• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bermain Petak Umpet di Tengah Trotoar (Strategi Bertahan Pedagang Kaki Lima di Jakarta) - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bermain Petak Umpet di Tengah Trotoar (Strategi Bertahan Pedagang Kaki Lima di Jakarta) - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

3

Perlawanan Malu-malu

Jam 8.30 pagi, ketika Wasdap, 48 tahun, mendorong gerobag sotonya. Pagi itu, seperti biasa dia sedang memulai membuka dagangannya di bantaran sungai yang bersebelahan dengan Gedung Jamsostek Jalan Gatot Subroto Jakarta. bantaran sungai tempat biasa dia mendasarkan dagangannya. Waktu itu belum banyak orang di sana. Ketika dia sedang beranjak meninggalkan gerobag untuk mengambil air, tiba-tiba serombongan petugas operasi Tramtib datang. Tanpa sepatah kata pun gerobag yang penuh makanan itu diangkut ke mobil operasi. “Saya hanya bisa diam, tak mampu mempertahankan, selain memegang ember ini, “katanya. Teman-teman lain yang kebetulan belum mendirikan dagangannya juga tampak hanya membisu menyaksikan operasi tersebut.

“Waktu yang saya pikirkan adalah bagaimana menarik kembali gerobak yang telah diangkut petugas tersebut. Karena di kantong saya tak ada uang sepeser pun untuk menebus gerobag tersebut, “ ujarnya. Atas kebaikan teman-temannya maka terkumpullah uang sebanyak Rp 250 ribu untuk menebus gerobag tersebut. Maka setelah terkumpul uang tebusan tersebut, pada siang harinya Wasdap berangkat ke kantor Kecamatan Setayabudi. Dia melihat gerobagnya teronggok bersama geobag-gerobag lain hasil operasi. “Makanan yang tadi penuh, ternyata waktu itu telah ludes entah siapa yang menghabisakan makan begitu banyak itu. Tapi tak apalah, yang penting saya bisa menarik kembali gerobag tersebut, “ katanya datar. Uang tebusan pun dia berikan kepada kepala seksi operasi penertiban, dan setelah mendapatkan basa-basi nasihat, dia mendorong gerobagnya ke rumahnya. Dan, esoknya dia kembali mengoperasikan barang dagangannya dengan gerobag tersebut dan masih di tempat semula.

ambaran dari temuan di lapangan itu, menyiratkan tentang fenomena-fenomena empirik yang pada dasarnya akan selalu menjadi salah satu bentuk tindakan sosial setiap pedagang kaki lima. Mereka akan terus mempertahankan usahanya sebagai pedagang kaki lima dan mempertahankan lokasi usaha, karena pekerjaan dan lokasi tersebut dianggap berkait dalam mengembangkan keuntungan secara ekonomi.

G

(2)

menguntungkan secara ekonomis akan mudah ditinggalkan atau berganti usaha lain. Akan tetapi, jika pekerjaan itu menguntungan secara ekonomis, maka sejumlah resiko akan dihadapi demi mengembangkan usaha tersebut. Jika sejumlah resiko akan dihadapi demi mengembangkan usaha tersebut, maka dibutuhkan sejumlah strategi bagi para pedagang kaki lima dalam mengatasi resiko tersebut (bandingkan pada Broomley, 1978, Lukman, 1995, Munir, 1993, dan Saleh, 1995).

Pengalaman informan Ny. Lia Abas , 49 tahun, tidak tamat SMP tetapi sukses menjadi pedagang kaki lima mendukung argumentasi tersebut. Empat orang anaknya (dua laki-laki dan dua perempuan) justru telah menampatkan jenjang tingkat tinggi . Seorang anak laki-laki tamatan S2 Ekonomi Universitas di Paris, seorang anak perempuan tamatan S2 di IKIP Jakarta, seorang anak laki-laki tamat S2 Ekonomi Universitas Jakarta, dan seorang anak perempuan tamat S1 Fakultas Hukum Trisakti )

Di lain pihak, disebutkan oleh sejumlah peneliti bahwa menekuni usaha sebagai pedagang kaki lima tidak membutuhkan pendidikan yang terlalu tinggi. Jika latar belakang pendidikan tidak menjadi persyaratan utama, maka sebenarnya pekerjaan sebagai pedagang kaki lima bisa dilakukan oleh siapa saja. Jika pekerjaan sebagai pedagang kaki lima bisa dilakukan oleh siapa saja, maka para urbanis dari desa yang berlatar belakang petani pun bisa menekuni usaha pedagang kaki lima (bandingkan pada Ali, 1989, Bairoh, 1973, Breman, 1980, dan Latief, 1977).

(3)

usaha akan ditanggung bersama anggota keluarga tersebut. Jika resiko kerugian serta pengembangan usaha akan ditanggung bersama anggota keluarga, maka masing-masing anggota keluarga yang menekuni pekerjaan pedagang kaki lima

akan berusaha

mengembangkan strategi bersama (bandingkan pada Ernawati, 1995, Jamuin, 2000, Ramli, 1992, Salim 1993, dan Suharyanti.dkk, 1995)

Bertolak dari pernyataan tersebut, pada dasarnya

mengembangkan usaha sebagai pedagang kaki lima dianggap mempunyai nilai strategis, sementara ketika mereka harus berhadapan dengan resiko usaha – seperti menghadapi operasi penertiban—akan di cari akan dicari sejumlah

strategi oleh masing-masing pelaku tindakan sosial tersebut. Yang telah dilakukan informan Wasdap, juga tak jauh berbeda dengan yang dilakukan informan lain.

(4)

halaman kantor) dan mengajurkan sejumlah pedagang kaki lima yang ada di luar kantor tersebut, untuk masuk dan menempati ruangan kantin yang baru. Meskipun dia harus membayar uang sewa dan dan kebersihan setiap bulanya sebesar Rp 600 ribu, namun agar tidak dianggap melanggar aturan yang ada, dan bersama sejumlah pedagang kaki lima yang lain bersedia menempati lokasi resmi yang baru tersebut. Sayangnya, ketika mencoba menempati lokasi yang baru tersebut omset penjualannya menurun, maka informan Toing pun mencoba siasat untuk mengatasi permasalahan yang dia hadapi. Dua gerobag gado-gado yang semula sudah “dikandangkan” di rumahnya, kini kembali dioperasikan kembali di tempat yang lama di luar kantor LIPI.

“Saya telah menjadi penjual gado-gado sejak tahun 1994. Dulu saya penjual gado-gado-gado keliling dari kampung ke kampung,” ujar Toing yang mengaku berasal dari kota Subang Jawa Barat. Dia terkenal dengan nama Toing Ganoli (gado-gado, nasi, lontong). Dia sudah 10 tahun menempati lokasi tersebut. Dia mempunyai dua gerobak gado-gado yang ditempatkan di sebelah timur dan barat kantor tersebut.

“Oleh sesama pedagang di sini saya termasuk yang dipercaya untuk mewakili mereka jika suatu kali ada urusan dengan kelurahan. Bahkan kalau akan operasi penertiban, biasanya saya mah, udah tahu lebih dulu”, katanya menjelaskan bahwa dia sudah empat kali terkena operasi pamong praja, kemudian gerobaknya ditahan di kecamatan.

“Kalau sampai gerobak ditahan biasanya kami harus menebusnya, dua rata-rata saya bayar 400 ribu rupiah,” katanya, “Kalau mewakili teman-teman yang terkena operasi penertiban udah lebih dari sepuluh kali dah,” katanya

.”...Kalau begini terus kayaknya, berat deh untuk bisa bertahan sampai satu bulan,” ujar informan mulai mengeluarkan keluhannya, “lihat tuh udah jam segini, dagangan saya masih belum habis separo.” Terlihat kantong plastik berisi kerupuk warna-warni yang baru berkurang seperempatnya saja. Nasi yang diletakkan di bakul plastik juga masih tampak utuh. Demikian juga lontong, tahu, ketimun, tomat, kol, terlihat masih memadati lemari kaca tempat penyimpanan bahan gado-gado.

“Dulu waktu masih di luar sana, siang begini, nasi udah habis, paling-paling tinggal sedikit lontong doang. Sekarang di sini, jangankah habis, terbeli juga kagak, “kata informan lebih lanjut.

(5)

dalam itu urusan merekalah. Kenyataannya, setelah usaha di dalam ternyata tidak menguntungkan maka butuh cara untuk mengatasinya. Seperti yang saya lakukan sekarang ini...”.

Untuk itulah yang ditempuh oleh sejumlah pedagang kaki lima yang kini menempati kantin baru tersebut, mencoba membuka dagangannya kembali di luar kantin resmi. “Kita berusaha untuk tidak mengundurkan diri keluar jadi anggota koperasi kantin ini, iuran wajib setiap bulan seperti cicilan sewa tempat dan bayar kebersihan, listrik, dan air tetap akan kita penuhi. Bayar enam ratus ribu tiap bulan akan kita penuhi, meskipun pendapatan kita di sini sungguh sangat berkurang. Tetapi kita kan butuh duit agar tetap usaha ini tetap untung, “ katanya.

Maka, dengan cara yang ditempuh sekarang – yakni kembali membuka daganganya di luar kantin resmi-- informan justru bisa menutup kekurangan pendapatan yang diterima selama ini.

“Biarin dah dagangannya saya di dalem sini kagak untung, tetapi yang di luar itulah yang bisa nombokin,” katanya. Langkah yang ditempuh informan ini, sebenarnya merupakan keinginan bagi para pedagang yang lain, tetapi karena terbentur persoalan modal maka para pedagang yang lain tak bisa mengikuti jejak informan.

“Mereka salah strategi. Kalau saya modal tetap. Justru yang saya mencoba membagi jumlah persediaan dagangan. Misalnya, jatah untuk satu tempat ini saya bagi menjadi tiga tempat. Sehingga kalau di sini kagak laku kan bisa ditutup dari tempat yang lain,” ujarnya.

Menyimak gambaran tersebut, pada dasarnya pedagang kaki lima mempunyai sejumlah strategi untuk menyiasati sejumlah aturan main yang ada. Ekspresi penyiasatan tersebut tertuang dalam bentuk tindakan sosial yang dianggapnya strategis. Akan tetapi aturan main yang mana yang harus disiasati oleh para pedagang kali lima?

Kekuasaan “Atas Nama”

(6)

biasanya dijadikan lokasi usaha pedagang kaki lima, maka secara tidak langsung keberadaan pedagang kaki lima juga terkait dengan Perda tersebut.

Perarturan Daerah Nomor 11 Tahun 1988 mengatur tentang sembilan tertib hukum yaitu, tertib jalan dan angkutan jalan raya; tertib jalur hijau, taman dan tempat umum; tertib sungai, saluran, kolam dan lepas pantai; tertib lingkungan; tertib usaha tertentu; tertib bangunan; tertib pemilik, penghuni bangunan; tertib sosial; tertib kesehatan. Isi Sementara Perarturan Daerah Nomor 11 Tahun 1988 mengatur tentang sembilan tertib hukum yaitu, tertib jalan dan angkutan jalan raya; tertib jalur hijau, taman dan tempat umum; tertib sungai, saluran, kolam dan lepas pantai; tertib lingkungan; tertib usaha tertentu; tertib bangunan; tertib pemilik, penghuni bangunan; tertib sosial; tertib kesehatan. Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1988 juga terdiri dari: XVI bab dan 32 pasal yang mengatur tentang ketentuan umum; tertib jalan dan angkutan jalan raya; tertib jalur hijau, taman dan tempat umum; tertib sungai, saluran, kolam dan lepas pantai; tertib lingkungan; tertib usaha tertentu; tertib bangunan; tertib pemilik, penghuni bangunan; tertib sosial; tertib kesehatan; ketentuan pidana; pembinaan; pengawasan; penyelidikan; ketentuan peralihan; dan ketentuan penutup

Bertolak dari Perda tersebutlah aparat Pemda – dengan mengatasnamakan ingin menciptakan ketertiban umum -- mempunyai otorita kekuasaan untuk menentukan keberadaaan pedagang kaki lima. Dengan berpegang pada Perda itu pula aparat Pemda – dengan mengatasnamakan penegakkan hukum dan aturan – mempunyai kewenangan untuk menertibkan, mengatur, dan melarang usaha pedagang kaki lima.

Kepala Sub Bidang Tata Usaha Tramtib dan Linmas (Ketentraman, Ketertiban dan Perlindungan Masyarakat) Kotamadya Jakarta Selatan, H. Muchtar.BA mengemukakan, ”Di Kotamadya Jakarta Selatan, telah ada Suku Dinas Tramtib dan Linmas tingkat 10 kecamatan dan 65 kelurahan di Daerah Ibukota Jakarta Selatan: Secara hierarkis, masing-masing tingkatan tersebut memiliki kewenangan untuk melakukan tindakaan penertiban berdasarkan batas wilayah dan besar-kecilnya yang akan ditertibkan.

(7)

emlakukan penertiban dalam lingkungan kerjanya dalam lingkup yang lebih kecil. Adapaun keseluruhan jumlah tenaga operasi lapangan Trambtib dan Linmas, di Kotamadya Jakarta Selatan terdapat 1170 personil, yang dibagi juga pada lima sampai sepuluh orang pada setiap Kecamatan dan Kelurahan.”

Dari sinilah terlihat bahwa isyu kekuasaan secara struktural fungsional memainkan peranan. Bagi aparat Pemda, isyu kekuasaan bisa diekspresikan dengan tindakan sosial seperti melakukan operasi penertiban. Operasi penertiban tersebut, di satu sisi merupakan implementasi dari penerapan Perda yang berlaku. Namun, di sisi lain, dengan operasi penertiban pula membawa implikasi pada sangsi hukum bagi para pedagang kaki lima. Sangsi hukum yang berlaku tidak semata-mata berupa tindakan menghentikan usaha pedagang kaki lima, tetapi sangsi tersebut pada dasarnya juga bisa dalam bentuk “negosiasi-negosiasi” yang kemudian berujung pada munculnya “uang tebusan” yang harus dikeluarkan oleh para pedagang kaki lima. Besaran uang tebusan juga akan tergantung dari keputusan aparat “penegak hukum” tersebut.

Kepala Sub Bidang Tata Usaha Tramtib dan Linmas (Ketentraman, Ketertiban dan Perlindungan Masyarakat) Kotamadya Jakarta Selatan, H. Muchtar.BA juga mengemukakan, “meskipun tiada hari tanpa penertiban tetapi pelanggaran selalu ada. Untuk pelanggaran yang dilakukan pedangan kaki lima kan termasuk tindakan pidana ringan (tepiring). Maka kalau pedangan kaki lima melanggar akan kita lihat dia dagang apa? Kalau cuma dagang rokok yang lima puliuh ribu lah. Kalau jualan nasi tentu harus didenda lebih besar lagi.”

“Memang kami tahu pedagang kaki lima, adalah orang-orang kecil saja yang sementara mencari untuk perut keluarga, kalau kami tindak dengan kekuasaan yang ada pada kami, bagaimana anak istrinya makan, karena itu sebenarnya kami kasihan sama pedagang kaki limanya, kami berharap pedagang kaki lima sadar, karena ada aturan-aturan penggunaan ruang publik, kawasan-kawasan tertib lihat Perda no. 11/88, pasal 14, 15, 16 – 19 yang sudah kami sosialisasikan kepada pedagang kaki lima, hal-hal yang termasuk dalam Tertib Lingkungan dan Tertib Usaha. Seperti seluruh jalan Gatot Subroto, daerah pusat perkantoran, kawasan rawan usaha, tapi begitulah masih banyak pedagang kaki lima informal yang secara sembunyi-sembunyi melakukan usaha mereka. Terkadang mereka sangat tidak tahu diri, begitu kami tidak ada kawasan tertib kota dikotorkan dengan seluruh sampah mereka, wajarlah sesuai aturan hukum harus ditindak demi ketertiban sosial”.

(8)

wawancara dan observasi di lapangan lebih menunjukkan gambaran yang buram. Adanya pembayaran uang kebersihan dan keaman yang setiap minggu dan bulan harus dikeluarkan pedagang kaki lima kepada petugas Pemda, ternyata tidak berdasarkan Perda yang pasti. Dengan alasan bahwa para pedagang kali lima termasuk golongan ekonomi lemah, maka mereka tidak dihitung memberi kontribusi buat Pemda DKI Jakarta ini. “Ya, seperti di tingkat RT-lah, warga disuruh bayar uang keamanan dan kebersihan, tetapi uang itu tidak akan masuk ke kas daerah, “ ujar H. Muchtar.BA.

Atas dasar aliran keuangan yang tidak jelas itulah, maka aparat Pemda mampu mempermainkan kekuasaannya yang tidak jelas pula batasannya. Apalagi, pada tingkat Kecamatan, Seksi Tramtib memiliki kewenangan untuk melakukan penertiban dalam wilayah administrasi kecamatan yang bersangkutan manakala pihak yang akan ditertibkan tersebut jumlahnya relatif terlalu tidak terlalu banyak. Demikian pula pada tingkat kelurahan, subseksi Tramtib juga memiliki kewenangan untuk melakukan penertiban dalam lingkungan kerjanya dalam lingkup yang lebih kecil.

Jika demikian kenyataannya, maka aparat Pemda dari tingkat kotamadya hingga tingkat kelurahan mempunyai posisi yang cukup strategis dalam memainkan kekuasaan terhadap para pedagang kaki lima. Apalagi bagi para pedagang kaki lima yang memang belum membentuk kelompok semacam asosiasi seperti yang ada di jalan Gatot Subroto ini, menjadi “lahan yang subur” bagi aparat Pemda untuk memerankan kekuasaannya. Bahkan seperti yang ditemui di lapangan, ada sejumlah aparat Pemda yang hanya menggunakan seragam (uniform) mampu memainkan kekuasannya. “Bagi tidak tahu itu petugas dari kelurahan, kecamatan atau kotamadya, asal memakai seragam Pemda, kami harus berusaha untuk memberi uang rokok, “ ujar informan Anton.

(9)

Berdasarkan wawancara dan observasi di lapangan ternyata membuktikan bahwa para pedagang kaki lima secara tidak sadar telah memerankan kekuasannya pula. Dengan mempertahankan lokasi usaha, mendasarkan dagangannya di sela-sela tempat pejalan kaki, serta membatasi kehadiran pedagang kaki lima yang lain, adalah bagian dari ekspresi kekuasaan

(10)

kaki lima mengklaim mempunyai hak untuk menggunakan kekuasaannya berjualan di sana.1

Contoh pengalaman informan Wasdap, Toing, dan juga pedagang kaki lima yang lain dapat dijadikan bukti kongkrit gambaran fenomena tersebut. Bahkan gambaran yang lebih nyata dapat diperhatikan dari siasat-siasat yang dimainkan oleh informan Rizal, penjual masakan Minang (Nasi Padang). Ketika lokasi usahanya harus digusur, dia tidak ikut-ikutan dengan temannya yang bersedia pindah memasuki kantin kantor LIPI. Dia justru hanya memindahkan dasaran dagangannya ke seberang jalan Widya Chandra saja, dengan harapan tidak meninggalkan pelanggan yang telah dia kuasai selama ini. Kendati, harus dengan menggunakan mobil minibus, dia ternyata masih memainkan kekuasaannya sebagai pedagang nasi Padang satu-satunya di lokasi tersebut.

1 Gambaran tersebut seolah mengingatkan kita tentang isyu kekuasaan yang pernah

diungkapkan Bourdieu (1977). Dalam konsepnya tentang peran agen dan struktur sosial, Bourdieu memandang bahwa pada pikiran manusia ada skema-sekma yang bekerja secara tersirat, memberikan gambaran tentang sesuatu yang dilihatnya, ketika dia ada dalam lingkungan tertentu, terjadi interpretasi tertentu. Skema interpretasi ini penting agar orang dapat menyesuaikan diri di lingkungan barunya dan eksis disitu. Skema-skema interpretif ini bekerja tanpa disadari, memberikan gambaran bagaimana duia bekerja, bagaimana menanggapi dan menilai sesuatu di lingkungan dan mengarahkan tindakan. Disinilah memprodukkan habitus, artinya Habitus adalah produk kondisi-kondisi struktur dari individu dan sekaligus praktek-praktek sosialnya yang kemudian mereproduksikan kondisi-kondisi objektif eksitensi sosial dari agen. Jadi reproduksi sosial adalah proses, bukan mekanistis atau instrumen, arahnya pada habitus yang menjadi produk kondisi struktur dari individu. Bourdieu mengklarifiaksi dikotomi, mikro yang bekerja pada tingkat individu atau antarpribadi dan makro sebagai produk dan produser struktur sosial, serta melihat habitus bekerja dalam kaitan dengan field dan capital

(11)

Jalan Widya Chandra. Jalan ini dibagi dua arah (dari dan ke arah jalan Gatot Subroto) sebelah kiri kantor LIPI. Jalan sebelah timur (dari Gator Subroto) dulu di samping kirinya tempat usaha sejumlah pedagang kaki lima, sementara di pinggir jalan sebelah barat tidak pernah dijadikan tempat berjualan. Sehari-hari biasanya tempat parkir taksi, dan mobil-mobil derek. Akan tetapi, setelah adanya relokasi sejumlah pedagang yang berjualan di jalan tersebut terpaksa harus digusur. Sebagian masuk ke dalam kios-kios yang disediakan LIPI, sedangkan sebagian yang lain mencari lokasi baru untuk membuka usahanya. Hampir sekitar dua minggu, sejak penggusuran jdia kedua samping jalan tersebut lengang dari sejumlah pedagang kaki lima. Para sopir tgak yang biasanya memanfaatkan kawan tersebut untuk makan dan melepas lelah juga tampak tidak sebanyak hari-hari sebelum penggusuran lokasi.

Akan tetapi, ketika memasuki minggu ke-3 setelah penggusuran. Suasananya tampak lain. Jalan Widya Chandra sebelah barat yang tidak pernah digunakan untuk berjualan, hari itu terlihat ada yang memanfatkannya untuk berjualan. Dialah Rizal yang berjualan masakan Minang (Padang) – yang tergusur dari warung sebelah timur jalan, tetapi tidak mengikuti jejak teman lain yang ikut masuk ke kompleks LIPI. Rizal ternyata memberanikan diri untuk berjualan kembali di sekitar jalan tersebut, meski sekarang menempati jalan sebelah Barat. Kalau dulu dia berjualan dengan mendirikan warung, kini dia ljustru menggunakan mobil minibus. Mobil tersebut “disulap” menjadi warung makanan. Jok kursi bagian belakang sengaja dilepas dan diganti dengan lemari makanan. Mobil diparkir di bahu jalan, sementara sebelah kiri mobil ditempatkan kursi-kursi plastik dan meja makan.

“Saya sengaja memberanikan diri membuka usaha di sini lagi, meskipun saya tahu tempat ini dilarang,” kata Rizal membuka percakapan, ““Sudah dua hari ini saya sendirilah yang berani buka dagangan di sini. Katanya besok tukang soto dan Pak Miing juga akan membawa gerobak gado-gadonya ke sini,” tambahnya lebih lanjut.

Gambaran tersebut mengarahkan pada argumentasi bahwa isyu kekuasaan terdistribusi di semua relasi sosial. Kekuasaan terjalian dalam jaringan seluruh tatanan sosial, karena itu kekuasaan lebih bersifat produktif, dimana kekuasaan menghadirkan subjek. Kekuasaan berimbas pada pembentukan kekuatan, menjadikan subjek tumbuh dan mencari dirinya, ketimbang menghalangi, membuat subjek menyerah atau menghancurkan. Kekuasan muncul karena adanya pengetahuan akan ruang yang digunakan. Bila Pemda memandang ruang publik harus dibungkus dengan aturan hukum, maka pengetahuan yang tertanam pada diri pedagang kaki lima ruang publik adalah lokasi yang berhak diakses olehnya untuk mengembangkan usahanya.2

2 Sejalan dengan dengan pernyataan tersebut Foucault (1980: 136) mengatakan, ada hubungan

(12)

Menerabas “Aturan Main”

Dari hasil wawancara dengan sejumlah informan dan observasi di lapangan, terbangun kesan bahwa para pedagang kaki lima di Jalan Gatot Subroto selama membuka usahanya merasa tidak aman dan rentan dengan sejumlah resiko. Akan tetapi, masing-masing pedagang kaki lima justru telah mempersiapkan sejumlah strategi untuk mengatasi resiko tersebut.

Katakanlah, ketika mereka harus menghadapi operasi penertiban sehingga kemudian mereka merelakan gerobag dan barang daganganya diangkut petugas penertiban, akan dilakukan siasat-siasat untuk mengatasinya. Misalnya, mereka harus menjalin kerja sama dengan oknum petugas kelurahan atau kecamatan tentang kapan pelaksanaan operasiakan dilakukan. Bahkan kalau saja sampai terjaring operasi seperti pengalaman informan wasdap, Toing, dan Anton pun mereka sudah siap menghadapinya.

“Saya telah menjadi penjual gado-gado sejak tahun 1994. Dulu saya penjual gado-gado-gado keliling dari kampung ke kampung,” ujar Toing yang mengaku berasal dari kota Subang Jawa Barat. Dia terkenal dengan nama Toing Ganoli (gado-gado, nasi, lontong).

“Oleh sesama pedagang di sini saya termasuk yang dipercaya untuk mewakili mereka jika suatu kali ada urusan dengan kelurahan. Bahkan kalau akan operasi penertiban, biasanya saya mah, udah tahu lebih dulu”, katanya mengenang usaha sebelum dia memasuki kios permanen di dalam kantin LIPI. Informan menjelaskan bahwa dia sudah empat kali terkena operasi pamong praja, kemudian gerobaknya ditahan di kecamatan. “Kalau sampai gerobak ditahan biasanya kami harus menebusnya, dua rata-rata saya bayar 400 ribu rupiah,” katanya.

(13)

Bahkan, ketika harus digusur dari lokasi semula pun masing-masing pedagang kaki lima juga mempunyai kiat untuk mengatasinya. Seperti yang dilakukan informan Rizal misalnya, di lokasi tempat dia menjajakan dagangannya digusur. Sementara teman-teman yang lain tak berani membuka usahanya, dia justru hanya bergeser beberapa meter dari tempat semula dan membeanikan diri membuka usaha dengan cara menggunakan mobil minibus.

“Saya sengaja memberanikan diri membuka usaha di sini lagi, meskipun saya tahu tempat ini dilarang,” kata Rizal membuka percakapan. “Sudah dua hari ini saya sendirilah yang berani buka dagangan di sini. Katanya besok tukang soto dan Pak Miing juga akan membawa gerobak gado-gadonya ke sini,” tambahnya lebih lanjut.

Rizal merasa tidak bisa menanggalkan sekitar lokasi tersebut, dengan pertimbangan bahwa jualan “masakannya” di sekitar lokasi ini telah memiliki langganan tetap. Maka dengan mobil minibusnya dia kembali membuka usahanya. “Saya buka usaha seperti ini tidak hanya di sini, di Pasar Santa Jakarta Selatan juga ada. Tetapi harus saya akui tidak selaris di sini,” katanya.

Tidak takut digusur? “Digusur ya pindah lagi. Dengan mobil seperti ini kan lebih praktis. Kemarin saya juga sudah didatangi petugas dari kelurahan dan kecamatan, dan diperingatkan untuk tidak berjualan. Tetapi ketika saya beri uang rokok Rp 250 ribu, mereka malah bilang: “ya sudah hati-hati saja, entar kalau ada operasi tolong menyingkir dulu”. Kemudian saya jawab, “siap pak!!!”

Ternyata hari ini saya aman jualan lagi,” kata Rizal.

Langkah yang dilakukan Rizal tersebut, ternyata diikuti teman-teman lain yang sudah telanjur peindah ke dalam kompleks LIPI. Beberapa pertimbangan berjualan, menurut Rizal, di pinggir jalan adalah tuntutan pelanggan. “Sopir-sopir taksi, mobil derek, karyawan sango jongkok, katanya malas kalau harus masuk halaman kantro LIPI. Lagian kalau mengharapkan pelanggan kantor LIPI paling-paling hanya jam istirahat saja. Sedangkan di luar jam istirahat ‘kan ada juga pembeli yang harus dilayani,” katanya.

“Lihat tuh, penjual ayam dan pecel lele, mie ayam Pak Abu, atau juga Bang Toing, dulu larisnya kayak apa. Sekarang jangankan laris, untung saja kagak kali. Padahal mereka harus bayar cicilan warung tempat dan uang sewa lokasi setiap bulan. Apa nggak berat tuh. Apalagi itu tuh, penjual gorengan, kok ya ikut-ikutan pindah. Duit dari mana dapet nyicil uang sewa bulannya”.

(14)

Yang menarik dari gambaran tersebut adalah, ketika aparat Pemda memperingatkan untuk tidak membuka usaha di ruang publik, ketika operasi penertiban, atau bahkan ketika eksekusi penggusuran dilakukan, tidak ditanggapi dengan perlawanan berupa ekspresi kekerasan. Mereka seolah patuh dan mengindahkan sejumlah “aturan main” tersebut. Akan tetapi, setelah peringatan, operasi penertiban, dan bahkan eksekusi penggusuran

berlangsung, mereka kembali menerabas “aturan main” tersebut. Dari sinilah terlihat adanya bentuk perlawanan yang diekspresikan secara malu-malu.

(15)

yang memusatkan perhatian pada makna dan simbol terhadap tindakan dan interaksi manusia. Atau dengan kata lain, resistansi muncul sebagai salah satu bentuk kekuatan yang mendorong kehidupan masyarakat menciptakan gerakan perubahan. Jika mengacu pada pendapat Chris Barker (2000: 358), maka dua kekuatan mengrongrong kehidupan masyarakat untuki berubah, yakni masalah ekonomi dan kekuasaan. Keduanya merupakan simbol kekuatan yang melahirkan perubahan dalam masyarakat. Apakah perubahan itu dinamik atau statis, tergantung kekuatan resistansi tersebut. 3

Untuk itulah, jika kita coba perhatikan sejumlah tindakan sosial yang dilakukan para pedagang kaki lima berupa ekspresi perlawanan malu-malu ini kita golongkan dalam bentuk resistansi non-violent. Di satu sisi, mereka juga menyadari bahwa usaha yang dialakukan adalah bertentangan dengan aturan main yang ada. Akan tetapi, di sisi lain mereka harus mempertahankan ranah sosial melalui habitus-habitusnya, karena capital yang telah mereka miliki juga harus dipertahankan. Pedagang kaki lima juga mengerti bahwa bahwa ruang publik, bahu jalan, halte bus adalah lokasi terlarang untuk membuka usaha. Mereka juga paham jika operasi penertiban akan selalu dilakukan serta reskio-resiko yang bakal menimpanya. Akan tetapi mereka juga mempunyai pengetahuan untuk menyiasati resiko-reskio tersebut, demi mempertahankan eksistensinya.

3 Bennett (1998: 171) bahkan melihat perlawanan pada dasarnya adalah hubungan defensif,

Referensi

Dokumen terkait

ANALISIS PERHITUNGAN HARGA POKOK PRODUKSI JAKET DAN TAS KULIT BERDASARKAN METODE ACTIVITY BASED COSTING.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung Serta Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematika Tingkat

falciparum, kemungkinan 90% tidak akan menderita malaria berat.15 Demikian pula pada orang dengan beta-thalassemia dan hemoglobin fetal yang menetap (Hb

dalam suatu pembelajaran bukan hanya siswa yang aktif belajar tetapi di lain.. pihak, guru juga harus mengorganisasi suatu kondisi yang

 Tugas diterima terlambat 6 hari dari waktu yang ditentukan  Isi tugas tidak menggambarkan cara berpikir logis dan sistematis  Aktivitas di kelas biasa.  Kehadiran tatap muka

Pada kelompok dewasa tua yang sehat dan mengalami defisiensi gizi, maka asupan vitamin dan suplemen makanan dapat meningkatkan respons sistem imun, ditunjukkan dengan

Dengan ini peneliti yang bertindak sebagai guru tergerak untuk memanfaatkan aktivitas permainan yang dimodifikasi sebagai alat untuk menyampaikan materi pembelajaran

Melalui praktek mata kuliah ini, para mahasiswa diharapkan sekurang- kurangnya dapat memberikan bantuan yang dibutuhkan oleh individu dalam situasi kelompok dengan