• Tidak ada hasil yang ditemukan

SARAN PERBAIKAN PELAKSANAAN SUBSIDI BENIH PADI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SARAN PERBAIKAN PELAKSANAAN SUBSIDI BENIH PADI"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

SARAN PERBAIKAN PELAKSANAAN SUBSIDI BENIH PADI

PENDAHULUAN

Pemerintah, dalam hal ini Departemen Pertanian (Deptan), diperkirakan akan terus melanjutkan subsidi benih tanaman pangan terutama padi dan jagung tahun 2007 dan 2008. Pengalaman dari pelaksanaan penyaluran benih tahun 2006 memperlihatkan banyak permasalahan, baik dalam pengelolaan maupun dari sisi aspek teknis di daerah penerima subsidi sehingga target subsidi tidak tercapai. Sistem penyaluran benih harus mendapat perbaikan yang terus menerus sehingga diperoleh sistem penyaluran terbaik. Berikut adalah saran perbaikan pelaksanaan subsidi benih padi belajar dari pengalaman pelaksanaan subsidi jagung di Sulawesi Selatan 2007.

SUBSIDI BENIH TINGKAT KELOMPOK TANI Permasalahan

Subsidi benih, apakah diberikan langsung atau tidak langsung kepada petani bukanlah masalah pokok bagi petani. Apapun caranya, subsidi memastikan bahwa petani mendapat benih secara cuma-cuma. Dalam kasus subsidi benih jagung di Sulawesi Selatan (Sulsel), pemberian subsidi itu hanya mengurangi sekitar 10 persen biaya, namun biaya-biaya lain harus dinaikkan sekitar 30 persen, karena penggunaan jagung hibrida menuntut penggunaan pupuk dan pengelolaan yang lebih baik. Dampak subsidi dan teknologi hibrida cukup signifikan, yakni terjadi penurunan biaya (per unit output) sebesar 30-40 persen dibanding jika menggunakan jagung lokal. Namun demikian, sulit bagi petani meningkatkan biaya produksi sebagai konsekuensi menerima subsidi benih hibrida, yang pada akhirnya tanaman tidak menghasilkan produktivitas yang sesuai dengan harapan. Atas dasar itu, diragukan bahwa subsidi benih akan dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Mereka justru akan tergantung pada subsidi benih.

Menurut pemerintah daerah pemberian subsidi benih kepada petani diperkirakan tidak mendidik dan hanya memanjakan petani. Pemerintah daerah merasa sangat kuatir terhadap apa yang terjadi jika subsidi dari pemerintah pusat tidak ada lagi. Apakah petani akan menghentikan usahatani jagung atau kembali mengusahakan jagung lokal atau menuntut subsidi dari pemerintah daerah? Pemerintah daerah tidak mempunyai semangat penuh mensukseskan kegiatan subsidi ini. Pemerintah daerah menyarankan agar pemberian subsidi haruslah

(2)

sedemikian rupa, sehingga pada saat subsidi ditiadakan, ekonomi petani telah menjadi kuat secara mandiri. Strategi yang efektif adalah memanfaatkan momentum subsidi saat ini melalui pemberian yang hanya diberlakukan pada tingkat kelompok tani (koptan).

Subsidi Benih Tingkat Koptan

Salah satu strategi pembangunan pertanian adalah meningkatkan aksesibilitas petani melalui koptan. Pemerintah pusat telah lama membangun koptan di seluruh Indonesia, namun koptan yang ada sampai sekarang bukan lah organisasi petani yang stabil. Koptan hanya ada jika ada program dari pusat. Jika tidak ada pogram tidak ada Koptan. Jika ada 2-3 program dari berbagai subsektor dari pusat untuk suatu desa maka di desa itu akan terdapat 2-3 Koptan yang berbeda nama pada hal anggotanya itu juga. Koptan selama ini didirikan melalui proses ”top down” untuk kebutuhan program pusat, kemudian setelah program selesai koptan bubar. Pemerintah pusat sebenarnya harus menyadari bahwa pemerintah daerah telah mengelabui mereka. Sebagai contoh adalah koptan yang dibentuk karena program Subsidi Benih Jagung di Sulsel, Program LUEP, Program Swasembada Daging Sapi semuanya adalah koptan yang baru dibentuk, dan hampir semua tidak ada yang aktif. Momentum subsidi benih jagung dan gabah tahun 2007 yang telah disetujui DPR merupakan momentum yang tepat untuk memberdayakan Koptan.

Dengan asumsi bahwa subsidi benih tidak akan berlangsung terus menerus, mungkin hanya 2 atau 3 tahun, maka perlu suatu pemikiran bagaimana supaya setelah bantuan subsidi, petani telah mampu mandiri setidaknya dalam memperoleh benih. Hal ini sangat penting, supaya petani tidak tergantung kepada pemerintah pusat atau memberikan beban tanggungan kepada pemerintah daerah. Dapat dipastikan bahwa dengan metoda yang ada saat ini, tidak memungkinkan petani menjadi sejahtera dan target peningkatan produksi hanya bersifat sementara karena subsidi hanya membantu mengurangi sebagian biaya produksi sementara biaya lain meningkat. Aksesibilitas petani pada pasar akan tetap lemah. Misalnya, pada saat panen, harga produksi jatuh, petani tidak berdaya menghadapi hal tersebut.

Salah satu jalan untuk membangun kekuatan petani adalah dengan memanfaatkan momentum subsidi benih saat ini dengan memberikan subsidi benih yang hanya berlaku pada tingkat koptan. Dengan kata lain, pemberian subsidi benih berlaku untuk Koptan bukan petani. Para petani anggota Koptan harus membeli benih pada Koptan dengan cara membayar setelah panen dengan harga yang dapat diatur. Dengan cara ini, Koptan mendapat dana penguat. Momentum subsidi 2007

(3)

sangat baik digunakan untuk memperkuat Koptan sehingga dapat menjadi Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP). Jika LUEP kuat, para petani dapat membangun diri secara mandiri.

Misalnya, setiap koptan mendapat subsidi benih sebesar Rp 100 juta. Setelah panen, Koptan akan menerima pembayaran dari petani sekitar Rp 100 juta. Selain itu, pada tahun 2007 Deptan mengalokasikan dana sebesar Rp. 40 milyar untuk kegiatan mengaktifkan dan membangun koptan. Sedangkan dana subsidi benih tahun 2007 diperkirakan mencapai Rp. 1,7 triliun. Kedua sumber dana ini berjumlah Rp. 2,1 triliun dapat digunakan untuk membangun koptan menjadi LUEP. Jika satu koptan dapat diberdayakan menjadi LUEP dengan dana Rp. 100 juta, maka dapat diharapkan 21000 koptan menjadi LUEP pada tahun 2008. Berikut adalah pertimbangan benefit dan kerugian jika subsidi diberikan pada tingkat koptan:

Keuntungan :

1. Tidak memberikan beban tambahan biaya kepada pemerintah pusat/daerah;

2. Sikap memanjakan petani dapat dikurangi;

3. Sebagian koptan dapat berubah menjadi LUEP. Banyak masalah-masalah yang dihadapi petani dapat dikurangi;

4. Modus ini membantu petani, seperti membayar benih setelah panen, harga lebih murah, dan mutu benih yang bagus;

5. Koptan didorong bekerja profesional, karena menyangkut dana penguat yang akan diperolehnya. Pemerintah daerah tidak perlu bekerja intensif seperti selama ini.

Kelemahan:

1. Petani menolak membeli benih pada Koptan. Namun dengan harga benih yang bersaing dengan harga pasar dan mutu benih yang lebih baik, akan dapat menarik petani;

2. Kemampuan Kelompok Tani yang umumnya lemah dalam mengelola penyaluran subsidi. Untuk mengatasi ini, perlu dilakukan selektif terhadap koptan penerima subsidi.

Sebagai contoh, Kasus Subsidi Benih Jagung di Sulsel dengan total subsidi sebesar Rp 36 milyar. Menurut daftar Deptan terdapat 3200 kelompok tani yang akan menerima subsidi. Jika jumlah ini diciutkan menjadi 1000 sedangkan nilai subidi tetap

(4)

tidak berubah maka satu kelompok tani akan memperoleh dana penguat sebesar Rp. 40 juta pada tahun 2008.

MERUBAH INDIKATOR KEBERHASILAN

Pengalaman memperlihatkan bahwa pelaksanaan kegiatan pusat, seperti subsidi benih dan kegiatan bantuan lainnya selalu menghadapi berbagai masalah teknis di lapang sehingga target penyaluran subsidi tidak dapat dipenuhi. Pengamatan di lapang memperlihatkan bahwa permasalahan teknis yang muncul tersebut merupakan konsekuensi dari sistem subsidi yang diatur dari pusat (top down). Sistem top down relatif tidak mempertimbangkan kondisi penerima subsidi (petani) secara intensif, sehingga muncul permasalahan yang tidak bisa dihindarkan sebagai konsekuensi dari sistem top down tersebut. Penyelesaian cukup sederhana, yakni merubah pola top down menjadi pola moderat. Pola moderat artinya, menerapkan konsepsi subsidi dari pusat tetapi pelaksanaan teknis sepenuhnya berada di daerah penerima subsidi.

Untuk menggerakkan pola moderat ini hanya dibutuhkan perubahan indikator keberhasilan subsidi. Selama ini ada kesan yang kuat bahwa indikator keberhasilan subsidi adalah berdasarkan pencapaian target penyaluran dan semakin banyak petani menerima subsidi. Padahal, pemerintah pusat menggunakan indikator peningkatan produksi dan produktivitas hasil yang terjadi pada sebagian besar penerima subsidi, namun indikator ini tidak bermanfaat, karena tidak dilaksanakan. Pada kenyataannya, kegiatan subsidi hanya terbatas menyalurkan setelah itu selesai. Kegagalan atau keberhasilan subsidi tidak pernah dibahas. Subsidi seakan-akan sedekah dari pemerintah.

Dengan menerapkan indikator ini, maka pengelolaan subsidi benih akan menempatkan petani sebagai penentu keberhasilan. Pemikirannya adalah bahwa pemerintah tidak akan mengalami kerugian jika penyaluran subsidi tidak memenuhi target, tetapi pemerintah akan mengalami kerugian jika penyaluran subsidi itu tidak berdampak pada penguatan ekonomi petani dan produksi serta malah menimbulkan banyak masalah.

SUBSIDI BENIH SISTEM KARTU

Penyaluran subsidi benih yang ideal adalah bagaimana benih sampai di tangan petani tepat pada saat ia membutuhkannya. Konsekuensi dari penyaluran

(5)

pertimbangan utama dalam menyalurkan benih subsidi. Apa yang telah terjadi adalah pemerintah terkesan memaksakan penyaluran dengan mengunakan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat general. Seharusnya, pemerintah memahami benar tingkah laku petani, sehingga penyaluran subsidi dapat dilakukan spesifik petani. Tentu hal ini sangat ideal namun secara normatif kesanalah arah kebijakan penyaluran itu.

Atas dasar itu, perlu dipertimbangkan sistem penyaluran benih subsidi dengan sistem kartu. Pemerintah memberikan kartu-kartu (voucher) pengambilan benih subidi pada tingkat kelompok tani. Misalnya, setiap kartu bernilai 10 kg benih. Jika sebuah koptan menangani 100 Ha lahan maka Koptan ini memperoleh 50 kartu permintaan benih. Ke-50 kartu ini akan digunakan oleh koptan setiap saat diperlukan untuk memperoleh benih jagung. Supaya tetap berada dalam range waktu yang layak maka umur kartu ditetapkan, misalnya 6 bulan. Dengan tenggang waktu 6 bulan memungkinkan koptan dan petani menentukan sendiri saat terbaik mengambil benih. Koptan juga bebas menentukan kepada siapa mengambil benih (sejauh benih itu memenuhi syarat). Berdasarkan kartu itu para pedagang atau penangkar mendapat pembayaran dari pemerintah.

Dengan metoda kartu ini maka diharapkan:

1. Mendorong pengembangan penangkar bibit hibrida di wilayah penerima subsidi;

2. Mengabaikan musim Musim Hujan (MH), Musim Kemarau 1 (MK1) atau Musim Kemarau 2 (MK2) dalam penyaluran benih subsidi. Petani sendiri yang memutuskan kapan membutuhkan benih;

3. Tidak ada petani yang terlambat atau terlalu cepat tanam, karena petani yang memilih masa tanam terbaik;

4. Monopoli dalam pengadaan benih dapat dihindarkan;

5. Dampak subsidi benih terhadap peningkatan produksi dan produktivitas akan lebih efektif karena telah mengabaikan faktor-faktor teknis yang disebutkan di atas.

DANA OPERASIONAL PENGELOLAAN PENYALURAN SUBSIDI

Penyaluran subsidi, baik langsung atau tidak langsung dari pusat atau daerah, memerlukan kegiatan khusus oleh Pemerintah Daerah untuk mengorganisir penyaluran, terutama kegiatan pada saat penyaluran. Dalam hal ini, baik pemerintah pusat maupun daerah tidak mengalokasi dana pengelolaan itu secara khusus,

(6)

sehingga para petugas lapang tidak mungkin melaksanakan pengelolaan, apalagi tugas-tugas evaluasi dan monitoring.

Masalah ketiadaan dana operasional merupakan masalah lama karena juga terjadi pada hampir seluruh program-program bantuan dari pusat. Pemerintah pusat selalu menekankan supaya biaya operasional dirancang oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah enggan melaksanakan hal semacam itu, karena mereka lebih tertarik untuk mensukses program-program daerah yang secara politis lebih penting. Keberhasilan program pusat belum tentu meningkatkan pamor daerah, walaupun kesejahteraan petani mungkin meningkat. Karena itu berbagai kegiatan pembangunan tampak tidak berjalan sesuai rencana. Bagaimanapun perlu ada pendekatan Pusat secara khusus kepada Gubernur dan Bupati untuk menyediakan dana operasional pengelolaan subsidi dalam anggaran pembangunan mereka. Pada langkah selanjutnya adalah melakukan sinkronisasi antara penyaluran subsidi benih dengan ketersediaan dana operasional.

SUBSIDI SEBAGAI KEGIATAN TERPUSAT ATAU MENYEBAR Sistem Menyebar

Pada umumnya, implementasi kegiatan-kegiatan Departemen Pertanian (Deptan) bersifat menyebar (sistem menyebar, lintas provinsi) karena mengutamakan pertimbangan pemerataan anggaran proyek. Pada tahun 2007, sebagian besar kegiatan Deptan disebarkan pada 20-30 provinsi padahal dana kegiatan tersebut relatif kecil dibandingkan kebutuhan. Sebagai contoh, kegiatan subsidi benih, DPM LUEP, kegiatan Pembiayaan SP3, dan sebagainya dilaksanakan pada banyak provinsi. Dari sisi pemerataan kegiatan, tentu saja sistem menyebar ini sangat tepat. Namun ada beberapa kelemahan sistem menyebar antara lain :

1. Jika dana kegiatan tersebut tersedia relatif kecil maka distribusi per provinsi menjadi sangat kecil. Apalagi jika dibagi-bagi menurut kabupaten dan kecamatan. Semakin kecil dana dalam kegiatan sistem menyebar semakin tidak terlihat dampak kegiatan tersebut sebagai akibat tidak dapat dikendalikan faktor exogenous, seperti agroekosistem, musim, kearifan lokal dan sebagainya.

2. Sistem menyebar melibatkan lebih banyak birokrasi, sehingga membutuhkan waktu dan dana yang lebih besar dalam pengelolaannya. Semakin banyak birokrasi terlibat dalam proses penyaluran maka semakin tidak efisien

(7)

implementasi kegiatan tersebut dan semakin banyak timbul permasalahan yang tidak perlu.

3. Sistem menyebar melibatkan suatu areal yang luas dengan ciri-ciri budaya, agro ekosistem yang sangat bervariasi. Keadaan ini tidak memungkinkan atau terdapat tingkat kesulitan tinggi dalam melakukan evaluasi dampak kegiatan secara kuantitatif. Sebagai akibatnya pemerintah tidak dapat belajar dari pengalaman.

Sistem Terpusat

Sistem terpusat dapat diibaratkan sebagai berikut. Jika seribu butir jagung dibagikan kepada 1000 ekor ayam (sistem menyebar), maka setiap ekor akan mendapat sebutir jagung. Tetapi karena seekor ayam membutuh 20 butir jagung supaya bisa bertelur 1 butir maka diantara 1000 ayam tersebut tidak yang bertelur. Namun, jika 1000 butir dibagikan kepada 50 ekor ayam (sistem terpusat) yang masing-masing ayam mendapat 20 butir jagung maka pemerintah akan mengutip hasil 50 butir telur. Lima puluh butir telur ini dapat ditukar dengan 2000 butir jagung sehingga dapat dibagikan kepada 100 ekor ayam yang akan menghasilkan 100 butir telur yang selanjutnya dapat ditukarkan dengan 4000 ekor jagung demikian seterusnya. Sistem terpusat jelas memberikan harapan keberhasilan khusus jika pemerintah menghadapi kesulitan dana pembangunan seperti saat ini.

Dalam kasus pelaksanakan kegiatan subsidi benih padi dan jagung (2006) ketiga kelemahan yang ditimbulkan oleh sistem menyebar yang dibahas di atas tampak berlaku signifikan. Atas dasar itu, Deptan sebaiknya mencoba sistem terpusat untuk subsidi benih (2007). Dalam hal ini, implementasi kegiatan subsidi hanya dilakukan pada satu dua provinsi terpilih namun tetap dengan dana kegiatan subsidi yang ada. Pada tahun selanjutnya dapat dilaksanakan di provinsi yang lain. Perlu dipertimbangkan batas ukuran teknis/finansial bagi menentukan jumlah provinsi terhadap dana subsidi benih yang tersedia.

Hal lain yang perlu disarankan bahwa jika implementasi kegiatan subidi dapat dilaksanakan terpusat, maka dalam pelaksanaannya perlu didisain bagaimana pengelolaan penyaluran subsidi diatur dengan menggunakan metoda tertentu sehingga memungkinkan pemerintah dapat mempelajari faktor-faktor apa yang mempengaruhi kegagalan dan keberhasilan kegiatan subidi baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Dengan pengetahuan dampak ini pemerintah dapat belajar dari pengalaman sehingga implentasi kegiatan pada tahun dan provinsi berikutnya akan memberikan hasil yang lebih efektif.

(8)

Keuntungan:

1. Dapat diukur dampak subsidi terhadap produksi, produktivitas dan kesejahteraan petani;

2. Dampak diukur pengaruh birokrasi pemerintah daerah, kearifan lokal, agroekosistem terhadap produksi dan produktivitas;

3. Dapat diidentifikasi bentuk koptan yang bisa bekerja secara bisnis dan bekerja sama dengan petani anggota;

4. Hambatan faktor teknis dan intitusi (birokrasi) dapat dikurangi.

Kelemahan:

Subsidi terpusat menyebabkan ada wilayah yang tidak kebagian subsidi, bisa menimbulkan kecemburuan sosial. Namun hal ini dapat diatasi dengan memperluas subsidi dari tahun ke tahun (jika memungkinkan).

Referensi

Dokumen terkait

Disarankan kepada perusahaan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi keselamatan kerja dan membuat variasi yang baru dalam mengkomunikasikan keselamatan kerja,

Aksi ini dipicu oleh kebijakan pemerintah junta militer yang secara sepihak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sebesar dua kali lipat, dari 1500 kyat menjadi 3000 kyat

Dalam Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 2009 menyatakan bahwa dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani,

Implikasi dalam penelitian ini adalah pelatihan pembuatan Aerogenerator Sederhana yang diberikan kepada peserta didik kelas VIII B MTs Madani Alauddin Paopao ini memberikan dampak

Dengan demikian, bila di depan jendela tidak terdapat obstruction maka iluminasi dan daylight factor lebih besar sehingga ruangan cenderung lebih terang karena

Surat Izin Praktik selanjutnya disebut SIP adalah bukti tertulis yang diberikan kepada tenaga medis yang menjalankan praktik setelah memenuhi persyaratan sebagai pengakuan

atau lebih spesifik disebut sebagai eksekusi Pembayaran Uang melalui Pengadilan Negeri dalam prakteknya masing-masing memiliki keuntungan dan kelemahan.Seperti