• Tidak ada hasil yang ditemukan

siri na pacce sebuah tinjauan filsafat s

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "siri na pacce sebuah tinjauan filsafat s"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

SIRI’ NA PACCE SEBAGAI FALSAFAH HIDUP MASYARAKAT

BUGIS-MAKASSAR

Dalam Perspektif Filsafat Sejarah

Oleh :

Muh. Abdi Goncing

I. PENDAHULUAN

A. Pengantar

Layaknya sebuah tradisi, maka secara turun temurun konsep nilai falsafah ini senantiasa akan menjadi pegangan serta pedoman dalam kehidupan masyarakat Bugis-Makassar. Bilamana pada suatu generasi penafsirannya meleset, maka akan berdampak ke generasi berikutnya. Jika terjadi disintegrasi terhadap penafsiran tentang nilai Siri’ na Pacce ini, maka tentunya akan berdampak kepada kelanjutan eksistensi falsafah kepada generasi yang akan datang, inilah yang menjadi salah satu kekhawatiran banyak pihak termasuk penulis sendiri, sehingga harus dikaji kembali agar kedepannya nilai falsafah ini tetap bisa menjadi pedoman, pegangan serta ciri khas masyarakat Bugis-Makassar.

Sebuah dasar falsafah hidup yang menjiwai dan menjadi pegangan masyarakat Bugis-Makassar untuk senantiasa hidup baik di negeri sendiri atau negeri orang lain adalah menjadi manusia yang perkasa dalam menjalani kehidupan. Setiap manusia keturunan Bugis-Makassar dituntut harus memiliki keberanian, pantang menyerah menghadapi tantangan ataupun ujian hidup. Itulah sebabnya maka setiap orang yang mengaku sebagai masyarakat Bugis-Makassar memiliki orientasi yang mampu menghadapi apapun (Moein, 1990: 12).

(2)

Siri’ sendiri merupakan sebuah konsep kesadaran hukum dan falsafah dalam masyarakat Bugis-Makassar yang dianggap sakral. Begitu sakralnya kata itu, sehingga apabila seseorang kehilangan Siri’nya atau de’ni gaga siri’na, maka tak ada lagi artinya dia menempuh kehidupan sebagai manusia. Bahkan orang Bugis-Makassar berpendapat kalau mereka itu sirupai olo’ kolo’e (seperti binatang). Petuah Bugis berkata : Siri’mi Narituo (karena malu kita hidup). Untuk orang Bugis-Makassar, tidak ada tujuan atau alasan hidup yang lebih tinggi daripada menjaga Siri’nya, dan kalau mereka tersinggung atau dipermalukan (Nipakasiri’) mereka lebih senang mati dengan perkelahian untuk memulihkan Siri’nya dari pada hidup tanpa Siri’. Sedangkan Pacce sendiri merupakan sebuah nilai falsafah yang dapat dipandang sebagai rasa kebersamaan (kolektifitas), simpati dan empati yang melandasi kehidupan kolektif masyarakat Bugis-Makassar. Hal ini terlihat jika ada seorang kerabat atau tetangga atau sorang anggota komunitas dalam masyarakat Bugis-Makassar yang mendapatkan sebuah musibah, maka dengan serta merta para kerabat atau tetangga yang lain dengan senang hati membantu demi meringankan beban yang terkena musibah tadi, seolah bagi keseluruhan komunitas tersebut, merekalah yang sejatinya terkena musibah secara kolektif.

Jika dipandang dari sudut pandang kesejarahan, hal ini sejatinya telah ada dimasa lampau. Hal tersebut terlihat dari apa yang telah digambarkan dalam lontara yang berisi petuah-petuah orang terdahulu, bahwa sikap siri’ na pacce ini merupakan sikap yang menjadi penyangga bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat Bugis-Makassar (Pelras, 2006: 32).

Kemudian, jika dibawa ke dalam ranah kajian filsafat sejarah, maka sejatinya akan ditemui bagaimana nilai-nilai dari Siri’ na Pacce itu sendiri menggambarkan kehidupan ketika hal tersebut dituangkan dalam bentuk tulisan, kemudian masa kini dan rencana masa depan yang lebih baik dengan berpedoman pada nilai falsafah tersebut. Artinya bahwa dalam konsep nilai tersebut ada hal yang biasa disebut sebagi filsafat sejarah spekulatif. Dimana dalam filsafat spekulatif sendiri terdapat suatu perenungan filsafati mengenai tabiat dan sifat-sifat proses sebuah sejarah (Ankersmit, 1987: 17).

(3)

dalam kehidupan yang harus dipraktekkan oleh masyarakat Bugis-Makassar dari generasi ke generasi.

Menariknya lagi, bukannya ingin mempersamakan, jika hal ini dilihat dari kacamata kebudayaan, nilai falsafah yang ada dalam kehidupan masyarakat Bugis-Makassar ini hampir mirip dengan semangat bushido yang dimiliki oleh para samurai Jepang secara khusus dan masyarakat Jepang secara umum. Nilai bushido sendiri dalam kerangka pikir masyarakat Jepang merupakan sebuah kode etik atau sistem etika yang telah menyatu dalam segala aspek kehidupan dan budaya masyarakat Jepang (samurai Jepang), mulai dari sistem filsafat dan kepercayaan spiritual, tatacara hidup, kehidupan keluarga, pakaian, pekerjaan, selera estetika, hingga cara mereka mereka mengibur diri atau berekreasi (de Monte, 2009:17).

Untuk itu, sebagai sebuah pengantar dalam makalah ini, sejatinya kedua nilai ini yang sebelumnya telah dikatakan sebagai dua bagian yang tak terpisahkan dan tiga bagian yang tak terceraikan, jika dilihat dalam kacamata filsafat sejarah, utamanya sudut pandang filsafat sejarah spekulatif, maka akan ditemui beberapa hal yang menyangkut kedua nilai falsafah ini yang telah ada di masa lalu dan menggambarkan masa depan yang telah menjadi masa kini, yang selanjutnya bagi penulis sendiri dicoba untuk dianalisa dan dilihat atau lebih tepatnya meramalkan masa depan, utamanya kehidupan masyarakat Bugis-Makassar, dengan menggunakan kedua nilai ini sebagai sebuah pijakan dasar dalam melihat perkembangan masyarakat Bugis-Makassar dan Sulawsei Selatan secara umum, yang tentunya dengan menggunakan kacamata filsafat sejarah, yang dalam hal ini filsafat sejarah spekulatif yang digambarkan oleh Ankersmit.

B. Rumusan Masalah

Pada pengantar makalah ini yang telah dipaparkan sebelumnya, telah dijelaskan secara singkat mengenai beberapa persoalan yang terkait dengan konsep siri’ na pacce, utamanya sebagai nilai falsafah hidup bagi masyarakat Bugis-Makassar, yang juga sedikit dijelaskan melalui kajian kesejarahan dan filsafat sejarah. Untuk itu, berdasarkan dari pemaparan tersebut, maka kemudian dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah yang akan dibahas secara lebih lanjut dan mendalam dalam makalah ini, yakni:

1. Seperti apa persoalan pokok dalam falsafah hidup siri’ na pacce masyarakat Bugis-Makassar?

(4)

II. PEMBAHASAN

A. Beberapa Persoalan Pokok Dalam Falsafah Hidup Siri’ Na Pacce

Jika ditinjau dari aspek harfiahnya, siri’ dalam masyarakat Bugis-Makassar dapat diartikan sebagai rasa malu. Namun jika ditinjau dari sisi makna sejatinya, sebagaimana telah diungkapkan dalam lontara La Toa yang berisi petuah-petuah, siri’ dapat dimaknai sebagai harga diri atau kehormatan, juga dapat diartikan sebagai pernyataan sikap yang tidak serakah terhadap kehidupan duniawi (Moein MG, 1990: 10). Sedangkan makna pacce dapat diartikan sebagai rasa simpati yang dalam konsep masyarakat Bugis-Makassar merupakan rasa atau perasaan empati terhadap sesama dan seluruh anggota komunitas yang terdapat dalam masyarakat tersebut (Andaya, 2004: xv).

Artinya bahwa, kedua nilai yang mendasari perwatakan masyarakat Bugis-Makassar ini, sejatinya merupakan sebuah cerminan hidup dan etika hidup dalam bermasyarakat. Sehingga dapat pula dikatakan, kedua nilai ini merupakan kerangka teori hidup yang dipegangi sebagai sebuah falsafah dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, yang dalam perjalan sejarah masyarakat Bugis-Makassar penuh dengan berbagai intrik kehidupan sosial politik di dalamnya, yang mau tak mau menjadikan nilai ini sebagai sebuah sandaran atau pegangan hidup dalam hal norma atau tatakrama kehidupan masyarakatnya.

Sejatinya, kedua falsafah ini memiliki nilai-nilai turunan tersendiri yang kemudian bagi generasi pelanjut, memiliki peran dan pengaruh yang penting dalam menjalani kehidupannya. Namun ada baiknya pertama-tama dilihat dulu nilai yang terkadung dalam kedua nilai tersebut, dimana telah dikatakan sebelumnya sebagai dua hal yang meski berbeda namun tidak dapat dipisahkan.

(5)

Sejatinya, pengetahuan masyarakat Bugis-Makassar dan Sulawesi Selatan secara umum atas sumber-sumber ajaran dari konsep nilai ini, telah ada dan tertuang dalam lontar-lontar Bugis-Makassar yang berisi tentang petuah-petuah (paseng) tentang bagaimana seharusnya manusia menjalani kehidupannya. Diantara hal-hal yang tertuang dalam lontar (lontara’) masyarakat Bugis-Makassar tersebut, ada lima perkara atau pesan penting yang disebutkan di dalamnya yang diperuntukkan bagi generasi pada saat itu dan generasi yang selanjutnya dan sangat diharapkan untuk senantiasa dipegangi dan ditegakkan dalam kehidupan. Kelima hal tersebut, sebagaimana yang dicatat oleh Andi Moein MG (1990: 17-18) adalah:

- Manusia harus senantiasa berkata yang benar (ada’ tongeng). - Harus senantiasa menjaga kejujuran (lempu’)

- Berpegang teguh pada prinsip keyakinan dan pendirian (getteng) - Hormat-menghormati sesama manusia (sipakatau)

- Pasrah pada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa (mappesona ri dewata seuwae) Jika melihat pesan-pesan diatas, maka sejatinya yang sangat dituntut dari nilai falsafah siri’ ini adalah menyangkut etika atau tata krama dalam pergaulan dan menyangkut persoalan kedirian (jatidiri) seseorang. Sebab jika dilihat lagi lebih dalam, maka sejatinya harga diri dan rasa malu seseorang akan senantiasa terjaga jikalau senantiasa menjaga dan memegangi kelima pesan diatas, utamanya dalam pola pergaulan dan komunikasi dengan sesama manusia. Untuk itu, para tetua masyarakat Bugis-Makassar terdahulu sangat menekankan pesan-pesan tersebut guna tetap menjaga kelangsungan atau eksistensi masyarakat Bugis-Makassar, agar apa yang disebutkan dalam epos Lagaligo maupun dalam lontara’ yang lain sebagai zaman sianre-anre bale taue (yang dalam masyarakat barat dikenal sebagi homo homini lupus), itu dapat dihindarkan.

(6)

Dari pemaparan diatas, jika menggunakan sedikit pendekatan relasional, maka sejatinya terdapat unsur filsafat sejarah spekulatif dalam permasalahan tersebut. Dimana telah dikatakan bahwa dalam lontara’ masyarakat Bugis-Makassar telah disebutkan hal-hal tersebut, yang bukan hanya sebagai sebuah ramalan namun dapat menjadi sebuah kenyataan, jika manusia telah kehilangan pegangan terhadap petuah-petuah (paseng) tetua terdahulu yang merupakan unsur pegangan dalam menjaga nilai falsafah siri’ tersebut sebagai sebuah harga diri dan rasa malu itu sendiri.

Intinya bahwa, dengan menaati kelima petuah-petuah (paseng) tersebut, yang dalam hal ini merupakan sendi dari falsafah siri’ tersebut, maka masyarakat Bugis-Makassar diharapkan akan dapat menjadi manusia yang berguna dari generasi ke generasi. Sehingga tercipta suatu hal yang disebut sebagai sebuah pembangunan manusia seutuhnya. Sebagaimana telah diwasiatkan dalam petuah-petuah tersebut bahwa senantiasa mengutamakan kejujuran, tidak munafik, perkataan sesuai dengan apa yang dilakukan, tidak menipu atau memperbodoh sesama manusia dan setia pada keyakinan yang dimilikinya. Namun yang terpenting, utamanya dalam konteks kekinian dan masa yang akan datang, adalah tidak tergiring oleh pengaruh-pengaruh negatif dari situasi yang timbul kemudian seiring dengan perkembangan zaman, saling menghormati dan menghargai sesama manusia atau masyarakat yang terdapat dalam lingkungan dimana ia hidup.

Jadi, jelaslah bahwa kelima pesan tersebut yang dijadikan pegangan oleh masyarakat Bugis-Makassar merupakan ciri tersendiri, terutama dalam hal penilaian antar sesama manusia, bagi manusia yang memiliki harga diri dan rasa malu (siri’). Sehingga jikalau kelima sendi pembangun dari nilai falsafah tersebut kemudian hilang dalam kehidupan, maka sejatinya dalam perspektif masyarakat Bugis-Makassar, manusia tersebut telah kehilangan harga dirinya (de’ gaga siri’na) yang menjadikannya ibarat bukan lagi sebagai seorang manusia. Sebab dalam kehidupan manusia, yang menjadi tolak ukur kemanusiaannya adalah perbuatan atau perangainya. Sehingga jika hal tersebut telah mencapai pada titik yang dimaksud sebagai kehilangan kediriannya maka dalam masyarakat Bugis-Makassar, manusia tersebut dinamakan rapang-rapang tau atau tau-tau (orang-orangan atau boneka).

(7)

memahami dan mempraktekkan falsafah ini dengan berbagai unsur pembentuk di dalamnya atau dengan kata lain manusia tersebut memiliki siri’ (harga diri dan rasa malu).

Kemudian, uraian yang kedua dari falsafah ini adalah menyangkut tentang nilai yang terkandung falsafah pacce (dalam bahasa Makassar) atau pesse (dalam bahasa Bugis). Secara harfiah dapat diartikan sebagai rasa solidaritas yang dimiliki masyarakat Bugis-Makassar dalam berbagai hal, baik suka maupun duka. Lebih luas lagi, dalam Andaya (2004:xv) yang menyadurnya dari berbagai naskah lontara’ Bugis-Makassar bahwa pacce atau pesse adalah rasa simpati yang dalam konteks masyarakat Bugis-Makassar juga mencakup perasaan empati terhadap sesama anggota kelompok komunitas masyarakatnya.

Artinya, dapat dikatakan bahwa unsur nilai yang terdapat dalam falsafah pacce ini adalah menyangkut rasa kebersamaan yang tinggi. Dimana dalam komunitas masyarakat Bugis-Makassar yang paling diutamakan adalah rasa kebersamaan atau kolektifitas dalam berbagai hal.

Unsur nilai yang lain yang diturunkan dari falasafah pacce ini adalah nilai semangat kesetiakawanan dan loyalitas atau kesetiaan terhadap sesama manusia. Hal ini terlihat jelas dalam pepatah Bugis-Makassar yang berbunyi taro ada’ taro gau’ (satu kata satu perbuatan), yang dimaksudkan sebagai sebuah simbol loyalitas terhadap apa yang menjiwai masyarakat Bugis-Makassar itu sendiri dalam bertindak.

Unsur ini juga terlihat dalam ungkapan lontara’ masyarakat Bugis-Makassar yang tercatat dalam Pelras (2006: 58) bahwa jika anda telah kehilangan harga diri atau kehormatan, maka pertahankanlah rasa kemanusiaan yang anda miliki dengan menegakkan kesetiakawanan dan menunjukkan kesetiaan (loyalitas) yang ada dalam dirimu (punna tena nia’ siri’nu panaiki paccenu). Sekali lagi hal ini memperlihatkan bagaimana dalam konteks masyarakat Bugis-Makassar tersebut senantiasa mendahulukan hal-hal kolektif (umum) daripada persoalan pribadi yang dimilikinya.

(8)

langsung juga menyentuh sendi-sendi kehidupan yang mengutamakan budi yang luhur dalam segenap persoalan yang dilakoni dalam kehidupan.

Yang menarik dalam persoalan pacce ini, dalam kesehariannya, terkadang sering ditemui dalam masyarakat Bugis-Makassar, sejak zaman dahulu sampai sekarang, perasaan untuk senantiasa tolong menolong antar sesama manusia yang tanpa disadari oleh masyarakat itu sendiri. Apalagi jika dalam konteks tersebut atau orang yang ditolong kemudian adalah orang yang pernah menolong orang tersebut sebelumnya, maka bagi masyarakat Bugis-Makassar, hal tersebut telah menjadi kewajiban baginya untuk menolong orang tersebut, sebagai bentuk dari kesetiakawanan dan ucapan terima kasihnya terhadap orang yang pernah menolongnya sebelumnya tersebut. Hal ini sejatinya dalam lingkup kehidupan manusia secara umum adalah sebuah kewajaran sebagai seorang manusia menolong manusia lainnya karena dia masih memiliki rasa kemanusiaan dalam dirinya, atau dengan kata lain, salah satu sisi dari kehidupan manusia, dari sudut pandang etika, adalah tahu berterima kasih dan membalas budi terhadap orang yang telah berbuat baik terhadap dirinya.

Dalam pengertian lain juga, nilai falsafah pacce ini mengadung unsur rasa sakit yang mendalam yang akan dialami oleh masyarakat Bugis-Makassar jikalau ada anggota dalam kelompok komunitasnya yang mengalami sebuah musibah, yang bagi orang yang terkena musibah tersebut merupakan sebuah hal yang tidak dapat dipikulnya lagi. Sehingga bagi masyarakat lain yang ada dalam komunitas masyarakat tersebut akan merasakan hal yang sama, ibaratnya dialah yang terkena musibah itu, yang dengan serta merta memunculkan sebuah pemahaman untuk tidak bersenang-senang ketika ada yang terkena musibah semacam itu (Moein, 1990: 36). Bahkan lebih jauh, hal itu juga merupakan bentuk siri’ dari masyarakat tersebut yang senantiasa harus dijaga agar konsep memanusiakan manusia itu tetap ada.

Persoalan seperti ini, dapat dilihat dalam sebuah syair dalam lontara’ masyarakat Bugis-Makassar (Dinas pariwisata dan kebudayaan kab. Gowa, 2010: 11) yang berbunyi: angngasseng tonja labba boyo; pacce tanaebba lading; tena garringku; namalantang pa’risikku (aku nikmati tawarnya labu; pedis tak tergores pisau; aku tak merasakan atau menderita sakit; namun betapa pedihnya terasa menusuk jauh ke dalam lubuk hati). Secara umum, syair ini menunjukkan rasa pedih yang mendalam (pacce) yang dirasakan oleh masyarakat secara kolektif ketika ada seorang anggota kelompok komunitasnya menderita atau mengalami sebuah musibah, apalagi musibah yang dimaksud adalah menyangkut persoalan siri’ yang sebelumnya telah diterangkan dengan panjang lebar.

(9)

dalam berbagi aspek kehidupan masyarakat Bugis-Makassar. Lebih jauh lagi, falsafah pacce ini juga sejatinya memberikan pemaknaan bahwa dalam kehidupan manusia yang harus selalu diutamakan adalah persoalan kolektifitas, dimana dalam persoalan ini, hal-hal yang berbau pribadi harus terlebih dahulu disingkirkan.

Kemudian, falsafah pacce ini juga mengandung unsur nilai yang dapat diartikan sebagai sesuatu yang memilukan atau menyakitkan, dimana ketika ada anggota komunitas masyarakatnya mengalami sebuah musibah, apalagi musibah yang dimaksud adalah hal-hal yang menyangkut persoalan siri’, maka dengan serta merta masyarakat tersebut akan merasakan juga kepedihan yang dirasakan oleh orang tersebut sebagai bentuk daripada semangat kolektifitasnya dalam kehidupan bermasyarakat. Tapi yang paling terpenting dari hal itu adalah adanya rasa simpati dan empati yang diwujudkan dalam perilaku yang senantiasa menjunjung tinggi rasa kebersamaan yang ada sebagai sebuah bentuk kehidupan masyarakat yang berbudi dan beretika yang tinggi, guna mencerminkan sebuah kehidupan yang nyata bagi orang yang ada di luar komunitas mereka dan yang terpenting dapat dicontoh oleh orang lain, sebagaimana pesan-pesan yang diberikan oleh para tetua terdahulu masyarakat Bugis-Makassar ini.

B. Historisitas Dalam Falsafah Siri’ na Pacce

Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, bahwa dalam persoalan siri’ na pacce ini, terdapat unsur kesejarahan atau lebih tepatnya unsur filsafat sejarah di dalamnya yang menyangkut filsafat sejarah spekulatif. Dimana telah diterangkan sebelumnya bahwa nilai dari falsafah ini semuanya berasal dari petuah-petuah masa lalu (paseng) yang menggambarkan bagaimana sejatinya dan seharusnya masyarakat Bugis-Makassar itu sendiri dalam menjalani kehidupannya.

Filsafat sejarah spekulatif sendiri, dalam instrumennya, mencari struktur dalam yang terkandung dalam proses sejarah secara keseluruhan. Dimana filsafat sejarah spekulatif merupakan suatu perenungan filsafati mengenai tabiat atau sifat-sifat proses sejarah (Ankersmit, 1987: 17). Untuk itu, dalam melihat historisitas dalam falsafah siri’ na pacce yang terdapat dalam masyarakat Bugis-Makassar ini, dapat dikatakan sebagai sesuatu yang telah direnungkan oleh para pendahulu masyarakat Bugis-Makassar dalam melihat sejarah kehidupan setelah mereka kelak. Hal tersebut juga dimaksudkan agar keberlangsungan dari sejarah hidup masyarakat ini tetap terjaga.

(10)

dalam menjalani kehidupannya sebagai sebuah masyarakat yang kolektif. Telah dikatakan sebelumnya bahwa dalam pola kehidupan individu maupun kelompok masyarakat tersebut, yang mesti diutamakan adalah mengenai etika dan akal budi serta semangat kebersamaan yang di dalamnya mencakup tentang kesetiakawanan dan kesetiaan (loyalitas). Sebab tanpa hal-hal tersebut, mustahil sebuah kehidupan yang baik dan maju akan dicapai dengan mudah. Yang terpenting juga adalah apa yang diramalkan dalam berbagi lontara’ yang terdapat dalam masyarakat Bugis-Makassar sebagai zaman sianre-anre bale taue itu terhindarkan. Utamanya dalam konteks kehidupan yang akan datang, ketika manusia tak lagi memiliki kesadaran kolektif yang dibangun atas asas dari falsafah siri’ na pacce itu sendiri.

Yang menarik adalah ketika mengkaji persoalan siri’ na pacce ini melalui ruang historisitas, akan ditemukan berbagai pesan-pesan tentang masa depan yang mesti dialami oleh masyarakat Bugis-Makassar jika tak lagi memegangi falsafah siri’ na pacce tersebut sebagai laku hidup atau magnum opus dalam kehidupannya. Hal ini terlihat dari pesan Kajaolalido (La Mellong) yang merupakan seorang pemikir dan negarawan di masanya bahkan semasa dengan Machiavelli menurut W.S Rendra, bahwa senjata terkuat apapun tidak akan pernah mengalahkan kekuatan persatuan dan kesatuan yang kokoh dalam sebuah masyarakat. Apalagi jika hal tersebut senantiasa didasari dari nilai pangedereng dan nilai siri’ na pacce/pesse, maka semuanya pasti dapat dihadapi dengan mudah (Moein, 1990: 26).

(11)

Hal diatas, jelas merupakan sebuah gambaran untuk generasi hari ini dan generasi yang akan datang dalam menjalani kehidupannya. Segala hal tersebut harus dijadikan sebagai panglima dalam melakukan setiap hal, agar kerusakan dan kehancuran dalam masyarakat dapat dihindarkan. Selain itu, hal ini juga menunjukkan, bahwa betapa para pendahulu tersebut, memiliki semacam sasmita (pandangan tentang masa depan) dan visi ke depan tentang kehidupan manusia setelah mereka, yang dalam hal ini sangat erat kaitannya dengan perkembangan zaman yang terus maju sebagaimana hakikat zaman itu sendiri yang senantiasa berproses ibarat sebuah roda, kadang di atas dan kadang di bawah.

Selain itu, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya mengenai hal spiritualitas dalam kerangka masyarakat Bugis-Makassar, bahwa senantiasa pasrah pada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa (mappesona ri dewata seuwae), yang berarti bahwa dalam hal keyakinan, masyarakat Bugis-Makassar dan Sulawasei Selatan secara umum, harus senantiasa berpegang teguh pada prinsip atau keyakinan terhadap Yang Maha Kuasa, yang tak memiliki tandingan dan Maha Penentu segala-galanya. Sehingga selanjutnya menimbulkan sebuah implikiasi dasar dalam praktek keagamaan atau spritualitas masyarakat Bugis-Makassar untuk senantiasa patuh dan taat kepada Tuhan yang telah menciptakan manusia sebagai bentuk rasa syukur atas karunia kehidupan yang telah diberikan oleh-Nya.

(12)

III. PENUTUP

Kesimpulan

Berangkat dari seluruh pemaparan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan dalam pokok pembahasan tulisan dalam makalah ini, yakni:

1. Siri’ dapat dimaknai sebagai harga diri atau kehormatan, juga dapat diartikan sebagai pernyataan sikap yang tidak serakah terhadap kehidupan duniawi. Nilai tersebut dibangun dari beberapa unsur-unsur nilai yang ada dalam masyarakat Bugis-Makassar, yakni: ada’ tongeng (senantiasa berkata yang benar); lempu’ (senantiasa menjaga kejujuran); getteng (berpegang teguh pada prinsip keyakinan dan pendirian); sipakatau (hormat-menghormati sesama manusia); mappesone ri dewata seuwae (pasrah pada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa). Sedangkan Pacce dapat diartikan sebagai rasa simpati yang dalam konsep masyarakat Bugis-Makassar merupakan perasaan empati terhadap sesama dan seluruh anggota komunitas yang terdapat dalam masyarakat tersebut, atau dengan kata lain sebagai rasa solidaritas, kolektifitas, dan loyalitas terhadap masyarakatnya, dimana hal-hal yang berbau pribadi harus senantiasa disingkirkan atau dikesampingkan.

(13)

Daftar Pustaka

Andaya, Leonard Y, 2004, Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17, terj. Nurhadi Simorok, Inninawa, Makassar.

Ankersmit, F.R, 1987, Refleksi Tentang Sejarah: Pendapat-pendapat Modern Tentang Filsafat Sejarah, diIndonesiakan oleh Dick Hartoko, Gramedia, Jakarta.

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Gowa, 2010, Transliterasi dan Terjemahan Lontara’ Makassar (Naskah Makassar).

Mattulada, 1982, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah, Bhakti Baru-Berita Utama, Makassar.

Moein, Andi MG, 1990, Menggali Nilai-nilai Budaya Bugis-Makassar dan Siri’ na Pacce, Yayasan Mapress, Makassar.

de Monte, Boye, 2009, Misteri Kode Samurai Jepang, Garailmu, Yogyakarta.

Referensi

Dokumen terkait