• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lebaran dan Fiqih Seputarnya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Lebaran dan Fiqih Seputarnya"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Lebaran dan Fiqih Seputarnya

Tak lama lagi kaum Muslim akan meninggalkan Ramadhan dan memasuki bulan Syawal. Setelah sebulan lamanya berpuasa, tibalah mereka merayakan Idul Fitri—Lebaran. Apa saja hukum-hukum di seputar Idul Fitri dan bagaimana kaum Muslim menjalani bulan-bulan berikutnya pasca Ramadhan? “Sunnah Idul Fitri ada tiga; yaitu berjalan menuju lapangan tempat shalat (mushala), makan sebelum keluar rumah, dan mandi.”

Banyak di antara umat Islam yang menganggap Idul Fitri sekadar makan-makan, hura-hura. Padahal banyak persoalan hukum terkait Idul Fitri atau lebaran ini. Maka, seharusnya sebagai seorang Muslim mengetahui persoalan fiqih seputar masalah tersebut.

Fiqih Lebaran di sini maksudnya adalah sejumlah hukum syara‘ yang terkait dengan hari raya Idul Fitri, baik sebelum, pada saat, maupun sesudah shalat Idul Fitri. Berikut ini di antara hukum-hukum syara‘ tersebut :

(1). Diwajibkan secara fardhu kifayah untuk melakukan rukyatul hilal bulan Syawal pada saat maghrib malam ke-30 bulan Ramadhan. Hal ini karena menurut ulama empat mazhab rukyatul hilal inilah yang merupakan sebab syar‘i bagi pelaksanaan shalat Idul Fitri, termasuk hukum-hukum lain yang terkait, seperti zakat fitrah dan takbiran pada malam Idul Fitri. Sabda Rasulullah SAW, ―Berpuasalah kamu karena melihat hilal [Ramadhan], dan berbukalah kamu (beridul fitrilah) karena melihat hilal [Syawwal]…‖ (HR. Bukhari dan Muslim).

(2). Diwajibkan mengeluarkan zakat fitrah pada malam Idul Fitri bagi yang mempunyai kelebihan makanan pada malam itu, meski dibolehkan menyegerakan mengeluarkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan. Zakat fitrah berupa makanan pokok dengan takaran satu sha‟ (4 mud atau sekitar 3 kg), bukan berupa uang. Demikian menurut jumhur ulama Malikiyah, Syafi‘iyah, dan Hanabilah. (AlMudawwanah alKubra, 1/392; AlMajmu‟, 6/112; AlMughni, 7/295).

Zakat fitrah dibagikan kepada siapa? Ada dua pendapat; pertama, kepada seluruh mustahiq zakat dari delapan golongan. Ini pendapat jumhur ulama empat mazhab. Kedua, khusus kepada kaum miskin saja. Ini pendapat sebagian ulama, seperti Ibnul Qayyim. Yang rajih, pendapat jumhur. (Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 2/387).

(3). Disunnahkan takbiran sejak (tenggelamnya fajar Ramadhan) malam Idul Fitri, baik di rumah atau di jalan menuju lapangan/masjid, hingga keluarnya imam untuk mengimami shalat Idul Fitri. Dalam lafal takbir ini dibolehkan bertakbir dua kali ―Allahu Akbar Allahu Akbar dst‖ dan boleh juga tiga kali ―Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar dst‖. (Imam Nawawi, Al-Adzkar An-Nawawiyyah, hlm. 237). Dalil bertakbir dua kali adalah atsar dari Ibnu Mas‘ud ra, dia bertakbir, ―Allahu Akbar Allahu Akbar, laa ilaaha illallahu wallaahu akbar, allahu akbar wa lillahil hamd.‖ (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, 2/168).

Namun dari Ibnu Mas‘ud ra juga, bahwa beliau bertakbir sebanyak tiga kali (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, 2/165). Kedua sanad hadits tersebut sama-sama shahih, sebagaimana penjelasan Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya Irwa`ul Ghalil juz 3 hlm. 125. Jadi berlebihan kiranya kalau ada yang membid‘ahkan lafal takbir sebanyak tiga kali. Imam Shan‘ani berkata, ―Terdapat tatacara takbir yang

(2)

bermacam-macam dari para imam. Ini menunjukkan adanya kelonggaran (tawassu‟ah) dalam urusan ini.‖ (Subulus Salam, 3/247).

(4). Disunnahkan mandi (sebagaimana mandi junub) pada pagi hari sebelum shalat Idul Fitri, juga makan sebelum keluar rumah, dan berjalan menuju lapangan tempat shalat (mushala). Dari Sa‘id bin Musayyab, dia berkata, ‖Sunnah Idul Fitri ada tiga; yaitu berjalan menuju lapangan tempat shalat (mushala), makan sebelum keluar rumah, dan mandi.‖ Kata Nashiruddin al-Albani dalam Irwa`ul Ghalil, 3/104, ―Sanad riwayat tersebut shahih.‖ (Sa‘id al-Qahthani, Shalatul „Iedain, hlm. 12).

(5). Disunnahkan memakai wewangian dan bersiwak, sebagaimana perkataan Ibnu Abbas ra mengenai adab shalat Jumat, ―Jika ada wewangian, maka gunakanlah wewangian dan juga bersiwaklah.‖ (HR. Ibnu Majah, 1/326). Kata Imam Ibnu Qudamah, ―Jika ini disyariatkan untuk shalat Jumat, maka untuk shalat Ied tentu lebih utama.‖ (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 3/257).

(6). Disunnahkan memakai pakaian terbaik pada Idul Fitri (meskipun tak harus baru). Imam Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan bahwa Imam Ibnu Abi Dunya dan Imam al-Baihaqi telah meriwayatkan dengan sanad sahih bahwa Ibnu Umar ra memakai pakaiannya yang terbaik pada hari Idul Fitri dan Idul Adha. (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, 2/439). Bahkan Rasulullah SAW mempunyai pakaian khusus yang biasanya dikenakan di hari raya.

(7). Disunnahkan pergi ke lapangan tempat shalat, melalui satu jalan dan pulang melalui jalan lain. Karena demikianlah apa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. (HR. Bukhari).

(8). Disunnahkan secara sunnah mu`akkadah untuk shalat Idul Fitri. Inilah pendapat madzhab Syafi‘i yang menurut kami paling kuat mengenai hukum shalat Idul Fitri/Adha di antara tiga pendapat ulama yang ada; pertama, hukumnya fardhu kifayah. Ini pendapat Imam Ahmad. Kedua, hukumnya fardhu ‗ain. Ini pendapat Imam Abu Hanifah dan satu versi riwayat dari pendapat Imam Ahmad. Ketiga, hukumnya sunnah, tidak wajib. Ini pendapat Imam Malik dan mayoritas para shahabat Imam Syafi‘i. (Sa‘id al-Qahthani, Shalatul „Iedain, hlm. 7).

Shalat Ied dilaksanakan sebanyak dua raka‘at bersama imam dengan 7 kali takbir (tidak termasuk takbiratul ihram) ketika qiyam di raka‘at pertama lalu membaca Al-Fatihah dan surah, kemudian 5 kali takbir di raka‘at keduanya dan membaca Al-Fatihah serta surah. (lihat: Sunan Abu Dawud, no. 1150, 1152).

Dalam satu riwayat dari ‗Amr bin Syu‘aib dari ayahnya dari kakeknya, beliau berkata: ―Rasulullah SAW bertakbir (dalam shalat) pada dua hari raya dengan 12 kali takbir, 7 takbir pada raka‘at yang pertama dan 5 takbir pada raka‘at yang terakhir, selain 2 takbir shalat.‖ (Lafaz dalam Syarh Ma‘ani al-Atsar oleh Ath-Thahawi, no. 6744).

Sedangkan dalam Sunan ad-Daruquthni: ―…selain takbiratul ihram.‖ (Sunan ad-Daruquthni, Ma‘rifatus Sunan wal-Atsar). Dan doa iftitahnya dibaca setelah takbiratul ihram sebelum takbir tambahan. Dan inilah yang dipegang oleh Imam asy-Syafi‘i sebagaimana dalam Al-Umm.

Disunnahkan mengangkat tangan ketika setiap kali takbir yang 7 dan takbir yang 5 (dalam shalat Ied) dan ia diamalkan oleh sahabat Nabi Ibnu ‗Umar ra serta diikuti oleh Imam Ibnul Mubarak, asy-Syafi‘i, Ahmad, dan Ishaq, dan kebanyakan ahli ilmu mengatakan ianya termasuk sunnah. (Syarhus Sunnah, 4/310)

(3)

(9). Disunnahkan shalat Idul Fitri di lapangan terbuka (sebagai syi‘ar), namun boleh juga mengerjakannya di masjid (terutama jika hujan) meski yang lebih afdhal adalah di lapangan. Hal ini karena Rasulullah SAW melakukan shalat Idul Fitri dan Idul Adha di lapangan terbuka, yakni tempat lapang yang jaraknya seribu hasta dari pintu masjid Nabawi (Babus Salam) di Madinah (yang kini telah didirikan sebuah Masjid). (HR. Bukhari, Muslim, dari Abu Said al-Khudri ra).

(10). Keluar awal pagi menuju lapangan/musholla (tempat shalat Ied). Kata Imam al-Baghawi: ―Disukai (dianjurkan) agar orang ramai keluar awal pagi menuju musholla/lapangan setelah shalat subuh dan mengambil tempat masing-masing, lalu bertakbir. Adapun bagi imam, dia keluar pada waktu yang bertepatan dengan waktu untuk shalat, yaitu ketika matahari telah beranjak naik kira-kira seukuran satu tombak (yaitu ketika telah masuk waktu dhuha –pent.). Kemudian, termasuk hal yang disukai adalah imam mempercepatkan waktu keluar untuk shalat pada Idul Adha dan melewatkan sedikit keluar untuk shalat pada Idul Fithri.‖ (Syarhus Sunnah, 4/302-303).

(11). Jika tertinggal shalat Ied kerana udzur. Imam al-Bukhari menyatakan: ―Apabila tertinggal shalat Ied, hendaklah dia shalat dua raka‘at. Demikian juga dengan kaum wanita dan orang-orang yang berada di rumah serta yang tinggal jauh di pedalaman.‖ (Shahih al-Bukhari).

Diringkaskan dari kitab Shahih Fiqhus Sunnah, bahwa siapa saja yang tertinggal shalat Ied karena udzur (ada halangan) pada hari pertama (seperti tidak melihat hilal atau tidak tahu hilal telah terlihat), maka mereka boleh melaksanakannya pada hari yang berikutnya (secara berjama‘ah). Jika ditinggalkan tanpa suatu udzur, maka tidak perlu mengqadhanya. (Shahih Fiqhus Sunnah, 2/529). Sementara dalam mazhab Syafi‘i, mereka membolehkan mengqadhanya pada kapanpun waktu yang dikehendakinya (dalam hari yang sama), baik secara berjama‘ah maupun sendirian. (Shahih Fiqhus Sunnah, 2/528).

(12). Tidak disyariatkan shalat apa pun sebelum dan sesudah shalat Idul Fitri. Dalilnya, hadits Ibnu Abbas ra bahwa Nabi SAW keluar pada Idul Fitri dan melakukan shalat Idul Fitri dua rakaat dan beliau tidak melakukan shalat sebelum dan sesudahnya. Nabi SAW saat itu bersama Bilal.‖ (HR. Bukhari dan Muslim).

(13). Tidak disyariatkan adzan dan juga iqamah dalam shalat Idul Fitri/Adha. Dalilnya hadits dari Jabir bin Samurah ra, dia berkata. ―Saya pernah shalat Idul Fitri dan Idul Adha bersama Nabi SAW tak hanya sekali atau dua kali, dan shalat tersebut tanpa adzan dan juga tanpa iqamah.‖ (HR. Muslim). (14). Khutbah Ied, baik Fitri maupun Adha dilaksanakan setelah shalat. Hukumnya tidak terpisahkan dari kesunnahan hukum shalat Ied. Mendengarkan khutbah hukumnya juga sunnah. Namun demikian mendengarkan ajakan dan seruan kepada ketaqwaan dan keterikatan pada Syariah Islam termasuk hal yang utama.

Para ulama berbeda pendapat apakah khutbahnya itu dua kali khutbah seperti khutbah Jumat ataukah hanya sekali khutbah. Fuqaha empat mazhab sepakat khutbah Ied itu dua khutbah seperti khutbah Jum‘at. Bahkan Imam Ibnu Qudamah dan Ibnu Hazm menegaskan dalam masalah ini sesungguhnya para fuqaha tak berbeda pendapat. (Abdurrahman Jazairi, Al-Fiqh „Ala Al-Mazahib Al-Arba‟ah, 1/238).

Namun sebagian fuqaha berpendapat khutbah Ied hanya satu khutbah, bukan dua khutbah. Inilah pendapat Imam Syaukani, Imam Shan‘ani, dan lain-lain. (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 695;

(4)

Imam Shan‘ani, Subulus Salam, 2/679). Pendapat yang rajih, khutbah Ied dilaksanakan dua kali, bukan satu kali. (Mahmud ‗Uwaidhah, Al-Jami‟ li Ahkam As-Shalah, 2/177).

Kemudian, dibolehkan memilih tetap lanjut untuk mendengar khutbah atau tidak jika memiliki keperluan lainnya. Dari ‗Athaa‘, dari ‗Abdillah bin as-Saa‘ib, beliau berkata: ―Aku pernah menyaksikan (hadir) bersama Rasulullah SAW di shalat Ied. Setelah melaksanakan shalat, Rasulullah bersabda: ―Sesungguhnya kami akan berkhutbah, siapa saja yang ingin duduk untuk mendengar khutbah, maka duduklah, dan siapa yang ingin beredar, maka dia boleh beredar pergi.‖ (Sunan Abu Dawud. Dinilai sahih oleh al-Albani).

(15). Dibolehkan mengucapkan selamat (tahni`ah) setelah shalat Ied, dengan ucapan,‖Taqabbalallahu minnaa wa minka/minkum.‖ (semoga Allah menerima amal kami dan amal Anda). (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, 2/446). Memulai mengucapkan selamat adalah boleh, namun menjawabnya wajib. (Ibnu Taimiyyah, Majmu‟ul Fatawa, 24/253).

(16). Shalat Idul Fitri bagi wanita: Rasulullah SAW memerintahkan kaum wanita keluar pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, yaitu gadis-gadis, wanita haid dan wanita-wanita yang dipingit. Adapun yang haid maka dia harus menjauhi tempat shalat dan ikut menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum Muslim. Hukum shalat Idul Fitri bagi wanita ini adalah sunnah. Mereka diwajibkan memakai jubah/jilbab/gamis dan khimar/kerudung syar‘i. Kalau tidak punya, maka hendaknya dipinjami oleh saudaranya (HR. Bukhari dan Muslim). Selain itu tidak boleh tabarruj (dilarang berhias berlebihan dan memakai minyak wangi) serta tidak boleh khalwat (berduaan dengan bukan mahrom) juga ikhtilat (campur baur) dengan para lelaki non mahrom.

Kata Imam al-Baghawi: ―Berkata Syaikh (guru) kami, adalah disukai (dianjurkan) untuk turut membawa keluar anak-anak, kerana Ibnu ‗Umar ra beliau membawa keluar dari sesiapa sahaja dari ahli keluarganya yang telah mampu shalat pada hari Ied.‖ (Syarhus Sunnah, 4/320).

(17). Shalat Ied bagi musafir: Bagi kaum Muslim yang sedang di tengah perjalanan, tidak diperintahkan untuk melaksanakan shalat Idul Fitri. Menurut Ibn Taimiyyah, tidak ada satu riwayat pun yang menyatakan, bahwa Nabi SAW melakukan shalat jum‘at dan Ied dalam perjalanan baginda…‖

(18). Dianjurkan bersedekah setelah shalat: Dari Ibnu ‗Abbas ra bahwa (beliau berkata), ―Bahwa Nabi SAW shalat dua raka‘at pada hari al-Fithri tanpa didahulukan shalat sebelumnya maupun sesudahnya. Kemudian beliau bersama Bilal datang ke kaum wanita lalu memerintahkan mereka agar bersedekah. Maka mereka pun melemparkan sedekahnya seraya seorang wanita melemparkan anting-anting dan kalung lehernya.‖ (Shahih al-Bukhari).

Abu Sa‘iid al-Khudri ra berkata, ―Pada hari Idul Adha atau Idul Fithri, Rasulullah SAW keluar menuju ke musholla (kawasan lapang/lapangan terbuka) untuk melaksanakan shalat. Setelah itu, beliau pun berkhutbah dan ketika melintasi kaum wanita, beliau bersabda: ‗Wahai sekalian wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyakkanlah istighfar (memohon ampunan) kerana benar-benar telah diperlihatkan kepadaku kebanyakan kalian adalah penghuni neraka‘. Berkata salah seorang wanita: ‗Apa sebabnya kami menjadi kebanyakan dari penghuni neraka wahai Rasulullah?‘ Beliau menjawab: ‗Kalian banyak melaknat dan mengkufuri kebaikan suami. Aku belum pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya namun dapat menundukkan lelaki yang memiliki akal yang sempurna berbanding kalian.‘

(5)

Wanita itu bertanya lagi: ‗Wahai Rasulullah, apa yang dimaksudkan dengan kurang akal dan kurang agama?‘ Jawab Rasulullah: ‗Bukankah kesaksian kalian itu hanya setengah berbanding lelaki?‘ Mereka menjawab, ‗Benar‘. Rasulullah berkata: ‗Itulah salah satu contoh kurangnya akal. Dan bukankah jika kalian haidh, kalian tidak berpuasa dan tidak shalat?‘ Mereka pun menjawab, ‗Benar‘. Rasulullah pun berkata: ‗Itulah sebahagian dari kurangnya agama‘.‖ (Shahih al-Bukhari dan Muslim). Imam Ibnu Khuzaimah membuat bab dalam Shahihnya: ―Perintah Bersedekah dan Pesan yang Disampaikan Imam dalam Khuthbah ‗Ied.‖ (Shahih Ibnu Khuzaimah, 2/350).

Juga: ―Bab nasihat dan peringatan Imam kepada kaum wanita serta perintah agar mereka bersedekah setelah khuthbah dua ‗Ied.‖ (Shahih Ibnu Khuzaimah, 2/356).

(19). Jika Hari Raya Ied pada hari Jum‘at, orang yang telah menjalankan shalat hari raya/Ied, kewajibannya melaksanakan shalat Jum‘at dinyatakan gugur. Rincian hukumnya adalah sebagai berikut:

Hukum Pertama, jika seseorang telah menunaikan shalat hari raya -yang jatuh bertepatan dengan hari Jum‘at- gugurlah kewajiban atasnya untuk menunaikan shalat Jum‘at. Dia boleh melaksanakan shalat Jum‘at dan boleh juga tidak, dalilnya adalah hadits-hadits Nabi SAW yang shahih, antara lain yang diriwayatkan dari Zayd bin Arqam ra bahwa dia berkata:

“Nabi SAW melaksanakan shalat Ied (pada suatu hari Jum‟at) kemudian beliau memberikan rukhshah (kemudahan/keringanan) dalam shalat Jum‟at. Kemudian Nabi berkata, „Barangsiapa yang berkehendak (shalat Jum‟at), hendaklah dia shalat‟.” (HR. al-Khamsah, kecuali at-Tirmidzi. Hadits ini menurut Ibnu Khuzaimah, shahih).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi SAW bersabda:

“Sungguh telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya. Maka barangsiapa berkehendak (shalat hari raya), cukuplah baginya shalat hari raya itu, tak perlu shalat Jum‟at lagi. Dan sesungguhnya kami akan mengerjakan Jum‟at.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan al-Hakim juga meriwayatkan hadits ini dari sanad Abu Shalih, dan dalam isnadnya terdapat Baqiyah bin Walid, yang diperselisihkan ulama. Imam ad-Daruquthni menilai, hadits ini shahih. Ulama hadits lain menilainya hadits mursal). Hukum Kedua, bagi mereka yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut, lebih utama dan disunnahkan tetap melaksanakan shalat Jumat. Pada dasarnya, antara azimah (hukum asal) dan rukhshah (kemudahan/keringanan) kedudukannya setara, tak ada yang lebih utama daripada yang lain, kecuali terdapat nash yang menjelaskan keutamaan salah satunya, baik keutamaan azimah maupun rukhshah.

Namun dalam hal ini terdapat nash yang menunjukkan keutamaan shalat Jum‘at daripada meninggalkannya. Pada hadits Abu Hurairah ra (hadits kedua) terdapat sabda Nabi ―innaa mujammi‘uun‖ (Dan sesungguhnya kami akan mengerjakan Jum‘at).

Ini menunjukkan bahwa meskipun Nabi SAW menjadikan shalat Jum‘at sebagai rukhshah, yakni boleh dikerjakan dan boleh tidak, akan tetapi Nabi Muhammad SAW faktanya tetap mengerjakan shalat Jum‘at. Hanya saja perbuatan Nabi SAW ini tidak wajib, sebab Nabi SAW sendiri telah membolehkan untuk tidak shalat Jum‘at. Jadi, perbuatan Nabi SAW itu sifatnya sunnah, tidak wajib.

(6)

Hukum Ketiga, jika orang yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut memilih untuk tidak menunaikan shalat Jumat, wajib melaksanakan shalat zhuhur, tidak boleh meninggalkan zhuhur.

Wajibnya shalat zhuhur itu, dikarenakan nash-nash hadits yang telah disebut di atas, hanya menggugurkan kewajiban shalat Jum‘at, tidak mencakup pengguguran kewajiban zhuhur. Padahal, kewajiban shalat zhuhur adalah kewajiban asal (al-fadhu al-ashli), sedang shalat Jum‘at adalah hukum pengganti (badal), bagi shalat zhuhur itu. Maka jika hukum pengganti (badal) -yaitu shalat Jum‘at- tidak dilaksanakan, kembalilah tuntutan syara‘ kepada hukum asalnya, yaitu shalat zhuhur. Yang demikian itu adalah mengamalkan Istish-hab, yaitu kaidah hukum untuk menetapkan berlakunya hukum asal, selama tidak terdapat dalil yang mengecualikan atau mengubah berlakunya hukum asal. Dengan demikian, jika seseorang sudah shalat hari raya lalu memilih untuk meninggalkan shalat Jum‘at, maka ia wajib melaksanakan shalat zhuhur.

Hukum Keempat, mereka yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya untuk menunaikan shalat Jum‘at, tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jum‘at. Dengan kata lain, rukhshah untuk meninggalkan shalat Jum‘at ini khusus untuk mereka yang sudah melaksanakan shalat hari raya. Mereka yang tidak melaksanakan shalat hari raya, tidak mendapat rukhshah, sehingga konsekuensinya tetap wajib hukumnya shalat Jum‘at.

Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah ra (hadits kedua) dimana Nabi SAW bersabda ―fa man syaa-a, ajza-a-hu ‗anil jumu‘ati‖ (Maka barangsiapa yang berkehendak [shalat hari raya], cukuplah baginya shalat hari raya itu, tak perlu shalat Jum‘at lagi). Ini adalah manthuq hadits. Mafhum mukhalafahnya, yakni orang yang tak melaksanakan shalat hari raya, ia tetap dituntut menjalankan shalat Jum‘at. Imam ash-Shan‘ani dalam Subulus Salam ketika memberi syarah (penjelasan) terhadap hadits di atas berkata: ―Hadits tersebut adalah dalil bahwa shalat Jum‘at -setelah ditunaikannya shalat hari raya– menjadi rukhshah. Boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Tetapi (rukhshah) itu khusus bagi orang yang menunaikan shalat Ied, tidak mencakup orang yang tidak menjalankan shalat Ied.‖ (Imam ash-Shan‘ani, Subulus Salam, 2/112).

Jadi, orang yang tidak melaksanakan shalat hari raya, tidak termasuk yang dikecualikan dari keumuman nash yang mewajibkan shalat Jum‘at. Yang dikecualikan dari keumuman nash itu adalah yang telah shalat hari raya. Maka dari itu, orang yang tidak shalat hari raya, tetap wajib atasnya shalat Jum‘at.

(20). Menari, menyanyi dan bergembira. Hukumnya mubah merayakan hari raya dengan menari, menyanyi dan bergembira. Dari ‗Aisyah ra (binti Abu Bakr), beliau berkata: ―Abu Bakr masuk (datang ke rumahku) dan ketika itu di sisiku ada dua perempuan dari kaum Anshar. Mereka menyanyikan sya‘ir-sya‘ir yang dilagukan oleh kaum Anshar tatkala perang bu‘aats. Dan keduanya bukanlah dari kalangan penyanyi. Maka Abu Bakr pun berkata: ‗Seruling syaithan di rumah Rasulullah SAW?‘ Dan ketika itu adalah hari Ied. Maka Rasulullah SAW bersabda: ‗Wahai Abu Bakr, sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan ini adalah hari raya kita‘.‖ (Shahih al-Bukhari).

Dalam riwayat yang lain, mereka (perempuan tersebut) turut memainkan duff. (lihat: Shahih al-Bukhari).

(7)

Dibolehkan mereka menyanyi dengan bait-bait lagu yang baik, mubah, dan tidak bertentangan dengan syara‘ atau yang keji lagi terlarang sebagaimana dua perempuan tersebut menyanyikan bait-bait sya‘ir ketika perang bu‘aats, yaitu peperangan di zaman jahiliyyah antara kabilah Aus dan Khazraj. Sya‘ir-sya‘ir tersebut adalah Sya‘ir-sya‘ir-Sya‘ir-sya‘ir yang mengungkapkan semangat keberanian tatkala perang dan tidak tercela.

Dibolehkan melakukan hal-hal yang menggembirakan pada hari raya asalkan bukan dari hal-hal yang terlarang. Kerana hari raya adalah hari untuk bersenang-senang dan berbahagia. Dan bergembira di hari raya adalah termasuk syi‘ar agama. Dibolehkan untuk mengunjungi rumah anak-anak atau menantu, atau kaum kerabat dekat pada waktu hari raya sebagaimana perbuatan Abu Bakr mengunjungi anaknya ‗Aisyah dan menantunya Nabi SAW.

Dibolehkan juga bermain atau menonton permainan tertentu yang mubah seperti contohnya bermain tombak. Sebagaimana dalam suatu hadits, dari ‗Aisyah ra, beliau berkata: ―Pada hari raya orang-orang Sudan bermain perisai dan tombak. Ada aku yang bertanya kepada Nabi SAW, atau Nabi yang berkata kepadaku, ‗Adakah engkau ingin menontonnya?‘ Maka akupun menjawab, ‗Ya‘. Kemudian aku pun berdiri di belakang beliau dan pipiku menyentuh pipi beliau. Dan beliau berkata: ‗Teruskan wahai Bani Arfidah‘. Sampailah apabila aku sudah bosan, beliau pun berkata, ‗Sudah puaskah?‘ Aku menjawab, ‗Ya‘. Maka beliau berkata, ‗Kalau begitu, pergilah‘.‖ (Shahih al-Bukhari).

Dalam riwayat lain disebutkan permainan tombak berlangsung di masjid. (lihat: Shahih al-Bukhari). Dalam Shahih Muslim, dari ‗Aisyah ra beliau berkata: ―Orang-orang Habsyah datang pada hari raya di masjid seperti orang menari. Lalu Nabi SAW memanggil aku, maka aku pun meletakkan kepalaku di atas bahu beliau. Aku pun menonton mereka bermain (tombak) sampailah aku berpaling dari melihat mereka.‖ (Shahih Muslim. Bab: Rukhshah pada permainan yang tiada maksiat padanya di hari raya). Dibolehkan membuat pertunjukkan senjata atau memainkan permainan yang mubah ketika hari raya dalam rangka berhibur dan bergembira.

Kata Imam Abu Ubaid rahimahullah: ―Dan yang dimaksudkan di sini adalah rukhshah (keringanan) untuk menonton hiburan atau permainan, namun ini bukanlah hujah untuk menonton permainan yang dilarang darinya seperti persembahan mazaahir (alat muzik bertali) dan mazaamiir (alat muzik bertiup).‖ (Syarhus Sunnah, 4/325).

Kata Imam an-Nawawi, ―Pada hadits ini menunjukkan bolehnya bermain dengan senjata dan yang sejenis dengannya berupa alat-alat untuk berperang di dalam masjid. Demikian juga dengan segala sarana untuk berjihad dan berbagai bentuk kebaikan.‖ (Syarah Shahih Muslim).

Adapun yang dimaksudkan seperti orang menari dalam hadits tersebut, kata Imam an-Nawawi: ―Dan maksudnya sebagaimana dimaksudkan para ulama adalah mereka memainkan senjata sambil melompat, dan permainan tombak yang mereka lakukan tersebut seakan-akan dalam keadaan menari karena sebagian besar riwayat menjelaskan hal tersebut terjadi ketika bermain tombak. Olehnya itu, lafaz hadits ini difahami berdasarkan riwayat-riwayat yang lain.‖ (Syarah Shahih Muslim, 6/186).

(8)

Dalam sebagian riwayat lain turut disebutkan dengan lafaz ― ‖, maksudnya mereka melompat, mengelak, dan mengatur langkah bersesuaian dengan gerakan orang bermain pedang dan senjata atau seperti orang sedang bersilat. Dan harus diingat agar jangan sampai salah faham bahawa hadits ini bukanlah dalil dibolehkan untuk menari-nari dan berjoget-lambak di hari raya.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penjelasan di atas dan dengan melihat pentingnya pelanggan bagi kelangsungan usaha, maka yang menjadi msalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana

Dampak yang ditimbulkan stres akademik pada peserta didik adalah berupa menurunnya motivasi belajar, kompetensi yang dimiliki tidak berkembang, tidak terpenuhi standar

SISTEM INFORMASI MANAJEMEN BARANG TOKO CANTIK KOTA TIDORE KEPULAUAN MENGGUNAKAN BAHASA PEMROGRAMAN HTML :

Dari paparan di atas maka diketahui bahwa pembunuh dalam pembunuhan karena udzur mendapat penilaian yang berbeda dari mazhab Hanafi dan mazhab Syafi‟i mengenai

Membolehkan peserta membina hubungan baik, berinteraksi dengan orang lain dan bekerja secara efektif bersama mereka untuk mencapai objektif yang sama. Membolehkan peserta

Sukardi (2008) menjelaskan bahwa layanan bimbingan kelompok adalah layanan yang memungkinkan sejumlah peserta didik secara bersama-sama memperoleh bahan dari narasumber tertentu,

Maka sudah jelas bahwa isu lingkungan yang di keluarkan oleh Amerika tidaklah benar, isu tersebut hanya digunakan untuk membentuk citra negative pada produk CPO Indonesia

Setelah dilakukan pengujian pada penelitian “Rancang Bangun Sistem Monitoring Tegangan, Arus Dan Temperatur Pada Sistem Pencatu Daya Listrik Di Teknik Elektro Berbasis