Derita TKI Tak Berhenti Tahun Ini
http://www.gatra.com/nasional-cp/1-nasional/6590-derita-tki-tak-berhenti-tahun-iniSaturday, 31 December 2011 15:14 Derita Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di berbagai negara seakan tak pernah
berhenti. Meski disebut-sebut bahwa TKI memberikan kontribusi signifikan bagi penghasilan negara ini, tapi perlindungan bagi pahlawan devisa itu masih minim. Berbagai kekerasan harus dialami sejumlah TKI. Bahkan, beberapa di antara mereka
harus meregang nyawa di tanah orang, meski ada juga yang bisa kembali ke Tanah Air membawa kabar bahagia.
Menurut data Bank Indonesia, hingga Oktober 2011, para TKI di mancanegara mengirim uang (remitansi) ke tanah air hingga US5,6 miliar atau sekira Rp50,73 triliun. Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Mohammad Jumhur Hidayat menilai, remitansi tersebut dikirim TKI yang bekerja di berbagai kawasan negara seperti Timur Tengah, Asia Pasifik, Amerika, Eropa, dan Australia.
Aliran dana itu sebagian besar dikirim oleh TKI yang berada di sektor informal penata laksana rumah tangga (pembantu rumah tangga). Dana itu dihimpun dari pengiriman menggunakan jasa perbankan saja. Banyak juga TKI yang membawa pulang langsung uang mereka atau menitipkan melalui pihak lain. Perkiraan total, bisa mencapai Rp100 triliun. Wow!
Tapi, apakah sumbangan mereka sudah sebanding dengan perjuangannya? Selama ini, kisah penganiayaan atas tenaga kerja Indonesia, terutama perempuan yang bekerja di luar negeri, kerap berdengung hingga menggugah emosi rakyat Indonesia. Hampir setiap tahun, kasus ini selalu terjadi, baik di Malaysia, Singapura, maupun Timur Tengah, tak terkecuali tahun ini.
Berbagai kisah sedih kembali mencuat pada 2011, dari mulai hukuman pancung untuk Ruyati hingga nasib Tuti Tursilawati, TKI asal Majalengka, yang kini nyawanya terancam di ujung gantungan. Tuti Tursilawati tidak sendiri menghadapi hukuman mati. Sedikitnya ada 218 TKI di luar negeri yang terancam hukuman mati. Mereka tersebar di empat negara yakni, Malaysia 151 orang, Arab Saudi 43 orang, China 22 orang, dan Singapura 2 orang.
Reaksi kepedulian pemerintah hanya sesaat disertai janji pembenahan. Namun, janji tinggal janji. Sebab, kisah yang sama terulang kembali. Malah penganiayaan ini semakin menjadi-jadi membuat hati tersayat-sayat pilu.
Penanganan kasus TKI yang dilakukan Pemerintah Indonesia sama sekali tidak menyentuh akar persoalan yang sesungguhnya. Sebaliknya, pemerintah dan semua pihak terkait selalu
berbangga jika mendengar majikan dihukum dan TKI diberikan berbagai biaya sebagai
kompensasi. Tetapi, sumber masalah yang ada di dalam negeri tetap dibiarkan kian menggurita.
Akar masalah itu mulai dari tata cara dan mekanisme perekrutan, proses penyiapan
keterampilan, sistem pengiriman, hingga sejumlah ketentuan lainnya, termasuk adanya sindikat dalam pengiriman TKI. Para pelaku sindikat tidak peduli seperti apa nasib TKI di luar negeri. Yang penting bagi mereka adalah menikmati keuntungan dari transaksi pengiriman TKI.
Sumber masalah itu sudah berkali-kali diungkapkan secara telanjang. Solusi juga sudah banyak diberikan, tetapi pemerintah sama sekali tidak punya niat serius untuk menuntaskan
masalah. ”Terkesan pemerintah tidak pernah merasa bersalah. Mereka malah menganggap sudah bekerja maksimal. Padahal, rasa bersalah itu penting sebagai modal melakukan perbaikan,” kata Direktur Eksekutif Institut for Ecosoc Rights Sri Palupi.
Harus diakui, penderitaan TKI sesungguhnya adalah puncak dari akumulasi perlakuan tak manusiawi yang dialami para buruh migran sejak awal perekrutan. Mereka direkrut perusahaan jasa dengan diimingi gaji besar tanpa melalui proses seleksi dan penyiapan keterampilan yang memadai, termasuk dalam penguasaan bahasa di negara tempat mereka akan bekerja. Hal ini diperburuk lagi dengan lemahnya pengawasan dari instansi terkait.
Kondisi ini menimbulkan masalah bagi TKI yang bersangkutan saat berada di tangan majikan di negara tujuan. Apalagi, demi mendapatkan pekerja itu, majikan pun sudah membayar uang yang tidak sedikit. Kekecewaan majikan dilampiaskan dengan melakukan penyiksaan, menahan gaji TKI, dan berbagai tindakan lainnya.
Dari seluruh mata rantai persoalan TKI, sekitar 95 persen persoalan itu tertanam di Indonesia. Tak kurang ada 18 instansi pemerintah setiap tahun mengalokasikan dana untuk urusan TKI, tetapi hasilnya selalu nihil. ”Inilah salah satu bukti kegagalan negara sebab menyuburkan praktik pengiriman TKI yang mengabaikan aspek harkat dan martabat manusia, legalitas dan keterampilan,” ujar Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah.
Maraknya persoalan yang dialami para TKI juga dipicu kegagalan pemerintah dalam
memberdayakan sektor pertanian di pedesaan. Lihat saja nilai tukar produk pertanian selalu lebih rendah daripada sektor lainnya. Bahkan, tak jarang ongkos produksi pertanian jauh lebih tinggi dibandingkan pendapatan yang diperoleh petani. Ini diperburuk lagi dengan maraknya beredar produk impor dengan harga yang jauh lebih murah.
Tak sedikit petani mencoba berganti komoditas yang dibudidayakan sebagai upaya mencari pilihan yang memungkinkan dapat meningkatkan pendapatan. Setelah pilihan itu dicoba, dan tidak memberikan hasil seperti diharapkan, mereka pun putus asa, lalu memutuskan menjadi
TKI. Lahan digadaikan guna mendapatkan modal ke luar negeri.
”Saat ini yang menjadi petani di Pulau Jawa rata-rata berusia 50 tahun ke atas. Artinya, dunia pertanian makin ditinggalkan kaum muda dan mereka lebih memilih menjadi TKI. Mengapa? Karena sektor pertanian dinilai tak lagi menjanjikan untuk masa depannya,” kata Sri Palupi.
Selain itu, pemerintah pun gagal mendorong TKI dan keluarganya memanfaatkan uang dari luar negeri dengan usaha ekonomi produktif. Melalui kegiatan itu, uang yang ada dapat berkembang sekaligus meningkatkan kesejahteraan. Jika semua uang yang dimiliki habis terpakai untuk urusan konsumtif, otomatis menjadi TKI merupakan pilihan hidup abadi.
Kini, saatnya dilakukan evaluasi total terhadap penanganan TKI. Evaluasi itu melibatkan semua instansi terkait, termasuk aktivis LSM, peneliti, dan perguruan tinggi. Dari sana harus
dihasilkan sebuah rencana besar penanganan TKI yang berbobot disertai rencana aksi nyata sehingga ke depan tidak ada lagi korban. (HP, dari berbagai sumber)
Kisah Petaka Para Pahlawan Devisa
Saturday, 31 December 2011 15:12Berikut ini sejumlah kisah para Tenaha Kerja Indonesia sepajang tahun 2011:
Yuningsih binti Mahpud (Yuyun)
Sempat hilang dua tahun, Yuyun kembali ke rumah keluarga dalam kondisi tak bernyawa. Selain itu, keluarga juga mendapati sejumlah lebam di tubuh Yuyun. Saat tiba di Indonesia, 22 Desember 2010, Yuyun bersama dua TKI lainnya mengalami depresi. Mereka berangkat dari shelter Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Aman, Yordania, pada tanggal 21 Desember 2011, dan tiba di Indonesia tanggal 22 Desember 2011. Secara fisik, saat tiba di Indonesia, kondisi Yuyun dalam keadaan sehat. Tapi, ia kemudian meninggal di di Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta, setelah dirawat selama enam hari. Hingga kini, belum jelas apa penyebab meninggalnya yuyun.
Bayanah
Tenaga Kerja Wanita asal Desa Ranca Labuh Rt 07/01, Kecamatan Kemiri, Kabupaten
Tangerang, Banten, akhirnya kembali ke tanah air, 28 Desember lalu. Dia selamat dari hukuman mati dengan tuduhan membunuh anak majikannya di Arab Saudi. Sejak April 2006 Bayanah dipenjara di Riyadh, Arab Saudi dengan tuduhan membunuh anak majikannya. Dalam
persidangan, Bayanah terbukti tidak sengaja membunuh anak majikannya itu. Bayanah pun bisa bebas dan membayar diat sebesar 55 ribu real.
Tuti Tursilawati
TKI asal Majalengka, Jawa Barat ini bersiap menghadapi kematian dengan hukuman pancung karena kasus pembunuhan. Semula, keluarga menerima kabar Tuti akan dieksekusi November lalu setelah Lebaran Haji. Namun, hingga kini tak jelas bagaimana nasib Tuti di Arab Saudi. Keluarga Tuti sudah mendatangi DPR RI untuk meminta pembebasan putrinya dari hukuman pancung di Arab Saudi, 11November lalu. Dia datang sekitar pukul 10.00 WIB, didampingi oleh istrinya, Iti Sarniti, dan paman Tuti, Saman. Selain itu, keluarga Tuti juga didampingi oleh aktivis buruh dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) serta Anggota DPR RI Komisi IX, Rieke Dyah Pitaloka. Kedua orangtua Tuti mengungkapkan keinginannya untuk bertemu putrinya itu. Namun sampai hari ini niat tersebut belum kesampaian.
Simon Sitepu
TKI asal Sumatera Utara yang tewas tertimpa alat berat di Kedah, Malaysia, pada 14 Oktober lalu. Saat jasad kembali ke tanah air, keluarga mengamuk ke Konsulat Jenderal Malaysia di Medan, Rabu 19 Oktober 2011. Pasalnya, jasad yang mereka terima bukan anggota keluarga mereka. Emosi mereka tidak terbendung lagi mengetahui jenazah Simon tertukar dengan jenazah orang lain, sementara mereka telah mengeluarkan dana pribadi jutaan rupiah untuk memulangkan Simon. Mereka semakin marah lantaran protes mereka tidak ditanggapi oleh pihak Konjen. Tidak ada satu pun perwakilan Konjen Malaysia yang keluar untuk menghampiri mereka. Selasa 18 Oktober 2011, keluarga Simon menjemput jenazah Simon di Bandara Polonia, Medan. Jasad Simon dikirim dengan pesawat Sriwijaya Air SJ103. Pesawat itu berangkat dari Malaysia pukul 09.00 WIB dan tiba di Polonia pukul 11.00 WIB. Namun saat dibuka, peti yang bertuliskan nama Simon ternyata berisi Ronny, warga Kutacane.
Duduh Bachtiar Bin Nahrowi
Pria 39 tahun ini menjadi korban pembunuhan di Arab Saudi. Jasad korban ditemukan di Pantai Dammam, Arab Saudi dengan bekas jeratan di leher. Duduh berasal Kampung Selajambe RT 09/04, Desa Selajambe, Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi, dikabarkan menjadi korban pembunuhan di Arab Saudi.
Gerson Nomeni
TKI asal Desa Bonleu, Kecamatan Molo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT) ini meninggal perkebunan kelapa sawit Malaysia pada Juli lalu. Tapi, Keluarga belum mengetahui penyebab meninggalnya Gerson. Tapi jasad Gerson harus
terkatung-katung di Malaysia hingga sebulan.
Ernawati binti Sujono
Keluarga menerima informasi bahwa Ernawati meninggal di Arab Saudi karena menenggak racun serangga. Tapi, keluarga TKI asal Desa Ngeseng, Karang Rowo, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus ini menemukan kejanggalan. Ada banyak keganjilan pada kematian Erna. Menurut Yenny Larasati, kakak kandung korban, pihak keluarga tidak serta merta menerima alasan kematian yang diumumkan Pemerintah Arab Saudi. Keyakinan keluarga bukan tanpa alasan. Sebab,
sebelum dikabarkan meninggal, Ernawati pernah menghubungi keluarga dan mengatakan dirinya disiksa majikannya di Ryad.
Ruyati
Ini kisah TKI yang paling mengenaskan. Tak ada informasi ke Tanah Air, Ruyati sudah dipancung 18 Juni 2011. Keluarga malah mengetahui Ruyati sudah meregang nyawa di Arab Saudi dari lembaga swadaya masyarakat, bukan dari pemerintah. Keluarga Ruyati berang dan menyatakan pemerintah tidak memberikan bantuan hukum yang memadai saat Ruyati dililit persoalan hukum, pembunuhan di Arab Saudi. Menurut Direktur Eksekutif Migrant CARE, Anis Hidayah, pemancungan terjadi karena kelalaian negara yang tidak melaksanakan pembelaan hukum secara maksimal.
Darsem binti Dawud
TKI asal Jawa Barat ini berhasil lolos dari hukuman mati di Yaman karena kasus pembunuhan majikan. Dia lolos setelah pemerintah RI menyerahkan uang diyat (uang pemaafan) senilai SR 2 juta riyal atau sebesar Rp 4,6 miliar untuk pembebasan Darsem. Namun, Darsem belakangan diterpa isu negatif saat pengacaranya mengungkapkan Darsem hidup mewah dari hasil uang yang dikumpulkan pemirsa tvOne. Meski kemudian ayah Darsem membantah.
Rosita binti Saadah
Satu lagi tenaga kerja Indonesia berhasil lolos dari pedang pancung di Timur Tengah, setelah didakwa membunuh, Agustus lalu. Yang ‘luar biasa’, Rosita binti Saadah, ibu satu anak yang beralamat di Batu Ampar, Jakarta itu, selamat pulang ke Tanah Air, tanpa bantuan apapun dari pemerintah. Dibebaskan setelah mendekam di Penjara Fujairah, Uni Emirat Arab, selama 20 bulan, Rosita mengaku sempat ditawari bekerja di rumah wakil kepala sipir. Tawaran itu
ditampik, dia pun dibelikan tiket pulang ke Indonesia. Tetapi pemerintah RI tidak tahu ia pulang.
Darwati
TKW Majalengka ini tewas di Arab Saudi setelah dihantam benda tumpul di sekujur tubuh. Dia tewas di toilet majikan. Berita Darwati dimuat di sebuah media lokal, Kamis, 31 Maret lalu. Korban, yang belakangan diketahui bernama Aan Darwati Binti Udin Encup berasal
dari Majalengka, Jawa Barat. Wanita berusia 37 tahun ini diduga dibunuh. Dihabisi di toilet rumah si tuan rumah di Kota Mekah, Arab Saudi. Polisi telah menemukan sejumlah petunjuk dari luka memar yang diduga benturan benda tumpul yang ditemukan di tubuh wanita malang ini. Termasuk memar di bahu dan lengan bawah. Atas dasar itu, Komisi Penyelidikan dan Penuntutan kota Makkah kemudian memeriksa majikan korban.