• Tidak ada hasil yang ditemukan

kesehatan fisik dan psikologis, meningkatkan pendapatan, prestasi anak-anak, (Stutzer & Frey, 2006). Hubungan perkawinan itu sendiri bersifat dinamis,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "kesehatan fisik dan psikologis, meningkatkan pendapatan, prestasi anak-anak, (Stutzer & Frey, 2006). Hubungan perkawinan itu sendiri bersifat dinamis,"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

2

Dua alasan penting dari perkawinan adalah dapat meningkatkan harga diri dan tidak mengalami kesepian. Perkawinan dapat memberikan manfaat terhadap kesehatan fisik dan psikologis, meningkatkan pendapatan, prestasi anak-anak, kepuasan hubungan seksual, dan memperpanjang usia kehidupan seseorang (Stutzer & Frey, 2006). Hubungan perkawinan itu sendiri bersifat dinamis, memiliki variasi kualitas sepanjang waktu (DeGenova & Rice, 2005). Istilah kualitas perkawinan dipadankan dengan kebahagiaan perkawinan atau kepuasan perkawinan. Keduanya menunjuk pada suatu perasaan positif yang dimiliki pasangan dalam perkawinan yang maknanya lebih luas daripada kenikmatan, kesenangan, dan kesukaan. Perbedaannya adalah kebahagiaan perkawinan berdasarkan evaluasi afektif, sedangkan kepuasan perkawinan berdasarkan evaluasi kognitif (Lestari, 2012).

Kepuasan perkawinan adalah korespondensi antara situasi yang ada dan kondisi ideal yang dibentuk seseorang (Alahveriani, Rajaie, Shakeri, & Lohrasbi, 2010). Hidayah & Hadjam (2006) menyatakan bahwa kepuasan perkawinan adalah persepsi terhadap kehidupan perkawinan seseorang yang diukur berdasarkan besar kecilnya kesenangan yang dirasakan dalam jangka waktu tertentu. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kepuasan perkawinan merupakan evaluasi subjektif individu yang menjalani kehidupan perkawinan dengan menghubungkan situasi yang ada dengan kondisi ideal yang diharapkan dan diukur berdasarkan kebahagiaan yang dirasakan dalam kurun waktu tertentu.

(2)

3

Di Indonesia kepuasan perkawinan akan tercapai apabila kebutuhan materi tercukupi, adanya anak yang hormat pada orangtua, hubungan yang harmonis dengan pasangan, saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing, serta hubungan yang baik dengan keluarga besar (Hidayah & Hadjam, 2006). Pola kepuasan perkawinan yang paling lazim ditemui adalah kepuasan perkawinan yang tinggi di awal perkawinan kemudian menurun jauh selama usia pertengahan perkawinan, dan akan naik kembali ketika anak-anak sudah dewasa dan tidak tinggal serumah (Anderson, Russell, & Schumm, dalam DeGenova & Rice, 2005; Patrick, Sells, Giordano, & Tollerud, 2007). Kepuasan perkawinan yang menurun jauh pada usia pertengahan perkawinan ini dapat disebabkan karena adanya kehadiran, jumlah, dan perkembangan anak (Papalia, Olds, Feldman, & Gross, 2007; Wendorf, Lucas, Imamoglu, Weisfeld, & Weisfeld, 2011). Penyebab ketidakpuasan perkawinan yang muncul dalam pola kepuasan perkawinan tersebut dapat dijelaskan melalui beberapa model penjelasan berikut, yaitu model konflik peran yang mengemukakan bahwa pasangan mengalami permasalahan karena penyesuaian berbagi tugas dan peran di masa transisi menjadi orangtua. Model kebebasan terbatas menyatakan bahwa stres dan ketegangan akan bertambah ketika anak menuntut waktu dan perhatian orangtua. Model ketidakpuasan seksual menjelaskan bagaimana kepuasan perkawinan akan menurun karena pasangan kesulitan melakukan hubungan seksual di rumah dikarenakan kehadiran anak. Terakhir adalah model kerugian finansial yang mengemukakan bahwa peningkatan kebutuhan ekonomi sejalan dengan bertambahnya usia anak (Twenge, Campbell, & Foster, 2003). Kurdek (dalam Olson, Defrain, &

(3)

4

Skogrand, 2014) menyebutkan bahwa penurunan kepuasan perkawinan sering terjadi dalam 4 tahun usia perkawinan, di mana perempuan cenderung mengalami penurunan kepuasan dalam perkawinan yang diikuti dengan depresi yang hebat.

Lestari (2012) menunjukkan bahwa perempuan menjalani transisi yang lebih sulit daripada laki-laki. Menurut Randall & Bodemann (2009) stres yang lazim dialami sebuah pasangan merupakan permasalahan mengenai keintiman secara emosional dan pemeliharaan hubungan dekat diantara keduanya. Brassard, Lussier, & Shaver (2009) menyatakan bahwa stabilitas hubungan perkawinan dipengaruhi oleh adanya permasalahan yang menyebabkan perasaan ketidakamanan akan rasa kasih sayang (attachment insecurities) dan ketidakpuasan dalam suatu hubungan. Kepuasan perkawinan yang cenderung menurun dalam masa membesarkan anak akan menyebabkan pasangan memilih jalan untuk bercerai (Hirschberger, Srivastava, Marsh, Cowan, & Cowan, 2009). Johnson menyatakan bahwa perempuan cenderung lebih rentan terhadap masalah ketidakpuasan dalam perkawinan yang berkorelasi dengan keterlibatan di dalam karir (dalam Azeez & Viswavidyalaya, 2013).

Fakta menunjukkan bahwa fenomena perceraian di Kota Banda Aceh semakin meningkat pasca-tsunami. Sebagian besar disebabkan oleh gugatan cerai yang dilayangkan istri kepada suaminya. Sekitar 75 persen kasus perceraian adalah istri menggugat cerai suami dan 25 persen lainnya adalah gugatan cerai dari suami (Mahmudy dalam Muhammad, 2011). Lebih lanjut, Ketua Mahkamah Syari’ah Kota Banda Aceh ini menjelaskan bahwa perceraian yang semakin

(4)

5

meningkat dapat dikarenakan banyaknya istri yang yang sudah mampu hidup mandiri dan tidak bergantung kepada suami, banyaknya pencerahan yang didapat melalui pelatihan, workshop, atau seminar ilmiah sehingga istri semakin menyadari keadaan dirinya dan berani untuk mengambil keputusan sendiri, meningkatnya taraf hidup masyarakat pasca-tsunami juga dapat menyebabkan suami memiliki kesempatan untuk berselingkuh, dan kurangnya pengetahuan agama suami-istri yang menyebabkan kurang memahami esensi sebuah perkawinan yang telah dibina. Sementara itu, berdasarkan data yang diperoleh melalui Badan Pusat Statistik (2013) angka perceraian di Banda Aceh sejak tahun 2009 sampai dengan 2012 yang cenderung meningkat ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah penganiayaan, tidak ada tanggung jawab, permasalahan ekonomi, poligami, gangguan pihak ketiga, dan jumlah perceraian yang paling tinggi disebabkan karena tidak adanya keharmonisan dalam rumah tangga. Merujuk pada Olson, Olson-Sigg, & Larson (dalam Olson, DeFrain, & Skogrand) yang mengkategorikan beberapa tipe pasangan di dalam perkawinan, salah satunya yaitu tipe pasangan yang harmonis, yang mengandung pengertian bahwa pasangan perkawinan tersebut memiliki beberapa kekuatan yang baik dalam hal komunikasi, pemecahan masalah, hubungan seksual, dan keuangan. Pasangan yang harmonis merasakan kepuasan terhadap kemampuan mereka dalam memecahkan permasalahan dan peran di dalam hubungan pada perkawinannya. Dapat disimpulkan bahwa ketidakharmonisan yang menjadi penyebab tertinggi perceraian di Kota Banda Aceh dikarenakan kurangnya

(5)

6

kepuasan pasangan terhadap kemampuan memecahkan permasalahan dan peran dalam perkawinannya.

Menurut Dagun (2002) perceraian berawal dari adanya konflik yang tidak dapat diselesaikan. Perceraian akan meningkatkan stress psikologis dan menurunkan kesejahteraan emosional seseorang (Waite, Luo, & Simon, 2009). Banyak pasangan suami-istri yang tidak menyadari bahwa penurunan kepuasan perkawinan akan mengakibatkan keretakan dalam rumah tangga. Hal ini perlu menjadi perhatian para praktisi psikologi keluarga bagaimana meningkatkan kondisi kepuasan perkawinan klien untuk menjaga keutuhan rumah tangga.

Penelitian yang dilakukan oleh Migrain & Cordova (2007) menemukan keterampilan emosi pasangan dapat mempengaruhi keintiman sehingga meningkatkan kepuasan perkawinan. Keterampilan emosi yang dimaksud merupakan keahlian dalam mengungkapkan emosi. Beberapa tahun belakangan penelitian mengenai pengungkapan emosi positif semakin berkembang salah satunya melalui bersyukur. McCullough (dalam Wood, Joseph, & Linley, 2007) menyatakan bahwa dengan bersyukur seseorang dapat meningkatkan kepuasan hidup, vitalitas, dan kebahagiaan.

Algoe, Gable, & Maisel (2010) menemukan bahwa bersyukur dapat memprediksi peningkatan kualitas hubungan yang diikuti dengan kepuasan dalam hubungan pasangan di hari-hari berikutnya. Penelitian Lambert, Clarck, Durtschi, Fincham, & Graham (2010) juga menemukan bahwa mengungkapkan rasa syukur mampu meningkatkan rasa tanggung jawab individu untuk memenuhi kebutuhan

(6)

7

pasangannya (communal strength) dan meningkatkan derajat kesejahteraan pasangan. Kubacka, Finkenauer, Rusbult, & Keijsers (2011) melakukan penelitian longitudinal selama empat tahun di Belanda terhadap pasangan yang baru menikah. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa bersyukur dapat mempertahankan dan memelihara kedekatan hubungan. Penelitian lain di Amerika yang dilakukan oleh Gordon, Arnett, & Smith (2011) menemukan bahwa mengungkapkan rasa syukur terhadap pasangan mampu meningkatkan kebahagiaan, keintiman, dan dukungan yang merupakan faktor penting dalam kepuasan perkawinan. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah disebutkan terbukti bahwa bersyukur memiliki pengaruh yang kuat terhadap peningkatan kualitas hubungan, derajat tanggung jawab pasangan dalam memenuhi kebutuhan pasangannya, mempertahankan dan memelihara kedekatan hubungan, meningkatkan kebahagiaan, keintiman, dan dukungan kepada pasangan yang merupakan faktor di dalam kepuasan perkawinan.

Bersyukur adalah memori moral umat manusia, sehingga dibutuhkan untuk meningkatkan keberfungsian dalam menjalin hubungan dengan orang lain (Emmons, 2007). Toussaint & Friedman (2009) menjelaskan bahwa bersyukur merupakan salah satu teknik psikoterapi yang sangat penting diterapkan dalam populasi psikoterapi klinis untuk meningkatkan kesejahteraan pasien. Hal ini dikarenakan bersyukur memiliki afek penyembuhan yang bekerja pada perubahan perasaan positif. Afek penyembuhan bersyukur berkaitan dengan respon untuk dihargai, afirmasi melalui pengekspresian cinta dan kelembutan yang berkembang dalam konteks interpersonal. Bersyukur juga memfasilitasi dalam proses menutup

(7)

8

luka lama yang pada gilirannya meredakan penderitaan emosional seseorang dan memiliki potensi sebagai sebuah intervensi psikoterapi yang berhubungan dengan kesehatan mental dan kepuasan hidup (Emmons & Stern, 2013). Oleh karena itu, penting untuk memahami bagaimana bersyukur dan melatih bersyukur yang dapat bermanfaat terhadap peningkatan kepuasan perkawinan.

Bersyukur memiliki berbagai makna. Berdasarkan Al Quran atau istilah keagamaan disebutkan bahwa syukur memiliki tiga sisi makna yang pertama syukur dengan hati, yaitu kepuasan batin atas anugerah. Kedua, syukur dengan lidah yaitu mengakui anugerah dan memuji pemberian. Ketiga, syukur dengan perbuatan yaitu dengan memanfaatkan anugerah yang diperoleh sesuai dengan tujuan penganugerahannya (Shihab, 2007). McCullough, Kilpartrick, Emmons, & Larson, (2001) menyatakan bahwa bersyukur merupakan emosi positif yang dirasakan seseorang ketika menerima hal yang bernilai dari sesuatu yang lain. Emmons & McCullough (2003) juga menyebutkan bahwa bersyukur mengandung sebuah emosi, sikap, nilai moral, kebiasaan, kepribadian, dan respon mengatasi (coping). Bersyukur memiliki makna ganda, pertama bersyukur merupakan perasaan yang terjadi pada pertukaran antar pribadi ketika seseorang mengakui bahwa ia menerima manfaat dari orang lain. Kedua, bersyukur dalam arti transeden yaitu bersyukur atas segala anugerah yang dimiliki di dalam kehidupannya (Emmons& McCullough dalam Emmons & Stern, 2013). Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa bersyukur merupakan emosi positif yang dirasakan individu dikarenakan menerima manfaat dari orang atau pihak lain yang kemudian dapat mengandung perilaku sehingga individu mengakui atau

(8)

9

menyatakan dengan bentuk rasa terima kasih dan/atau memanfaatkan anugerah yang diperoleh sesuai dengan tujuan penganugerahannya.

Perkawinan sesungguhnya dikarakteristikkan oleh kumpulan permasalahan yang dapat menyebabkan stress. Kepuasan perkawinan memiliki pasang surut sepanjang waktu (Cavanaugh & Blanchard-Fields, 2006). Dalam melakukan penilaian, manusia seringkali dipengaruhi oleh cara pandangnya dengan membandingkan dari orang/hal lain termasuk yang ada di dalam imajinasinya. Pada suatu pengalaman hidup memiliki peluang untuk merasakan kesenangan atau kekecewaan. Kepuasan sesungguhnya dipengaruhi oleh bagaimana individu memilih cara pandang untuk fokus terhadap pengalaman yang memuaskan atau tidak. Manusia memiliki kekuatan untuk meningkatkan pengalaman subjektifnya dengan upaya sadar bersyukur terhadap pilihan pengalaman hidupnya dan menjadi sedikit kecewa jika hal buruk menimpa (Linley & Joseph, 2004).

Aceh diketahui sebagai salah satu propinsi di Indonesia yang diberikan otonomi khusus oleh pemerintah pusat untuk melaksanakan Syariah Islam di daerahnya. Meskipun demikian, pasca-tsunami angka perceraian di Kota Banda Aceh semakin tinggi. Hal ini semakin mengejutkan karena persentase istri menggugat cerai suami sangat tinggi. Ketidakharmonisan atau kurangnya kepuasan pasangan dalam mengatasi berbagai permasalahan dan peran di dalam perkawinannya menjadi penyebab tertinggi perceraian, oleh karena itu dalam mengatasi penurunan kepuasan perkawinan yang dapat mengarahkan kepada perceraian, maka peneliti melakukan penelitian yang mengangkat kondisi sejumlah istri yang mengalami penurunan kepuasan dalam perkawinan di Kota

(9)

10

Banda Aceh yang kemudian akan diberikan perlakuan berupa pelatihan kebersyukuran melalui setting kelompok. Banyak manfaat yang dapat diambil dalam melakukan intervensi melalui setting kelompok. Partisipan dapat mengungkapkan banyak ide dan pandangan serta mendiskusikannya. Partisipan dapat berbagi pengalaman, mencari pemecahan masalah, menemukan nilai-nilai pribadi, menemukan adanya perasaan yang sama diantara partisipan dan menawarkan ide-ide baru dari partisipan lainnya (Masson, Jacobs, Harvill, & Schimmel, 2012).

Pelatihan kebersyukuran ini mengacu kepada aplikasi psikologi positif yang unik dan memberikan cara kerja yang terpadu untuk mengoptimalkan fungsi optimal manusia di berbagai fungsi manusia dari gangguan dan stress yang merusak menjadi sehat dan memuaskan (Linley & Joseph, 2004) dan dalam penerapannya menggunakan konsep pendekatan kognitif yang memandang permasalahan psikologis berasal dari proses yang biasa seperti kesalahan berpikir, membuat kesimpulan yang tidak tepat yang berdasar pada informasi yang tidak benar/tidak tepat, dan kesalahan dalam membedakan kenyataan dan khayalan. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa manusia rentan untuk mempelajari pikiran-pikiran yang salah, pikiran-pikiran mengalahkan diri, akan tetapi mampu untuk belajar menjadi lebih baik melalui penentuan kesalahan kognitif dan melakukan pengoreksian, individu dapat menciptakan kehidupan yang lebih memuaskan (Corey, Corey, & Corey, 2014).

Penelitian ini memiliki hipotesis bahwa pelatihan kebersyukuran dapat meningkatkan kepuasan perkawinan. Penelitian ini diharapkan dapat menambah

(10)

11

wawasan baru mengenai penerapan pelatihan kebersyukuran pada individu dalam konteks perkawinan yang berkaitan dengan kepuasan perkawinan. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat praktis bagi psikolog dan konselor yang menangani permasalahan dalam perkawinan.

Gambar 1.Kerangka Berpikir

Keterangan:

= Terdiri dari

= Saling mempengaruhi = Dapat dipengaruhi oleh = Diberikan intervensi = Lingkup penelitian Hubungan Perkawinan (Pengalaman Hidup) Memuaskan (Kepuasan dalam Perkawinan) Kurang/Tidak Memuaskan (Penurunan Kepuasan Perkawinan) Evaluasi Subjektif Berdasarkan Kognitif (Cara Pandang Manusia untuk Fokus pada Hal

yang Memuaskan atau

Hal yang Tidak Memuaskan) Pelatihan Kebersyukuran (Tahap) 1. Restrukturisa si Kognitif 2. Menghitung Keberkahan 3. Bermain Peran 4. Penguatan

Gambar

Gambar 1.Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

• Penghapus dengan daya hapus yang kuat bahkan bisa untuk menghapus pensil warna & krayon.. • Ukuran penghapus: 35 x 18 x

Penelitian dalam skripsi ini dilatar belakangi oleh sebuah fenomena bahwa Pembiayaan Usaha Mikro adalah produk yang lebih diminati daripada Pembiayaan Serbaguna Mikro

Hasil perbandingan packet loss untuk setiap mekanisme bandwidth request berbeda diperlihatkan pada Gambar 4.. Hasil Perbandingan

Keterampilan berpikir kritis dan hasil belajar siswa yang belajar menggunakan colaborative learning lebih rendah dari pada siswa yang belajar menggunakan collaborative

Pada dasarnya OS windows sudah membatasi bandwidth untuk koneksi internet sebanyak 20% dari total bandwidth yang seharusnya bisa maksimal,Jika anda ingin menambah bandwidth

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris dengan metode pendekatan yuridis sosiologis dimana penelitian ini penulis melihat dan mendengar

Kriteria inklusi dari penelitian ini adalah pasien rawat inap yang terdiagnosa stroke iskemik akut di RSUD Kabupaten Batang periode 2016 dengan atau tanpa penyakit penyerta,

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Pendidikan Seni dan Desain. © Awit Gending Adriani 2016