• Tidak ada hasil yang ditemukan

Logika Kedaulatan dan Asal Usul Apa Yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Logika Kedaulatan dan Asal Usul Apa Yang"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

LOGIKA KEDAULATAN DAN ASAL-USUL (APA YANG KITA SEBUT) NEGARA1

Hizkia Yosie Polimpung2

Dewasa ini banyak dari kita yang mungkin kecewa dengan pemerintahan negara. Tentang bagaimana ia mengatur ini dan itu, memfasilitasi kita ini dan itu, melindungi kita dari ini dan itu, dst. Banyak pula dari kita, entah dengan dorongan nasionalisme atau apa, berusaha mengkritik, mengusulkan, bahkan tidak sedikit yang memaki pemerintah oleh karenanya. Jutaan opini koran ditulis, ribuan seminar diselenggarakan, ratusan buku ditulis dan dibedah, namun negara nampaknya “tenang-tenang saja” dan tetap tidak berubah menjadi seperti yang kita harapkan. Berikutnya tentu pertanyaan naïf yang segera terlontar adalah: “mengapa begitu, bukankah seharusnya negara memperjuangkan kepentingan kita, para rakyat?” Demikianlah keyakinan kita mengenai tujuan negara, bukan?

Keyakinan inilah yang coba ditinjau ulang kesahihannya secara historis. Penulis memberanikan diri untuk mengajukan suatu pandangan yang bersifat antitetis (anti-thetical) terhadap anggapan umum tentang negara yang demikian – yaitu negara berdaulat (sovereign state) yang bertujuan dan bertugas memberikan keamanan dan kesejahteraan rakyatnya. Dalam benak, penulis memantapkan diri untuk bertanya: bagaimana jika ternyata negara berdaulat memang tidak pernah berniat menyediakan keamanan dan kesejahteraan rakyatnya? Bagaimana jika penyediaan keamanan dan kesejahteraan rakyat hanyalah dalih pembenar untuk tujuan-tujuan lainnya? Jika benar demikian, maka sudah pasti jargon-jargon dan janji-janji pemerintah untuk menyediakan keamanan dan kesejahteraan tidak lebih dari sekedar dalih pembenaran semata. Tujuannya? Apalagi jika bukan mempertahankan “kesetiaan” rakyatnya untuk tinggal di teritorinya, mengingat salah satu unsur konstitutif negara adalah rakyat?3

Juga penulis ingin menyudahi dan melampaui perdebatan melelahkan tentang mundurnya vs. kembalinya negara. Permasalahan utama saat ini, menurut penulis, bukanlah persoalan apakah negara sudah usang atau semakin intrusif, bukan pula permasalahan

pro-1 Pemantik diskusi bedah buku Asal Usul Kedaulatan: Telusur Psikogenealogis atas Hasrat Mikrofasis

Bernegara (Penerbit Kepik, 2014), di Cak Tarno Institute, Depok, 5 Juli 2014.

(2)

negara atau anti-negara; sama sekali bukan ini permasalahan yang perlu dikuatirkan! Hal paling mendesak justru terjadi pada tarik-menarik paradoksal di antaranya: di satu sisi negara semakin usang di hadapan globalisasi seluruh aspek kehidupan, tapi di sisi lain ia semakin menguat dan intrusif mengatur seluruh lini kehidupan manusia – yaitu saat negara semakin terlepas dan teralienasi dari rakyat yang konon menjadi konstituen eksistensinya. Negara hanya peduli kedaulatannya, dan siapapun yang duduk di tampuk pemerintahan – seidealis apapun ia dulunya – akan tunduk pada logika kedaulatan negara: afirmasi dan reafirmasi abadi akan kedaulatannya dengan cara apapun. Sehingga saat negara bermasalah, sama sekali bukan dikarenakan orang-orang yang duduk di pemerintahannya adalah jahat. Justru sebaliknya, negara itu jahat karena ia memang bermasalah. Rakyat akhirnya hanya menjadi jargon pelengkap retorika untuk melegitimasi seluruh perjuangan negara demi mempertahankan kedaulatannya. Situasi di-ambang inilah yang menjadi konteks utama studi penulis: penulis menerima kenyataan paradoksal tentang negara ini, dan mengupayakan suatu pemahaman baru akannya – suatu pemahaman yang memungkinkan suatu transformasi.

Penting untuk diklarifikasi di sini mengenai apa yang ditawarkan dan yang tidak ditawarkan melalui buku ini. Yang hendak ditawarkan adalah suatu pemahaman baru akan negara dan kedaulatan, yaitu suatu pemahaman yang obyektif dalam melihat negara dan kedaulatan. Sebaliknya, yang tidak akan ditawarkan adalah suatu pemahaman subyektif yang selalu menisbatkan negara dengan aspirasi rakyat, moralitas, etika, kultural, reliji, dst. Klaim utama penulis adalah bahwa negara dan kedaulatan memiliki logikanya sendiri yang acuh tak acuh terhadap apapun aspirasi subyektif kita atasnya. Untuk itu, penting kiranya untuk mengesampingkan sejenak kontaminasi subyektif kita akan negara demi mendapat sebuah gambaran obyektif akannya. Secara praktis, penulis merasa hal ini akan sangat berguna bagi siapapun (pemerintah, partai, buruh, mahasiswa, dst.) yang hendak “menggunakan” negara berdaulat. Sama seperti kita harus mempelajari fitur-fitur obyektif ponsel kita untuk mengoptimalkan penggunaannya, demikianlah kita harus memahami negara berdaulat.

(3)

Objectivity cannot be equated with mental blankness; rather, objectivity resides in recognizing your preferences and then subjecting them to especially harsh scrutiny — and also in a willingness to revise or abandon your theories when the tests fail (as they usually do).4

Obyektivitas sebaiknya dipahami lebih kepada suatu kondisi dimana sesuatu, dalam hal ini negara berdaulat, dapat berfungsi secara mulus tanpa mensyaratkan intervensi-intervensi subyektif. Segala hal yang bersifat subyektif yang berpotensi mendistorsi pemahaman obyektif, seperti aspirasi dan harapan tentang bagaimana negara seharusnya, misalnya, harus dikesampingkan terlebih dahulu. Penting di sini untuk memisahkan antara aspirasi dan argumentasi jika suatu pemahaman obyektif hendak didapatkan. Pemahaman obyektif mengenai negara berdaulat akan membawa kita pada suatu pemahaman mengenai logika internal bekerjanya negara berdaulat – sekali lagi, dalam artian tanpa distorsi dan kontaminasi aspirasi subyektif. Logika internal negara inilah yang saya sebut sebagai 'logika kedaulatan'.

Secara umum, tesis logika kedaulatan ini bisa dirumuskan sebagai berikut:

1. Dalam kesehariannya, tujuan utama pemerintahan negara hanyalah semata-mata aktualisasi kedaulatannya, penguatan kedaulatannya, dan pemeliharaan kedaulatannya.

2. Ide-ide universal (demokrasi, komunisme, liberalisme, humanisme, Islamisme, Tanah Perjanjian, dst.) dan identitas-identitas sublim (Manusia Seutuhnya, Bangsa Indonesia, Kawula Alit, We the People, dst.) adalah obyek komodifikasi negara dalam retorika dan praktiknya. Tujuannya? Kembali ke nomor 1.

3. Produksi liyan sebagai manifestasi abyeksi (lawan dari subyeksi) adalah sesuatu yang logis karena universalitas selalu membutuhkan pengecualian (exception).

4. Logika kedaulatan ini sifatnya relatif otonom terhadap: a) logika lain diluarnya (kapitalisme, agama, alam, dst.); b) manusia yang (seolah-olah) menjalankannya.

a. Manusia ada hanya sebagai kendaraan untuk mengekalkan kedaulatan negara melalui suksesi tubuh-tubuh mortal di tahta kenegaraan yang imortal.

(4)

Lalu, apa sebenarnya yang bermasalah dari logika kedaulatan ini? Sebelumnya, terkait logika kedaulatan negara, penulis juga merasa perlu memperingatkan, yaitu bahwa harus disadari sejak awal bahwa dengan ‘negara’ dan ‘kedaulatan’, yang penulis maksudkan di buku adalah negara dan kedaulatan versi Barat, lebih spesifiknya, versi Perjanjian Damai Westphalia 1648. Ini bukan berarti lantas penulis menjadi Eropa-sentris. Pemilihan versi ini sebagai obyek kajian didasarkan pada kenyataan bahwa secara de facto, semua negara di dunia saat ini, terlepas dari apapun idiologi resminya, adalah menganut sistem kedaulatan versi Westphalia ini. Pula bentuk negara berdaulat yang diakui hukum internasional dan yang dipahami dalam pemahaman umum (common sense) orang banyak, disadari atau tidak, sebenarnya tidak lain adalah negara berdaulat versi Westphalia. Penekanan ini penting untuk menyadarkan bahwa “negara berdaulat” tidaklah universal! Ada perbedaan logika kedaulatan antara negara di era Yunani kuno, Romawi, Italia zaman Renaisans, Imperium Romawi Agung, Kristendom, Khilafah, dst. Menjadi amat tidak berdasar secara historis kemudian saat kita lantas mengatakan bahwa, misalnya, kedaulatan negara menjadi sinonim dengan kedaulatan Khilafah, atau dengan Daulah al-Islamiyah hanya karena kata ‘kedaulatan’ punya akar pada kata ‘daulah’.

Berdasarkan peringatan ini dengan demikian penulis tidak bermaksud mengklaim bahwa argumen dalam buku ini bisa diterapkan untuk semua model negara di tiap epos sejarah. Sekali lagi, negara berdaulat yang dimaksud studi ini adalah negara berdaulat modern versi Perjanjian Damai Westphalia 1648 yang dicirikan dengan tiga fitur utama: sentralisasi pemerintahan di bawah seorang pemimpin; penciptaan batas teritorial terbatas; dan pengakuan kedaulatan satu dengan lainnya di dalam komunitas negara berdaulat (hubungan internasional). Kehadiran tiga fitur ini secara bersamaan, tidak akan kita temukan di model kedaulatan lainnya. Perlu studi ekstensif untuk memetakan logika kedaulatan lain ini, lalu menelisik kontradiksi internalnya, dan akhirnya mencarikan alternatif atasnya.

(5)

bercorak Westphalian. Persis seperti the botol Sosro: “apapun idiologinya, bentuk pemerintahannya, presidennya, dst., kedaulatannya tetap kedaulatan Westphalia.”

Problem kedaulatan Westphalia adalah pada legitimasi berbasis-teritorialnya. Teritori, dan bukan rakyat (!!!), yang menjadi “kartu truf” kedaulatan Westphalia. Diasumsikan, dengan menjaga teritorinya, maka rakyat akan sejahtera. Tak pelak jargon-jargon “integrasi,” “kesatuan,” keutuhan,” dst., menjadi wajar diutarakan, dan laku! Pemerintahan, selalu adalah pemerintahan akan segala sesuatu yang terjadi di dalam batas teritorinya, oikosnya. Kebocoran dalam pemerintahan akan teritori maka dianggapnya sebagai kebocoran kedaulatan. Ekstrimnya, teritori menjadi harga mati, sekalipun dibandingkan rakyat. Tidak masalah satu, dua, seratus, seribu rakyat mati, asal teritori negara tetap utuh. Tidak ada yang salah dengan ini sebenarnya. Hanya saja, ini oksimoron. Terutama dilihat dari obyektivitas logika kedaulatan: bagaimana mungkin suatu entitas yang didirikan oleh manusia, dan mengaku untuk manusia, justru malah mengesampingkan manusia, bahkan menir-manusiakan manusia dalam kesehariannya? Inilah kontradiksi internal logika kedaulatan negara. Sekali lagi, kontradiksi ini obyektif (imanen dalam negara berdaulat itu sendiri) dan bukan hasil proses-proses subyektif.

Bagaimana menyudahi kontradiksi ini? Apapun itu, jelas: memilih dalam pemilihan umum bukanlah solusi. Mengapa? Karena memilih dalam pemilihan umum, adalah selalu memilih dalam konteks negara berdaulat Westphalia. Tapi, tentu saja, untuk memenuhi ketakutan khas liberal kita, atau mesianisme romantisis kita: memilih bisa menjadi katarsis sementara. Namun setelah katarsis itu lewat, dengan harapan “tagihannya” tidak terlalu membengkak, yang harus kita pikirkan, lalu lakukan adalah memulai proyek-proyek eksperimental baru untuk mengkonstruksikan suatu model kedaulatan baru. Salah satu kisi-kisinya kita sudah bisa petik dari problem kedaulatan Westphalia: yaitu bahwa legitimasinya tidak boleh berbasis teritori.

Terakhir, buku ini tidak akan terbit tanpa bantuan Geger Riyanto dari penerbit Kepik Ungu dan tangan dingin Muhammad Damm dalam menyunting buku ini. Kepada keduanya penulis sampaikan banyak terima kasih.

(6)

Referensi

Dokumen terkait

From the data analysis, the reseacher found the students’ problem and the cause of the problem in the process of learning listening of SMAN 15 Bandar Lampung

pengoperasiannya di mana biasanya digunakan sebagai pengaman sistem bertekanan tinggi. e) Electro-pneumatic operation valve adalah katup yang menggunakan sistem pneumatic

Pemohon memahami proses asesmen untuk skema Klaster Perawatan Pencegahan ( Preventive Maintenance ) Alat Berat Big Bulldozer yang mencakup persyaratan dan ruang

Biaya konversi persediaan meliputi biaya yang secara langsung terkait dengan unit yang diproduksi dan biaya overhead produksi tetap dan variabel yang di alokasikan

Terhadap Kualitas Audit Pada Kap Di Surabaya Independensi, Due-Proffesional Care Dan Kompetensi Auditor Terhadap Kualitas Audit Pada KAP Di Surabaya”. Penulisan

Communication Objective Dari riset penyelenggara pasca event yang dilakukan melalui 60 responden yang mengetahui Klub sepatu roda kota Semarang, sebanyak 43, yang berminat gabung

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa lagu berbahasa Prancis banyak mengalami elipsis terutama dari segi gramatikal: penghilangan subjek kalimat (4 macam), penghilangan

Menurut Manuaba (2008; h.389) disebutkan perdarahan terjadi karena gangguan hormon, gangguan kehamilan, gangguan KB, penyakit kandungan dan keganasan genetalia. 55)