• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka 1. Status Gizi

Status gizi merupakan keadaan yang diakibatkan oleh status keseimbangan antara jumlah asupan zat gizi atau jumlah makanan (zat gizi) yang dikonsumsi dengan jumlah zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh yang merupakan cerminan dari ukuran terpenuhinya kebutuhan gizi yang secara parsial dapat diukur dengan antropometri atau biokimia secara klinis (Kemenkes RI, 2012).

Pemenuhan kebutuhan ini telah dimulai dari awal perkembangan dan pertumbuhannya yaitu dari sejak dalam kandungan. Penentuan status gizi masing-masing kelompok umur tidaklah selalu sama. Untuk penentuan status gizi balita, penentuan status gizinya diatur dalam KEMENKES RI, NOMOR:1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang standar gizi balita. Standar tersebut mengatur tentang penentuan status gizi berdasarkan atas Berat Badan menurut Umur (BB/U), Panjang Badan atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U atau PB/U), Berat Badan menurut Panjang Badan atau Tinggi Badan (BB/PB ATAU BB/TB), dan Indeks Masa Tubuh menurut Umur (IMT/U).

(2)

Masing-masing indikator tersebut memiliki pembagian kategori yang berbeda-beda :

a. BB/U

Indeks ini diperoleh dari perbandingan antara berat badan dengan umur yang dapat digunakan untuk menilai kemungkinan anak dengan berat badan kurang atau sangat kurang.

b. PB/U atau TB/U

Indeks ini diperoleh dari perbandingan antara PB atau TB dengan umur yang dapat digunakan untuk menggambarkan keadaan kurang gizi kronis yaitu pendek.

c. BB/PB atau BB/TB

Indeks ini diperoleh untuk merefleksikan BB dibandingkan dengan pertumbuhan menurut PB atau TB yang dapat digunakan untuk menilai kemungkinan anak dengan kategori kurus atau sangat kurus yang merupakan masalah gizi akut.

d. IMT/U

Indikator yang diperoleh dengan membandingkan antar IMT dengan umur yang hasilnya cenderung menunjukkan hasil yang sama dengan indeks BB/TB atau BB/PB.

(3)

2. Konsep Stunting a. Defenisi

Stunting adalah kegagalan untuk mencapai pertumbuhan

yang optimal, yang diukur berdasarkan TB/U (tinggi badan menurut umur). Dengan kata lain Stunting dapat diketahui bila seorang balita sudah diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar, dan bila hasil z score < - 2 SD disebut sebagai Stunting (WHO, 2010)

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 tanggal 30 Desember 2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, pengertian Pendek dan Sangat Pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah Stunting (pendek) dan

severely. Pendek dan sangat pendek disebut Stunting.

b. Fakta Terkait Stunting

Menurut Harahap (2014), fakta yang terkait dengan Stunting adalah sebagai berikut :

1) Anak-anak yang mengalami Stunting lebih awal yaitu sebelum usia enam bulan, akan mengalami Stunting lebih berat menjelang usia dua tahun. Stunting yang parah pada anak-anak akan terjadi deficit jangka panjang dalam perkembangan fisik dan mental sehingga tidak mampu untuk belajar secara optimal di sekolah, dibandingkan

(4)

anak- anak dengan tinggi badan normal. Anak-anak dengan Stunting cenderung lebih lama masuk sekolah dan lebih sering absen dari sekolah dibandingkan anak-anak dengan status gizi baik. Hal ini memberikan konsekuensi terhadap kesuksesan anak dalam kehidupannya dimasa yang akan datang.

2) Stunting akan sangat mempengaruhi kesehatan dan perkembanngan anak. Faktor dasar yang menyebabkan Stunting dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan intelektual. Penyebab dari

Stunting adalah bayi berat lahir rendah, ASI yang tidak memadai,

kondisi sosial ekonomi dan pengetahuan ibu yang kurang. Berdasarkan penelitian sebagian besar anak-anak dengan Stunting mengkonsumsi makanan yang berada di bawah ketentuan rekomendasi kadar gizi, berasal dari keluarga miskin dengan jumlah keluarga banyak, bertempat tinggal di wilayah pinggiran kota dan komunitas pedesaan.

3) Pengaruh gizi pada anak usia dini yang mengalami Stunting dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan kognitif yang kurang. Anak Stunting pada usia lima tahun cenderung menetap sepanjang hidup, kegagalan pertumbuhan anak usia dini berlanjut pada masa remaja dan kemudian tumbuh menjadi wanita dewasa yang Stunting dan mempengaruhi secara langsung pada kesehatan dan produktivitas, sehingga meningkatkan peluang melahirkan anak dengan BBLR. Stunting terutama berbahaya pada perempuan,

(5)

karena lebih cenderung menghambat dalam proses pertumbuhan dan berisiko lebih besar meninggal saat melahirka

4) Anak-anak yang Stunting biasanya pada saat dewasa juga menjadi orang dewasa yang Stunting

5) Remaja Stunting mempunyai kepadatan tulang yang rendah, dan orang dewasa Stunting lebih banyak yang terkena osteoporosis 6) Anak-anak Stunting lebih banyak menghabiskan waktu dengan

jenis aktivitas fisik yang mengeluarkan energi rendah, & lebih sedikit waktu dengan aktivitas fisik sedang & tinggi

7) Anak-anak yang mengalami Stunting lebih awal yaitu sebelum usia enam bulan, akan mengalami Stunting lebih berat menjelang usia dua tahun. Stunting yang parah pada anak-anak akan terjadi deficit jangka panjang dalam perkembangan fisik dan mental sehingga tidak mampu untuk belajar secara optimal di sekolah, dibandingkan anak- anak dengan tinggi badan normal. Anak-anak dengan

Stunting cenderung lebih lama masuk sekolah dan lebih sering

absen dari sekolah dibandingkan anak-anak dengan status gizi baik. Hal ini memberikan konsekuensi terhadap kesuksesan anak dalam kehidupannya dimasa yang akan datang.

(6)

c. Program Intervensi Gizi melalui Gerakan 1000 Hari Kehidupan Pertama

1) Intervensi spesifik

Tindakan atau kegiatan yang dalam perencanaannya ditujukan khusus untuk kelompok 1000 hari Pertama Kehidupan. 1000 hari pertama yang dimaksudkan adalah 270 hari selama masa didalam kandungan dan 730 hari selama pasca lahir. Gerakan ini memfokuskan pada asupan gizi bayi di 1000 hari pertama kehidupan, hal ini sebagai kajian bahwa gizi masalah gizi merupakan salah satu masalah yang paling serius didunia yang menimpa anak-anak dan perempuan Indoensia, salahsatunya adalah masalah Stunting (Achadi, 2013).

Kegiatan ini pada umumnya dilakukan oleh sektor kesehatan. Intervensi spesifik bersifat jangka pendek, hasilnya dapat dicatat dalam waktu relatif pendek

.

Jenis intervensi gizi spesifik yang cost efektif adalah sebagai berikut :

a) Ibu hamil : suplementasi besi folat, pemberian makanan tambahan pada ibu hamil KEK, penanggulangan kecacingan pada ibu hamil, pemberian kelambu berinsektisida dan pengobatan bagi ibu hamil yang positif malaria

b) Kelompok umur 0-6 bulan : promosi menyusui (konseling individu dan kelompok)

(7)

c) Kelompok umur 7 – 23 bulan : promosi menyusui, KIE perubahan perilaku untuk perbaikan MP–ASI, Suplementasi Zink, Zink untuk manajemen diare, Pemberian Obat Cacing, Fortifikasi besi dan pemberian kelambu berinsektisida dan malaria

2) Intervensi Sensitif

Berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan. Sasarannya adalah masyarakat umum, tidak khusus untuk 1000 HPK. Namun apabila direncanakan secara khusus dan terpadu dengan kegiatan spesifik, dampaknya sensitif terhadap keselamatan proses pertumbuhan dan perkembangan 1000 HPK. Dampak kombinasi dari kegiatan spesifik dan sensitif bersifat langgeng (sustainable) dan jangka panjang. Intervensi gizi sensitif meliputi penyediaan air bersih dan sanitasi, ketahanan pangan dan gizi, Keluarga Berencana, Jaminan Kesehatan Masyarakat, Jaminan persalinan dasar, fortifikasi pangan dan pendidikan gizi masyarakat, intervensi untuk remaja perempuan, dan pengentasan kemiskinan (Hadiat, 2013).

d. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Stunting 1) Pengetahuan Ibu

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, yang terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indera penglihatan,

(8)

pendengaran, penciuman,rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan diperoleh dari mata dan telinga. Pengetahuan merupakan pedoman dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2007).

Tingkatan pengetahuan menurut Notoadmosjo (2007) adalah sebagai berikut :

a) Awareness (kesadaran)

Dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).

b) Interest (merasa tertarik)

Tertarik terhadap stimulus atau objek tersebut. Di sini sikap subjek sudah mulai timbul.

c) Evaluation (menimbang - nimbang)

Menimbang - nimbang terhadap baik tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

d) Trial (mencoba - coba)

Dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai apa yang dikehendaki oleh stimulus.

e) Adpotion

Dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

(9)

Notoadmodjo (2007), menyatakan bahwa prilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuannya, termasuk prilaku dalam memenuhi menilai masalah dalam tumbuh kembang balitanya. Seorang ibu yang tidak memahami bahwa ada masalah dalam tumbuh kembang balitanya dapat disebabkan karena ibu tersebut tidak mengetahui bagaimana memenuhi kebutuhan gizi balitanya. Pengetahuan ibu tentang gizi akan menentukan prilaku Ibu dalam menyediakan makanan pada anaknya.

Menurut asumsi peneliti, pengetahuan merupakan aspek mendasar dalam prilaku. Semakin baik pengetahuan, prilaku juga akan semakin baik pula dan tentunya juga prilaku dalam memenuhi kebutuhan gizi balitanya.

Pengukuran pengetahaun dapat dilakukan memalalui wawancara atau menyebarkan angket dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang relevan dengan maksud penelitian. Jawaban yang benar diberi nilai 1 dan jawaban yang salah diberi nilai 0. Selanjuntya dihitung persentase jawaban yang benar. Hasil ukurnya dibagi 2 yaitu pengetahuan kurang bai (jika persentase jawaban benar < 75%) dan baik (jika persentase jawaban benar > 75%) (Hidayat, 2007).

(10)

2) Asupan Protein

Menurut Esfarjani (2013) yang dikutip Harahap (2014), bahwa zat gizi utama yang berhubungan dengan kejadian Stunting adalah protein. Anak-anak dengan konsumsi protein rendah berisiko menjadi Stunting dibanding anak-anak dengan konsumsi protein baik. Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan di Indoensia tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2013 tentang Angka Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia.

Protein baik dalam membentuk tinggi badan maksimal karena protein membantu dalam perbaikan sel-sel yang telah rusak dan penyediaan sel-sel baru sehingga tubuh dapat berkembang dengan maksimal.

3) Tinggi Ibu

Menurut Soetjiningish (2014), salah satu atau kedua orang tua yang pendek akibat kondisi patologi (seperti defisiensi hormon pertumbuhan) memiliki gen dalam kromosom yang membawa sifat pendek sehingga memperbesar peluang anak mewarisi gen tersebut dan tumbuh menjadi Stunting.

Tinggi orangtua (Ibu) juga merupakan faktor penyebab terjadinya stunting, karena stunting dipengaruhi oleh keturunan. Meskipun demikian jika gizi anak terpenuhi dengan baik, walaupun

(11)

balita berasal dari Ibu yang tingginya tidak normal, maka kecendrungan anak untuk tinggi normal dapat diwujudkan.

4) ASI Eksklusif

ASI Eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama 6 bulan, tanpa menambah dan atau mengganti dengan makanan atau minuman lain (Peraturan Pemerintah RI, 2012).

ASI Eksklusif adalah pemberian ASI pada bayi tanpa tambahan makanan lainnya seperti susu formula, jeruk, madu, the, air putih dan tanpa tambahan makanan padat apapun seperti pisang, papaya, bubur susu, biscuit, bubur nasi, dan tim sampai usia enam bulan (Roesli,2007).

Menurut Soekirman (2014), Indonesia perlu memahami SUN (Scaling Up Nutrition). SUN adalah upaya dunia untuk mempercepat penanggulangan masalah anak pendek secara menyeluruh (spesifik & sensitif) langsung di bawah koordinasi SekJen PBB. Salah satu kegiatan SUN tersebut adalah Pemberian ASI Eksklusif untuk mencegah terjadinya Stunting.

ASI Eksklusif mengandung zat gizi yang lengkap yang sangat baik diberikan untuk balita dalam masa tumbuh kembangnya. Sehingga ASI Eksklusif ini dapat mencegah balita menjadi Stunting.

(12)

5) Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

Bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) didefinisikan oleh WHO (2012) yaitu berat lahir kurang dari 2500 gr. Anak yang BBLR kedepannya akan memiliki ukuran antropometri yang kurang di masa dewasa. Bagi perempuan yang lahir dengan berat rendah, memiliki risiko besar untuk menjadi ibu yang Stunting sehingga akan cenderung melahirkan bayi dengan berat lahir rendah seperti dirinya. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang Stunting tersebut akan menjadi perempuan dewasa yang Stunting juga, dan akan membentuk siklus sama seperti sebelumnya (Soetjiningsih, 2014).

6) Pendidikan Ibu

Pendidikan formal ibu dapat secara langsung transfer pengetahuan kesehatan untuk calon ibu. Keterampilan yang diperoleh waktu sekolah meningkatkan kemampuan mereka untuk mengenali penyakit dan mencari pengobatan untuk anak-anak mereka. Selain itu, mereka lebih mampu membaca petunjuk medis untuk pengobatan penyakit masa kanak-kanak dan menerapkan pengobatan (Notoadmodjo, 2007). Selanjutnya Menurut Harahap (2014) menyatakan bahwa kejadian Stunting sebagian besar ibu dengan pendidikan SMP kebawah.

Menurut asumsi peneliti, pendidikan formal membentuk pola pikir seseorang kearah yang lebih baik. Semakin tinggi pendidikan kecendrungan untuk kearah prilaku yang baik semakin besar.

(13)

B. Penelitian Terkait

1. Penelitian Pormes dkk (2014) tentang Hubungan pengetahuan Orangtua Tentang Gizi dengan Stunting Pada Anak Usia 4-5 tahun di TK Malaekat Pelindung Manado, dengan hasil ada hubungan orangtua tentang gizi dengan stunting pada anak usia 4-5 tahun.

2. Penelitian Hayati AW dkk (2014) tentang Determinan Stunting Anak Baduta : Analisis Data Riskesdas 2010, dengan hasil yang menunjukkan bahwa faktor Densitas Asupan Protein yang kurang berhubungan erat dengan Stunting anak baduta (z-skor TB/U).

3. Penelitian Hayati AW dkk (2012) tentang Determinan Stunting Anak Baduta : Analisis Data Riskesdas 2010, dengan hasil yang menunjukkan bahwa faktor Ibu yang pendek (< 145 cm) berhubungan erat dengan

Stunting anak baduta (z-skor TB/U).

4. Penelitian Rahayu (2012) tentang Hubungan Tinggi Badan Orangtua dengan Perubahan Status Stunting dari Usia 6-12 Bulan ke usia 3-4 Tahun, dengan hasil terdapat hubungan yang signifikan antara tinggi orangtua (ayah dan Ibu) dengan kejadian Stunting dengan pvalue < 0,005. (Tinggi < 150 cm).

5. Hasil penelitian Pudel dkk (2012) tentang Risk Factors for Stunting Among

Children: A Community Based Case Control Study in Nepal., dengan hasil

bahwa faktor risiko Stunting berkaitan dengan Pemberian ASI Non Eksklusif.

(14)

6. Hasil penelitian Rohmatun (2014) tentang Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu dan Pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian Stunting di Desa Sidowarna Wilayah Kerja Puskesmas Wonosari Kabupaten Klaten dengan hasil ada hubungan antara Pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian

Stunting pada balita di Desa Sidowarno Wilayah Kerja Puskesmas

Wonosari Kabupaten Klaten p value = < 0,05.

7. Hasil penelitian Abuya (2012) tentang Effect of mother’s education on

child’s nutritional status in the slums of Nairobi dengan hasil Pendidikan

ibu merupakan prediktor kuat dari anak Stunting.

8. Hasil penelitian Rosha (2012). Analisis Determinan Stunting anak 0-23 Bulan Pada Daerah Miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan hasil Ibu dengan tingkat pendidikan <SMP memiliki risiko 1,56 kali memiliki anak dengan status Stunting dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan ≥ SMP.

9. Hasil penelitian Anshori (2013) tentang faktor risiko kejadian Stunting Pada Anak Usia 12-24 bulan (Studi di Wilayah Kerja Puskesmas Semarang Timur) dengan hasil penelitian bahwa faktor risiko kejadian

Stunting pada anak usia 12–24 bulan adalah status ekonomi keluarga

(15)

C. Kerangka Teori

Berdasarkan kerangka teori yang terdapat dalam tinjauan kepustakaan, maka kerangka teori digambarkan berikut ini. Perbaiki..

Sumber : Hayati AW, Hardinsyah, Fasli.J, Siti.M, dan Dodik,B, 2012

Gambar 1 Kerangka Teori Faktor Ibu 1. Pengetahuan Ibu 2. Tinggi Ibu 3. ASI Eksklusif 4. Pendidikan Ibu Kejadian Stunting Faktor Bayi - BBLR - Asupan Protein

(16)

D. Kerangka Konsep

Kernagka Konsep Dalam Penelitian ini adalah sebagai berikut ; Variabel Independent Variabel Dependent

Keterangan = Tidak diteliti

Gambar 2 Kerangka Konsep

Kejadian Stunting 1. Pengetahuan Ibu

2. Asupan Protein 3. Tinggi Badan Ibu 4. ASI Eksklusif

6. BBLR

(17)

E. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah yang masih bersifat praduga karena harus dibuktikan kebenarannya (Hidayat, 2007). Hipotesis dalam penelitian ini adaah :

1. Ada hubungan Pengetahuan Ibu dengan Kejadian Stunting Pada Balita di Desa Batang Kum Wilayah Kerja Puskesmas Tambusai Tahun 2016 2. Ada hubungan asupan protein pada balita dengan Kejadian Stunting Pada

Balita di Desa Batang Kumu Wilayah Kerja Puskesmas Tambusai Tahun 2016

3. Ada hubungan Tinggi Ibu dengan Kejadian Stunting Pada Balita di Desa Batang Kumu Wilayah Kerja Puskesmas Tambusai Tahun 2016

Gambar

Gambar 1  Kerangka Teori Faktor Ibu 1.  Pengetahuan Ibu 2.  Tinggi Ibu 3.  ASI Eksklusif 4
Gambar 2  Kerangka Konsep

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kreativitas kerja pegawai pada Kantor Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Pesawaran secara dominan

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kompetensi yang diperlukan/ dibutuhkan alumni Program Studi Pendidikan Ekonomi Universitas Riau yang bersumber

Pada proses pengelolaan limbah radioaktif latar rendah, sifat- sifat migrasi atau perpindahan radionuklida pada lapisan tanah sangat renting diketahui untuk

Penyelengaraan FLS2N di tingkat nasional tahun 2012 dibiayai dengan dana APBN, sedangkan untuk transportasi baik peserta maupun pendamping dibiayai melalui dana dekonsentrasi pada

Hubungan Asupan makanan (Karbohidrat, Protein dan Lemak) dengan Status Gizi Bayi dan Balita ( Studi pada Taman Penitipan Anak Lusendra Kota Semarang Tahun 2016).. Hubungan

Penelitian ini juga diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Yusnidar pada tahun 2012 ini di Kelurahan Sidorame Barat II Medan Perjuangan yang menyatakan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pada budaya organisasi terhadap komitmen pegawai yang bekerja di Kementerian “X” Jakarta..