• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata Kunci : Kidung, Struktur, Semiotik, Smaratantra.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kata Kunci : Kidung, Struktur, Semiotik, Smaratantra."

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

xi

Kidung Tunjung Biru dipilih sebagai objek dalam penelitian ini, karena

beberapa alasan. Pertama, gagasan-gagasan yang terkandung di dalamnya, merepresentasikan keindahan alam dan proses penikmatan asmara yang berbeda dari lainnya. Penyampaian dari hal yang dianggap tabu secara gamblang sehingga berbeda dari bentuk sastra yang lain. Kedua, gagasan tersebut dituangkan dalam bentuk sastra kidung. Perpaduan antara isinya yang bersifat erotis dan bentuknya yang yang tradisional menjadikan karya ini menarik untuk dikaji.

Ada dua masalah yang dibicarakan dalam penelitian ini, yaitu struktur dan makna yang terkandung dalam Kidung Tunjung Biru. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori struktur dan teori semiotika sastra. Metode dan teknik dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu (1) Tahap pengumpulan data dengan menggunakan metode membaca teks Kidung Tunjung

Biru. Metode tersebut dibantu dengan teknik catat dan teknik terjemahan. (2)

Tahap analisis data menggunakan metode kualitatif dengan dibantu teknik deskriptif analitik dengan cara mendeskripsikan fakta yang kemudian disusul dengan analisis; (3) Penyajian hasil analisis data menggunakan metode informal dan metode formal dengan dibantu teknik deduktif dan induktif.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa struktur Kidung Tunjung

Biru terdiri dari sejumlah unsur, meliputi: metrum, penggunaan bahasa, gaya

bahasa (litotes, tautologi, hiperbola, simile, metafora, personifikasi), serta satuan naratif. Makna yang terkandung dalam Kidung Tunjung Biru meliputi: bunga dalam arti simbolis, pemujaan terhadap asmara, penyatuan manusia kepada alam dan sang pencipta dan asmara sebagai hakikat dasar kehidupan.

(2)

xii

xii ABSTRAK

ANALISIS SEMIOTIKA KIDUNG TUNJUNG BIRU

Kidung Tunjung Biru kasudi pinaka objek ring panyelehan puniki, santukan : Sané kapertama, dagingipun nyantenang indik kalanguan utawi

keindahan miwah pamargin smara sane matiosan sareng sastra lianan. Kaping

kalih, daging ipun kasurat antuk wangun sastra kidung. Dagingnyané sané unik miwah erotis taler wangunnyané sané tradisional ngawinang kidung puniki becik anggen objék panyelehan.

Wénten kalih pikobet sane jagi katuréksa ring panyelehan puniki, inggih punika : struktur miwah makna Kidung Tunjung Biru. Teori sané jagi kaanggén inggih punika teori struktur miwah teori semiotika sastra. Metode miwah

tekniksané kaanggén ring sajroning panyelehan puniki kepah dados tiga, inggih

punika (1) Paletan milpilang data antuk metode ngawacén teks Kidung Tunjung

Biru sane kawantu antuk teknik catat miwah teknik terjemahan. (2) Paletan analisis data antuk metode kualitatif tur nganggen teknik deskriptif analitik;

miwah (3) Pakebat pikolih panyelehan data antuk metode informal miwah metode

formal ngangge teknik induktif miwah deduktif.

Panyelehan puniki nyinahang inggih punika struktur Kidung Tunjung Biru madaging makudang-kudang unsur, inggih punika : metrum, penggunaan bahasa,

gaya bahasa (litotes, tautologi, hiperbola, simile, metafora, personifikasi), miwah satuan naratif. Pikenoh sané munggah ring Kidung Tunjung Biru inggih punika : bunga dalam arti simbolis, pemujaan terhadap asmara, penyatuan manusia kepada alam dan sang pencipta dan asmara sebagai hakikat dasar kehidupan.

.

(3)

xiii DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DEPAN i

PRASYARAT GELAR ii

KATA PENGANTAR iii

ABSTRAK x

DAFTAR ISI xii

DAFTAR TABEL xiv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah 1

1.2 Rumusan Masalah 5

1.3 Tujuan Penelitian 5

1.3.1 Tujuan Umum 5

1.3.2 Tujuan Khusus 6

1.4 Manfaat Penelitian 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN MIWAHDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka 7

2.2 Konsep 9

2.3 Landasan Teori 12

BAB III METODE DAN TEKNIK, SUMBER DATA, DAN JANGKAUAN

3.1 Metode dan Teknik 16

3.1.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data 16

3.1.2 Metode dan Teknik Analisis Data 17

3.1.3 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis 18

3.2 Sumber Data 19

(4)

xiv

xiv

3.4 Sistematika Penyajian 20

BAB IV TINJAUANSTRUKTUR KIDUNG TUNJUNG BIRU

4.1 Struktur Formal 21

4.1.1 Metrum 21

4.1.2 Bahasa 38

4.1.3 Gaya Bahasa Kidung Tunjung Biru 39

4.1.3.1 Litotes 39 4.1.3.2 Tautologi 40 4.1.3.3 Hiperbol 40 4.1.3.4 Simile 41 4.1.3.5 Metafora 42 4.1.3.6 Personifikasi 42

4.1.4 Struktur Naratif Kidung Tunjung Biru 45

BAB V MAKNA KIDUNG TUNJUNG BIRU

5.1 Bunga dalam Arti Simbolik 58

5.2 Kidung Tunjung Biru sebuah pemujaan kepada Asmara 69

5.3 Penyatuan Lahir Batin antara Manusia, Alam, dan Sang Pencipta 74

5.4 Asmara sebagai Hakikat Dasar Kehidupan 82

BAB VI SIMPUMIWAH DAN SARAN

6.1 Simpulan 84

6.2 Saran 85

DAFTAR PUSTAKA 86

(5)

xv

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel No.1 Laras metrum kidung 28

Tabel No.2 Struktur kawitan Puh Demung 34

(6)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kidung merupakan salah satu bentuk sastra dalam kesusastraan Bali-Jawa

yang juga dikenal luas oleh masyarakat selain Kakawin. Istilah kidung sendiri berasal dari bahasa Jawa-Kuno yang sejak awal istilah tersebut digunakan untuk menunjukkan ekspresi „melantunkan‟, dan hal ini dapat dilihat dalam prasasti di Jawa Tengah dan Jawa Timur setelah abad ke-9 (Nabeshima, 2011:1). Lebih lanjut Nabeshima menjelaskan bahwa sejalan dengan perkembangan budaya Hindu-Jawa, istilah tersebut digunakan untuk puisi metrum yang bersifat asli sesuai budaya setempat. Kidung memiliki persajakan atau metrum tersendiri berbeda dengan kakawin yang metrumnya diperkirakan berasal dari India. Metrum kidung diperkirakan memang asli Jawa yang istilahnya disebut metrum „tengahan‟ dan prinsip dasarnya sama dengan macapat (Zoetmulder, 1985:142). Adapun ciri umum dari metrum kidung seperti : 1) jumlah baris dalam satu bait tetap sama selama metrumnya tetap dan semua metrum „tengahan‟ memiliki jumlah baris yang lebih dari empat seperti dalam kakawin, 2) jumlah suku kata dalam setiap baris tetap tetapi panjang baris dapat berubah menurut kedudukannya dalam bait, 3) sifat sebuah vokal dalam suku kata yang menutup setiap baris ditentukan oleh metrum. Itulah yang membedakan sastra kidung dengan bentuk sastra lain seperti kakawin dan macapat.

(7)

2

Tampaknya hal tersebut pula yang pada akhirnya menjadi salah satu alasan yang menyebabkan kesusastraan kidung sangat jarang diminati oleh para peneliti. Ini jelas diungkapkan oleh para peneliti seperti dikutip dari pernyataan Zoetmulder dalam Kalanguan yang menyatakan alasan-alasan penelitian kidung jarang dilakukan yakni : bahannya demikian rumit dan rawan, sehingga, biarpun penelitian persiapan telah dilakukan namun sangat kecil harapan untuk dapat dihasilkan sesuatu yang memuaskan (Zoetmulder, 1985:143-144). Lain daripada itu Zoetmulder juga mengatakan bahwa sarjana-sarjana terkemuka seperti Brandes dan Van der Tuuk yang biasanya tidak mudah digentarkan pada akhirnya juga mengaku kalah, dengan meninggalkan berberapa catatan-catatan yang menerangkan alasan kenapa mereka tidak berhasil membedah sastra kidung. Dari beberapa catatan tersebut dijabarkan alasan kesulitan mengkaji kidung yakni: tidak adanya suatu catatan pungtuasi yang memisahkan baris yang satu dengan baris yang lain dalam satu bait kidung. Akibatnya pembaca sering berhadapan dengan lautan suku kata dan menemui tugas raksasa untuk menentukan berapa baris didalamnya dan berapa suku kata dalam satu bait. Dengan mengakui dirinya kurang berkompeten, Zoetmulder menyerahkan tugas besar ini kepada peneliti-peneliti yang memang masih akrab dengan sastra kidung tersebut. Dikutip dari pernyataannya dalam kalangwan yakni :

“ ... seyogyanya kita tunggu saja sampai ada seseorang yang mempunyai waktu dan keberanian untuk memulai kembali penelitian tentang sastra kidung itu serta dapat menyelesaikannya dengan memuaskan. Mungkin juga seorang sarjana Bali yang masih akrab dengan metrum tengahan seperti dikidungkan di daerahnya merupakan orang yang paling tepat untuk mengusahakan penelitian tersebut....”

(8)

3

3

Dari pernyataan Zoetmulder tersebut maka terbesit keinginan penulis untuk mencoba mengkaji sastra kidung. Bukan karena satu hal itu saja, akan tetapi ada alasan lain yang kiranya juga menjadi titik tolak penulis untuk mengkaji

kidung yakni, melihat khazanah kesusastraan kidung di Bali yang cukup banyak

dan baru sedikit di antaranya yang dikaji oleh para sarjana. Masih ada sebagian lebih sastra bentuk kidung yang belum sama sekali dijamah oleh tangan-tangan peneliti akademis, baik dari Bali sendiri atau pun dari luar Bali. Kemudian dari sekian hasil penelitian tentang kidung, lebih banyak penelitian dilakukan oleh para sarjana Barat. Sangat sedikit dari orang-orang nusantara yang memiliki catatan hasil kajian mengenai kidung, dan banyak diantaranya juga yang berkiblat pada hasil penelitian orang-orang barat. Hal ini pula yang melandasi kajian penulis tentang sastra kidung yang akan dikaji.

Salah satu kidung yang menjadi bagian dari genre sastra Jawa Tengahan tersebut adalah Kidung Tunjung Biru, yang merupakan salah satu karya sastra

kidung dalam khazanah sastra Bali. Kidung ini pada dasarnya bercerita tentang

kisah cinta antara seorang lelaki yang bernama Wargasantun terhadap perempuan bernama Tunjung Biru. Alur kisahnya sesungguhnya sangat sederhana dan biasa saja sehingga tidak ada yang menarik. Justru yang menarik dalam karya ini adalah cara pengarang membahasakan ekspresi cinta dari tokoh dalam cerita yang diramu dengan bumbu-bumbu bahasa yang sangat indah. Dengan bumbu bahasa tersebut cerita yang tadinya biasa menjadi begitu menarik dengan syair erotis dan petualangan asmara yang dikemas dalam bentuk puisi dengan metrum kidung bait demi bait. Kidung ini secara keseluruhan memakai bahasa Bali Kepara walaupun

(9)

4

ada beberapa di sana sini yang dicampur dengan bahasa Tengahan atau Kawi. Lebih jauh kidung Tunjung Biru memakai satu buah metrum yakni metrum

Demung Sawit lengkap dimulai dari kawitan bawak, kawitan panjang hingga pangawak baik bawak maupun dawa. Dalam satu bait kidung, yang hanya

ditandai oleh tanda titik (cecek kalih ) dalam naskah lontarnya, terdapat 54 suku kata pada kawitan bawak, 60 suku kata pada kawitan panjang, 64 suku kata pada

pangawak bawak, dan 77 suku kata pada pangawak dawa. Akan tetapi jumlah ini

tidak tetap demikian sama pada semua bait dalam kidung Tunjung Biru. Pengurangan atau kelebihan satu atau dua suku kata dalam beberapa bait tentu ada. Namun penulis belum mengetahui pasti siapa pengarang dari Kidung

Tunjung Biru tersebut.

Dari beberapa alasan tersebut, inilah yang menarik penulis untuk mengkaji

kidung Tunjung Biru. Adapun pendekatan yang dipakai dalm proses pengkajian

nantinya yakni pendekatan mitopoik, pendekatan ini dirasa sangat fleksibel sehingga kidung Tunjung Biru dapat dilihat dari berbagai sudut. Kemudian analisis yang dipakai untuk mengkaji kidung Tunjung Biru yakni analisis semiotika. Alasan kenapa penulis memakai analisis semiotika dalam pengkajian

kidung Tunjung Biru adalah untuk menginterpretasi secara lebih jelas makna

dalam naskah kidung Tunjung Biru. Lebih lanjut dengan harapan bahwa penelitian

kidung Tunjung Biru nantinya dapat dilakukan secara lebih mendalam dan lebih

luas dari berbagai segi. Kemudian juga diharapkan hasil penelitian ini dapat memberi penjelasan lebih mendalam mengenai kidung Tunjung Biru dan

(10)

5

5

menambah hasil penelitian mengenai sastra kidung yang cenderung sangat kurang mendapat perhatian dari para peneliti.

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang tersebut di atas, muncul beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah struktur Kidung Tunjung Biru ?

2. Makna apa sajakah yang terkandung dalam kidung Tunjung Biru ?

1.3 Tujuan Penelitian

Seperti yang telah diketahui, setiap kegiatan yang dilakukan tentunya memiliki tujuan yang jelas. Tidak hanya kepergian ataupun kehidupan, suatu penelitian pun tentu harus memiliki tujuan. Tujuan dari penelitian ini dapat dibedakan atas tujuan umum dan tujuan khusus.

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan tentang sastra dan karya-karya sastra Nusantara, terutama sastra

kidung, serta turut melestarikan warisan budaya bangsa yang mengandung

nilai-nilai luhur dalam peranannya mengembangkan kebudayaan dan peradaban bangsa sejak dahulu hingga sekarang, dan bahkan nanti.

(11)

6

Sebagaimana sesuai dengan pokok permasalahan telah dijabarkan, maka tentunya dapat dikemukakan tujuan khusus dari penelitan ini yaitu, untuk dapat mengetahui struktur Kidung Tunjung Biru dan dapat mengungkap makna-makna yang terkandung dalam kidung tersebut serta deskripsi alam yang dipantulkan melalui Kidung Tunjung Biru tersebut.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat teoretis hasil penelitian ini adalah dapat menjadi salah satu sumber informasi mengenai pengetahuan dalam bidang sastra, dan berperan dalam pengembangan keilmuan mengenai sastra, khususnya sastra kidung.

Secara praktis, hasil penelitian ini bertujuan untuk memperkaya wawasan budaya bangsa mengenai kidung dan tentunya mengenai alam atau lebih tepatnya ekosistem yang berkembang didalamnya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan apresiasi kreatif bagi para civitas akademika maupun masyarakat pada umumnya tentang sastra kidung.

(12)

Referensi

Dokumen terkait