FORUM TARBIYAH
JURNAL PENDIDIKAN ISLAM STAIN PEKALONGANISSN 1829-5525 Vol. 8, Nomor 1, Juni 2010 Halaman 1-130
Daftar Isi
Hakikat Manusia dan Implikasinya dalam Proses Pendidikan
(Tinjauan Filsafat Pendidikan Islam) ... 1-16 Abdul Khobir
Orientasi Produktif: Pengaruh Makna Kerja dan Motivasi
Pada Pembentukan Karakter Tenaga Pendidik ... 17-32 Susminingsih
Otonomi Pendidikan Berbasis Demokratisasi
dan Budaya Etos Kerja ... 33-44 A. Ubaedi Fathuddin
Pengembangan Kualitas Profesional Pendidik di Indonesia ... 45-56 Sopiah
Pendidikan Lingkungan Hidup dan Masa Depan
Ekologi Manusia ... 57-72 Maghfur Ahmad
Madrasah Nizamiyah: Simbol Patronase Penguasa Sunni
dalam Lembaga Pendidikan ... 73-86 Ahmad Ta’rifin
Quo Vadis Nilai-Nilai Dasar Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan: Tantangan dan Peluang bagi Pengelolaan
Pendidikan Tinggi ... 87-118 Moh. Muslih
Reinventing Pendidikan Islam Harun Nasution ... 119-130 M. Sugeng Sholehuddin
FORUM TARBIYAH
JURNAL PENDIDIKAN ISLAM STAIN PEKALONGAN
Penanggungjawab Drs. H. Sudaryo El Kamali Pengarah Zaenal Mustakim Pimpinan Redaksi Abdul Khobir Anggota Redaksi M. Sugeng Sholehuddin Sopiah Ahmad Ta‘rifin Maskhur Redaksi Ahli
Jayadi (IAIN Sunan Gunung Djati Bandung) H. Dede Rosyada (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Sekretariat Sumiyati
Hakikat Manusia dan Implikasinya dalam Proses Pendidikan 1
HAKIKAT MANUSIA DAN IMPLIKASINYA
DALAM PROSES PENDIDIKAN
(Tinjauan Filsafat Pendidikan Islam)
Abdul Khobir*
Abstract: The essence of man in the perspective of Islamic Education
Philosophy is something very important and fundamental that can determine humans life. Searching about the essence of human nature can not be only absorbed in the thinking about the basic elements that determine the human, such as aspects of physical and spiritual aspects which include: passion, reason, qalb and spirit. But the basic elements that exist in human beings are the foundation when we are going to understand human nature. By basing on an understanding of human nature, activities and educational process is run and aims to be able to develop the human personality. The ultimate goal of education is personal excellence based on the principle of self-realization, ie to realize the potential that already exists in human beings in the form of moral potential, skills and physical development.
Kata kunci: manusia, proses pendidikan, filsafat pendidikan Islam. PENDAHULUAN
Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna, manusia dikarunia akal, pikiran, cipta, rasa dan karsa. Dari berbagai kelebihan yang dimiliki oleh manusia inilah, maka manusia menjadi raja di raja di muka bumi ini. Alam ini diciptakan untuk mnusia, maka segala sesuatu yang ada disekitar manusia menjadi obyek kajian manusia mulai dari lingkungan alam, hewan dan sebagainya.
*. Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Pekalongan e-mail: [email protected]
Manusia ternyata tidak cukup hanya mengkaji alam sekitarnya, ia selanjutnya berfilsafat tentang Tuhan dan bidang-bidang kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Dan pada akhirnya manusia juga berfilsafat tentang dirinya, segala sesuatu yang berkaitan dengan manusia dibahas, dikaji secara mendalam, yaitu mengenai siapa, bagaimana, dimana dan untuk apa manusia itu diciptakan (Abdul Khobir, 1997: 81).
Aktivitas pendidikan berkaitan erat dengan proses pemanusiaan manusia (humanizing of human being) atau upaya untuk membantu subjek (individu) secara normatif berkembang lebih baik. Upaya membantu manusia berkembang normatif lebih baik dimulai dari proses merumuskan hakikat manusia. Sebab, tanpa pemahamn yang benar tentang apa, siapa, mengapa, dan untuk apa manusia, maka pendidikan akan gagal mewujudkan manusia yang dicita-citakan. Begitu menariknya membicarakan tentang hakikat manusia dengan potensi pendidikannya dalam pandangan Filsafat Pendidikan Islam, maka disini akan dibahas tentang hakikat manusia, pandangan filsafat pendidikan Islam tentang hakikat manusia dan berbagai pandangan tentang hakikat manusia dan relasinya dengan proses kependidikan.
HAKIKAT MANUSIA
Manusia, siapa dan apakah dia? Sejak manusia ada sampai hari ini, persoalan tersebut belum terjawab secara tuntas. Banyak hal yang secara parsial yang berkaitan manusia sudah diketahui secara jelas dan pasti. Tetapi secara menyeluruh, jauh lebih banyak persoalan yang belum diketahui secara konkret, jelas dan pasti. Hal-hal yang fisik-kuantitatif pada umumnya sudah jelas, tetapi hal-hal yang spiritual-kualitatif masih tertinggal sebagai “misteri”. Manusia adalah sebuah “misteri”, bagaimana cara memahami manusia? Para filosof telah berupaya untuk merenungkan hakikat manusia. Hasil renungan mereka kemudian mewujud dalam hasil-hasil pemikiran filsafat tentang manusia, yang kemudian dikenal dengan filsafat tentang manusia (Ismail Thoib, 2008: 3-4).
Pemikiran tentang hakikat manusia, sejak zaman dahulu kala sampai zaman modern sekarang ini belum pernah berakhir dan tak akan pernah berakhir. Memikirkan dan membicarakan tentang hakikat manusia inilah yang menyebabkan orang tidak henti-hentinya berusaha mencari jawaban yang memuaskan tentang pertanyaan mendasar mengenai manusia, yaitu apa, dari mana dan kemana manusia itu.
Hakikat Manusia dan Implikasinya dalam Proses Pendidikan 3
Pembicaraan mengenai apa manusia itu melahirkan adanya empat aliran, yaitu:
1. Aliran Serba Zat
Aliran ini dapat disebut juga aliran materealisme. Menurut aliran ini bahwa yang sungguh-sungguh ada itu adalah zat atau materi. Zat atau materi itulah hakikat dari sesuatu. Alam ini adalah zat atau materi, dan manusia itu adalah unsur dari alam. Oleh sebab itu hakikat manusia adalah zat atau materi (Zuhairini, dkk.,1995: 71). Karena materi berada di dunia, maka pandangan materialisme cenderung identik dengan sifat duniawi tidak percaya pada sifat rohani.
Dalam kaitanya dengan pendidikan, aliran ini memandang manusia adalah sebagai makhluk reaksi yang pola reaksinya dapat disimpulkan sebagai satu stimulus respon. Implikasi dari teori ini dalam pendidikan, manusia hanya butuh pengalaman, latihan dan tidak mengakui adanya potensi-potensi kreativitas dan inisiatif.
2. Aliran serba Ruh
Aliran ini disebut juga dengan aliran idealisme. Menurut aliran ini bahwa segala hakikat sesuatu yang ada di di dunia ini adalah ruh. Juga hakikat manusia adalah ruh. Adapun zat itu adalah manifestasi dari ruh di atas dunia ini. Aliran ini menganggap bahwa ruh itu adalah hakikat manusia, sedang badan hanyalah bayangan saja. Ruh adalah sesuatu yang tidak menempatai ruang, sehingga tidak dapat disentuh dan dilihat oleh pancaindra, sedangkan materi adalah penjelmaan ruh.
Dasar aliran ini adalah bahwa ruh itu lebih berharga, lebih tinggi nilainya daripada badan atau materi. Sebagai contoh seseorang yang meninggal artinya ia tanpa ruh akan dikatakan “Dia telah pergi, dia sudah tidak ada, dan lain sebagainya. Hubungannya dengan aliran ini maka pendidikan harus dilaksanakan berdasarkan kodrat kebutuhan rohaniah, terutama untuk membina rasio, perasaan, kemauan dan spirit (Mohammad Noor Syam, 1988: 163-165).
3. Aliran Dualisme
Aliran ini mencoba mengawinkan kedua aliran tersebut di atas. Aliran ini menganggap manusia itu pada hakikatnya terdiri dari dua substansi yaitu jasmani dan rohani, badan dan ruh. Kedua substansi ini masing-masing
merupakan unsur asal yang adanya tidak tergantung pada yang lain. Jadi badan tidak berasal dari ruh juga sebaliknya ruh tidak berasal dari badan. Hanya dalam perwujudannya, manusia itu serba dua, jasad dan ruh, yang keduanya berintegrasi membentuk yang disebut manusia. Antara badan dan ruh terjalin hubungan yang bersifat kausal, sebab akibat. Artinya antara keduanya saling pengaruh mempengaruhi. Apa yang terjadi di satu pihak akan mempengaruhi di pihak yang lain. Sebagai contoh orang yang cacat jasmaninya akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwanya. Sebaliknya, orang yang jiwanya cacat atau kacau, akan berpengaruh pada fisiknya.
4. Aliran Eksistensialisme
Pembicaraan tentang hakikat manusia ternyata terus berkembang dan tak kunjung berakhir. Orang belum merasa puas dengan pandangan-pandangan di atas, baik dari aliran serba zat, serba ruh maupun aliran dualisme. Ahli-ahli filsafat modern dengan tekun berpikir lebih lanjut tentang hakikat manusia mana yang merupakan eksistensi atau wujud sesungguhnya dari manusia itu. Mereka yang memikirkan manusia dari segi eksistensinya atau wujud manusia itu sesungguhnya, disebut dengan aliran eksistensialisme.
Mereka ini pada hakikatnya mengkaji manusia dari segi apa yang menguasai manusia secara menyeluruh. Dengan demikian aliran ini memandang manusia secara menyeluruh tentang cara beradanya manusia di dunia ini (Zuhairini, dkk., 1995: 71-73). Mereka dihadapkan pada persoalan-persoalan seperti “Sipakah saya?” dan “Apa makna eksistensi itu?”. Tindakan kehidupan sehari-hari adalah sebuah proses perumusan esensinya. Setelah ia mengalami hidup, ia membuat pilihan-pilihan dan mengembangkan kesenangan dan ketidaksenangannya. Melalui tindakan ini ia merumuskan siapa dirinya sebagai seorang individu. Lewat proses ini ia sampai pada kesadaran bahwa ia adalah apa yang ia pilih untuk ada dan mempertanggungjawabkan pilihan-pilihannya. Manusia dihadapkan pada realitas-realitas senyatanya dari kehidupan, kematian dan makna, dan ia mempunyai kebebasan yang tak terucapkan untuk bertanggung jawab atas esensi dirinya (George R. Knight, 2007: 129-130).
Hakikat Manusia dan Implikasinya dalam Proses Pendidikan 5 PANDANGAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM TENTANG HAKIKAT MANUSIA
Islam berpandangan bahwa hakikat manusia ialah perkaitan antara badan dan ruh. Badan dan ruh masing-masing merupakan substansi yang berdiri sendiri, yang tidak tergantung adanya oleh yang lain.
Dalam al-Qur‘an Allah SWT berfirman:
ÕiVVXT R<ÙQ \\ ]C_60_ C°% VQ Ày C°K% Ûܰ» §ª«¨ 1É2 ÈOR<Ú \È\B <R[ÝÕ¼È5 r¯Û qWmV Ûܦ% §ª¬¨ 2É2 X=ÙQ \\ VR[ÝÕ¼r= <RVQ WÆ X=ÙQ \bVÙ VRVQ \ÈÙ <RWÓÕ²Ä% X=ÙQ \bVÙ VRWÓÕ²À-Ù 8-VÀ°Ã W5×S_VVÙ ]2VÀ°ÈÙ 8-ÙVP 2É2 ÈOW5ÚW6U Ú \\ Wm\\XÄ [XqWW)VÙ ÀC_ÕOU WÛܪ¯ VcÙ §ª¨
Artinya: “Dan sesungguhnya kami ciptakan manusia dari saripati
tanah kemudian kami jadikan dari tanah itu air mani (terletak) dalam tempat simpanan yang teguh (rahim) kemudian dari air mani itu kami ciptakan segumpal darah lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging dan dari segumpal daging itu Kami ciptakan tulang belulang. Kemudian tulang-belulang itu Kami tutup dengan daging. Sesudah itu kami jadikan dia makhluk yang baru yakni manusia yang sempurna. Maka Maha berkat (suci Allah) pencipta yang paling baik (Q.S.
al-Mukminun:12-14).
Islam secara tegas menyatakan bahwa badan dan ruh adalah substansi alam, sedangkan alam adalah makhluk dan keduanya diciptakan oleh Allah, dijelaskan bahwa proses perkembangan dan pertumbuhan manusia menurut hukum alam material (Jalaluddin dan Abdullah Idi, 1997: 108). Jadi, manusia itu terdiri dari dua substansi yaitu materi yang berasal dari bumi dan ruh yang berasal dari Tuhan. Maka hakikat manusia itu adalah ruh itu, sedangkan jasadnya hanyalah alat yang digunakan oleh ruh untuk menjalani kehidupan material di alam material yang bersifat sekunder dan ruh adalah yang primer, karena ruh saja tanpa jasad yang material tidak dapat dinamakan manusia (Zuhairini, dkk., 1995: 75-77).
BERBAGAI PANDANGAN TENTANG HAKIKAT MANUSIA DAN RELASINYA DENGAN PROSES KEPENDIDIKAN
1. Potensi Manusia Menurut Al-Qur‘an
Mengenai potret potensi yang dimiliki oleh manusia al-Qur‘an telah mensinyalir dengan dua kata kunci yang dapat dijadikan untuk memahami manusia secara komprehenship. Kedua kata kunci tersebut adalah al-Insan dan al-Basyar. Kata al-Insan yang bentuk jamaknya adalah al-Nas dari segi semantik atau ilmu tentang akar kata, dapat dilihat dari akar kata anasa yang mempunyai arti melihat, mengetahui dan meminta izin. Atas dasar kata ini mengandung petunjuk adanya kaitan substansi antara manusia dengan kemampuan penalaran. Dengan penalaran yang dimiliki oleh manusia, ia dapat mengambil pelajaran dari apa yang dilihatnya, ia dapat pula mengetahui dari apa yang benar dan apa yang salah dan terdorong untuk meminta izin menggunakan sesuatu yang bukan miliknya.
Selanjutnya kata insan bila dilihat dari asal katanya berasal dari kata
nasiya yang berarti lupa, ini menunjukkan adanya kaitan yang erat antara
manusia dengan kesadaran dirinnya.
Sedangkan kata insan jika dilihat dari asal katanya al-Uns atau anisa berarti jinak, sehingga pada dasarnya manusia itu jinak dan dapat menyesuaikan dirinya dengan realitas hidup dan lingkungannya. Manusia mampu beradaptasi dan bersosialisasi dengan lingkungan alamiahnya.
Adapun kata basyar dipakai untuk menyebut semua makhluk, baik laki-laki maupun perempuan, baik secara individual maupun kolektif. Kata basyar adalah bentuk jamak dari kata basyarah yang artinya permukaan kulit kepala, wajah dan tubuh. Semua kegiatan yang didasari dan dilakukan manusia
(al-Insan) itu dasarnya adalah kegiatan yang didasari dan berkaitann dengan
kapasitas akalnya dan aktualisasi dalam kehidupannya yang konkret yaitu perencanaan, tindakan dan akibat-akibatnya atau perolehan yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut. Pengertian basyar tak lain adalah manusia dalam kehidupannya sehari-hari yang berkaitan dengan aktivitas lahiriahnya, yang dipengaruhi oleh dorongan kodrat alamiahnya, seperti makan, minum.
Manusia adalah makhluk yang memiliki kelengkapan jasmani dan rohani. Dengan kelengkapan yang dimilikinya ia dapat melaksanakan tugas-tugas yang memerlukan dukungan jasmani dan rohani tersebut. Selanjutnya, agar kedua substansi tersebut dapat berfungsi dengan baik dan produktif, maka perlu dibina dan dikembangkan melalui pendidikan (Abuddin Nata, 2001: 28-35).
Hakikat Manusia dan Implikasinya dalam Proses Pendidikan 7 2. Implikasi Potensi Dasar Manusia dalam Proses Pendidikan Islam
Para pakar pendidikan Islam sepakat bahwa teori kependidikan Islam harus didasarkan pada konsepsi dasar tentang manusia. Pembicaraan yang berkaitan dengan hal ini dirasakan sangat mendasar dan perlu dijadikan pijakan dalam melakukan aktivitas pendidikan. Tanpa adanya kejelasan mengenai konsep manusia, pendidikan Islam akan berjalan tanpa arah yang jelas, bahkan pendidikan Islam tidak akan dapat dipahami secara jelas tanpa terlebih dahulu memahami hakikat manusia seutuhnya (Ali Ashraf, 1989: 1).
Pendidikan Islam berpandangan bahwa pada dasarnya potensi dasar manusia adalah baik dan sekaligus juga buruk. Potensi manusia dalam pandangan pendidikan Islam beragam jenisnya, berupa fitrah, ruh, dan kalbu adalah baik. Sementara potensi yang berupa akal adalah netral dan yang berbentuk nafsu dan jasad bersifat buruk (Baharudin, 2005: 206).
Berdasarkan pandangan di atas. Berikut ini akan dijelaskan implikasi potensi dasar manusia dalam Proses pendidikan Islam.
a. Implikasi Potensi Jasmani (fisik) dalam Proses Pendidikan Islam Aspek jasmani (fisik) merupakan sesuatu yang hakiki untuk manusia. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pendidikan Islam jasmani adalah bagian penting dalam proses pendidikan manusia untuk menjadi pribadi yang utuh.
Perhatian pendidikan Islam pada aspek jasmani ini membawa dampak bahwa dalam proses belajar mengajar dan mencari pengetahuan, pancaindra perlu dilatih untuk peka, teliti dan terintegrasi dengan kegiatan akal budi. Penghargaan terhadap pentingnya jasmani mengakibatkan penghargaan terhadap pekerjaan tangan sebagai bagian integral dari pendidikan Islam.
Aspek jasmani harus dikembangkan menjadi manusia yang memiliki jasmani yang sehat dan kuat serta berketerampilan melalui pendidikan Islam. Jasmani yang sehat dan kuat akan berkaitan dengan pola manusia mencari rizki dan keterampilannya mencari rizki dengan jalan yang halal dalam kehidupan ini. Fisik jasmani ini berkaitan dengan jasad-jasad indrawi manusia yang bisa melihat, mendengar, serta mampu berbuat secara lahiriah (Abdurrahman Abdullah, 2002: 132).
Dimensi kejasmaniaan sangat penting diperhatikan agar proses belajar mengajar dan mencari pengetahuan, pancaindra perlu dilatih untuk bisa digunakan secara seksama. Daya observasi atau pengamatan inderawi kita
perlu dilatih untuk jadi peka, teliti, dan terintegrasi dengan kegiatan budi. Kalau ini terjadi, maka pengamatan inderawi akan menjadikan sentral yang menjadi awal dan operator untuk pengetahuan akal budi.
Dalam proses kependidikan, penghargaan terhadap pentingnya badan juga perlu dilakukan pada penghargaan terhadap pekerjaan tangan sebagai bagian integral dari pendidikan. Peserta didik perlu dilatih dan dikembangkan keterampilannya untuk melakukan pekerjaan tangan. Kegiatan prakarya merupakan bagian yang signifikan dari kegiatan pendidikan. Sikap priyayi yang cenderung merendahkan nilai pekerjaan tangan sebagai pekerjaan kasar merupakan suatu sikap yang masih ada dalam masyarakat kita dewasa ini, harus digugat kembali (Ismail Thoib, 2008: 31-32).
b. Implikasi Potensi Ruhani Manusia dalam Proses Pendidikan Islam Ruhani adalah aspek manusia yang bersifat spiritual dan trasendental. Potensi ruhani yang dimiliki manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan tertentu. Oleh karena itu, tugas pendidikan Islam adalah melestarikan, serta menyempurnakan kecenderungan-kecenderungan yang baik dan menggantikan atau mengendalikan kecenderungan-kecenderungan jahat menuju kecenderungan-kecenderungan positif.
1) Dimensi al-Nafsu
Nafsiah dalam diri manusia memiliki beberapa dimensi diantaranya adalah dimensi al-Nafsu. Dimensi al-Nafsu adalah termasuk salah satu potensi yang dimiliki manusia dan berimplikasi dalam proses pendidikan Islam yang harus ditumbuhkembangkan. Agar potensi tersebut dapat ditumbuhkembangkan dan diaktualisasikan dengan baik, maka perlu adanya upaya melaksanakan pendidikan Islam sebaik-baiknya dengan cara sebagai berikut:
a) Mengembakan nafsu peserta didik pada aktivitas yang positif, misalnya nafsu agresif, yaitu dengan memberikan sejumlah tugas harian yang dapat memperoleh kesempatan berbuat yang berguna b) Menanamkan rasa keimanan yang kuat dan kokoh. Sehingga dimanapun berada, peserta didik tetap dapat menjaga diri dari perbuatan amoral.
c) Menghindarkan diri dari pendidikan yang bercorak materialistik, karena nafsu mempunyai kecenderungan serba kenikmatan tanpa mempertimbangkan potensi lainnya. Dengan demikian, dalam diri
Hakikat Manusia dan Implikasinya dalam Proses Pendidikan 9
peserta didik, terbentuk dengan sendirinya suatu kepribadiaan yang Islami, atau setidak-tidaknya dapat mengurangi dorongan nafsu serakah.
2) Dimensi al-Aql
Potensi akal merupakan karunia Allah untuk mengetahui hakikat segala sesuatu, maka upaya pendidikan Islam dalam mengembangkan potensi akal adalah sebagai berikut:
a) Membawa dan mengajak peserta didik untuk menguak hukum alam dengan dasar dan teori serta hipotesis ilmiah melalui kekuatan akal pikiran.
b) Mengajar peserta didik untuk memikirkan ciptaan Allah sehingga memperoleh kekuatan untuk membuat kesimpulan bahwa alam diciptakan dengan tidak sia-sia.
c) Mengenalkan peserta didik dengan materi logika, filsafat, matematika, kimia, fisika dan sebagainya serta materi-materi yang dapat menumbuhkan daya kreativitas dan produktivitas daya nalar. d) Memberikan ilmu pengetahuan menurut kadar kemampuan akalnya dengan cara memberikan materi yang lebih mudah dahulu lalu beranjak pada materi yang sulit, dari yang konkret menuju abstrak. e) Melandasi pengetahuan aqliah dengan jiwa agama dalam arti peserta didik dibiasakan untuk menggunakan kemapuan akalnya semaksimal mungkin sebagai upaya ijtihad dan bila ternyata akal belum mampu memberikan konklusi tentang suatu masalah, masalah tersebut dikembalikan kepada wahyu.
f) Berusaha mencetak peserta didik untuk menjadi seseorang yang berpredikat “ulul albab” yaitu seorang muslim yang cendikiawan dan muslim intelektual dengan cara melatih daya intelek, daya pikir dan daya nalar serta memiliki keterikatan moral, memiliki komitmen sosial dan melaksanakan sesuatu dengan cara yang baik (Muhaimin dan Abdul Mujib, 1993: 54).
3) Dimensi al-Qalb
Al-Qalb adalah pusat aktivitas manusia sesuai yang diperintahkan oleh
Allah. Qalb berperan sebagai sentral kebaikan dan kejahatan manusia, walaupun pada hakikatnya cenderung kepada kebaikan. Sentral aktivitas manusia bukan ditentukan oleh badan yang sehat.
Upaya-upaya yang harus dilakukan dalam pendidikan al-Qalb adalah: a) Teknis pendidikan diarahkan agar menyentuh dan merasuk dalam
kalbu dan dapat memberikan bekas yang positif, misalnya dengan menggunakan cara yang lazim digunakan Rasulullah SAW dalam berdakwah yang didalam dirinya tercermin sifat lemah lembut, penuh kasih sayang dan tidak kasar (QS. 3: 159).
b) Materi pendidikan Islam tidak hanya berisikan materi yang dapat mengembangkan daya intelek peserta didik tetapi lebih dari itu, juga berisi materi yang dapat mengembangkan daya intuisi atau daya perasaan sehingga bentuk pendidikan Islam diarahkan pada pengembangan daya pikir dan dzikir.
c) Aspek moralitas dalam pendidikan Islam tetap dikembangkan karena aspek ini dapat menyuburkan perkembangan qalb. Dengan demikian, akan terbentuk suatu tingkah laku yang baik bagi anak. d) Proses pendidikan Islam dilakukan dengan cara membiasakan peserta didik untuk berkepribadian utuh, dengan cara menyadarkan akan peraturan atau rasa hormat terhadap peraturan yang berlaku serta melaksanakan peraturan tersebut (Muhaimin dan Abdul Mujib, 1993: 54).
4) Dimensi al-Ruh
Al-Ruh (ruh) merupakan amanah Allah yang diberikan kepada manusia.
Selanjutnya, tugas manusia untuk memelihara dan mengembangkan ruhani manusia tersebut dengan berbagai pendidikan ruhaniah. Pendidikan ruhaniah adalah pendidikan yang dapat memenuhi ruhaniah sebagai substansi manusia, agar manusia senantiasa berada di jalan Allah. Pendidikan ruhani juga dapat mengantarkan manusia pada kesucian di hadapan Allah.
Jalan yang harus ditempuh pendidikan ruhani adalah sebagai berikut: a) Memberikan pendidikan Islam untuk mengenal Allah SWT. Dengan
berbagai pendekatan dan dimensi.
b) Kurikulum pendidikan Islam ditetapkan dengan mengacu pada petunjuk Allah yang tertuang dalam Al-Qur‘an dan As-Sunnah, sehingga wahyu merupakan sumber utama kurikulum pendidikan Islam.
c) Karena manusia ciptaan Allah yang terbesar dan diberikan berbagai potensi ruhaniah, dan juga atribut baik, mengenal dan memahami
Hakikat Manusia dan Implikasinya dalam Proses Pendidikan 11
tujuan Allah menciptakannya, serta melaksanakan tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah. Tugas itu pada akhirnya dibebankan pada pendidikan dan bagaimana pendidikan Islam dapat menciptakan manusia ke arah yang mampu melaksanakan tugasnya.
d) Pendidikan tidak akan berakhir sampai usia kapanpun, tetapi berakhir setelah ruh meninggalkan jasad manusia. Untuk itu, pendidikan diarahkan pada pendidikan seumur hidup (Muhaimin dan Abdul Mujib, 1993: 52-53).
Manusia tidak hanya sebagai makhluk yang berbadan tetapi juga berjiwa. Maka dari itu, dalam ranah pendidikan kita perlu mengusahakan agar peserta didik dapat mengembangkan kecakapan-kecakapan emosionalnya: cipta, rasa, dan karsa; sadar, mengerti, merasa, dan menghendaki, tetapi juga menjadi mampu mencintai sesama dan berbakti kepada Allah. Bermodal kecakapan-kecakapan seperti ini, manusia mampu melakukan karya atau kegiatan-kegitan yang mengatasi makhluk-makhluk yang lainnya, seperti kegiatan berbahasa baik lisan maupun tertulis, berhitung, berkesenian, berilmu, bekerja, beriman, dan bertakwa kepada Allah. Kemampuan-kemampuan tersebut mesti diperhatikan dan ditumbuhkembangkan dalam pendidikan.
Sebagai makhluk jasmani, manusia tidak akan lepas dari dorongan-dorongan naluriah dan nafsu-nafsu. Namun karena manusia adalah sekaligus juga makhluk ruhaniah, maka dorongan-dorongan tersebut biasa diatur dan dikuasai oleh daya-daya jiwa. Di sini terletak pentingnya penanaman disiplin dalam pendidikan yang dilakukan secara teratur dan objektif. Dalam pendidikan, peserta didik perlu diberi pengertian dan pencerahan agar keberadaannya ditegakkan di atas bimbingan dan pengaturan akal budinya. Itu berarti, ia tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh nafsu, perasaan, dan emosinya yang buta. Dalam kaitannya dengan ini, pendidikan budi pekerti dalam bentuk pendidikan moral dan agama merupakan bagian penting dalam suatu kegiatan pendidikan (Ismail Thoib, 2008: 34-35).
3. Hakikat Fitrah Manusia dan Relasinya dengan Proses Kependidikan
Fitrah menurut bahasa berarti ciptaan, sifat pembawaan manusia (yang ada sejak lahir). Fitrah secara istilah berarti suatu kekuatan atau kemampuan (potensi yang terpendam) yang menetap dalam diri manusia sejak awal
kejadiannya, untuk komitmen terhadap nilai-nilai keimanan kepada-Nya, cenderung kepada kebenaran (hanif) dan potensi itu merupakan ciptaan Allah. Hakikat fitrah manusia adalah sebagian sifat-sifat ketuhanan (potensi/ fitrah) yang harus ditumbuhkembangkan secara terpadu oleh manusia dan diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari baik dalam kehidupan individu maupun sosialnya, karena kemuliaan seseorang di sisi Allah lebih ditentukan oleh sejauhmana kualitas yang ada dalam diri manusia dikembangkan sesuai dengan sifat-sifat ketuhanan tersebut, bukan dilihat dari segi materi, fisik atau jasadnya (Muhaimin dan Abdul Mujib, 1993: 16-17).
Fitrah merupakan potensi dasar yang dimiliki oleh peserta didik yang dapat mengantarkan kepada tumbuhnya daya kreativitas dan produktivitas, serta komitmen terhadap nilai-nilai Ilahi dan insani. Hal ini dapat dilakukan melalui program pendidikan yang dilaksanakan di sekolah maupun di luar sekolah.
Seorang pendidik tidak dituntut untuk mencetak peserta didiknya, menjadi orang seperti ini atau itu, tetapi cukup dengan menumbuhkembangkan potensi dasarnya serta kecendrungan-kecendrungan yang dimiliki oleh peserta didik sesuai dengan minat dan bakatnya.
Apabila ada peserta didik yang memiliki pembawaan sifat jahat, upaya pendidikan hendaknya diarahkan dan difokuskan untuk menghilangkan serta menggantikan atau setidak-tidaknya menguranginya elemen-elemen kejahatan tersebut. Sebenarnya konsep fitrah pada hakikatnya adalah berikhtiar menanamkan tingkah laku yang sebaik-baiknya, sebab fitrah itu tidak bisa berkembang dengan sendirinya.
Konsep fitrah memilki tuntutan agar pendidikan Islam diarahkan pada landasan al-Tauhid. Apa saja yang dipelajari oleh anak hendaknya tidak bertentangan dengan konsep al-Tauhid. Sebab al-Tauhid merupakan inti semua ajaran agama yang dianugerahkan Allah kepada manusia. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan Islam hendaknya berisikan nilai-nilai keislaman yang pada akhirnya mengarah pada konsep al-Tauhid ini.
Selain itu, firah manusia juga mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang bersifat jasmani, seperti makan, minum, seks dan lain sebagainya. Pemenuhan kebutuhan jasmani ini harus diarahkan dalam rangka mengaktualisasikan fitrah manusia (Muhaimin dan Abdul Mujib, 1993: 28-29).
Hakikat Manusia dan Implikasinya dalam Proses Pendidikan 13
Potensi dasar fitrah manusia harus ditumbuhkembangkan secara optimal dan terpadu melalui proses pendidikan sepanjang hayat. Manusia diberi kebebasan untuk berikhtiar mengembangkan potensi-potensi dasar fitrah yang dimilikinya. Namun dalam pertumbuhan dan perkembangannya tidak bisa dilepaskan dari adanya batas-batas tertentu, yaitu adanya hukum-hukum tertentu yang menguasai alam, hukum-hukum yang menguasai benda-benda maupun manusia, yang tidak tunduk dan tidak tergantung pada kemauan manusia.
Disamping itu, pertumbuhan dan perkembangan potensi dasar fitrah manusia juga dipengaruhi oleh faktor-faktor hereditas, lingkungan alam dan geografis, lingkungan sosio kultural dan sejarah. Oleh karena itu maka minat, bakat dan kemampuan skill dan sikap manusia yang diwujudkan dalam kegiatan ikhtiarnya dan hasil yang dicapinya bermacam-macam (Muhaimin, 2001: 12-19).
Selain itu, dari segi sosial psikologis manusia dalam proses pendidikan sebagai makhluk yang sedang bertumbuh dan berkembang dalam proses komunikasi antara individualitasnya dengan orang lain atau lingkungan sekitaryna dan proses ini dapat membawanya ke arah pengembangan sosial dan kemampuan moralitasnya.
Dalam proses tersebut terjadi suatu pertumbuhan atau perkembangan secara dealektis atau interaksional antara individu dan sosialitas serta lingkungan sekitarnya, sehingga terbentuklah proses biologis, psiklogis dan sosiologis sekaligus dalam waktu bersamaan dalam rangka pengembangan terhadap kemampuan dasar atau bakat manusia.
Proses kependikan yang terjadi pada manusia menurut ajaran Islam dipandang sebagai perkembangan alamiah pada diri manusia yang sudah ditetapkan oleh Allah berdasarkan sunnatullah (HM. Arifin, 1994: 58-59).
Proses kependidikan yang ada pada akhirnya diharapkan mampu membina kepribadian manusia, baik demi ultimate goal maupun tujuan-tujuan yang terdekat. Tujuan akhir pendidikan adalah kesempurnaan pribadi yang didasarkan pada asas self-realisasi, yakni merealisasikan potensi-potensi yang sudah ada pada diri manusia baik berupa potensi moral, keterampilan maupun perkembangan jasmani (Mohammad Noor Syam, 1988: 179).
SIMPULAN
Manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang terdiri dari unsur jasmani dan ruhani. Manusia lahir dengan membawa potensi fitrah. Potensi-potensi yang dimiliki oleh manusia tersebut dapat dikembangkan dengan baik dan produktif melalui proses pendidikan. Selain itu, manusia dalam pertumbuhan dan perkembangannya juga dipengaruhi oleh faktor-faktor hereditas dan lingkungan.
Proses pendidikan Islam berusaha mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki oleh manusia secara keseluruhan dan berusaha untuk mengembangkannnya dengan sebaik mungkin tanpa ada yang terabaikan sedikitpun. Dengan demikian Proses pendidikan Islam yang dijalankan diharapkan mampu mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam diri manusia sehingga lahirlah manusia yang berkepribadian muslim dan manusia yang selalu menghambakan dirinya kepada Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdurrahman. 2002. Aktualisasi Konsep Dasar Pendidikan
Islami, Kontruksi Pemikiran dalam Tinjauan Filsafat Pendidikan Islam. Yogayakarata: UII Press.
Arifin, M. 1994. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Ashraf, Ali. 1989. Horison Baru Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka
Progresif.
Baharudin. 2005. Aktualisasi Psikologi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Jalaluddin dan Abdullah Idi. 1997. Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat
dan Pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Khobir, Abdul. 1997. Filsafat Pendidikan Islam (Landasan Teoritis dan Praktis). Pekalongan: STAIN Pekalongan Press.
Muhaimin dan Abdul Mujib. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam Kajian
Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya. Bandung: Trigenda
Karya.
Muhaimin. 2001. Paradigma Pendidikan Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hakikat Manusia dan Implikasinya dalam Proses Pendidikan 15
Noor Syam, Mohammad. 1986. Filsafat Pendidikan dan dasar Filsafat
Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional.
R. Knight, George. 2007. Issues And Alternative In Educational
Philoshopy (Filsafat Pendidikan). Penterjemah Mahmud Arif.
Yogyakarta: Gama Media.
Thoib, Ismail 2008. Wacana Baru Pendidikan Meretas Filsafat Pendidikan
Islam. Yogyakarta: Genta Press.
Orientasi Produktif: Pengaruh Makna Kerja dan Motivasi... 17
ORIENTASI PRODUKTIF:
PENGARUH MAKNA KERJA DAN MOTIVASI PADA
PEMBENTUKAN KARAKTER TENAGA PENDIDIK
Susminingsih*
Abstract: The understanding of teachers’ position in the educational
process departs from the pattern of social interaction and leads to the pattern of educational interaction. Therefore, the discussion of their existence as individuals who interact with their social environment becomes absolutely necessary. Human existence consists of several levels, namely: the first level, anthropological materialism, the second level is biological materialism and the third levels is spiritual beings. Unlike animals, humans have a higher life that is spiritual and intellectual life. Intrinsically this level is independent of everything that possesses material character. In the context of work, the nature of human beings as creatures teomorfis in principle, should be defined theologically, especially in the role of Caliph, correctly and internalized by every human being through the achievement of the akhlakul
karimah which relies on humanization, emancipation, liberation and
transcendence. In the world of education it is important for the formation of human character who believe, cautious, patient, sincere, affectionate, not easily discouraged oriented and productive.
Kata kunci: produktivitas, motivasi, tenaga pendidik. PENDAHULUAN
Pembentukan karakter yang berdasarkan tata nilai akhlak adalah mutlak. Suatu tatanan keumatan akan lestari dalam kemajuan dan kemakmuran manakala dilandasai oleh akhlak al-karimah. Hancurnya suatu peradaban umat disebabkan oleh hancurnya akhlaq al-karimah. Dengan demikian,
*. Jurusan Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Pekalongan e-mail: mamafahmi [email protected]
sebaliknya bila umat hendak membentuk peradaban yang maju, berkah dan diridhai Allah, maka pembentukan karakter yang berakhlak al-karimah tidak dapat ditawar lagi. Untuk menuju ke arah tersebut, Allah menegaskan (QS Ali Imran (3):110). ×1È*=Å Xn×m\\ R%Ê Õ0\BmØ\Ê ¥< ° WDTÃpÀ'ÚV" ¦TÄmØÈ\-Ù¯ |E×S\IØ<V"XT ¨CWà m[=À-Ù WDSÄ=°%ØUÉ"XT ¯ ×SVXT |¦W%XÄ Ä#ØFU ª W*¦Ù WDVV <n×m\\ 1ÀI Ä1ÀIØ=°K% |ESÄ<°%ØUÀ-Ù Ä1ÉFÈnV<ÓU XT WDSÁ¦[ÝÙ §ªª©¨
Artinya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
Pertama yang harus ditegaskan berdasarkan ayat tersebut adalah bahwa kesadaran diri, bahwa kalian adalah umat. Maksudnya, selain mengakui sebagai mahluk individual, seseorang harus sadar bahwa ia adalah homo
sosios, manusia yang bersosial, berkomunitas, berjama’ah dan berhubungan
satu sama lain. Tidak sempurna manusia yang tidak memiliki hubungan sosial kemanusiaan (hablun min annaas) yang diselaraskan dengan hubunganya dengan Tuhan (hablun min Allah).
Kedua, untuk mewujudkan konsep keumatan atau jama’ah, kepentingan kemanusiaan harus menjadi sentral perhatian bahkan tujuan.
Ketiga, untuk mencapai tujuan agar tercipta keadaan umat yang unggul dan berkarakter al-kahlaq al-karimah, ada 4 tugas yang secara sosial harus dilakukan, yang sekligus harus menjadi karakter utama menuju khairul
ummah, yaitu humanisasi, emansipasi, liberasi dan transendensi;
1. Humanisasi, yaitu proses memberikan kesadaran kepada seseorang (diri sendiri, keluarga dan masyarakat) bahwa ia adalah manusia yang pada hakikatnya adalah memiliki bagian-bagian yang komplek tetapi dalam satu kesatuan yang utuh dan integral. Humanisasi, yang merupakan aplikasi
÷øĀ ¦
unsur-Orientasi Produktif: Pengaruh Makna Kerja dan Motivasi... 19
unsur kamanusiaan yang komprehensif-integral serta pemberdayaan secara simultan dan berkaitan antara fisik-akal-emosi dan spiritiual. 2. Emansipasi, yaitu semangat untuk berjuang mendapatkan nilai-nilai luhur
sehingga dapat menggapai manusia yang sempurna (al-insan al-kamil) Apa yang dinyatakan Allah dengan istilah (éąÆä}©¦ ) mengandung
maksud agar memiliki kesadaran untuk mengarahkan dirinya kepada segala kebaikan yang dapat mendekatkan dirinya pada Allah, baik dirinya sendiri, keluarga, maupun masyarakat. Karakter ini diharapkan agar seorang muslim memiliki dan melakukan tindakan-tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai luhur manusia yang bermartabat dan beradab. Nilai-nilai kemanusiaan seperti toleransi, menghargai, membantu, adil, peduli, jujur, damai, kerjasama, kebersamaan dan sebagainya adalah di antara nilai yang harus diperjuangkan dan ditransformasikan dalam kehidupan bidang apapun, termasuk pendidikan.
3. Liberasi, adalah proses membebaskan diri manusia dari berbagai belenggu yang dapat menghalangi dan menghambat terciptanya mashlahat umat. Belenggu itu di antaranya kemalasan, kemiskinan, kebodohan, kecurangan, kejahatan, kekerasan, individualisme-egoisme, rakus, dhalim dan sebagainya. Inilah makna yang dikandung oleh (ÆôĀ¥}) ). Karakter
liberasi, berarti manusia yang mau melepaskan dirinya dari sifat-sifat tercela (al-akhlaq al-madzmumah), yang di antaranya iri dengki, sombong, riya’, bakhil, khianat, munafik, dendam, rakus, kikir, dan sebagainya.
4. Transendensi, (7©¦ ) yaitu proses menghubungkan semua aspek
kehidupan kepada Tuhan. Dialah pemilik hidup manusia, dan Dia pula yang mengatur segala urusan yang ada di alam semesta ini. Bila manusia mampu menyandarkan segala aktivitasnya secara benar, maka segala ragam hidupnya telah memenuhi syarat sebagai ibadah. Bahkan segala ilmu yang dicari manusia, harus mampu mengantarkan kepada penguatan kesadaran ini. Amal pekerjaan apapun yang dilandasi keimanan adalah ibadah, sehingga makna hidup akan jelas tergapai, sandaran hidup akan nampak jelas. Karakter ini bisa dikatakan sebagai proses ta’alluq. Melalui ta’alluq yang kuat, akan melahirkan pribadi yang bertakhalluq dengan akhlaq Allah. Dengan karakter ini akan lahir pribadi yang beriman, bertakwa, sabar, tawakkal, ikhlas, kasih sayang, adil, dermawan, mahabbah kepada Allah dan sebagainya.
¯¦ û Æ ą ý (ý ĆĄ¯Ā ã þ (ýĆû
TENAGA PENDIDIK DAN HAKIKAT MANUSIA
Implikasi makna fitrah seorang manusia diperlukan pada suatu lembaga yang kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangan fitrahnya, yaitu lembaga pendidikan. Hal ini disebabkan karena pendidikan merupakan lembaga yang paling strategis untuk mengarahkan fitrah itu sesuai dengan apa yang dimaksud dalam al-Qur’an. Sebagaimana konsep fitrah yang menuntut agar pendidikan Islam bertujuan mengarahkan pada terciptanya ikatan kuat seorang manusia dengan sang Khaliknya (Abdurrahman Saleh Abdullah dalam Khoiron Rosyadi, 2004: 39).
Ada dua paradigma mengenai pemahaman tentang manusia, yaitu paradigma materialisme-ateistik (berkeyakinan pada teori bahwa dunia berasal dari realitas materi atau downward causation) dan spiritualisme-teistik (berkeyakinan pada teori bahwa dunia materi hakikatnya berasal dari realitas yang bersifat immateri atau upward causation) (Komaruddin Hidayat, 2008: 10).
Akan lebih mudah kita memahami pada paradigma kedua, sebab akan sulit bagi seseorang yang terbiasa dengan metode berpikir empirisme-materialistik untuk diajak menghayati makna penyempurnaan kualitas insani, sementara dalam konteks sufi manusia dipandang sebagai moral & religious
being.
Pemahaman akan hakikat manusia yang muncul dalam eksistensi dan aktivitasnya termasuk aktivitas kerja perlu ditindaklanjuti. Eksistensi dan aktivitas ini meliputi beberapa tingkatan. Tingkatan pertama, manusia dipandang sebagai materialisme antropologis, tingkatan kedua, manusia sebagai materialisme biologis dan tingkatan ketiga, manusia sebagai makhluk spiritual. Berbeda dengan binatang, manusia memiliki kehidupan yang lebih tinggi yakni kehidupan spiritual dan intelektual. Secara intrinsik tingkatan ini bersifat independen terhadap segala sesuatu yang bersifat material. Karenanya, pengetahuan yang bersifat rohani ini mampu menerobos ke dalam inti yang paling dalam dari benda-benda, pada eksistensi yang absolut (mutlak).
Dalam konteks kerja, hakikat manusia perlu didefinisikan kembali secara teologis. Sebagaimana telah disebutkan bahwa peran khalifah harus dimaknai secara benar dan diinternalisasikan oleh setiap manusia untuk menjalankan peran tersebut secara benar. Jika niat sudah ada, maka sesungguhnya proses ini tidaklah sulit untuk ditempuh, sebab manusia pada prinsipnya sebagai
Orientasi Produktif: Pengaruh Makna Kerja dan Motivasi... 21
makhluk teomorfis, maka sesungguhnya setiap diri manusia mempunyai potensi untuk memahami kebenaran ajaran Tuhannya, termasuk dalam hal perintah bekerja, sebagaimana dalam QS al-Jumu’ah: 10.
Vl¯ VÙ °0Xj¦²É ÅQSQ ¡ TÄm°W)5VÙ r¯Û ¨º×q)] SÅÓW*×XT C°% ©#Õ²VÙ TÄmÅÙlXT <nm°:[ ×Å \È WDSÀU¯ ÙÝÉ" §ª©¨
Artinya: Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah
kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Dalam kesempatan yang lain, al-Qur’an juga memerintahkan kepada manusia untuk berikhtiar menuju kehidupan yang lebih produktif dan progresif. Sebab, kehidupan membutuhkan dinamika dan kreativitas. Kebebasan berkehendak (free will) bagi manusia dibenarkan oleh al-Qur’an. Kesungguhan dan kreativitas dalam kehidupan sangat dianjurkan oleh Islam, karena hal itu merupakan fitrah manusia. Dalam QS an-Najm ayat 39-40 diterangkan bahwa: DU XT `Ùj ¨C_60`° Y¯ W% ³WË\y §¬²¨ DU XT ÈOXjØÈ\y WÕS\y sWmÄc §©¨
Artinya: Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh
selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya).
Jadi, Islam meyakini adanya potensi dasar yang dibawa sejak lahir dan potensi dasar itu akan berkembang dengan baik dan sempurna setelah berinteraksi dengan lingkungan sekitar, yaitu melalui pendidikan. Melalui institusi inilah, segala potensi manusia sejak fase “cipta” ketika seseorang sedang meng-idekan sesuatu dalam alam berpikirnya, yang kemudian dilanjutkan pada fase “rasa”, di mana segala respon afeksi dari pribadi seseorang di saat dia mengkomunikasikan “ide” nya dengan kepribadiannya sendiri. Pada akhirnya hakikat manusia akan lebih mudah dipahami ketika seseorang berhasil mewujudkan dataran idenya menjadi suatu “karsa” yang secara umum dipahami sebagai motivasi yang sangat menentukan tindakan seseorang tersebut.
Apabila rangkaian fase “cipta-rasa-karsa” tersebut diaplikasikan dalam insitusi pendidikan, maka dapat dipahami bahwa ketika seseorang mengidekan hal baik dalam alam berpikirnya, yang kemudian pemikiran mengenai kebaikan
tersebut terinternalisasi pada rasa-kepribadiannya hingga seseorang tersebut mempunyai pembawaan yang senantiasa memancarkan kebaikan, termasuk dalam mengajar. Hal ini sekaligus menunjukkan motivasi seseorang tersebut dalam beraktivitas mengajar senantiasa dilandasi niat untuk berbuat baik.
MAKNA KERJA
Asumsi mendasar (basic assumption) tentang makna kerja menurut Taliziduhu Ndraha (1999: 83-86) adalah sebagai berikut:
Tabel 1 Makna Kerja
No Makna kerja Keterangan
1 Hukuman Manusia sebenarnya hidup bahagia tanpa kerja di Taman Firdaus, tetapi karena ia jatuh ke dalam dosa, maka ia dihukum, untuk bisa hidup sebentar manusia harus bekerja banting tulang cari makan. Salah satu bentuk hukuman adalah kerja paksa. 2 Beban Bagi orang malas, kerja adalah beban, juga bagi
kaum budak atau pekerja yang berada pada posisi lemah.
3 Kewajiban Dalam sistem birokrasi atau sistem kontraktual, kerja adalah kewajiban, guna memenuhi perintah atau membayar hutang.
4 Sumber Penghasilan
Hal ini jelas bahwa kerja sebagai sumber nafkah merupakan anggapan dasar masyarakat umumnya. 5 Kesenangan Kerja sebagai kesenangan seakan hobi atau sport.
Hal ini ada kaitannya dengan leisure, sampai dengan pada SDM yang workaholic.
6 Gengsi, prestise Kerja sebagai gengsi berkaitan dengan status sosial dan jabatan. Jabatan struktural misalnya, jauh lebih diidamkan daripada jabatan fungsional.
7 Aktualisasi Diri Kerja dikaitkan dengan peran, cita-cita dan ambisi. 8 Panggilan Jiwa Kerja berkaitan dengan bakat. Dari sini tumbuh
profesionalisme dan pengabdian kepada kerja. 9 Pengabdian kepada
sesama.
Kerja dengan tulus tanpa pamrih.
10. Hidup. Hidup diabdikan dan diisi untuk dan dengan kerja. 11 Ibadah Kerja merupakan pernyataan syukur atas kehidupan
di dunia ini. Kerja dilakukan seakan-akan kepada dan bagi kemuliaan nama Tuhan dan bukan kepada manusia. Oleh karena itu orang bekerja penuh enthusiasm.
Orientasi Produktif: Pengaruh Makna Kerja dan Motivasi... 23 12 Suci Kerja harus dihormati dan jangan dicemarkan dengan perbuatan dosa, kesalahan, pelanggaran dan kejahatan.
MOTIVASI
Term motivasi sebenarnya berasal dari bahasa latin motivere yang berarti “bergerak” (Richard M. Steers et.al, 1996:8). Teori mengenai motivasi tidak sama dengan teori perilaku, motivasi hanyalah satu kelas/tahapan pada determinasi perilaku, sementara perilaku selalu dimotivasi, yang juga ditentukan secara biologis, kultural dan situasional (Jay M. Shafritz & J. Steven Ott, 2001:167).
Untuk menjelaskan keberadaan motivasi pada diri seseorang maka perlu diketahui kebutuhan mendasar yang dimiliki seseorang, sebagai berikut: a. Kebutuhan psikologis.
Kebutuhan yang muncul pertama kali untuk menjelaskan teori motivasi adalah apa yang disebut dorongan psikologis. Sebagai ilustrasi jika segala kebutuhan tidak terpuaskan dan organisme telah didominasi oleh kebutuhan psikologis, maka kebutuhan yang lain secara sederhana menjadi tidak diperhatikan lagi, misal bagi seseorang yang sangat lapar maka tidak ada ketertarikan selain adanya makanan, dia impikan makanan, dia ingat makanan dan dia hanya menginginkan makanan. Karakter lain dari organisme manusia apabila ketika ia telah didominasi oleh kebutuhan tertentu maka seluruh filosofi masa depan pun akan berubah.
b. Kebutuhan rasa aman.
Kategori kebutuhan kedua ini erat kaitannya dengan kebutuhan psikologis. Secara mekanis, jika suatu organisme telah dikuasai kebutuhan psikologis, maka dominasi tersebut akan mempengaruhi perilaku organisme yang bersangkutan.
c. Kebutuhan rasa cinta dan sayang. d. Kebutuhan akan harga diri.
e. Kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri.
(Jay M. Shafritz & J. Steven Ott, 2001: 168-172 )
Term ini pertama kali dikenalkan oleh Kurt Goldstein, yang mengacu pada keinginan untuk self-fulfillmen (pemenuhan diri), yaitu keinginan seseorang untuk beraktualisasi dengan potensi yang dimilikinya.
Dari sumber yang menimbulkannya, motif dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu motif intrinsik dan motif ekstrinsik. Motif intrinsik, timbulnya tidak memerlukan rangsangan dari luar karena memang telah ada dalam diri individu sendiri, yaitu sesuai atau sejalan dengan kebutuhannya. Sedangkan motif ekstrinsik timbul karena adanya rangsangan dari luar individu, misalnya dalam bidang pendidikan terdapat minat yang positif terhadap kegiatan pendidikan timbul karena melihat manfaatnya (Hamzah B. Uno, 2008: 4 ).
Motivasi yang terkait dengan pemaknaan dan peranan kognisi lebih merupakan motivasi intrinsik, yaitu motivasi yang muncul dari dalam, seperti minat atau keingintahuan (curiosity), sehingga seseorang tidak lagi termotivasi oleh bentuk-bentuk insentif atau hukuman. Sedangkan motivasi ekstrinsik ialah motivasi yang disebabkan oleh keinginan untuk menerima ganjaran atau menghindari hukuman.
Konsep motivasi intrinsik mengidentifikasikan tingkah laku seseorang yang merasa senang terhadap sesuatu; apabila ia menyenangi kegiatan itu, maka termotivasi untuk melakukan kegiatan tersebut. Jika seseorang menghadapi tantangan, dan ia merasa yakin dirinya mampu, maka biasanya orang tersebut akan mencoba melakukannya.
Dalam hubungannya dengan tingkah laku seseorang, konsep motivasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Seseorang senang terhadap sesuatu, apabila ia dapat mempertahankan rasa senangnya maka akan termotivasi untuk melakukan kegiatan itu. 2. Seseorang merasa yakin mampu menghadapi tantangan maka biasanya
orang tersebut terdorong melakukan kegiatan tersebut ( Hamzah B. Uno, 2008: 8 ).
Mengacu pada uraian teoritis tersebut, dapat didefinisikan bahwa motivasi kerja merupakan salah satu faktor yang turut menentukan kinerja seseorang. Besar atau kecilnya pengaruh motivasi pada kinerja seseorang tergantung pada seberapa banyak motivasi yang diberikan. Dan selanjutnya dapat dirumuskan konstruk motivasi kerja para pendidik sebagai suatu proses yang dilakukan untuk menggerakkan mereka agar perilaku yang dihasilkan dapat diarahkan pada upaya-upaya yang nyata untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Secara implisit motivasi kerja tenaga pendidik tampak melalui: 1. Tanggung jawab dalam melakukan kerja
Orientasi Produktif: Pengaruh Makna Kerja dan Motivasi... 25
3. Pengembangan diri.
4. Kemandirian dalam bertindak.
Untuk melihat lebih jelas dimensi dan indikator motivasi kerja seseorang dapat dipahami dalam tabel berikut (Hamzah B. Uno, 2008: 73):
Tabel 2. Dimensi dan Indikator Motivasi Kerja
Dimensi Indikator Motivasi internal x Tanggung jawab guru dalam melaksanakan tugas
x Melaksanakan tugas dengan target yang jelas. x Memiliki tujuan yang jelas dan menantang x Ada umpan balik atas hasil pekerjaannya x Memiliki rasa senang dalam bekerja
x Selalu berusaha untuk mengungguli orang lain x Diutamakan prestasi dari apa yang dikerjakannya Motivasi eksternal x Selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup
dan kebutuhan kerjanya
x Senang memperoleh pujian dari apa yang dikerjakannya.
x Bekerja dengan harapan ingin memperoleh insentif. x Bekerja dengan harapan ingin memperoleh perhatian
dari teman dan atasan.
Indikator-indikator tersebut seringkali ditemukan secara berganda pada diri seorang guru, hal ini memperlihatkan bahwa tuntutan kebutuhan yang termotivasi baik secara internal maupun eksternal melekat secara kodrati pada kepribadian seseorang. Secara normatif seharusnya memang demikian yang akan terjadi, artinya fenomena tersebut merupakan fenomena linier karena adanya keteraturan sistem, yaitu berfungsinya sistem fisikal-biologik dengan sistem mental spiritual. Fungsionalnya sistem tersebut selanjutnya akan menuntut adanya pemenuhan kebutuhan secara bertingkat, yang menurut Abraham Maslow dikenal dengan hirarki kebutuhan, yaitu: (Muhyi Batubara, 2004: 69)
a. Faali (fisiologis): antara lain rasa lapar, haus, perlindungan (pakaian dan
perumahan), seks dan kebutuhan ragawi lain
b. Keamanan; antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional.
c. Sosial; mencakup kasih sayang, rasa dimiliki, diterima baik dan persahabatan
d. Penghargaan; mencakup faktor rasa hormat internal seperti harga-diri, otonomi dan prestasi; dan faktor hormat eksternal seperti misalnya status, pengakuan dan perhatian.
e. Aktualisasi diri; dorongan untuk menjadi apa yang ia mampu menjadi, mencakup pertumbuhan, mencapai potensialnya dan pemenuhan diri.
KOMPETENSI DIRI
Kualitas tenaga pengajar erat dikaitkan dengan kompetensi, sementara kompetensi adalah karakter yang mendasari diri seseorang berhubungan dengan efektifitas dan performa dalam suatu pekerjaan. Dengan kata lain kompetensi adalah karakteristik yang mendasari seseorang dan mengindikasikan cara berperilaku dan berpikir seseorang. Ada 4 tipe karakteristik kompetensi, yaitu: (Lyle M. Spencer & Signe M. Spencer, 1993: 9-11)
1. Motivasi.
Suatu konsistensi berpikir seseorang tentang apa yang menjadi alasan melakukan suatu perbuatan.
2. Karakteristik psikis dan respon yang konsisten untuk situasi tertentu. 3. Konsep diri.
Konsep diri adalah cara individu memandang dirinya secara utuh, baik fisikal maupun emosional, sosial dan spiritual. Selain itu konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam hubungannya dengan orang lain. Konsep diri juga berhubungan dengan persepsi tentang sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, tujuan serta keinginannya.
Konsep diri merupakan suatu asumsi-asumsi mengenai kualitas personal yang meliputi penampilan fisik, kondisi psikis dan kadang-kadang berkaitan dengan tujuan dan motif utama. Juga dapat dikatakan sebagai sekumpulan informasi kompleks yang berbeda yang dipegang oleh seseorang tentang dirinya (Baron dan Byrne, 1994). Konsep diri mempunyai peran yang sangat besar dalam menentukan keberhasilan seseorang di bidang pekerjaanya, dan kesuksesan hidup pada umumnya. Hal ini karena konsep diri merupakan landasan bagi seseorang untuk terbuka dan peka terhadap perasaan-perasaan dari dalam dirinya, dan dari orang lain serta terhadap berbagai realitas pada lingkungannya (Burns, 1993: 281).
Orientasi Produktif: Pengaruh Makna Kerja dan Motivasi... 27
Konsep diri dipengaruhi oleh beberapa hal. Stuart dan Sudeen menyatakan bahwa ada 3 hal yang mempengaruhi konsep diri, yaitu
a. Self perception.
Persepsi merupakan suatu proses dimana seseorang memberikan makna dalam lingkungan kehidupannya dengan cara mengorganisasikan dan menginterpretasikan perasaan sosialnya. Adapun hal-hal yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang antara lain the perceiver, the target
dan the situation (Robbins & Coulter, 2005). Persepsi diri adalah
persepsi individu terhadap diri sendiri dan penilaiannya, serta persepsi individu terhadap pengalamannya akan situasi tertentu. Pandangan dan pengalaman pribadi yang sangat mengesankan atau sebaliknya mempengaruhi konsep dirinya dalam berperilaku.
b. Significant other,
Yaitu orang-orang terdekat yang dianggap memiliki hubungan dan posisi penting, akan memberikan dampak bagi perilaku seseorang. Hasil hubungan yang pernah dilakukan seseorang akan dijadikan cermin dalam melihat kedirian seseorang.
c. Teori perkembangan
Artinya perkembangan fisik dan psikis seseorang sejak kelahirannya akan memberikan berbagai batasan-batasan tertentu dalam melakukan berbagai kegiatan aktualiasi dirinya.
Menurut Rogers, konsep diri memiliki tiga dimensi, yaitu; pengetahuan tentang diri sendiri, yang berhubungan dengan informasi pribadi. Kemudian penghargaan diri, dimana seseorang menentukan gagasan atau cita-cita menjadi seperti apa kelak dikemudian hari. Dan penilaian diri, yaitu pengukuran tentang keadaan diri dibandingkan dengan dapat dan seharusnya terjadi. Hasil pengukuran tersebut adalah rasa harga diri (self esteem).
4. Pengetahuan
Pengetahuan adalah kompetensi yang kompleks, dan ia menjadi prediksi terbaik bagi seseorang untuk melakukan sesuatu atau tidak. Dalam perspektif Islam, pengetahuan sangat berharga. Pengetahuan (sains) dan agama (iman) merupakan karunia Allah SWT yang semata-mata diberikan kepada manusia sehingga keduanya dianggap sifat khas manusia. Bahkan Islam memberikan penilaian yang berbeda antara orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu.
Diantaranya dalam QS. Al Mujadalah: 11 SM{iUWc WÛϰ ßSÄ=W%XÄ Vl¯ #j° ×1ÅV SÀU[ÝV" c¯Û ¥¯ \H\-Ù SÀU_ÙÙVÙ ¬Z_ÙÝWc ×1ÅV Vl¯XT #j° TÃsÁ6 TÃsÁ6VÙ §ÌVÙ×mWc WÛϰ SÄ=W%XÄ ×1Å=°% WÛϰXT SÉ"TÊ ]2Ú °ÈÙ 0\BXq\j XT \-¯ WDSÉ \-ØÈV" ¸nm¯\\ §ªª¨
Artinya: Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu:
“Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
5. Keterampilan
Ia merupakan kemampuan untuk melakukan tugas fisik atau mental tertentu. Kompetensi keterampilan mental atau kognitif mencakup berpikir analitis (proses keilmuan dan data, penentuan sebab dan akibat, mengorganisir data dan perencanaan) serta berpikir konseptual.
Dalam Islam konsep diri adalah gambaran seseorang mengenai dirinya sendiri, dalam arti sejauh mana ia menilai sediri kualitas keimanan, kemusliman dan kemuhsinannya berdasarkan tolok ukur ajaran agama Islam.
ORIENTASI PRODUKTIF: IMPLIKASI MAKNA KERJA PADA KARAKTER TENAGA PENDIDIK
Seseorang memiliki sejumlah kekhasan sebagai makhluk yang berbeda dengan hewan, yaitu: kesadaran diri (self awareness), akalbudi (reason) dan daya khayal (imagination). Manusia selalu menghadapi 2 macam kendala dan kontradiksi yaitu: (Hanna Djumhana Bastaman, 1995: 102-3)
1. The existential dichotomy, yaitu keadaan yang mau tidak mau harus
terjadi dan sama sekali tidak dapat dihindari karena merupakan kodrat manusia, seperti hidup dan mati. Terhadap kendala ini manusia harus menghadapi dan menerimanya (to face the truth) dengan penuh tanggung jawab, memfungsikan daya akal dan imajinasinya, serta mengisi hidupnya dengan kegiatan yang bermakna dan produktif.
Orientasi Produktif: Pengaruh Makna Kerja dan Motivasi... 29
2. The historical dichotomy yaitu hal-hal yang semula diciptakan manusia
sendiri dan kemudian berkembang melembaga dalam kehidupan sosial, misalnya status sosial. Kendala ini biasanya bisa diubah dan ditiadakan melalui berbagai upaya dan usaha.
Sementara orientasi produktif ditandai dengan perealisasian, peningkatan serta pemanfaatan daya-daya dan potensi pribadi yang terbawa dan terpadu pada eksistensinya sebagai manusia. Ada beberapa karakter produktivitas, yaitu: (Hanna Djumhana Bastaman, 1995: 112-113)
1. Pemikiran yang produktif ( productive thinking)
Ditandai dengan sikap yang respek dan obyektif serta minat yang besar terhadap hal-hal yang dipikirkan. Sikap obyektif artinya kemampuan melihat sesuatu secara apa adanya, tanpa bermaksud memanipulasinya dan mengubah keunikan-keunikannya. Hal ini hanya mungkin terjadi bila si pemikir menaruh minat besar dan bersikap menghargai terhadap sasaran pemikirannya.
2. Cinta kasih yang produktif (productive love)
Ditandai 4 hal, yaitu: care (memelihara), responsibility (bertanggungjawab), respect (hormat) dan knowledge (pengetahuan). 3. Berkarya yang produktif (working)
Ditandai dengan adanya hasil suatu produk dengan jalan memfungsikan secara optimal pikiran dan imajinasi serta potensi-potensi lainnya. Implikasi pemaknaan sebuah pekerjaan menjadi sangat fundamental bagi perilaku bekerja seseorang termasuk seorang pendidik sebagai komponen pencerdasan bangsa. Pemaknaan sebagai ibadah yang senantiasa dilandasi rasa pengabdian yang mensyaratkan kepatuhan pada ajaran Allah SWT. Terbentuk mental mendidik yang loyal, kreatif, dan lebih mementingkan kebutuhan peserta didik, tidak berorientasi pada kepuasan materi, sehingga membentuk perilaku mendidik yang bertanggung jawab, lemah lembut, produktif, dan tidak mudah putus asa.
Sosok guru yang loyal terhadap pengembangan ilmu, sabar dan lembut dalam melakukan transfer knowledge kepada siswa. Senantiasa berakhlak mulia dalam menjalankan tugas mengajar, sebagai contoh bagi siswa, dan mendorong siswa untuk berprestasi dan sebagainya.
Orientasi produktif yang diharapkan sebagai output pemaknaan pekerjaan mendidik sebagai ibadah dapat dipahami dalam gambar berikut ini:
Gambar
Orientasi Produktif: Pengaruh Makna Kerja & Motivasi Pada Pembentukan Karakter Tenaga Pendidik
Pekerjaan Sebagai Tenaga Pendidik Nafsu Pemaknaan sebagai ibadah Motivasi internal & eksternal
Pemaknaan sebagai ibadah
Ibadah senantiasa dilandasi rasa pengabdian yang mensyaratkan kepatuhan pada ajaran sang Pencipta
Terbentuk mental mendidik yang loyal, kreatif, dan lebih mementingkan kebutuhan peserta didik, tidak berorientasi pada kepuasan materi
Membentuk perilaku mendidik yang bertanggung jawab, lemah lembut, produktif, dan tidak mudah putus asa.
SIMPULAN
Sebagai hal yang bersifat prinsipil bagi seseorang dalam berperilaku dan melakukan aktivitasnya adalah mengingat kembali hakikatnya sebagai manusia. Proses ini menjadi landasan pembentukan karakter manusia hingga mempengaruhi kualitas kerja yang dilakukannya. Selain itu pemaknaan terhadap kerja serta motivasi pun ikut menentukan orientasi kerja yang produktif. Untuk tenaga pendidik, orientasi kerja yang produktif sebagai
out-put dari proses ini sangat dibutuhkan agar pendidikan tidak hanya merupakan transfer of knowledge saja tetapi juga sebagai proses character building
Orientasi Produktif: Pengaruh Makna Kerja dan Motivasi... 31 DAFTAR PUSTAKA
B. Uno, Hamzah. 2008. Teori Motivasi & Pengukurannya, Analisis Bidang
Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Bastaman, Hanna Djumhana.1995. Integrasi Psikologi Dengan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Batubara, Muhyi. 2004. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Ciputat Press. Burns, Peter. 2008. Manage Your Time. terj, Slamet Riyanto. Jakarta: Prestasi
Pustaka Publishing.
Hidayat, Komaruddin. 2008. Psikologi Ibadah. Jakarta: Serambi.
Ndraha, Taliziduhu. 1999. Pengantar TeoriPengembangan Sumber Daya
Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.
Robbins, Stephen P & Mary Coulter. 2005. Management. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Rosyadi, Khoiron. 2004. Pendidikan Profetik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Shafritz, Jay M. & J. Steven Ott. 2001. Classics of Organization Theory.
Fifth edition, USA: Harcourt College Publishers.
Spencer, Lyle M. & Signe M. Spencer. 1993. Competence at Work. USA: John Wiley & Sons, Inc.
Steers, Richard M. et.al. 1996. Motivation & Leadership At Work. Singapore: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Otonomi Pendidikan Berbasis Demokratisasi dan Budaya Etos Kerja 33
OTONOMI PENDIDIKAN
BERBASIS DEMOKRATISASI
DAN BUDAYA ETOS KERJA
A. Ubaedi Fathuddin*
Abstract: The development of education in the era of regional
autonomy requires the implementation of democratic values and culture of work ethic. Democratization of education will encourage local people to be citizens who understand the rights of life and are not easily exploited. Meanwhile, the development of the work ethic culture through education is assumed to be fundamentally impact on various aspects of local community life. The combination of both the autonomy of education will create a clean Government which is participative, innovative and independent.
Kata kunci: otonomi pendidikan, demokrasi, etos kerja. PENDAHULUAN
Berbarengan meningkatnya arus otonomi daerah sebagai representasi pembangunan demokrasi di Indonesia, pemerintah telah memberlakukan kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses-proses politik dan kenegaraan. UU No. 22/1999 yang direvisi menjadi UU No 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah adalah wujud dari kehendak pemerintah dalam mempercepat laju proses demokratisasi tersebut. Dalam Undang-Undang itu, khususnya Pasal 7 Ayat 1 ditegaskan, unsur-unsur penting dalam penyelenggaraan negara –selain bidang politik luar negeri, pertahanan dan
*. Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Pekalongan e-mail: [email protected]
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, serta agama— diserahkan kepada pemerintah kabupaten atau kota.
Lalu bagaimana kebijakan otonomi daerah ini berimplikasi pada dunia pendidikan? Apakah daerah sepenuhnya memegang kebijakan pendidikan, ataukah masih ada keterlibatan pusat dalam penyelenggaraan pendidikan. Karena selama “masa uji” otonomi daerah, terjadi tarik-ulur antara pusat dan daerah terhadap berbagai kebijakan dan sistem pendidikan. Agaknya, dua hal tersebut hadir sebagai isu sentral di antara berbagai persoalan prinsip dalam konteks memahami otonomi pendidikan dalam bingkai otonomi daerah.
Lahirnya UU Otonomi Daerah di atas tentu memiliki makna strategis dan signifikan bagi kebijakan pendidikan yang akan diambil selanjutnya. Ini bisa dimengerti, karena dunia pendidikan kita, selama masa Orde Baru, secara sadar atau tidak telah berkembang subur sebagai arena KKN bagi para birokrat pendidikan (Syaukani HR, 2001: 116). Kondisi ini berpengaruh pada budaya kerja akademik lembaga pendidikan, di mana nuansa intervensi sentralistik-birokratik amat kental.
Paradigma pragmatis yang diterapkan pemerintah pusat, sejatinya telah membelenggu dan tidak mengakomodasi berbagai kepentingan dan kultur yang terdapat pada berbagai lembaga sekolah yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara. Akibatnya, penyelenggaraan pendidikan di negara kita hampir saja tidak menyentuh kebutuhan riil masyarakat lokal (daerah) pada tingkat
grass-root (sekolah). Padahal pada tingkat grass-grass-root inilah pendidikan berjalan.
Sebabnya, karena masyarakat akar rumput memang tidak dilibatkan dalam upaya perencanaan, pengelolaan, dan monitoring pelaksanaan pendidikan.
Munculnya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sebagai dampak kebijakan sentralistik-birokratis sejatinya dipicu oleh ketiadaan budaya etos kerja dan idealisme dalam diri para stake-holder pendidikan. Oleh karena itu, kausalitas antara demokratisasi pendidikan dan etos kerja pendidikan harus berjalan secara seimbang, sinergis dan mutualisma. Ketika demokratisasi pendidikan dikedepankan, maka diasumsikan akan memunculkan budaya kerja yang transparan, efektif dan mengena sasaran. Atau sebaliknya, manakala etos kerja dan nilai-nilai idealisme pendidikan di kedepankan dalam era otonomi daerah, maka akan memunculkan budaya
Otonomi Pendidikan Berbasis Demokratisasi dan Budaya Etos Kerja 35 MENUJU DEMOKRATISASI PENDIDIKAN NASIONAL
1. Signifikansi Demokratisasi Pendidikan
Secara yuridis, UUD 1945 Pasal 31 ayat 1 memberikan landasan kepada kita tentang hak memperoleh pendidikan. Ketentuan ini juga merupakan landasan bagi dimungkinkannya pelaksanaan demokratisasi pendidikan. Karena prinsip ini bermakna bahwa tidak seorang pun warga negara yang boleh diperlakukan secara tidak adil dalam menggunakan haknya memperoleh pendidikan (Soedijarto, 2003: 171).
Untuk memungkinkan warga negara menggunakan haknya, pemerintah yang demokratis yang memperoleh kepercayaan dari rakyat harus mengembangkan suatu sistem pendidikan yang memungkinkan warga negaranya menggunakan hak tersebut. Atas dasar prinsip demokrasi pendidikan ini, para founding father kita telah menetapkan kewajiban pemerintah yakni mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional (Soedijarto, 2003: 171).
Dalam perjalanannya, usaha para founding father kita menghadapi kendala serius, khususnya di era Orde Baru lalu, berkaitan sistematisasi pendidikan nasional yang cenderung birokratis. Berbagai lembaga pemerintah yang menangani pelaksanaan pendidikan nasional menambah kekaburan tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Akibatnya, program-program pendidikan nasional hanya bertengger di atas keputusan-keputusan makro dan hampir tidak terlaksana pada tingkat lembaga-lembaga pendidikan, yaitu sekolah (H.A.R Tilaar, 1999: 109).
Pendekatan sistem birokratis ini sebagaimana dikatakan Ki Supriyoko, juga telah menyebabkan kotor dan amburadulnya manajemen dan administrasi pendidikan kita. Buktinya adalah banyak soal ujian nasional (UN) yang bocor dan para pelaggarnya aman-aman saja, bahkan justru diberi kesempatan menempuh ujian ulang, dibiayai dengan keuangan negara dan kebanyakan siswa diluluskan. Padahal, di Amerika atau negara-negara maju lain, bila ada yang kedapatan memperoleh bocoran soal ujian secara sengaja, maka ia akan dihukum; setidak-tidaknya tidak diperbolehkan mengikuti ujian dan yang pasti tidak lulus (Ki Supriyoko, 2001). Bukti lainnya adalah kasus pungutan liar atas guru SD yang akan dilantik menjadi kepala sekolah sebesar Rp.15 juta per orang (Syaukani HR.: 2001, 115).
Lebih lanjut, tertutupnya ruang demokratisasi pendidikan telah memunculkan kebijakan penyeragaman kurikulum, guru sentris, tertutupnya ruang dialogika pembelajaran dalam kelas dan sebagainya. Akibat yang muncul kemudian sudah bisa ditebak, pendidikan kita mengalami degradasi mutu, stagnasi peran dan fungsi: ketidakberdayaannya dalam mengentaskan berbagai persoalan bangsa, yang sejatinya bagian dari tugas pendidikan. Pendidikan kita juga tidak dapat menghasilkan SDM berkualitas, yang mampu menghadapi tantangan globalisasi dewasa ini dan di masa mendatang (Ta’rifin: 2001).
Menyadari fenomena demikian, demokratisasi pendidikan atau debirokratisasi pendidikan sebagai paradigma baru pendidikan nasional di era otonomi daerah, dengan berbagai derivasinya, seperti dewan/komite sekolah dan budaya sekolah patut dikedepankan dalam usaha mengatasi permasalahan pendidikan nasional. Sehingga tercipta efisiensi dan efektivitas dalam implementasi pendidikan (Jaja Jamaluddin, 2001).
2. Asas Demokratisasi Pendidikan
Implementasi demokratisasi pendidikan setidaknya menghendaki tiga asas/ proses fundamental pendidikan. Pertama, kebebasan; kedua, pluralitas; dan ketiga humanistik.
Pertama, siswa –sebagaimana manusia lain— adalah makhluk yang
diciptakan Tuhan dalam aura kebebasan dan hidup untuk bebas. Guru atau lembaga pendidikan (sekolah) tidak dibenarkan sama sekali mengintervensi intelektualitas siswa serta mendominasi gagasan dan pikiran mereka. Pengarahan terhadap siswa agar mereka kreatif, diskutif, inovatif dan mandiri adalah hal terbaik yang harus dilakukan guru dalam proses demokratisasi pendidikan agar mereka menjadi siswa yang mampu menjadi dirinya sendiri dan mampu melihat realitas kehidupan (Freire, 1970: 66-70; Ivan Illich, 2000: 64). Dengan demikian berarti, guru tidak dibenarkan sama sekali memposisikan dirinya sebagai satu-satunya sumber pengetahuan (teacher oriented) bagi siswa-siswanya.
Kedua, proses demokratisasi pendidikan mengharuskan adanya nuansa
pluralisme. Makna pluralisme di sini berarti wujud kesadaran untuk memahami perbedaan yang ada dalam lingkungan pendidikan, baik perbedaan kultur, kondisi sosial-ekonomi, politik, etnis, wilayah intelektualitas, dan lain sebagainya. Kesadaran pluralisme di tingkat mikro, yakni pembelajaran di