan tumbuh menjadi tetes hujan sedangkan butiran awan akan melenyap.

Jadi pertumbuhan tetes awan panas menjadi hujan adalah pertumbuhan gabungan, pertama oleh kondensasi melalui difusi molekul-molekul uap air, kemudian oleh koleksi butiran-butiran awan. Untuk membentuk satu tetes hujan diperlukan puluhan ribu sampai satu juta butiran awan melalui mekanisme kolisi–koalisensi. Pertumbuhan tetes dalam awan panas bergantung pada ukuran tetes dan butiran awan, kecepatan jatuh terminal tetes relatif terhadap butiran awan, kadar air awan, dan efisiensi koleksi yaitu hasil kali efisiensi kolisi dan efisiensi koalisensi.

Dalam awan dingin yang mengandung campuran tetes awan kelewat dingin dan kristal es, maka pertumbuhan partikel presipitasi melalui mekanisme kristal es dengan tiga cara : (i) melalui fasa uap air yaitu pertumbuhan massa kristal es oleh deposisi uap air seperti pertumbuhan butiran awan oleh kondensasi, (ii) melalui pembekuan tetes yaitu pertumbuhan partikel es oleh pembekuan tetes awan kelewat dingin ketika terjadi tumbukan antara partikel es dan tetes awan, pertumbuhan dengan cara ini dapat menghasilkan batu es hujan (hail

stone) dengan diameter 1 cm atau lebih, (iii) Melalui penggabungan

yaitu partikel es tumbuh melalui tumbukan dan penggabungan satu sama lain. Tumbukan terjadi karena ada beda kecepatan jatuh terminal diantara partikel es dan pelekatan terjadi terutama pada temperatur kristal es di atas – 5 C ketika permukaan es menjadi sangat lengket.

Curah hujan ekuatorial benua maritim Indonesia sangat

(12)

sebagai sumber bencana alam banjir dan kekeringan. Curah hujan Indonesia juga penting dalam cuaca dan iklim global. Dua pertiga jumlah curah hujan global terjadi di daerah tropis. Energi panas laten kondensasi yang dilepaskan ketika uap air berubah fasa menjadi tetes awan sebagian dipakai sebagai energi sirkulasi atmosfer global. Setiap

gram uap air yang berkondensasi menjadi tetes awan melepaskan

energi panas laten sekitar 2450 joule. Karena itu studi distribusi curah hujan secara geografis mencerminkan pemahaman distribusi sumber panas global yang menggerakkan mesin atmosfer global. Di Indonesia, curah hujan merupakan unsur peubah iklim ekuatorial sebagai indikator kuantitatif yang sangat penting, misalnya jumlah hujan tahunan, distribusi hujan musiman dan harian, intensitas hujan dan frekuensi hari hujan yang menunjukkan variasi spasial dan temporal.

Modifikasi cuaca sudah dilakukan sejak lebih dari 60 tahun yang lalu, yakni sejak percobaan pembenihan es kering yang dipimpin

oleh Vincent Schaefer dan Irving Langmuir pada tahun 1946. Kemudian pada tahun 1947, Vonnegut menemukan AgI yang dapat bertindak sebagai inti es. Sejarah modifikasi cuaca di Indonesia dimulai sejak percobaan hujan buatan dilaksanakan untuk mengisi air hujan di Waduk Jatiluhur pada tahun 1979. Dari jumlah curah hujan tahunan yang secara rata-rata mencapai di atas 2000 mm, terutama di kawasan Indonesia bagian barat, maka ketersediaan sumber daya air untuk pertanian berlimpah. Tetapi mengingat variasi curah hujan temporal dan spasial sangat besar, maka modifikasi cuaca terutama peningkatan jumlah curah hujan sangat diperlukan. Dalam irigasi modifikasi cuaca diperlukan untuk mengisi waduk ketika menjelang atau akhir musim hujan, sehingga periode pengairan untuk persawahan menjadi lama. Dalam pertanian, modifikasi cuaca diperlukan untuk memperpanjang jumlah curah hujan yang dibutuhkan tanaman padi sehingga meningkatkan jumlah dan hasil panenan.

(13)

Modifikasi cuaca berdasarkan pada prinsip-prinsip

mikrofisika awan dan hujan dengan memodifikasi awan secara

buatan atas usaha manusia untuk tujuan peningkatan curah hujan, menindas batu es hujan (hail stone), melenyapkan kabut atau awan rendah dan melerai siklon tropis. Modifikasi cuaca di Indonesia sebaiknya tidak dilakukan pada daerah bertekanan udara tinggi atau pada lereng di bawah angin, karena pada kedua daerah ini terjadi gerak turun udara (subsidensi) yang mengalami kompresi (lawan dari ekspansi) sehingga udara menjadi panas dan awan akan buyar. Modifikasi cuaca juga tidak dilakukan pada musim kemarau karena kelembapan kritis garam sebagai inti kondensasi awan tidak tercapai dan atmosfernya kurang labil. Modifikasi cuaca disarankan pada musim pancaroba dengan tujuan memperpanjang musim hujan dan memperpendek musim kemarau. Pada musim pancaroba atmosfernya masih labil dan kelembapan kritis garam masih dapat tercapai.

(14)

Daftar Gambar

Gambar 1.1. Bentuk utama awan : berserat, lapisan, dan gumpalan. Gambar 1.2. Awan stratus dan hubungannya dengan profil temperatur Gambar 1.3. Jenis cumulus dalam lapisan inversi. (a) Awan cerobong,

(b). Cumulus dempak

Gambar 3.1. Uap air dalam keseimbangan dengan permukaan cair Gambar 3.2. Tephigram untuk mencari temperatur titik embun dan

temperatur kondensasi isentropik P.

Gambar 3.3. Ekspansi sampel udara lanjutan (Gambar 3.2) di l u a r titik kondensasi isentropik P.

Gambar 3.4. Tephigram yang memuat pseudoadiabat dan garis uap Gambar 4.1. Diagram skematik yang menggambarkan cara tetes

berselaput dan tetes pancaran terbentuk jika gelembung udara pecah pada permukaan laut.

Gambar 4.2. Distribusi jumlah aerosol dalam pengukuran udara kontinental, udara laut, dan udara kota tercemar.

Gambar 4.3. Distribusi permukaan aerosol (a) dan volume aerosol (b), berdasarkan pengukuran ukuran aerosol di Denver, Colorado : udara kota tercemar, udara kontinental, dan udara kontinental dari abu gunung (Wallace, 1977). Gambar 4.4. Ketergantungan konsentrasi inti es (IES) pada

13 14 15 47 56 63 65 76 80 83 92

(15)

temperatur

Gambar 5.1a. Foto genus awan : 1. Cirrus, 2. Cirrocumulus, 3. Cirrostratus, 4. Altocumulus, 5. Altostratus, dan 6. Nimbostratus.

Gambar 5.1b. Lanjutan foto genus awan : 7. Stratocumulus, 8. Stratus kabut gunung, 9. Cumulus humilis, 10. Cumulus fraktus, 11. Cumulonimbus kapilatus, 12. Cumulonimbus presipitasio.

Gambar 5.2. Rasio jenuh keseimbangan sebuah tetes larutan yang terbentuk pada sebuah inti kondensasi ammonium sulfat. Gambar 5.3. Prosentase pengamatan dengan kelewat jenuh (s) kurang

dari nilai yang diberikan, untuk 338 sampel dari ketinggian 150 – 2100 m di atas dasar awan dan untuk 86 sampel diambil dalam 300 m dari dasar awan.

Gambar 5.4. Variasi frekuensi awan kelewat dingin dan awan yang mengandung kristal es (Pruppacher and Klet, 1980). Gambar 5.5. Penyajian skematik mikrostruktur awan campuran Gambar 6.1. Pertumbuhan butiran awan dengan kondensasi dalam

lingkungan konstan.

Gambar 6.2. Ketergantungan parameter pertumbuhan pada temperatur dan tekanan.

Gambar 6.3. Geometri tumbukan

Gambar 6.4. Trajektori pertumbuhan tetes di dalam awan dengan jari-jari awal R dan akhir R0

Gambar 6.5. Trajektori Bowen yang dihitung dengan kecepatan arus udara keatas (Rogers and Yao, 1989)

Gambar 6.6. Trajektori tetes yang dihitung dari efisiensi kolisi pada tabel 6.3 dengan menganggap efisiensi koalisensi satu. Gambar 6.7. Diameter tetes untuk trajektori seperti gambar 6.6.

107 108 114 117 119 120 132 134 138 144 145 146 147 154

(16)

Gambar 7.1. Mekanisme pengintian es dan bagan cara-cara inti es atmosferik dalam pembekuan es (Rogers and Yau, 1989). Gambar 7.2. Kelewat jenuh relatif terhadap es dalam atmosfer pada

keseimbangan kejenuhan relatif terhadap air.

Gambar 7.3. Penyajian skematik bentuk utama kristal es (Rogers, 1976).

Gambar 7.4. Bagian tipis melalui pusat pertumbuhan batu es.

Gambar 8.1. Waktu yang diperlukan sebuah kristal es dan butiran air untuk tumbuh dengan massa yang ditunjukkan pada absis

Gambar 8.2. Spektra dimensional tetes-tetes hujan

Gambar 8.3. Distribusi ukuran tetes yang diukur dibandingkan dengan kurva eksponensial (Marshall and Palmer, 1948)

Gambar 8.4. Distribusi ukuran keping-keping salju dalam suku diameter tetes yang dihasilkan oleh peleburan keping salju (Gunn and Marshall, 1958)

Gambar 9.1. Diagram skematik evolusi hujan panas dan hujan dingin yang berasal dari IKA dan IES.

Gambar 9.2. Sebuah butiran air relatif besar jatuh di dalam awan yang mengandung banyak butiran lebih kecil (Moran and Morgan, 1947).

Gambar 9.3. Di dalam awan dingin, kristal es tumbuh dengan mengorbankan butiran air kelewat dingin (Moran and Morgan, 1997).

Gambar 9.4. Variasi kelembapan relatif terhadap waktu. Hasil pengamatan termohigrograf pada tanggal 3–6 Januari 2006, Kampus ITB, Bandung.

Gambar 9.5. Kecepatan terminal sebuah partikel yang jatuh melalui udara sebagai fungsi ukuran partikel (Moran and Morgan, 1997). 161 164 166 176 179 180 182 198 203 206 210 212 221

(17)

Gambar 10.1. Kelembapan relatif kritis sebagai fungsi temperatur untuk garam NaCl

Gambar 10.2. Penyajian skematik modifikasi kabut panas oleh penyemaian partikel higroskopis.

Gambar 10.3. Panas yang diperlukan untuk membuyarkan kabut sebagai fungsi temperatur udara dan kadar air awan. Gambar 10.4. Diagram skematik yang menunjukkan efek hipotesis

pembenihan awan-awan cumulus dalam hurricane.

233

233

(18)

Daftar Tabel

Tabel 1.1. Deskripsi jenis awan.

Tabel 1.2. Arti sandi awan rendah, menengah dan tinggi

Tabel 3.1. Tekanan uap jenuh di atas air dan di atas es serta panas laten kondensasi dan sublimasi

Tabel 5.1. Ukuran, konsentrasi dan kecepatan jatuh terminal komparatif beberapa partikel dalam proses pembentukan awan

Tabel 5.2. Tinggi awan berdasarkan lintang geografis Tabel 5.3. Jenis presipitasi dari awan hujan

Tabel 5.4. Nilai jejari kritis dan kelewat jenuh kritis untuk tetes yang terbentuk pada inti NaCl

Tabel 6.1. Nilai viskositas dinamik udara, koefisien konduktivitas termal udara, dan koefisien difusi uapair dalam udara, pada p = 1000 mb (Houghton, 1985)

Tabel 6.2 Kecepatan pertumbuhan butiran dengan kondensasi (Mason, 1971)

Tabel 6.3. Efisiensi kolisi untuk tetes R dan butiran r (Rogers and Yau, 1989)

Tabel 7.1. Sifat pengintian partikel berbagai bahan (Houghton,1985)

10 20 54 99 100 101 116 133 133 139 157

(19)

Tabel 9.1. Variasi tekanan uap jenuh dan perbandingan campuran jenuh dengan temperatur pada tekanan 1000 mb (Moran and Morgan, 1997)

Tabel 9.2. Kecepatan terminal tetes hujan sebagai fungsi ukuran tetes (Gunn and Kinzer, 1949)

Tabel 10.1. Diameter tetes hujan dikaitkan dengan berbagai diameter partikel aerosol (Rosinski, 1973).

208

215

(20)

Padanan Kata

Indonesia – Inggris

air cair kelewat dingin supercooled liquid water

adiabatik gadungan pseudoadiabatic

aerosol garam laut sea salt aerosol

aerosol raksasa giant aerosol

air cair liquid water

aliran flux

angin tenang calm

antar muka interfacial

awan dingin cold cloud

awan panas warm cloud

awan kembang kol cauliflower cloud

badai guruh thunderstorm

bahan material

baku standard

basah moist

batu es hailstone

batu es hujan hailstone

(21)

bola basah wetbulb

butiran droplet

cairan liquid

cekungan basin

cuaca buruk (bengis) severe weather

cuaca lalu past weather

cuaca sekarang present weather

curah hujan rainfall

daur, siklus cycle

demikian juga likewise

deposisi (endapan) basah wet deposition

deposisi kering dry deposition

endapan, presipitasi precipitation

embun dew

embun beku frost

gadungan / palsu pseudo

garis badai guruh line of thunderstorm

garis awan badai squall lines

gas perunut trace gases

gaya gabung affinity

gelembung air water bubble

gerimis drizzle

geser angin wind shear

golakan turbulent

halus fine

hujan rain

(22)

hujan buatan rain making

hujan campur salju sleet

hujan deras shower

hujan lebat heavy rains

hujan rangsangan stimulation of rain

idaman ideal

inti kondensasi awan (IKA) cloud condensation nucleus

inti pembekuan, inti es (IES) ice nucleus

jalur track

jambul, bulu plume

jangka range

jelas, tidak samar unambiguous

jenis, golongan genus, plural : genera

kabas smog

kabas (kabut – asap) smog (smoke – fog)

kajian study

kasar coarse

keadaan mantap steady state

keanginan wind blown

kebasahan moisture

kebingungan, kekacauan confusion

kehancuran disintegration

kelembapan humidity

kelewat jenuh supersaturation

kelistrikan, elektrisitas electricity

kilap, kemilau sheen

(23)

kristal embun beku rimed crystal

kristal es ice crystal

khas, unik unique

kumpulan kristal crystal aggregate

landasan, paron anvil

laut terbuka open ocean

lempung, tanah liat clay

lengket sticky

lereng di atas angin windward side (slope)

lereng di bawah angin leeward side

limpasan run off

lingkungan laut marine environment

meringkas summarize

mudah terbakar combustible

mutlak absolute

nyata real

paras level

paras kondensasi terangkat lifting condensation level (LCL)

paras kondensasi konvektif convective condensation level (CCL)

paras peleburan melting level

peleburan melting

pelenyapan dissipation

pembakaran combusition

pembekuan freezing

pengentalan coagulation

pembekuan tetes riming

(24)

pemuatan listrik, elektrifikasi electrification

penakar hujan raingage

penakar hujan pencatat recording raingage

penampakan, keterbukaan exposure

pengembunan, kondensasi condensation

pengendapan, deposisi deposition

penguapan, evaporasi evaporation

penggabungan aggregation

penguapan evaporation

pengubahan conversion

penimbunan accumulation

penting sekali, gawat crucial

per–awan–an cloudiness

perkembangan, evolusi evolution

permulaan initiation

perpindahan, pelenyapan removal

pertambahan accreation

peubah variable

proses terbalikan reversible process

proses tak terbalikan irrreversible process

puncak ombak putih whitecap

puting beliung tornado

ruang, kamar chamber

salju snow

samar, berarti dua ambiguous

sel konveksional convectional cell

(25)

serpih (keping) salju snowflake

sublimasi sublimation

susut temperatur lapse rate

tambalan, potongan patch

tanah beku frozen soil

tanggap response

tangkapan coalescence

terhadap with respect to

tetes drop

tetes hujan raindrop

titik beku frost point

titik embun dew point

tudung, selubung veil

tumbukan, benturan collision

udara basah moist air

udara kering dry air

ukuran tampak visible size

unsur pokok constituent

variasi ruang dan waktu spatial and temporal variations

(26)

i ii iv x xiv xvi xxii 1 2 5 8 12 15 21 23 23

Kata Pengantar Penerbit Prakata Pengantar Daftar Gambar Daftar Tabel Padanan Kata Daftar Isi Bab 1. Pendahuluan

1.1. Atmosfer Ekuatorial Indonesia 1.2. Sejarah Mikrofisika Awan dan Hujan 1.3. Klasifikasi Awan

1.4. Bentuk Utama Awan

1.5. Awan Dalam Berita Sinop 1.6. Resumé

Bab 2. Termodinamika Udara

2.1. Termodinamika Udara Kering

(27)

29 31 33 37 42 45 46 50 55 60 66 70 73 74 78 84 87 89 94 97 98 102 109 2.2. Persamaan Keadaan Udara Kering

2.3. Bentuk Alternatif Persamaan Energi dan Entropi 2.4. Persamaan Keadaan Udara Basah

2.5. Peubah Kebasahan 2.6. Resumé

Bab 3. Proses Fisis Uap Air

3.1. Persamaan Clausius – Clapeyron

3.2. Aplikasi Persamaan Clausius – Clapeyron 3.3. Kejenuhan Udara Basah

3.4. Proses Pseudoadiabatik 3.5. Proses Adiabatik Udara Jenuh 3.6. Resumé

Bab 4. Aerosol Atmosferik

4.1. Sumber Aerosol

4.2. Spektra Ukuran Aerosol 4.3. Aerosol Garam Laut (AGL)

4.4. Mekanisme Pemindahan Partikel AGL dari Atmosfer

4.5. Inti Kondensasi dan Inti Es Atmosferik 4.6. Resumé

Bab 5. Pembentukan Awan

5.1. Aspek General Pembentukan Awan dan Hujan 5.2. Genus Awan

(28)

5.4. Pengaruh Zat Larut 5.5. Mikrostruktur Awan 5.6. Resumé

Bab 6. Pertumbuhan Tetes Hujan Dalam Awan Panas

6.1. Pertumbuhan Difusional Butiran Awan 6.2. Persamaan Pertumbuhan Butiran Melalui

Kondensasi

6.3. Kolisi dan Koalisensi

6.4. Persamaan Pertumbuhan Tetes 6.5. Trajektori Tetes

6.6. Resumé

Bab 7. Pertumbuhan Partikel Es Dalam Awan Dingin

7.1. Awan Dingin dan Awan Campuran 7.2. Inti Es Atmosferik

7.3. Pertumbuhan Partikel Es dari Fasa Uap

7.4. Pertumbuhan Partikel Es dari Pembekuan tetes 7.5. Pertumbuhan Partikel Es dari Penggabungan 7.6. Resumé

Bab 8. Proses Presipitasi

8.1. Proses Kristal Es Lawan Koalisensi 8.2. Distribusi Ukuran Tetes

8.3. Distribusi Ukuran Keping Salju 8.4. Teori Presipitasi 8.5. Efisiensi Presipitasi 111 116 120 123 123 128 135 140 143 147 149 150 155 160 165 169 171 173 174 177 181 184 188

(29)

8.6. Resumé

Bab 9. Modifikasi Cuaca : A. Prinsip Dasar Modifikasi Awan

9.1. Latar Belakang Modifikasi Cuaca 9.2. Proses Mikrofisis Presipitasi

9.3. Proses Pertumbuhan Partikel Presipitasi 9.4. Kecepatan Terminal Partikel Awan dan

Presipitasi 9.5. Resumé

Bab 10. Modifikasi Cuaca : B. Modifikasi Awan dan Presipitasi

10.1. Kelembapan Kritis Garam 10.2. Teknologi Modifikasi Awan 10.3. Teknologi Modifikasi Cumulus 10.4. Aplikasi Modifikasi Cuaca 10.5. Resumé

Daftar Pustaka Lampiran :

1. Abjad Yunani

2. Tekanan Uap Jenuh di atas Air murni dan Es

3. Daftar Simbol Huruf Latin dan Yunani

Biodata 192 195 196 199 202 211 216 219 220 222 226 230 240 243 247 248 249 250 257

(30)

Bab 1

Pendahuluan

Sistem klasifikasi awan internasional diusulkan pada tahun 1803 oleh Luke Howard (1772 – 1864) seorang meteorologiwan Inggris yang memakai empat nama Latin yaitu cumulus (artinya gumpalan atau gundukan) yang dipakai untuk awan konvektif. Stratus (artinya lapisan) yaitu awan yang berbentuk lapisan. Cirrus (artinya rambut) yaitu awan yang berbentuk berserat atau berserabut. Dalam klasifikasi internasional, kata Latin nimbus atau nimbo yang berarti awan hujan juga dipakai misalnya nimbostratus (Ns), cumulonimbus (Cb). Ns berarti awan lapisan yang menghasilkan hujan, dan Cb berarti awan gumpalan yang memberikan hujan.

Penamaan awan juga memakai gabungan dua dari tiga kata dasar cirrus, stratus, cumulus. Sebagai contoh cirrocumulus (Cc) gabungan dari kata cirrus dan cumulus, cirrostratus (Cs) gabungan dari kata cirrus dan stratus, dan stratocumulus (Sc) gabungan dari kata stratus dan cumulus. Cirrocumulus adalah awan berbentuk gumpalan kecil-kecil yang terdiri dari serat yang lembut. Cirrostratus adalah awan lapisan yang tampak berserat. Stratocumulus (Sc) adalah awan lapisan yang unsur-unsurnya berbentuk gumpalan dengan ukuran horisontal jauh lebih besar dari pada ukuran vertikalnya.

(31)

1.1. Atmosfer Ekuatorial Indonesia

Atmosfer bumi mempunyai ketebalan sekitar 1000 km (rumbai-rumbai bumi) yang dibagi menjadi lapisan-lapisan troposfer, stratosfer, mesosfer, termosfer, dan eksosfer. Dalam troposfer terjadi konveksi akibat radiasi bumi dari penyerapan radiasi matahari terutama spektrum tampak, karena itu proses konveksi lebih aktif di daerah ekuatorial. Atmosfer tropis mencakup daerah antara 23,5 U (tropis Cancer) dan 23,5 S (tropis Capricorn), sedangkan atmosfer ekuatorial yang dimaksud dalam diskusi ini dibatasi oleh lintang antara 10 U dan 10 S, jadi benua maritim Indonesia dapat dikatakan daerah ekuatorial. Daerah ekuatorial dilalui oleh garis ekuator geografis (lintang 0) yang tetap dan pita ekuator meteorologis yang bergerak ke utara atau ke selatan ekuator geografis mengikuti migrasi tahunan (gerak semu) matahari.

Di daerah ekuatorial radiasi tampak merupakan komponen radiasi matahari yang terbesar dan sangat kuat. Karenanya alih panas kearah atas oleh konveksi adalah sangat aktif di ekuator dan sirkulasi global dibangkitkan untuk mengalihkan panas dari ekuator ke daerah lintang yang lebih tinggi. Pada waktu ekinoks (kedudukan matahari di ekuator, terjadi pada 21 Maret dan 23 September) maka pemanasan daerah ekuator mencapai maksimum. Dalam atmosfer di atas garis ekuator terjadi osilasi tengah tahunan (Semiannual Oscillation). Pada tipe hujan ekuatorial, distribusi curah hujan bulanan menampakan maksima ganda, dengan curah hujan maksimum setelah ekinoks. Karena gaya Coriolis menuju nol di sekitar ekuator, maka gelombang khusus dapat terjadi dan menjalar kearah atas lebih mudah di daerah ekuatorial dari pada di daerah-daerah lain.

(32)

Istilah “tropis” tidak mempunyai arti yang eksak. Ilmuwan menemukan kata “tropis” dari tropis Cancer (23,5 U) dan tropis Capricorn (23,5 S) yang menunjukkan batas jarak semu matahari yaitu ketika matahari berada di lintang 23,5 U yang disebut garis balik utara pada tanggal 22 Juni dan ketika berada di lintang 23,5 S yang disebut garis balik selatan pada tanggal 22 Desember. Daerah Ekuatorial dapat didefinisikan sebagai daerah yang dibatasi oleh lintang 10 U dan 10 S atau daerah yang dibatasi oleh parameter Coriolis = 2 sin  = 2 x 7,29 x

-5 -5 -5 -1

10 x sin 10 = 14,58 x 10 x 0,174 = 2,5 x 10 s , dimana  adalah kecepatan sudut rotasi bumi dan  adalah lintang tempat. Jelas bahwa gaya Coriolis menuju nol di ekuator.

Meteorologiwan sering memakai batas lain untuk mendefinisikan tropis dengan memakai sumbu sel tekanan tinggi subtropis yaitu batas sirkulasi atmosfer yang didominasi oleh angin timuran di tropis dan oleh angin baratan di daerah lintang tengah. Batas dari daerah tropis adalah lintang 30 U dan 30 S yang disebut “lintang kuda” (horse latitude). Pada daerah lintang kuda terjadi subsidensi (angin turun) sehingga cuaca kebanyakan cerah dan jumlah curah hujan sedikit. Gurun dan padang rumput (steppe) kebanyakan terjadi di daerah lintang kuda. Parameter Coriolis pada lintang kuda hampir tiga kali lipat dibanding di lintang 10. Besar parameter Coriolis pada lintang kuda adalah f = 2 sin 30 = 7,3 x

-5 -1

10 s . Dari definisi daerah ekuatorial (10 U – 10 S) di atas, maka benua maritim Indonesia termasuk dalam daerah ekuatorial.

Antara angin pasat yang konvergen di sekitar daerah tekanan rendah ekuator terdapat daerah transisi dengan angin berubah-ubah yang lemah, disebut zona konvergensi intertropis (ZKI) atau

(33)

Intertropical Convergence Zone (ICZ) atau doldrums (daerah angin

lemah). Daerah transisi kedua adalah daerah lintang kuda. Curah hujan maksimum sekitar 70 – 80 inci (1 inci = 25,4 mm) terdapat pada sabuk selebar 10 derajat di sekitar ekuator dimana terdapat ZKI dengan massa udara yang panas dan lembap.

Daerah ekuatorial menerima energi matahari maksimum. Energi panas ini dipakai untuk menggerakkan atmosfer secara global ke daerah lintang menengah dan tinggi (kutub). Gerak atmosfer global tidak hanya membawa panas tetapi juga membawa kelembapan (uap air) dan zat-zat lain yang mengendalikan cuaca dan iklim harian, karena itu sangat mempengaruhi kehidupan dalam planet bumi. Masukan energi panas untuk menggerakkan atmosfer terjadi melalui awan-awan terutama awan cumulus tinggi yang terbentuk di daerah ekuatorial.

Ada tiga daerah ekuatorial dimana konveksi dan formasi awan cumulusnya menjadi penting, yaitu Indonesia, Afrika Ekuatorial (Afrika Tengah), Amerika Ekuatorial (Amerika Selatan). Di antara ketiga daerah ekuatorial maka Indonesia merupakan daerah konvektif yang sangat aktif, pembentukan awannya berfluktuasi secara musiman ataupun tahunan. Daerah Indonesia dikenal sebagai benua maritim (maritime continent) dalam meteorologi troposfer. Pada tahun tertentu, awan konvektif kuat (deep convection) bergeser ke arah Pasifik Tengah Ekuatorial, sehingga iklim global menjadi tidak normal. Gejala ini dikenal sebagai ENSO (El

Niño – Southern Oscillation). Periode 30 – 60 hari juga terdeteksi dan

disebut variasi antar musiman (inter seasonal) atau osilasi Madden–Julian. Daerah ekuatorial masih miskin dipahami sehingga observasi atmosfer di atas Indonesia menjadi sangat penting dalam pemahaman hubungan antara atmosfer ekuatorial dengan cuaca dan iklim global.

(34)

1.2. Sejarah Mikrofisika Awan dan Hujan

Proses awan kebanyakan pada skala jauh lebih kecil yaitu skala yang sebanding dengan dimensi partikel awan dan presipitasi. Proses-proses ini adalah pembentukan, pertumbuhan butiran awan, dan interaksinya dengan lingkungan. Tujuan dari fisika awan adalah untuk menjelaskan bagaimana sebuah butiran awan dapat terbentuk dari fasa uap, tumbuh menjadi ukuran tampak, kemudian berinteraksi dengan partikel-partikel awan lain membentuk presipitasi. Penggabungan aspek-aspek fisika awan ini dinamakan mikrofisika awan dan presipitasi, tetapi di Indonesia pada umumnya presipitasi (endapan) berbentuk cair atau hujan, sehingga judul buku ini menjadi Mikrofisika Awan dan Hujan.

Mikrofisika awan adalah sains yang sangat muda, kebanyakan informasi kuantitatif pada awan dan presipitasi, dan proses-proses yang terlibat telah diperoleh sejak tahun 1940. Baik Lamarck (1744 – 1829) maupun Howard (1772 – 1864) percaya bahwa awan yang mereka kaji terdiri dari gelembung-gelembung air (water bubbles). Gagasan gelembung dikemukakan pada tahun 1672 oleh von Guericke (1602 – 1686) disebut partikel awan kecil yang ia peroleh dalam ruang

ekspansi sederhana ‘‘bullulae’’ (artinya bubble = gelembung).

Meskipun secara tegas ia menamakan partikel-partikel besar dalam ruang ekspansi ‘‘guttulae’’ (artinya drop = tetes), gagasan gelembung berlaku lebih dari satu abad sampai Walker (1816 – 1870) melaporkan pada tahun 1846 bahwa partikel-partikel kabut tidak pecah seperti pada gelembung. Meskipun observasi ini diperkuat pada tahun 1880 oleh Dines (1855 – 1927), tetapi kemudian dibantah oleh Assmann (1845 – 1918) berdasarkan kajian komprehensifnya mengenai butiran-butiran awan dengan bantuan mikroskop (1984).

(35)

Usaha untuk memberikan penjelasan kuantitatif proses pembentukan partikel awan datang relatif lambat. Sebagai contoh, pada tahun 1875 Coulier (1824 – 1890) melakukan eksperimen ruang ekspansi sederhana pertama yang menunjukkan peranan penting partikel-partikel debu dalam pembentukan tetes-tetes awan dari uap air. Beberapa tahun kemudian, Aitken (1839 – 1919) memperkenalkan konsep baru ini. Ia menyimpulkan dari eksperimennya dengan memakai ruang ekspansi pada tahun 1881 bahwa tetes awan terbentuk dari uap air hanya dengan bantuan partikel-partikel debu yang bertindak sebagai inti untuk memprakarsai fasa (tahap) baru. Aitken menyatakan bahwa tanpa partikel debu di atmosfer, tidak akan ada kabur (haze), tidak ada kabut, tidak ada awan dan karenanya tidak ada hujan. Penemuan Coulier dan Aitken dibentuk lebih kuantitatif oleh Wilson (1869 – 1959) yang menunjukkan pada tahun 1897 bahwa udara lembap murni tanpa partikel debu akan menahan kelewat jenuh beberapa ratus persen sebelum tetes air terbentuk secara spontan.

Dalam tahun 1866, Renou (1815 – 1902) pertama kali menunjukkan bahwa kristal-kristal es dapat memainkan peranan penting dalam inisiasi (permulaan) hujan. Renou menyarankan bahwa untuk pertumbuhan presipitasi, dua lapisan awan dibutuhkan : satu terdiri dari tetes kelewat dingin dan yang lain pada ketinggian yang lebih tinggi yang memberikan kristal-kristal es ke dalam lapisan awan di bawah. Pemahaman yang lebih maju tentang pembentukan presipitasi yang melibatkan kristal es dikemukakan oleh Wegener (1911) yang menunjukkan melalui prinsip-prinsip termodinamika bahwa pada temperatur di bawah 0 C tetes air kelewat dingin dan kristal es tidak dapat berdampingan (bersamaan) dalam keseimbangan. Dengan

(36)

memakai pernyataan ini Bergeron (1891–1977) pada tahun 1933 mengemukakan bahwa presipitasi terjadi akibat kelabilan awan yang mengandung tetes kelewat dingin dan kristal es secara bersamaan. Bergeron menggambarkan bahwa dalam awan campuran ini, kristal-kristal es tumbuh oleh difusi tetes air kelewat dingin sampai semua tetes dikonsumsi oleh kristal es atau semua kristal es jatuh keluar awan. Observasi awan oleh Findeisen tahun 1938 mempertegas mekanisme presipitasi Wegener – Bergeron.

Usaha untuk memahami sifat awan dan presipitasi mempunyai sejarah yang panjang selama 70 tahun terakhir. Salah satu faktor utama yang merangsang perkembangan fisika awan adalah meningkatnya dunia penerbangan yang peka terhadap kejadian dan pertumbuhan awan, bahkan awan cumulonimbus dianggap jalur maut dalam penerbangan. Formulasi teori kondensasi uap air bersamaan dengan kajian awan di laboratorium dan di udara memungkinkan untuk meletakkan fondasi dalam cabang fisika awan. Mikrofisika awan kemudian didefinisikan sebagai kajian kondisi pertumbuhan elemen-elemen awan dan presipitasi yaitu butiran air dan kristal es. Keadaan sekarang, mikrofisika awan telah dibahas dalam buku-buku baru misalnya Mason (1975), Pruppacher (1980) dan lain-lain. Proses pada skala yang berjangka dari ratusan meter sampai ratusan kilometer bahkan ribuan kilometer terletak dalam daerah

dinamika awan yang mulai dikembangkan 50 tahun yang lalu.

Agar awan terbentuk maka diperlukan volume udara besar yang

didinginkan di bawah temperatur titik embunnya. Di atmosfer pendinginan dapat melalui ekspansi adiabatik udara yang naik, pendinginan radiatif dan pencampuran massa udara yang beda temperatur

(37)

berlanjut karena presipitasi masih memerlukan uap air yang berkondensasi. Kecepatan pendinginan dan volume udara yang dipengaruhi akan menentukan jumlah kondensasi dan karenanya mempengaruhi jumlah presipitasi yang dapat diproduksi oleh sebuah awan.

Pembentukan tetes-tetes awan dan interaksinya dalam pembentukan tetes hujan dan kristal es dikendalikan oleh proses-proses skala sangat kecil (ukuran partikel awan dan presipitasi) yang disebut

mikrofisika awan dan hujan. Meskipun demikian kendali proses-proses

skala besar oleh gerak atmosfer yang menyebabkan awan perlu diketahui yaitu makrofisika pembentukan awan. Sebagai contoh pembentukan tetes dan pembekuan tetes awan dibarengi dengan pelepasan sejumlah panas laten yang mempengaruhi gerak massa udara awan. Jadi mikrofisika

awan adalah kajian proses skala kecil, sedangkan kajian

proses-proses skala besar disebut dinamika awan atau kinematika awan.

1.3. Klasifikasi Awan

a. Berdasarkan Pembentukan Awan

Sistem awan dikendalikan oleh gerak udara vertikal akibat konveksi, efek orografik, konvergensi, dan front. Klasifikasi awan berdasarkan pada mekanisme gerak vertikal adalah :

1. Stratiform

Awan ini menyebabkan hujan kontinu yang disebabkan oleh kenaikan udara skala makro oleh front atau konvergensi atau topografi. Daerah hujan cukup luas, intensitas hujan kecil dan gerimis sampai hujan sedang, arus udara ke atas dalam awan ini mencakup daerah yang luas tetapi lemah.

(38)

Awan ini menyebabkan hujan lokal yang disebabkan oleh konveksi yang terletak dalam udara labil. Intensitas hujan besar dari hujan normal sampai hujan lebat (shower). Arus udara ke atas dalam awan ini mencakup daerah yang kecil tetapi kuat.

b. Berdasarkan Tinggi Dasar Awan

1. Awan rendah, mempunyai ketinggian dasar awan kurang dari 2 km, biasanya dipakai kata ’’strato’’, misalnya Nimbostratus (Ns), Stratocumulus (Sc), dan Stratus (St).

2. Awan menengah, mempunyai ketinggian dasar awan antara 2 dan 6 km, biasanya dipakai awalan ’’alto’’, misalnya Altocumulus (Ac) dan Altostratus (As).

3. Awan tinggi, mempunyai ketinggian dasar awan lebih dari 6 km, penamaannya ditandai dengan awalan ’’cirro’’, misalnya Cirrostratus (Cs), Cirrocumulus (Cc) dan Cirrus (Ci). Kadang-kadang Cirrostratus menyebabkan lingkaran optik d isekitar matahari atau bulan yang disebut ’’halo’’. Peristiwa ini disebabkan oleh refraksi dan refleksi oleh kristal-kristal es di dalam awan Cirrostratus.

(39)

Tabel 1.1. Deskripsi jenis awan

Jenis awan Dasar awan Komposisi Deskripsi

Cirrus (Ci)

> 7 Km es Pita putih atau serabut halus, atau tambalan (potongan-potongan kecil) dengan serat atau tampak kilap seperti sutera.

Cirrocumulus (Cc)

> 7 Km es Tambalan putih atau lapisan elemen-elemen kecil yang teratur dalam bentuk b u t i r- b u t i r ( g r a i n s ) , o m b a k , d a n sebagainya

Cirrostratus (Cs)

> 7 Km es Tudung (veil) agak putih dengan bagian-bagian sedikit tersusun, meliputi langit secara luas dan merata.

Altocumulus (Ac)

2 – 7 Km air Lapisan putih atau abu-abu dari unsur-unsur awan kecil teratur dan halus, tambalan elemen-elemen kecil, tambalan halus dengan garis bentuk yang tegas atau tumpukan / berkas lapisan cumuliform. Altostratus

(As)

2 – 7 Km air Lapisan serabut agak abu-abu atau agak biru atau tampak seragam, meliputi langit secara luas.

Nimbostratus (Ns)

< 2 Km air Lapisan tebal abu-abu, seringkali gelap, biasanya disertai hujan atau salju.

Stratocumulus (Sc)

< 2 Km air Lapisan abu-abu atau agak putih dengan elemen-elemen yang gelap, seringkali tersusun teratur.

Stratus (St)

< 2 Km air Lapisan abu-abu dengan dasar serba sama yang cerah, kadang-kadang terjadi hujan gerimis (drizzle). Cumulus (Cu) Biasanya dasar awan rendah. Pertumbuhan vertikal beberapa km

air Awan berdiri sendiri, padat, dengan garis-garis tajam, tumbuh secara vertikal seperti “kembang kol” (cauliflower clouds), menyebabkan hujan tiba-tiba (shower).

Cumulonimbus (Cb) Biasanya dasar awan rendah. Pertumbuhan vertikal sampai tropopause air dan es pada bagian atasnya

Awan lebat dan padat. Bagian atas terdiri dari es, yang menunjukkan serat-serat dan biasanya menyebar horisontal dalam bentuk sebuah landasan (anvil) atau jambul (plume), sering terjadi hujan lebat, hujan batu es (hail), kilat dan guruh.

(40)

c. Berdasarkan partikel presipitasi

Awan adalah kumpulan tetes air atau kristal es atau kombinasi keduanya. Berdasarkan jenis partikel presipitasi, awan dapat diklasifikasikan menjadi :

1. Awan tetes

Awan tetes sering disebut awan panas, awan ini sebagian partikelnya terdiri dari tetes air. Tetes air dalam awan berasal dari kondensasi uap air melalui inti kondensasi awan (IKA) yang ada di atmosfer bawah. Pertambahan kelembapan sampai ke suatu nilai yang diperlukan terjadinya kondensasi di atmosfer terutama disebabkan oleh pendingin adiabatik udara yang mengalami pengangkatan secara termal atau secara mekanis. Selain oleh kelembapan, pertumbuhan tetes hasil kondensasi ini ditentukan oleh sifat higroskopis yaitu kemampuan inti kondensasi seperti garam dapur NaCl dan oleh jejari tetes (r) atau kelengkungan tetes (1/r). Tetes-tetes awan kebanyakan berjejari sekitar 10 m (10 mikron), tetapi dengan mekanisme benturan – tangkapan tetes-tetes awan dapat menjadi tetes hujan yang berjejari sekitar 1000 m atau 1 mm.

2. Awan es

Awan yang sebagian partikelnya terdiri dari kristal es disebut awan es, sering disebut awan dingin atau awan campuran. Pada ketinggian atmosfer tertentu, temperatur mulai lebih rendah dari titik beku, di Indonesia temperatur titik beku dicapai pada ketinggian atmosfer antara 4 dan 5 kilometer di atas permukaan laut (d.p.l). Pada ketinggian atmosfer dengan temperatur di bawah titik beku, tetes awan kelewat dingin tidak langsung membeku menjadi kristal es semuanya, hanya

(41)

tetes awan yang menemukan inti es (IES) yang membeku menjadi kristal es. Tetapi pada temperatur – 40 C atau lebih rendah, tetes air kelewat dingin secara spontan membeku menjadi kristal es. Karena pada temperatur yang sama di bawah titik beku, tekanan uap jenuh di

atas tetes kelewat dingin (e ) lebih tinggi dari pada tekanan uap jenuh di s

atas kristal es (e ), maka tetes berdifusi dan mendeposisi pada kristal es, i

sehingga kristal es tumbuh menjadi besar dan tetes melenyap. Kristal es yang tumbuh bercabang ini, terpecah menjadi serpih-serpih es ketika turun melayang di udara. Dengan cara seperti ini jumlah kristal es menjadi berlipat ganda sehingga terbentuk awan es.

Karena sifat kristal es lebih lambat menguap dari tetes air, maka dalam udara tak jenuh bagian luar awan tetes menguap lebih cepat dari pada bagian luar awan es. Kondisi ini menyebabkan tepi awan tetes tampak lebih tegas (jelas) dari pada awan es. Pencampuran awan es dengan udara di sekelilingnya hanya menyebabkan perluasan awan, sehingga tepi awan es tampak tidak tegas (kabur).

1.4. Bentuk Utama Awan

Awan mempunyai bentuk bermacam-macam dan setiap awan dalam proses pertumbuhannya akan mengalami perubahan bentuk secara terus menerus, sehingga di dalam atmosfer terdapat jenis awan yang jumlahnya sangat banyak. Sejumlah awan yang banyak itu dapat digolongkan menjadi tiga bentuk utama (dasar), yaitu bentuk berserat, lapisan dan gumpalan; lihat gambar 1.1. Bentuk berserat disebabkan oleh kristal es yang jatuh, bentuk lapisan adalah awan yang pertumbuhannya dalam arah horisontal, dan bentuk gumpalan akibat pertumbuhan vertikal yang sangat besar oleh konveksi lokal.

(42)

Gambar 1.1. Bentuk utama awan : berserat, lapisan, dan gumpalan.

Bentuk utama awan dapat dibagi menjadi sepuluh golongan yang disebut jenis (genus). Kesepuluh jenis awan tersebut adalah: cirrus (Ci), cirrocumulus (Cc), cirrostratus (Cs), altocumulus (Ac), alrostratus (As), nimbostratus (Ns), stratocumulus (Sc), stratus (St), cumulus (Cu), cumulonimbus (Cb). Tiap jenis awan dibagi menjadi subgenus (subjenis) awan yang didasarkan pada keistimewaan bentuk, dimensi, dan pada perbedaan struktur setiap jenis awan. Misalnya awan

lentikularis mempunyai bentuk keistimewaan lonjong seperti lensa.

Jenis awan yang dapat mempunyai subjenis lentikularis adalah cirrocumulus, altocumulus dan stratocumulus.

Studi awan sangat penting bagi meteorologiwan dan fisikawan atmosfer. Observasi dan fotografi awan merupakan alat yang bernilai untuk menentukan karakteristik termodinamika dan dinamika udara yang selanjutnya dipakai untuk peramalan cuaca jangka pendek, misalnya:

I. Lapisan stratus atau stratocumulus di atas sebuah lembah, menandakan adanya inversi temperatur pada paras atas lapisan tersebut, lihat Gambar 1.2.

(43)

Gambar 1.2. Awan stratus dan hubungannya dengan profil temperatur.

ii. Altocumulus jenis castellanus menandakan adanya ketidakstabilan udara yang kuat pada parasnya yang merupakan isyarat suatu situasi badai guruh.

iii. Perkembangan awan cumuliform memberi informasi ketidakstabilan udara. Jika cumulus pertumbuhan vertikalnya dibatasi oleh paras tertentu, maka paras tersebut merupakan kedudukan inversi temperatur, jika tidak ada lapisan inversi maka awan akan tumbuh vertikal ke atas sampai mendekati tropopause. Ketika lapisan inversi lemah dan arus udara ke atas dalam awan cumulus kuat, maka awan dapat tumbuh menjulang ke atas menembus lapisan inversi yang stabil, biasanya disebut awan

cerobong (chimney cloud). Awan cerobong mempunyai ukuran

vertikal lebih besar dari pada ukuran horisontal Gambar 1.3a). Ketika lapisan inversi cukup kuat maka awan cumulus tampak seperti balok, karena dalam pertumbuhannya ujung awan ini patah oleh adanya inversi yang kuat, sehingga puncak awan menjadi dempak (Gambar 1.3b)

iv. Kemiringan awan cumuliform menandakan adanya geser angin v/ z yaitu gradien kecepatan angin terhadap ketinggian, faktor yang penting untuk pertumbuhan tetes hujan dalam awan tersebut.

(44)

Pentingnya studi awan karena awan merupakan fasa yang penting dalam daur (siklus) air di atmosfer. Awan sebagai pengubah uap air menjadi air yang dapat dipakai oleh manusia, karena tanpa air manusia tidak dapat mempertahankan hidup di bumi.

Gambar 1.3. Jenis cumulus dalam lapisan inversi. (a) Awan cerobong, (b) cumulus

dempak.

1.5. Awan dalam Berita Sinop

Berita sinop awan menyajikan simbol (sandi) berikut :

N, Nh, C , h, C , C , Ns, C, hs hsL M H

Arti dari masing-masing simbol tersebut adalah :

N : jumlah semua awan yang menutupi langit, dinyatakan dalam perdelapanan.

N = 4, setengah langit tertutup awan (simbol dalam petacuaca) N = 0, langit cerah ( simbol dalam peta cuaca)

(45)

Nh : jumlah awan dengan tinggi dasar awan h meter yangmenutupi langit.

Nh = 2, seperempat langit tertutup awan yang mempunyai tinggi dasar awan h meter.

h : tinggi dasar awan.

h = 3, tinggi dasar awan 200 – 300 m. C : tipe awan rendah.

C = 5, stratus.

C = x, awan tak dikenal.

C : tipe awan menengah.M

C = 2, altostratus tebal.M

C : tipe awan tinggi.H

C = 1, cirrus.H

Kelompok 8Ns C hs hs ini dipakai ketika terjadi hal khusus dalam pengamatan awan.

8 : angka pengenal.

Ns : jumlah perawanan (cloudiness) dari awan khusus C. C : tipe awan khusus.

hs hs : tinggi dasar awan C.

hs hs = 00, tinggi dasar awan kurang dari 30 m. = 01, tinggi dasar awan 30 m.

= 02, tinggi dasar awan 60 m.

Bentuk transmisi dan berita sinop bergantung pada regionalnya, untuk Indonesia yang termasuk dalam regional V mempunyai berita sinop sebagai berikut:

(46)

Lima digit terakhir yang terletak dalam tanda kurung biasanya tidak penting dan dapat diabaikan. Sandi cuaca internasional dapat dibaca pada setiap stasiun meteorologi sinoptik di Indonesia, misalnya di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Jakarta.

Arti dari simbol dalam berita sinop yang terdiri dari lima digit adalah sebagai berikut :

(1) Kelompok IIiii:

II = nomor blok, tiap negara mempunyai satu nomor blok atau lebih. Indonesia mempunyai dua nomor blok yaitu Indonesia bagian barat = 96 dan Indonesia bagian timur = 97.

iii = nomor stasiun, contoh: 96743 = stasiun meteorologi Jakarta, dan

97180 = stasiun meteorologi Ujung Pandang. (2) Kelompok Nddff :

N : perawanan

dd : arah angin, contoh: dd = 18 angin selatan, dd = 36 angin utara,

dd = 00 angin tenang (calm), dan seterusnya

-1

ff : kecepatan angin dalam knot (1 knot ~ 0,5 ms ) Contoh : ff = 22, berarti kecepatan angin 2 knot

ff = 05, berarti kecepatan angin 5 knot dan seterusnya.

Catatan : Jika kecepatan angin > 100 knot, maka ff diberi sandi sebagai kecepatan angin yang dikurangi 100 knot, dan sebaliknya dd ditambah 50.

(47)

Contoh: Angin datang dari barat (270) mempunyai kecepatan 110 knot, maka kode yang diberikan ddff adalah 7710, angka 77 berasal dari 27 + 50, dan angka 10 berasal dari 110 – 100.

(3) Kelompok VVwwW VV : visibilitas

Contoh : VV = 93 berarti visibilitas antara 500 m sampai 1000 m.

ww : keadaan cuaca pada waktu observasi.

Contoh : ww = 90 berarti cuaca buruk, kode . W : cuaca yang lalu (past weather).

Contoh : W = 0 berarti cerah, kode 0.

W = 4 berarti kabut, kode 

(4) Kelompok PPPTT

PPP : tekanan udara dalam milibar (mb) PPP = 201 berarti 1021,1 mb

= 247 berarti 1024,7 mb

TT : temperatur dalam F atau C (bergantung pemakaian) yangdibulatkan, misalnya 23,5 C dibulatkan menjadi 24 C dan 23,3 C dibulatkan menjadi 23 C.

Contoh : TT = 30 berarti 30 C, Indonesia memakai C. Catatan: Jika temperatur adalah negatif, maka dikodekan sebagai berikut:

Nilai mutlak temperatur ditambah dengan 50. Contoh : temperatur – 3 C dikodekan sebagai 53.

(48)

(5) Kelompok N C h C C , sudah dijelaskan dimuka.h L M H

(6) Kelompok Td Td 9 RR

Kelompok ini hanya berlaku untuk daerah tropis saja termasuk Indonesia

Td Td : temperatur titik embun dalam F atau C. 9 : angka pengenal.

RR : jumlah hujan dalam 12 jam yang lalu. Contoh : RR= 00 berarti tidak ada hujan (0 mm).

= 01 berarti hujan 1 mm.

= 02 berarti hujan 2 mm, dan seterusnya. (7) Kelompok 8Ns C hs hs

Kelompok ini dipakai untuk memberi kode sifat-sifat khusus pada observasi awan, sudah dijelaskan dimuka.

Berita sinop dan sandi cuaca internasional yang lebih jelas dan lengkap dapat dibaca pada setiap stasiun meteorologi utama, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Indonesia, atau dapat dibaca pada Bab 19, buku Klimatologi, (Bayong Tjasyono, 2004. Tabel 1.2,

menunjukkan sandi-sandi awan rendah (C ), menengah (C ) dan tinggi L M

(49)

Tabel 1.2. Arti sandi awan rendah, menengah dan tinggi. Sandi Angka Awan Rendah (C )L Awan Menengah (C )M Awan Tinggi (C )H 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 X

Tidak ada awan Cu kecil atau Frakto cumulus Cu sedang atau Sc dengan tinggi dasar

sama Cb tanpa landasan

(anvil) Sc yang terjadi dari

bentangan Cu Stratocumulus (Sc)

Stratus

Frakto stratus atau frakto cumulus

Cu dan Sc

Sb (cumulonimbus) C tidak kelihatan L

karena kabut, badai debu, dan sebagainya.

Tidak ada awan As tipis

As tebal atau Ns

Ac tipis dalam satu lapisan

Ac tipis terpisah-pisah, terdapat pada satu tingkat

Ac yang menjadi padat

Ac yang terjadi dari bentangan Cu atau Cb

Ac dan As atau Ns

Ac castellatus (bertanduk atau berbentuk bayangan

bintik) Ac kelihatan tak teratur C tidak kelihatan karena M

kabut, debu, dan sebagainya.

Tidak ada awan Ci tipis (halus)

Ci padat

Ci padat, dari landasan Cb

Ci halus yang menjadi padat

Ci dan Cs sendirian dalam keadaan

bertambah Ci dan Cs, atau Cs sendirian menjadi padat,

tetapi langit tidak tertutup semua Cs yang menutupi seluruh langit Cs tidak menutupi seluruh langit Cc (cirrocumulus) C tidak kelihatan H

disebabkan oleh kabut, debu, atau tertutup C L

(50)

1.6. Resumé

Diantara tiga daerah ekuatorial di bumi, maka Indonesia adalah daerah konvektif yang paling aktif ketimbang Afrika Ekuatorial (Afrika Tengah) dan Amerika Ekuatorial (Amerika Selatan). Pembentukan awan di Indonesia didominasi oleh awan konvektif jenis cumulus dan cumulonimbus yang dapat menghasilkan hujan lebat (shower), batu es hujan, guruh, dan kilat, bahkan tornado (puting

beliung) meskipun skala Fujita – Pearson baru mencapai F , atau 0

paling tinggi F . Hari petir di Indonesia berkisar antara 100 dan 150 per 1

tahun.

Mikrofisika awan dan hujan adalah cabang dari meteorologi fisis yang mempelajari proses-proses fisis pembentukan partikel awan dan hujan. Inti dari mikrofisika awan adalah studi tentang pembentukan awan dan pertumbuhan hujan. Informasi kuantitatif tentang awan dan proses fisis pembentukannya ditemukan sejak tahun 1940. Aitken (1839 – 1919) menyimpulkan eksperimennya (1881) bahwa tetes awan terbentuk dari uap air hanya dengan bantuan partikel debu yang bertindak sebagai inti kondensasi awan. Wilson (1869 - 1959) pada tahun 1897 menunjukkan bahwa udara lembap murni akan bertahan pada kelewat jenuh beberapa ratus persen sebelum tetes-tetes air terbentuk secara spontan. Wigand (1913 dan 1930) mengamati bahwa sumber-sumber inti kondensasi awan (IKA) selain lautan juga kontinen lebih banyak. Partikel-partikel debu ada juga yang bertindak sebagai inti es (IES) dalam pembentukan kristal-kristal es.

Klasifikasi awan didasarkan, pertama pada arus udara vertikal atau pembentukan awan: stratiform dan cumuliform, kedua pada tinggi dasar awan: awan rendah (Ns, Sc, dan St), awan menengah (Ac

(51)

dan As), dan awan tinggi (Cs, Cc, dan Ci), ketiga pada partikel presipitasi: awan tetes dan awan es, dan keempat pada temperatur : awan panas t > –10 C dan awan dingin < –10 C. Tepi awan tetes tampak lebih tegas daripada awan es yang tepinya tampak kabur (tidak tegas). Peristiwa kondensasi disebabkan oleh pendinginan adiabatik udara yang mengalami kenaikan secara termal atau secara mekanis.

Studi awan sangat penting bagi meteorologiwan dan fisikawan atmosfer dalam membantu peramalan cuaca jangka pendek. Pentingnya studi awan karena awan merupakan fasa yang penting dalam daur air di atmosfer. Awan sebagai pengubah uap menjadi air yang dipakai manusia, hewan, tetumbuhan dalam mempertahankan hidup di bumi. Ada tiga bentuk utama awan yaitu bentuk berserat, lapisan, dan gumpalan. Bentuk utama (dasar) awan dapat dibagi menjadi sepuluh golongan yang disebut jenis awan: Ci, Cc, Cs, Ac, As, Ns, Sc, St, Cu dan Cb. Tiap jenis awan dibagi lagi menjadi subjenis awan yang didasarkan pada keistimewaan bentuk, dimensi dan struktur jenis awan, misalnya awan lentikularis mempunyai bentuk keistimewaan lonjong seperti lensa.

Data awan dapat dibaca dari berita sinop dengan sandi-sandi cuaca, misalnya N : jumlah semua awan yang menutupi langit, Ns:

jumlah perawanan dari awan khusus, h: tinggi dasar awan, C , C , C : L M H

masing-masing jenis awan rendah, menengah, dan tinggi. Berita sinop untuk regional V terdiri dari 7 kelompok, masing-masing kelompok terdiri 5 digit. Angka pada kelompok berita sinop menunjukkan angka pengenal. Setiap stasiun meteorologi utama mempunyai sandi-sandi cuaca untuk mentransmisikan berita sinop ke Kantor Cuaca Pusat di Dalam Negeri (BMKG) atau Kantor Cuaca Pusat di Luar Negeri.

(52)

Bab 2

Termodinamika Udara

Termodinamika mempelajari tentang transformasi panas ke dalam bentuk energi lain dan sebaliknya. Dalam atmosfer transformasi ini sangat penting dan perlu dtinjau secara rinci untuk memprediksi keadaan atmosfer yang akan datang. Pada kenyataannya air di dalam atmosfer dapat berbentuk padat, cair atau gas. Transformasi energi terjadi jika air berubah keadaan (fasa) akibat pelepasan atau penyerapan panas laten. Dalam termodinamika udara kering proses atmosfer ditinjau tanpa transformasi energi seperti pelepasan panas laten. Dalam meteorologi, udara diperlakukan sebagai campuran dua gas ideal: udara kering dan uap air yang disebut udara basah. Termodinamika udara basah ditentukan oleh kombinasi antara termodinamika udara kering dan uap air. Pengetahuan termodinamika udara basah dipakai untuk memahami proses fisis yang terjadi di atmosfer.

2.1. Termodinamika Udara Kering a. Ekspansi gas pada tekanan konstan

Jika gas berekspansi pada tekanan konstan, maka ia melakukan kerja terhadap lingkungannya:

(53)

dW = pdV (2.1) dimana dV adalah perubahan kecil dalam volume gas.

Untuk satuan massa gas, persamaan (2.1) ditulis dengan huruf kecil:

(2.2) Keterangan :

w : kerja spesifik yang dilakukan

 : perubahan volume spesifik gas

 : densitas udara

Jika sistem berekspansi dan melakukan kerja pada lingkungan, maka dw positif. Sebaliknya jika sistem dikompresi oleh gaya dari luar, maka kerja dilakukan pada sistem dan dw negatif. Dalam fisika energi

sistem didefinisikan sebagai kapasitas sistem untuk melakukan kerja.

Energi sama dengan kerja total yang dapat dilakukan dan diukur dalam satuan yang sama. Satuan SI (Sistem Internasional) energi adalah joule (J).

Dalam keadaan tidak ada reaksi nuklir dan untuk kecepatan yang tidak mendekati kecepatan cahaya, maka hukum kekekalan energi dapat diterapkan pada perubahan energi dari tipe yang satu ke tipe yang lain. Hukum ini menyatakan bahwa dalam setiap sistem, energi tidak dapat diciptakan atau tidak dapat dimusnahkan. Jadi, jika energi ditambahkan pada sistem, maka energi akhir sama dengan energi inisial ditambah sejumlah energi yang ditambahkan. Sebaliknya jika energi dikurangi, maka energi akhir sama dengan energi awal dikurangi sejumlah energi yang diambil.

(54)

ditambahkan. Misalnya, jumlah panas yang dibutuhkan untuk menaikkan temperatur satu derajat dengan volume sistem dijaga

konstan, disebut kapasitas panas pada volume konstan, diberi notasi

dengan simbol C . Sebaliknya, jika tekanan dijaga konstan, maka panas v

yang dibutuhkan untuk menaikkan temperatur satu derajat, disebut

kapasitas panas pada tekanan konstan, diberi notasi dengan C . Sebuah p

sistem pada tekanan konstan akan berekspansi bila dipanasi, jadi

melakukan kerja. Karena itu C lebih besar daripada C .p v

Kapasitas panas per satuan massa dinyatakan sebagai kapasitas panas spesifik atau panas spesifik saja. Dalam hal ini diberi notasi dengan huruf kecil, sehingga panas spesifik pada tekanan konstan

dan volume konstan ditulis sebagai c dan c . Konstanta gas spesifik (R) p v

dapat ditulis dengan ekspresi berikut:

R = cp

v c (2.3)

b. Hukum termodinamika pertama

Hukum pertama ini menyatakan dua faktor empirik:

I. Panas adalah bentuk energi, disebut hukum Joule yang menyatakan

tara kalor mekanik sebagai:

1 kal = 4,1868J

ii. Energi adalah kekal, dinyatakan oleh bentuk aljabar seperti

dijelaskan dalam uraian berikut ini

Jika sejumlah panas dQ ditambahkan pada sistem, maka sebagian panasnya dipakai untuk meningkatkan temperatur atau sebagian untuk mengatasi gaya atraksi antara molekul-molekul. Keduanya merupakan penambahan energi internal sistem dU. Jika

(55)

penambahan kerja yang dilakukan oleh sistem adalah dW, maka hukum konservasi (kekekalan) menjadi:

dQ = dU  dW (2.4) Persamaan (2.4) adalah formulasi hukum pertama termodinamika. Jika suku-suku dalam persamaan (2.4) dibagi dengan massa sistem, diperoleh:

dq = du  dw (2.5) dq adalah panas yang ditambahkan per satuan massa. Jika gas per satuan massa berekspansi pada tekanan konstan, maka dw dapat disubstitusi dari persamaan (2.2), sehingga:

dq = du  pd (2.6) Persamaan (2.6) adalah bentuk lain dari hukum termodinamika pertama, kadang-kadang dinyatakan sebagai persamaan energi.

Dalam diskusi di atas, dianggap bahwa gas berekspansi dan melakukan kerja pada lingkungannya, karena itu dw dan d keduanya positif. Sebaliknya, kerja dapat dilakukan kepada gas dengan menekannya. Hal ini dapat dikatakan bahwa gas melakukan kerja negatif atau dw negatif. Karena volume berkurang, maka d juga negatif.

c. Energi internal gas ideal dan gas nyata

Teori kinetik gas menganggap bahwa atom atau molekul gas bergerak cepat secara acak. Dalam hal gas ideal, maka dimensi partikel-partikel ini dipandang sangat kecil dan dapat diabaikan dibandingkan jarak rata-rata di antara partikel-partikel tersebut. Dianggap pula bahwa gaya atraktif satu sama lain sangat kecil yang dapat diabaikan, dan bahwa tumbukan satu sama lain atau tumbukan dengan dinding pembatasnya (container) adalah elastis sempurna. Sistem yang

(56)

demikian mengikuti aturan hukum gas ideal, sehingga energi internal sistem demikian hanya fungsi temperatur. Panas yang ditambahkan pada volume konstan hanya dipakai untuk meningkatkan gerak acak molekul-molekul gas. Berbeda dengan gas nyata (real), sebagian energi dipakai untuk mengatasi gaya-gaya interatomik atau intermolekuler. Jadi dalam kasus gas ideal, maka berlaku:

du = c .dT (2.7)v

dimana c adalah konstanta yang disebut panas spesifik pada volume v

tetap.

Syarat perlu untuk gas ideal adalah:

I. Persamaan keadaan gas ideal harus diterapkan, yaitu:

p = R . T (2.8) ii. Energi internal hanya fungsi temperatur, yaitu:

du = c .dTv

Tinjau kasus dimana panas ditambahkan pada gas dengan volume dijaga tetap yaitu d = 0, maka persamaan (2.6) dapat direduksi menjadi:

dq = du (2.9) Dalam kasus ini panas yang ditambahkan dipakai seluruhnya untuk menaikkan energi internal gas. Atom atau molekul mulai bergerak lebih cepat dan energi kinetiknya juga meningkat. Akibatnya temperatur gas naik, karena temperatur sebanding dengan energi kinetik partikel. Kenaikan temperatur juga terlihat dari persamaan (2.7).

Makin kecil tekanan (p) atau makin besar volume spesifik (), maka gas nyata (real) makin mendekati hukum gas ideal.

Gambar

Gambar 1.1. Bentuk utama awan : berserat, lapisan, dan gumpalan.
Gambar 1.2. Awan stratus dan hubungannya dengan profil temperatur.
Gambar 1.3.  Jenis cumulus dalam lapisan inversi. (a) Awan cerobong, (b) cumulus  dempak.
Tabel 1.2. Arti sandi awan rendah, menengah dan tinggi. Sandi Angka Awan Rendah (C ) L Awan Menengah(C )M Awan Tinggi(C )H 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 X
+7

Referensi

Dokumen terkait