• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM... HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI...

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM... HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI..."

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

ABSTRAK ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 8

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 8

1.4 Orisinalitas Penilaian ... 9 1.5 Tujuan Penelitian ... 10 1.5.1 Tujuan Umum ... 10 1.5.2 Tujuan Khusus ... 10 1.6 Manfaat Penulisan ... 11 1.6.1 Manfaat Teoritis ... 11 1.6.2 Manfaat Praktis ... 12

(2)

1.7 Landasan Teoritis ... 12

1.8 Metode Penelitian... 21

1.8.1 Jenis Penelitian ... 21

1.8.2 Jenis Pendekatan ... 22

1.8.3 Sumber Bahan Hukum ... 22

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 24

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ... 24

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KONSTITUSIONALITAS, HAK WARGA NEGARA DALAM NEGARA HUKUM DEMOKRASI, PEMILIHAN KEPALA DAERAH DAN SENGKETA HASIL PEMILIHAN KEPALA DAERAH 2.1 Konstitusi dan Konstitusionalitas ... 26

2.2 Hak Warga Negara dalam Negara Hukum Demokrasi ... 28

2.3 Pemilihan Umum ... 30

2.3.1 Jenis-Jenis Pemilihan Umum di Indonesia ... 34

2.3.2 Pemilihan Kepala Daerah ... 35

2.4 Pengertian Sengketa Hasil Pemilihan Umum ... 38

(3)

BAB III ANALISA KONSTITUSIONALITAS DAN PRINSIP

DEMOKRASI DALAM PEMBATASAN SELISIH

PEROLEHAN SUARA DALAM PERMOHONAN

PEMBATALAN PENETAPAN HASIL PEMILIHAN KEPALA DAERAH

3.1 Konstitusionalitas Pasal 158 UU Pilkada ... 43

3.2 Kesesuaian Pembatasan Selisih Perolehan Suara Dalam

Permohonan Pembatalan Penetapan Hasil Pemilihan

Kepala Daerah Dengan Prinsip Demokrasi ... 55

BAB IV UPAYA HUKUM ATAS

PELANGGARAN-PELANGGARAN DALAM PEMILIHAN KEPALA

DAERAH YANG MEMPENGARUHI HASIL

PEROLEHAN SUARA

3.1 Upaya Hukum Bagi Peserta Pemilihan Kepala Daerah

Atas Pelanggaran Yang Mempengaruhi Hasil Perolehan

Suara Pemilihan Kepala Daerah... 65

3.2 Latar Belakang Adanya Pembatasan Selisih Perolehan

Suara Dalam Permohonan Pembatalan Penetapan Hasil

Pemilihan Kepala Daerah ... 72

BAB V PENUTUP

5.1 Simpulan ... 78

5.2 Saran ... 79

(4)

ABSTRACT

Name : Luh Gede Mega Karisma Section : Constitutional Law

Title : The Constitutionality of the Restriction of the Difference Acquisition of Votes in Requesting Cancellation of Determination of the Results of Local Elections in the Context of Democratic Rights of Citizens

The authority of the Constitutional Court to decide disputes concerning the results of the local elections comes into the spotlight lately. One of them is the provision on the limitation of the difference of votes to be able to apply for the cancellation of the determination of the results of the vote count stipulated in Article 158 of the Local Election Act. The core contains provisions regarding the determination of the terms of cancellation petition vote count results of the local elections can only be submitted to the Constitutional Court if the difference in the vote matches to the percentage margin which is determined by the population of a province or regency/city. It gives the impression of restriction of the democratic rights of citizens and does not provide legal certainty to the participants of the election. By not obtaining the legal certainty means that the provisions of Article 158 of the Local Election Act is contrary to the mandate of Article 28D (1) The Constitution 1945. Therefore, further research needs to be done about the substance of Article 158 of the Local Election Act as well as in-depth analysis on the suitability of such provision to Article 28D (1) The Constitution 1945 and democratic principles. The type of research used in this study is a normative legal research. The approach used is the statute and conceptual approaches.

The quantitative restriction on the difference of vote result in requesting cancellation of determination of local election result in Article 158 of Local Election Act means that in the case of application for the cancellation of the determination of the results of the local elections the applicant must first pay attention to the terms of the percentage margin which is then compared to the population in the areas concerned. It narrows down the change of election participant applicant in constitutional court. If there are suspected violations of the local elections that are structured, systematic and massive, those who are seeking for justice court can’t bring it to the court to prove it. This restriction is also contrary to the provisions of Article 28D (1) The Constitution 1945 which emphasizes the provision of legal certainty for everyone, including legal certainty and fairness for the participants of the local elections that find violations and election fraud which are structured, systematic and massif. Article 158 Local Election Act also certainly overrides right of the local election participants to get justice in democracy.

Keywords: The Constitutionality, Restriction of the Difference Acquisition of Votes, and Democracy.

(5)

ABSTRAK Nama : Luh Gede Mega Karisma

Bagian : Hukum Tata Negara

Judul : Konstitusionalitas Pembatasan Selisih Perolehan Suara Dalam Permohonan Pembatalan Penetapan Hasil Pemilihan Kepala Daerah Dalam Konteks Hak Demokrasi Warga Negara

Kewenangan MK dalam memutus perselisihan tentang hasil pemilihan kepala daerah akhir-akhir ini menjadi sorotan. Salah satunya adalah adanya ketentuan tentang pembatasan selisih perolehan suara untuk dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara yang diatur dalam Pasal 158 UU Pilkada. Ketentuan tersebut intinya memuat mengenai syarat permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah hanya dapat diajukan ke MK apabila selisih suaranya sesuai dengan persentase selisih suara yang ditentukan berdasarkan jumlah penduduk suatu provinsi atau kabupaten/kota. Hal ini terkesan membatasi hak-hak demokrasi warga negara serta tidak memberikan kepastian hukum yang adil terhadap para peserta pemilihan. Dengan tidak diperolehnya kepastian hukum yang adil berarti ketentuan dalam Pasal 158 UU Pilkada tersebut bertentangan dengan amanat dari Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian lebih mendalam mengenai substansi dari Pasal 158 UU Pilkada serta analisa mendalam mengenai kesesuaian ketentuan tersebut dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 dan prinsip demokrasi. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual.

Pembatasan selisih perolehan suara secara kuantitatif dalam pengajuan permohonan pembatalan penetapan hasil pemilihan kepala daerah dalam Pasal 158 UU Pilkada bermakna bahwa dalam hal pengajuan permohonan mengenai pembatalan penetapan hasil pemilihan kepala daerah harus terlebih dahulu memperhatikan syarat-syarat persentase selisih suara yang kemudian dibandingkan dengan jumlah penduduk dalam daerah yang bersangkutan. Hal tersebut memperkecil kesempatan para peserta pemilihan dalam melakukan upaya hukum di MK. Sehingga apabila diduga terdapat pelanggaran pemilihan kepala daerah yang bersifat terstruktur, sistematif fan massif, para pencari keadilan tidak dapat melakukan upaya pengadilan untuk membuktikannya. Pembatasan ini juga bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 yang mengedepankan pemberian kepastian hukum yang adil bagi setiap orang termasuk kepastian hukum yang adil dan keadilan bagi para peserta pemilihan kepala daerah yang menemukan pelanggaran dan kecurangan pemilihan yang bersifat terstruktur, sistematis dan massif. Pasal 158 UU Pilkada juga sudah barang tentu telah mengesampingkan hak asasi yang dimiliki oleh peserta pemilihan kepala daerah untuk memperoleh keadilan dalam demokrasi.

Kata Kunci: Konstitusionalitas, Pembatasan Selisih Perolehan Suara, dan Demokrasi

(6)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan negara yang merdeka pada 17 Agustus 1945.

Setelah merdeka telah disahkan suatu konstitusi tertulis dalam hal ini adalah

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya

disebut UUD NRI 1945) yang kemudian dijadikan sebagai landasan

konstitusional negara Indonesia. Seiring dengan terjadinya perubahan tata

kehidupan bermasyarakat, landasan konstitusional tersebut pun kerap kali

dilakukan perubahan atau yang biasa disebut dengan amandemen. Sejak Indonesia

merdeka hingga saat ini tercatat bahwa UUD NRI 1945 telah dilakukan

amandemen sebanyak empat kali. Hal ini karena mengikuti perkembangan zaman

serta masyarakat Indonesia yang mulai peka tehadap hukum. Salah satu

perubahan yang terlihat pada amandemen ketiga dalam batang tubuh UUD NRI

1945 yakni Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia ialah negara hukum”.

Menurut Philipus M Hadjon dalam buku Iriyanto A. Baso Ence

menyatakan bahwa, jika disimpulkan Indonesia adalah negara hukum,

pertama-tama hendaknya dirumuskan terlebih dahulu isi konsep negara hukum.1 Dari segi

terminologi ditemukan beberapa penamaan atau sebutan tentang negara hukum.

Misalnya di Indonesia biasa disebut dengan istilah negara hukum proklamasi,

negara hukum Pancasila, negara hukum Indonesia. Alasan yang menggunakan

1 Iriyanto A. Baso Ence, 2008, Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah

Konstitusi (Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi), Cetakan ke-1, P.T. Alumni,

(7)

istilah tentang negara hukum proklamasi, dilatarbelakangi dengan pemikiran

bahwa Indonesia lahir sebagai suatu negara merdeka setelah adanya proklamasi

17 Agustus 1945. Bagi yang menggunakan istilah negara hukum Pancasila,

alasannya oleh karena negara Republik Indonesia yang di dirikan pada hari

proklamasi 17 Agustus 1945 didudukkan atas Pancasila sebagai dasar negara,

ideologi negara dan falsafah hidup bangsa. Kemudian yang menggunakan istilah

negara hukum Indonesia, alasannya oleh karena sejak Indonesia berdiri sebagai

suatu negara merdeka, telah ditegaskan dalam UUD NRI 1945 sebagai negara

hukum.2 Negara Indonesia sebagai negara hukum (rechsstaat), bukan negara

kekuasaan (machsstaat), di dalamnya terkandung pengertian adanya pengakuan

terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya pemisahan dan

pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam UUD

NRI 1945, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang

menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta menjamin keadilan,

kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum bagi setiap orang, termasuk terhadap

penyalahgunaan kewenangan oleh pihak yang berkuasa.3

Selain adanya pernyataan Indonesia sebagai negara hukum, amandemen

UUD NRI 1945 juga telah menghasilkan beberapa perubahan struktural dalam

bidang format kelembagaan negara.4 Format kelembagan lembaga yang dimaksud

diantaranya yakni dengan dibentuknya lembaga baru yang disebut Mahkamah

Konstitusi (selanjutnya disebut MK). MK merupakan lembaga peradilan sebagai

2 Nurul Qamar, 2014, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, Cetakan

Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 22

3 Iriyanto A. Baso Ence, Op.cit, hal. 17

4 Jimly Asshiddiqie, 2005, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan

(8)

salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, disamping Mahkamah Agung, yang

dibentuk melalui perubahan ketiga UUD NRI 1945, sebagaimana ditetapkan pada

Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2001, tanggal 9

November 2001. Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan

bahwa: “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. MK

berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat

final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus

sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh

undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan

hasil pemilu dan wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan

Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden

sebagaimana termuat dalam Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945.

Apabila dicermati, salah satu wewenang MK adalah untuk memutus

perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Namun yang perlu mendapat

perhatian yaitu ketika perselisihan hasil pemilihan umum definisinya disamakan

dengan perselisihan tentang hasil pemilihan kepala daerah yang dapat masuk

dalam ranah kewenangan MK. Padahal, pemilihan umum dan pemilihan kepala

daerah diatur secara terpisah oleh UUD NRI 1945. Penyelenggaraan pemilihan

umum diatur dalam Pasal 22E ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakaan bahwa “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan

(9)

yaitu untuk memilih lembaga-lembaga negara yang tercantum dalam pasal

tersebut. Sementara itu, pemilihan kepala daerah diatur dalam ketentuan yang

berbeda yakni pada Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 yang menyatakan “Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,

kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”. Namun, oleh karena saat ini

lembaga peradilan khusus untuk penyelesaian perkara perselisihan hasil pemilihan

kepala daerah belum dibentuk maka perselisihan tersebut diperiksa dan diadili

oleh MK sampai dibentuknya badan peradilan khusus. Ketentuan mengenai

pembentukan badan peradilan khusus ini diatur dalam Pasal 157 Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi

Undang-Undang (selanjutnya disebut UU Pilkada).

Kewenangan MK dalam memutus perselisihan tentang hasil pemilihan

kepala daerah akhir-akhir ini menjadi sorotan. Salah satunya adalah adanya

ketentuan tentang pembatasan selisih perolehan suara untuk dapat mengajukan

permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara yang diatur dalam

Pasal 158 ayat (1) dan (2) UU Pilkada.

Pasal 158 ayat (1) pada intinya menyatakan bahwa Peserta pemilihan

gubernur dan wakil gubernur dapat mengajukan permohonan pembatalan

(10)

Tabel 1.

Persentase Pengajuan Permohonan Pembatalan Penetapan Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur

Jumlah Penduduk (Jiwa)

Persentase Selisih Suara (Paling Banyak)

≤ 2.000.0000 2%

>2.000.000 - 6.000.000 1,5%

>6.000.000 - 12.000.000 1%

>12.000.000 0,5%

Sumber: Pasal 158 ayat (1) UU Pilkada

Pasal 158 ayat (2) pada intinya menyatakan bahwa Peserta pemilihan Bupati dan

Wakil serta Walikota dan Wakil Walikota dapat mengajukan permohonan

pembatalan penetapan hasil penghitungan suara sebagai berikut:

Tabel 2.

Persentase Pengajuan Permohonan Pembatalan Penetapan Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta

Walikota dan Wakil Walikota Jumlah Penduduk

(Jiwa)

Persentase Selisih Suara (Paling Banyak)

≤ 250.000 2%

>250.000 - 500.000 1,5%

>500.000 - 1.000.000 1%

>1.000.000 0,5%

Sumber: Pasal 158 ayat (2) UU Pilkada

Ketentuan-ketentuan tersebut pada intinya memuat mengenai syarat

permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara pemilihan kepala

daerah hanya dapat diajukan ke MK apabila selisih suaranya sesuai dengan

persentase selisih suara yang ditentukan berdasarkan jumlah penduduk suatu

provinsi atau kabupaten/kota. UU Pilkada tersebut membatasi hak-hak demokrasi

(11)

pula mengabaikan pelanggaran-pelanggaran pemilihan kepala daerah yang

berpengaruh terhadap perolehan suara pemilihan kepala daerah.

Ketentuan tersebut secara tekstual berarti, sebagai contoh pada Pasal 158

ayat (1) huruf a: penduduk provinsi dalam jumlah paling banyak 2.000.000 (dua

juta) jiwa, dapat mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilihan kepala

daerah kepada MK tentang pembatalan penetapan hasil pemilihan gubernur dalam

provinsi tersebut apabila terdapat perbedaan selisih suara antara pasangan calon

gubernur peraih suara terbanyak dengan paslon yang hendak mengajukan

permohonan adalah paling banyak sebesar 2% (dua persen) dari total suara sah

hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan

Umum Provinsi sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah.

Menurut Ketua MK, Arief Hidayat dalam artikel yang berjudul “Inilah

Data Terbaru Soal Sengketa Pilkada di MK” menyatakan bahwa batas waktu 45

hari penyelesaian sengketa perselisihan hasil pemilihan kepala daerah yang masuk

ke MK dari hasil pemilihan kepala daerah serentak 2015, persis berakhir Senin

pada 7 Maret 2015. Dalam batas waktu tersebut, MK kata Arief, berhasil

menyelesaikan 151 perkara yang masuk dari 136 daerah yang mengajukan

permohonan. Dengan rincian 34 perkara tidak dapat diterima karena melampaui

batas waktu pengajuan permohonan, 94 perkara melampaui batas selisih

perolehan suara dan 7 perkara ditolak karena gugatan diajukan bukan oleh

(12)

dilakukan pemungutan suara ulang di lima daerah dan saat ini masih dalam proses

tiga perkara. Hal ini dikarenakan pemilihannya dilakukan menyusul.5

Berdasarkan wacana tersebut dapat diketahui bahwa perkara yang tidak

diterima MK mengenai perselisihan tentang hasil pemillihan kepala daerah

jumlahnya mencapai angka 94 perkara dari 151 perkara yang masuk ke MK

dikarenakan masalah pembatasan selisih perolehan suara pemilihan kepala daerah

serentak pada tahun 2015. Hal ini mengindikasikan bahwa pembatasan selisih

perolehan suara dapat menjadi kendala pasangan calon kepala daerah dalam

memperoleh kepastian hukum dan keadilan terkait dengan

pelanggaran-pelanggaran pemilihan kepala daerah yang berpengaruh terhadap perolehan suara

pemilihan kepala daerah. Serta dengan ketentuan tersebut pula demokrasi di

Indonesia telah dicederai. Ketentuan ini mencederai demokrasi, dikarenakan

dengan adanya pembatasan tersebut akan berarti memperkecil kesempatan peserta

pemilihan kepala daerah untuk membuktikan kecurangan-kecurangan pemilihan

kepala daerah di pengadilan. Dengan kecilnya kesempatan tersebut berpengaruh

terhadap kepala daerah terpilih yang memeroleh suara terbanyak diduga karena

kecurangan dalam pemilihan kepala daerah.

Selain itu, dengan tidak diperolehnya kepastian hukum dan keadilan dalam

hal pemilihan kepala daerah berarti ketentuan dalam Pasal 158 UU Pilkada

tersebut bertentangan dengan amanat dari Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945

yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,

perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di

5Anonim, 2016, “Inilah Data Terbaru Soal Sengketa Pilkada di MK”,

http://www.jpnn.com/read/2016/03/08/361939/Inilah-Data-Terbaru-soal-Sengketa-Pilkada-di-MK-, diakses tanggal 2 Nopember 2016.

(13)

hadapan hukum”. Ketentuan ini berarti setiap orang termasuk para peserta

pemilihan kepala daerah berhak memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan

dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Maka dari itu, Skripsi ini ditulis dengan judul “Konstitusionalitas Pembatasan

Selisih Perolehan Suara dalam Permohonan Pembatalan Penetapan Hasil

Pemilihan Kepala Daerah dalam Konteks Hak Demokrasi Warga Negara”

1.2 Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi pokok permasalahan yang terdapat dalam latar

belakang di atas adalah sebagai berikut:

1.2.1 Apakah pembatasan selisih perolehan suara dalam permohonan

pembatalan penetapan hasil pemilihan kepala daerah bertentangan dengan

konstitusi dan prinsip demokrasi?

1.2.2 Apakah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh peserta pemilihan kepala

daerah untuk mendapatkan keadilan atas pelanggaran yang dapat

mempengaruhi hasil perolehan suara?

1.3 Ruang Lingkup

Dalam mendekatkan permasalahan untuk menghindari pembahasan

menyimpang dari pokok permasalahan, diberikan batasan-batasan mengenai ruang

lingkup permasalahan yang akan dibahas. Mengingat banyaknya permasalahan

yang terdapat dalam UU Pilkada maka permasalahan yang akan dibahas, yaitu

mencangkup konstitusionalitas Pasal 158 tentang pembatasan selisih perolehan

suara dalam permohonan pembatalan penetapan hasil pemilihan kepala daerah

(14)

1.4 Orisinalitas Penelitian

Penulisan ini merupakan karya tulis asli penulis sehingga dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Untuk memperlihatkan

orisinalitas dari penulisan ini maka dapat dibandingkan pembedaannya dengan

tulisan terdahulu yang sejenis, yaitu sebagai berikut:

Table 3.

Perbandingan Skripsi Sejenis

No. Judul Skripsi Penulis Permasalahan

1 Penerapan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota David Pandapotan Simanjuntak, Fakultas Hukum, Universitas Lampung, Tahun 2016 1. Bagaimanakah penerapan dan implikasi pasal 158 UU No.8 Tahun 2015 terhadap sengketa pemilihan kepala daerah secara serentak? 2 Kajian Yuridis Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Penyelesaian Sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 97/PUU-XI/2013) Jevon Rainhard Berhitoe, Fakultas Hukum, Universitas Jember, Tahun 2015. 1. Apa Pertimbangan Hukum Mahkamah

Konstitusi pada putusan No. 97/PUU-XI/2013? 2. Apa akibat hukum

putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013 terhadap pemilihan umum kepala daerah?

(15)

1. Judul : Konstitusionalitas Pembatasan Selisih Perolehan Suara dalam

Permohonan Pembatalan Penetapan Hasil Pemilihan Kepala Daerah dalam

Konteks Hak Demokrasi Warga Negara

2. Penulis : Luh Gede Mega Karisma

3. Tempat : Fakultas Hukum Universitas Udayana

4. Tahun : 2017

Terhadap skripsi sejenis tersebut indikator pembeda yang dapat diuraikan adalah

bahwa yang menjadi permasalahan pada penulisan ini, yaitu:

1. Apakah pembatasan selisih perolehan suara dalam permohonan

pembatalan penetapan hasil pemilihan kepala daerah bertentangan dengan

konstitusi dan prinsip demokrasi?

2. Apakah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh peserta pemilihan kepala

daerah untuk mendapatkan keadilan atas pelanggaran yang terjadi selama

proses pemilihan kepala daerah?

1.5 Tujuan Penelitian

Bertitik tolak dari latar belakang masalah dan rumusan masalah diatas

maka tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:

1.5.1 Tujuan Umum

Adapun tujuan umum dari penulisan ini adalah untuk memahami bahwa

terjadi pertentangan norma yang terdapat dalam substansi Pasal 158 UU

Pilkada dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 terkait dengan

kepastian hukum yang adil serta kaitan pembatasan dalam Pasal 158 UU

(16)

1.5.2 Tujuan Khusus

Sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengkaji dan mendeskripsikan terkait pembatasan selisih

perolehan suara dalam permohonan pembatalan penetapan hasil

pemilihan kepala daerah bertentangan dengan konstitusi dan prinsip

demokrasi.

2. Untuk mengkaji dan mendeskripsikan terkait upaya hukum yang dapat

dilakukan oleh para peserta pemilihan kepala daerah untuk

mendapatkan keadilan atas pelanggaran yan gterjadi selama proses

pemilihan kepala daerah.

1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi

dan kontribusi dalam aspek teoritis (keilmuan) serta juga diharapkan dapat

menjadi referensi untuk penelitian-penelitian di bidang hukum tata Negara

khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan hukum pemilihan umum.

Sehingga, melalui penelitian ini dapat dilihat perkembangan ilmu

pengetahuan dalam bidang hukum tata negara, khususnya mengenai

makna kepastian hukum dalam suatu negara hukum dan hak seseorang

sebagai pribadi dihadapan hukum sesuai dengan UUD NRI 1945 serta

mengenai prinsip-prinsip demokrasi yang dimiliki oleh Negara Indonesia

(17)

1.6.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan sebagai bahan acuan,

pertimbangan, perbandingan, dan penyempurnaan bagi penelitian

selanjutnya dalam rangka meningkatkan perhatian dan pengetahuan

masyarakat terhadap nilai kepastian hukum dan hak masyarakat sebagai

pribadi di hadapan hukum dan hak demokrasi.

1.7 Landasan Teoritis

Untuk membahas permasalahan yang telah dipaparkan secara lebih

mendalam, perlu kiranya dikemukakan teori, konsep atau landasan-landasan

terhadap permasalahan tersebut yang didasarkan pada literatur-literatur yang

dimungkinkan untuk menunjang pembahasan permasalahan yang ada. Dengan

adanya teori-teori yang menunjang, diharapkan dapat memperkuat, memperjelas

dan mendukung untuk penyelesaian permasalahan yang dikemukakan dalam

penelitian ini. Adapun teori-teori yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi

teori negara hukum dan demokrasi, teori konstitusi, dan teori jenjang norma

hukum negara. Dalam hal berlakunya hukum suatu undang-undang tidak dapat

dihindari adanya penafsiran karena hukum tertulis tidak dapat dengan mudah

untuk mengikuti perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Dalam pembentukan

suatu undang-undang tidak jarang terjadi norma konflik, norma kosong dan norma

kabur sehinnga perlu melakukan penafsiran hukum.

1. Teori Negara Hukum dan Demokrasi

Ide negara hukum berkembang secara bertahap dalam rentang waktu yang

(18)

atau sekitar 500 tahun sebelum Masehi oleh Yunani Kuno merupakan bukti

sejarah bahwa ide (gagasan) negara hukum sungguh-sungguh merupakan produk

hukum sejarah. Sepanjang dapat diketahui, ide negara hukum pertama kali

dikenalkan oleh Plato, seorang ahli pikir bangsa Yunani, dalam karyanya Politea

(the Republic), Politicos (the Stateman) dan Nomoi (the Law).6 Plato menulis

dalam “Republik” nya bahwa negara timbul karena adanya kebutuhan dari umat

manusia. Tiada manusia yang dapat memenuhi kebutuhannya sendiri (manusia

yang autarkis), sedangkan masing-masing manusia mempunyai banyak

kebutuhan.7 Kemudian, dalam Nomoi Plato mengemukakan bahwa

penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan

(hukum) yang baik.8

Negara atau pemerintah (dalam arti luas) dalam konsep negara hukum

selajutnya harus menjamin tertib hukum (rechtsorde), menjamin tegaknya hukum,

yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum.9 Demi menjamin

penegakan hukum dan tercapainya keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan

hukum dalam suatu sistem hukum, tidak bisa tidak. Sistem hukum ini menjadi

materi muatan dari kostitusi.10

Di sisi lain, suatu negara hukum yang mencita-citakan keadilan

berdasarkan prinsip persamaan dihadapan hukum tidak dapat terwujud tanpa

adanya demokrasi. Negara hukum tanpa demokrasi akan menjadi negara

6 Hotma P. Sibuea, 2010, Asas Negara Hukum dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang

Baik, Erlangga, Jakarta, hal. 11

7 F. Isjwara, 1982, Pengantar Ilmu Politik, Offset Angkasa, Bandung, hal. 164 8

Ridwan HR, 2002, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 2

9 Iriyanto A. Baso Ence, Op.cit, hal. 18. 10 Iriyanto, Op.cit, hal. 19

(19)

otoritarian yang menindas hak asasi manusia dan tidak memiliki pembatasan

kekuasaan sehingga mengingkari makna sesungguhnya dari negara hukum itu

sendiri. Karena itu, negara hukum secara ideal harus merupakan negara hukum

yang demokratis (democratic rule of law atau democratische rectsstaat). Hukum

harus dibuat secara demokratis dan merefleksikan nilai-nilai demokratis.11

John Forejohn dan Pasquale Pasquino dalam buku Janedjri M. Gaffar

mengilustrasikan bahwa negara hukum dan demokrasi sebagai dua hal yang selalu

dicita-citakan oleh suatu negara yang sedang dalam masa transisi dari otoritarian

sehingga menunjukkan bahwa keduanya dapat dicapai secara simultan. Negara

hukum dalam konteks demokrasi tidak hanya berarti bahwa pemerintah bekerja

menurut dan melalui aturan-aturan yang mengikat, tetapi lebih dari itu, bahwa

rakyat harus dapat mengawasi secara pasti hukum yang akan berlaku dengan

segala macam konsekuensinya, termasuk memastikan bahwa aturan hukum yang

berlaku tidak melanggar hak dan prinsip dasar tertentu.12

Demokrasi telah dikenal dan mejadi fokus studi sejak lama, bahkan sejak

munculnya istilah demokrasi itu sendiri. Hal ini telah melahirkan berbagai macam

pengertian dan model demokrasi yang dipraktikkan di berbagai negara. Pada

tahun 1926, Mac Iver sudah menyatakan bahwa semua negara modern saat itu

dapat dikatagorikan sebagai negara demokrasi, namun tidak ada yang memiliki

karakter sama. Karena itu, demokrasi dipahami sebagian sebagai peringkat atau

11

Janedjri M. Gaffar, 2013, Demokrasi dan Pemilu di Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, (selanjutnya disingkat Janedjri M. Gaffar I) hal. 62

12

(20)

derajat dan sebagian lagi ada yang memahami sebagai mekanisme tertentu melalui

mana kehendak umum diekspresikan.13

Dalam berbagai literatur, demokrasi dipahami sebagai salah satu bentuk

pemerintahan yang berakar pada klasifikasi Aristoteles yang dibuat berdasarkan

jumlah dan sifat pemegang kekuasaan negara.14 Terminologi demokrasi lahir dari

terjemahan kata “demos” dan “cratein” yang berasal dari bahasa Yunani. Demos

artinya rakyat, cratein artinya pemerintahan. Jadi secara harfiah demokrasi dapat

diartikan pemerintahan rakyat. Pemerintahan yang dikehendaki oleh rakyat,

dijalankan oleh dan untuk rakyat. Demokrasi menghendaki agar pemerintahan itu

dijalankan berdasar atas kehendak rakyat karena hakikatnya rakyatlah pemegang

kekuasaan dalam suatu negara.15 Prof. Miriam Budiardjo, mengemukakan bahwa:

kita mengenal bermacam-macam istilah demokrasi. Ada yang dinamakan

demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer dan lain-lain yang semuanya

memaknai istilah demokrasi yang bersumber dari asal katanya yakni rakyat

berkuasa atau government by people.16

Teori pendukung dari paham demokrasi bermula dari teori kontrak sosial,

kemudian berkembang dengan teori kedaulatan rakyat dan berlanjut dengan teori

negara hukum demokrasi.17 Teori kontrak sosial menghendaki hubungan antara

raja (penguasa) dan rakyat didasari oleh suatu kontrak yang yang mengikat kedua

belah pihak. Bahwa rakyat akan taat kepada penguasa sepanjang hak-hak

13 Ibid, hal. 12. 14 Ibid, hal. 14

15 Nurul Qamar, Op. cit. hal. 20 16 Nurul Qamar, Loc.cit. 17 Nurul Qamar, Loc.cit

(21)

alaminya (natural rights) dipenuhi oleh penguasa. Hak-hak natural inilah dalam

perkembangannya disebut sebagai hak asasi manusia.18

Lebih lanjut Prof. Miriam dalam bukunya Nurul Qamar, mengemukakan

bahwa diantara sekian banyak aliran yang dinamakan demokrasi, terdapat dua

kelompok yang penting yaitu: (1) Aliran demokrasi konstitusional dan (2) Aliran

kelompok demokrasi. Aliran demokrasi konstistusional adalah kelompok

demokrasi yang kekuasaan pemerintahan dijalankan berdasarkan hukum yang

tertuang dalam suatu konstitusi. Sedangkan aliran kelompok demokrasi adalah

aliran yang menyatakan pemerintahan demokrasi akan tetapi pada hakikatnya

mendasarkan kekuasaan pemerintahan menurut paham sosialis atau komunis.19

Teori negara hukum dan demokrasi ini dipergunakan untuk melihat

pentingnya menjamin suatu tertib hukum yaitu keadilan, kepastian hukum, dan

kemanfaatan hukum dalam suatu negara yang berdasarkan atas hukum serta

menjelaskan bahwa dalam suatu negara hukum yang menganut paham dan

prinsip-prinsip demokrasi dalam pemerintahannya maka juga harus

memperhatikan hak-hak demokrasi warga negaranya.

2. Teori Konstitusi

Konstitusi (constitutio) dalam negara adalah sebuah norma sistem politik

dan hukum bentukan pada pemerintahan negara biasanya dikodifikasikan sebagai

dokumen tertulis. Dalam kasus bentukan negara, konstitusi memuat aturan dan

prinsip-prinsip entitas politik dan hukum, istilah ini merujuk secara khusus untuk

menetapkan konstitusi nasional sebagai prinsip dasar politik,

18 Nurul Qamar, Op.cit, hal. 69 19 Nurul Qamar, Op.cit, hal. 71

(22)

prinsip dasar hukum termasuk dalam bentukan struktur, prosedur, wewenang dan

kewajiban pemerintahan negara pada umumnya, Konstitusi umumnya merujuk

pada penjaminan hak kepada warga masyarakatnya. Istilah konstitusi dapat

diterapkan kepada seluruh hukum yang mendefinisikan fungsi pemerintahan

negara.20 Konstitusi sebagai hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam

penyelenggaraan suatu negara dapat berupa konstitusi tertulis dan konstitusi tidak

tertulis. Dalam hal konstitusi terstulis, hampir semua negara di dunia memilikinya

yang lazim disebut undang-undang dasar yang pada umumnya mengatur

mengenai pembentukan, pembagian wewenang dan cara bekerja berbagai lembaga

kenegaraan serta perlindungan hak asasi manusia.

Dalam sejarahnya di dunia barat, konstitusi dimaksudkan untuk

menentukan batas wewenang penguasa, menjamin hak rakyat dan mengatur

jalannya pemerintahan. Dengan kebangkitan paham kebangsaan sebagai kekuatan

pemersatu, serta dengan kelahiran demokrasi sebagai paham politik yang

progresif dan militan, konstitusi menjamin alat rakyat untuk konsolidasi

kedudulan hukum dan politik, untuk mengatur kehidupan bersama dan untuk

mencapai cita-citanya dalam bentuk negara. Berhubung dengan itu, konstitusi di

zaman modern tidak hanya memuat aturan-aturan hukum, tetapi juga merumuskan

atau menyimpulkan prinsip-prinsip hukum, haluan negara, dan patokan

kebijaksanaan, yang kesemuanya mengikat penguasa.21 Di dalam negara-negara

yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional, undang-undang dasar

mempunyai fungsi yang khas, yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian

20 Bagir Manan, 2003, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, hal. 23 21 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, dan Ni‟matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, 2010,

(23)

rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang.

Dengan demikian diharapkan hak-hak warga negara akan lebih terlindungi.

Gagasan ini dinamakan konstitusionalisme.22

Dalam perkembangan sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara,

konstitusi menempati posisi yang sangat penting. Pengertian dan materi muatan

konstitusi senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan peradaban

manusia dan organisasi kenegaraan. Kajian tentang konstitusi semakin penting

dalam negara-negara modern saat ini yang pada umumnya menyatakan diri

sebagai negara konstitusional. Dengan meneliti dan mengkaji konstitusi, dapat

diketahui prinsip-prinsip dasar kehidupan bersama dan penyelenggaraan negara

serta struktur organisasi suatu negara tertentu. Bahkan nilai-nilai konstitusi dapat

dikatakan mewakili tingkat peradaban suatu bangsa.

Leon Duguit mengatakan bahwa konstitusi bukanlah sekedar

undang-undang dasar yang memuat sejumlah/kumpulan norma-norma semata-mata, tetapi

struktur negara yang nyata-nyata terdapat dalam kenyataan masyarakat. Dengan

kata lain, konstitusi adalah faktor-faktor kekuatan yang nyata.23 Maurice Hauriou

berpendapat bahwa suatu institution tidak lain daripada hukum yang hidup dalam

masyarakat (social recht) yang merupakan penjelmaan kembali ide-ide yang baik

yang menjelma dalam kenyataan masyarakat (sociale werkelijkheid), yang

sebagian unsur-unsur normatifnya di-constateer dan di-abstraheer pembuat

undang-undang menjadi sutatu lembaga hukum (rechtstellingen).24 Lebih jauh

Herman Heller mengemukakan tiga pengertian konstitusi, yaitu: pertama,

22 Ibid, hal. 19

23 Iriyanto A. Baso Ence, Op.cit, hal. 21. 24 Iriyanto A. Baso Ence, Op.cit, hal. 22.

(24)

konstitusi adalah mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai

suatu kenyataan. Jadi, mengandung pengertian politis dan sosiologis; kedua,

konstitusi merupakan suatu kesatuan kaidah hukum yang hidup dalam

masyarakat. Jadi, mengandung pengertian yuridis; ketiga, konstitusi yang ditulis

dalam suatu naskah sebagai undang-undang tertinggi, yang berlaku dalam suatu

negara.25 Pendapat Leon Duguit, Maurice Hauriou dan Hermann Heller tersebut

memperlihatkan bahwa konstitusi bukanlah sekadar dokuen yang memuat

sejumlah norma-norma semata, tetapi konstitusi merupakan suatu kesatuan kaidah

hukum yang hidup dalam masyarakat, dan sebagai suatu institution tidak lain dari

pada hukum yang hidup dalam masyarakat (social recht) merupakaan penjelmaan

kembali ide-ide yang baik yang menjelma dalam kenyataan dalam masyarakat,

serta faktor-faktor kekuatan yang nyata yang terdapat dalam masyarakat yang

bersangkutan.26

Teori ini dipergunakan untuk memperkuat pandangan bahwa kedudukan

konstitusi dalam suatu negara hukum bersifat fundamental norm yang merupakan

norma hukum fundamental yang dijadikan pedoman atau dasar dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan yang ada dibawahnya.

3. Teori Jenjang Norma Hukum Negara

Hans Kelsen mengemukakan teori jenjang hukum (Stufentheorie). Dalam

teori tersebut Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu

berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan) dalam

arti suatu norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma

25 Iriyanto A. Baso Ence, Loc.cit. 26 Iriyanto A. Baso Ence, Loc.cit.

(25)

yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak

dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu Norma Dasar

(Grundnorm). Norma Dasar merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma

tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi Norma

Dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai Norma Dasar yang

merupakan gantung an bagi norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga

suatu Norma Dasar itu dikatakan pre-supposed.27

Kemudian, Hans Nawiasky, salah seorang murid Hans Kelsen

mengembangkan teori gurunya tentang jenjang norma dalam kaitannya dengan

suatu negara. Hans Nawiasky mengatakan suatu norma hukum dari negara

manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. Norma yang di bawah

berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih

tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada suatu norma yang tertinggi yang

disebut Norma Dasar. Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu

berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga

berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara

itu terdiri atas empat kelompok besar antara lain:28

Kelompok I : Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara);

Kelompok II : Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Aturan Pokok Negara);

Kelompok III : Formell Gesetz (Undang-Undang „Formal‟);

Kelompok IV : Verordnung & Autonome Satzung (Aturan

pelaksana/Aturan otonom)

27 Maria Farida Indrati S., 2010, Ilmu Perundang-Undangan 1 Jenis Fungsi dan Materi

Muatan, Kanisius, Yogyakarta, hal. 41

(26)

Teori jenjang norma hukum negara ini dipergunakan untuk bahan rujukan

untuk menganalisis konflik norma yang terjadi antara UU Pilkada dengan UUD

NRI 1945 dalam pembahasan penelitian ini.

1.8 Metode Penelitian

Untuk memperoleh informasi serta penjelasan mengenai segala sesuatu

yang berkaitan dengan pokok permasalahan diperlukan suatu pedoman penelitian

atau metode penelitian, hal ini dikarenakan bahwa dengan menggunakan metode

penelitian yang benar akan dapat mempermudah dalam melakukan penelitian

terhadap topik penelitian ini yang berkaitan dengan konstitusionalitas pembatasan

selisih perolehan suara dalam permohonan pembatalan penetapan hasil pemilihan

kepala daerah dalam konteks hak demokrasi warga negara. Adapun metode

penelitian yang digunakan, yaitu:

1.8.1 Jenis Penelitian

Dalam penyusunan penulisan ini jenis penelitian yang digunakan

adalah metode penelitian hukum normatif, penelitian hukum normatif juga

disebut penelitian hukum doktrin, juga disebut sebagai penelitian

perpustakaan atau studi dokumen. Disebut dengan penelitian hukum

normatif dan doktrin, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya

pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum lain.29

Dalam penelitian ini, penulis akan mengkaji secara mendalam pada

peraturan perundang-undangan terkait dan doktrin-doktrin hukum serta

sumber bahan hukum yang berhubungan dengan topik penelitian yaitu

29 Bambang Waluyo, 2008, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, hal.

(27)

tentang konstitusionalitas pembatasan selisih perolehan suara dalam

permohonan pembatalan penetapan hasil pemilihan kepala daerah dalam

konteks hak demokrasi warga negara.

1.8.2 Jenis Pendekatan

Jenis pendekatan yang digunakan adalah pendekatan

perundang-undangan (Statute Appproach) dan pendekatan analisis konsep hukum

(Analitical Conseptual Approach). Dalam metode pendekatan

perundang-undangan peneliti perlu memahami hierarki dan asas-asas dalam

peraturan perundang-undangan.30 Pendekatan perundang-undangan

digunakan karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang

menjadi fokus sekaligus tema sentral dalam penelitian ini yaitu

konstitusionalitas pembatasan selisih perolehan suara dalam permohonan

pembatalan penetapan hasil pemilihan kepala daerah dalam konteks hak

demokrasi warga negara, kemudian dilanjutkan dengan menganalisis

permasalahan tersebut sesuai dengan konsep-konsep hukum yang ada.

1.8.3 Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini

menggunakan tiga sumber bahan hukum, yaitu: sumber bahan hukum

primer, sumber bahan hukum sekunder, dan sumber bahan hukum tersier.

1. Sumber bahan hukum primer

Sumber bahan hukum primer terdiri atas asas-asas, kaidah hukum yang

dalam perwujudannya berupa undang-undang dasar, peraturan

30 Peter Mahmud Marzuki, 2014, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Cetakan ke-9, Prenada

(28)

perundang-undangan, dan putusan pengadilan. Adapun sumber-sumber

bahan hukum yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi

Undang-Undang;

3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan;

4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi

Manusia.

2. Sumber Bahan Hukum Sekunder

Sumber bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder

yang digunakan terdiri atas literatur-literatur yang relevan dengan

topik yang dibahas, baik literatur-literatur hukum yang ditulis oleh

para ahli yang berpengaruh, pendapat para sarjana, jurnal-jurnal

hukum atau karya tulis hukum yang berkaitan dengan topik penelitian

maupun literatur non hukum.

3. Sumber Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk

(29)

contohnya penggunaan Kamus Besar Bahasa Indonesia dan juga

internet.

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan adalah

teknik studi kepustakaan. Menurut Ronny Hanitijo S, yang dimaksud

dengan studi kepustakaan adalah mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori,

pandangan-pandangan atau penemuan-penemuan yang relevan dengan

jalan mempelajari buku-buku ilmiah yang ada hubungannya kitab

undang-undang, peraturan-peraturan dan bahan ilmiah.31 Pengumpulan bahan

hukum yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dilakukan dengan

cara membaca dan mencatat kembali bahan hukum seperti peraturan

perundang-undangan, buku-buku referensi atau buku-buku ilmiah yang

kemudian dikelompokkan secara sistematis yang berhubungan dengan

permasalahan dalam penulisan ini.

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

deskripsi, teknik analisis dan teknik argumentasi.

a. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat

dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap

suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non

hukum.32

31

Ronny Hanintijo Soemitro, 1986, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 23

32 Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum

(30)

b. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju

atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti

terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma,

keputusan, baik yang tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan

hukum sekunder.33

c. Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena

penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran

hukum. Dalam pembahasan permasalahan hukum makin banyak

argumen makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum.34

33 Ibid, hal. 77 34 Ibid.

(31)

Referensi

Dokumen terkait

DESKRIPSI UNIT : Unit kompetensi ini mencakup pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja penyuluh pertanian dalam melaksanakan pengelolaan kegiatan fasilitasi akses sumber

Dan dari 23 pasien (100%) seluruhnya menyatakan citra pelayanan tidak baik dan tidak mempunyai minat dalam menggunakan jasa pelayanan. Citra pelayanan dipengaruhi

Lembar kerja hasil penyelesaian perhitungan tegangan normal dan tegangan geser Ketepatan hasil penyelesain masalah / tugas 15 1,2,3,4,5 9-11 Menerapkan perangkat lunak

Berdasarkan kandungan fosil Foraminifera planktonik yakni dengan hadirnya Globorotalia acostaensis untuk pertama kalinya pada sampel PS2, di bagian atas Formasi Ledok,

Dari hasil analisis data dari pengujian hipotesis yang dilakukan maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah: 1) Terdapat pengaruh positif dan signifikan antara

Kebijakan Penilaian Kinerja Pegawai di Lingkungan Pemerintah Kota Bandung pada Dinas Penataan Ruang Kota Bandung Tahun 2017”..

Salah satu koperasi yang cukup berkembang di Indonesia adalah Koperasi Simpan Pinjam. Koperasi Simpan Pinjam adalah koperasi yang modalnya berdasarkan hasil dari

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 73 ayat 3 diatur mengenai pengusaha yang mempekerjakan pekerja perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan