• Tidak ada hasil yang ditemukan

KLASIFIKASI ILMU DALAM PERSPEKTIF IBNU SINA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KLASIFIKASI ILMU DALAM PERSPEKTIF IBNU SINA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

KLASIFIKASI ILMU

DALAM PERSPEKTIF

IBNU SINA

Oleh: Sudarmadi Putra, M.Ud

(Sudarmadiputra003@gmail.com)

Abstrak

Manusia tercipta pada hakikatnya memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, manusia selalu ingin tahu yang tampak kongret dan nyata, segala yang nampak dan diketahui akan menjadi sebuah pengetahuan. Klasifikasi atau penggolongan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan atau perubahan sesuai dengan semangat zaman. Tujuan penulisan makalah ini untuk mengungkap perspektif Ibnu Sina tentang klasifikasi ilmu dan pandangan- pandangannya. Penulisan ini menggunakan metode kajian Pustaka. Hasil yang ditemukan hampir sama dengan Aristoteles membagi ilmu secara teoritis dan praktis. Akan tetapi, Ibnu Sina banyak menambahkan ilmu-ilmu lain ke dalam kelompok. Kesimpulannya bahwa klasifikasi ilmu menurut Ibnu Sina ada empat, yakni: Ilmu Thabi’I, Ilmu Matematika, Ilmu Ketuhanan, Dan Ilmu Semantik.

Key word: Klasifikasi Ilmu, Ibnu Sina, Pandangan-

pandangannya.

A. PENDAHULUAN

Khazanah keilmuan Islam terus menerus muncul dengan berbagai macam tema yang diangkat. Salah satunya adalah mengenai klasifikasi ilmu yang selalu mendapat banyak perhatian baik di barat maupun dikalangan intelektual Islam. Hal ini menjadi maklum karena tema klasifikasi ilmu merupakan salah satu key untuk memahami tradisi intelektual. Diantara intelektual muslim yang sangat concen adalah Farabi, Khawarizimi, Kindi,

Al-Ghazali, Ibnu Sina hingga Naquib Al-Attas, Abid Al-jabiri, Hasan Hanafi dan seterusnya. Mereka para ilmuwan muslim telah banyak mencurahkan bakat dan kejeniusan intelektualnya dalam menjelaskan tema ini. Begitu juga dalam khazanah keilmuan Barat, sejak Claude-Henri de Saint-Simon, Christian Wolff, Auguste Comte, Karl Raimund Popper, Thomas S. Kuhn, hingga Jurgen Habermas juga telah membuat klasifikasi ilmu dengan cara pandang yang menempatkan seluruh ilmu pengetahuan dalam tataran yang sama.

Ibnu Sina, selain ahli dalam bidang kedokteran, filsafat, psikologi, dan musik, beliau juga seorang ulama. Yang banyak memiliki ide- ide dan pemikiran yang sangat popular hingga saat ini. Diantara karyanya yang sangat monumental yakni, Al-Syifa’ latinnya Sanatio (penyembuhan), ensiklopedi yang terdiri dari 18 jilid ini mengenai fisika, metafisika dan matematika. Kitab ini di tulis ketika menjadi mentri di Syams al-Daulah dan selesai masa ala’u al-Daulah di Isfahan. Walau hidup pada abad pertengahan sosok Ibnu Sina dalam banyak hal unik, sedang diantara para filosuf muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu-satunya filosuf besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad. Ibnu Sina juga dikenal sebagai Syaikh Al-Ra’is (Master dan Kepala), atau (Guru Para Raja) Ibnu Sina menulis sekitar 450 karya, dan hanya 240 kitab yang terselamatkan. Sekitar 150 dari bukunya tentang filsafat dan 40 buku tentang obat-obatan termasuk magnum opus-nya, Kitab asy-Syifa (Buku Penyembuhan) yang merupakan karya ensiklopedis besar.

(2)

Klasifikasi Ilmu Berangkat dari keterbatasan potensi yang dimiliki rasio. Dalam proses pencariannya dibutuhkan pembatasan-pembatasan yang berkaitan dengan ilmu itu sendiri. Pembatasan-pembatasan ini kita sebut sebagai klasifikasi ilmu. Pengklasifikasian ini bisa berdasarkan sifat absoluditasnya ilmu, objek yang diteliti, metode ilmu itu dihasilkan ataupun subjek dari objek ilmu itu sendiri.1 Dengan demikian menjadi menarik untuk mengungkap masalah klasifikasi ilmu ini. Makalah ini hanya menyajikan data tentang klasifikasi ilmu dalam perspektif Ibnu Sina (Avicenna) serta secuil ide dan pemikiran penulis untuk mempeta konsepkan tentang tema yang menarik ini.

Biografi Ibnu Sina

Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain bin Abdullah bin Hasan bin Ali bin Sina. Dikalangan barat dikenal dengan nama Avicenna, Berasal dari Bahasa latin seperti dikatakan Anthony Nutting, tetapi menurut Havan C. Kruegar dikatakan bahwa nama Avicenna berasal dari Bahasa Hebrew “Aven Sina”. Banyak dugaan bahwa nama Ibnu Sina berasal dari “Cina” yaitu sebutan dalam Bahasa Arab dengan sedikit perubahan sebutan “S” menurut Arberry, kemungkinan besar Sina bukan nama asli dari neneknya, tetapi berasal dari perkataan As Shina menggunakan huruf Shad (ص) dalam Bahasa arab yang berarti “Cina”2

Ia dilahirkan di desa Afsyanah, dekat Bukhara, ( termasuk wilayah Rusia), Transoxiana (persia utara), menurut keterangan Qifthi, ibnu khalikan dan bayhaqi pada 370 H (±980M). Pendapat yang lain ada yang mengatakan, tahun 1 Subandi, M. MicroBiology ( Development, Studies and Observation in Islamic Perspective), 2010, Remaja Rosdakarya, Written in Indonesian.

2 Sudarsono, Filsafat Islam, 2004, Jakarta, Rineka Cipta, h. 41.

375, menurut keterangan ibnu Abu Ushaybi’ah, sedang pendapat yang lain juga pada tahun 375 dan 365. Ayahnya berasal dari kota balakh kemudian pindah ke bukharah pada masa raja Nuh ibn manshur dan diangkat oleh raja sebagi penguasa di kharmaitsan, satu wilayah di kota bukharah. Orang tuanya adalah pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Saman. Ia meninggal pada Juni 1037, di tahun kelima puluh kedelapan, dalam bulan Ramadan dan dimakamkan di Hamadan, Iran.

Ia mempunyai ingatan dan kecerdasan yang luar biasa sehingga di usia 10 tahun telah mampu menghafal Al-Qur’an, sebagian besar sastra arab, dan ia juga hafal kitab metafisika karangan aristoteles setelah di bacanya empat puluh kali, kendatipun ia baru memahaminya setelah membaca ulasan Al-Farabi.3 Dengan ketajaman otaknya ia banyak mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan dan cabang-cabangnya, kesungguhan yang cukup mengagumkan ini menunjukkan bahwa ketinggian otodidaknya. Menurut Thabathabai mengatakan bahwa Ibnu Sina pernah menjadi murid Bakar Al khawarizmi yang terkenal, ketika itu umurnya masih 6 tahun, karena Bakar Al-Khawarizmi meninggal 376 H. disamping guru- gurunya yang lain Abu Abdullah Al –Natili dan Ismail sang Zahid. Ia menerima pengajaran dalam hal membaca, menulis, arimatika, dan logika bahkan juga ilmu kedokteran. Ketika ia mencapai usia tujuh belas tahun, ia berhasil mengobati Nuh bin Mansur, setelah dokter- dokter pada masanya tidak ada yang bisa mengobati. Sejak itu ia mendapat sambutan yang baik sekali dan dapat pula mengunjungi perpustakannya yang penuh dengan buku- buku yang sukar di dapat kemudian dibacanya dengan segala keasyikan. Sehingga 3 Hasyimsyah Nasution, filsafat islam, 1999, Jakarta

(3)

wawasan dan keilmuannya pun bertambah, dapat dilihat dengan banyak karya- karya yang dihasilkannya. Proses yang menjadikannya menjadi seorang ilmuwan terkemuka dunia, berkat dari tahapan- tahapan yang dilaluinya, diantaranya adalah:

1) Ilmu ilmu agama

Dimulainya belajar Qur’an pada tahun 375 H, sewaktu umur baru 5 tahun. Kemudian terus mempelajari ilmu-ilmu islam yamg lainnya seperti tafsir, fikih, ushuluddin, tasawuf dan lainnya.

2) Ilmu-ilmu filsafat

Setelah umurnya mencapai 10 tahun dia sudah menguasai ilmu-ilmu agama, ayahnya mulai menyuruhnya belajar ilmu falsafah dengan segala cabangnya. Dia di suruh belajar kepada saudagar rempah-rempah untuk mempelajari ilmu hitung India.

3) Ilmu politik

Tidak kurang pentingnya untuk diketahui, bahwa ilmu politik sudah diperkenalkan kepada ibnu sina pada umur mudanya. Ayahnya adalah tokoh terkemuka dari aliran “isma’iliyah” dari partai syi’ah. Pada waktu itu pemimpin propogandis aliran tersebut yang berpusat di mesir di bawah pimpinan Fathimiyah, sering kali berkunjung dan berunding dengan ayahnya, untuk meluaska sayap partai itu ke daerah bukhara. Ibnu sina selalu disuruh duduk mendengarkan segala uraian politik mereka. Saudaranaya Abdul harist mengikuti aliran ayahnya, menjadi pengikut yang setia dari partai isma’iliyah, tetapi ibnu sina tidak pernah tertarik dengan aliran itu.

4) Ilmu kedokteran

Di dalam tingkat terakhir, Ibnu Sina tertarik kepada ilmu kedokteran. Dia mempelajari ilmu

itu sewaktu umurnya 16 tahun, dan dalam waktu 18 bulan (1½ tahun) selesailah ilmu itu ia kuasainya.

Sewaktu berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Sejak itu, Ibnu Sina mendapat sambutan baik sekali, dan dapat pula mengunjungi perpustakaan yang penuh dengan buku-buku yang sukar didapat, kemudian dibacanya dengan segala keasyikan. Karena sesuatu hal, perpustakaan tersebut terbakar, maka tuduhan orang ditimpakan kepadanya, bahwa ia sengaja membakarnya, agar orang lain tidak bisa lagi mengambil manfaat dari perpustakaan itu. B. KARYA-KARYA IBNU SINA

Pada usia 20 tahun ia telah menghasilkan karya-karya cemerlang, dan tidak heran kalau ia menghasilkan 267 karangan di antara karangan nya yang terpenting adalah:

1. Asy– Syifa’ latinnya sanatio (penyembuhan), ensiklopedi yang ter diri dari 18 jilid mengenai fisika, metafisika dan matematika. Kitab ini di tulis ketika menjadi mentri di Syams Daulah dan selesai masa ala’u al-Daulah di isfahan.

2. Al-Najah, latinnya salus (penyelamat), keringkasan dari as-Syifa’. (buku tentang kebahagiaan Jiwa)

3. Al-Isyaroh wa al-tanbihah (isyarat dan peringatan), mengenai logika dan hikmah. Buku ini lebih banyak membicarakan dalil-dalil dan peringatan-peringatan yang mengenai prinsip Ketuhanan dan Keagamaan. buku terbaik yang pernah diterbitkan di Leiden pada tahun 1892 M. Dan diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis,

(4)

diterbitkan di Kairo pada tahun 1947 di bawah asuhan Dr. Sulaiman Dunia.4

4. Al-Qonun fi al-tibb, ensiklopedi medis dan setelah diterjemahkan dalam bahasa Latin menjadi buku pedoman pada Universitas-Universitas di Eropa sampai abad XVII, buku ini ada lima jilid, masing-masing berisi soal-soal yang berkaitan dengan ilmu kedokteran, seperti pengetahuan tentang fungsi bagian – bagian tubuh, pembedahan dan pengobatan.5 5. Al-Hikmah al-‘Arudhiyyah

6. Hidayah al-Rais li al- Amir

7. Risalah fi al-Kalam ala al-Nafs al-Nathiyah 8. Al-mantiq al-Masyriqiyyin (Logika timur) 9. Al-Hudud. Berisikan istilah-istilah dan

pengertian-pengertian yang dipakai didalam ilmu filsafat.

10. Al-Inshaf. Buku tentang Keadilan Sejati. 11. Mujiz, kabir wa Shaghir. Sebuah buku yang

menerangkan tentang dasar - dasar ilmu logika secara lengkap.

12. Danesh Nameh. Buku filsafat. 13. Al-Musiqa. Buku tentang musik.

14. Nafat, buku ini adalah ringkasan dari buku As-Syifa’

15. Kamûs al-‘Arabî, terdiri atas 5 jilid 16. dan yang lainnya. 6

Lebih dari 450 buku pada beberapa pokok bahasan besar. Banyak di antaranya memusatkan 4 Abdullah Nur, Jurnal Hunafa, Vol. 6, No.1, April 2009:

105-116.

5 Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, 1997, Pustaka Firdaus, Jakarta.

6 Thawil akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat

Islam, 1993 Dina Utama Semarang, hal. 37 - 39

pada filosofi dan kedokteran. “George Sarton menyebut Ibnu Sina “ilmuwan paling terkenal dari Islam dan salah satu yang paling terkenal pada semua bidang, tempat dan waktu”. Karyanya yang paling terkenal adalah The Book of Healing dan The Canon of Medicine (Al-Qanun fi At Tibb).7

Dari autobiografi dan karangan-karangannya dapat diketahui data tentang sifat-sifat kepribadianhya, misalnya:

1. Mengagumi dirinya sendiri

Kekagumannya akan dirinya ini diceritakan oleh temannya sendiri yakni Abu Ubaid al-Jurjani. Antara lain dari ucapan Ibnu Sina sendiri, ketika aku berumur 10 tahun aku telah hafal Al-Qur’an dan sebagian besar kesusateraan hinga aku dikagumi.

2. Mandiri dalam pemikiran

Sifat ini punya hubungan erat sudah nampak pada Ibnu Sina sejak masa kecil. Terbukti dengan ucapannya “Bapakku dipandang penganut madzhab Syi’ah Ismailiah. Demikian juga saudaraku. Aku dengar mereka menyebutnya tentang jiwa dan akal, mereka mendiskusikan tentang jiwa dan akal menurut pandangan mereka. Aku mendengarkan, memahami diskusi ini, tetapi jiwaku tak dapat menerima pandangan mereka”.

3. Menghayati agama, tetapi belum ke tingkat zuhud dan wara’.

Kata Ibnu Sina, setiap argumentasi kuperhatikan muqaddimah qiyasiyahnya setepat-tepatnya, juga kuperhatikan kemungkinan kesimpulannya. Kupelihara syarat-syarat muqaddimahnya, sampai aku yakin kebenaran masalah itu. Bilamana aku bingung tidak berhasil kepada kesimpulan pada analogi itu, akupun 7 http://www.republika.co.id

(5)

pergi shalat menghadap maha Pencipta, sampai dibukakan-Nya kesulitan dan dimudahkan-Nya kesukaran.

4. Rajin mencari ilmu.

Keterangan beliau “Saya tenggelam dalam studi ilmu dan membaca selama satu setengah tahun. Aku tekun studi bidang logika dan filsafat, saya tidak tidur satu malam suntuk selama itu. Sedang siang hari saya tidak sibuk dengan hal-hal lainnya”.

5. Cepat melahirkan karangan

Ibnu Sina dengan cepat memusatkan pikirannya dan mendapatkan garis-garis besar dari isi pikirannya serta dia dengan mudah melahirkannya kepada orang lain. Menuangkan isi pikiran dengan memilih kalimat/ kata-kata yang tepat, amat mudah bagi dia. Semua itu berkat pembiasaan, kesungguhan dan latihan dan kedisiplinan yang dilakukannya.8

Ibnu Sina dikenal di Barat dengan nama Avicenna (Spanyol aven Sina) dan kemasyhurannya di dunia Barat sebagai dokter melampaui kemasyhuran sebagai Filosof, sehingga ia mereka beri gelar “the Prince of the Physicians”. Di dunia Islam ia dikenal dengan nama Al-Syaikh al-Rais, pemimpin utama (dari filosof-ilosof).9

Meskipun ia diakui sebagai seorang tokoh dalam keimanan, ibadah dan keilmuan, tetapi baginya minum–minuman keras itu boleh, selama tidak untuk memuaskan hawa nafsu. Minum–minuman keras dilarang karena bias menimbulkan permusuhan dan pertikaian, sedangkan apabila ia minum tidak demikian malah menajamkan pikiran.10

8 Busyairi Madjidi, Konsep Pendidikan Para Filosof

Muslim, 1997, Yogyakarta, Al-Amin Press, hal. 47 - 51

9 Harun Nasution, Islam di tinjau dari berbagai

aspeknya, jilid II, (jakarta : UI), 1986, hal. 51

10 Ibid

Didalam al-Muniqdz min al-Dhalal, al-Ghazali bahwa Ibnu Sina pernah berjanji kepada Allah dalam salah satu wasiatnya, antara lain bahwa ia akan menghormati syari’at tidak melalaikan ibadah ruhani maupun jasmani dan tidak akan minum–minuman keras untuk memuaskan nafsu, melainkan demi kesehatan dan obat.

Kehidupan Ibnu Sina penuh dengan aktifitas-aktifitas kerja keras. Waktunya dihabiskan untuk urusan negara dan menulis, sehingga ia mempunyai sakit maag yang tidak dapat terobati. Di usia 58 tahun (428 H / 1037 M) Ibnu Sina meninggal dan dikuburkan di Hamazan.

C. PEMBAHASAN

Klasifikasi ilmu terdiri dari dua kata, yang pertama, klasifikasi dan yang kedua, ilmu. Sedangkan yang dimaksud Klasifikasi atau bisa disebut juga pembatasan Pengklasifikasian ini bisa berdasarkan sifat absoluditasnya ilmu, objek yang diteliti, metode ilmu itu dihasilkan ataupun subjek dari objek ilmu itu sendiri. Sedangkan kata Ilmu adalah merupakan kumpulan pengetahuan yang mempunyai ciri–ciri tertentu, yang membedakan ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan lainnya. Ilmu juga merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang dapat diandalkan dan yang berguna untuk menjelaskan, meramalkan, mengontrol gejala-gejala (sesuatu). Ilmu atau Science dapat disimpulkan adalah pengetahuan yang di dapat melalui proses tertentu yang disebut metode keilmuan.

Sedangkan kata perspektif atau disebut pandangan/pendapat, dalam tulisan ini menyajikan dan membahas klasisifikasi ilmu menurut Ibnu Sina.

(6)

Menurut Imam al-Baqillani ilmu makhluk (yakni pengetahuan manusia) itu ada dua jenis; Pengetahuan yang bersifat pasti dan pengetahuan yang diperoleh melalui nalar akal. Pengetahuan yang bersifat pasti itu adalah pengetahuan inderawi, pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri dan pengetahuan khabar/ laporan mutawatir lebih lanjut Imam Ibnu Jawziy mengklasifikasikan ilmu dalam tiga macam. Ilmu pasti yang diperoleh secara a prioriy atau intuitif maupun secara diskursif. Ilmu yang didapat melalui panca indera, dan Ilmu yang diperoleh lewat berita, secara mutawatir maupun perorangan.

Adapun beberapa definisi ilmu menurut para ahli seperti yang dikutip oleh Bakhtiar tahun 2005 diantaranya adalah11 :

Mohamad Hatta, mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam.

Ralph Ross dan Ernest Van Den Haag, mengatakan ilmu adalah yang empiris, rasional, umum dan sistematik, dan ke empatnya serentak.

Karl Pearson, mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana.

Harsojo menerangkan bahwa ilmu merupakan akumulasi pengetahuan yang disistemasikan dan suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya 11 Amtsal Bahtiar, filsafat Ilmu, 2006 Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada.

dapat diamati oleh panca indera manusia. Sedangkan menurut Abu Hamid Al-Ghazali membagi ilmu menjadi empat sistem klasifikasi yang berbeda:12

Pertama, berdasarkan pembedaan

antara intelek teoretis dan intelek praktis, yang umumnya diterapkan pada ilmu-ilmu agama, bukan filosofis.

Kedua, pembagian pengetahuan menjadi

pengetahuan huduri dan pengetahuan husuli yang didasarkan atas perbedaan tentang cara-cara mengetahui. Pengetahuan huduri terbebas dari kesalahan dan keraguan, yang memberikan kepastian tertinggi mengenai kebenaran-kebenaran spiritual.

Ketiga, pembagian atas ilmu-ilmu agama

(syari`ah) dan intelektual (`aqli,yah, gayr al-syari`ah), yang didasarkan atas pembedaan sumber wahyu dan sumber akal.

Keempat, pembagian ilmu-ilmu menjadi

fardlu ain dan fardlu kifayah, didasarkan atas perbedaan hukum keharusan dalam pencarian ilmu. “Ilmu nonagama” masih bisa diklasifikasikan kepada ilmu yang terpuji (mahmud), dibolehkan (mubah) dan tercela (madzmum).

Sebagai contoh: ilmu sejarah bisa dikategorikan ilmu mubah; sihir dikategorikan “ilmu” tercela. Ilmu-ilmu terpuji, yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, bisa dikategorikan wajib kifayah. Misalnya; Ilmu 12 Subandi, M, 2014. Science As Subject of Learning in

Islamic University. Journal of Islamic Education. Vol 1, number 2, December 2014 M/1436 H. The Faculty of Tarbiyyah and Teacher Training. The State Islamic University (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung. In Collaboration with Association of Indonesian Islamic Education Schoar. (CoAuthor : Abdelwahab M. Mahmoud.Faculty of Agriculture, Cairo University, Egypt).

(7)

tentang obat, matematika, politik dan kerajinan-kerajinan yang diperlukan oleh masyarakat. Al-Ghazali mengklasifikasikan “ilmu agama” dalam dua kelompok: terpuji (mahmud) dan tercela (madzmum).

Dalam Klasifikasi ilmu yang dimaksud dengan “ilmu agama tercela” adalah ilmu yang tampaknya diarahkan kepada syariah, tapi nyatanya menyimpang dari ajaran-ajarannya. Sedangkan “ilmu agama terpuji” dan dikategorikan wajib kifayah, dibagi dalam empat kelompok:13

Pertama; Ilmu Ushul (dasar-dasar; yaitu:

Al-Quran, Al-Sunnah, ijma’ atau konsensus dan tradisi [kebiasaan] para sahabat Nabi).

Kedua; Furu’(masalah-masalah sekunder

atau cabang; yaitu: masalah-masalah fiqih, etika, dan pengalaman mistik.

Ketiga; Studi-studi pengantar (qaidah,

sharaf, bahasa Arab, dan lain-lain).

Keempat; Studi-studi pelengkap (membaca dan menerjemahkan Al-Quran, mempelajari prinsip-prinsip fiqih, `ilm al-rijal atau penyelidikan biografi para perawi hadis-hadis, dan lain-lain). Dalam hal ini, Al-Ghazali memandang ilmu yang tercakup di dalam empat ke-lompok di atas sebagai wajib kifayah.

Konsep klasifikasi ilmu yang telah dikemukakan baik oleh Imam al-Baqillani, Ibnu Jawziy maupun al-Ghazali diatas dapat dinilai sebagai pendapat yang saling menguatkan dan 13 Subandi, M, 2014. Science As Subject of Learning in

Islamic University. Journal of Islamic Education. Vol 1, number 2, December 2014 M/1436 H. The Faculty of Tarbiyyah and Teacher Training. The State Islamic University (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung. In Collaboration with Association of Indonesian Islamic Education Schoar. (CoAuthor: Abdelwahab M. Mahmoud.Faculty of Agriculture, Cairo University, Egypt).

melengkapi. Kesemua pandangan tersebut sangat erat kaitannya dengan pandangan hidup Islam (worldview Islam), dan sejalan dengan epistemologi ilmu menurut Islam. Ini tentu secara tegas berbeda dengan Barat, yang tidak melibatkan Tuhan dalam kelahiran, proses dan arah pengembangan ilmunya.

Ilmu yang dikonsepsikan insan bertauhidy tentunya akan melahirkan hasil maupun karya yang sejalan dengan fitrahnya sebagai manusia. Sebagai contoh; peneliti biologi yang bertauhid tentunya tidak akan membenarkan teori evolusi sebagaimana dirumuskan oleh Darwin.

Dan satu hal terpenting, berbeda dengan peradaban lain, dalam Islam memperoleh Ilmu adalah upaya sesempurna mungkin untuk memanfaatkan potensi diri. Hal tersebut dilakukan demi mendapatkan derajat yang tinggi dihadapan Sang Khaliq.

Sedangkan menurut Thomas S. Kuhn,14 pengklasifikasi ilmu terdiri dari 4 hal, 1) Sains yang Normal (Normal Sceince), 2) Anomali, 3) Krisis, 4) Revolusi sains. Kesimpulan yang bisa diambil dari pendapatnya adalah Klasifikasi ilmu menurut Thomas Kuhn yaitu dimulai sains normal dimana para ilmuwan kurang kritis dalam memandang ilmu yang dianutinya kemudian lahir sebuah anomali, anomali merupakan ada ketidak normal karena adanya kegitan radikal-radikal oleh ilmuwan karena menemukan penemuan-penemuan, sehingga terbentuklah krisis, Pada masa krisis menumpuknya anomali menimbulkan krisis kepercayaan dari para ilmuan terhadap paradigma. Paradigma mulai diperiksa dan dipertanyakan. Para ilmuan mulai keluar dari jalur ilmu normal, kemudian 14 Thomas S. Kuhn, The Structure Of Siencitific

Revolutions, di terjemahkan oleh Tjun Sudirman,

dengan Judul: Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, (Bandung:Remaja Rosdakarya, h. 10.

(8)

berlanjut pada Revolusi sains menyatakan bahwa revolusi sains merupakan suatu episode yang nonkumulatif dan merupakan sebagai perubahan tentang dunia.

Lalu menurut Ibnu Sina sendiri bagaimana? Tulisan ini mencoba untuk menjelaskan dan menyajikan datanya, tentang masalah klasifikas Ilmu menurut Ibnu Sina. Tampaknya pembagian ini dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles yang juga membagi ilmu secara teoritis dan praktis. Akan tetapi, Ibnu Sina banyak menambahkan ilmu-ilmu lain ke dalam kelompok ilmu yang bersifat teoritis dan praktis yang tentunya berdasarkan kepada ajaran Islam. Adapun ilmu-ilmu pada masing-masing kelompok tersebut adalah:

1) Ilmu yang bersifat teoritis, meliputi:

• Ilmu Thabi’i (Ilmu Alam)

Ilmu yang paling bawah, yaitu mencakup ilmu kedokteran, astrologi, ilmu firasat, ilmu sihir, ilmu tafsir mimpi, ilmu niranjiyat, dan ilmu kimia. Ibnu Sina mengakui bahwa alam diciptakan secara emanasi (memancar dari Tuhan). Tuhan menciptakan alam dalam arti memancarkannya. Dalam kitab De Conglutineation Lagibum, Kitab ini ditulis dalam bahasa latin, yang membahas tentang masalah penciptaan alam. Diantaranya tentang asal nama gunung. Menurutnya, kemungkinan gunung tercipta karena dua sebab. Pertama, menggelembungnya kulit luar bumi lantaran goncangan hebat gempa. Dan

kedua, karena proses air yang mencari jalan

untuk mengalir. Proses itu mengakibatkan munculnya lembah-lembah bersama dan melahirkan penggelembungan pada permukaan bumi. Ilmu ini biasa juga dengan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) atau sering

disebut Natural Sains, dalam Bahasa Inggris “Science” adalah ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala alam yang dapat dirumuskan kebenarannya secara empiris, Para ilmuan, termasuk Sir Isaac Newton melakukan eksperimen atau penyelidikan terhadap gejala alam. Kemudian, para ilmuan tersebut merumuskan temuannya untuk kemajuan bidang pengetahuan dan teknologi.

• Ilmu Matematika (Ilmu Pasti)

Ilmu pertengahan yang mencakup tentang ruang, bayang dan gerak, memikul beban, timbangan, pandangan dan cermin, dan ilmu memindahkan air. Matematika berasal dari bahasa latin yaitu matematika. Istilah itu sendiri pada awalnya diambil dari bahasa yunani, matematike (Mathein) yang artinya berpikir atau belajar. Matematika timbul karena pikiran-pikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses dan penalaran. Matematika sebagai ratu sekaligus pelayan ilmu merupakan bentuk tertinggi dari logika. Sedangkan dipihak lain sebagai pelayan ilmu, matematika memberikan bukan saja sistem pengorganisasian ilmu yang bersifat logis tatapi juga menyatakan dalam bentuk model matematika. Banyak persoalan kehidupan yang memerlukan kemempuan berhitung dan mengukur. Dan banyak persoalan atau informasi disampaikan dengan bahasa matematika seperti diagram, grafik, persamaan matematika ataupun tabel. Mengkomunikasikan gagasan dengan bahasa matematika justru lebih praktis, sistematis dan efisien.

• Ilmu Ketuhanan

Disebutnya ilmu paling tinggi, yaitu menuntut derajat kebebasannya dari materi,

(9)

yang mencakup ilmu tentang cara-cara turunnya wahyu, hakikat jiwa pembawa wahyu, mu’jizat, berita gaib, ilham, dan ilmu tentang kekekalan ruh setelah berpisah dengan badan. Yang kemudian diringkas dalam sebuah buku berjudul An-Najat (Keselamatan). Buku ini terkenal dan masih beredar sampai saat ini.

• Ilmu Bahasa (Semantik)

Buku semantiknya, yang terdiri dari sembilan buah buku.

2) Ilmu yang bersifat praktis, meliputi:

• Ilmu Akhlak

Yaitu ilmu yang mengkaji tentang cara-cara pengurusan tingkah laku seseorang;

• Ilmu Pengurusan Rumah Tangga

Yaitu ilmu yang mengkaji hubungan antara suami dan istri, anak-anak, pengaturan keuangan dalam kehidupan rumah tangga. c) Ilmu Politik

Mengkaji tentang bagaimana hubungan antara rakyat dan pemerintah, kota dengan kota, serta bangsa dan bangsa. Ibnu Sina juga menambahkan dalam ilmu politik ini tentang wujud kenabian dimana manusia perlu kepadanya, terutama dalam kehidupan bermasyarakat yang menginginkan tegaknya keadilan dengan menetapkan undang-undang dan syariat.

D. PANDANGAN-PANDANGAN IBNU SINA

1. Pandangan Tentang Akal

Kemampuan intelek manusia adalah salah satu tema umum yang dibahas dalam wacana ilmiah Islam klasik, para filsuf juga terlibat dalam diskusi. Berbagai ayat dalam Alquran menyebutkan bahwa setiap muslim harus memaksimalkan penggunaan akal mereka. Namun, banyak orang jenius masih enggan

menggunakan akal mereka karena khawatir bisa melewati batas-batas yang diijinkan oleh ajaran agama. Tetapi banyak orang sangat percaya diri dengan kemampuan mereka untuk memasukkan alasan rasional mereka sebagai pengukuran kebenaran. Alquran benar-benar menghargai akal manusia, oleh karena itu Kitab Syar’i (Hukum Tuhan) hanya ditujukan kepada orang-orang dengan kemampuan intelek mereka. Selain itu, banyak ayat Alquran dan hadis telah mendorong orang untuk menggunakan akal mereka dan menunjukkan posisi penalaran dalam hukum Islam.

Menurut ibnu sina akal merupakan suatu kekuatan yang terdapat dalam jiwa. Ada dua macam akal yaitu : akal manusia dan akal aktif. Semua pemikiran yang muncul dari manusia sendiri untuk mencari kebenaran disebut akal manusia. Sedangkan akal aktif adalah semua pemikiran manusia yang mendatang kedalam akal manusia dari limpahan ilham ke-Tuhanan. Ibnu sina juga terkenal dengan rumusannya yaitu: akal (pemikiran) membawa alam semesta ini kedalam bentuk – bentuk. Rumusan ibnu sina diambil alih oleh seorang pendeta Dominican Albertus Magnus (1206 - 1280) yang dikemukakan di dunia barat. Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad.

Menurut Ibnu Sina, seorang Nabi sangat identik dengan akal aktif, dan sepanjang identitas ini masih berlaku, akal aktif itu disebut ‘Aql Mustafad (akal yang telah dicapai). Namun, Nabi manusia tidak identik dengan akal aktif. Dengan demikian, pemberi wahyu dalam satu internal dengan Nabi, dalam hal lain, yaitu sepanjang pengertian pemberi wahyu, yaitu manusia yang eksternal dengannya. Oleh sebab itu, Nabi dalam hal sebagai manusia secara “aksidental”

(10)

bukan secara esensial, adalah akal aktif (untuk pengertian istilah “aksidental”)15

Ibnu Sina mempunyai pandangan bahwa akal pertama mempunyai dua sifat, yaitu: Sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah dan Sifat mungkin wujudnya, jika ditinjau dari hakikat dirinya. Atau bisa disebut juga akal manusia dan akal aktif. Semua pemikiran yang muncul dari manusia sendiri untuk menvari kebenaran disebut akal manusia. Sedangkan akal aktif adalah di luar daya kekuatan manusia, yaitu semua pemikiran manusia yang mendatang ke dalam akal manusia dari limpahan ke-Tuhanan.16

Ibnu Sina merumuskan bahwa akal merupakan suatu kekuatan yang terdapat dalam jiwa. Maka terkenal dengan rumusannya sebagai berikut: akal (pemikiran) membawa alam semesta ini ke dalam bentuk-bentuk. Umpamanya tuhan hendak menciptakan kucing, sudah tentu dalam pikiran tuhan sudah ada bentuk kucing yang akan diciptakan-Nya itu. Di dalam benda, jika kucing telah tercipta, maka pada tiap-tiap kucing itu akan didapati sifat-sifat kucing. Sesudah benda serba semesta itu masih tetap ada yaitu dalam pikiran kita. Jika kita telah melihat banyak kucing, maka tampak persamaan antaranya dan dengan demikian sampailah kita kepada bentuk kucing pada umumnya.17

2. Pandangan tentang Nafs (Jiwa )

Kata “nafs” (arab: Inggris: soul/spirit) secara harfiah berarti jiwa atau diri. Namun, nafs– dalam istilah Indonesia – lebih tepatnya diartikan ‘diri’ (self). Karena kata “diri”merangkum makna bagi dua unsur utama pada manusia, yaitu jasad dan jiwa. Menurut Ibnu Sina, nafs adalah 15 M.M. Syarif, History of Muslim Philosophy, vol. I,

(Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963), h. 104.

16 Sudarsono, Filsafat Islam, 2004, Jakarta, Rineka Cipta, h. 52.

17 Mr. H. Abdullah sidik, Islam dan Fisafat, h. 106.

kesempurnaan awal bagi jasad (kamal al-awwal li jism). Ia merupakan unsur pertama sehingga manusia mampu bergerak. Sedang jasad adalah kesempurnaan kedua sebagai alat yang memiliki fungsi menjalankan aktivitas. Maka keduanya (jasad dan nafs) merupakan dua substansi yang berbeda yang saling membutuhkan. Definisi yang dikemukakan Ibnu Sina tersebut sama dengan definisi dari Aristoteles, al-Kindi, al-Farabi, dan beberapa filsuf Muslim sesudahnya

Nafs adalah salah satu konsep kunci dalam studi filsafat metafisika. Merupakan substansi utama tubuh manusia yang bergerak, jiwa juga memiliki peran dalam prosesnya berpikir dan memahami kenyataan yang menghasilkan pengetahuan. Pengetahuan akan bentuk perspektif kehidupan (pandangan hidup). Ibnu Sina memberikan penjelasan sangat dan detail untuk menjelaskan sifat nafs. Dia menjelaskan tentang potensi dari nafs (Quwwah al-nafs) yang saling terikat satu sama lain, dan itu memiliki hubungan dengan tubuh. Tentang hubungan antara jiwa dan tubuh, dia mengatakan bahwa nafs tidak akan pernah mencapai Tahap fenomenal tanpa tubuh, saat tahap ini tercapai maka menjadi sumber hidup, regulator, dan potensi tubuh. Dia menyarankan beberapa argumen ilmiah tentang keberadaan nafs dan hubungannya dengan tubuh, salah satunya pada ‘human fly’ yang mengilhami sarjana Barat menciptakan teori ‘Super-Man’. Dia juga menjelaskan tentang keabadian jiwa bersama dengan beberapa argumen logis yang membuktikannya keabadian. Dari pandangan ini, Ibnu Sina menyimpulkan bahwa keabadian jiwa tidak demikian keabadian penting sebagai kekekalan dan kekekalan Tuhan. Penjelasan Ibnu Sina tentang nafs cukup komprehensif, meski ada beberapa kesamaan dengan jiwa teori filsuf Yunani, seperti Aristoteles. Tapi pandangan Ibnu

(11)

Sina tentang nafs adalah umumnya disesuaikan dengan pandangan dunia Islam.18

Dalil ini adalah yang terindah dari Ibnu Sina dan yang paling jelas menunjukkan daya kreasinya. Meskipun dalil tersebut didasarkan atas perkiraan dan khayalan, namun tidak mengurangi kemampuannya untuk memberikan keyakinan. Dalil tersebut mengatakan sebagai berikut: “Andaikan ada seseorang yang mempunyai kekuatan yang penuh, baik akal maupun jasmani, kemudian ia menutup matanya sehingga tak dapat melihat sama sekali apa yang ada di sekelilingnya kemudian ia diletakkan di udara atau dalam kekosongan, sehingga ia tidak merasakan sesuatu persentuhan atau bentrokan atau perlawanan, dan anggota – anggota badannya diatur sedemikian rupa sehingga tidak sampai saling bersentuhan atau bertemu. Meskipun ini semua terjadi namun orang tersebut tidak akan ragu–ragu bahwa dirinya itu ada, meskipun ia sukar dapat menetapkan wujud salah satu bagian badannya. Bahkan ia boleh jadi tidak mempunyai pikiran sama sekali tentang badan, sedang wujud yang digambarkannya adalah wujud yang tidak mempunyai tempat, atau panjang, lebar dan dalam (tiga dimensi). Kalau pada saat tersebut ia mengkhayalkan (memperkirakan) ada tangan dan kakinya. Dengan demikian maka penetapan tentang wujud dirinya, tidak timbul dari indera atau melalui badan seluruhnya, melainkan dari sumber lain yang berbeda sama sekali dengan badan yaitu jiwa.

Keberadaan nafs adalah bagian dari proses penciptaan dan keberadaan alam itu sendiri. Ia adalah bagian dari isyarat alam yang tersembunyi di balik realitas indrawi manusia. Karena itu, para filsuf dan ulama menggolongkan 18 Syah Reza, 2014, Jurnal Kalimah, Vol. 12, No. 2, September, Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor Jl. Raya Siman 06, Ponorogo Jawa.

kajian ini sebagai bagian dari metafisika yang membutuhkan pemahaman yang tinggi dengan memanfaatkan potensi akal. Ia merupakan ilmu yang mulia dan hakikat dari segala ilmu pengetahuan.

Di antara sejumlah sya’irnya yang paling terkenal tentang jiwa manusia, ialah yang diawali dengan bait:

“Dari kahyangan turun padamu, bidadari gemulai berlagak malu “Yang dimaksud dengan ungkapan kalimat tersebut ialah terpisahnya nyawa ( roh ) dari badan dan keabadiannya. Roh turun ke dalam badan manusia, untuk dapat mendengar apa yang belum didengarnya dan untuk mengetahui segala yang tersembunyi.

(terjemahan bebas)

Secara garis besar pembahasan Ibnu Sina tentang jiwa terbagi menjadi dua bagian19:

1. Fisika, di dalamnya dibicarakan tentang jiwa tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia. • Jiwa tumbuh-tumbuhan (al-nafs

al-nabathi-yat) mempunyai tiga daya, yaitu: makan, tumbuh, dan berkembang biak. Jadi jiwa pada tumbuh-tumbuhan hanya berfungsi pada ketiga komponen itu saja.

• Jiwa binatang (al-nafs al-hayawaniyah) memiliki dua daya yaitu: gerak (almuhar-rikat) dan menangkap (al-mud(almuhar-rikat). Daya menangkap ini terbagi menjadi dua:

(a) Menangkap dari luar dengan panca indra, dan (b) Menangkap dari dalam dengan indra batin, yang terdiri dari:

• Indra bersama menerima segala apa yang di tangkap oleh indera luar.

19 Herwansyah, el-fikr| Vol 1 No 1 Tahun 2017. Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Raden Fatah Palembang.

(12)

• Indera representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama. • Imaginasi yang menyusun apa segala apa

yang diterima indera bersama Jiwa manusia (al-nafs al-nathiqah) yang mempunyai dua daya, yaitu: praktis (al amilat) dan teoritis (al-alimat). Daya praktis hubungan dengan jasad, sedangkan daya teoritis hubungan dengan hal-hal yang abstrak. Daya teoritis ini mempunyai 4 tingkatan, yaitu:

• Akal materi yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit.

• Akal al-makalat merupakan akal materi yang dilati untuk berfikir yang abstrak.

• Akal aktual yaitu akal malaikat yang sudah dapat berfikir tentang hal-hal yang abstrak. • Akal mustafad, yaitu akal yang telah sanggup

berfikir tentang hal-hal abstrak tanpa perlu daya upaya, akal inilah yang dapat berhubungan dan menerimah limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif

2. Metafisika yang membicarakan tentang:

Wujud jiwa (itsbati wujud al-nafsi), dalam membuktikan adanya jiwa, Ibnu Sina mengemukakan dalil-dalil sebagai berikut: Dalil alam kejiwaan yang didasarkan fenomena gerak dan pengetahuan. Fenomena gerak terbagi ke dalam dua: Pertama, gerakan paksaan yaitu gerakan yang timbul pada suatu benda disebabkan adanya dorongan dari luar. Kedua, gerakan tiak paksaan, yaitu geraan yang terjadi baik sesuai dengan hukum alam seperti batu yang jatu pasti kebawa, maupun yang berlawanan seperti manusia berjalan dan burung terbang. Padahal menurut berat badannya, manusia mesti diam di tempat, sedangkan burung

3. Pandangan tentang Wujud

Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan diatas segala sifat lain, walaupun essensi sendiri. Essensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, essensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari essensi. Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibnu Sina telah terlebih dahulu menimbulkan falsafat wujudiah atau existentialisasi dari filosof-filosof lain.

Kalau dikombinasikan, essensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut :

1. Essensi yang tak dapat mempunyai wujud 2. Essensi yang boleh mempunyai wujud dan

boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini disebut mumkin yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud. Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.

3. Essensi yang tak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Disini essensi tidak bisa dipisahkan dari wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini essensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi mesti dan wajib mempunyai wujud selama-lamanya. Yang serupa ini disebut mesti berwujud yaitu Tuhan. Wajib al wujud inilah yang mewujudkan mumkin al wujud.

Dalam pembagian wujud kepada wajib dan mumkin, tampaknya Ibnu Sina

(13)

terpengaruh oleh pembagian wujud para mutakallimun kepada: baharu (al-hadits) dan Qadim (al-Qadim). Karena dalil mereka tentang wujud Allah didasarkan pada pembedaan-pembedaan “baharu” dan “qadim” sehingga mengharuskan orang berkata, setiap orang yang ada selain Allah adalah baharu, yakni didahului oleh zaman dimana Allah tidak berbuat apa - apa. Pendirian ini mengakibatkan lumpuhnya kemurahan Allah pada zaman yang mendahului alam mahluk ini, sehingga Allah tidak pemurah pada satu waktu dan Maha Pemurah pada waktu lain. Dengan kata lain perbuatan-Nya tidak Qadim dan tidak mesti wajib.20 Untuk menghindari keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu Sina menyatakan sejak mula “bahwa sebab kebutuhan kepada al-wajib (Tuhan) adalah mungkin, bukan baharu”. Pernyataan ini akan membawa kepada aktifnya iradah Allah sejak Qadim, sebelum Zaman.

Dari pendapat tersebut terdapat perbedaan antara pemikiran para mutakallimin dengan pemikiran Ibnu Sina. Dimana para mutakallimin antar qadim dan baharu lebih sesuai dengan ajaran agama tentang Tuhan yang menjadikan alam menurut kehendak-Nya, sedangkan dalil Ibnu Sina dalam dirinya terkandung pemikiran Yunani bahwa Tuhan yang tunduk dibawah “kemestian”, sehingga perbuatan-Nya telah ada sekaligus sejak qadim “Perbuatan Ilahi” dalam pemikiran Ibnu Sina dapat disimpulkan dalam 4 catatan sebagai berikut :

Pertama, perbuatan yang tidak kontinu

20 Ahmad Daudy, Segi - Segi Pemikiran Falsafi dalam

Islam, (Jakarta : Bula Bintang)

(ghairi mutajaddid) yaitu perbuatan yang telah selesai sebelum zaman dan tidak ada lagi yang baru. Dalam kitab An-Najah Ibnu Sina berkata: “yang wajib wujud (Tuhan) itu adalah wajib (mesti) dari segala segi, sehingga tidak terlambat wujud lain (wujud muntazhar) - dari wujud-Nya, malah semua yang mungkin menjadi wajib dengan-Nya. Tidak ada bagi-Nya kehendak yang baru, tidak ada tabi’at yang baru, tidak ada ilmu yang baru dan tidak ada suatu sifat dzat-Nya yang baru”. Demikianlah perbuatan Allah telah selesai dan sempurna sejak qadim, tidak ada sesuatu yang baru dalam pemikiran Ibnu Sina, seolah-olah alam ini tidak perlu lagi kepada Allah sesudah diciptakan.

Kedua, perbuatan Ilahi itu tidak ada

tujuan apapun. Seakan-akan telah hilang dari perbuatan sifat akal yang dipandang oleh Ibnu Sina sebagai hakekat Tuhan, dan hanya sebagai perbuatan mekanis karena tidak ada tujuan sama sekali.

Ketiga, manakala perbuatan Allah

telah selesai dan tidak mengandung sesuatu maksud, keluar dari-Nya berdasarkan “hukum kemestian”, seperti pekerjaan mekanis, bukan dari sesuatu pilihan dan kehendak bebas.

Yang dimaksudkan dalam catatan ketiga ini yaitu Ibnu Sina menisbatkan sifat yang paling rendah kepada Allah karena sejak semula ia menggambarkan “kemestian” pada Allah dari segala sudut. Akibatnya upaya menetapkan iradah Allah sesudah itu menjadi sia - sia, karena iradah itu tidak lagi bebas sedikitpun dan perbuatan yang keluar dari kehendak itu adalah kemestian dalam arti yang sebenarnya. Jadi tidak ada

(14)

kebebasan dan kehendak selagi kemestian telah melilit Tuhan sampai pada perbuatan-Nya, lebih-lebih lagi pada dzat-Nya.

Keempat, perbuatan itu hanyalah

“memberi wujud” dalam bentuk tertentu. Untuk memberi wujud ini Ibnu Sina menyebutnya dengan beberapa nama, seperti : shudur (keluar), faidh (melimpah), luzum (mesti), wujub anhu (wajib darinya). Nama - nama ini dipakai oleh Ibnu Sina untuk membebaskan diri dari pikiran “Penciptaan Agamawi”, karena ia berada di persimpangan jalan anatara mempergunakan konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat” (Illah fa’ilah) seperti ajaran agama dengan konsep Tuhan sebagai sebab tujuan (Illah ghaiyyah) yang berperan sebagai pemberi kepada materi sehingga bergerak ke arahnya secara gradual untuk memperoleh kesempurnaan.

Dalam empat catatan tersebut para penulis sejarah dan pengkritik Ibnu Sina selalu memahami bahwa Ibnu Sina menggunakan konsep pertama yaitu konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat”. Tidak terpikir oleh mereka kemunginan Ibnu Sina menggunakan konsep kedua, yang menyatakan bahwa Tuhan tidak mencipta, tapi hanya sebagai “tujuan” semata. Semua mahluk merindui Tuhan dan bergerak ke arahNya seperti yang terdapat dalam konsepsi Aristoteles tentang keindahan seni dalan hubungan alam dengan Tuhan.

4. Pandangan tentang Wahyu dan Nabi

Pentingnya gejala kenabian dan wahyu ilahi merupakan sesuatu yang oleh Ibnu Sina telah diusahakan untuk dibangun dalam empat tingkatan: intelektual, “imajinatif”, keajaiban, dan sosio politis. Totalitas keempat tingkatan ini memberi kita petunjuk yang

jelas tentang motivasi, watak dan arah pemikiran keagamaan.

Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal intelektual, akal aktual, dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah adalah akal materiil. Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar lagi kuat, yang Ibnu Sina diberi nama al hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materiil semua ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya pada nabi-nabi.

Jadi wahyu dalam pengertian teknis inilah yang mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak pelak lagi menderita karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung simbol-simbol. Namun sejauh mana wahyu itu mendorong? Kecuali kalau nabi dapat menyatakan wawasan moralnya ke dalam tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip moral yang memadai, dan sebenarnya ke dalam suatu struktur sosial politik, baik wawasan maupun kekuatan wahyu imajinatifnya tak akan banyak berfaedah. Maka dari itu, nabi perlu menjadi seorang pembuat hukum dan

(15)

seorang negarawan tertinggi-memang hanya nabilah pembuat hukum dan negarawan yang sebenarnya.

5. Ontologi Alam Menurut Ibnu Sina

Ontologi mengenai alam menurut Ibnu Sina berkenaan dengan Wujud, dengan kata lain Ibnu Sina menjelaskan alam dengan menggunakan pendekatan konsep Wujud. Ibnu Sina membagi Wujud kedalam tiga kategori diantaranya; Wujud Niscaya (Wajib Wujud), Wujud Mungkin (Mumkin Wujud), dan Wujud Mustahil (Mumtani’ Al-Wujud)21

Wujud Niscaya merupakan Wujud yang senantiasa harus ada, dan tidak boleh tidak ada, atau tidak bisa dibayangkan tidak adanya. Sedang Wujud Mungkin adalah Wujud yang boleh saja ada ataupun tidak ada, atau dapat dibayangkan tidak adanya dan Wujud Mustahil (Mumtani’ Al-Wujud) adalah yang keberadaannya tidak terbayangkan adanya,

Ibnu Sina berpendapat bahwasannya alam yang kita saksikan ini, boleh ada ataupun tiada. Kedua keadaan itu sah-sah saja menurut akal. Maka alam menurut Ibnu Sina merupakan sesuatu yang keberadaannya Mumkin Al-Wujud atau bersifat wujud mungkin. Terma “mungkin” sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Sina memiliki pengertian yang mendalam. Dalam kasus ini, terma “mungkin” dipahami sebagai “potensial”. Dengan mengatakan bahwa alam itu berarti bahwa sifat dasar alam adalah potensial, boleh ada tetapi belum lagi ada, 21 Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu

Panorama Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2002),

h.34

dan tidak bisa mengada dengan sendirinya.22 Untuk memahami hal tersebut, kita ambil sebuah pemisalan. Seorang wanita muda yang sehat, bisa dikatakan potensial untuk hamil, tetapi dia tidak bisa hamil dengan sendirinya. Begitulah makna “mungkin” yang dimaksud oleh Ibnu Sina.dengan pengertian “mungkin” di atas, kita dikatakan bahwa alam akan senantiasa berada dalam keadaan “potensi” atau berkemungkinan untuk ada. E. KESIMPULAN

Ibnu Sina memiliki pemikiran keagamaan yang mendalam. Pemahamannya dan Ketajaman pemikirannya serta kedalaman keyakinan keagamaannya menghantar simultan mewarnai alam pikirannya. Terutama tentang klasifikasi Ilmu yang mampu berbeda dengan para ilmuwan sebelumnya. Kesimpulannya bahwa klasifikasi ilmu menurut Ibnu Sina ada empat, yakni: Ilmu Thabi’I, ilmu Matematika, Ilmu Ketuhanan, Dan Ilmu Semantik. Serta pandangan- pandangan yang cukup menarik dan menguras pikiran yang dalam, terutama tentang Akal, Nafs, wujud, serta wahyu dan Nabi.

DAFTA PUSTAKA

Abdullah, Amin, “Teologi dan Filsafat dalam

Perspektif Globalisasi Ilmu Budaya” Dalam

Mukti Ali dkk, Yogya, Tiara Wacana, 1998. Al Ahwani , Ahmad Fuad, Filsafat Islam, Jakarta,

Pustaka Firdaus, 1984

Al-Ghazali Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad, al-Munqidz min

al-Dalalah wa al-Muwassil ila dzi al-Izzah wa al-Jalal, Lebanon, Beirut, 1967

Abdullah Nur, Jurnal Hunafa, Vol. 6, No.1, April 2009: 105-116.

(16)

Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para

filosof Muslim, Yogyakarta, Al-Amin Press,

1997

Bakhtiar, Amtsal, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006)

Daudy Ahmad, Dr. MA., Kuliah Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1986

Hanafi, Ahmad, MA, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1986

Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, 1999,Jakarta timur: Gaya media pratama.

Nasution, harun, Prof., Dr., Islam ditinjau dari

berbagai Aspeknya, Jakarta, Penerbit

Universitas Indonesia, 1996

Oemar Amin Husein, Dr., Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975

Poerwantana, dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung, PT remaja Rosdakarya, 1991 Syarif, MM., MA., Para Filosof Muslim, Bandung,

Mizan, 1994

Subandi, M. Micro Biology, (Development, Studies

and Observation in Islamic Perspective),

2010, Remaja Rosdakarya, Written in Indonesian

Sudarsono, Filsafat Islam, 2004, Jakarta, Rineka Cipta

Sina, Ibnu, Kitab Asy-Syifa’, 1988, Edition du Patrimoine Arabe at Islamique, Paris

Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi

Filsafat Islam, Semarang, Dina Utama

Semarang, 1993

Thomas S. Kuhn, The Structure Of Siencitific

Revolutions, di terjemahkan oleh Tjun

Sudirman, dengan Judul: Peran Paradigma

dalam Revolusi Sains, Bandung:Remaja

Rosdakarya.

Zaenal Abidin Ahmad, Ibnu Sina (Avecenna)

sarjana dan Filosof Dunia, Jakarta, Bulan

Bintang, 1949 http://www.republika.co.id

Referensi

Dokumen terkait