• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN. teori, konsep, pendekatan, dan metodologi yang digunakan dalam penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN. teori, konsep, pendekatan, dan metodologi yang digunakan dalam penelitian"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Dalam kajian pustaka ini difokuskan pada pemerolehan informasi berupa teori, konsep, pendekatan, dan metodologi yang digunakan dalam penelitian sehingga dapat memperjelas kegunaannya terkait dengan penelitian ini. Beberapa penelitian yang dikaji pada penelitian terdahulu dijadikan bahan masukan pada penelitian ini.

Penelitian Lestari (2010) berjudul ”Pembelajaran Kosa Kata secara Kontekstual dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Membaca Siswa di Kelas XI Bahasa SMA N 2 Semarapura”. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa melalui pelaksanaan pembelajaran membaca secara kontekstual, siswa telah terbukti mampu menunjukkan potensinya dalam pembelajaran membaca. Untuk itu, dalam pembelajaran tersebut, tidak hanya mentransfer materi pelajaran, tetapi dapat juga menemukan dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.

Penelitian Lestari memiliki relevansi dengan penelitian ini, karena kemampuan tata bahasa yang baik dan benar dalam berkomunikasi sangat terpengaruh oleh penguasaan pembendaharaan kosa kata bagi mahasiswa. Pembelajaran struktur dan unsur tata bahasa secara bertahap juga ditentukan proses pengenalan kosa kata.

Penelitian Narohita (2010) berjudul “Pengaruh Penerapan Pendekatan Kontekstual terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika pada Siswa

(2)

Sekolah Menengah Pertama (Studi Eksperimen pada SMP Negeri 1 Tejakula)”. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pendekatan kontekstual pada pembelajaran matematika terhadap kemampuan pemecahan masalah sebelum dan setelah dikendalikan penalaran formal.

Penelitian ini merupakan eksperimen dengan menggunakan rancangan The

Posttest-Only Control Group Design dengan melibatkan sampel sebanyak 76

orang siswa SMP Negeri 1 Tejakula. Dengan rancangan tersebut berarti penelitian Narohita tidak melaksanakan pre-test untuk mengetahui akibat perlakuan sebelum tes dilaksanakan. Pada penelitian ini menggunakan The One Pre-Test

Pos-Test Design. Artinya kondisi perlakuan diberikan pada kelompok subjek yang

sama, sehingga perlu dilaksanakan pre-test dan pos-test untuk mengetahui hasil perubahan sebagai akibat dari tindakan yang dilaksanakan. Dengan kedua desain tersebut ternyata menunjukkan hasil penerapan pendekatan kontekstual berpengaruh positif terhadap kemampuan pemecahan masalah setelah diadakan pengendalian terhadap penalaran formal siswa. Hasil penelitian ini memberikan indikasi bahwa pendekatan kontekstual menyebabkan proses pembelajaran berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan bekerja dan belajar bermakna, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa.

Penelitian Susriati (2009) berjudul “Penerapan Pembelajaran CTL untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA Materi Bagian-bagian Utama Tumbuhan bagi Siswa Kelas XI Miftahul Ulum 2 Nguling Kec. Nguling Kab. Pasuruan”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan hasil belajar siswa dengan diterapkannya CTL pada pembelajaran IPA. Untuk mencapai tujuan

(3)

tersebut dilakukan penelitian tindakan kelas pada semester gasal tahun pelajaran 2009/2010.

Prosedur penelitian menggunakan siklus Kemmis dan Taggart yaitu tiap siklus terdiri atas perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Pada siklus tindakan guru/dosen dominan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada siswa atau mahasiswa untuk mendorong mereka mengatakan apa yang mereka pahami , dan apa yang mereka minati. Sedangkan penelitian ini menggunakan siklus Arikunto yang lebih menekankan tahapan proses pelaksanaan untuk berdiskusi, tanya jawab dalam kelompok belajar untuk menemukan hasil pembelajaran.

Hasil penelitian Susriati menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menerapkan metode kontekstual mampu meningkatkan hasil belajar siswa. Pada pratindakan rata-rata hasil belajar yang dicapai siswa sebesar 65,73. Pada siklus I rata-rata hasil belajar siswa secara klasikal meningkat menjadi 70,15. Pada siklus II rata-rata hasil belajar siswa secara klasikal meningkat menjadi 83,85. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan CTL dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Penelitian Susriati mengkaji bidang pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) pada tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas.

Penelitian dilakukan oleh Widhiastuty (2014) berjudul “Penerapan Metode Contextual Teaching and Learning dalam Upaya Peningkatan Penguasaan Kosakata Bahasa Inggris Siswa Kelas VII SMP Taman Sastra Jimbaran Kuta Selatan”. Penelitian dengan dua siklus ini menunjukkan bahwa penguasaan kosakata bahasa Inggris siswa meningkat dengan diterapkannya metode Contextual Teaching and Learning. Peningkatan tersebut dapat dilihat dari hasil

(4)

persentase pada siklus I sebesar 64,61% dan termasuk kategori tidak cukup, dan kemudian meningkat pada siklus II menjadi 82,55% termasuk kategori baik. Artinya metode CTL dapat meningkatkan penguasaan kosakata bahasa Inggris siswa kelas VII SMP Taman Sastra Jimbaran Kuta Selatan.

Penelitian yang didilakukan oleh Widhiastuty dari aspek kebahasaan memiliki relevansi dengan penelitian ini, karena penguasaan kosakata dan tata bahasa termasuk aspek kebahasaan yang tidak dapat terpisahkan. Pembendaharaan kata yang baik dan benar dapat dengan mudah menyusun kalimat yang disampaikan kepada orang lain. Perbedaannya terdapat pada bidang kajian penelitian, Widhiastuty meneliti kosakata bahasa Inggris, sedangkan penelitian ini meneliti bidang tata bahasa Jepang dasar, dengan penerapan metode yang sama yaitu metode kontekstual.

Penelitian sejenis lainnya juga dilakukan oleh Suryawan (2008) dengan judul “Penerapan Pendekatan Konteksual Menggunakan Media Skema Untuk Meningkatkan Keterampilan Berbicara Siswa Kelas X SMA Negeri 2 Singaraja”. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa adanya peningkatan yang cukup signifikan pada hasil belajar berbicara siswa dengan penerapan pendekatan kontekstual menggunakan media skema.

Walaupun banyak dilakukan penelitian tentang pengaruh pembelajaran kontekstual (CTL) terhadap aspek–aspek pembelajaran mata pelajaran tertentu, belum ditemukan penelitian sejenis yang mencoba meneliti pengaruh pembelajaran kontekstual terhadap peningkatan hasil belajar mahasiswa pada tataran tata bahasa Jepang dasar (shokyou bunpo) yang memiliki karakteristik unik,

(5)

baik huruf, ucapan, maupun struktur kalimatnya. Demikian pula subjek dan objek penelitian yang dilakukan oleh para peneliti berbeda, sudah barang tentu konsep, landasan teori, metode, dan kerangka berpikir berbeda pula. Subjek penelitian terdahulu adalah siswa tingkat dasar dan menengah yang memiliki tingkat berpikir berbeda dengan mahasiswa. Objek yang dimaksudkan pada penelitian ini adalah bidang kajian yang diteliti. Perbedaan lainnya, yakni tidak ditemukan hasil analisis data kualitatif, tetapi semua penelitian yang sudah dilaksanakan hanya menemukan data kuantitatif dalam bentuk angka-angka. Lagi pula, tidak ada yang melengkapi penelitiannya dengan faktor-faktor yang dapat memengaruhi hasil belajar mahasiswa dengan metode kontekstual (CTL).

Hasil penelitian di atas yang menerapkan metode kontekstual dalam proses pengajaran dan pembelajaran memiliki keunggulan. Hal itu ditunjukkan oleh adanya keunggulan peningkatan hasil belajar. Peningkatan tersebut terjadi pada siklus I dan siklus II sehingga kriteria nilai minimal terlampaui.

Penelitian terdahulu cukup relevan dengan penelitian ini. Diharapkan hasil penelitian dapat menjawab permasalahan dalam usaha meningkatkan hasil pembelajaran tata bahasa Jepang dasar bagi mahasiswa semester III Sastra Jepang Sekolah Tinggi Bahasa Asing Saraswati Denpasar. Dengan demikian, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tindakan kelas yang berjudul “Metode Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) dalam Pembelajaran Tata Bahasa Jepang Dasar bagi Mahasiswa Semester III Sastra Jepang Sekolah Tinggi Bahasa Asing Saraswati Denpasar”.

(6)

Penelitian ini dikhususkan pada peningkatan penguasaan tata bahasa Jepang dasar sebagai bahasa asing, sebab tata bahasa merupakan salah satu komponen penting dalam pengajaran bahasa Jepang. Jika seorang mahasiswa lemah dalam penguasaan tata bahasa, ia tidak akan dapat mengomunikasikan pikiran dan idenya dengan baik dan benar, baik lisan maupun tulisan.

2.2 Konsep

Pada penelitian ini terdapat beberapa konsep penting sebagai dasar atau acuan untuk memperlancar proses penelitian. Konsep konsep tersebut, yaitu (1) metode kontekstual (CTL ), (2) pembelajaran, (3) tata bahasa Jepang dasar

(Shokyou Bunpo).

2.2.1 Metode kontekstual

Metode berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan yang ditempuh. Metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran yang akan dicapai.

Menurut Sutikno, metode adalah cara-cara menyajikan materi pelajaran yang dilakukan oleh pendidik agar terjadi proses pembelajaran pada diri siswa dalam upaya untuk mencapai tujuan. Para ahli lain menyatakan bahwa metode adalah cara yang digunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan siswa pada saat berlangsungnya pengajaran (Sudjana, 2005:76).

Metode kontekstual merupakan suatu proses yang dilakukan dalam pembelajaran untuk menghasilkan pengetahuan dengan menghubungkan muatan

(7)

akademis atau topik pembelajaran dengan kehidupan nyata sehari-hari dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual. Ketujuh komponen utama yang dimaksud adalah konstruktivisme, bertanya, inkuiri, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian autentik.

Untuk mengaitkan materi pembelajaran bisa dilakukan dengan berbagai cara. Selain karena memang materi yang dipelajari secara langsung terkait dengan kondisi faktual juga bisa disiasati dengan pemberian ilustrasi atau contoh, sumber belajar, media, dan sebagainya yang ada hubungannya dengan kehidupan nyata mahasiswa sehari-hari (Rusman, 2012:188).

Metode kontekstual pada penelitian ini adalah cara pembelajaran yang membantu guru/dosen mengaitkan antara materi yang dihajarkan dengan situasi nyata siswa atau mahasiswa dan mendorong untuk menghubungkan antar pengetahuan yang dimiliki dengan kehidupan nyata mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.

2.2.2 Pembelajaran

Pembelajaran adalah serangkaian peristiwa yang dirancang, dan disusun demikian rupa untuk mendukung dan memengaruhi terjadinya proses belajar mahasiswa yang bersifat internal. Pembelajaran berupaya mengubah input mahasiswa yang belum terdidik menjadi mahasiswa yang terdidik, mahasiswa yang belum memiliki pengetahuan tentang sesuatu menjadi mahasiswa yang memiliki pengetahuan. Demikian pula mahasiswa yang memiliki sikap, kebiasaan, atau tingkah laku yang belum memiliki eksistensi dirinya sebagai pribadi yang baik menjadi mahasiswa yang memiliki sikap yang baik, sebagai hasil dari

(8)

pengalaman mahasiswa dalam proses pembelajaran yang menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotorik (Aunurrahman, 2010:34).

Darsono (2000:24) menambahkan bahwa secara umum pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa. Dengan demikian tingkah laku siswa berubah ke arah yang lebih baik.

Menurut Syaiful Sagala (2010:61), pembelajaran adalah membelajarkan peserta didik menggunakan asas pendidikan dan teori belajar sebagai proses komunikasi dua arah. Pembelajaran adalah kegiatan pendidik secara terprogram dalam desain instruksional untuk membuat mahasiswa/siswa belajar secara aktif, mampu berpikir yang dapat meningkatkan kemampuan mengontruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi pelajaran.

Pada penelitian ini, yang dimaksud dengan pembelajaran adalah proses belajar mengajar di kelas yang dilakukan oleh pendidik dan peserta didik di lingkungan sekolah untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku, sikap dan kepribadian ke arah yang lebih baik sebagai hasil dari pengalaman mahasiswa dalam proses pembelajaran yang menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotorik. ((Aunurrahman, 2010:34)

2.2.3 Tata Bahasa Jepang Dasar (Shokyou Bunpo)

Menurut Iwabuchi Tadasu, gramatika atau tata bahasa adalah aturan-aturan mengenai bagaimana menggunakan dan menyusun kata-kata menjadi sebuah kalimat (dalam Sudjianto dan Dahidi, 2009:133). Shokyou bunpo adalah tata bahasa tingkat dasar (pemula); kelas pemula (Matsura, 1994:959).

(9)

Poerwadaminta (1976:1024) mengemukakan bahwa tata bahasa adalah pengetahuan atau pelajaran mengenai pembentukan kata-kata. Selain itu, juga penyusunan kata-kata dalam kalimat.

Pada penelitian ini, tata bahasa Jepang dasar adalah seputar aturan-aturan dalam menggunakan dan menyusun kata-kata menjadi kalimat sederhana yang dapat digunakan untuk menguasai aspek keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis yang sederhana. Artinya, gramatika atau tata bahasa dasar dicirikan oleh pola kalimat yang sederhana.

Contoh : わたし は だいがくせい です

Watashi wa daigakuesi desu

saya part mahasiswa kopula „Saya adalah mahasiswa‟.

Bahasa Jepang adalah bahasa yang memiliki gramatika/struktur pola kalimat “subjek-keterangan-objek-predikat (S-K-O-P)”.

Contoh: あにさん は マタハリ で かばん を かいます

Ani san wa Matahari de kaban o kaimasu

nama part nama tempat part tas part membeli „Ani membeli tas di Matahari‟.

Ani san adalah subjek, partikel wa/は penanda subjek, Matahari adalah keterangan tempat, partikel de/で berarti „di‟, kaban berarti „tas‟ adalah objek,

o/を penanda objek, dan kaimasu berarti „membeli‟ adalah predikat. Predikat

dalam pola kalimat bahasa Jepang selalu terletak di akhir kalimat (Jonathan, 2013:8).

Pembelajaran tata bahasa Jepang dasar (shoukyou bunpo) dalam penelitian ini terbatas pada empat unsur-unsur bahasa, yakni penggunaan partikel, pola

(10)

kalimat , unsur predikat, dan makna kalimat bahasa Jepang bagi mahasiswa sastra Jepang semester III STIBA Saraswati Denpasar.

2.3 Landasan Teori

Ada beberapa teori yang melandasi penelitian ini. Teori-teori tersebut adalah (1) teori pembelajaran bahasa konstruktivisme, (2) dasar-dasar linguistik bahasa Jepang, dan (3) penelitian tindakan kelas (PTK).

2.3.1 Teori Pembelajaran Bahasa Konstruktivisme

Munculnya konstruktivisme dalam dunia psikologi, pada tahun-tahun terakhir ini menjadi lebih jelas bahwa fungsi bahasa berkembang dengan baik di bawah gagasan kognitif dan struktur ingatan. Menurut pandangan konstruktivisme, pengetahuan dibina secara aktif oleh individu yang berpikir. Individu ini tidak menyerap secara sembarangan pengetahuan dasar yang dimiliki untuk membentuk pengetahuan baru dalam pikiran mereka dengan bentuk interaksi sosial, baik bersama rekan maupun gurunya (Brooks&Brooks,1993 dalam Aqib, 2013).

Komponen penting dalam teori konstruktivisme adalah bagaimana mengemas pembelajaran menjadi proses mengontruksi tidak sebatas menerima pengetahuan. Penelitian bahasa anak-anak mulai memusatkan perhatiannya pada bagian linguistik yang paling rawan, yakni fungsi bahasa dalam wacana.

Teori belajar konstruktivisme merupakan landasan berpikir metode CTL. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri pengetahuan melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar lebih banyak berpusat pada siswa daripada berpusat pada guru.

(11)

Artinya, sebagian besar waktu proses belajar mengajar berlangsung dengan berbasis pada aktivitas siswa. Dengan dasar itu pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengonstruksi tidak menerima pengetahuan.

Menurut teori ini satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah guru tidak hanya sekadar memberikan pengetahuan kepada siswa. Akan tetapi, mahasiswa/siswa itu sendiri harus membangun pengetahuan dalam benaknya. Guru atau dosen dapat memberikan kemudahan dalam proses ini dengan memberikan kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri. Di samping itu, mengajari siswa menjadi sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Untuk itu tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi peserta didik sesuai dengan kehidupan mereka sehari-hari (Trianto, 2008:41).

Konstruktivisme menurut Martin et. al (dalam Gerson Ratumanan, 2002) menekankan pentingnya setiap siswa aktif mengonstruksikan pengetahuan melalui hubungan saling memengaruhi antara belajar sebelumnya dan belajar baru. Selanjutnya, Wikipedia (2008:1) menurunkan definisi ialah “constructivism may

be considered an epistemology (a philosophical framework or theory of learning) which argues humans construct meaning from current knowledge structures.”

Artinya, konstruktivisme dapat dipandang sebagai suatu epistemologi (kerangka filosofis atau teori belajar) yang mengkaji manusia dalam membangun makna dari struktur pengetahuan terkini. Jadi, dapat disimpulkan bahwa sebagai landasan paradigma pembelajaran, konstruktivisme menyerukan perlunya partisipasi aktif siswa dalam proses pembelajaran, perlunya pengembangan siswa belajar mandiri,

(12)

dan perlunya siswa memiliki kemampuan untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri.

Dalam hal tahap-tahap pembelajaran, pendekatan konstruktivisme lebih menekankan pada pembelajaran top-down processing, yaitu siswa belajar dimulai dari masalah yang kompleks untuk dipecahkan (dengan bantuan guru), kemudian menghasilkan atau menemukan keterampilan-keterampilan dasar yang dibutuhkan (Slavin, 1994). Misalnya, ketika siswa diminta untuk menulis kalimat-kalimat, kemudian dia akan belajar untuk membaca, belajar tentang tata bahasa kalimat-kalimat tersebut, dan bagaimana menulis titik dan komanya.

Bagi aliran konstruktivisme, guru tidak lagi menduduki tempat sebagai pemberi ilmu. Tidak lagi sebagai satu-satunya sumber belajar. Namun, guru lebih diposisikan sebagai fasilitator yang memfasilitasi siswa untuk dapat belajar dan mengonstruksi pengetahuannya sendiri. Aliran ini lebih menekankan bagaimana siswa belajar, bukan bagaimana guru mengajar.

Sebagai fasilitator, guru bertanggung jawab terhadap kegiatan pembelajaran di kelas. Di antara tanggung jawab guru dalam pembelajaran adalah menstimulasi dan memotivasi siswa. Orientasi pembelajaran bergeser dari berpusat pada guru mengajar ke pembelajaran berpusat pada siswa (student

centered instruction).

1) Prinsip-Prinsip Konstruktivisme

Secara garis besar, prinsip-prinsip konstruktivisme yang diterapkan dalam proses belajar mengajar adalah sebagai berikut:

(13)

a) Pengetahuan dibangun oleh mahasiswa/siswa sendiri.

b) Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari dosen/guru ke murid, kecuali hanya dengan keaktifan mahasiswa sendiri untuk menalar.

c) Mahasiswa/siswa aktif megonstruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah disesuaikan dengan kehidupan nyata.

d) Dosen/guru sekadar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar.

e) Struktur pembelajaran seputar konsep diutamakan pada pentingnya sebuah pertanyaan.

f) Mencari dan menilai pendapat mahasiswa/siswa.

g) Menyesuaikan bahan pengajaran untuk menanggapi anggapan mahasiswa/siswa.

Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting yaitu dosen/guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada mahasiswa/siswa. Mahasiswa/siswa harus membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Seorang dosen/guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan dengan kehidupan sehari-hari mahasiswa/siswa. Hal itu dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada mahasiswa/siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dengan mengajak mahasiswa/siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar.

2) Implikasi Konstruktivisme pada Pembelajaran

Terdapat beberapa implikasi penting konstruktivisme terhadap pembelajaran. Implikasi-implikasi yang dimaksud adalah seperti di bawah ini.

(14)

1) Pembelajaran tidak dapat dipandang sebagai suatu transmisi pengetahuan. Penyajian pengetahuan jadi (ready made) tidak mendapat penekanan. Dalam kelas konstruktivis, pembelajaran diarahkan untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan siswa mengonstruksi pengetahuan dan memperluas pengetahuan mereka. Inisiatif dan keterlibatan aktif mahasiswa/siswa dalam pembelajaran merupakan hal yang utama.

2) Perhatian tidak diarahkan hanya pada hasil belajar, tetapi juga dipusatkan pada proses berpikir atau proses mental mahasiswa. Di samping kebenaran jawaban mahasiswa, dosen/guru juga perlu memperhatikan proses yang digunakan mahasiswa hingga memperoleh jawaban tersebut.

3) Perlu adanya scaffolding (dukungan atau bantuan) pada mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam mengonstruksi pengetahuan atau dalam pemecahan masalah. Bantuan ini akan memotivasi mahasiswa dalam belajar dan meningkatkan kemandirian mahasiswa. Di samping itu, juga akan mengembangkan ZPD (zon perkembangan prokimal) mahasiswa.

4) Perlu disadari tentang pentingnya konteks sosial dalam pembelajaran. Pembelajaran seharusnya melibatkan negosiasi sosial dan mediasi. Pedagogis lebih ditekankan pada diskusi, kolaborasi, negosiasi, dan makna bersama. 5) Perlu diciptakan situasi pembelajaran yang merangsang keingintahuan

mahasiswa, sekaligus merangsang mahasiswa untuk dapat mengkomunikasikan ide-ide mereka.

(15)

6) Jika mahasiswa harus mengaplikasikan pemahaman saat ini dalam situasi baru ke bentuk pengetahuan baru, dosen/guru harus sungguh-sungguh melibatkan mahasiswa dalam pembelajaran.

3) Ciri-Ciri Pembelajaran Menurut Konstruktivisme

Adapun ciri-ciri pembelajaran menurut konstruktivisme adalah sebagai berikut.

1) Pembelajaran berpusat pada mahasiswa. 2) Fokus kepada pembelajaran bukan pengajaran. 3) Dosen/guru sebagai fasilitator.

4) Bahan pengajaran dirancang sedemikian rupa sehingga memberikan peluang kepada mahasiswa membina pengetahuan baru.

5) Menyokong pembelajaran secara kooperatif, yaitu suatu kumpulan strategi mengajar yang digunakan mahasiswa untuk membantu satu dengan yang lain dalam mempelajari sesuatu.

6) Menggalakkan mahasiswa bertanya dan berdialog dengan sesama mahasiswa dan dosen.

7) Pendidik memahami karakteristik mental para mahasiswa untuk mengenal penalaran yang dikembangkan untuk mendukung proses pembelajaran.

8) Menggalakkan dan menerima daya usaha para mahasiswa dalam mengembangkan pengetahuannya.

9) Menggalakkan ide yang dikemukakan oleh mahasiswa dan menggunakannya sebagai panduan merancang pengajaran.

(16)

4) Keunggulan dan Kelemahan Teori Konstruktivisme dalam Pembelajaran Keunggulan

1) Berpikir

Dalam proses membina pengetahuan baru, mahasiswa berpikir menyelesaikan masalah, mengemukakan dan membuat simpulan dengan bahasa sendiri.

2) Paham

Karena mahasiswa terlibat secara langsung dalam membina pengetahuan baru, mereka akan lebih paham dan mampu mengaplikasikannya.

3) Ingat

Karena mahasiswa terlibat secara langsung dan aktif, mereka akan mengingat lebih lama mengenai semua konsep.

4) Yakin

Melalui pendekatan ini mahasiswa membina sendiri pemahaman mereka dengan strategi belajar sendiri. Oleh karena itu, mereka menjadi lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah pada situasi baru dalam kehidupan sehari-hari.

5) Interaktif dan Senang

Mahasiswa/siswa lebih banyak berinteraksi dan saling bertukar gagasan dengan teman dan dosen/guru dalam proses pembelajaran untuk mendapatkan pengetahuan baru. Karena mereka paham, ingat, yakin, dan berinteraksi dengan sehat, maka timbul rasa senang belajar untuk memperoleh pengetahuan baru.

(17)

Kelemahan

1) Pemahaman para mahasiswa terhadap materi cenderung kurang merata.

2) Diperlukan persiapan yang lebih matang dari pendidik dan peserta didik agar pembelajaran berjalan dengan lancar.

3) Mahasiswa mengonstruksi pengetahuannya sendiri sehingga tidak jarang hasil konstruksi tersebut tidak cocok dengan hasil konstruksi sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan. Dengan demikian, terjadi miskonsepsi.

4) Konstruktivisme menanamkan agar mahasiswa membangun pengetahuannya sendiri. Hal ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap mahasiswa memerlukan penanganan yang berbeda-beda.

5) Situasi dan kondisi tiap kampus tidak sama karena tidak semua kampus memiliki sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreativitas mahasiswa.

5) Kendala dalam Penerapan Pembelajaran Konstruktivisme

Konstruktivisme memberikan angin segar bagi perbaikan proses dan hasil belajar. Walaupun demikian, terdapat pula kendala yang muncul dalam penerapan pembelajaran menurut konstruktivisme di kelas. Kendala-kendala yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1) Sulit mengubah keyakinan dan kebiasaan dosen/guru. Selama ini pendidik telah terbiasa mengajar dengan menggunakan pendekatan tradisional. Upaya mengubah kebiasaan ini merupakan suatu hal yang tidak mudah.

(18)

2) Dosen/guru kurang tertarik dan mengalami kesulitan mengelola kegiatan pembelajaran berbasis konstruktivisme. Dosen/guru konstruktivis dituntut untuk lebih kreatif dalam merencanakan kegiatan pembelajaran dan dalam memilih menggunakan media yang sesuai.

3) Adanya anggapan dosen/guru bahwa penggunaan metode atau pendekatan baru dalam pembelajaran akan menggunakan waktu yang cukup besar. Pendidik khawatir target pencapaian kurikulum (TPK) tidak tercapai.

4) Sistem evaluasi masih menekankan pada nilai akhir. Padahal, yang terpenting dari suatu pembelajaran adalah proses belajar, bukan hasil akhirnya.

5) Besarnya beban mengajar dosen/guru, latar belakang pendidikan tidak sesuai dengan mata kuliah yang diasuh, dan banyaknya pelajaran/mata kuliah yang harus dipelajari mahasiswa merupakan hal yang cukup serius.

6) Mahasiswa/siswa terbiasa menunggu informasi dari dosen/guru. Peserta didik akan belajar jika ada transfer pengetahuan dan tugas-tugas dari dosen/gurunya. Upaya mengubah sikap “menunggu informasi” menjadi “pencari dan pengonstruksi informasi” merupakan kendala tersendiri.

7) Adanya budaya negatif di lingkungan mahasiswa/siswa. Salah satu contohnya di lingkungan rumah. Pendapat orang tua selalu dianggap paling benar, anak dilarang membantah pendapat orang tuanya. Kondisi ini juga terbawa ke kampus. Mahasiswa/siswa terkondisi untuk “mengiakan” pendapat atau penjelasan pendidik. Mahasiswa tidak berani mengemukakan pendapatnya yang mungkin berbeda dengan dosen/ gurunya

(19)

Beberapa kelemahan dan kendala tersebut di atas dialami ketika melaksanakan penelitian pada tindakan siklus I. Kelemahan teori konstruktivisme dengan penerapan metode kontekstual tampak pada kemampuan intelektual mahasiswa kurang merata, sehingga mengonstruksi hasil temuan belajar kelompok tidak sesuai dengan kaidah gramatika bahasa Jepang. Hal ini dapat dilihat dari hasil pembelajaran pada siklus I masih kurang.

Cara mengatasi kelemahan tersebut, peneliti berkonsultasi dengan dosen pengampu mata kuliah mengenai tingkat kemampuan mahasiswa dan melihat indeks prestasi tiap-tiap mahasiswa. Kemudian berdasarkan data dan masukan dosen pendamping peneliti merombak keanggotaan kelompok belajar dengan tujuan menimalisir ketimpangan yang ada di antara individu dan kelompok belajar.

Kendala-kendala yang dialami antara lain, mahasiswa tidak terbiasa bekerja kelompok, mahasiswa kurang berani mengemukakan pendapatnya, dan ada kecenderungan mahasiswa hanya menerima informasi dari dosen. Sikap mahasiswa seperti ini tidak baik untuk tujuan pembelajaran. Keberhasilan pembelajaran sangat ditentukan oleh kemauan, percaya diri, keberanian, minat, dan motivasi belajar mahasiswa.

2.3.2 Dasar-Dasar Linguistik Bahasa Jepang

Pembelajar bahasa Jepang perlu memahami atau minimal mengetahui dasar-dasar linguistik bahasa Jepang. Pengetahuan linguistik ini merupakan media untuk mempermudah dan memperlancar penguasaan bahasa Jepang. Linguistik

(20)

bahasa Jepang disebut dengan nihongo-gaku, bisa diterjemahkan ilmu bahasa Jepang. Jadi, dalam nihongo-gaku dipelajari seluk beluk bahasa Jepang ,yang mencakup berbagai cabang, yaitu :

1) fonetik (onseigaku) 2) fonologi (oninron) 3) morfologi (keitairon) 4) sintaksis (tougoron) 5) semantik (imiron) 6) pragmatik (goyouron)

7) sosiolinguistik (shakai gengogaku)

8) psikolinguistik (shinri gengogaku)

Cabang linguistik yang dijadikan landasan teori yang berkaitan dengan penelitian ini adalah cabang sintaksis.

Sintaksis (tougoron) dalam bahasa Jepang disebut tougoron. Sintaksis adalah ilmu yang mempelajari struktur kalimat atau kaidah-kaidah dan unsur-unsur pembentuk kalimat dalam suatu bahasa. Bidang garapan sintaksis adalah kalimat yang mencakup unsur-unsur pembentuknya, struktur kalimat dan maknanya, serta jenis dan fungsi kalimat (Nita, 1994 : 18)

Secara garis besar jenis kalimat berdasarkan struktur kalimat terdiri atas dua macam, yaitu kalimat yang tidak memiliki unsur predikat dan kalimat yang memiliki unsur predikat. Contoh kalimat sebagai berikut.

1) Kalimat yang tidak mempunyai predikat. Oame (banjir), kaji (kebakaran).

(21)

2) Kalimat yang memiliki predikat,

Contoh :エカさん にほんご ならいます

Eka san wa nihongo o naraimasu. nama orang part bahasa Jepang part belajar. „Eka belajar bahasa Jepang‟.

Kata naraimasu berarti belajar, yang berfungsi sebagai predikat dalam bahasa Jepang. Partikel wa/は penanda subjek, dan partikel o/を penanda objek.

Pola dan struktur kalimat bahasa Jepang berdasarkan jenis kata yang dijadikan predikat dibagi menjadi tiga macam, yaitu kalimat verbal, baik transitif maupun intrasitif, kalimat adjektiva, dan kalimat nominal. Contoh pola kalimat bahasa Jepang sebagai berikut

1) Pola kalimat verbal intransitif (SP)

Contoh : あめ ふる

Ame ga furu

hujan part air turun „Hujan turun‟.

Kata furu adalah kata kerja intrasitif. Partikel ga /が penanda subjek. 2) Pola kalimat verbal transitif (SOP)

Contoh : ちち しんぶん よみます

Chichi wa shinbun o yomimasu

bapak part surat kabar part membaca „Bapak membaca surat kabar‟.

Kata yomimasu berkonjugasi dari bentuk kamus yomu, yang berarti “membaca” dan berfungsi sebagai predikat kata kerja transitif.

3) Pola kalimat adjektiva

Contoh keiyoushi : この みかん あまい です

Kono mikan wa amai desu

ini jeruk part manis kopula „Jeruk ini manis‟.

(22)

Kata amai berarti “manis” adalah kata sifat keiyoushi, sering pula disebut kata sifat “ berakhiran i”, dan berfungsi sebagai predikat. Partikel wa /は penanda subjek.

Contoh keiyoudoshi : バリ きれい です

Bali wa kirei desu

daerah part indah kopula „Pulau Bali indah‟.

Kata kirei berarti “indah” adalah termasuk kata sifat keiyoudoshi, sering pula disebut kata sifat berakhiran “na/da”, dan berfungsi sebagai predikat.

4) Pola kalimat nomina

Contoh : ワヤンさん は だいがくせい です

Wayan san wa daigakusei desu.

Nama orang part mahasiswa kopula. „Wayan adalah mahasiswa‟.

Kata daigakusei berarti “mahasiswa” termasuk kata benda dan berfungsi sebagai predikat. Partikel wa/は penanda subjek.

Berdasarkan maknanya kalimat dapat dibagi dua, yaitu dari segi isi dan fungsinya. Dari segi isi kalimat dapat menyatakan keadaan dan menyatakan aktivitas, seperti contoh berikut:

1) へや に テレビ が ある

Heya ni terebi ga aru

kamar part TV part ada „Televisi ada di kamar‟.

Makna kalimat di atas menyatakan keadaan.

2) はは は テレビ を みる

Haha wa terebi o miru.

Ibu part TV part menonton

(23)

Makna kalimat menyatakan aktivitas.

Berdasarkan fungsi, kalimat dibedakan atas kalimat perintah (meirei), kalimat menyatakan maksud (ishi), keinginan (kibou), kalimat berita (nobetate no

bun) kalimat larangan (kinshi), kalimat tanya (toikake no bun) kalimat

permohonan (irai), kalimat ajakan (kanyuu).

Makna atau fungsi kalimat yang diteliti pada penelitian ini adalah kalimat perintah (meirei), kalimat larangan (kinshi), dan kalimat permohonan (irai) Contoh kalimat perintah (meirei):

べんきょう を しなさい

Benkyou o shinasai

Pelajaran part melakukan „Belajarlah‟.

Contoh kalimat larangan (kinshi):

さけ を のまないでください

Sake o nomaide kudasai

Arak part jangan minum „Jangan minum arak‟.

Contoh kalimat permohonan (irai):

どうぞ たべてください

Douzo tabete kudasai

Silakan makanlah „Silahkan makan‟.

Unsur kalimat dalam bahasa Jepang secara garis besar terdiri atas (1) subjek (shugo), (2) predikat (jutsugo), (3) objek (taishougo), (4) keterangan (joukyougo), (5) modifikator (shiuushokugo), dan (6) penyambung (setuzokugo). Unsur subjek dan objek biasanya diisi oleh nomina, unsur predikat diisi oleh verbal, adjektiva, nomina ditambah kopula. Unsur keterangan mencakup keterangan tempat, waktu, alat, penyerta, dan yang lainnya.

(24)

Pada awal pembelajaran tata bahasa Jepang dasar (shoukyou bunpo), dosen hendaknya memberikan gambaran secara umum tentang bagaimana keadaan gramatikal bahasa yang dipelajari dan bagaimana pula perbedaannya jika dibandingkan dengan gramatika bahasa lain yang lebih dahulu dipelajari. Dengan demikian, pada pengaplikasiannya mahasiswa bisa memiliki keterampilan berbahasa yang baik dan benar karena ditunjang oleh penguasaan tata bahasa yang baik dan benar pula.

Bagi pembelajar, tata bahasa menjadi semacam kompas dalam pemakaian bahasa. Bagaimanapun juga, penguasaan tata bahasa tidak bisa dinomorduakan. Memang sekarang ini ada juga yang berpendapat bahwa orientasi pada latihan percakapan harus lebih diutamakan daripada orientasi tata bahasa. Seorang pengajar yang baik haruslah bisa menyeimbangkan hal tersebut. Dengan demikian pada pengaplikasiannya pelajar bisa memiliki aspek keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis yang semakin seimbang dan baik karena ditunjang penguasaan tata bahasa yang baik pula.

Dalam pengajaran tata bahasa Jepang pada tahap pemula, para guru/dosen tidak berarti memberikan pengetahuan tentang ilmu bahasa yang telah dikuasai kepada pelajar tahap pemula begitu saja. Pengajaran tata bahasa tidak sesederhana itu. Dalam mengajarkan tata bahasa pada tahap pemula, dosen/guru sebagai pengajar harus memberikan materi pelajaran sedikit demi sedikit, terutama pada pokok-pokok tata bahasa yang dirasa sangat penting atau diperlukan. Sehubungan dengan itu, sebelum masuk kegiatan pembelajaran, pengajar harus bisa membuat rancangan memulainya dari mana, apa yang akan diajarkan, dan bagaimana cara

(25)

mengajarkannya agar mencapai hasil yang maksimal. Oleh karena itu, guru atau dosen wajib mempersiapkan Silabus dan SAP sebelum memulai pembelajaran.

Permasalahan yang sering muncul saat pengajaran tata bahasa Jepang pada tahap pemula yaitu, pada umumnya pelajar menggunakan buku pelajaran tata bahasa tingkat awal yang ditulis dengan bahasa asli mereka, tidak menggunakan bahasa Jepang. Hal ini dimaksudkan agar mereka mendapatkan kemudahan dalam pemahaman tata bahasa. Walaupun mereka bisa memahami uraian dalam buku pelajaran tersebut, ada kalanya masih sering menghadapi kesulitan untuk benar-benar dapat menguasai persoalan tata bahasa termasuk juga pemahaman terhadap pengertian fungsi tiap-tiap kata yang dilihat dari segi ketatabahasaan. Pemahaman tata bahasa tidaklah hanya terbatas untuk pemenuhan pencapaian keterampilan memahami bacaan, tetapi juga harus mencakup kemampuan aktivitas berbahasa yang lain, seperti mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.

Pengajaran tata bahasa tidak bisa dilakukan hanya dengan mengandalkan uraian-uraian tentang bahasa yang terdapat dalam buku-buku pelajaran. Selain hal di atas, ada pula masalah yang muncul, yaitu tuntutan mahasiswa atas penjelasan atau pembenaran pada struktur pola tata bahasa sebuah kalimat yang salah. Memang dalam hal kesalahan ucapan, secara mudah pengajar dapat mengatasinya dengan cara langsung melakukan koreksi pembetulan. Akan tetapi, dalam hal kesalahan yang berhubungan dengan unsur tata bahasa terkadang siswa sering meminta penjelasan yang lebih lanjut atas hal yang dianggap salah oleh pengajar. Misalnya, pada kalimat „道を歩く(michi o aruku,berjalan di jalan), bila ada siswa yang mengucapkan „道に歩く(michi ni aruku‟atau 道で歩く(michi de

(26)

aruku), dengan mudah pengajar membetulkannya, yaitu dengan meminta siswa

tersebut mengucapkan „道を歩く‟. Namun, tidak bisa dihindari bahwa siswa sering mengajukan pertanyaan lebih lanjut terhadap struktur pola kalimat tersebut. Misalnya, mengapa 道を歩く(michi o aruku, (berjalan di jalan). Dalam hal ini pengajar harus menjelaskannya sesuai dengan kaidah tata bahasa Jepang yang benar, yakni kalimat bahasa Jepang menggunakan verba yang sifatnya menunjukkan perpindahan, seperti 歩 く (berjalan) 、 通 る (melewati) 、 出 る (keluar), dan lainnya. Partikel yang harus digunakan untuk mengikuti verba tersebut adalah を(wo) bukan に(ni) atau で(de). Dalam pengajaran kaidah tata bahasa, pertanyaan “mengapa” memang merupakan hal yang sukar untuk dijawab. Pertanyaan senacam itu merupakan hal yang wajar terjadi pada mahasiswa/siswa pada tahap pemula pada khususnya. Hal tersebut terjadi karena disebabkan adanya pengaruh bahasa ibu mahasiswa/siswa itu sendiri yang lebih dahulu dipelajari sebelum mempelajari bahasa Jepang. Oleh karena itu, gramatika bahasa Jepang penting sekali dipahami belajar bahasa Jepang. Untuk dapat memahaminya akan diamati pendapat pakar bahasa Jepang tetang gramatika. Yasuo (1985:44) mengemukakan bahwa gramatika adalah suatu fenomena umum pada saat menyusun kalimat, yang secara teoretis merupakan suatu sistem tentang bentuk kata, urutan kata, fungsi kata, dan struktur kalimat.

Bahasa Jepang memiliki karakteristik unik seperti penggunaan huruf, kosakata, sistem pengucapan, tata bahasa atau gramatika, dan ragam bahasanya. Apabila dibandingkan dengan bahasa Indonesia, bahasa Jepang memiliki struktur pola kalimat yang berbeda. Struktur kalimat dalam bahasa Jepang berpola

(27)

„subjek-keterangan-objek-predikat‟(S-K-O-P). Di antara S-K-O-P tersebut harus disisipi dengan kata bantu atau partikel.

Contoh pola kalimat bahasa Jepang

よこさん は バツブラン で バロングダンス を みた

Yoko san wa Batubulan de Barong dansu o mita

nama orang part tempat part jenis tarian part menonton „Yoko menonton tari barong di Batubulan‟.

Yoko san adalah subjek (S), Batubulan, keterangan tempat (K), tari barong objek (O), mita berarti menonton (P). Partikel wa ( は ) , menyertai subjek, partikel de(で)berarti „di‟ menyertai keterangan tempat, dan partikel o (を)petanda objek. Unsur-unsur atau bagian kalimat tersebut menjadi sebuah pola kalimat yang benar karena mematuhi kaidah tata kalimat yang berlaku dalam bahasa Jepang (Sutedi, 2003:72).

Sedangkan struktur kalimat dalam bahasa Indonesia berpola „subjek-predikat-objek-keterangan (S-P-O-K)‟. Oleh karena itu, apabila pembelajar pemula di Indonesia mempelajari bahasa Jepang tidak mempelajari struktur bahasa Jepang dengan benar, maka akan mengalami kesulitan dalam menyusun kalimat. Penggolongan satuan bahasa atas dasar bentuk, fungsi, dan makna kalimat disebut kategori gramatika atau tata bahasa. Gramatika bahasa Jepang mengenal juga ragam bahasa sopan (formal) dan ragam biasa (informal). Bentuk sopan dan biasa ditentukan oleh jenis kata yang digunakan. Contoh kalimat di bawah ini.

1) これはほんです (kore wa hon desu.), artinya ini adalah buku. Jenis kalimat ini adalah bentuk sopan.

(28)

2) これはほん (kore wa hon ), artinya sama dengan kalimat nomor satu, tetapi kalimat ini adalah bentuk biasa. Menurut kaidah bahasa Jepang , apabila kalimat tidak menggunakan predikat kata kerja, untuk bentuk sopan harus disertai kata desu pada akhir kalimat seperti contoh kalimat nomor (1).

3) わたしはりんごをたべます ( watashi wa rinngo o tabemasu), artinya saya makan apel. Kalimat ini adalah bentuk sopan ( formal ).

4) わたしはりんごをたべる , artinya sama dengan kalimat nomor (3), tetapi kalimat ini bentuk biasa (informal). Menurut gramatika bahasa Jepang predikat kata kerja bentuk masu (masukei) adalah bentuk sopan. Dan masih banyak ragam sopan lainnya. Untuk tingkat tata bahasa pemula bentuk sopan dihajarkan secara tahap demi tahap. Untuk menghindari pembahasan terlalu melebar pembelajaran tata bahasa Jepang dasar (shoukyou bunpo) dalam penelitian ini terbatas pada unsur-unsur penggunaan partikel, pola kalimat, unsur predikat, dan fungsi/makna kalimat bahasa Jepang bagi mahasiswa sastra Jepang semester III STIBA Saraswati Denpasar.

Ada beberapa hal secara umum yang perlu dipahami dalam belajar bahasa Jepang. Adapun hal-hal yang dimaksud adalah sebagai berikut.

1) Lafal bahasa Jepang

Bahasa Jepang hanya mempunyai lima vokal yang pengucapannya sama persis dengan bahasa Indonesia. Apa yang ditulis sama dengan yang dibaca, tetapi ada sedikit pengecualian untuk beberapa huruf.

(29)

2) Bahasa Jepang mempunyai dua tensis, yaitu bentuk present (termasuk

future) dan bentuk lampau. Kata benda bahasa Jepang tidak mengenal single dan flural. Kata kerja mengalami konjugasi.

3) Susunan kalimat bahasa Jepang menggunakan pola yang tidak lazim digunakan oleh bahasa lainnya, yaitu “subyek-keterangan-obyek- predikat”. Tampaknya susunan kalimat bahasa Jepang agak sulit bagi pembelajar pemula. Predikat bahasa Jepang selalu terletak di akhir kalimat.

4) Di antara kata-kata pada kalimat bahasa Jepang diselipkan kata bantu atau partikel.

5) Huruf Jepang ada tiga jenis, yakni huruf Kanji, Hiragana, dan katakana. Untuk huruf Hiragan dan Katakana mungkin tidak terlalu sulit dipelajari, tetapi huruf Kanji sangat melelahkan dalam mempelajarinya.

2.3.3 Penelitian Tindakan Kelas (PTK)

Penelitian tindakan kelas dalam bahasa Inggris disebut classroom action

research. Arikunto (2009:3) mengatakan bahwa penelitian tindakan kelas

merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama. Tindakan tersebut diberikan oleh dosen/guru atau dengan arahan guru yang dilakukan oleh mahasiswa. Dalam penelitian tindakan kelas dilaksanakan beberapa siklus yang secara garis besar pada setiap siklus ada empat tahap tindakan, yaitu: perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi.

(30)

1) Perencanaan Siklus I

Pada tahap perencanaan siklus I dilakukan koordinasi dengan pihak kampus, dalam hal ini koordinasi dengan Ketua STIBA Saraswati Denpasar dan dosen mata kuliah bersangkutan. Setelah koordinasi diadakan observasi ke kelas dan kemudian dipersiapkan instrumen penelitian, seperti silabus, SAP, lembar observasi, kuesioner, persiapan tes awal sebelum menerapkan tindakan metode kontekstual , dan persiapan tes akhir siklus I dan siklus II.

2) Pelaksanaan Siklus I

Pada tahap pelaksanaan dosen dalam hal ini adalah peneliti mengajarkan atau menjelaskan secara singkat materi pembelajaran tata bahasa Jepang dasar dengan metode kontekstual. Metode kontekstual terdiri atas tujuh komponen, yakni konstrukvisme, inkuiri, bertanya, kelompok belajar, pemodelan, refleksi dan penilaian autentik dalam proses pembelajaran tata bahasa Jepang kepada mahasiswa semester III Sastra Jepang STIBA Saraswati Denpasar

Pada pelaksanaan siklus I ini, dilaksanakan beberapa kali pertemuan. Pada setiap pertemuan terdapat tiga kegiatan, yaitu kegiatan awal, kegiatan inti dan kegiatan akhir.

3) Pengamatan Siklus I

Pada saat berlangsungnya kegiatan belajar mengajar yaitu pelaksanaan siklus I, peneliti dibantu oleh seorang observer pendamping yakni dosen mata

(31)

kuliah Shoukyou Bunpo. Tugas observer adalah melakukan penilaian pengamatan terhadap aktivitas dan respons mahasiswa dalam proses pembelajaran.

4) Refleksi Siklus I

Tahapan tindakan yang terakhir pada siklus I adalah refleksi. Pada tahap ini diadakan tes akhir atau evaluasi.Tujuan evaluasi untuk mengetahui peningkatan atau perubahan hasil pembelajaran tata bahasa Jepang mahasiswa semester III Sastra Jepang STIBA Saraswati Denpasar setelah penerapan metode kontekstual. Apabila hasilnya belum mencapai nilai ketuntasan minimal yang diharapkan, yakni nilai B, maka diadakan tindakan siklus II.

Tahap tindakan siklus II sama dengan tindakan siklus I, yakni perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Proses pelaksanaan pembelajaran juga sama dengan penerapan metode kontekstual. Setelah tahapan pembelajaran berakhir diadakan tes akhir atau evaluasi dengan tujuan untuk mengetahui peningkatan atau perubahan hasil pembelajaran tata bahasa Jepang mahasiswa semester III Sastra Jepang STIBA Saraswati Denpasar setelah penerapan metode kontekstual sebagai kajian refleksi. Selama tahap pelaksanaan berlangsung

observer pendamping melakukan pengamatan.

(32)

2.1 Bagan Penelitian Tindakan Kelas (PTK)

2.4 Model Penelitian

Model penelitian ini menyajikan bagan abstraksi dan sintesis antara teori dan permasalahan penelitian. Secara terperinci, model penelitian yang dimaksudkan terlihat di bawah ini.

Perencanaan Siklus I Pengamatan Perencanaan Siklus II Pengamatan Pelaksanaan Refleksi I Pelaksanaan Refleksi II

(33)

2.2 Bagan Model Penelitian

Pembelajaran tata bahasa Jepang dasar (shokyou bunpo) dengan metode kontekstual (CTL) bagi mahasiswa semester III Sastra Jepang STIBA

Saraswati Denpasar

1. Hasil belajar tata bahasa Jepang dasar mahasiswa semester III Sastra Jepang sebelum menerapkan metode kontekstual

2. Hasil belajar tata bahasa Jepang dasar mahasiswa semester III Sastra Jepang setelah menerapkan metode kontekstual

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar tata bahasa Jepang dasar mahasiswa semester III Sastra Jepang dengan metode kontekstual Metode Kontekstual (CTL) Siklus I PTK Teori Belajar Konstruktivisme Teori Siklus II Dasar-Dasar Linguistik Bahasa Jepang Temuan

(34)

Bagan di atas menginformasikan bahwa pembelajaran tata bahasa Jepang dasar ditingkatkan dengan menggunakan metode kontekstual. Metode kontekstual yang terdiri atas tujuh komponen yakni konstruktivisme, menemukan, tanya jawab, kelompok belajar, pemodelan, refleksi dan penilaian autentik untuk menemukan jawaban dari permasalahan yang dihadapi mahasiswa. Dalam hal ini adalah kemampuan tata bahasa Jepang dasar sebelum dan sesudah penerapan metode kontekstual Di samping itu juga untuk menjawab faktor-faktor yang dapat memengaruhi pembelajaran tata bahasa Jepang dasar dengan metode kontekstual. Penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas (PTK). PTK ini akan dimulai dengan siklus I dan kemudian dilanjutkan siklus II. Setelah dilaksanakan siklus I dan siklus II diperoleh hasil penelitian yang berupa data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif dan data kualitatif diolah sehingga dihasilkan simpulan. Pada penelitian tindakan kelas (PTK) ini dilaksanakan dua siklus. Setiap siklus terdiri atas perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Dalam konteks ini, metode kontekstual merupakan strategi interaktif yang diciptakan oleh dosen/guru dalam proses pembelajaran tata bahasa Jepang dasar Penelitian ini menggunakan teori konstruktivisme dan dasar-dasar linguistik bahasa Jepang yang menghasilkan temuan tertentu. Hasil pembelajaran dengan metode kontekstual (CTL) yang dilakukan ini menjadi sebuah simpulan dan sekaligus sebagai rekomendasi atau saran untuk perbaikan proses pembelajaran tata bahasa Jepang dasar (shoukyou bunpo) bagi pembelajar pemula.

Referensi

Dokumen terkait

The Effect of Family Therapy with Spiritual Approach Toward Family’S Health Belief Model in Taking Care of Patient with Schizophrenia. Terapi Keluarga Dengan Pendekatan

Kebijakan operasional ini diwujudkan dalam berbagai bentuk program antara lain: (1) kebijakan pengelolaan limbah industri komponen alat berat (PLIKAB) sebagai landasan

Kondisi dan persepsi pengunjung/jamaah pada Masjid Agung Jawa Tengah adalah pengunjung Masjid Agung Jawa Tengah mayoritas adalah jamaah domestik yang berasal dari

Setelah menentukan tingkat resiko kontrol, auditor akan melakukan pengujian terhadap kontrol, dalam hubungannya dengan audit sistem informasi maka yang diuji adalah kontrol

Dari penelitian ini disarankan perlu adanya penelitian lebih lanjut terhadap struktur komunitas Echinodermata di zona intertidal Pantai Krakal dan Drini dengan

Kesimpulan hasil penelitian bahwa dari kebijakan CU Semarong dalam meningkatkan produktivitas kerja karyawan, diketahui mayoritas karyawan, sudah memenuhi harapan karyawan

Status Gizi Remaja dan Faktor-faktor yang berhubungan pada siswa SMUN 3 Bogor Tahun 2001.. Fakultas Kesehatan

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang maha Esa karena atas nikmat-Nya penyusunan Laporan Kuliah Kerja Magang (KKM) STIE PGRI Dewantara Jombang dapat diselesaikan tepat