• Tidak ada hasil yang ditemukan

KRIOPRESERVASI SEMEN RUSA TIMOR (Cervus timorensis) DALAM GLISEROL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KRIOPRESERVASI SEMEN RUSA TIMOR (Cervus timorensis) DALAM GLISEROL"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

KRIOPRESERVASI SEMEN RUSA TIMOR (Cervus timorensis)

DALAM GLISEROL

(Cryopreservation of Timor Deer Stag (Cervus timorensis) Semen with

Concentrations)

W.M.M.NALLEY1,R.HANDARINI2,M.R.TOELIHERE3,T.L.YUSUF3,B.PURWANTARA3danG.SEMIADI4

1Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana, Kupang, Nusa Tenggara Timur 2Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatra Utara, Medan

3Departemen Reproduksi dan kebidanan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Bogor 4Pusat Penelitian Biologi LIPI, Jl. Ir. H. Juanda 18, Bogor 16122

ABSTRACT

The objective of research was to study semen quality of Timor Stag (Cervus timorensis) cryopreserved using various glycerol concentrations. Semen was collected using electroejaculator after the stags were anaesthetized with combination of 1 mg ketamin and 2 mg xylasine kg-1 bw. Collected semen was evaluated

macro and microscopically. Good quality semen was then diluted using tris glucose egg yolk extender containing 6% (G6), 8% (G8) and 10% (G10) glycerol, each with the concentration of 100 million motile

sperm 0,25 ml-1. Semen was loaded in 0,25 ml minitub straw, equilibrated for four hours at the temperature of

5oC. After equilibration, semen was evaluated for sperm motility, live sperm, plasma membrane integrity

(MI) and intact acrosomal cap (IA). Semen was than frozen at liquid nitrogen vapor (-130oC) for ten minutes

and stored in liquid nitrogen container (-196oC). Thawing of the frozen semen was evaluated at 37oC for 30

second. Results of this research showed that the percentages of sperm motility for G10 were higher than G8

and G6 (55%; 51% and 34%) respectively, but not significantly different between G10 and G8, but were both

significantly different with G6 (P>0,05). Percentages of live sperm, MI and IA under G10 (70%, 55% and

56%) were significantly higher than G6 (47%, 36% and 40%), but not significantly different with G8 (63%,

49% and 50%). In conclusion, concentrations of 10% and 8% of glycerol in tris egg yolk extender were the best doses in maintaining frozen semen quality of Timor stag.

Key words: Glycerol concentration, frozen semen, Timor stag ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas semen beku rusa Timor (Cervus timorensis) dalam berbagai konsentrasi gliserol. Koleksi semen dilakukan pada tiga ekor rusa timor jantan menggunakan elektroejakulator. Sebelumnya hewan dianastesi menggunakan kombinasi 1 mg ketamin dan 2 mg xylasine kg-1 bb. Semen yang diperoleh dievaluasi secara makroskopis dan mikroskopis. Semen yang memenuhi syarat

kualitasnya kemudian diencerkan menggunakan bahan pengencer tris glukosa dan kuning telur dengan konsentrasi gliserol 6% (G6), 8% (G8) dan 10% (G10). Semen dikemas dalam straw minitub (0,25 ml) dengan

dosis 100 juta sel spermatozoa motil, selanjutnya diekuilibrasi pada temperatur 5oC selama empat jam.

Pascaekuilibrasi dilakukan pengamatan semen terhadap motilitas, persen spermatozoa hidup, membran plasma utuh (MPU) dan tudung akrosom utuh (TAU). Selanjutnya semen dibekukan pada uap nitrogen cair (-130oC) selama 10 menit, kemudian disimpan dalam kontainer nitrogen cair (-196oC). Untuk pengujian

kualitas semen pascapembekuan dilakukan thawing di dalam air hangat (37oC) selama 30 detik. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa persentase motilitas pascathawing G10 lebih tinggi dibandingkan G8 dan G6

masing-masing (55%; 51% dan 34%), namun tidak berbeda nyata antara G10 dan G8 tetapi keduanya berbeda

nyata dengan G6 (P>0,05). Hasil yang sama diperoleh pada persentase hidup, MPU dan TAU. Persentase

hidup, MPU dan TAU pada perlakuan G10 (70%, 55% dan 56%) nyata lebih tinggi dibandingkan G6 (47%,

36% dan 40%) tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan G8 (63%, 49% dan 50%). Dari hasil penelitian ini

dapat disimpulkan bahwa konsentrasi gliserol 10% dan 8% di dalam pengencer tris kuning telur merupakan dosis yang terbaik dalam mempertahankan kualitas semen beku rusa Timor.

(2)

PENDAHULUAN

Rusa Timor (Cervus timorensis) merupakan rusa endemik Indonesia yang telah menjadi tulang punggung pengembangan peternakan rusa di luar negeri. Di Indonesia rusa Timor ini mulai mendapat perhatian untuk dikembangbiakkan menjadi komoditi andalan sumber protein hewani (SANTOSO, 2002; SEMIADI et al., 1998; SUSMIANTO, 2002) namun demikian informasi mengenai kemampuan reproduksi rusa Timor masih sangat terbatas.

Pelaksanaan program Inseminasi Buatan (IB) pada rusa baru mulai dikembangkan sekitar awal tahun 1980an dengan tingkat keberhasilan yang belum memuaskan. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan kegagalan pelaksanaan IB adalah kualitas semen beku yang digunakan, waktu dan teknik pelaksanaan IB. Kualitas semen setelah diawetkan merupakan faktor penting yang harus diketahui untuk tujuan penerapan IB. Disamping itu rusa mempunyai kekhasan yaitu mempunyai siklus ranggah (ENGLISH, 1984) dimana kondisi ini akan mempengaruhi kualitas semen yang dihasilkan, hanya pada tahap ranggah keras mempunyai kualitas yang optimal (HANDARINI et al., 2003). Pengawetan semen rusa Timor telah dilakukan dengan hasil yang bervariasi (DRADJAT, 1994; 2000;

MASYUD dan TAURIN, 2000). Dengan

berhasilnya proses kriopreservasi semen beku maka ketersediaan semen rusa akan kontinyu tanpa memperhatikan siklus ranggah.

Semen yang dibekukan akan mengalami penurunan kualitas yang disebabkan oleh suhu yang rendah (sekitar -196oC). Pada kondisi tersebut akan terbentuk kristal es dan perubahan konsentrasi elektrolit yang akan menyebabkan terjadinya kerusakan pada sel. Untuk meminimalkan pengaruh tersebut maka di dalam pengencer perlu ditambahkan krioprotektan.

Krioprotektan adalah zat kimia non elektrolit yang berfungsi mereduksi pengaruh letal sel yang dipaparkan saat pembekuan sehingga akan mengurangi efek larutan maupun pembentukan kristal es ekstra atau intraseluler sehingga dapat menjaga viabilitas sel setelah dikriopreservasi. Krioprotektan yang umum ditambahkan pada proses pembekuan semen mamalia adalah gliserol.

Gliserol termasuk jenis krioprotektan intraseluler dan dapat dimetabolisir menjadi fruktosa sekaligus merupakan sumber karbohidrat yang secara bebas dapat menembus membran sel karena berat molekulnya yang kecil (SUPRIATNA dan PASARIBU, 1992; HOLT, 2000).

Berdasarkan mekanisme kerjanya gliserol berfungsi dalam meminimalkan kerusakan sel yang terjadi selama proses pembekuan dengan cara mengurangi jumlah pembentukan kristal es intraseluler pada temperatur yang rendah, selain itu dapat mencegah perubahan tekanan osmotik yang besar sehingga dapat menjadi toksik (SALISBURY et al., 1984; KUMAR et al., 1992). Jumlah dan cara penambahan gliserol pada bahan pengencer bervariasi tergantung species, jenis pengencer dan metode pembekuan yang digunakan. Gliserol akan bersifat toksik pada konsentrasi yang tinggi, sedangkan jika konsentrasi yang digunakan terlalu rendah maka daya protektif dari gliserol akan berkurang (SALISBURY et al., 1984; FAHY, 1986; HAFEZ, 1993). Pada penelitian ini dicoba beberapa konsentrasi gliserol dalam pengencer tris dengan tujuan untuk mengetahui dosis yang optimal pada kriopreservasi semen rusa Timor.

MATERI DAN METODE Hewan percobaan

Penelitian dilaksanakan di lokasi Penangkaran rusa Pondok Gede Bekasi, Jakarta Timur. Hewan percobaan adalah rusa Timor (Cervus timorensis) yang berasal dari Perum Perhutani Wilayah III KSDA Jonggol.

Hewan yang digunakan adalah tiga ekor rusa Timor jantan berumur sekitar tiga sampai lima tahun dengan berat badan 75−93 kg kondisi tubuh proporsional, kesehatan baik dan tidak cacat, pada tahap ranggah keras yang berbentuk simetris serta mempunyai sepasang testis yang simetris dengan konsistensi kenyal. Rusa ditempatkan pada kandang dengan luasan 5 x 8 m2, dilengkapi dengan saung (tempat berteduh), tempat makan dan minum serta tempat berkubang. Konstruksi kandang: pagar kawat setinggi dua meter berlantai semen.

(3)

Metode percobaan

Penampungan semen dilakukan pada tiga ekor rusa jantan yang terlebih dahulu dianastesi menggunakan kombinasi 1 mg xylazine dan 2 mg ketamin i.m kg-1 berat badan (D

RADJAT, 2000). Penampungan semen menggunakan elektroejakulator dengan rangsangan listrik voltase rendah yang ditingkatkan secara gradual sampai maksimal 18 volt. Stimulasi yang diberikan secara berulang dengan interval 5 detik dan istirahat 5 detik (on-off) sampai diperoleh ejakulat. Penampungan semen dilakukan secara reguler dengan interval tiga minggu sekali selama tahap ranggah keras yang diperoleh dari masing-masing jantan yang digunakan sebagai ulangan. Parameter yang diamati adalah pengamatan terhadap karakteristik semen yang dievaluasi secara makroskopis (volume, warna, pH, konsistensi) dan secara mikroskopis (gerakan massa, persentase motilitas, persentase hidup spermatozoa, konsentrasi, abnormalitas, integritas membran plasma (MPU) dan integritas tudung akrosom (TAU)). Semen segar yang memenuhi kriteria semen dengan kualitas baik adalah volume 1–2 ml, motilitas >60% dan konsentrasi > 500 X 106 ml-1, gerakan massa ++ atau +++ dengan abnormalitas <15%, akan diencerkan sesuai metode yang digunakan.

Semen diencerkan menggunakan pengencer dasar tris (Tabel 1), komposisi pengencer dan perlakuan konsentrasi gliserol (Merck, Germany, cat. K235 533 94 702) yang menjadi bagian dari penelitian adalah:

1). 74% pengencer tris + 20% kuning telur + 6% gliserol (G6).

2). 72% pengencer tris + 20% kuning telur + 8% gliserol (G8).

3). 70% pengencer tris + 20% kuning telur + 10% gliserol (G10).

Semen yang telah diencerkan kemudian dikemas di dalam ministraw menggunakan sistem Minitub (0,25 ml) dengan dosis IB 100 juta sel spermatozoa motil per straw, kemudian diekuilibrasi di dalam lemari es dengan suhu 5oC selama empat jam. Setelah diekuilibrasi semen diperiksa kualitasnya dan jika memenuhi syarat motilitas spermatozoa > 40% dilakukan pembekuan dengan cara meletakkan straw yang berisi semen dangan jarak 10 cm diatas permukaan N2 cair dengan suhu sekitar 130oC selama 10 menit, kemudian straw dicelupkan dan disimpan ke dalam N2 cair (−196o C). Pengujian kualitas semen setelah pembekuan dilakukan 24 jam kemudian, dengan cara mencairkan kembali semen beku (thawing) pada air hangat 37oC selama 30 detik.

Peubah yang diamati

Peubah yang diamati adalah motilitas spermatozoa secara kualitatif, persentase hidup spermatozoa, persentase MPU dan persentase TAU masing-masing pada saat ekuilibrasi (suhu 5oC) dan thawing (suhu 37oC).

Penilaian terhadap persentase motilitas adalah spermatozoa yang bergerak progresif ditentukan secara subjektif pada sepuluh lapang pandang yang berbeda. Angka yang diberikan berkisar antara 0% hingga 100% dengan skala 5%. Persentase spermatozoa yang hidup ditentukan dengan menggunakan pewarnaan eosin (TOELIHERE 1985; HAFEZ 1993) dimana akan terlihat spermatozoa hidup ditandai dengan kepala yang berwarna putih, sedangkan yang mati ditandai dengan kepala yang berwarna merah. Persentase spermatozoa

Tabel 1. Komposisi pengencer dasar tris(hydrox methylaminomethane)

Bahan Jumlah Keterangan

Tris (hydroxymethylaminomethane)(g) 3,63 Merck, Germany, cat. K 8382S012 323 Asam sitrat-monohidrat (g) 1,99 Merck, Germany, cat K230 586 44 705 Glukosa (g) 0,50 Merck, Germany, cat. K201080370 342 Akuabidestilataad (ml) 100 Suparcointra, Indonesia

Penisilin-G (IU/ml) 1000 Meiji, Japan, cat. APG 0598 J Streptomisin sulfat (µg/ml) 1000 Meiji, Japan, cat. SSL 1095 A

(4)

yang memiliki membran plasma utuh (MPU) ditentukan dengan menggunakan metode osmotic resistance test (REVELL dan MRODE 1994). Spermatozoa yang memiliki membran plasma utuh ditandai oleh ekor yang melingkar, sedangkan yang rusak ditandai oleh ekor yang lurus apabila semen dipaparkan di dalam larutan hipoosmotik dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 30 menit. Persentase spermatozoa yang memiliki tudung akrosom utuh (TAU), ditandai oleh spermatozoa yang tidak menyerap warna biru dan terbentuknya cincin yang membagi kepala sperma bagian atas dan bagian bawah sedangkan tudung akrosom yang tidak utuh ditandai dengan adanya penyerapan warna biru setelah spermatozoa dipaparkan dalam pewarnaan triphan blue hasil modifikasi metode NAGY et al. (1999; 2001), seluruh parameter dievaluasi menggunakan mikroskop berlampu listrik pembesaran 400 kali dengan spermatozoa yang dihitung minimal 200 sel.

Analisis data

Data dianalisis dengan rancangan acak lengkap dengan tiga perlakuan dan jumlah penampungan semen sebanyak enam kali sebagai ulangan. Perbedaan antar perlakuan diuji dengan uji beda nyata terkecil (STEEL dan TORRIE,1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik semen segar

Evaluasi terhadap kualitas semen yang diperoleh selama penelitian sangat diperlukan karena merupakan petunjuk dasar bagi karakteristik semen rusa Timor serta kelayakan untuk diproses lebih lanjut sebagai semen cair maupun semen beku karena tidak semua pejantan yang berada pada tahap ranggah keras dapat memiliki kualitas ejakulat yang baik. Rataan hasil penelitian kualitas semen rusa Timor menunjukkan karakteristik yang cukup baik (Tabel 2).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai kualitas semen yang diperoleh (volume, konsentrasi dan motilitas) sangat bervariasi jika dibandingkan dengan literatur yang ada pada rusa Timor. MASYUD dan TAURIN (1997;

2000) melaporkan bahwa volume semen rusa Timor dari empat ejakulat diperoleh rata-rata 1,4 ml (1,2–1,7 ml), warna putih hingga kuning dengan konsistensi sedang dan pH 7,7 (7,67-7,79). Evaluasi semen secara mikroskopis diperoleh hasil gerakan massa 3,25 (1−4), motilitas 70,95 % (66,7−76,7% ) dengan konsentrasi 942,5 juta sperma ml-1 (840−1140 ml-1). Sedangkan NALLEY et al. (2003) melaporkan bahwa rataan volume semen 1,70 ± 0,84 ml, pH 7,30 ± 0,39, warna krem/kuning dengan konsistensi sedang/kental, gerakan massa ++/+++, motilitas 75,36 ± 4,07, konsentrasi 1143,21 ± 118,49 juta sperma ml-1, spermatozoa hidup 83,14 ± 5,21%, abnormalitas 7,26 ± 2,84%, MPU 75,93 ± 5,46 % dan TAU 79,03 ± 4,47%. Selain itu terdapat perbedaan kualitas semen pada tahap ranggah keras dan velvet dengan motilitas 72,19 vs 42,05%, konsentrasi 1031,57 vs 276,26 juta sperma ml-1, dengan spermatozoa hidup 80,21 vs 43,80%, abnormalitas 7,97 vs 39,57% MPU 71,73 vs 33,89% dan TAU 75,5 vs 37,34% (HANDARINI et al., 2003). Perbedaan hasil kualitas semen dengan nilai tinggi yang dihasilkan mungkin disebabkan karena pejantan yang digunakan berada pada puncak tahap ranggah keras. Hal ini sesuai dengan penelitian ASHER et al. (1993) dalam SEMIADI et al. (1998) dimana mutu semen pada rusa merah yang dikoleksi dengan menggunakan

Tabel 2. Karakteristik semen segar rusa Timor

(Cervus timorensis) Parameter Jumlah Makroskopis Volume 2,28 ± 0,55 pH 7,1 ± 0,3 Warna Kuning Konsistensi Kental Mikroskopis Gerakan massa ++/+++ Motilitas (%) 77,5 ± 3,33 Konsentrasi (x 106) 1207,44 ± 128,44 Spermatozoa Hidup (%) 84,98 ± 3,08 Abnormalitas (%) 4,56 ± 2,85 Tudung akrosom utuh,

TAU (%) 77,14 ± 4,42 Membran plasma utuh,

MPU (%)

(5)

metode yang sama di awal dan di akhir fase ranggah keras cenderung mempunyai tingkat motilitas yang rendah. Disamping itu faktor umur pejantan yang digunakan juga sangat berpengaruh terhadap kualitas semen yang dihasilkan.

Pengaruh penambahan gliserol terhadap kualitas semen beku

Seluruh parameter yang diamati sampai pada tahap pascaekulibrasi perbedaan konsentrasi gliserol tidak ada pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap persentase motilitas, persen hidup, MPU dan TAU (Tabel 3). Namun pada tahap pascathawing perlakuan G8 dan G10 memberikan hasil yang nyata lebih baik dari pada G6 (P<0,05).

Motilitas spermatozoa pascathawing perlakuan G10 mempunyai persentase tertinggi (55 ± 5,00%) dibandingkan dengan G8 (51 ± 4,17%) dan G6 (34 ± 9,17%). Secara statistik G10 tidak berbeda nyata dengan G8 (P>0,5), tetapi keduanya berbeda nyata dengan G6 (P<0,05). Spermatozoa hidup tertinggi pada G10; G8; G6 dengan masing-masing 70±2,89; 63 ± 4,17; 47 ± 9,33%. Rataan penurunan motilitas (10%) dan spermatozoa hidup (7%) dari semen segar ke pascaekulibrasi. Angka ini lebih kecil dibandingkan dari pascaekuilibrasi

ke pascathawing masing-masing sebesar 24 dan 18%.

Persentase MPU pascathawing tertinggi diperoleh pada perlakuan G10 dengan persentase masing-masing adalah 55 ± 6,17% (G10); 49 ± 3,50% (G8) dan 36 ± 8,67% (G6). Demikian juga dengan persentase TAU pascathawing G10; G8; G6 masing-masing adalah 56 ± 5,83%; 50 ± 4,33% dan 40 ± 6,89%. Rataan penurunan MPU (9%) dan TAU (10%) dari semen segar ke pascaekuilibrasi lebih kecil dibandingkan rataan penurunan dari pascaekuilibrasi ke pascathawing adalah 21% (MPU) dan 22% (TAU).

Pada perlakuan G6 persentase motilitas lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya, kemungkinan disebabkan karena kurangnya konsentrasi gliserol sehingga tidak mampu melindungi semua spermatozoa pada saat pembekuan. Pada perlakuan G8 dan G10 ternyata lebih mampu melindungi spermatozoa terhadap pengaruh pembekuan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian MONFORT et al., (1993) dimana konsentrasi gliserol yang digunakan juga 8%. Peneliti lain bahkan menggunakan konsentrasi gliserol hingga 14% (ASHER, 1992 dalam SEMIADI, 1998). Konsentrasi gliserol 8% juga cocok digunakan pada pembekuan semen kambing (SINGH et al., 1995). Dilaporkan juga konsentrasi gliserol 7% yang dikombinasi

Tabel 3. Rataan kualitas semen beku rusa Timor (Cervus timorensis)

Perlakuan Parameter Tahap pengolahan semen

G6 G8 G10 Awal 78 ± 3,33a 78 ± 3,33a 78 ± 3,33a Ekulibrasi 68 ± 3,89a 68 ± 4,17a 68 ± 4,17a Motilitas (%) Pascathawing 34 ± 9,17a 51 ± 4,17b 55 ± 5,00b Awal 85 ± 3,00a 85 ± 3,00a 85 ± 3,00a Ekulibrasi 77 ± 4,33a 77 ± 3,78a 80 ± 3,56a Spermatozoa Hidup (%) Pascathawing 47 ± 9,33a 63 ± 4,17b 70 ± 2,89b Awal 77 ± 4,11a 77 ± 4,11a 77 ± 4,11a Ekulibrasi 67 ± 5,78a 68 ± 5,17a 69 ± 4,33a MPU (%) Pascathawing 36 ± 8,67a 49 ± 3,50b 55 ± 6,17b Awal 81 ± 3,44a 81 ± 3,44a 81 ± 3,44a Ekulibrasi 68 ± 5,78a 72 ± 4,33a 72 ± 2,83a TAU (%) Pascathawing 40 ± 6,89a 50 ± 4,33b 56 ± 5,83b

(6)

dengan DMSO 1%, memberikan perlindungan lebih baik dibandingkan dengan kombinasi konsentrasi gliserol 3% dan DMSO 5% serta gliserol 6% dan 1% DMSO.

Dilihat dari cara kerja gliserol dalam hal melindungi sel pada proses pembekuan dengan mengurangi pengaruh stres tekanan osmotik

(HAMMERSTEDT dan GRAHAM, 1992) yang

umumnya berhubungan dengan konsentrasi garam dalam sel (MAZUR et al., 1970 dalam

WATSON, 1995).Pembekuan akan merangsang

terjadinya dehidrasi, perubahan fase thermotropic ke lyotropic dari membran phospholipid, peningkatan konsentrasi larutan dan pembentukan kristal es intra dan ekstra seluler (PARK dan GRAHAM, 1992).

Ada dua stres yang dialami spermatozoa pada saat pembekuan dan thawing. Yang pertama berhubungan dengan perubahan temperatur dan kedua diakibatkan oleh pembentukan kristal es (WATSON, 1995). Besarnya penurunan motilitas, spermatozoa hidup, MPU dan TAU pada saat pembekuan dibandingkan dengan pascaekuilibrasi, hal ini disebabkan karena pada saat ekuilibrasi (5oC) penurunan temperatur yang dialami oleh spermatozoa (cold shock) tidak sedrastis pada saat proses pembekuan (−130oC). Hal ini sesuai dengan pendapat WATSON, 1981 dalam

(WATSON, 1995) dimana kerusakan tertinggi

terjadi pada temperatur 2−12oC dan 0oC ke −10oC. Persentase akrosom intak akan turun secara gradual pada saat ekuilibrasi dan pada saat proses pembekuan, hal ini dapat dicegah dengan penambahan gula kedalam bahan pengecer seperti laktosa dan sukrosa (YILDIZ et al., 1999). Cold shock dapat menyebabkan kerusakan yang permanen terhadap motilitas, metabolisma dan level ATP pelepasan cytochrome dan lipoprotein dari dalam sel yang dapat menyebabkan pembengkakan pada bagian ujung terminal dari akrosom dan mereduksi densitas dari isi akrosom (PARRISH, 1987 dalam ANZAR dan GRAHAM 1995).

KESIMPULAN

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:

1. Penurunan kualitas semen terbesar terjadi pada tahap pascaekuilibrasi ke pascathawing (18%−24%), sedangkan penurunan dari

tahap awal ke tahap pascaekuilibrasi hanya cukup kecil 7%−10%.

2. Konsentrasi 10% dan 8% gliserol nyata lebih baik mempertahankan kualitas semen Rusa Timor setelah proses pembekuan dibandingkan dengan konsentrasi gliserol 6%.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi DEPDIKNAS (HIBAH PASCA), Perum Perhutani Wilayah III KSDA Jonggol dan Penangkaran rusa “MOLEK”.” Pondok Gede Bekasi dalam bantuan dana, hewan percobaan, tempat dan fasilitas dalam penelitian sehingga penelitian ini dapat terlaksana dan berjalan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

ANZAR,M. and E.F.GRAHAM. 1995. Role of sperm motility and acrosome integrity in the filtration of bovine semen. Theriogenology. 513−520.

DRADJAT, A.S. 1994. Pengembangan teknik perkembangbiakan buatan pada rusa tropik. Department of Animal Healt, The University of Sydney, PMB3 Camden 2570, Australia. DRADJAT, A.S. 2000. Penerapan teknologi

inseminasi buatan, embrio transfer dan invitro fertilisasi pada rusa Indonesia. Laporan Riset Unggulan Terpadu V Bidang Teknologi Perlindungan Lingkungan. pp: 92–111. ENGLISH,A.W. 1984. Red deer in Australia: Their

biology and management. Proced. 22: 395– 405.

FAHY,G.M. 1986. The relevance of crioprotectant

toxity to cryobiology. Cryobiology, 23: 1–13. HAFEZ,E.S.E. 1993. Anatomy of Male Reproduction.

In: Reproduction in Farm Animals. Lea and

Febiger. Philadelphia.

HAMMERSEDT, R.H. and J.K. GRAHAM. 1992

Cryopreservation of poultri sperm: the enigma of glicerol. Cryobiology 29: 26−38.

HANDARINI,R.,W.M.M.NALLEY,B.PURWANTARA

dan M.R.TOELIHERE. 2003. Kualitas semen

(7)

tahap ranggah. Abstrak. Seminar Nasional dan Gelar Produk Bidang Ilmu Hayati: “Pengelolaan dan Pemanfaatan Keanekaragaman Hayati dalam Rangka Pembangunan Berkelanjutan”. Pusat Studi Ilmu Hayati, Instrtut Pertanian Bogor, Bogor. HOLT,M.V. 2000. Basic aspects of frozen storage of

semen. Anim. Reprod. Sci. 62: 3−22.

KUMAR, S. K.L. SAHNI and G. MOOHAN. 1992. Effect of different levels of glycerols and egg yolk on freezing and storred of buffalo semen in milk, tris and sodium citrate buffer. Buffalo

J. 2: 151−156.

MASYUD,B. dan M.B.TAURIN, 2000. Karakteristik

dan pengawetan sperma rusa Timor (Cervus

timorensis). Media Konservasi. 6(3): 105–107.

MONFORT, S.L., G.W. ASHER, D.E. WILDT, T.C. WOOD,M.C.SCHIEWE,L.R.WILLIAMSON,M.

BUSH and W.L. RALL. 1993. Succesful intrauterine insemination of Eld’s deer

(Cervus eldi thamin) with frozen-thawed

spermatozoa. J. Reprod. And Fertility 99: 459–465.

NAGY SZ,GHAZAS,A BALI PAPP,JIVANCSICS,F

SZASZ,FSZASZ JR,AKOVACS and RHFOOTE. 1999. Evaluation of sperm tail membrane integrity by light microscopy. Theriogenology. 52: 1153–1159.

NAGY S.Z.,A.KOVACS,T.ZUBOR,Z.ZOMBORSZKY, J. TOTH and P. Horn. 2001. Evaluation of membrane integrity of frozen/thawed deer spermatozoa: Short communication. Acta

Veterinaria Hungarica. (49).

NALLEY,W.M.M.,R.HANDARINI.,T.L.YUSUF.,B.

PURWANTARA., M.R. TOELIHERE dan G. SEMIADI. 2003. Perkembangan kajian biologi peproduksi pada rusa Timor (Cervus

timorensis). Lokakarya Pengembangan Rusa:

Pendayagunaan rusa sebagai sumber protein hewani alternatif. Dalam Rangka Diversifikasi Usaha Ternak. Jakarta.

PARK, J.E. and J.K. GRAHAM. Effects of cryopreservation procedures on sperm membranes. Theriogenology 1992; 38: 209−222.

REVELL,S.G. and R.A.MRODE. 1994. An osmotic resistance test for bovine semen. Anim.

Reprod. Sci. 36: 77−86.

SALISBURY, G.W., N.L.VANDEMARK dan R.

DJANUAR. 1984. Fisiologi Reproduksi dan

Inseminasi Buatan pada Sapi. Gajah Mada

University Press.

SANTOSO, W.B. 2002. Potensi penangkaran rusa

dalam rangka peningkatan nilai guna pemanfaatan rusa. Makalah. Workshop Potensi Pengembangan Ternak Rusa. Ditjen Bina Produksi Peternakan. Jakarta. 10 September 2002.

SEMIADI,G.,P.D.MUIR,T.N.BARRY dan G.ASHER.

1998. Produksi semen rusa sambar jantan dan tanggapan terhadap penyerentakan berahi rusa sambar betina. Media Veteriner V (3): 11−16. SINGH, M.P., A.K. SINHA and B.K. SINGH. 1995

Effect of cryoprotectans on certain seminal attributes and on the fertility of buck spermatozoa. Theriogenology. 1047−1053. SUPRIATNA, I. dan F.H. PASARIBU. 1992. In vitro

fertilisasi, transfer embrio dan pembekuan embrio. Dept. Pendidikan dan Kebudayaan Ditjen Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

SUSMIANTO, A. 2002. Pemanfaatan satwa liar berpotensi menurut peraturan perundangan. Makalah. Workshop Potensi Pengembangan Ternak Rusa. Ditjen Bina Produksi Peternakan. Jakarta. 10 September 2002. STEEL,R.G.D. dan J.H.TORRIE. 1993. Prinsip dan

Prosedur Statistika, Suatu pendekatan Biometrik. Terjemahan BAMBANG SUMANTRI. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

TOELIHERE, M.R. 1985. Inseminasi Buatan pada

Ternak. Angkasa, Bandung.

WATSON, P.F. 1995. Recent Developments and

consepts in the cryopreservation of spermatozoa and the assessment of their post-thawing fungtion. Reprod. Fertil. Dev. 7: 871−891.

YILDIZ, C., A. KAYA, M. AKSOY and T. TEKELI. 2000. Influence of sugar supplementation of the extender on motility, viability and acrosomal integrity of dog spermatozoa during freezing. Theriogenology. 579−585.

(8)

DISKUSI Pertanyaan:

1. Berapa konsentrasi spermatozoa yang digunakan dalam penelitian?

2. Pada pemeriksaan pascaequilibrasi, apabila motilitas kurang dari 70% apakah pembekuan masih dilanjutkan? Berhubungan dengan metodologinya.

3. Mengapa G10 motilitasnya lebih tinggi?

4. Adakah perlakuan khusus untuk rusa pejantan sehingga bisa dikoleksi semennya? 5. Apa tipe dan cara ejakulator yang digunakan dalam penampungan semen rusa?

6. Bagaimana reaksi rusa jantan apakah terjadi ereksi dan tanda-tanda ejakulasi saat penampungan?

Jawaban:

1. Konsentrasi spermatozoa yang digunakan adalah 100 juta/cc.

2. Pembekuan masih tetap dilanjutkan meskipun motilitas pascaequilibrasi di bawah 70%. Jadi tidak ada kesalahan dalam metodologinya.

3. Motilitas G10 lebih tinggi karena gliserol pada konsentrasi ini mampu mengeliminir efek letal selama pembekun disamping memberikan sumbangan energi.

4. Agar rusa dapat dikoleksi semennya rusa harus dipelihara secara intensif, biasakan dengan pekerja dan semen harus ditampung secara reguler.

5. Elektroejakulator yang digunakan adalah elektroejakulator yang biasa digunakan untuk sapi, 18 volt dengan selang rangsangan 5 menit on-of.

6. Pada awalnya rusa memang mengalami kesakitan, tetapi setelah satu atau dua kali tidak lagi karena telah terbiasa dan biasanya rusa ereksi saat ditampung. Penampungan dilakukan pagi hari jam 07.00.

Referensi

Dokumen terkait

Perencanaan sistem drainase sebagai pengendalian banjir kota Medan bertitik fokus pada pengelolaan sungai Deli karena sungai Deli yang merupakan sungai utama yang

Kolaborasi KPK dan FPBA dalam penerbitan buku diawali dengan Training dan Workshop Anti Korupsi yang diikuti para kreator bacaan anak!. Buku yang merupakan komitmen dan upaya

Prinsip kehati-hatian dalam mengelola perusahaan telah diatur dalam Pasal 85 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas, yang menyatakan: (1) Setiap

Melakukan penyuluhan yang diawali dengan apersepsi terlebih dahulu; Hasil yang didapatkan menunjukkan sebagian besar ibu-ibu (80%) belum memahami dan mnegerti tentang cara

Terdapat kontribusi secara simultan antara minat bakat, fasilitas kelas, monitoring orangtua terhadap hasil belajar matematika melalui keterampilan dalam

Pernyataan ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Balim (2009) yang menyimpulkan bahwa model pembelajaran discovery learning dapat meningkatkan keberhasilan belajar

Pada penelitian yang dilakukan (Sobandi &amp; Nurhasanah, 2016) hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar siswa dapat ditingkatkan melaluli peningkatan minat