• Tidak ada hasil yang ditemukan

Vol. 3 No. 1 Januari 2007

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Vol. 3 No. 1 Januari 2007"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

ISSN 0216-2393

G

G

R

R

A

A

D

D

I

I

E

E

N

N

Vol. 3 No. 1 Januari 2007 JURNAL MIPA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS BENGKULU

Gradien

Vol.3

No. 1 Hal. 196-242

Januari 2007

Bengkulu,

0216-2393

ISSN

(2)

G

G

R

R

A

A

D

D

I

I

E

E

N

N

Vol. 3 No. 1 Januari 2007 JURNAL MIPA

DAFTAR ISI

Fisika

1. Pengaruh Suhu Muka Laut Samudera Pasifik Zona Nino-3 Terhadap Curah

Hujan Wilayah Sumatera (Irkhos) 196-199

2. Aplikasi Mikrokontroler Untuk Sistem Perparkiran (Zul Bahrum C.) 200-203

3. Perbandingan Kinerja Detektor NaI(Tl) Dengan Detektor CsI(Tl) Pada

Spektroskopi Radiasi Gamma (Syamsul Bahri) 204-209

Kimia

4. Studi Adsorpsi Molekul Nh

3

Pada Permukaan Cr(111) Menggunakan Program

Calzaferri (Charles Banon) 210-214

5. Sintesis Turunan Benzofenon Melalui Reaksi Penataan Ulang Fries Dari

Senyawa Para-Tersier-Butilfenilbenzoat (Devi Ratnawati) 215-218

6. Buah Kelor (Moringa Oleifera Lamk) Tanaman Ajaib Yang Dapat Digunakan

Untuk Mengurangi Kadar Ion Logam Dalam Air (Teja Dwi Sutanto) 219-221

7. Pengaruh Perbandingan Volume Zat Pereaksi Terhadap Esterifikasi Asam

Asetat Dengan Fraksi Dari Minyak Fusel (Bambang Trihadi) 222-225

8. Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Betaglukan Dari Saccharomyces

Cerevisiae (Yosie Andriani) 226-230

9. Penghambatan Korosi Baja Beton Dalam Larutan Garam dan Asam dengan

Menggunakan Campuran Senyawa Butilamina dan Oktilamina (Samsul

Bahri) 231-236

Biologi

10. Pemanfaatan Ruang Secara Vertikal Oleh Burung- Burung Di Hutan Kampus

Kandang Limun Universitas Bengkulu (Jarulis) 237-242

(3)

Jurnal Gradien Vol.3 No.1 Januari 2007 : 196-199

Pengaruh Suhu Muka Laut Samudera Pasifik Zona Nino-3 Terhadap

Curah Hujan Wilayah Sumatera

Irkhos

Jurusan Fisika, Fakultas Matematikan dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia

Diterima 27 Nopember 2006; Disetujui 22 Desember 2006

Abstrak - Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh Suhu Muka Laut (SML) samudera Pasifik wilayah Niño-3 (50 LU – 50 LS) (1500 BB – 900 BB) yang bersumber dari Climate Prediction Center (www.nws.noaa.gov) dan

data curah hujan wilayah sumatera 1998 -2000. Dari hasil penelitian ini di simpulkan bahwa kenaikan SML samudera Pasifik zona nino-3 diiringi dengan kenaikan curah hujan wilayah Sumatera. Kenaikan SML di bagian timur samudera Pasifik mengakibatkan udara yang panas bergerak ke barat dan turun di wilayah Indonesia bagian timur.

Kata kunci : SML; Curah hujan

1. Pendahuluan

Posisi geografis Indonesia terletak di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik dan di antara Benua Asia dan Benua Australia serta berada pada ekuator. Kondisi ini menyebabkan cuaca, musim dan iklimnya dipengaruhi oleh sirkulasi atmosfer global, regional dan lokal, seperti sirkulasi utara-selatan (Hadley), sirkulasi barat-timur (Walker) dan sistem angin lokal. Gangguan terhadap salah satu sistem sirkulasi ini akan mempengaruhi cuaca dan iklim di Indonesia [5].

Kemunculan El Niño dan La Niña 1997/1998 terlalu cepat, demikian pula waktu yang dibutuhkan untuk mencapai intensitas maksimum yang sangat singkat (sekitar 2-3 bulan lebih awal) yaitu sekitar bulan Desember serta musim barat yang lemah karena tingginya tekanan udara di atas wilayah Indonesia. Kondisi ini menyebabkan musim kemarau 1997 maju dan musim hujan 1997/1998 mundur sangat jauh (sebagian besar wilayah Indonesia baru mengalami musim hujan pada bulan Februari 1998). Dampaknya adalah jumlah kumulatif curah hujan 1997/1998 berkisar antara 40-70% serta terjadinya kebakaran hutan yang sangat luas karena musim kemarau yang panjang [8].

Penelitian tentang pengaruh El Niño dan La Niña telah banyak dilakukan. Metode yang digunakan adalah

metode statistik dan dinamis. Bambang Siswanto (1998) telah membuat model prakiraan El Niño dan La Niña dengan menggunakan model dinamis GCM C SIRO-9 R21 (Global Circulation Model) dan model statistik ARIMA (Auto Regresion Integrated Moving Average) yang digunakan untuk memperkirakan curah hujan sebagai informasi pendukung prakiraan El Niño dan La Niña. Beberapa kejadian El Niño dan La Niña telah mampu diperkirakan. El Niño dan beberapa kejadian El Niño dan La Niña tidak bisa diperkirakan ulang seperti El Niño 1973 [4].

Definisi El Nino dan La Nina

Kata El Niño berasal dari bahasa Spanyol yang berarti bayi Kristus. Kata El Niño dipakai oleh nelayan Peru sejak abad ke-19 sebagai nama arus laut yang hangat di perairan lepas pantai Peru yang bergerak ke selatan. Arus ini biasanya terjadi pada bulan Desember sekitar Natal [6]. El Niño merupakan fasa panas dari suatu osilasi raksasa, sedangkan La Niña yang berarti bayi perempuan merupakan fasa dingin dari suatu osilasi raksasa yang ditandai dengan anomali suhu muka laut negatif di daerah Pasifik Tengah sekitar ekuator [5]. Fenomena El Niño ditandai oleh anomali suhu muka laut positif di Samudera Pasifik. El Niño berkaitan dengan arus laut yang lemah dan hangat di sepanjang pantai Amerika Selatan, yang menggantikan arus

(4)

dingin dari arus Peru. Gejala ini umumnya muncul setiap 2 sampai 7 tahun sekali [7].

Pemicu El Niño dan La Niña

Teori yang dikemukakan untuk menjelaskan pemicu El Niño dan La Niña adalah melemahnya angin passat di daerah Pasifik yang berkaitan dengan osilasi selatan. Melemahnya angin passat menyebabkan kolam hangat yang terkumpul di bagian tengah Samudera Pasifik bergerak ke arah timur Samudera Pasifik. Pemicu lainnya adalah aktifitas konveksi tropis di lautan Hndia dan terjadinya badai yang kuat. Aktifitas ini harus berlangsung minimal selama satu bulan. Oleh karena badai tropis ini bersifat geostropik, maka angin yang ditimbulkan di sekitar ekuator selalu bertiup ke arah timur. Jika badai ini cukup kuat atau berlangsung cukup lama, maka angin baratan ini cukup kuat untuk memicu El Niño [5].

Pada waktu terjadi La Niña, angin passat kuat dan pusat konvergensi sirkulasi Walker bergeser ke arah barat di daerah Indonesia dan sekitarnya. Akibatnya di daerah Indonesia, Australia, Papua Nugini, Selandia Baru, Brasil, Cina, India, Afrika Selatan dan Afrika Timur, hujan meningkat melebihi kondisi normalnya. Sedangkan di Pasifik Tengah dan Timur, Amerika Utara dan Amerika Selatan bagian subtropis dan sekitar pantai Peru, badai dan hujan berkurang, kondisi El Nino merupakan kebalikan dari kondisi La Nina [3]. Curah hujan di Idonesia hampir seluruhnya dipengaruhi oleh EL Nino Southern Oscillation (ENSO), kecuali di sebagian besar Sumatera. Pengaruh ENSO yang paling kuat terjadi pada bulan September s/d November 2002, yang di banyak daerah merupakan musim transisi dari musim kemarau ke musim hujan. Sebagai akibatnya, maka akan dirasakan sebagai musim kemarau yang panjang. Daerah yang terpengaruh oleh ENSO adalah SUMSEL, seluruh P. Jawa, KALBAR, KALTENG, KALSEL, KALTIM, Sulawesi, Maluku, Bali, Nusa Tenggara, dan Irian Jaya. Sementara daerah yang tidak terpengaruh oleh ENSO adalah Nanggroe Aceh Darussalam, SUMUT, SUMBAR, RIAU, Jambi, dan Bengkulu (www.ristek.go.id)

Gambar 1. Sketsa interaksi laut-atmosfer pada kondisi Normal [5].

Gambar 2. Sketsa interaksi laut-atmosfer pada kondisi El Niño [5]

Gambar 3. Sketsa interaksi laut-atmosfer pada kondisi La- Nina [5]

Arsitektur ANFIS

ANFIS digunakan untuk memproses suatu data dengan struktur pengolahan secara paralel. Pada ANFIS Sugeno orde pertama, ada dua masukan yaitu x dan y serta satu keluaran f, yang menggunakan dua kaidah jika-maka sebagai berikut:

Aturan 1: Jika x adalah A1 dan y adalah B1, maka

r y q x p f1= 1 + 1 +

Aturan 2 : Jika x adalah A2 dan y adalah B2, maka

r y q x p f2= 2 + 2 +

(5)

Irkhos / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 1 Januari 2007 : 196-199 198

2. Metode Penelitian

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder anomali suhu muka laut rerata bulanan dari tahun 1950 hingga 2000 pada daerah Niño-3 (50 LU –

50 LS) (1500 BB – 900 BB) [2]

Diagram Alir Penelitian

Gambar 5. Diagram blok penelitian

3. Hasil Dan Pembahasan

Dari hasil pengolahan data suhu muka laut di samudera Pasifik seperti yang dapat dilihat pada gambar 6 terlihat adanya kenaikan anomali suhu muka laut pada bulan ke lima hingga bulan ke 25 (1998-2000). Hal ini nengakibatkan aktifitas udara panas di atas samudera Pasifik bagian timur meningkat. Udara panas ini bergerak ke barat di wilayah timur Indonesia, sehingga di bagian timur Indonesia mengalami kekeringan. Sementara di samudera Pasifik bagian timur curah hujan meningkat. Pergerakan udara panas ini dikenal juga dengan sirkulasi walker. Hal sebaliknya jika di bagian barat samudera Pasifik terjadi kenaikan suhu

muka laut maka aktifitas pembentukan awan akan meningkat sehingga pada wilayah ini terjadi kenaikan curah hujan, sementara di bagian timur samudera Pasifik dan sekitar pantai Amerika selatan terjadi pergerakan turun udara panas. Dari data curah hujan wilayah sumatera pada kurun waktu yang sama (1998-2000) juga mengalami peningkatan hingga bulan ke-24 (Gambar 7). Sementara sebagian besar wilayah timur Indonesia terdapat udara panas di atasnya. Kondisi ini disebabkan massa udara yang panas yang berasal dari kenaikan suhu muka laut samudera Pasifik bergerak turun di wilayah Indonesia bagian timur. Sementara di wilayah Sumatera, kenaikan suhu muka laut di bagian timur sanudera Pasifik tidak begitu berpengaruh.

Gambar 6. Suhu muka laut bagian timur samudera Pasifik tahun 1998 – 2000

Gambar 7. Curah hujan wilayah Sumatera tahun 1998 – 2000 [2]

4. Kesimpulan

Kenaikan suhu muka laut zona nino-3 diiringi dengan kenaikan curah hujan wilayah Sumatera, sedangkan di bagian barat Indonesia terjadi akumulasi udara panas yang berasal dari samudera Pasifik bagian timur. Pada bulan ke 5 hingga bulan ke 24 (tahun 1998-2000)

(6)

terjadi kenaikan suhu muka laut samudera Pasifik bagian timur, sementara curah hujan secara umum terjadi peningkatan dari bulan ke 5 hingga bulan ke 24 (tahun 1998-2000) di wilayah Sumatera (Indonesia bagian barat).

Sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian ini, untuk mengetahui hubungan suhu muka laut samudera Pasifik terhadap curah hujan wilayah Sumatera disarankan menggunakan data iklim parameter lain sebagai pembanding, misalnya tekanan udara, agar diperoleh hasil yang lebih akurat.

Daftar Pustaka

[1] Anonim, -, Kementerian Negara Riset dan teknologi (www.ristek.go.id)

[2] Anonim, -, Climate Prediction Center (www.nws.noaa.gov)

[3] Avia, L.Q. dan Hidayati, R., Dampak Peristiwa Enso

Terhadap Anomali Curah Hujan di Wilayah Indonesia Selama Periode 1890-1989, 2001, Jurnal LAPAN, vol.

3, no. 2.

[4] Cane, M.A., S.E. Zebiak, and S.C. Dolan, Experimental

Forecast of El-Nino, 1986, Nature, vol. 321, p. 827-832.

[5] Dupe, Z.L., El Nino dan La Nina, Dampaknya Terhadap Cuaca dan Musim di Indonesia”. Pengetahuan Alam dan Pengembangan, 2000,Direktorat Jendral Pendidikan

Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.

[6] Glantz, M.H., Forecasting El-Nino Sciences Gift to the

21st Century”, 1998, http://www.dir.ucar.edu/esiq/

elnino/glantz1.html.

[7] Peixoto, J.P. dan A.H. Oort, 1995, “Physic of Climate”. New York; American Institut of Physics.

[8] Sulistya, W., Dampak El Nino dan La Nina Terhadap

Musim di Jawa Tengah, 2001, Semarang; Prosiding

(7)

Jurnal Gradien Vol.3 No.1 Januari 2007 : 200-203

Aplikasi Mikrokontroler Untuk Sistem Perparkiran

Zul Bahrum C.

Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia Diterima 24 Desember 2006; Disetujui 29 Desember 2006

Abstrak - Membajirnya pemilikan motor di masyarakat menimbulkan persoalan ketertiban umum, munculnya arena-arena perparkiran liar, meningkatnya pencurian motor yang meresahkan Kondisi ini menimbulkan rasa ketidak adilan dan ketidak nyamanan, menyuburkan pungutan liar, timbulnya ekonomi biaya tinggi, dan premanisme dalam

masyarakat. Sementara itu pemerintah setempat mengklaim secara sepihak tanpa didukung oleh peraturan memadai, menerima bagian dari restribusi parkir sebagai pendapatan asli daerah (PAD).

Oleh karena itu perpakiran perlu di atur sedemikian yang dapat menjaga keterban umum, menimbulkan keadilan, rasa aman dan menghapus premanisme perparkiran, dan bersamaan dengan itu dapat memberi kontribusi kepada PAD. Salah satu usaha untuk mengatasi persoalan adalah dapat kembangkan pengaturan parkir yang lebih aman dan dikontrol, yakni dengan menggunakan mikrokontroler MCS51. Dengan kemampuan yang dimiliki oleh MCS51, sistem perparkiran memberi jaminan keamanan serta dapat menghindari munculnya perparkiran liar, terutama di daerah perkotaan.

Kata Kunci : Mikrokontroler, Perparkiran

1. Pendahuluan

Akibat kenaikan BBM yang signifikan tehadap pendapatan masyarakat, alat transportasi masyarakat beralih kepada pemilikan motor (kendaraan roda dua) yang sangat fenomental. Jumlah penjualan motor meningkat tajam yang dipacu pula oleh pembelian secara kredit yang sangat mudah. Akibatnya lalu lintas di jalan raya didominasi oleh motor, demikian juga perparkiran hampir disetiap areal parkir di padati oleh kendaraan roda dua.

Membanjirnya kendaraan roda dua, pada sisi lain muncul persoalan ketertiban umum, munculnya pengelola parkir liar dan kasus-kasus pencurian yang juga meresahkan. Terutama pada lingkungan kampus yang tidak memiliki sistem pengaturan perparkiran, telah meresahkan para pemilik motor karena kerap terjadi pencurian. Karena sifatnya meresahkan maka diperlukan sistem perpakiran yang aman dan tertib, yang terbebas dari pencurian dan tertib dalam penempatan areal parkir dengan lahan yang terbatas. Tulisan ini mengemukakan gagasan tentang sistem pengamanan menertibkan perparkiran roda dua Sistem pengamanan perparkiran dengan menggunakan mikrokontroler.

Selama ini seolah-olah perparkiran di perkotaan membuka lapangan pekerjaan dan merupakan pemasukan dari pemerintah. Tetapi perparkiran juga menimbulkan kelompok-kelompok ”premanisme” . Berebut menguasai lahan perparkiran yang sesungguhnya bukan lahan yang dapat diperebutkan karena merupakan trotoar milik pejalan kaki. Sementara itu pemerintah setempat mengklaim secara sepihak tanpa didukung oleh peraturan memadai, menerima bagian dari restribusi parkir sebagai pendapatan asli daerah (PAD).

Adalah hal yang tidak adil terhadap masyarakat pemilik kendaraan, karena pungutan parkir tidak memilki kompensasi apa-apa misalnya terjadi kehilangan kendaraan. Kondisi ini menimbulkan rasa ketidak adilan dan ketidak nyamanan, tetapi masyarakat tidak punya pilihan alih-alih berhadapan dengan premanisme perparkiran. Sehingga perparkiran menyuburkan pungutan liar, timbulnya ekonomi biaya tinggi, dan premanisme dalam masyarakat.

Oleh karena itu perpakiran perlu di atur sedemikian yang dapat menjaga keterban umum, menimbulkan keadilan, rasa aman dan menghapus premanisme perparkiran, dan bersamaan dengan itu dapat memberi

(8)

kontribusi kepada PAD. Sistem yang ditawarkan adalah pengalihan pengaturan parkir dari sistem yang dikendalikan secara liar (premanisme) kepada pengaturan yang lebih aman dan dikontrol oleh mikrokontroler yang diperkuat oleh peraturan daerah. Mikroprosesor

Mikroprosesor adalah papan (chip) rangkaian piranti elektronik logik yang rumit disusun atas kebutuhan alat memproses (prosesor) sinyal listrik berupa step function yang diibarat sebagai data. Proses yang dilakukan oleh mikroprosesor sedemikian (tersistem dan singkron) menghasilkan sinyal keluaran yang dapat menghubungkan dan mengatur kinerja perangkat I/O[5].

Teknologi mikroprosesor sangat pesat perkembangannnya, hinga sekarang telah dihasilkan mikroprosesor Pentium IV. Namun dari segi fungsi, mikroprosesor tidak berubah, yakni tetap sebagai pusat pengendali pada sistem komputer, yang memiliki 3 saluran(bus) yakni bus data (data bus), bus alamat (address) serta bus kendali (control bus).

Pada chip mikroprosesor standar (Intel 8080, Z80, M6800, 89S51) terdapat sekitar 40 pin sebagai elektroda yang bekerja dengan sinyal-sinyal biner. Pin-pin sebagai saluran digunakan untuk saluran data 8 bit (I/O), saluran alamat 16 bit dan saluran kontrol 10 -12 bit, yang lainnya adalah sambungan detak (clock), catu daya.

Pengaturan yang dilakukan oleh mikroprosesor pada prinsipnya adalah memberikan kombinasi status on atau off pada pin-pin kontrol yang disesuaikan dengan aturan standar oleh pabrik. Setiap kombinasi akan menghasilkan satu perintah yang dilakukan oleh mikroprosesor, peran perintah dilakukan oleh software. Ada puluhan perintah yang dikenal oleh mikroprosor, dan setiap tipe mikroprosesor memiliki printah yang berbeda namun umumnya hampir sama.

Mikrokontroler

Mikrokontroler pada dasarnya adalah Mikroprosesor, perbedaanya adalah bahwa mikrokontroler telah dilengkapi beberapa komponen pembantu yang telah diintegrasikan didalamnya, antara lain timer, EPROM. Sehingga mikrokontroler telah dapat difungsikan untuk keperluan yang spesifik [1].

Dengan kinerja yang dimiliki oleh mikrokontroler telah banyak digunakan untuk keperluan pengaturan sistem, misalnya pada otomatisasi pengepakan, pengaturan lalu lintas. Mikrokontroler dapat dihubungkan dengan perangkat eksternal, misalnya memori (RAM), perangkat I/O lainnya.

Port I/O dan Interface

Bagian masukan dan keluaran (port I/O) merupakan sarana yang dipergunakan oleh mikrokontroler untuk mengakses peralatan lain diluar dirinya. Secara fisik, port I/O pada chip mikrokontroler adalah berupa pin-pin yang berfungsi mengeleluarkan dan menerima data digital. Pada mikrokonroler (Jenis MCS51) terdapat 4 buah port I/O, masing-masing memiliki saluran data 8 bit. Agar peralatan luar dapat diakses maka antara port I/O dengan alat luar diperlukan antarmuka (interface). Interface terdiri atas rangkaian elektronik yang fungsinya mengubah data digital dari port I/O mikrokontroler yang disikapi oleh alat luar dalam bentuk penampilan yang bermagna (display) atau gerakan mekanik tertentu.

Pada rancangan alat ini, maka port input terdiri atas alat baca kartu magnetik dan keypad untuk memasukan data nomor parkir. Sedangkan port output adalah status on/off yang dikirim ke selenoida yang berada pada port parkir untuk menggerakan pelatuk kunci.

2. Logika dan Flowchart

Untuk mengoperasikan sistem diperlukan software yang disimpan dalam EEPROM, atau SRAM. Software berfungsi melakukan perintah kendali sesuai dengan sistem. Secara bagan software yang digunakan untuk pengendali sistem ditunjukan sebagai berikut :

(9)

Zul Bahrum C. / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 1 Januari 2007 : 200-203 202

Gambar 1. Prosedur Masuk Parkir

Gambar 2. Prosedur Keluar Parkir

3. Teknis dan Lingkup Rancangan

Rancangan teknis sistem perparkiran terdiri atas bagian mekanik, kartu pengenal (kartu magnetik) dan sistem pengaturan (kontrol) oleh mikroprosesor.

Bagian Mekanik

1. Bagian Mekanik bagi mikroprosesor bertindak sebagai Port.

2. Terdiri dari dua selenoida yang mendorong pelatuk pengunci dengan arah saling berhadapan, yang berfungsi sebagai kunci.

3. Selonoida memiliki status ON dan OFF. Bila status ON posisi pelatuk akan mengunci, dan OFF akan membuka.

4. Motor yang diparkir, roda depan dimasukan antara celah dua selonoida.

5. Jumlah port setiap unit parkir disesuaikan dengan kondisi setempat.

Gambar 3. Sistem mekanik (Pengunci)

Kartu Pengenal Parkir

1. Pada kartu terisi data berupa pulsa magnetik, dengan sistem biner.

2. Pulsa magnetik dalam kartu diisi oleh peralatan pengisian oleh produsen yang memiliki kerahasiaan.

3. Kartu berfungsi mengaktifkan sistem

4. Hanya kartu yang dikenal yang bisa mengaktifkan sistem.

5. Data kartu tersimpan dalam data base sistem. 6. Kartu akan habis masa berlaku setelah jumlah

point parkir yang ditentukan terpenuhi.

7. Setiap satu kali parkir maka jumlah point akan berkurang.

8. Harga kartu tergantung jumlah point dan harga satuan point yang ditetapkan.

(10)

Gambar 4. Kartu magnetik, pembuka sistem

Sistem Pengaturan oleh mikroprosesor

1. Pada sistem pengaturan, terdapat bagian input (slot kartu) berfungsi membaca kartu pelanggan dan keypad untuk memasukan nomor port.

2. Prosedur Masuk Parkir (memarkir) :

- Kartu dimasukan dalam slot setelah motor di parkir pada port yang kosong disertai memasukan nomor port pada keypad. (setiap port memiliki nomor)

- Apabila kartu dikenal, maka port yang dituju akan terkunci.

- Kartu dan nomor port akan diingat sistem. 3. Prosedur Keluar Parkir.

- Kartu dimasukan dalam slot, dan masukan nomor port dimana motor di parkir.

- Kartu dan nomor port bila sesuai dengan yang diingat sistem akan dibuka.

4. Mikroprosesor bekerja dan dikendalikan oleh software yang disimpan dalam EPPROM.

Software mengatur kinerja mikroprosesor dengan mekanisme:

1. Simpan data kartu, simpan jumlah point (berkurang setiap kali parkir), setiap saat kartu parkir digunakan akan melakukan dilakukan pengurangan 1 point.

1. Memberikan perintah buka dan tutup port sesuai dengan proses masuk parkir dan selesai parkir (mengikuti prosedur di atas).

4. Kesimpulan

Dengan kinerja yang dimiliki mikrokontroler (MCS51), proses alih data I/O yang cepat dan akurat dapat digunakan untuk pengendalian perangkat keluaran berupa sistem makanik. Dengan peralatan yang sederhana (minimize) namun dapat dikembangkan pada aplikasi yang rumit. Aplikasi pada sistem perparkiran adalah salah satu dirasakan manfaatnya karena dapat memberikan rasa aman, rasa adil kepada masyarakat,

juga dapat meningkatkan PAD dan menghindari kebocoran dana yang berasal dari restribusi parkir.

Perpustakaan

[1] Christianto, Panduan Dasar Mikrokontroler MCS-51,

2003.

[2] David, A , Computer Organization, 1994, Morgan Kauffmann Pub.,

[3] Manual Book, 89C51 Development Tools, 2004, Innovative Electronics,.

[4] Rahmad Setiawan, Mikroprosesor 8088, 2006, Graha Ilmu.

[5] Rodnay Zaks, Teknik Perantaraan Mikroprosesor, 1993

(11)

Jurnal Gradien Vol.3 No.1 Januari 2007 : 204-209

Perbandingan Kinerja Detektor NaI(Tl) Dengan Detektor CsI(Tl)

Pada Spektroskopi Radiasi Gamma

Syamsul Bahri

Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia

Diterima 1 Oktober 2006, Disetujui 24 Desember 2006

Abstrak - Telah dilakukan pengamatan dan perbandingan kinerja detektor CsI(Tl) pada spektroskopi gamma dengan detektor NaI(Tl). Sumber radiasi gamma yang digunakan adalah sumber radiasi standar yaitu Cs-137 dan Co-60 serta Eu-152 yang memiliki jumlah puncak spektrum tenaga gamma yang banyak. Pengamatan dengan menggunakan kedua detektor dilakukan pada kondisi maksimal dari peralatan spektroskopi yang digunakan. Dari spektrum tenaga gamma hasil perhitungan yang dilakukan diperoleh bahwa resolusi detektor NaI(Tl) lebih baik dibandingkan dengan detektor CsI(Tl), namun dari segi efisiensi menunjukkan bahwa detektor CsI(Tl) lebih baik dibandingkan dengan detektor NaI(Tl). Dari aspek lainnya, detektor CsI(Tl) masih memiliki kelebihan dibandingkan dengan detektor NaI(Tl) diantaranya lebih murah, ekonomis, praktis dalam penggunaannya karena bentuknya yang kecil dan kompak dan penyedia daya listrik yang digunakan lebih hemat yaitu ± 24 Volt untuk detektor CsI(Tl) sedangkan untuk detektor NaI(Tl) penyedia daya listrik yang digunakan berkisar diantara 500 Volt sampai 1200 Volt.

Kata Kunci: Detektor; Spektroskopi Gamma

1. Pendahuluan

Proses dinamis pada perkembangan teknologi yang berkaitan dengan inti atom akan selalu mengalami kemajuan yang amat pesat. Detektor spektrometer-γ yang lazim digunakan adalah detektor sintilasi NaI(Tl). Namun perkembangan dalam spektroskopi-γ menunjukkan bahwa makin lama detektor NaI(Tl) makin ditinggalkan dan digantikan peranannya oleh detektor lain karena berbagai alasan yang penting. Saat ini pengembangan teknologi detektor yang memiliki nilai kompetitif dengan detektor NaI(Tl) sedang dilakukan. Salah satu usaha adalah menggunakan photodioda CsI(Tl) sebagai detektor. Dengan detektor sistem, sistem pengukuran di lapangan akan lebih murah, kompak dan portabel karena detektor ini menggunakan komponen elektronik yang sedikit dan kompak. Beberapa kajian tentang kemungkinan penggunaan detektor berbasis photodiode telah dilakukan dan proses pembuatan detektor sinar X juga sudah dilakukan dan dapat dikatakan berhasil [2][3]. Photodioda bekerja atas dasar pengubahan cahaya tampak yang mengenai katoda (fotokatoda) sehingga

dihasilkan elektron. Melalui tegangan bias yang diberikan antara katoda dan anoda, elektron tersebut akan mengalir sehingga diperoleh arus listrik. Arus listrik tersebut dapat diubah menjadi tegangan. Besarnya tegangan yang dihasilkan tergantung pada kuat cahaya yang mengenai fotokatoda. Secara umum photodioda memiliki dark current yang kecil (orde nA). Dark Current adalah arus listrik yang timbul pada photodioda untuk keadaan gelap atau tanpa dikenai cahaya sama sekali. Photodioda juga memiliki tanggap waktu yang cepat dan responsif pada wilayah panjang gelombang cahaya tampak yaitu antara 200 nm sampai 1100 nm dengan panjang geombang efektif pada 800 nm.

CsI(Tl) adalah sintilator anorganik yang sangat cocok untuk digandengkan dengan photodioda karena memiliki yield cahaya yang paling tinggi, kuantum efisiensi sebesar 69% sepanjang spektrumnya dibandingan dengan 49% pada NaI(Tl).

Sambungan optik antara sintilator dengan photodioda menggunakan optical grease. Luas permukaan sintilator yang lebih luas terhadap permukaan photodioda akan menghasilkan spektrum yang lebih

(12)

baik daripada menggunakan sintilator dengan permukaan yang lebih kecil.

Gambar 1. Kristal sintilator dan penguat awal peka muatan [3]

Kristal sintilator CsI(Tl) berbentuk kubus dengan dimensi 10 x 10 x 10 mm3 dan diletakkan pada

photodioda dengan menggunakan teflon tape dan silicon oil. Kristal sintilator CsI(Tl) bersama photodioda dan penguat hibride dikemas dalam aluminium berbentuk silinder yang kecap cahaya. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahan deteksi pada saat digunakan untuk mendeteksi foton.

Photodioda adalah dioda semikonduktor yang khusus dirancang untuk keperluan pembangitan tenaga listrik oleh penyinaran. Photodioda yang dikopel dengan sintilator dibuat dari silikon dengan resistivitas tinggi, biasanya dari tipe N dengan resistivitas sekitar 5000 Ωcm sampai dengan 10.000 Ωcm untuk mendapatkan kapasitansi yang rendah pada tegangan bias yang rendah.

Jika sumber radiasi pengion melewati kristal maka tingkat tenaga elektron pada kristal akan meningkat sampai ke tingkat eksitasi di bawah conduction band sehingga pada pita valensi terbentuk hole-hole, yang menyebabkan terjadinya eksitasi, yang pada eksitasinya dipancarkan foton-foton.

Keluaran dari detektor ini berupa pulsa yang lemah dan lebarnya beberapa nano detik. Oleh karena itu pada detektor ini ditambahkan rangkaian penguat operasional dalam mode integrator dengan menggunakan kapasitor umpan balik. Penguat ini memiliki impedansi masukan tinggi dan mengintegrasikan pulsa-pulsa listrik yang lemah serta mengubahnya menjadi pulsa tegangan sehingga

dihasilkan impedansi keluaran yang rendah. Penguat ini disebut penguat awal peka muatan.

Jika radiasi gamma menumbuk detektor maka muatan Q dihasilkan dengan amplitudo yang setara dengan tenaga partikel. Sehubungan dengan muatan yang timbul, keluaran penguat peka muatan naik dan bersamaan itu, tegangan dengan polarisasi terbalik muncul pada keluarannya. Penguat ini memiliki open loop gain besar sehingga melalui rangkaian feedback seolah-olah tegangan pada ujung masukan adalah nol. Akibatnya pulsa-pulsa muatan semuanya diintegrasikan terhadap kapasitor feedback dan menimbulkan tegangan keluaran. Pada titik ini tahanan feedback untuk arus searah dihubungkan paralel dengan kapasitor feedback dan tegangan keluaran menjadi pulsa-pulsa tegangan yang meluruh secara perlahan. NaI(Tl) adalah sintilator yang paling banyak digunakan untuk mendeteksi sinar γ. Dalam bentuk kristal tungga berdiameter 0,75 m dan tebal 0,25 m serta memiliki tingkat kerapatan sebesar 3,67 x 103 kg/m3. Karena

rapat massanya yang besar, nomor atom yang tinggi dan ukuran yang besar maka NaI(Tl) sangat efisien untuk mendeteksi radiasi gamma.

Gambar 2. Skema detektor sintilasi NaI(Tl) [5]

Sebagai sebuah materal sintilator NaI(Tl) mempunyai banyak sifat yang merugikan seperti rapuh dan sensitif terhadap temperatur tinggi dan panas mendadak. Selain itu juga bersifat higroskopik sehingga harus terlindung setiap saat. NaI(Tl) selalu mengandung sejumlah kecil potasium yang memberikan efek tertentu karena radioaktivitas.

Detektor NaI(Tl) terdiri dari dua bagian. Bagian pertama adalah medium sintilasi berupa sintilator

(13)

Syamsul Bahri / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 1 Januari 2007 : 204-209 206

NaI(Tl) dimana partikel yang terdeteksi akan menimbulkan pulsa cahaya. Bagian kedua adalah tabung pengubah pancaran cahaya menjadi pulsa listrik setelah proses penggandaan yaitu Photo Multiplier Tub (PMT).

2. Metode Penelitian

Sistem detektsi radiasi yang digunakan adalah sistem spektroskopi radiasi gamma detektor sintilasi NaI(Tl) BICRON model 212/2P (seri BT 778) berbasis penguat awal (pre-amplifier) CANBERRA model 20072 (seri 117830) dan detektor CsI(Tl) HAMAMATSU tipe S3590-08 berbasis penguat awal HAMAMATSU model H4083. Kedua sistem ini dilengkapi dengan penguat (amplifier) ORTEC 485, penganalisa kanal tunggal (single channel analyzer, SCA) CANBERRA model 2030, penganalisa kanal banyak (multi channel analyzer, MCA) EG&G ORTEC dengan program aplikasi Maestro model A65 BI Versi 3 dan pemantau sinyal osiloskop KENWOOD 20 MHz CS-1021. Tegangan untuk detektor NaI(Tl) diperoleh melalui catu daya tegangan tinggi (High Voltage Power Supply, HVPS) CANBERRA 3120 dan untuk detektor Photodioda CsI(Tl) diperoleh melalui BIN Module. Adapun susunan peralatan seperti terlihat pada gambar 3.

Sumber radiasi gamma yang digunakan adalah unsur Cs-137, Co-60 dan Eu-152. Unsur Cs-137 memiliki satu puncak spektrum yaitu pada tenaga 661,6 keV dan waktu paruh 30 tahun. Unsur Co-60 memiliki dua puncak spektrum pada tenaga 1173,1 keV dan 1334,2 keV sedangkan Eu-152 adalah unsur radiasi yang memiliki banyak puncak spektrum.

Gambar 3. Diagram blok sistem deteksi radiasi γ dengan Multi Channerl Analyzer

Analisa Parameter Kinerja Peralatan system deteksi terdiri dari :

Spektrum tenaga, terdiri dari latar dan suatu luasan pada puncak tenaga dengan besar tenaga tertentu yang sesuai dengan tenaga sumber radiasi yang digunakan. Setiap sumber radiasi memiliki jumlah puncak tenaga spektrum yang berbeda-beda tergantung pada banyaknya tenaga yang dimiliki sumber radiasi tersebut.

Resolusi detektor, dinyatakan dengan lebar setengah tinggi maksimum dimana satuan yang diguanakan adalah keV atau dinyatakan dalam % terhadap tenaga dan dinyatakan dengan persamaan

% 100

Resolusi= ×

E

FWHM (1)

dengan E adalah tenagan puncak dari sumber referensi. Nilai resolusi yang semakin kecil menunjukkan resolusi yang semakin baik. Detektor yang memiliki resolusi yang tinggi adalah detektor yang mampu memisahkan dua puncak tenaga yang sangat berdekatan.

Efisiensi detektor, dinyatakan sebagai perbandingan antara banyaknya cacah dengan aktivitas mutlak sumber yaitu cacah pancaran radiasi yang dihasilkan oleh sumber ke segala arah (4π). Kemampuan detektor untuk menerima pancaran radiasi dapat dipengaruhi oleh jarak sumber radiasi dengan detektor, medium antara detektor dengan sumber radiasi dan besarnya volume aktif detektor (sintilator). Makin besar volume aktifnya makin banyak jumlah cacah radiasi yang dapat diterima oleh detektor. Dengan memperhatikan faktor geometri dan faktor dari sumber, efisiensi detektor dinyatakan dengan persamaan:

% 100 × = FY t A N oφ η (2)

dengan N = cacah pulsa, Ao = aktivitas awal sumber

radiasi, t = selang waktu aktivitas awal sumber radiasi sampai dengan t. Ф = faktor geometri, F = faktor koreksi dan Y = persentase gamma yang dipancarkan sumber (yield).

Faktor geometri berhubungan dengan medium antara detektor dan sumber radiasi serta bentuk sumber radiasi. Untuk sumber radiasi yang berbentuk silinder

(14)

(gambar 4), faktor geometri dihitung dengan persamaan berikut [6]:

(

)

        + − = 12 2 2 1 2 1 R d d φ (3)

Jika Ф = 1 penyebarannya dikatakan 4π karena detektor menerima semua radiasi dari sumber. Jika Ф = 0,5 penyebarannya dikatakan 4π yaitu detektor hanya menerima setengah dari radiasi yang berasal dari sumber.

3. Hasil Dan Pembahasan

Dari spektrum sumber radiasi yang diperoleh, spektrum Cs-137 dari detektor NaI(Tl) dan CsI(Tl) memiliki satu puncak spektrum. Ini sesuai dengan banyaknya energi yang dimilikinya. Spektrum Co-60 dari detektor NaI(Tl) dan CsI(Tl) memiliki dua puncak spektrum tenaga sesuai dengan banyak energi yang dimilikinya. Namun dari hasil yang diperoleh yaitu gambar 4 terlihat bahwa detektor CsI(Tl) tidak mampu menampakkan kedua puncak dari sumber Co-60. Demikian juga halnya untuk spektrum Eu-152, dimana detektor NaI(Tl) mampu menampakkan jumlah puncak tenaga yang lebih baik dan lebih banyak dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh detektor CsI(Tl). Ini disebabkan karena perbandingan jumlah noise terhadap jumlah cacah spektrum tenaga sangat besar.

Gambar 4. Spektrum tenaga Cs-137 dari detektor NaI(Tl) dan CsI(Tl)

Gambar 5. Spektrum tenaga Co-60 dari detektor NaI(Tl) dan CsI(Tl)

Gambar 6. Spektrum tenaga Eu-152 dari detektor NaI(Tl) dan CsI(Tl)

Spektrum tenaga yang dihasilkan oleh detektor CsI(Tl) menyebar dibandingkan dengan spektrum yang dihasilkan oleh detektor NaI(Tl). Hal ini dikarenakan intensitas tenaga puncak spektrum yang dihasilkan oleh detektor CsI(Tl) memiliki ralat yang cukup besar jika dibandingkan dengan intensitas tenaga puncak spektrum yang dihasilkan oleh detektor NaI(Tl). Dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan profil spektrum yang sempit (baik) jika menggunakan detektor CsI(Tl).

Resolusi kedua detektor ditentukan untuk sepektrum Cs_137 dengan menggunakan persamaan (1). Dari data MCA pengaktifan sistem ROI diperoleh data sebagai berikut:

(15)

Syamsul Bahri / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 1 Januari 2007 : 204-209 208

Tabel 1. Data pengaktifan sistem ROI MCA

Dari data diatas, diperoleh resolusi untuk detektor NaI(Tl) sebesar 10,22% dan untuk detektor CsI(Tl) sebesar 10,96%. Dari hasil hitungan ini dapat dikatakan bahwa resolusi detektor NaI(Tl) lebih baik dibandingkan dengan resolusi detektor CsI(Tl). Secara fisik, resolusi detektor NaI(Tl) lebih baik dibandingkan dengan resolusi detektor CsI(Tl). Kenyataan ini dapat dilihat dari spektrum tenaga puncak yang dihasilkan oleh detektor NaI(Tl), yang lebih ramping dibandingkan dengan spektrum tenaga puncak yang dihasilkan oleh detektor CsI(Tl).

Efisiensi detektor ditentukan dari pengukuran sumber radiasi Cs-137. Dari hasil pengujian dengan detektor NaI(Tl) dan CsI(Tl) diperoleh data sebagai berikut:

Tabel 2. Data pengujian detektor.

Dengan menggunakan persamaan (2) diperoleh efisiensi detektor NaI(Tl) sebesar 1,408% dan efisiensi detektor CsI(Tl) sebesar 2,014%. Dari hasil ini terlihat bahwa dtektor CsI(Tl) memiliki efisiensi yang lebih besar daripada detektor NaI(Tl).

Perbedaan-perbedaan hasil yang diperoleh untuk kedua detektor di atas dapat disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut :

1. Perbedaan pada sistem detektor, sespon detektor tergantung pada bagaimana sinyal dikonversi ke dalam sinyal elektronik dan diperkuat dengan amplifier. Kedua detektor memiliki perbedaan pre-amplifier dalam memperkuat sinyal.

Konsekuensinya adalah kanal energi yang diasosiasikan dengan puncak energi akan berbeda. 2. Perbedaan material scintilator, sintilator CsI(Tl)

memiliki warna putih sedangkan NaI(Tl) berwarna terang (clear) sehingga respon photodioda pada detektor NaI(Tl) lebih baik dan lebih efektif dari pada detektor CsI(Tl) sebagai sintilator.

3. Perbedaan ketebalan material sintilator, Pada prinsipnya, ketebalan yang besar akan memberikan interaksi yang lebih baik. Ketebalan material sintilasi CsI(Tl) adalah 10 mm sedangkan ketebalan material NaI(Tl) adalah 50 mm.

4. Kesimpulan

Berdasarkan bentuk spektrum dan resolusi yang diperoleh, kedua detektor memiliki sifat dan kinerja yang mendekati sama. Dari sudut efisiensi, dengan memperhitungkan faktor koreksi, ternyata detektor CsI(Tl) lebih unggul dibandingkan detektor NaI(Tl). Kedua detektor memiliki kemampuan untuk mendeteksi radiasi γ sebab dari bentuk spektrum yang dihasilkan keduanya dapat menampilkan puncak tenaga dari masing-masing sumber radiasi standar (Cs-137 dan Co-60) yang digunakan namun ada keterbatasan pada detektor CsI(Tl) ketika mendeteksi sumber radiasi yang memiliki puncak spektrum tenaga yang banyak seperti Eu-152.

Dari beberapa aspek detektor CsI(Tl) masih memiliki kelebihan dibandingkan dengan detektor NaI(Tl) diantaranya lebih murah, ekonomis, praktis dalam penggunaannya karena bentuknya yang kecil dan kompak dan lebih hemat penyedia daya listrik yang digunakan yaitu ± 24 Volt untuk detektor CsI(Tl) sedangkan untuk detektor NaI(Tl) penyedia daya listrik yang digunakan berkisar diantara 500 Volt sampai 1200 Volt.

Daftar Pustaka

[1] Krane, K., Fisika Modern, 1992, UI Press, Jakarta. [2] Sumiardi, Y., 2003, Sistem Sensor Optik Berbasis

Photodioda Siemens BPW34, 2003, Skripsi S1, Universitas Gadjah Mada.

[3] Setyadi, W.S., Sanyoto, N.T. dan Juningram, Perakitan

(16)

Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir, P3TM BATAN, Yogyakarta, 7-8 Agustus. [4] Suparta, G.B., Focusing Computed Tomography

Scanner, 1999, Disertasi, Monash University, Victoria,

Australia.

[5] Susetyo, W., Spektroskopi Gamma dan Penerapannya

dalam Pengaktifan Neutron, 1988, Gajah Mada

University Press, Yogyakarta.

[6] Tsoulfanidis, N., Measurement and Detection of

Radioation, 1972, Helmisphere Publishing Corporation,

New York, London.

(17)

Jurnal Gradien Vol.3 No.1 Januari 2007 : 210-214

Studi Adsorpsi Molekul Nh

3

Pada Permukaan Cr(111) Menggunakan

Program Calzaferri

Charles Banon

Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia.

Diterima 7 September 2006; Disetujui 24 Desember 2006

Abstrak- Studi interaksi molekul NH3 pada permukaan Cr(111) menggunakan program QCMP 116 yang dijalankan

dengan IBM PC Compatible (Pentium III, 660 MHz) telah dilakukan. Permukaan ini terdiri dari 20 atom dengan tiga lapisan. Sebuah NH3 (dengan bidang molekul planar dibuat sejajar atau tegak lurus bidang permukaan), pada berbagai

posisi jatuh dioptimasi tiga dimensi dengan program tersebut. Hasil perhitungan binding energi NH3 (BE(NH3)) pada

permukaan dan panjang ikatan antar atom pada kondisi optimal memperlihatkan: molekul NH3 dengan bidang molekul

sejajar bidang permukaan menuju atom permukaan lapisan satu dan tiga, teradsorpsi kimia lemah dengan rentang BE(NH3) 0,9797 – 1,3421 eV/molekul dan yang menuju lapisan kedua diuraikan oleh permukaan. Molekul NH3 yang

mendatangi permukaan dengan bidang molekul tegak lurus permukaan teradsorpsi secara fisika (sangat lemah) mempunyai rentang BE(NH3) 0,4903 – 0,5614 eV/molekul.

Kata Kunci: Adsorpsi; Energi ikatan.

1. Pendahuluan

Sintesis amoniak dari unsurnya nitrogen dan hidrogen dengan menggunakan katalis besi sudah lama dikenal. Disosiasi N2 pada permukaan katalis merupakan proses

yang berlangsung lambat [7]. Kecepatan adsorpsi N2

pada permukaan logam besi tergantung pada struktur permukaan besi tersebut. Berbagai eksperimen tentang proses katalisis pada bermacam permukaan besi telah dilakukan. Dari eksperimen tersebut diketahui bahwa permukaan Fe (111) sangat aktif yaitu ± 25 kali lebih aktif dari permukaan Fe (100) dan ± 400 kali lebih aktif dari permukaan Fe (110). Sedangkan perbandingan kecepatan adsorpsi N2 pada Fe (111), (100) dan (110)

tersebut pada suhu 275oC adalah 60 : 3 : 1 (3). Dari

percobaan selanjutnya telah dipelajari dan dibandingkan proses disosiasi N2 pada permukaan

(111) antara Fe, Cr, dan Cu , didapat bahwa atom Cr paling reaktif untuk mendisosiasi N2 (6). Kemudian

Dowben et al., (1991) mendapatkan energi desorpsi molekul N2 pada Cr lebih kecil dibandingkan dari yang

diamati pada logam transisi lain termasuk besi. Ini berarti bahwa permukaan Cr lebih reaktif dari permukaan logam transisi lain. Logam ini mungkin dapat digunakan sebagai katalis pembentuk NH3 secara

langsung maupun tidak langsung. Walau demikian

kesuksesan menghasilkan NH3 tidak hanya ditentukan

oleh proses disosiasi, tetapi akhir dari proses, apakah NH3 yang terbentuk akan diadsorpsi secara lemah, kuat

atau bahkan diuraikan oleh katalis juga sangat menentukan. Maka perlu dipelajari bagaimana proses adsorpsi/desorpsi NH3 pada permukaan Cr. Penelitian

ini dilakukan untuk mempelajari adsorpsi/desorpsi molekul NH3 pada permukaan katalis dengan

menggunakan metoda Calzaferri yang diolah dengan bantuan komputer IBM-PC (Pentium III, 660 MHz). Permukaan yang diamati adalah Cr dengan irisan permukaan (111) yang terdiri dari 3 lapisan permukaan dengan jumlah atom 20. Sedangkan sebuah molekul NH3 mendatangi permukaan logam dengan arah bidang

molekul (D3h) horizontal (bidang molekul sejajar

bidang permukaan logam, α = 0o ) dengan beberapa

posisi jatuh yang berbeda, dan arah vertikal (bidang molekul tegak lurus bidang permukaan logam, α = 90o)

dengan beberapa posisi jatuh yang berbeda pula. Sistem Kristal

Pada tahun 1984, Bravis memperkenalkan 14 jenis kristal, dan salah satunya berbentuk kubus [2]. Ada 3 tipe kristal kubus, yaitu kubus sederhana (Simple Cubic), kubus berpusat muka (Face Centered Cubic /

(18)

FCC) dan kubus berpusat tubuh (Body Centered Cubic / BCC) .

Pada struktur BCC setiap atom mempunyai 8 buah atom tetangga terdekat, atau bilangan koordinasi setiap atom adalah 8. Dalam struktur ini, atom-atom menempati 68% dari ruang yang tersedia. Besi dan khrom adalah beberapa contoh dari logam transisi yang memiliki struktur kristal BCC (5). Gambar 1 memperlihatkan ketiga tipe kristal kubus untuk irisan permukaan (111), (110) dan (100).

Gambar 1. Skema Tipe Struktur Kristal BCC (111), (110), (100)

Sintesis Amonia dengan Katalis Cr(111)

Peran katalis pada reaksi pembentukan amonia yang diharapkan adalah sebagai media yang dapat mendisosiasi gas N2, dengan cara mengadsorpsi gas N2

tersebut, baik secara atomik maupun molekuler. Kecepatan adsorpsi N2 pada katalis inilah yang menjadi

penentu kecepatan reaksi pembentukan amonia. Kecepatan adsorpsi N2 pada permukaan logam besi

ataupun krom tergantung pada struktur permukaan logam tersebut. Berbagai eksperimen tentang proses katalis pada bermacam permukaan besi/krom telah dilakukan. Dari eksperimen tersebut diketahui bahwa permukaan Fe (111) sangat aktif, yaitu ± 25 kali lebih aktif dari permukaan Fe (100) dan ± 400 kali lebih aktif dari permukaan Fe (110). Sedangkan perbandingan kecepatan adsorpsi N2 pada Fe (111), (100) dan (110)

tersebut pada suhu 275oC adalah 60 : 3 : 1 (3). Dari

percobaan selanjutnya telah dipelajari dan dibandingkan proses disosiasi N2 pada permukaan

(111) antara Fe, Cr, dan Cu , didapat bahwa atom Cr paling reaktif untuk mendisosiasi N2 (6).

Kemudian Dowben et al. (1991) mendapatkan energi desorpsi molekul N2 pada Cr lebih kecil dibandingkan

dari yang diamati pada logam transisi lain termasuk besi. Ini berarti bahwa permukaan Cr lebih reaktif dari permukaan logam transisi lain.

Di samping dapat mendisosiasi N2, ternyata katalis

logam tersebut juga akan mengadsorpsi gas NH3, hal

ini dikarenakan gas NH3 mudah teradsorpsi terhadap

bahan-bahan yang mempunyai daya serap yang baik (1).

2. Metoda Penelitian

Alat yang digunakan adalah, IBM PC (Pentium III, 660MHz), Printer HP Destjet 3920, Disket program QCMP (Calzaferri)

Sistem yang diamatiStruktur irisan Cr(111) yang akan diamati dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 2. Struktur permukaan Cr(111), sumbu Z tegak lurus bidang gambar 1-10 : lapisan satu 13-17 : lapisan dua 11, 12, 18-20 : lapisan tiga

Senyawa yang diamati adalah NH3 yang mendatangi

permukaan logam Cr dengan irisan permukaan (111), baik secara Horizontal (bidang molekul sejajar bidang permukaan, α = 0o) maupun Vertikal (bidang molekul

tegak lurus bidang permukaan, α = 90o) dengan

beberapa posisi jatuh yang berbeda. Adapun posisi jatuh yang diamati sebanyak 20 untuk arah jatuh horizontal dan 4 untuk arah jatuh vertikal.

Pada penelitian ini yang dilakukan adalah optimasi 3 dimensi (panjang ikatan, sudut ikatan dan sudut antar bidang) dengan menggunakan program Calzaferri, sehingga didapatkan energi total dari struktur dalam keadaan optimal.

(19)

Charles Banon / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 1 Januari 2007 : 210-214 212

Metoda ini memerlukan masukan data suatu molekul sebagai berikut :

Parameter atom-atom penyusun molekul, Koordinat internal, yang berfungsi untuk menentukan vektor berdasarkan posisi atom-atom dalam koordinat tersebut. Jumlah, jenis dan muatan atom pada molekul. Jumlah atom dummy. Jenis variasi (jarak antara atom atau panjang ikatan (l), sudut antar vektor/sudut ikatan/bond angle (α), sudut antar bidang/dihedral angle (δ)), jumlah variasi yang diinginkan, jumlah vektor yang divariasikan, selisih antar variasi (increment).

Adapun parameter atom yang digunakan untuk perhitungan dalam program termuat dalam Tabel 1 (8).

Tabel 1. Parameter atom yang digunakan dalam perhitungan

Keterangan: n = bil. Kuantum utama, ξ = eksponen orbital VSIE = Valence State Ionization Energi, C = koefisien orbital atom. Parameter Cr dari Yuhernita, 1999, N dari Program Calzaferri, H dari Kusuma, 2001

Sebelum melakukan optimasi, terlebih dahulu dibuat masukan data pada program, dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Memperkirakan struktur geometri permukaan Cr(111) yang diamati, dan posisi molekul NH3

yang mendatangi permukaan tersebut. Kemudian semua atom pada struktur diberi nomor sehingga posisi atom-atom tersebut dapat dinyatakan dalam koordinat kartesian..

b. Menentukan vektor antara 2 buah atom dan membuat perkiraan panjang ikatan (panjang vektor), sudut ikatan dan sudut antar bidang yang memuat masing-masing vektor dalam koordinat internal Tabel 2.

Untuk molekul NH3 yang mendatangi permukaan

Cr(111), panjang ikatan N terhadap permukaan 1,5Å bila tanpa dummy dan 1Å bila pakai dummy seperti yang digambarkan pada Lampiran 1. rN-H = 0,992 Å

merupakan jarak optimum N-H dalam keadaan bebas, < HNH = 120o merupakan sudut struktur segitiga planar

(D3h).

Tabel 2. Koordinat internal atom-atom penyusun permukaan Cr(111)

3. Hasil Dan Diskusi

Optimasi dilakukan secara manual. Set optimasi diulang terus, sehingga beda ET dari dua set berurutan <

1 x 10-5 eV. Diharapkan pada saat itu ∆l = 0.001 Å, dan

∆ α, δ = 0.10o, Selanjutnya dalam penelitian ini

dilakukan pengamatan terhadap sebuah molekul NH3

yang mendatangi permukaan logam Cr(111) dengan bidang molekul horizontal dan vertikal terhadap bidang permukaan logam pada berbagai posisi jatuh. Jarak mula-mula atom N ke atom permukaan untuk lapisan 1 adalah 1,5 Å dan 1 Å apabila NH3 menuju lapisan yang

lainnya ataupun menuju pertengahan antara dua atom permukaan.

Analisis terhadap sifat adsorpsi molekul NH3 pada

permukaan logam akibat variasi posisi jatuh ini dibuat berdasarkan jarak antara atom N dengan atom permukaan (r Cr-N), atom H dengan atom permukaan (r Cr-H), atom N dengan atom H (r N-H) serta jarak antara atom H dengan atom H (r H-H) dalam keadaan optimal. Ikatan antara masing-masing atom ini secara umum dikatakan putus apabila jarak antara keduanya > 2,2 Å. Diasumsikan sebelum putus kedua atom terikat secara fisika dahulu (2,2 – 2,3 Å). Bila kedua atom

(20)

tersebut adalah N dan H maka NH3 diasumsikan

diuraikan oleh permukaan.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat ditentukan apakah NH3 diuraikan atau diadsorpsi oleh permukaan.

Selanjutnya NH3 diadsorpsi secara kimia atau fisika.

Namun demikian baik atau kurang baiknya sifat katalis dari permukaan logam Cr(111) tidak hanya ditentukan oleh mudah tidaknya logam mendesorpsi molekul NH3

saja. Ketahanan katalis dan kemurnian produk yang dihasilkan juga merupakan indikator yang harus diamati secara langsung.

Arah Jatuh Horizontal

Tabel 3. Hasil optimasi molekul NH3 yang medatangi

permukaan logam Cr(111) pada berbagai posisi.

// artinya molekul NH3 mendatangi permukaan secara

horizontal.

9, 1-2 artinya atom N diarahkan ke atom Cr No 9, sebuah ikatan N-H sejajar garis yang menghubungkan atom 1-2. ½ (1-5) artinya atom N diarahkan ditengah-tengah garis yang menghubungkan atom No 1 dan 5

⊥ 9, NH →9 artinya molekul NH3 mendatangi permukaan

secara vertikal, salah satu NH menuju 9

1,7360 (9) artinya jarak atom terhadap atom Cr No 9 adalah 1,7360 Å.

* NH3 Terurai sehingga data tidak dituliskan.

Ada dua tipe struktur ikatan NH3 horizontal pada

permukaan Cr(111), a dan b (Gambar 5). Struktur b

mempunyai BE(NH3) lebih besar dari a, dimana dua

atom dari molekul NH3 diikat oleh Cr yang berbeda

pada permukaan (Contoh No 1-7 Pada Tabel 3). Tipe a mempunyai BE(NH3) lebih kecil dari b (Contoh No

8-15). Keadaan ini memberikan kemungkinan bahwa struktur a akan lebih mudah didesorpsi oleh permukaan.

Gambar 3. Tipe struktur ikatan NH3 terhadap permukaan

logam, a : Hanya atom N yang terikat pada permukaan, b : Atom N dan salah satu H terikat pada permukaan.

Hasil optimasi NH3 horizontal yang atom N nya

mendatangi permukaan logam pada lapisan kedua, memperlihatkan molekul NH3 diuraikan oleh

permukaan. Keadaan ini pada Tabel 3 diberi keterangan putus, yang artinya dua dari tiga ikatan N-H sudah putus dan terbentuk beberapa fragmen. Salah satu atom H akan lepas / terbang sementara atom N dan H lainnya berikatan kuat dengan atom Cr yang berlainan pada permukaan logam. Hal serupa juga terjadi terhadap NH3 horizontal yang mendatangi permukaan logam

lapisan pertama pada posisi ditengah antara atom No 7 dan 8 (atom pada pinggir permukaan). Pada Tabel 3 NH3 yang diuraikan oleh permukaan adalah No 20 - 24.

Secara keseluruhan molekul NH3 yang mendatangi

permukaan secara horizontal umumnya akan diikat secara kimia dengan masing-masing interval BE(NH3)

dan r(Cr-N) adalah 0,9797- 1,3440 eV/molekul dan 1,7360-1,9180 Å. Untuk permukaan Fe(111) dengan struktur yang sama masing-masing 1,9380- 2,2130 eV/molekul dan 1,4920-1,6390 Å (Efendi, 2002). Hal ini menunjukkan bahwa Cr(111) akan lebih mudah untuk mendesorpsi NH3 dari pada Fe(111).

Arah Jatuh Vertikal

Molekul NH3 yang mendatangi permukaan logam

secara vertikal (NH3 vertikal) hanya akan berikatan

(21)

r(Cr-Charles Banon / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 1 Januari 2007 : 210-214 214

N) 2,2901 – 2,3202 Å dan BE(NH3) 0,4903 – 0,5614

eV/molekul. Fenomena ini pada Tabel 3 ditunjukkan oleh No 16-19. Juga kelihatan r(N-H) untuk NH3

vertikal lebih kecil dibanding NH3 horizontal dan

dengan r(H-H) yang relatif lebih besar, maka keadaan ini lebih mirip dengan keadaan NH3 terisolasi.

Secara umum semakin besar r(Cr-N) maka BE(NH3)

dan r(N-H) akan semakin kecil, tetapi r(H-H) akan menjadi lebih besar. Umumnya NH3 yang mendatangi

permukaan lapisan pertama akan diikat secara kimia, dan akan diuraikan oleh permukaan apabila menuju lapisan kedua, sedangkan semua NH3 yang mendatangi

permukaan secara vertikal akan diikat secara fisika. Semua NH3 yang mendatangi permukaan logam pada

lapisan ketiga akan selalu lari/terikat pada permukaan lapisan pertama, dari semua keadaan di atas sudah lebih mencerminkan keadaan logam dengan irisan (111) yang sebenarnya.

4. Kesimpulan

Molekul NH3 horizontal yang mendatangi permukaan

akan teradsorpsi secara kimia lemah dengan BE(NH3)

+ 1 eV dan sangat lemah (fisika) dengan BE(NH3) +

0,5 eV, kecuali NH3 horizontal yang mendatangi

permukaan logam lapisan kedua akan diuraikan oleh permukaan.

Ada dua tipe ikatan molekul NH3 terhadap permukaan,

yaitu hanya atom N yang terikat (tipe a), atom N dan satu H terikat (tipe b).

Katalis Cr(111) lebih mudah mendasorpsi molekul NH3

dibanding Fe(111).

Daftar Pustaka

[1] Banon, C., Adsorpsi Amoniak oleh Adsorben Zeolit Alam

yang Diaktivasi dengan Amonium Nitrat, 1999, Skripsi

Sarjana Kimia, Universitas Bengkulu.

[2] Bowser, J.R., Inorganic Chemistry, 1993, Cole publishing Company, Pasific Grove, California, pp 36. [3] Bruce, C. and G. Willey, Series in Chemical Chemistry

Engineering, J. Catalytic Chemistry, 1992, Jhon Willey inc. New York.

[4] Dowben, P. A., Ruppender, H. J. and M. Grunze,

Molekular Nitrogen Adsortion on Cr(110), 1991, J. Surface Sciece Letter, 254.

[5] Kusuma, T. S., Kimia Kuantum dan Statistik, 1989, FMIPA Universitas Andalas Padang, pp 30-32.

[6] Rahmi, Penggunaan Metoda Calzaferri Untuk

Mempelajari Ikatan gas N2 dan CO dengan logam-logam

Transisi, 1996, Skripsi Sarjana Kimia, FMIPA

Universitas Andalas Padang.

[7] Stoltze. P. and J.K. Norskov, Bridging the “Pressure gap” between Ultrahigh-vacuum Surface Physics and High Pressure Catalysis, 1985, Phys. Rev. lett. 55: 2502 – 2505.

[8] Yuhernita, Emdeniz, Theresia S.K, Mempelajari

Adsorpsi Molekul N2 Pada Permukaan Logam Besi,

Kromium dan Tembaga, 1999, J. Kimia Andalas, Vol. 5,

(22)

Sintesis Turunan Benzofenon Melalui Reaksi Penataan Ulang Fries

Dari Senyawa Para-Tersier-Butilfenilbenzoat

Devi Ratnawati

Jurusan Kimia, Universitas Bengkulu, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Indonesia

Diterima 5 September 2006; Disetujui 24 Desember 2006

Abstrak - Telah dilakukan sintesis turunan benzofenon melalui reaksi penataan ulang Fries terhadap p-tersier-butilfenilbenzoat dengan menggunakan katalis asam lewis AlCl3. Bahan dasar p-tersier-butilfenil benzoat disintesis

melalui reaksi esterifikasi p-tersier-butilfenol dengan benzoil klorida menggunakan piridin sebagai katalis basa sekaligus sebagai pelarut. Reaksi esterifikasi p-tersier-butilfenol dilakukan dengan melarutkan senyawa tersebut dalam piridin, kemudian penambahan benzoil klorida dilakukan pada suhu 0oC. Esterifikasi p-tersier-butilfenol

menghasilkan p-tersier-butil-fenilbenzoat berbentuk kristal putih yang mempunyai rendemen 98,82% dan titik lebur 77 – 79,4oC. Sedangkan reaksi penataan ulang yang dilakukan pada suhu 131-132oC selama 5 jam terhadap

p-tersier-butilfenilbenzoat menggunakan pelarut klorobenzena menghasilkan o-dan p-hidroksi benzofenon dengan rendemen 37,30% dan 59,20%.

Kata kunci : p-tersier-butil-fenilbenzoat

1. Pendahuluan

Penggunaan senyawa benzofenon dan turunannya sangat luas dan beragam, hal itu disebabkan oleh manfaat yang begitu besar sehingga kebutuhan akan senyawa tersebut semakin meningkat. Secara umum senyawa turunan benzofenon antara lain digunakan sebagai penyerap sinar ultraviolet, dalam bidang farmasi digunakan sebagai intermediet sintesis senyawa antihistamin dan hipnotik, dan dalam bidang pertanian digunakan sebagai senyawa antara pembuatan pestisida [1].

Kemampuan senyawa turunan benzofenon sebagai penyerap sinar UV dimanfaatkan antara lain sebagai fotoinisiator dalam berbagai polimer dan sebagai senyawa tabir surya (sunscreen), salah satunya dapat digunakan untuk mencegah sinar ultraviolet merusak bau dan warna pada produk-produk seperti parfum, sabun dan makanan. Polimer yang mengandung senyawa sinar UV banyak digunakan oleh industri untuk pengemasan produknya, tanpa senyawa ini maka kemasan produk harus dibuat gelap atau tidak tembus cahaya [2]. Sebagai contoh senyawa 2,4-dihidroksi benzofenon digunakan sebagai fotoinisiator pada

plistirena, elastomer dan polimetil metakrilat. Senyawa 2-hidroksi-4-metoksi benzofenon digunakan dalam kosmetik, polivinil klorida (PVC), poliester tak jenuh dan poliakrilat, sedangkan 2-hidroksi-4-n-oktosi benzofenon digunakan dalam polipropilena dan polietilena [3].

Mengingat begitu luas manfaat senyawa turunan benzofenon, maka sangat diperlukan untuk dapat menemukan jalur dan metode yang tepat untuk sintesis senyawa turunan benzofenon. Melalui analisis retrosintesis senyawa turunan benzofenon dapat diperoleh melalui dua jalur berikut ini :

Jalur 1 : OH O OH O Cl + (1) (2) (3) Jalur 2 : OH O O O OH Cl O + (1) (4) (2) (3)

(23)

Devi Ratnawati / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 1 Januari 2007 : 215-218 216

Pada jalur pertama senyawa turunan benzofenon (1) dapat diperoleh melalui reaksi asilasi Friedel-Crafts antara senyawa fenol (2) dan benzoil klorida (3). Proses sintesis turunan benzofenon yaitu o-benzoil metil eugenol melalui asilasi Friedel-Crafts menggunakan benzoil klorida dan katalis AlCl3 dalam pelarut metilen

klorida telah dilakukan [5]. Hasil akhir reaksi tersebut mengandung empat produk utama dan 2,3-dimetoksi-5-(4-fenil-1,3-siklobutadienil) benzo-fenon dihasilkan dengan rendemen sebesar 14,10%. Hasil rendemen tersebut menunjukkan bahwa sintesis turunan benzofenon melalui asilasi Friedel-Crafts langsung ternyata masih kurang baik. Oleh karena itu dicari alternatif prosedur lain yaitu sintesis turunan benzofenon melalui penataan ulang Fries (Jalur 2). Penataan ulang Fries dapat dilakukan dengan cara reaksi langsung tanpa pelarut [4] atau dengan menggunakan pelarut. Pada reaksi penataan ulang Fries diperlukan katalis seperti AlCl3 yang mampu

membentuk kompleks fenil aluminium diklorida sehingga terjadi pelepasan ion asilium (R-C=O)+ yang

dapat mengalami penataan ulang pada cincin aromatis. Dari berbagai penelitian di atas dapat diketahui bahwa untuk mensintesis senyawa turunan aril benzoat dibutuhkan bahan awal dengan karakteristik senyawa fenol. Telah diketahui bahwa banyak ditemukan senyawa fenolik alami seperti asam salisilat, eugenol, dan vanilin yang ketersediaannya melimpah di Indonesia. Senyawa-senyawa yang mengandung gugus fenolik tersebut diharapkan dapat diubah menjadi senyawa yang lebih bermanfaat seperti turunan benzofenon. Permasalahan yang dihadapi adalah senyawa fenolik alami memiliki banyak substituen lain pada cincin aromatis selain gugus –OH, sehingga dapat mempengaruhi reaktivitas senyawa fenolik tersebut terhadap penataan ulang Fries. Untuk mengetahui pengaruh gugus-gugus tersebut pada penataan ulang Fries, maka perlu dilakukan kajian terhadap terhadap penataan ulang Fries dengan menggunakan model senyawa p-tersier-butilfenol yang mempunyai substituen pendorong elektron, yaitu–C(CH3)3.

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah menemukan cara yang tepat untuk reaksi penataan

ulang Fries senyawa p-tersier-butilfenilbenzoat sehingga dapat menaikkan rendemen senyawa turunan benzofenon yang akan dibuat.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah mensintesis senyawa turunan benzofenon melalui reaksi penataan ulang Fries p-tersier-butilfenilbenzoat

2. Metode Penelitian

Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah: p–tersier–butilfenol, aluminium klorida (AlCl3),

benzoil klorida, piridin, metanol, HCl 37% (v/v), NaOH, dan klorobenzena. Semua bahan tersebut memiliki p.a grade dari Merck, sedangkan akuades berasal dari Laboratorium Kimia Analitik FMIPA UGM.

Alat yang digunakan terdiri dari satu set alat refluk, penyaring Buchner, satu set alat evaporator Buchii tipe R-124, alat timbang elektrik (Libror EB-330 Shimadzu), alat penentu titik lebur Buchi 530, alat-alat gelas laboratorium, lampu UV Camag-Cabinet II 254 nm, spektrofotometer Inframerah (FTIR, Shimadzu-8201 PC), spektrometer Resonansi Magnetik Inti (1

H-NMR, Jeol JNM-MY60) dan Kromatografi Gas-Spektrometer Massa (GC-MS, Shimadzu QP-5000). Reaksi Esterifikasi

Ke dalam labu leher tiga 100 mL, dimasukkan 0,38 g (3 mmol) 1,50 g (10 mmol) p-tersier-butilfenol dan 20 mL piridin. Campuran diaduk dengan pengaduk magnet sampai p–klorofenol larut sempurna. Kemudian ke dalam larutan ditambahkan 2,33 mL (20 mmol) benzoil klorida secara bertetes-tetes sambil terus diaduk. Campuran ini diaduk selama 1,5 jam dengan penangas es pada suhu 0oC, lalu campuran dibiarkan

pada suhu kamar. Penambahan HCl 5% (v/v) secara bertetes-tetes dilakukan sampai semua padatan larut. Akuades ditambahkan sedikit demi sedikit sambil terus diaduk sampai terbentuk endapan putih. Padatan disaring dan dicuci 2 x 25 mL NaOH 5% (b/v). Produk dikeringkan dengan cara diangin-anginkan pada suhu

(24)

kamar, kemudian dianalisis menggunakan spektrometer IR, GC-MS, dan 1H-NMR.

Reaksi penataan ulang p–tersier–butilfenilbenzoat dengan pelarut klorobenzena

Ke dalam labu leher tiga yang dilengkapi dengan silika gel dimasukkan 0,51 g (2 mmol) p-tersier-butilfenil benzoat dan 10 mL klorobenzena. Campuran diaduk sampai semua padatan larut. Ke dalam campuran ditambahkan 0,80 g (6 mmol) AlCl3 anhidrat sambil

terus diaduk. Campuran diaduk pada suhu 131oC

selama 5 jam dengan menggunakan penangas minyak. Pemurnian produk dilakukan dengan cara yang sama dengan prosedur III.3.2.3. Residu dianalisis menggunakan spektrometer IR dan GC-MS.

3. Hasil dan Pembahasan

Reaksi esterifikasi p–tersier–butilfenol dan benzoil klorida dengan katalis piridin

Hasil yang diperoleh dari reaksi esterifikasi butilfenol dan benzoil klorida adalah p-tersier-butilfenilbenzoat yang berbentuk kristal putih dengan berat 2,51 g dan titik lebur 77 – 79,4oC.

Spektrum IR hasil analisis menunjukkan adanya serapan oleh adanya gugus –CO pada daerah sekitar 1700 cm-1 dan hilangnya serapan di daerah sekitar 3400

cm-1 yakni gugus –OH mengindikasikan bahwa reaksi

esterifikasi telah berlangsung.

Analisis menggunakan 1H-NMR memberikan tiga

puncak utama yang menunjukkan adanya 3 jenis proton, yaitu proton A, B, dan C yang mempunyai pergeseran kimia yang berbeda. Proton A dengan kenampakan doublet pada δ = 8,2 ppm dengan hasil integrasi setara dengan 2 atom H diperkirakan berasal dari atom H pada cincin yang berposisi orto dengan gugus karbonil. Atom H yang berposisi orto dengan gugus karbonil menjadi kurang terlindungi (deshielding) akibat adanya atom O yang bersifat elektronegatif, sehingga kerapatan elektron disekitar atom H menjadi berkurang. Akibatnya serapan akan muncul pada daerah pergeseran kimia yang lebih tinggi. Puncak B dengan kenampakan multiplet pada δ = 7,0 – 7,6 ppm dengan hasil integrasi setara dengan 7

atom H, 3 atom H diperkirakan berasal dari atom H yang berposisi meta dan para dari gugus karbonil, dan 4 atom H yang berasal dari cincin benzena gugus samping ester. Puncak C singlet pada δ = 1,25 ppm dengan hasil integrasi setara dengan 9 atom H dari – C(CH3)3. Sembilan proton tersebut ekivalen satu sama

lain dan mengalami perlindungan (shielding), sehingga serapan proton tersebut mendekati TMS.

Analisis dengan menggunakan GC-MS menunjukkan satu puncak dengan tR 16,00 menit. Pada spektrum

tersebut terdapat fragmen pada m/z 254 yang merupakan ion molekuler dan sesuai dengan berat molekul p-tersier-butilfenilbenzoat dimana pola fragmentasi menghasilkan harga m/z 254, 239, 134, 105, 91, 77, 65 dan 51. Karakteristik dari senyawa aromatik yaitu terjadinya pemecahan dengan melepaskan gugus R sebagai radikal netral dan menghasilkan kation benzoil (m/z 105) yang merupakan puncak dasar, kemudian terjadi pemutusan ikatan α terhadap cincin membentuk kation fenil (m/z 77) dan dilanjutkan dengan lepasnya C2H2 (asetilen)

menghasilkan kation dengan m/z 51.

Berdasarkan analisis menggunakan spektrometer IR,

1H-NMR dan GC-MS dapat disimpulkan bahwa

senyawa hasil sintesis adalah p-tersier-butilfenilbenzoat dengan rendemen 98,82% yang mempunyai struktur seperti pada Gambar 4.

O CH3

CH3 H3C

O

Gambar 4. Struktur p–tersier-butilfenilbenzoat

Reaksi penataan ulang p–tersier–butilfenilbenzoat dengan pelarut klorobenzena

Penggunaan pelarut klorobenzena pada reaksi penataan ulang Fries p-tersier-butilfenilbenzoat menghasilkan gel coklat dengan berat 0,32 g. Spektrum IR hasil analisis menunjukkan adanya serapan oleh gugus –CO keton pada daerah 1631,7 cm-1 dan adanya serapan

gugus –OH pada daerah 3328,9 cm-1 menunjukkan

(25)

Devi Ratnawati / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 1 Januari 2007 : 215-218 218

Berdasarkan hasil analisis menggunakan GC-MS terdapat dua produk utama hasil reaksi penataan ulang p–tersier–butilfenilbenzoat dengan pelarut kloro-benzena, yaitu puncak 1 dan 3. Spektrum massa pada tR

12,417 menit dengan m/z 197 diduga berasal dari o-hidroksibenzofenon dengan rendemen 37,30%. Sedangkan spektrum massa pada tR 15,717 menit

dengan m/z 198 menunjukkan ion molekuler sesuai dengan berat molekul p-hidroksibenzofenon dengan rendemen yang dihasilkan adalah 59,20%.

Penggunaan klorobenzena sebagai pelarut dan AlCl3

anhidrat sebagai katalis ternyata menyebabkan terjadinya dealkilasi gugus –C(CH3)3. Proses dealkilasi

kemungkinan disebabkan penggunaan AlCl3 yang

berlebih, sehingga AlCl3 selain membentuk kompleks

p-tersier-butil aluminium diklorida juga mendealkilasi gugus –C(CH3)3. O CH3 H3C CH3 O PhCl AlCl3 OH O O HO +

o-hidroksi benzofenon p-hidroksi benzofenon

36,27% 57,56%

p-tersier-butilfenilbenzoat

Hasil reaksi penataan ulang Fries secara tidak langsung (melalui reaksi esterifikasi terlebih dahulu) ternyata dapat meningkatkan rendemen turunan senyawa benzofenon daripada reaksi penataan ulang Fries secara langsung (Asilasi Friedel-Crafts). Hal ini disebabkan karena pada proses penataan ulang Fries secara langsung, maka gugus asil akan lebih mudah tertarik oleh gugus fenil membentuk senyawa ester daripada bereaksi dengan posisi orto dari gugus fenol yang mempunyai halangan sterik lebih besar sehingga mengakibatkan rendahnya rendemen senyawa turunan benzofenon yang dihasilkan.

4. Kesimpulan

Reaksi esterifikasi p-tersierbutilfenol dan benzoil klorida menghasilkan p-tersier-butilfenilbenzoat yang berbentuk kristal putih dengan titik lebur 77 – 79,4oC

dengan berat 2,51 g dan rendemen 98,82%.

Penggunaan pelarut klorobenzena pada reaksi penataan ulang Fries p-tersier-butilfenilbenzoat menghasilkan o-hidroksibenzofenon dengan rendemen 37,30% dan p-hidroksibenzofenon dengan rendemen 59,20%. Penggunaan klorobenzena sebagai pelarut dan AlCl3

anhidrat sebagai katalis ternyata menyebabkan terjadinya dealkilasi gugus –C(CH3)3.

Reaksi penataan ulang Fries secara tidak langsung (melalui reaksi esterifikasi) ternyata dapat meningkatkan rendemen turunan senyawa benzofenon daripada reaksi penataan ulang Fries secara langsung (Asilasi Friedel-Crafts).

Daftar Pustaka

[1] Anonim, Benzophenone, 2005, http://www.sicol.cpm/ benzophenone.htm, 3 Juni 2005.

[2] Anonim, Benzophenone, 2005,

hhtp://www.sci-toys.com/ingredients/benzophenone/html, 3 Juni 2005 [3] Anonim, Eversorb 10, 11, 12, http://www.everlighttusa.

com/product/uva/pro-sc-bp-e/html, 3 Juni 2005. [4] Khanum, S.A., Shashikanth, S., dan Sudha, B.S., A

Facile Synthesis and Antimicrobial of 3-(2-Aro-ylaryloxy)methyl-5-Mercapto-4-Phenyl-4H-1,2,4-Tria zole and 2-(2-Aroylaryloxymethyl-5-N-Pheny-lamino-1,3,4-Thiazole Analogue, J. Science Asia, 29, 383-392

[5] Sudaryanti, Mempelajari reaksi antara metil eugenol

dan benzoil klorida dengan katalis AlCl3, 1996, Skripsi,

Gambar

Gambar 4. Kartu magnetik, pembuka sistem
Gambar 2. Skema detektor sintilasi NaI(Tl) [5]
Gambar 3. Diagram blok sistem deteksi radiasi γ               dengan Multi Channerl Analyzer
Gambar 5. Spektrum tenaga Co-60 dari detektor              NaI(Tl) dan CsI(Tl)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Keadaan demikian menggambarkan bahwa konsentrasi larutan Methyl Eugenol 0,60 ml per 100 ml ekstrak buah jambu biji dengan waktu aplikasi 10 hari berpotensi untuk

Semakin tinggi konsentrasi asam asetat yang digunakan maka ion H + dalam larutan juga semakin banyak sehingga menyebabkan proses hidrolisis kolagen menjadi gelatin

Proses awal berupa perlakuan pendahuluan terhadap bahan baku yang kemudian disakarifikasi dengan metode hidrolisis menggunakan asam sulfat, sehingga diperoleh

Abstrak - Perencanaan struktur komposit baja-beton menggunakan metode LRFD ( Load and Resistance Factor Design ) adalah metode yang memperhitungkan secara jelas

Dari penelitian didapat hasil bahwa pada konsentrasi larutan asam sulfat yang sama, ternyata beton dengan bahan aditif abu terbang mempunyai ketahanan yang lebih

Hasil dari pengujian ini adalah: (1) ada pengaruh konsentrasi inhibitor ekstrak daun pepaya terhadap laju korosi pada baja galvanis dalam medium larutan Asam Sulfat (H 2 SO

Hasil penelitian pada tahap optimalisasi yaitu untuk konsentrasi larutan Asam Klorida, Natrium Hidroksida, Natrium Klorida, Amonia, Asam Asetat, Etanol dan larutan Gula yang

Dalam penelitian ini akan dilakukan proses sintesis furfural dari ampas tebu dengan variabel waktu pemanasan 2, 3, 4, dan 5 jam dan konsentrasi asam sulfat 10% serta pembuatan bahan