DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... iv
KATA PENGANTAR ... v
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... ix
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiii
ABSTRAK ... xiv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 8
1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 8
1.4 Orisinalitas Penilaian ... 9 1.5 Tujuan Penelitian ... 10 1.5.1 Tujuan Umum ... 10 1.5.2 Tujuan Khusus ... 10 1.6 Manfaat Penulisan ... 11 1.6.1 Manfaat Teoritis ... 11 1.6.2 Manfaat Praktis ... 12
1.7 Landasan Teoritis ... 12
1.8 Metode Penelitian... 21
1.8.1 Jenis Penelitian ... 21
1.8.2 Jenis Pendekatan ... 22
1.8.3 Sumber Bahan Hukum ... 22
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 24
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ... 24
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KONSTITUSIONALITAS, HAK WARGA NEGARA DALAM NEGARA HUKUM DEMOKRASI, PEMILIHAN KEPALA DAERAH DAN SENGKETA HASIL PEMILIHAN KEPALA DAERAH 2.1 Konstitusi dan Konstitusionalitas ... 26
2.2 Hak Warga Negara dalam Negara Hukum Demokrasi ... 28
2.3 Pemilihan Umum ... 30
2.3.1 Jenis-Jenis Pemilihan Umum di Indonesia ... 34
2.3.2 Pemilihan Kepala Daerah ... 35
2.4 Pengertian Sengketa Hasil Pemilihan Umum ... 38
BAB III ANALISA KONSTITUSIONALITAS DAN PRINSIP
DEMOKRASI DALAM PEMBATASAN SELISIH
PEROLEHAN SUARA DALAM PERMOHONAN
PEMBATALAN PENETAPAN HASIL PEMILIHAN KEPALA DAERAH
3.1 Konstitusionalitas Pasal 158 UU Pilkada ... 43
3.2 Kesesuaian Pembatasan Selisih Perolehan Suara Dalam
Permohonan Pembatalan Penetapan Hasil Pemilihan
Kepala Daerah Dengan Prinsip Demokrasi ... 55
BAB IV UPAYA HUKUM ATAS
PELANGGARAN-PELANGGARAN DALAM PEMILIHAN KEPALA
DAERAH YANG MEMPENGARUHI HASIL
PEROLEHAN SUARA
3.1 Upaya Hukum Bagi Peserta Pemilihan Kepala Daerah
Atas Pelanggaran Yang Mempengaruhi Hasil Perolehan
Suara Pemilihan Kepala Daerah... 65
3.2 Latar Belakang Adanya Pembatasan Selisih Perolehan
Suara Dalam Permohonan Pembatalan Penetapan Hasil
Pemilihan Kepala Daerah ... 72
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan ... 78
5.2 Saran ... 79
ABSTRACT
Name : Luh Gede Mega Karisma Section : Constitutional Law
Title : The Constitutionality of the Restriction of the Difference Acquisition of Votes in Requesting Cancellation of Determination of the Results of Local Elections in the Context of Democratic Rights of Citizens
The authority of the Constitutional Court to decide disputes concerning the results of the local elections comes into the spotlight lately. One of them is the provision on the limitation of the difference of votes to be able to apply for the cancellation of the determination of the results of the vote count stipulated in Article 158 of the Local Election Act. The core contains provisions regarding the determination of the terms of cancellation petition vote count results of the local elections can only be submitted to the Constitutional Court if the difference in the vote matches to the percentage margin which is determined by the population of a province or regency/city. It gives the impression of restriction of the democratic rights of citizens and does not provide legal certainty to the participants of the election. By not obtaining the legal certainty means that the provisions of Article 158 of the Local Election Act is contrary to the mandate of Article 28D (1) The Constitution 1945. Therefore, further research needs to be done about the substance of Article 158 of the Local Election Act as well as in-depth analysis on the suitability of such provision to Article 28D (1) The Constitution 1945 and democratic principles. The type of research used in this study is a normative legal research. The approach used is the statute and conceptual approaches.
The quantitative restriction on the difference of vote result in requesting cancellation of determination of local election result in Article 158 of Local Election Act means that in the case of application for the cancellation of the determination of the results of the local elections the applicant must first pay attention to the terms of the percentage margin which is then compared to the population in the areas concerned. It narrows down the change of election participant applicant in constitutional court. If there are suspected violations of the local elections that are structured, systematic and massive, those who are seeking for justice court can’t bring it to the court to prove it. This restriction is also contrary to the provisions of Article 28D (1) The Constitution 1945 which emphasizes the provision of legal certainty for everyone, including legal certainty and fairness for the participants of the local elections that find violations and election fraud which are structured, systematic and massif. Article 158 Local Election Act also certainly overrides right of the local election participants to get justice in democracy.
Keywords: The Constitutionality, Restriction of the Difference Acquisition of Votes, and Democracy.
ABSTRAK Nama : Luh Gede Mega Karisma
Bagian : Hukum Tata Negara
Judul : Konstitusionalitas Pembatasan Selisih Perolehan Suara Dalam Permohonan Pembatalan Penetapan Hasil Pemilihan Kepala Daerah Dalam Konteks Hak Demokrasi Warga Negara
Kewenangan MK dalam memutus perselisihan tentang hasil pemilihan kepala daerah akhir-akhir ini menjadi sorotan. Salah satunya adalah adanya ketentuan tentang pembatasan selisih perolehan suara untuk dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara yang diatur dalam Pasal 158 UU Pilkada. Ketentuan tersebut intinya memuat mengenai syarat permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah hanya dapat diajukan ke MK apabila selisih suaranya sesuai dengan persentase selisih suara yang ditentukan berdasarkan jumlah penduduk suatu provinsi atau kabupaten/kota. Hal ini terkesan membatasi hak-hak demokrasi warga negara serta tidak memberikan kepastian hukum yang adil terhadap para peserta pemilihan. Dengan tidak diperolehnya kepastian hukum yang adil berarti ketentuan dalam Pasal 158 UU Pilkada tersebut bertentangan dengan amanat dari Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian lebih mendalam mengenai substansi dari Pasal 158 UU Pilkada serta analisa mendalam mengenai kesesuaian ketentuan tersebut dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 dan prinsip demokrasi. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual.
Pembatasan selisih perolehan suara secara kuantitatif dalam pengajuan permohonan pembatalan penetapan hasil pemilihan kepala daerah dalam Pasal 158 UU Pilkada bermakna bahwa dalam hal pengajuan permohonan mengenai pembatalan penetapan hasil pemilihan kepala daerah harus terlebih dahulu memperhatikan syarat-syarat persentase selisih suara yang kemudian dibandingkan dengan jumlah penduduk dalam daerah yang bersangkutan. Hal tersebut memperkecil kesempatan para peserta pemilihan dalam melakukan upaya hukum di MK. Sehingga apabila diduga terdapat pelanggaran pemilihan kepala daerah yang bersifat terstruktur, sistematif fan massif, para pencari keadilan tidak dapat melakukan upaya pengadilan untuk membuktikannya. Pembatasan ini juga bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 yang mengedepankan pemberian kepastian hukum yang adil bagi setiap orang termasuk kepastian hukum yang adil dan keadilan bagi para peserta pemilihan kepala daerah yang menemukan pelanggaran dan kecurangan pemilihan yang bersifat terstruktur, sistematis dan massif. Pasal 158 UU Pilkada juga sudah barang tentu telah mengesampingkan hak asasi yang dimiliki oleh peserta pemilihan kepala daerah untuk memperoleh keadilan dalam demokrasi.
Kata Kunci: Konstitusionalitas, Pembatasan Selisih Perolehan Suara, dan Demokrasi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan negara yang merdeka pada 17 Agustus 1945.
Setelah merdeka telah disahkan suatu konstitusi tertulis dalam hal ini adalah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya
disebut UUD NRI 1945) yang kemudian dijadikan sebagai landasan
konstitusional negara Indonesia. Seiring dengan terjadinya perubahan tata
kehidupan bermasyarakat, landasan konstitusional tersebut pun kerap kali
dilakukan perubahan atau yang biasa disebut dengan amandemen. Sejak Indonesia
merdeka hingga saat ini tercatat bahwa UUD NRI 1945 telah dilakukan
amandemen sebanyak empat kali. Hal ini karena mengikuti perkembangan zaman
serta masyarakat Indonesia yang mulai peka tehadap hukum. Salah satu
perubahan yang terlihat pada amandemen ketiga dalam batang tubuh UUD NRI
1945 yakni Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia ialah negara hukum”.
Menurut Philipus M Hadjon dalam buku Iriyanto A. Baso Ence
menyatakan bahwa, jika disimpulkan Indonesia adalah negara hukum,
pertama-tama hendaknya dirumuskan terlebih dahulu isi konsep negara hukum.1 Dari segi
terminologi ditemukan beberapa penamaan atau sebutan tentang negara hukum.
Misalnya di Indonesia biasa disebut dengan istilah negara hukum proklamasi,
negara hukum Pancasila, negara hukum Indonesia. Alasan yang menggunakan
1 Iriyanto A. Baso Ence, 2008, Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah
Konstitusi (Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi), Cetakan ke-1, P.T. Alumni,
istilah tentang negara hukum proklamasi, dilatarbelakangi dengan pemikiran
bahwa Indonesia lahir sebagai suatu negara merdeka setelah adanya proklamasi
17 Agustus 1945. Bagi yang menggunakan istilah negara hukum Pancasila,
alasannya oleh karena negara Republik Indonesia yang di dirikan pada hari
proklamasi 17 Agustus 1945 didudukkan atas Pancasila sebagai dasar negara,
ideologi negara dan falsafah hidup bangsa. Kemudian yang menggunakan istilah
negara hukum Indonesia, alasannya oleh karena sejak Indonesia berdiri sebagai
suatu negara merdeka, telah ditegaskan dalam UUD NRI 1945 sebagai negara
hukum.2 Negara Indonesia sebagai negara hukum (rechsstaat), bukan negara
kekuasaan (machsstaat), di dalamnya terkandung pengertian adanya pengakuan
terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya pemisahan dan
pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam UUD
NRI 1945, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang
menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta menjamin keadilan,
kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum bagi setiap orang, termasuk terhadap
penyalahgunaan kewenangan oleh pihak yang berkuasa.3
Selain adanya pernyataan Indonesia sebagai negara hukum, amandemen
UUD NRI 1945 juga telah menghasilkan beberapa perubahan struktural dalam
bidang format kelembagaan negara.4 Format kelembagan lembaga yang dimaksud
diantaranya yakni dengan dibentuknya lembaga baru yang disebut Mahkamah
Konstitusi (selanjutnya disebut MK). MK merupakan lembaga peradilan sebagai
2 Nurul Qamar, 2014, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, Cetakan
Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 22
3 Iriyanto A. Baso Ence, Op.cit, hal. 17
4 Jimly Asshiddiqie, 2005, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan
salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, disamping Mahkamah Agung, yang
dibentuk melalui perubahan ketiga UUD NRI 1945, sebagaimana ditetapkan pada
Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2001, tanggal 9
November 2001. Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan
bahwa: “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. MK
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan
hasil pemilu dan wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana termuat dalam Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945.
Apabila dicermati, salah satu wewenang MK adalah untuk memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Namun yang perlu mendapat
perhatian yaitu ketika perselisihan hasil pemilihan umum definisinya disamakan
dengan perselisihan tentang hasil pemilihan kepala daerah yang dapat masuk
dalam ranah kewenangan MK. Padahal, pemilihan umum dan pemilihan kepala
daerah diatur secara terpisah oleh UUD NRI 1945. Penyelenggaraan pemilihan
umum diatur dalam Pasal 22E ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakaan bahwa “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan
yaitu untuk memilih lembaga-lembaga negara yang tercantum dalam pasal
tersebut. Sementara itu, pemilihan kepala daerah diatur dalam ketentuan yang
berbeda yakni pada Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 yang menyatakan “Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,
kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”. Namun, oleh karena saat ini
lembaga peradilan khusus untuk penyelesaian perkara perselisihan hasil pemilihan
kepala daerah belum dibentuk maka perselisihan tersebut diperiksa dan diadili
oleh MK sampai dibentuknya badan peradilan khusus. Ketentuan mengenai
pembentukan badan peradilan khusus ini diatur dalam Pasal 157 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi
Undang-Undang (selanjutnya disebut UU Pilkada).
Kewenangan MK dalam memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
kepala daerah akhir-akhir ini menjadi sorotan. Salah satunya adalah adanya
ketentuan tentang pembatasan selisih perolehan suara untuk dapat mengajukan
permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara yang diatur dalam
Pasal 158 ayat (1) dan (2) UU Pilkada.
Pasal 158 ayat (1) pada intinya menyatakan bahwa Peserta pemilihan
gubernur dan wakil gubernur dapat mengajukan permohonan pembatalan
Tabel 1.
Persentase Pengajuan Permohonan Pembatalan Penetapan Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur
Jumlah Penduduk (Jiwa)
Persentase Selisih Suara (Paling Banyak)
≤ 2.000.0000 2%
>2.000.000 - 6.000.000 1,5%
>6.000.000 - 12.000.000 1%
>12.000.000 0,5%
Sumber: Pasal 158 ayat (1) UU Pilkada
Pasal 158 ayat (2) pada intinya menyatakan bahwa Peserta pemilihan Bupati dan
Wakil serta Walikota dan Wakil Walikota dapat mengajukan permohonan
pembatalan penetapan hasil penghitungan suara sebagai berikut:
Tabel 2.
Persentase Pengajuan Permohonan Pembatalan Penetapan Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta
Walikota dan Wakil Walikota Jumlah Penduduk
(Jiwa)
Persentase Selisih Suara (Paling Banyak)
≤ 250.000 2%
>250.000 - 500.000 1,5%
>500.000 - 1.000.000 1%
>1.000.000 0,5%
Sumber: Pasal 158 ayat (2) UU Pilkada
Ketentuan-ketentuan tersebut pada intinya memuat mengenai syarat
permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara pemilihan kepala
daerah hanya dapat diajukan ke MK apabila selisih suaranya sesuai dengan
persentase selisih suara yang ditentukan berdasarkan jumlah penduduk suatu
provinsi atau kabupaten/kota. UU Pilkada tersebut membatasi hak-hak demokrasi
pula mengabaikan pelanggaran-pelanggaran pemilihan kepala daerah yang
berpengaruh terhadap perolehan suara pemilihan kepala daerah.
Ketentuan tersebut secara tekstual berarti, sebagai contoh pada Pasal 158
ayat (1) huruf a: penduduk provinsi dalam jumlah paling banyak 2.000.000 (dua
juta) jiwa, dapat mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilihan kepala
daerah kepada MK tentang pembatalan penetapan hasil pemilihan gubernur dalam
provinsi tersebut apabila terdapat perbedaan selisih suara antara pasangan calon
gubernur peraih suara terbanyak dengan paslon yang hendak mengajukan
permohonan adalah paling banyak sebesar 2% (dua persen) dari total suara sah
hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan
Umum Provinsi sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah.
Menurut Ketua MK, Arief Hidayat dalam artikel yang berjudul “Inilah
Data Terbaru Soal Sengketa Pilkada di MK” menyatakan bahwa batas waktu 45
hari penyelesaian sengketa perselisihan hasil pemilihan kepala daerah yang masuk
ke MK dari hasil pemilihan kepala daerah serentak 2015, persis berakhir Senin
pada 7 Maret 2015. Dalam batas waktu tersebut, MK kata Arief, berhasil
menyelesaikan 151 perkara yang masuk dari 136 daerah yang mengajukan
permohonan. Dengan rincian 34 perkara tidak dapat diterima karena melampaui
batas waktu pengajuan permohonan, 94 perkara melampaui batas selisih
perolehan suara dan 7 perkara ditolak karena gugatan diajukan bukan oleh
dilakukan pemungutan suara ulang di lima daerah dan saat ini masih dalam proses
tiga perkara. Hal ini dikarenakan pemilihannya dilakukan menyusul.5
Berdasarkan wacana tersebut dapat diketahui bahwa perkara yang tidak
diterima MK mengenai perselisihan tentang hasil pemillihan kepala daerah
jumlahnya mencapai angka 94 perkara dari 151 perkara yang masuk ke MK
dikarenakan masalah pembatasan selisih perolehan suara pemilihan kepala daerah
serentak pada tahun 2015. Hal ini mengindikasikan bahwa pembatasan selisih
perolehan suara dapat menjadi kendala pasangan calon kepala daerah dalam
memperoleh kepastian hukum dan keadilan terkait dengan
pelanggaran-pelanggaran pemilihan kepala daerah yang berpengaruh terhadap perolehan suara
pemilihan kepala daerah. Serta dengan ketentuan tersebut pula demokrasi di
Indonesia telah dicederai. Ketentuan ini mencederai demokrasi, dikarenakan
dengan adanya pembatasan tersebut akan berarti memperkecil kesempatan peserta
pemilihan kepala daerah untuk membuktikan kecurangan-kecurangan pemilihan
kepala daerah di pengadilan. Dengan kecilnya kesempatan tersebut berpengaruh
terhadap kepala daerah terpilih yang memeroleh suara terbanyak diduga karena
kecurangan dalam pemilihan kepala daerah.
Selain itu, dengan tidak diperolehnya kepastian hukum dan keadilan dalam
hal pemilihan kepala daerah berarti ketentuan dalam Pasal 158 UU Pilkada
tersebut bertentangan dengan amanat dari Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945
yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
5Anonim, 2016, “Inilah Data Terbaru Soal Sengketa Pilkada di MK”,
http://www.jpnn.com/read/2016/03/08/361939/Inilah-Data-Terbaru-soal-Sengketa-Pilkada-di-MK-, diakses tanggal 2 Nopember 2016.
hadapan hukum”. Ketentuan ini berarti setiap orang termasuk para peserta
pemilihan kepala daerah berhak memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Maka dari itu, Skripsi ini ditulis dengan judul “Konstitusionalitas Pembatasan
Selisih Perolehan Suara dalam Permohonan Pembatalan Penetapan Hasil
Pemilihan Kepala Daerah dalam Konteks Hak Demokrasi Warga Negara”
1.2 Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi pokok permasalahan yang terdapat dalam latar
belakang di atas adalah sebagai berikut:
1.2.1 Apakah pembatasan selisih perolehan suara dalam permohonan
pembatalan penetapan hasil pemilihan kepala daerah bertentangan dengan
konstitusi dan prinsip demokrasi?
1.2.2 Apakah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh peserta pemilihan kepala
daerah untuk mendapatkan keadilan atas pelanggaran yang dapat
mempengaruhi hasil perolehan suara?
1.3 Ruang Lingkup
Dalam mendekatkan permasalahan untuk menghindari pembahasan
menyimpang dari pokok permasalahan, diberikan batasan-batasan mengenai ruang
lingkup permasalahan yang akan dibahas. Mengingat banyaknya permasalahan
yang terdapat dalam UU Pilkada maka permasalahan yang akan dibahas, yaitu
mencangkup konstitusionalitas Pasal 158 tentang pembatasan selisih perolehan
suara dalam permohonan pembatalan penetapan hasil pemilihan kepala daerah
1.4 Orisinalitas Penelitian
Penulisan ini merupakan karya tulis asli penulis sehingga dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Untuk memperlihatkan
orisinalitas dari penulisan ini maka dapat dibandingkan pembedaannya dengan
tulisan terdahulu yang sejenis, yaitu sebagai berikut:
Table 3.
Perbandingan Skripsi Sejenis
No. Judul Skripsi Penulis Permasalahan
1 Penerapan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota David Pandapotan Simanjuntak, Fakultas Hukum, Universitas Lampung, Tahun 2016 1. Bagaimanakah penerapan dan implikasi pasal 158 UU No.8 Tahun 2015 terhadap sengketa pemilihan kepala daerah secara serentak? 2 Kajian Yuridis Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Penyelesaian Sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 97/PUU-XI/2013) Jevon Rainhard Berhitoe, Fakultas Hukum, Universitas Jember, Tahun 2015. 1. Apa Pertimbangan Hukum Mahkamah
Konstitusi pada putusan No. 97/PUU-XI/2013? 2. Apa akibat hukum
putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013 terhadap pemilihan umum kepala daerah?
1. Judul : Konstitusionalitas Pembatasan Selisih Perolehan Suara dalam
Permohonan Pembatalan Penetapan Hasil Pemilihan Kepala Daerah dalam
Konteks Hak Demokrasi Warga Negara
2. Penulis : Luh Gede Mega Karisma
3. Tempat : Fakultas Hukum Universitas Udayana
4. Tahun : 2017
Terhadap skripsi sejenis tersebut indikator pembeda yang dapat diuraikan adalah
bahwa yang menjadi permasalahan pada penulisan ini, yaitu:
1. Apakah pembatasan selisih perolehan suara dalam permohonan
pembatalan penetapan hasil pemilihan kepala daerah bertentangan dengan
konstitusi dan prinsip demokrasi?
2. Apakah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh peserta pemilihan kepala
daerah untuk mendapatkan keadilan atas pelanggaran yang terjadi selama
proses pemilihan kepala daerah?
1.5 Tujuan Penelitian
Bertitik tolak dari latar belakang masalah dan rumusan masalah diatas
maka tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.5.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penulisan ini adalah untuk memahami bahwa
terjadi pertentangan norma yang terdapat dalam substansi Pasal 158 UU
Pilkada dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 terkait dengan
kepastian hukum yang adil serta kaitan pembatasan dalam Pasal 158 UU
1.5.2 Tujuan Khusus
Sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengkaji dan mendeskripsikan terkait pembatasan selisih
perolehan suara dalam permohonan pembatalan penetapan hasil
pemilihan kepala daerah bertentangan dengan konstitusi dan prinsip
demokrasi.
2. Untuk mengkaji dan mendeskripsikan terkait upaya hukum yang dapat
dilakukan oleh para peserta pemilihan kepala daerah untuk
mendapatkan keadilan atas pelanggaran yan gterjadi selama proses
pemilihan kepala daerah.
1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi
dan kontribusi dalam aspek teoritis (keilmuan) serta juga diharapkan dapat
menjadi referensi untuk penelitian-penelitian di bidang hukum tata Negara
khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan hukum pemilihan umum.
Sehingga, melalui penelitian ini dapat dilihat perkembangan ilmu
pengetahuan dalam bidang hukum tata negara, khususnya mengenai
makna kepastian hukum dalam suatu negara hukum dan hak seseorang
sebagai pribadi dihadapan hukum sesuai dengan UUD NRI 1945 serta
mengenai prinsip-prinsip demokrasi yang dimiliki oleh Negara Indonesia
1.6.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan sebagai bahan acuan,
pertimbangan, perbandingan, dan penyempurnaan bagi penelitian
selanjutnya dalam rangka meningkatkan perhatian dan pengetahuan
masyarakat terhadap nilai kepastian hukum dan hak masyarakat sebagai
pribadi di hadapan hukum dan hak demokrasi.
1.7 Landasan Teoritis
Untuk membahas permasalahan yang telah dipaparkan secara lebih
mendalam, perlu kiranya dikemukakan teori, konsep atau landasan-landasan
terhadap permasalahan tersebut yang didasarkan pada literatur-literatur yang
dimungkinkan untuk menunjang pembahasan permasalahan yang ada. Dengan
adanya teori-teori yang menunjang, diharapkan dapat memperkuat, memperjelas
dan mendukung untuk penyelesaian permasalahan yang dikemukakan dalam
penelitian ini. Adapun teori-teori yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi
teori negara hukum dan demokrasi, teori konstitusi, dan teori jenjang norma
hukum negara. Dalam hal berlakunya hukum suatu undang-undang tidak dapat
dihindari adanya penafsiran karena hukum tertulis tidak dapat dengan mudah
untuk mengikuti perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Dalam pembentukan
suatu undang-undang tidak jarang terjadi norma konflik, norma kosong dan norma
kabur sehinnga perlu melakukan penafsiran hukum.
1. Teori Negara Hukum dan Demokrasi
Ide negara hukum berkembang secara bertahap dalam rentang waktu yang
atau sekitar 500 tahun sebelum Masehi oleh Yunani Kuno merupakan bukti
sejarah bahwa ide (gagasan) negara hukum sungguh-sungguh merupakan produk
hukum sejarah. Sepanjang dapat diketahui, ide negara hukum pertama kali
dikenalkan oleh Plato, seorang ahli pikir bangsa Yunani, dalam karyanya Politea
(the Republic), Politicos (the Stateman) dan Nomoi (the Law).6 Plato menulis
dalam “Republik” nya bahwa negara timbul karena adanya kebutuhan dari umat
manusia. Tiada manusia yang dapat memenuhi kebutuhannya sendiri (manusia
yang autarkis), sedangkan masing-masing manusia mempunyai banyak
kebutuhan.7 Kemudian, dalam Nomoi Plato mengemukakan bahwa
penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan
(hukum) yang baik.8
Negara atau pemerintah (dalam arti luas) dalam konsep negara hukum
selajutnya harus menjamin tertib hukum (rechtsorde), menjamin tegaknya hukum,
yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum.9 Demi menjamin
penegakan hukum dan tercapainya keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan
hukum dalam suatu sistem hukum, tidak bisa tidak. Sistem hukum ini menjadi
materi muatan dari kostitusi.10
Di sisi lain, suatu negara hukum yang mencita-citakan keadilan
berdasarkan prinsip persamaan dihadapan hukum tidak dapat terwujud tanpa
adanya demokrasi. Negara hukum tanpa demokrasi akan menjadi negara
6 Hotma P. Sibuea, 2010, Asas Negara Hukum dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang
Baik, Erlangga, Jakarta, hal. 11
7 F. Isjwara, 1982, Pengantar Ilmu Politik, Offset Angkasa, Bandung, hal. 164 8
Ridwan HR, 2002, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 2
9 Iriyanto A. Baso Ence, Op.cit, hal. 18. 10 Iriyanto, Op.cit, hal. 19
otoritarian yang menindas hak asasi manusia dan tidak memiliki pembatasan
kekuasaan sehingga mengingkari makna sesungguhnya dari negara hukum itu
sendiri. Karena itu, negara hukum secara ideal harus merupakan negara hukum
yang demokratis (democratic rule of law atau democratische rectsstaat). Hukum
harus dibuat secara demokratis dan merefleksikan nilai-nilai demokratis.11
John Forejohn dan Pasquale Pasquino dalam buku Janedjri M. Gaffar
mengilustrasikan bahwa negara hukum dan demokrasi sebagai dua hal yang selalu
dicita-citakan oleh suatu negara yang sedang dalam masa transisi dari otoritarian
sehingga menunjukkan bahwa keduanya dapat dicapai secara simultan. Negara
hukum dalam konteks demokrasi tidak hanya berarti bahwa pemerintah bekerja
menurut dan melalui aturan-aturan yang mengikat, tetapi lebih dari itu, bahwa
rakyat harus dapat mengawasi secara pasti hukum yang akan berlaku dengan
segala macam konsekuensinya, termasuk memastikan bahwa aturan hukum yang
berlaku tidak melanggar hak dan prinsip dasar tertentu.12
Demokrasi telah dikenal dan mejadi fokus studi sejak lama, bahkan sejak
munculnya istilah demokrasi itu sendiri. Hal ini telah melahirkan berbagai macam
pengertian dan model demokrasi yang dipraktikkan di berbagai negara. Pada
tahun 1926, Mac Iver sudah menyatakan bahwa semua negara modern saat itu
dapat dikatagorikan sebagai negara demokrasi, namun tidak ada yang memiliki
karakter sama. Karena itu, demokrasi dipahami sebagian sebagai peringkat atau
11
Janedjri M. Gaffar, 2013, Demokrasi dan Pemilu di Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, (selanjutnya disingkat Janedjri M. Gaffar I) hal. 62
12
derajat dan sebagian lagi ada yang memahami sebagai mekanisme tertentu melalui
mana kehendak umum diekspresikan.13
Dalam berbagai literatur, demokrasi dipahami sebagai salah satu bentuk
pemerintahan yang berakar pada klasifikasi Aristoteles yang dibuat berdasarkan
jumlah dan sifat pemegang kekuasaan negara.14 Terminologi demokrasi lahir dari
terjemahan kata “demos” dan “cratein” yang berasal dari bahasa Yunani. Demos
artinya rakyat, cratein artinya pemerintahan. Jadi secara harfiah demokrasi dapat
diartikan pemerintahan rakyat. Pemerintahan yang dikehendaki oleh rakyat,
dijalankan oleh dan untuk rakyat. Demokrasi menghendaki agar pemerintahan itu
dijalankan berdasar atas kehendak rakyat karena hakikatnya rakyatlah pemegang
kekuasaan dalam suatu negara.15 Prof. Miriam Budiardjo, mengemukakan bahwa:
kita mengenal bermacam-macam istilah demokrasi. Ada yang dinamakan
demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer dan lain-lain yang semuanya
memaknai istilah demokrasi yang bersumber dari asal katanya yakni rakyat
berkuasa atau government by people.16
Teori pendukung dari paham demokrasi bermula dari teori kontrak sosial,
kemudian berkembang dengan teori kedaulatan rakyat dan berlanjut dengan teori
negara hukum demokrasi.17 Teori kontrak sosial menghendaki hubungan antara
raja (penguasa) dan rakyat didasari oleh suatu kontrak yang yang mengikat kedua
belah pihak. Bahwa rakyat akan taat kepada penguasa sepanjang hak-hak
13 Ibid, hal. 12. 14 Ibid, hal. 14
15 Nurul Qamar, Op. cit. hal. 20 16 Nurul Qamar, Loc.cit. 17 Nurul Qamar, Loc.cit
alaminya (natural rights) dipenuhi oleh penguasa. Hak-hak natural inilah dalam
perkembangannya disebut sebagai hak asasi manusia.18
Lebih lanjut Prof. Miriam dalam bukunya Nurul Qamar, mengemukakan
bahwa diantara sekian banyak aliran yang dinamakan demokrasi, terdapat dua
kelompok yang penting yaitu: (1) Aliran demokrasi konstitusional dan (2) Aliran
kelompok demokrasi. Aliran demokrasi konstistusional adalah kelompok
demokrasi yang kekuasaan pemerintahan dijalankan berdasarkan hukum yang
tertuang dalam suatu konstitusi. Sedangkan aliran kelompok demokrasi adalah
aliran yang menyatakan pemerintahan demokrasi akan tetapi pada hakikatnya
mendasarkan kekuasaan pemerintahan menurut paham sosialis atau komunis.19
Teori negara hukum dan demokrasi ini dipergunakan untuk melihat
pentingnya menjamin suatu tertib hukum yaitu keadilan, kepastian hukum, dan
kemanfaatan hukum dalam suatu negara yang berdasarkan atas hukum serta
menjelaskan bahwa dalam suatu negara hukum yang menganut paham dan
prinsip-prinsip demokrasi dalam pemerintahannya maka juga harus
memperhatikan hak-hak demokrasi warga negaranya.
2. Teori Konstitusi
Konstitusi (constitutio) dalam negara adalah sebuah norma sistem politik
dan hukum bentukan pada pemerintahan negara biasanya dikodifikasikan sebagai
dokumen tertulis. Dalam kasus bentukan negara, konstitusi memuat aturan dan
prinsip-prinsip entitas politik dan hukum, istilah ini merujuk secara khusus untuk
menetapkan konstitusi nasional sebagai prinsip dasar politik,
18 Nurul Qamar, Op.cit, hal. 69 19 Nurul Qamar, Op.cit, hal. 71
prinsip dasar hukum termasuk dalam bentukan struktur, prosedur, wewenang dan
kewajiban pemerintahan negara pada umumnya, Konstitusi umumnya merujuk
pada penjaminan hak kepada warga masyarakatnya. Istilah konstitusi dapat
diterapkan kepada seluruh hukum yang mendefinisikan fungsi pemerintahan
negara.20 Konstitusi sebagai hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam
penyelenggaraan suatu negara dapat berupa konstitusi tertulis dan konstitusi tidak
tertulis. Dalam hal konstitusi terstulis, hampir semua negara di dunia memilikinya
yang lazim disebut undang-undang dasar yang pada umumnya mengatur
mengenai pembentukan, pembagian wewenang dan cara bekerja berbagai lembaga
kenegaraan serta perlindungan hak asasi manusia.
Dalam sejarahnya di dunia barat, konstitusi dimaksudkan untuk
menentukan batas wewenang penguasa, menjamin hak rakyat dan mengatur
jalannya pemerintahan. Dengan kebangkitan paham kebangsaan sebagai kekuatan
pemersatu, serta dengan kelahiran demokrasi sebagai paham politik yang
progresif dan militan, konstitusi menjamin alat rakyat untuk konsolidasi
kedudulan hukum dan politik, untuk mengatur kehidupan bersama dan untuk
mencapai cita-citanya dalam bentuk negara. Berhubung dengan itu, konstitusi di
zaman modern tidak hanya memuat aturan-aturan hukum, tetapi juga merumuskan
atau menyimpulkan prinsip-prinsip hukum, haluan negara, dan patokan
kebijaksanaan, yang kesemuanya mengikat penguasa.21 Di dalam negara-negara
yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional, undang-undang dasar
mempunyai fungsi yang khas, yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian
20 Bagir Manan, 2003, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, hal. 23 21 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, dan Ni‟matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, 2010,
rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang.
Dengan demikian diharapkan hak-hak warga negara akan lebih terlindungi.
Gagasan ini dinamakan konstitusionalisme.22
Dalam perkembangan sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara,
konstitusi menempati posisi yang sangat penting. Pengertian dan materi muatan
konstitusi senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan peradaban
manusia dan organisasi kenegaraan. Kajian tentang konstitusi semakin penting
dalam negara-negara modern saat ini yang pada umumnya menyatakan diri
sebagai negara konstitusional. Dengan meneliti dan mengkaji konstitusi, dapat
diketahui prinsip-prinsip dasar kehidupan bersama dan penyelenggaraan negara
serta struktur organisasi suatu negara tertentu. Bahkan nilai-nilai konstitusi dapat
dikatakan mewakili tingkat peradaban suatu bangsa.
Leon Duguit mengatakan bahwa konstitusi bukanlah sekedar
undang-undang dasar yang memuat sejumlah/kumpulan norma-norma semata-mata, tetapi
struktur negara yang nyata-nyata terdapat dalam kenyataan masyarakat. Dengan
kata lain, konstitusi adalah faktor-faktor kekuatan yang nyata.23 Maurice Hauriou
berpendapat bahwa suatu institution tidak lain daripada hukum yang hidup dalam
masyarakat (social recht) yang merupakan penjelmaan kembali ide-ide yang baik
yang menjelma dalam kenyataan masyarakat (sociale werkelijkheid), yang
sebagian unsur-unsur normatifnya di-constateer dan di-abstraheer pembuat
undang-undang menjadi sutatu lembaga hukum (rechtstellingen).24 Lebih jauh
Herman Heller mengemukakan tiga pengertian konstitusi, yaitu: pertama,
22 Ibid, hal. 19
23 Iriyanto A. Baso Ence, Op.cit, hal. 21. 24 Iriyanto A. Baso Ence, Op.cit, hal. 22.
konstitusi adalah mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai
suatu kenyataan. Jadi, mengandung pengertian politis dan sosiologis; kedua,
konstitusi merupakan suatu kesatuan kaidah hukum yang hidup dalam
masyarakat. Jadi, mengandung pengertian yuridis; ketiga, konstitusi yang ditulis
dalam suatu naskah sebagai undang-undang tertinggi, yang berlaku dalam suatu
negara.25 Pendapat Leon Duguit, Maurice Hauriou dan Hermann Heller tersebut
memperlihatkan bahwa konstitusi bukanlah sekadar dokuen yang memuat
sejumlah norma-norma semata, tetapi konstitusi merupakan suatu kesatuan kaidah
hukum yang hidup dalam masyarakat, dan sebagai suatu institution tidak lain dari
pada hukum yang hidup dalam masyarakat (social recht) merupakaan penjelmaan
kembali ide-ide yang baik yang menjelma dalam kenyataan dalam masyarakat,
serta faktor-faktor kekuatan yang nyata yang terdapat dalam masyarakat yang
bersangkutan.26
Teori ini dipergunakan untuk memperkuat pandangan bahwa kedudukan
konstitusi dalam suatu negara hukum bersifat fundamental norm yang merupakan
norma hukum fundamental yang dijadikan pedoman atau dasar dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan yang ada dibawahnya.
3. Teori Jenjang Norma Hukum Negara
Hans Kelsen mengemukakan teori jenjang hukum (Stufentheorie). Dalam
teori tersebut Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu
berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan) dalam
arti suatu norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma
25 Iriyanto A. Baso Ence, Loc.cit. 26 Iriyanto A. Baso Ence, Loc.cit.
yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak
dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu Norma Dasar
(Grundnorm). Norma Dasar merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma
tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi Norma
Dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai Norma Dasar yang
merupakan gantung an bagi norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga
suatu Norma Dasar itu dikatakan pre-supposed.27
Kemudian, Hans Nawiasky, salah seorang murid Hans Kelsen
mengembangkan teori gurunya tentang jenjang norma dalam kaitannya dengan
suatu negara. Hans Nawiasky mengatakan suatu norma hukum dari negara
manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. Norma yang di bawah
berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih
tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada suatu norma yang tertinggi yang
disebut Norma Dasar. Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu
berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga
berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara
itu terdiri atas empat kelompok besar antara lain:28
Kelompok I : Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara);
Kelompok II : Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Aturan Pokok Negara);
Kelompok III : Formell Gesetz (Undang-Undang „Formal‟);
Kelompok IV : Verordnung & Autonome Satzung (Aturan
pelaksana/Aturan otonom)
27 Maria Farida Indrati S., 2010, Ilmu Perundang-Undangan 1 Jenis Fungsi dan Materi
Muatan, Kanisius, Yogyakarta, hal. 41
Teori jenjang norma hukum negara ini dipergunakan untuk bahan rujukan
untuk menganalisis konflik norma yang terjadi antara UU Pilkada dengan UUD
NRI 1945 dalam pembahasan penelitian ini.
1.8 Metode Penelitian
Untuk memperoleh informasi serta penjelasan mengenai segala sesuatu
yang berkaitan dengan pokok permasalahan diperlukan suatu pedoman penelitian
atau metode penelitian, hal ini dikarenakan bahwa dengan menggunakan metode
penelitian yang benar akan dapat mempermudah dalam melakukan penelitian
terhadap topik penelitian ini yang berkaitan dengan konstitusionalitas pembatasan
selisih perolehan suara dalam permohonan pembatalan penetapan hasil pemilihan
kepala daerah dalam konteks hak demokrasi warga negara. Adapun metode
penelitian yang digunakan, yaitu:
1.8.1 Jenis Penelitian
Dalam penyusunan penulisan ini jenis penelitian yang digunakan
adalah metode penelitian hukum normatif, penelitian hukum normatif juga
disebut penelitian hukum doktrin, juga disebut sebagai penelitian
perpustakaan atau studi dokumen. Disebut dengan penelitian hukum
normatif dan doktrin, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya
pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum lain.29
Dalam penelitian ini, penulis akan mengkaji secara mendalam pada
peraturan perundang-undangan terkait dan doktrin-doktrin hukum serta
sumber bahan hukum yang berhubungan dengan topik penelitian yaitu
29 Bambang Waluyo, 2008, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, hal.
tentang konstitusionalitas pembatasan selisih perolehan suara dalam
permohonan pembatalan penetapan hasil pemilihan kepala daerah dalam
konteks hak demokrasi warga negara.
1.8.2 Jenis Pendekatan
Jenis pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
perundang-undangan (Statute Appproach) dan pendekatan analisis konsep hukum
(Analitical Conseptual Approach). Dalam metode pendekatan
perundang-undangan peneliti perlu memahami hierarki dan asas-asas dalam
peraturan perundang-undangan.30 Pendekatan perundang-undangan
digunakan karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang
menjadi fokus sekaligus tema sentral dalam penelitian ini yaitu
konstitusionalitas pembatasan selisih perolehan suara dalam permohonan
pembatalan penetapan hasil pemilihan kepala daerah dalam konteks hak
demokrasi warga negara, kemudian dilanjutkan dengan menganalisis
permasalahan tersebut sesuai dengan konsep-konsep hukum yang ada.
1.8.3 Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini
menggunakan tiga sumber bahan hukum, yaitu: sumber bahan hukum
primer, sumber bahan hukum sekunder, dan sumber bahan hukum tersier.
1. Sumber bahan hukum primer
Sumber bahan hukum primer terdiri atas asas-asas, kaidah hukum yang
dalam perwujudannya berupa undang-undang dasar, peraturan
30 Peter Mahmud Marzuki, 2014, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Cetakan ke-9, Prenada
perundang-undangan, dan putusan pengadilan. Adapun sumber-sumber
bahan hukum yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi
Undang-Undang;
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan;
4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia.
2. Sumber Bahan Hukum Sekunder
Sumber bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder
yang digunakan terdiri atas literatur-literatur yang relevan dengan
topik yang dibahas, baik literatur-literatur hukum yang ditulis oleh
para ahli yang berpengaruh, pendapat para sarjana, jurnal-jurnal
hukum atau karya tulis hukum yang berkaitan dengan topik penelitian
maupun literatur non hukum.
3. Sumber Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk
contohnya penggunaan Kamus Besar Bahasa Indonesia dan juga
internet.
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan adalah
teknik studi kepustakaan. Menurut Ronny Hanitijo S, yang dimaksud
dengan studi kepustakaan adalah mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori,
pandangan-pandangan atau penemuan-penemuan yang relevan dengan
jalan mempelajari buku-buku ilmiah yang ada hubungannya kitab
undang-undang, peraturan-peraturan dan bahan ilmiah.31 Pengumpulan bahan
hukum yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dilakukan dengan
cara membaca dan mencatat kembali bahan hukum seperti peraturan
perundang-undangan, buku-buku referensi atau buku-buku ilmiah yang
kemudian dikelompokkan secara sistematis yang berhubungan dengan
permasalahan dalam penulisan ini.
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
deskripsi, teknik analisis dan teknik argumentasi.
a. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat
dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap
suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non
hukum.32
31
Ronny Hanintijo Soemitro, 1986, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 23
32 Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum
b. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju
atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti
terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma,
keputusan, baik yang tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan
hukum sekunder.33
c. Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena
penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran
hukum. Dalam pembahasan permasalahan hukum makin banyak
argumen makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum.34
33 Ibid, hal. 77 34 Ibid.