• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kisah petualangan sebuah huruf Arab di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kisah petualangan sebuah huruf Arab di"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

oleh

Henri Chambert-Loir

Kutipan dari buku :

Henri Chambert-Loir, Iskandar Zulkarnain, Dewa Mendu,

Muhammad Bakir dan Kawan-Kawan: Lima Belas Karangan

Tentang Sastra Indonesia Lama. Jakarta: KPG (Kepustakaan

Populer Gramedia), 2014.

(2)

Huruf ‘ain (ع) adalah salah satu huruf dalam abjad Arab. Dalam abjad Jawi, yaitu sistim tulisan naskah-naskah Melayu lama, huruf itu hanya ditemukan dalam kata-kata serapan dari bahasa Arab. Lain dari huruf hamzah misalnya, huruf ‘ain tidak pernah dipakai untuk menuliskan kata-kata Nusantara asli1. Dalam transliterasi teks-teks Arab dan Jawi dalam tulisan Latin, huruf tersebut dilambangkan dengan sebuah apostrof terbalik (umumnya <‘>, tetapi juga <’>, <`> atau <c>). Dalam perkembangan lafal dan ejaan (Latin) kosakata Indonesia modern, huruf tersebut diperlakukan dengan berbagai cara.

Tujuan artikel ini ialah menguraikan berbagai cara itu, membahas norma yang sekarang berlaku, dan menyimpulkan, dari segi ilologi, bagaimana huruf ‘ain semestinya ditangani dalam transkripsi naskah-naskah Melayu lama. Sambil lalu, akan ditunjukkan bahwa suatu pilihan ilologis dapat saja mempunyai dimensi ideologi.

1 Tentu saja dengan beberapa kekecualian, misalnya dalam naskah Syair Sultan Fansuri yang disalin oleh H.N. van der Tuuk (Cod. Or. 3303 dalam perpustakaan Universitas Leiden), kata-kata ta’ tahu tertulis (t‘ta-hw) dan tegak tertulis (tg‘); lihat Chambert-Loir 2011d, baris 4/1a dan 7/4a. Dalam sebuah teks lain yang ditulis di Kalimantan Barat tahun 1839, kata mau dua

kali ditulis (mŋw) dengan maksud melambangkan (m‘w). Ejaan yang sangat

aneh ini menarik karena kata tersebut pasti tidak diucapkan /mangau/, sehingga jelas huruf <ng> di situ hanya melambangkan suatu hentakan glotal. (Lih. Chambert-Loir 2011e, § 1 dan 35.)

(3)

Perihal Bahasa Jawa

Dalam hal pengalihan huruf ‘ain, kasus bahasa Jawa memperlihatkan betapa jauh sebuah huruf dan sebuah lafal dapat diadaptasi (atau dipribumikan, dilokalisasi) waktu diserap ke dalam bahasa lain, oleh karena dalam sejumlah kata Jawa, bunyi dan huruf ‘ain itu telah menjelma sebagai bunyi /ŋ/ dan huruf <ng> (yaitu huruf ‘ain di atas, <ع>, dengan tiga titik di atasnya, menjadi <ڠ>).

Di antara kata-kata Melayu yang diserap dari bahasa Arab dan yang pada asalnya mengandung sebuah huruf ‘ain, tidak semuanya mempunyai padanan dalam bahasa Jawa, artinya tidak semuanya diserap dalam bahasa Jawa, baik secara langsung dari bahasa Arab atau melalui bahasa Melayu. Kata-kata Melayu seperti aib, akal, iil, iklan, jamak, tabiat dan banyak lain lagi misalnya tidak berpadanan dalam bahasa Jawa2.

Di antara kata-kata asal Arab yang terdapat baik dalam bahasa Melayu maupun Jawa, huruf ‘ain tidak selalu berubah menjadi bunyi /ŋ/ dan huruf <ng> dalam bahasa Jawa. Lihat misalnya kata-kata Jawa abdi,

adil, maap, maklum, makna, mualap, mualim, rakyat3 dll., yang ternyata berbentuk sama dalam bahasa Indonesia.

Kalau kita memperhatikan kata-kata Jawa di mana huruf ‘ain diucapkan /ŋ/ dan ditulis <ng>, maka kelihatan hal ini selalu terjadi di depan suatu huruf vokal, baik kalau ‘ain berada di awal kata (contohnya

ngabid, ngadat, ngajaib, ngalaikum, ngalam, ngalamat, ngalim, ngamal, ngaral, ngèlmu, ngibadat, ngibarat, ngidah, ngisa)4, maupun kalau berada di awal suku kata kedua atau lebih (contohnya baingat [baiat], donga [doa],

manpangat [manfaat], rakangat [rakaat], sangat [saat], sarèngat [syariat]). Dan rumus ini benar juga untuk kategori nama (contohnya baik Ngabas,

Ngabdul, Ngahad/ Ngaad/ Ngakad [Ahad], Ngarab, Ngarif, Ngidrus,

Ngusman, maupun Asngari [Asyari], Jumungah [Jumat], Rabingulakir

[Rabiulakhir], Ripangi [Rifai], Sangid [Said], Sapingi [Syaii], Akya Ngulumodin [Iḥyā’ ‘Ulūm al­dīn], Dulkangidah [Zulkaidah]).

2 Mungkin saja salah satu kata ini dapat diperdebatkan, kalau ditemukan dalam suatu teks Jawa, entah sebagai kata Jawa atau sebagai kata asing (Melayu), tetapi secara garis besar kenyataan ini tetap demikian.

3 Sumber utama yang dipakai tentang kosakata Jawa adalah kamus Jawa-Inggris oleh S. Robson (2002) di samping beberapa sumber lain.

(4)

Jadi, huruf ‘ain tidak pernah berubah menjadi <ng> di depan sebuah konsonan. Kata-kata Arab seperti ba‘da, da‘wa, Ka‘ba, la‘na, ma‘lūm, misalnya tidak terserap ke dalam bahasa Jawa dengan huruf <ng> melainkan dengan huruf <k> seperti dalam bahasa Melayu, dan menghasilkan kata-kata Jawa bakda, dakwa, Kabat, laknat, maklum.

Oleh karena dalam tulisan pegon (seperti dalam tulisan Jawi) huruf ‘ain dan <ng> hanya dibedakan oleh adanya tanda diakritis (tiga titik) di atas badan huruf <ع>, maka dapat saja diandaikan bahwa huruf ‘ain dalam kata­kata Arab salah dibaca /ŋ/ oleh orang Jawa. Tetapi boleh dipastikan kiranya bahwa yang terjadi sebenarnya lain, ialah huruf ‘ain bukan salah dibaca tetapi dilafalkan dengan suara yang lebih keras daripada semestinya. Fenomena jenis ini hampir selalu terjadi di tingkat fonetik, bukan tulisan.5 Ternyata kecenderungan orang Jawa untuk melafalkan beberapa huruf Arab dengan menambah suatu oklusi tercatat juga untuk huruf <kh> yang diucapkan /k/, bukan /x/ (contohnya akir [akhir], Jimakir, Jumadilakir,

kusus [khusus], iklas [ikhlas]), juga untuk huruf <f> yang diucapkan /p/,

bukan /f/ (contohnya munapèk [munaik], pekih [ikih], wakap [wakaf], atau juga huruf <ḥ> yang diucapkan /k/, bukan /h/ (contohnya kakèkat

[hakekat], Kasan [Hasan], Mukaram [Muharam], mikrab [mihrab], sekabat [sahabat], takayul [takhayul].

Fenomena huruf ‘ain mengejawantah sebagi <ng> rupanya mulai dengan awal-mulanya sistim tulisan pegon. Kita mengetahui tiga kitab berbahasa Jawa yang paling telat dikarang pada akhir abad ke-16; ketiga-tiganya diedit dan diterjemahkan oleh G.W.J. Drewes (1954, 1969, 1978). Ketiga naskah yang bersangkutan tertulis dalam aksara Jawa. Tidak mungkin diduga kenapa ketiga kitab ini beraksara Jawa, padahal huruf pegon sudah digunakan sedini abad ke-16, setidaknya untuk terjemahan teks Arab ke dalam bahasa Jawa (lih. misalnya Ricklefs 2006: 22). Kapan ketiga teks tersebut dikarang pun tidak diketahui dengan pasti, tapi mereka jelas termasuk contoh yang tertua dari teks tentang agama Islam yang ditulis dalam bahasa Jawa, maka patut diselidiki bagaimana kejadian huruf ‘ain di dalamnya.

Dalam satu teks (An Early Javanese Code, Drewes 1978), dapat kita lihat bahwa tidak satu pun huruf ‘ain menjadi <ng>. Kata-kata asal Arab yang bersangkutan, sebanyak 13 saja, menghasilkan kata-kata Jawa di

(5)

mana umumnya huruf ‘ain hilang saja (alehi < ‘alaihi, amal < ‘amal, doa < du‘ā’, elmu/ ilmi/ ilmu < ‘ilm, ibadat < ‘ibāda, mutabat < mutāba‘a, sareat < sharī‘a, tekad <i‘tiqād, ujub < ‘ujb), tetapi beberapa kali diganti dengan hamzah (bida’ah < bid‘a, jama’at < jamā‘a, ma’asiyat < ma‘ṣiya) atau h (jumahat < jum‘a) (lih. Drewes 1978: 81-82).

Dalam teks kedua (Een Javaanse primbon, Drewes 1954), kata-kata Arab yang diserap, sebanyak 37, memperlihatkan kecenderungan yang berbeda: dalam 27 kasus huruf ‘ain hilang (abid < ‘ābid, alam < ‘ālam, alamat < ‘alāmat, alim < ‘ālim, amal < ‘amal, arip < ‘ārif, Arpat < ‘Arafah, arsi < ‘arsh, asar < ‘aṣr, Asura ‘āshūrā’, bidaah < bid‘ah, doa < do‘ā, jamaat < jamā‘ah, jumaat < jum‘ah, élmu/ilmu < ‘ilm, ibadat < ‘ibādah, isa < ‘ishā’, kanaat < qanā‘ah, lanat < la‘nah, maripat < ma‘rifah, manfaat < manfa‘ah, nimat < ni‘mah, rayat < ra‘yah, saat < sā‘ah, saréat/saréyat < sharī‘ah, taat < ṭā‘ah, tabiin < tabi‘īn); dalam sepuluh kasus lain, huruf ‘ain menghasilkan suatu vokal tambahan (maana < ma‘nā, maaripat < ma‘rifah, maasiyat < ma‘ṣiyah, paal < i‘l, raayat < ra‘yah, rakaat < rak‘ah, sair < shi‘r , tamah < ṭam‘, ujub < ‘ujb, wara’i < wara‘); dalam satu kasus, huruf ‘ain menghasilkan sebuah <k> (napék < nāi‘); dan akhirnya dalam empat kasus, huruf ‘ain menghasilkan sebuah <ng> (ngalama < ‘alāmat, donga/dunga < do‘ā, langanatullah < la‘natu ’llâh, mangaripat < ma‘rifah). (Jumlah kata Jawa lebih besar dari jumlah kata Arab karena beberapa kata Jawa mempunyai bentuk ganda, misalnya alamat/ngalamat, doa/donga, rayat/raayat, dll.)

Dalam teks ketiga (The Admonitions of Seh Bari, Drewes 1969), kata-kata Arab yang diserap, sejumlah 25, menghasilkan kata-kata Jawa di mana huruf ‘ain cenderung (12 kali) menjadi <ng> (apengal < af‘āl, ngalam < ‘ālam, ngalim < ‘ālim, ngarip < ‘ārif, ngaras < ‘arsh, ngasek < ‘ashiq, bidengah < bid‘a, ngelmu/ngilmu < ‘ilm, ngiski < ‘ishq, mangaripat < ma‘rifa, mangasuk < ma‘shūq, sarengat < sharī‘a) – di antaranya tiga kata mempunyai juga bentuk tanpa <ng>, yaitu bida‘ah, maripat, nekmat/ nikmat. Selain itu terdapat empat kata di mana huruf ‘ain hilang saja (tekad < i‘tiqād, lanat < la‘na) atau diganti dengan <k> (maklum < ma‘lūm, makna < ma‘nā). Sisanya delapan kata Arab yang ditulis seadanya karena tidak menghasilkan padanan dalam bahasa Jawa (‘adam, ba‘da, ma‘a, ma‘dūm, mumtani‘, mu‘tazila, ta‘ala, ya‘ni). (Lih. Drewes 1969: 121-122.)

(6)

Mengenai kata-kata Arab yang dialihkan seadanya ke dalam aksara Jawa dalam teks ketiga, Drewes (1969:5) menulis bahwa “untuk melambangkan bunyi-bunyi yang tidak ada dalam bahasa Jawa, dipakai huruf-huruf yang kadang ditambahi tiga titik di atasnya”. Jadi ḥā dan khā ditulis sebagai aksara h dengan tiga titik, dhāl sebagai aksara d dengan tiga titik, zāy sebagai aksara j dengan tiga titik, ẓā sebagai aksara l dengan tiga titik, dan ‘ain sebagai aksara ng. Selain itu, huruf hamzah dapat ditulis sebagai aksara k atau ng ataupun aksara swara. Dengan demikian, kita jadi teringat pada hipotesis bahwa pelafalan mungkin dipengaruhi oleh tulisan: barangkali ciri ejaan tersebut mencerminkan suatu ciri pelafalan (ejaan Jawa ilapi [iḍāi] mencerminkan pelafalan <ḍ> sebagai /l/ dan <f> sebagai /p/ dan demikian juga ejaan sarengat [sharī‘a] mencerminkan pelafalan ‘ain sebagai /ŋ/), tetapi barangkali juga ciri ejaan itu hanya merupakan sebuah konvensi tulis yang kemudian mengakibatkan sebuah perubahan dalam pelafalan.

Kata-kata Jawa dengan huruf <ng> jenis itu tidak banyak, rupanya tidak lebih dari 50 buah, tetapi penting karena beberapa di antaranya mempunyai frekuensi tinggi, seperti ngalim, ngèlmu, ngibadat, donga,

manpangat, sangat, sarèngat, ditambah sejumlah nama (mis. Ngabdul,

Ripangi, Rabingulakir, Dulkangidah).

Patut diperhatikan juga bahwa fenomena itu tidak terdapat dalam bahasa Sunda6 ataupun dalam bahasa Nusantara yang lain, sehingga merupakan suatu ciri khas bahasa Jawa saja.

Perkembangan Transkripsi Huruf ‘ain dalam Bahasa Melayu dan Indonesia

Peralihan huruf ‘ain dalam bahasa modern perlu diamati dari dua segi, yaitu ejaan dan lafal. Dari segi ejaan, ‘ain menjadi <‘>, <k>, dan Ø (yaitu nol, alias tidak dicatat), sedangkan dari segi lafal, ‘ain menjadi /ʔ/, /k/ et Ø (nol, tidak diucapkan).

Kedua bentuk itu (tulis dan fonetis) tidak selalu sepadan. Kata

Jumat misalnya sering ditulis <Jum’at> tetapi dilafalkan /jumat/; kata dakwa (dalam arti “tuduhan”) biasa dilafalkan /dakwa/, sedangkan dakwa/ dakwah (“penyiaran”) biasa dilafalkan /daʔwa/).

Dalam bahasa-bahasa Eropa Barat, ejaan mencerminkan etimologi kosakata oleh karena ejaan itu berkembang secara berkesinambungan selama berabad-abad. Dalam bahasa Indonesia sebaliknya, ejaan dalam

(7)

tulisan Latin masih relatif baru (diciptakan sekitar tahun 1900) dan diubah/ diperbaiki beberapa kali dengan tujuan yang tetap sama, yaitu agar semakin sederhana dan semakin mencerminkan lafal.

Kosakata asal Arab merupakan suatu bidang tersendiri di mana bisa saja satu kata mempunyai dua atau tiga ejaan yang berbeda sesuai dengan konteks sosial pemakaiannya (mis. <Nadlatul>, <Nadhatul>, <Nadatul>; <hadis>, <hadits>, <hadith>; <lohor>, <zuhur>; <salat>, <shalat>, <sholat>). Dapat dimengerti juga bahwa para alim ulama, kalau sedang membicarakan suatu topik keagamaan, cenderung menyimpang dari ejaan baku demi menunjukkan asal Arab suatu kata serta makna religiusnya. Bahkan di tengah masyarakat awam ejaan beberapa kata masih labil (contohnya, Jumat sering ditulis, di atas agenda dan kalender misalnya, <Jum’at> ataupun <Juma’at>).

Namun demikian, ejaan baku ada dan semakin baik ditaati oleh masyarakat. Menurut ejaan baku itu, tidak boleh ada tanda apa pun kalau ‘ain telah hilang dalam lafal (<adil>, <akibat>, <umur>, bukan <’adil>, <’akibat>, <’umur>) atau telah menjadi /ʔ/ (hentakan glotal) di antara dua huruf vokal (<maaf>, <manfaat>, <saat>, bukan <ma’af>, <sa’at>, <manfa’at>)7. Sebaliknya, harus ada huruf <k> kalau ‘ain dilafalkan /ʔ/ atau /k/ di depan sebuah huruf konsonan atau semi­konsonan (contoh /ʔ/, <dakwah>, <rakyat>; contoh /k/, <bakda>, <dakwa>, <iklan>, <nikmat>).

Huruf ‘ain sebagai huruf akhir sebuah kata Arab merupakan kasus tersendiri karena tidak terdapat di depan huruf apa pun, baik vokal maupun konsonan. Biarpun mengikuti sebuah vokal atau konsonan, ‘ain tersebut selalu menghasilkan kata Melayu dengan huruf akhir <k> (mis. jamak,

sajak, syarak, jimak, simak, khusyuk, rujuk, tamak) dengan kiranya dua

kekecualian saja, yaitu kata jami (di samping <jamik>) dan mukenah. Maka dapat kita lihat bahwa apa pun halnya, tanda apostrof tidak diakui: apostrof tidak termasuk abjad Indonesia.

Ejaan Indonesia modern (dalam tulisan Latin) berkembang selama ketiga perempat pertama abad ke-20, yaitu pada masa ilmu linguistik berkembang secara pesat. Oleh karena itu ejaan Indonesia dikembangkan oleh para ahli bahasa dengan patokan yang jelas dan terperinci. Banyak orang ikut dalam perdebatan tentang ejaan (antara lain akan dikutip Hamka di

7 Kata ‘doa’ merupakan kasus istimewa karena dapat dilafalkan dengan atau

tanpa /ʔ/, namun tetap tidak semestinya ditulis dengan apostrof (harus ditulis

(8)

bawah ini), namun pendapat orang yang bukan ahli bahasa tidak banyak diperhatikan. Pendirian para ahli linguistiklah yang menentukan. Ini tidak berarti bahwa pertimbangan ekonomi, politik atau ideologi tidak muncul dalam perdebatan. Sebagai contoh pertimbangan ekonomi dapat disebut kenyataan bahwa mengadopsi tanda langka (seperti misalnya tanda-tanda <ŋ> dan <ñ> untuk mencatat bunyi yang dilambangkan dengan <ng> dan <ny>) akan menimbulkan banyak kesulitan pada dunia pers dan percetakan. Sebagai contoh pertimbangan politik dapat disebut kenyataan bahwa dari tahun ke tahun, menyesuaikan ejaan Indonesia dengan ejaan Malaysia pernah dianggap baik atau kurang baik. Dan sebagai contoh pertimbangan ideologi dapat disebut kenyataan bahwa banyak orang Indonesia menentang ejaan EYD karena terkesan sebagai kemenangan Malaysia atas Indonesia, ataupun kenyataan bahwa berbagai komponen masyarakat, yang sangat akrab dengan bahasa Arab dan dengan teks-teks asas agama Islam, berkeinginan agar ejaan Indonesia mencerminkan ejaan asli kata-kata serapan dari bahasa Arab.

Sepanjang proses yang telah menghasilkan ejaan yang berlaku sekarang ini, tiga prinsip memainkan peran utama: 1) mencerminkan lafal; 2) menggunakan satu huruf untuk satu fonem; 3) menghindari tanda-tanda diakritis.

Perkembangan ejaan Latin, sedikitnya secara simbolis, mulai tahun 1901 dengan terbitnya buku Kitab Logat Melajoe oleh Ch.A. van Ophuijsen, yang segera dipergunakan dalam pendidikan dan administrasi8. Sistem ejaan yang ditentukan oleh pegawai Belanda tersebut berdasarkan ketiga prinsip di atas serta beberapa kebiasaan yang khas Belanda (mis. huruf <j>, <nj>, <tj>, <oe>), dan merupakan sistem resmi sampai Proklamasi Kemerdekaan. Di Malaya pada masa itu, sebuah kamus susunan R.J. Wilkinson tahun 1904 boleh dilihat sebagai padanan buku Van Ophuijsen itu (lih. Teeuw 1961: 34). Menurut Vikør (1988: 15), ejaan Van Ophuijsen

8 Sejarah perkembangan ejaan Latin di bawah ini diringkaskan terutama berdasarkan buku karangan Lars L. Vikør (1988). Ejaan Latin sebenarnya pernah dipakai sejak awal abad ke-17 (buku Albert Ruyll, Sovrat ABC akan Mengaydjer Anack Boudack Seperty Deayd’jern’ja capada Segala Manusia Nassarany daen Berbagy Sombahayang Christiaan, terbit di Amsterdam tahun 1611), tetapi terikat dengan usaha penginjilan dan sangat terbatas dampaknya atas masyarakat lokal, lagipula tidak berpengaruh atas ejaan yang direka pada abad ke-20. Sistem Van Ophuijsen sama sekali baru dan sebenarnya tidak

(9)

“cepat dipakai oleh masyarakat Indonesia pada umumnya”. Tentu ada kekecualian, misalnya dalam kegiatan penerbitan kaum Peranakan Tionghoa yang amat ramai dan sering kali juga amat tidak baku. Tetapi pada umumnya, ejaan resmi itu merata dengan sangat eisien dan tidak menimbulkan polemik penting. Pada Kongres Bahasa Indonesia yang pertama, yang diselenggarakan di Solo tahun 1938, ejaan Van Ophuijsen dianjurkan supaya dipertahankan saja (lih. Samuel 2008: 178).

Kedudukan Jepang memainkan peranan penting dalam perkem-bangan bahasa Indonesia, pertama-tama karena bahasa Belanda serta-merta dilarang pakai. Pemerintah Jepang menaungi pendirian dua lembaga bahasa, yaitu Komisi Bahasa Indonesia (Okt. 1942 - April 1945) dan Lembaga Bahasa Indonesia (Medan, Jan. 1943 - 1945). Komisi Bahasa Indonesia bercabang dua: cabang Medan menghasilkan sedikit, tetapi cabang Jawa, yang boleh dikatakan diketuai oleh Sutan Takdir Alisjahbana, menghasilkan sebuah Kamoes Istilah (2 jil., 1945, 1947), yang menjadi rujukan dasar selama tahun-tahun berikutnya (lih. Samuel 2008: 203-220).

Pada masa selanjutnya, yakni sesudah Proklamasi, kabinet Sutan Sjahrir mengeluarkan suatu pembaharuan sedini tahun 1947. Pembaharuan ini dinamai “Ejaan Soewandi”, mengikut nama Menteri Kebudayaan waktu itu, dan berlaku sampai pembaharuan berikut, tahun 1972. Perubahan yang terpenting dalam ejaan Soewandi sebagai berikut: 1. <oe> menjadi <u> ; 2. <e> pepet (/ə/) dan <e> taling (/e/) tidak dibedakan lagi: kedua­duanya ditulis <e>, bukan lagi <e> dan <é> ; 3. diftong dan gugusan vokal juga tidak dibedakan lagi, kedua-duanya ditulis <ai> dan <au>, bukan lagi <ai> vs <aï> dan <au> vs <aoe> ; 4. kedua tanda apostrof yang melambangkan hamzah <’> dan ‘ain <‘> dihapus dalam posisi huruf awal satu suku kata, dan diganti dengan <k> dalam posisi akhir satu suku kata.

Selama 25 tahun berikutnya, terjadi berbagai jenis perdebatan yang sangat ramai. Pemerintah RI mengutamakan pengembangan bahasa nasional (di samping penelitian tentang berbagai kebudayaan “Indonesia”). Sebuah Balai Bahasa didirikan di Yogyakarta pada bulan Maret 1948, lalu dipindahkan ke Jakarta pada bulan Juni 1951. Komisi Istilah, yang dibentuk tahun 1950, dimasukkan ke dalam Balai Bahasa itu tahun berikutnya. Hasil kerjanya diumumkan dalam majalah Medan Bahasa dan kemudian Bahasa

dan Budaja, sampai merupakan 48 penggalan (yakni 75.000 kata lebih)

(10)

praktis untuk masyarakat awam. Dalam lembaran halamannya, “ejaan tentu saja merupakan masalah yang hangat sekali” (Teeuw 1961: 82).

Di samping itu, lembaga kolonial Instituut voor Taal- en Cultuur-onderzoek menjelma sebagai Lembaga Penjelidikan Bahasa dan Kebu-dajaan, yang pada bulan Agustus 1952 dileburkan dalam Lembaga Bahasa dan Budaja, di Fakultas Sastra UI, yang diketuai oleh Prof. Prijono (atau Prijana), sebagai dekan Fakultas tersebut. Lembaga Bahasa dan Budaja itu menerbitkan majalah Bahasa dan Budaja mulai bulan Oktober 1952. A. Teeuw (1961: 88-90) memberikan uraian sepintas dari isinya sampai No. VIII, 1, Agustus 1959, sedangkan L.-C. Damais (1962-1964) menguraikan isinya secara terperinci sampai No. VIII, 5-6, Juni-Agustus 1960. Melalui kedua uraian tersebut kita mendapat gambaran sebuah majalah yang bermutu tinggi dan yang, dari segi keanekaragaman topik yang diulas, kemajemukan pendekatan ilmiah, serta mutu berbagai artikel, rupanya tidak mempunyai padanan di Indonesia sekarang ini.

Di samping itu lagi, majalah Pembina Bahasa Indonesia, yang didirikan oleh Sutan Takdir Alisjahbana tahun 1948 dan yang terus terbit sampai tahun 1957, menerbitkan sekitar 350 sampai 400 halaman setahun, itu pun untuk khalayak umum.9

Redaksi majalah Bahasa dan Budaja pernah menghubungi berbagai tokoh masyarakat dan menanyakan pendapat mereka tentang ejaan yang ada dan keperluan sebuah pembaharuan baru. Jawaban mereka diumumkan dalam No. II, 1, Okt. 1953 (setebal 68 hlm.). Jawaban itu antara lain berasal dari R. Satjadibrata, R.M.Ng. Poerbatjaraka dan Prijono. Mengenai huruf ‘ain, R. Satjadibrata mengusulkan agar dilambangkan oleh suatu tanda khusus; A.W.J Tupanno sebaliknya menyarankan agar huruf hamzah dan ‘ain tidak dilambangkan oleh tanda apa pun; sedangkan Slamet menawarkan agar kedua huruf itu tidak dicatat antara dua vokal (mis. <doa>, <daif>) dan dicatat sebagai <k> pada akhir satu suku kata (mis. <makna>, <makruf>).

Kongres Bahasa di Medan tahun 1954, di bawah dorongan Prijono, mengeluarkan sebuah rancangan pembaharuan, termasuk penggunaan lambang <ŋ> dan <ñ> untuk mengganti huruf <ng> dan <nj>. Perdebatan berlanjut terus. Bulan Agustus 1957, Prijono, yang telah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudajaan beberapa waktu sebelumnya, menyerahkan sebuah rancangan yang lebih matang kepada pemerintah. Kemerdekaan Malaysia, tahun 1957 juga, menjadi landasan diskusi baru dengan tujuan

(11)

menghasilkan satu ejaan bersama. Hasilnya, asas ejaan bersama yang dinamakan “Ejaan Melindo” (yakni Melayu-Indonesia) itu sudah ditentukan tahun 1960. Tetapi segala usaha dan tindakan tentang ejaan itu terhenti selama beberapa tahun disebabkan Konfrontasi. Baru tahun 1966 diskusi dilanjutkan oleh sebuah komisi yang dikepalai oleh Anton Moeliono, sehingga asas satu “Ejaan Bersama Malaysia-Indonesia” ditentukan tahun berikutnya. Kesimpulan komisi itu lain dari rancangan Prijono tahun 1960: beberapa pertimbangan praktis dan ekonomi diutamakan atas pertimbangan linguistik semata, yaitu terutama prinsip (linguistik) satu huruf untuk satu fonem mengalah di depan prinsip (praktis) tidak boleh memakai tanda diakritis atau lambang asing agar tidak mempersulit dunia pers dan penerbitan.

Rancangan “Ejaan Bersama” itu menimbulkan protes keras di Indonesia dengan lima sebab utama: 1. perasaan Indonesia mengalah di depan Malaysia (sejumlah huruf lebih dekat ejaan Malaysia sebelumnya daripada ejaan Indonesia); 2. persamaan dengan sistim Inggris; 3. beban yang berat untuk masyarakat oleh karena semua buku dan majalah harus diperbaharui; 4. keengganan mengubah kebiasaan; 5. keberatan tentang beberapa butir, antara lain ejaan kata-kata serapan dari bahasa Arab. Organisasi mahasiswa KAMI dan KAPPI melancarkan beberapa demo di jalan pada tahun 1972. Namun demikian, sistim ejaan baru ini diumumkan oleh pemerintah Indonesia (Presiden Soeharto) dan Malaysia (Tun Abdul Razak) pada tanggal 16 Agustus 1972, sebagai ejaan resmi yang mulai berlaku pada esok harinya.

Kembali pada huruf ‘ain, Van Ophuijsen dalam kata pengantar pada

Kamoes-nya (tahun 1901) mengakui varian ejaan seperti misalnya <‘adat>

dan <adat>, <ma‘na> dan ma’na>, <ra‘jat> dan <ra’jat>, <sjara’> dan <sara’>, namun dalam Kamoes itu sendiri, yang terekam hanyalah bentuk-bentuk pertama (dengan <‘>). Huruf atau tanda <‘> itu mempunyai tempat dalam abjad Indonesia, di antara <k> dan <l> (sesuai tempat huruf ‘ain dalam abjad Arab). Lagipula Van Ophuijsen menentukan ejaan <ä> sebagai transkripsi kombinasi hamzah-alif (<’a>) dalam sejumlah kata Arab seperti <aläswad>, <Koerän>, <masaälah>.

(12)

<pikir>, dsb. Oleh karena ‘perindonésiaan’ itoe sesoenggoehnja adalah soeatoe prosès peroebahan jang sedang berlangsoeng [...], maka – dengan mengingat kepada pasal 26 – menoeroet kebiasaan orang masing2 bolèh ditoelis: <zaman> atau <djaman>, <lazim> atau <ladjim>, <lazat> atau <lasat>, <zamrud> atau <djamrud>, <masjarakat> atau <masarakat>, <tamasja> atau <tamasa>, <sjahbandar> atau <sahbandar>, <sjah> atau <sah>, <sjahwat> atau <sahwat>, <sjahadat> atau <sahadat> dsb. Teroetama dalam bahasa gagah atau dalam sa’ir moengkin perloe orang mempergoenakan seboetan dan édjaan jang menjimpang dari Indonésia asli itoe.” Sedangkan pasal 26 yang bersangkutan berbunyi sbb.: “26. Boenji hamzah atau jang memper dengan bunji ini10 selaloe ditoelis dengan <k> pada akhir soekoe, misalnja <tak>, <rakjat>, <tidak>, <makna>.”

Kurang dari sebulan kemudian, tanggal 15 April, surat keputusan ini diganti surat baru, di mana fasal 28 telah hilang tetapi fasal 26 tetap ada. Yang penting di sini ialah perkembangan wacana dan pilihan tentang ejaan. Ejaan Soewandi jelas menentukan bahwa huruf ‘ain harus dicatat sebagai <k> pada akhir sebuah suku kata (mis. <rakyat>, <makna>).

Selama tahun-tahun berikutnya, kecenderungan umum mengutama-kan suatu “naturalisasi” atau “indonesiasi” yang semakin besar dari kata-kata asal asing. Dalam hal huruf ‘ain, Komisi Anton Moeliono tahun 1966 membenarkan ejaan Soewandi, yakni tanpa tanda apa pun dalam posisi awal suku kata dan ditandai /k/ dalam posisi akhir. Namun hal ini terus diperdebatkan juga: pada suatu seminar di Puncak tahun 1972, masalah kata-kata serapan dari bahasa Arab masih merupakan salah satu topik terpenting. Masalah itu dibahas dalam dua makalah khusus oleh Bahrum Rangkuti dan Sudarno, dan juga oleh satu komisi yang dikepalai oleh HAMKA. Semua pihak rupanya sepakat untuk membedakan kata-kata yang jelas sudah masuk kosakata Indonesia dan kata-kata yang merupakan istilah agama. HAMKA sendiri menentang keputusan Soewandi untuk mengganti tanda <‘> dalam sistem Van Ophuijsen dengan huruf <k> sebagai tanda huruf atau bunyi ‘ain, dan menyarankan agar kembali memakai <‘>. Tetapi argumen HAMKA kurang meyakinkan karena berdasarkan fakta bahwa, kalau <‘> tidak dipakai, maka orang tidak dapat membedakan antara kata-kata berikut: ni‘mat (lezat) dan nikmat (pembalasan, Ar. nqmt, yang tidak pernah masuk bahasa Melayu!); ’amal (perbuatan) dan‘amal (harapan);

‘alam (dunia) dan alam (derita) – yaitu antara kata yang lazim dan kata

yang tidak dikenal siapa pun (lih. Vikør 1988: 56). Yang paling menarik

(13)

dalam hal ini, ialah argumen HAMKA adalah keperluan membedakan satu kata dengan kata lain, sama sekali bukan mencerminkan etimologi kata-kata tersebut atau menandai kata-kata yang berasal dari bahasa Arab. Akhirnya, Komisi membenarkan dukungan terhadap penyesuaian (indonesiasi, pribumisasi) kata-kata yang sudah masuk bahasa Indonesia (yaitu ejaan yang sesuai dengan lafal lokal), namun menyarankan agar “Kata-kata Arab jang ada hubungannja dengan rasa keagamaan supaja diberi perlakuan khusus.” (Dikutip oleh Vikør 1988: 86.)

Sebagai langkah terakhir dalam pembaharuan ejaan, maka EYD, dengan tujuan utama agar menghindari segala tanda diakritis dan agar mengikuti lafal umum, menetapkan bahwa baik ‘ain maupun hamzah, yang kedua­duanya diucapkan /ʔ/, akan ditulis <k> dalam posisi post­vokal dan tidak ditulis dalam posisi lain, termasuk posisi antarvokal seperti dalam kata saat dan maaf.

Sistim Van Ophuijsen pada tahun 1901 berdasarkan baik ejaan Jawi maupun lafal sezaman. Tetapi selama 70 tahun berikutnya, ejaan Jawi tidak diperhatikan lagi, dan berbagai usul perubahan hanya berlandasan lafal yang telah lazim. Oleh karena itu masalah pengalihan ‘ain bukanlah mentranskripsi satu huruf Arab melainkan melambangkan satu bunyi Indonesia. Sistim yang akhirnya dipilih (oleh EYD) ialah tidak memakai lambang pada awal suku kata, yakni di depan suatu vokal (mis. <adat>, <ilmu>, <maaf>, <muamalat>) dan memakai huruf <k> pada akhir suku kata, yakni di depan suatu konsonan (mis. <laknat>, <maklum>, <mikraj>).

Salah satu paradoks ejaan tersebut (yang telah dicatat jauh sebelumnya, misalnya oleh penulis Malaysia, Asraf, tahun 1958 – lih. Vikør 1988: 52), ialah huruf ‘ain dan kaf dalam posisi post-vokal dalam kata-kata asal Arab, kedua-duanya ditulis /k/, padahal yang pertama diucapkan /ʔ/ dan yang kedua /k/. Contohnya, di satu pihak: <rakyat>, <makmur>, <maklum>, <makjun>, dan di pihak lain: <akbar>, <maksud>, <maktab>, <bukti>.

Dimensi Ideologi

(14)

“Ejaan Republik”, yang menggarisbawahi aspek politik pembaharuan itu. Ejaan bersifat politik; pada masa itu ejaan bahkan bersifat nasionalis. Mengenai aturan baru yang ditetapkan oleh ejaan Soewandi, L.S. Vikør menulis, “Di antara perubahan-perubahan itu, yang paling hebat adalah peralihan dari <oe> ke <u> karena tampak berdasarkan perasaan nasionalis dan anti-Belanda” (Vikør 1988: 16).

Waktu pemerintah Orde Baru juga berupaya memperbaharui ejaan, maka sebagaimana telah kita lihat, ia melanjutkan rencana pemerintah Soekarno untuk mempersatukan ejaan Indonesia dan Malaysia, tetapi secara sadar atau tidak, ia juga menunjukkan dirinya sebagai alat kemajuan sambil menjerumuskan periode Soekarno dalam kegelapan. Seluruh perdebatan tentang ejaan, antara tahun 1901 dan 1972, berdasarkan gagasan bahwa dalam bidang itu kemajuan dapat dan perlu dicapai. Nama ejaan yang ditetapkan tahun 1972 (“ejaan yang disempurnakan”) menyatakan bahwa suatu kemajuan telah tercapai dan menyiratkan bahwa tingkat kesempurnaan telah didekati. Padahal jelas bukan demikian. Sistim ejaan baru itu masih ditentang (seorang pengarang yang amat produktif seperti Ajip Rosidi masih menuntut agar buku-bukunya dicetak dengan aksen atas semua ‘e’ taling), lagipula tidak diterapkan dengan baik (kesalahan ejaan tampak di mana-mana: dalam buku, majalah, koran, disertasi dan iklan). Tetapi apa pun halnya, buku-buku dan majalah yang terbit sebelum tahun 1972 kini kelihatan kuno, kolot, bagian dari suatu masa silam. Dalam batas bidangnya sendiri, setiap pembaharuan ejaan tampak seperti suatu revolusi.

Dimensi ideologi ejaan ditegaskan juga oleh kenyataan bahwa masyarakat siap turun ke jalan untuk memprotes pembaharuan ejaan, seperti pernah terjadi tahun 1972.

Soal ejaan kata-kata serapan dari bahasa Arab khusus sensitif karena dirasakan berkaitan dengan agama Islam atau sedikitnya dengan warisan budaya dari dunia Arab. Soal ini berkali-kali timbul dalam perdebatan tentang ejaan sejak tahun 1940-an. Baru-baru ini Ajip Rosidi mengutarakan keresahan yang sama dalam dua kronik tentang bahasa Indonesia yang terbit dalam koran Pikiran Rakyat di Bandung (kronik itu, berjudul “Stilistika”, kemudian terkumpul dalam buku Bus, Bis, Bas, 2010, hlm. 79 dan 104-105). Kedua kutipan itu sebagai berikut:

(15)

dengan huruf “k” seperti “da’wah” menjadi “dakwah”. Tetapi bagaimana kata “da’i” (orang yang berdakwah) ditulis, apakah menjadi “daki”?

Maklumlah panitia yang dahulu menyusun EYD didominasi oleh orang-orang non-muslim, sehingga tidak memberi tempat yang cukup buat keperluan penulisan kata-kata yang penting dalam agama Islam.

Sedangkan panglima pembakuan bahasa yang paling terkemuka, yaitu Anton Moeliono mengganti istilah “akhiran” yang sudah memasyarakat bukan dengan istilah bahasa asing, melainkan dengan “ujungan” yang niscaya berasal dari kata dasar “ujung” (Santun Bahasa, 1984: 36 dst.) Apa alasannya? Jelas istilah “ujungan” tidak digunakan dalam ilmu bahasa internasional. Tetapi mengapa beliau menganggap perlu mengganti istilah “akhiran” yang sudah memasyarakat dengan “ujungan” (yang dalam kesenian daerah menunjuk kepada permainan saling memukul dengan rotan)? Apa urgénsinya? Apakah hanya karena semangatnya hendak mengéliminir semaksimal mungkin pengaruh bahasa Arab ke dalam bahasa Indonésia seperti juga ketika menyusun EYD beliau menghapuskan pemakaian tanda hamzah (‘) dalam kata-kata yang berasal dari bahasa Arab sehingga “do’a” ditulis “doa”, “Jum’at” ditulis “Jumat”, “Kurân” ditulis “Quran”? Mudah-mudahan semangat menggebu-gebu itu bukan karena sebagai orang Katolik beliau hendak mengurangi pengaruh Islam (melalui bahasa Arab) terhadap bahasa Indonésia yang mémang sangat besar. Kata-kata dengan suara yang menggunakan apostrof yang berasal dari bahasa Arab sebenarnya sudah menjadi kekayaan bahasa Indonésia yang dengan mudah diucapkan oleh sebagian besar bangsa Indonésia, mengapa harus dibuang melalui EYD? Mémang penghapusan diakritik itu dilakukan oleh Éjaan Républik (Suwandi) tetapi dalam praktéknya orang masih menulis “do’a”, “Jum’at”, “Qur’ân”, “da’i”, dan lain-lain. Baru dalam EYD prakték penulisan diakritik dibuang sama sekali. Padahal seharusnya setelah Éjaan Républik menghapuskannya namun dalam prakték ternyata orang masih tetap mempertahankan penggunaan hamzah (‘) ketika menulis kata-kata dari bahasa Arab seperti “do’a”, “da’i”, “Jum’at”, “Qur’an” dan lain-lain, EYD seyogyanya memberikan tempat kepada kebutuhan demikian.

Serangan yang amat keras ini menunjukkan betapa emosional tanggapan sementara orang terhadap ejaan karena dihubungkan secara eksplisit dengan identitas keagamaan. Sulit dibayangkan seorang pengarang Indonesia mengeluh karena ejaan kata-kata seperti cat, kecap, lonceng,

sampan, sekoteng, atau singkong tidak mencerminkan asalnya dari

(16)

Dampak atas Pilihan Filologi

Waktu mentranskripsikan sebuah teks Jawi ke dalam tulisan Latin, seorang pakar dapat saja mempunyai alasan sendiri untuk menggunakan ejaan yang tidak baku. Para pakar ilologi boleh saja menerapkan teori dan kaidah yang berlain-lainan, tetapi mereka semestinya menyadari akibat pilihan tersebut dari segi ilologi dan juga dari segi ideologi.

Pada hemat saya pilihan yang terbaik ialah memakai ejaan baku, dengan tiga alasan utama berikut: a) ejaan Jawi begitu labil (kaidahnya tidak sepenuhnya jelas dan hampir tidak pernah dipakai secara konsisten) sehingga mentranskripsikannya seadanya akan menghasilkan sebuah teks yang sama sekali tidak koheren dalam tulisan Latin; b) beberapa ciri ejaan mungkin saja mempunyai nilai fonetis, dalam arti mencerminkan lafal setempat dan sezaman, tetapi tidak dapat ditentukan ciri yang mana, sehingga mentranskripsikan semua ciri khas ejaan Jawi akan menghasilkan lebih banyak “lafal” yang salah daripada yang benar; c) yang lumrah dalam tulisan Jawi harus juga lumrah dalam transkripsi Latin; kalau kata saat ditulis dengan semestinya dalam Jawi, yaitu dengan huruf ‘ain, maka harus ditulis dengan semestinya juga dalam transkripsi Latin, yaitu <saat>, tanpa apostrof; baru kalau kata itu ditulis salah, misalnya tanpa huruf ‘ain, maka hal itu patut dicatat dalam transkripsi, baik dalam ejaannya ataupun dalam catatan kaki11.

Namun, dalam hal transkripsi sebuah teks Melayu lama ke dalam tulisan Latin, perlu dibedakan antara kata-kata Melayu dan kata-kata asing. Dalam sebuah teks dari abad ke-19, semua kata yang sudah dikutip di atas (mis. dakwa, doa, rakyat, saat, dll.) boleh dipastikan sudah menjadi kata Melayu, dalam arti oleh orang Melayu dianggap Melayu, bukan asing. Tetapi kalau membaca syair-syair Hamzah Fansuri dari masa sekitar tahun 1500 kita sukar memastikan apa pun. Dalam syair itu, sebagai contoh, dipakai sejumlah kata asal Arab seperti alam, awal, hakikat, haram,

hasil, misal, taufan, yang oleh editornya (Drewes & Brakel 1986) dieja (meskipun tidak selalu) <‘ālam>, <awwal>, <ḥaqīqat>, <ḥarām>, <ḥāṣil>, <mithāl> dan <ṭawfān>. Ejaan ini jelas menunjukkan bahwa kata­kata tersebut adalah kata asing, bukan Melayu, padahal belum tentu demikian halnya. Kemungkinan besar, pada waktu itu kata alam, awal, hasil dll. sudah lama masuk bahasa Melayu.

Maka dengan menggunakan sebuah jenis transkripsi ala Arab itu, kedua pakar Belanda, G.W.J. Drewes dan L.F. Brakel, menyampaikan kesan yang salah. Maksud mereka dalam hal itu sebenarnya tidak jelas,

(17)

tetapi hasilnya menyesatkan dan oleh karena itu, transkripsi tersebut patut dianggap salah.12

Namun demikian, dalam banyak transkripsi dari tulisan Jawi, apa pun kekunoan – atau justru kebaruan – teks Melayu yang bersangkutan, kita menemukan contoh-contoh ejaan seperti <ra’yat>, <do’a>, <da’wa>, <sa’at>. Apa alasannya? Dalam sebuah edisi yang dikerjakan oleh E.U. Kratz dan Adrietty Amir (2002) kita mendapat keterangan sebagai berikut: “Saya13 juga mengekalkan penggunaan angka ‘2’ sebagai penanda kata ulang atau kata ganda, bunyi ‘ain dan juga hamzah untuk memastikan teks ini ditransliterasi sedekat mungkin dengan naskah asal dalam tulisan Jawi.” (hlm. 18) Oleh karena itu, dalam teks tersebut kata-kata seperti

dakwa, syariat dan yakni ternyata dieja <syari‘at>, <da‘wa> dan <ya‘ni>.14 Apostrof dipakai sebagai petunjuk bahwa sebuah ‘ain dipakai dalam kata Jawinya. Padahal petunjuk itu sama sekali tidak perlu: kenapa pembaca modern sebuah teks Melayu harus mengetahui ejaan sebuah kata dalam bahasa Arab, apa perlunya, apa tujuannya? Lagipula, kalau betul-betul ingin menyajikan sebuah transkripsi yang “sedekat mungkin dengan naskhah asal dalam tulisan Jawi”, maka kenapa hanya tiga huruf saja (‘ain, hamzah dan angka 2) yang ditransliterasikan, kenapa huruf tā’, ḥā’, ṣād, ḍād, ṭā’, ẓā’, dan qāf tidak ditransliterasikan juga, kenapa tā’ marbūṭa tidak dibedakan dari tā’ biasa, kenapa huruf hā’ dan tā’ yang terikat pada huruf dāl, rā’ dan wā’ di akhir kata tidak ditandai, kenapa huruf vokal yang tertulis tidak dibedakan dari yang tidak tertulis? Kalau dakwa dan yakni mau ditulis <da‘wa> dan <ya‘ni>, kenapa hakikat dan hasil tidak ditulis <ḥaqīqat> dan <ḥāṣil>?

Kalau seorang editor mau menyajikan sebuah “transliterasi

se-12 Kecaman ini sama sekali tidak mengurangi kekaguman saya pada kedua sarjana tersebut. L.F. Brakel, meskipun meninggal dalam usia muda, menyumbangkan

kontribusi yang signiikan pada bidang kesusastraan Melayu lama, sedangkan G.W.J. Drewes jelas salah satu igur terbesar dalam sejarah ilologi Nusantara.

13 Tidak jelas siapa, di antara kedua editor, memakai kata “saya” ini.

14 Hal ini sebenarnya jauh lebih sulit karena aturan ‘transliterasi’ ketiga tanda tersebut (‘ain, hamzah dan angka 2) ternyata tidak diterapkan secara sistematis: kata-kata yang tertulis dengan satu ‘ain atau satu hamzah dalam tulisan Arab dan Jawi seperti misalnya (untuk huruf ‘ain) adil, ilmu, umur, iil, jemaah dan

maaf, serta (untuk huruf hamzah) yaitu [ya-’yt], seorang [s’w-r-ng], mereka itu [mr-yk’ytw] dan kesempurnaan [ksmpr-na’-n], ternyata dieja <adil>, <ilmu>, <umur>, <iil>, <jemaah>, <maaf> <iaitu>, <seorang>, <mereka itu>

(18)

de kat mungkin” di atas, maka pilihan tiga huruf (‘ain, hamzah dan angka 2) di samping sepuluh yang lain sama sekali arbitrer dan tidak bermakna. Bagaimanapun juga, “transliterasi” yang setengah-setengah itu berlandasan sebuah salah faham, karena tujuan dasar sebuah transkripsi bukan mencerminkan atau mendeskripsikan ejaan asal (Jawi), melainkan menyajikan teks yang bersangkutan dalam ejaan baru (Latin).

Dalam tulisan Jawi, sebuah hamzah sering digunakan untuk menandai perjumpaan dua huruf vokal, misalnya kalau sebuah kata berakhiran -a ditambah suiks -an, atau kalau awalan se- ditambah pada kata berawalan

huruf vokal. Ini boleh juga diuraikan oleh seorang editor dalam kata pengantar atau dalam catatan kaki, tetapi apa gunanya mentranskripsikan <ke’ada’an>? Gunanya tidak ada, tetapi efeknya ada, ialah menarik perhatian pada kata tersebut, seolah-olah aneh, menyimpang, tidak baku. Padahal justru bentuk itulah yang baku dalam tulisan Jawi. Akibatnya, editor yang menyalin dalam tulisan Latin ciri-ciri yang khas Jawi dengan tujuan mencerminkan tulisan Jawi itu dengan setia, justru mencapai hasil yang sebaliknya.

Kata-kata Arab telah diserap ke dalam sejumlah besar bahasa Nusantara. Dalam hal itu, kasus bahasa Jawa, dengan munculnya lafal /ŋ/ dan huruf <ng>, adalah fenomena unik. Tetapi justru karena ekstrim, kasus itu menegaskan bahwa kata-kata Arab tersebut selalu berubah dalam proses menjadi Indonesia atau Nusantara. Dalam bahasa-bahasa Nusantara yang pernah tertulis dalam huruf Arab (bahasa Melayu, Minangkabau, Aceh, Jawa, Sunda, Madura, Wolio, Bugis, Makassar, dll.) kata-kata Arab tersebut kelihatan tidak mengalami perubahan karena (umumnya) tetap ditulis sesuai ejaan aslinya. Tetapi ciri ejaan itu menyelubungi fakta bahwa lafal kata­kata itu selalu lafal baru. Dalam tugas para ilolog untuk mengalihkan tulisan tipe Arab (jawi, jawo, pegon, serang, dll.) ke tulisan Latin, seperti juga dalam tugas para ahli linguistik untuk menentukan ejaan bahasa Indonesia, kata Indonesia-lah yang harus ditulis, bukan kata-kata Arab. Sekalipun sebuah kata-kata Nusantara (Melayu, Jawa, dll.) memberi kesan – yang salah – tidak berbeda dengan kata asalnya dalam bahasa Arab, namun kata Nusantara itulah yang patut dieja, bukan kata akarnya dalam bahasa Arab. Sebagai contoh, kata-kata Indonesia seperti ilmu dan

maaf dapat saja kelihatan sama dengan kata akarnya dalam bahasa Arab kalau dieja dengan sebuah apostrof (<‛ilmu>, <ma‛af>), tetapi justru kesan itu salah oleh karena fonem yang ada di depan huruf ‘i’ dan ‘a’ masing-masing, lain dalam bahasa Arab dan bahasa Indonesia.

(19)
(20)

Singkatan

BEFEO Bulletin de l’École française d’Extrême-Orient BKI Bijdragen van het Koninklijk Instituut

EFEO École française d’Extrême-Orient ENI Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië

JMBRAS Journal of the Malayan/Malaysian Branch of the Royal

Asiatic Society

JSBRAS Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society KITLV Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde KPG KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

MBRAS Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society

OUP Oxford University Press

RIMA RIMA (Review of Indonesian and Malayan Affairs) TBG Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap

Abdul Rahman Haji Ismail

1998 (Penyuntingan teks Sulalat al-Salatin), dalam Cheah Boon Kheng (ed.) Sejarah Melayu: The Malay Annals. Kuala Lumpur: MBRAS.

Abdullah, Massir Q.

1982 Bo: Suatu Himpunan Catatan Kuno Daerah Bima. Mataram: Proyek Pengembangan Permuseuman Nusa Tenggara Barat, stensilan.

Abdullah bin Abdulkadir

1841 (ed.) Sejarah Melayu. Singapore: Thomas MacMicking.

1884 Sadjarah Malajoe of de Maleische Kronieken naar de uitgave van Abdoellah bin Abdel-kader Moensji, H.C. Klinkert ed. Leiden: Brill.

(21)

2005 “Kisah Pelayaran Abdullah ke Kelantan”, dalam A. Sweeney (ed.), Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, jilid 1, Jakarta: KPG – EFEO.

Abidin, Andi Zainal

1971 “Notes on the lontara’ as historical sources”, Indonesia 12: 159-172.

Ahmat b. Adam

1995 The Vernacular Press and the Emergence of Modern Indonesian Consciousness (1855–1913). Ithaca: SEAP, Cornell University. Alam, M.T.S. Lembang

1917-1920 Berbagai-bagai kepertjajan orang Meajoe ja’ni kepertjajaan kepada orang haloes (hantoe, setan, jin dan lain-lain

sebangsanya). Batavia, 2 jil. Alexandre de Paris

1994 Le Roman d’Alexandre, terjemahan L. Harf-Lancner. Paris (coll. Livre de Poche).

Alian, T. Ibrahim dkk. (eds.)

1987 Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis: Kumpulan Karangan Dipersembahkan kepada Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Ali bin Ahmad

1979 Hikayat Inderaputera diusahakan oleh Enchè Ali bin Ahmad. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka (cet. ke-8). Alves, Jorge M. dos Santos

1991 Três Sultanatos Malaios do Estreito de Malaca nos séculos

XV e XVI (Samudera-Pasai, Aceh e Malaca/Johor). Estudo Comparativo de História Social e Política , Disertasi, tidak terbit, Lisboa.

2001 “Naniyar Kuniyappan: Un Tamoul, syahbandar de Samudera-Pasai au début du XVIe siècle”, Archipel 62: 127-142.

Amin, Ahmad

1971 Sedjarah Bima: Sedjarah Pemerintahan dan Serba-serbi Kebudayaan Bima. Bima, stensilan.

Andaya, Leonard Y.

1981 The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century. The Hague: Martinus Nijhoff.

Anderson, Benedict R.O’G.

2009 “Bahasa tanpa nama”, dalam H. Chambert-Loir (ed.), Sadur, 2009, hlm. 379-393.

Anderson, John

(22)

Archives

1974 Archives des manuscrits cham-Khao-luc nguyen cao Cham. Phanrang.

Arrien

1984 Histoire d’Alexandre, diterjemahkan dari bahasa Yunani oleh P. Savinel. Paris: Minuit.

al-Attas, Syed Muhammad Naguib

1966 Rânîrî and the Wujûdiyyah in 17th Century Acheh. Kuala Lumpur: MBRAS.

1988 The Oldest Known Malay Manuscript: A Sixteenth Century Malay Translation of the ‘Aqâ’id of al-Nasai. Kuala Lumpur: University of Malaya Press.

Azra, Azyumardi

1997 “A Hadrami religious scholar in Indonesia: Sayid Uthman”, dalam Urika Freitag & William G. Clarence-Smith (eds.), Hadrami Traders, Scholars and Statesmen in the Indian Ocean, 1750s-1960s, Leiden: Brill.

Battistini, Olivier & Pascal Charvet (eds.)

2004 Alexandre le Grand: Histoire et Dictionnaire. Paris: Laffont (coll. Bouquins).

Bausani, A.

1962 “Note sulla struttura della ‘Hikayat’ classica malese”, Annali dell’Instituo Universitario Orientale de Napoli, n.s. XII: 153-192. (Terjemahan Inggris oleh L. Brakel, “Notes on the structure of the classical Malay hikayat”, Clayton: Monash University, 1979). Behrend, T. E. & Titik Pujiastuti

1997 Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia – EFEO, 2 jil. (Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara, jilid 3-A & 3-B).

Berg, C.C.

1961 “Javanese historiography: a synopsis of its evolution”, dalam Hall (ed.) 1961, hlm. 13-23.

1965 “The Javanese picture of the past”, dalam Soedjatmoko dkk. (eds.) 1965, hlm. 87-118.

Berg, L.C.W. van den

1886 Le Hadramout et les colonies arabes de l’Archipel Indien, Batavia: Imprimerie du Gouvernement. (Terjemahan Indonesia: Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, Jakarta: INIS, 1989).

Boisselier

1963 La Statuaire du Campa: Recherche sur les cultes et l’iconographie. Paris: EFEO.

Bouman, M.A.

(23)

Braam Morris, D.F. van

1891 “Nota van toelichting behoorende bij het contract gesloten met het landschap Bima op den 20sten Oct. 1886”, TBG 34: 176-233. Braginsky, V. I.

2004 The Heritage of Traditional Malay Literature: A historical survey

of genres, writings and literary views. Leiden: KITLV. Akan terbit Dalam artikel “Sulalat al-Salatin sebagai Mitos Politik”,

merujuk pada Braginsky 2004. Braginsky, V.I. & M.A. Boldyreva

1977 “Opisaniye malaysky rukopisey v sobranii leningradskogo otdeleniya Instituta vostokovedeniya an SSSR”, dalam B. Parnickel (ed.), Malaisko-indoneziiskie issledovaniya: Sbornik statei pamyati akademika A.A. Gubera, Moskwa:Nauka, hlm. 131-167. (Terjemahan Prancis, “Les manuscrits malais de Leningrad”, Archipel 40, 1990: 153-178.)

Brakel, L.F.

1975 The Hikayat Muhammad Hanaiyyah: A medieval Muslim-Malay romance. The Hague: Martinus Nijhoff.

1979 “On the origins of the Malay hikayat”, RIMA 13 (2): 2-21. 1980 “Dichtung und Wahrheit: Some notes on the development of the

study of Indonesian historiography”, Archipel 20: 35-44. Broeze, F.J.A.

1979 “The merchant leet of Java (1820­1850)”, Archipel 18: 251-269. Brown, C. C.

1952 “Sejarah Melayu or Malay Annals. A translation of Rafles M.

18 (in the Library of R.A.S. London)”, JMBRAS 25 (2-3): 1-276. (Edisi baru, Sejarah Melayu or Malay Annals: An Annotated Translation, Kuala Lumpur: OUP, 1970; cetak ulang, 1976). Bukhari al-Jauhari

1999 Taju’ssalatin, Mahkota Raja-Raja (ed. Asdi S. Dipodjojo & Endang Daruni Asdi). Yogyakarta: Lukman Offset.

Casparis, J.G. de

1975 Indonesian Palaeography, a History of Writing in Indonesia from the Beginnings to c. A.D. 1500. Leiden – Köln: Brill (Handbuch der Orientalistik, jil. 3.4.1).

1980 “Amat Majnun tombstone at Pengkalan Kempas”, JMBRAS, 53 (1): 1-22.

1998 “Some notes on ancient Bima”, Archipel 56 (L’horizon nousantarien: mélanges en hommage à Denys Lombard), hlm. 465-468.

Cense, A.A.

(24)

Chambert-Loir, Henri

1977a “Notes sur une épopée malaise: le Hikayat Dewa Mandu”, BEFEO LXIV: 293-302.

1977b “A propos du Mahabharata malais”, BEFEO LXIV: 265-291. 1980a Hikayat Dewa Mandu. Epopée malaise. I. Texte et Présentation.

Paris: EFEO.

1980b “Les sources malaises de l’histoire de Bima”, Archipel 20: 269-280.

1982 Syair Kerajaan Bima. Jakarta: EFEO.

1983 “Sumber Melayu tentang sejarah Bima”, dalam Citra Masyarakat Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan.

1984 “Muhammad Bakir: A Batavian scribe and author in the nineteenth century”, RIMA 19: 44-72.

1985a Ceritera Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-dewa. Bandung: Angkasa – EFEO.

1985b “Dato’ ri Bandang. Légendes de l’islamisation de la région de Célèbes Sud”, Archipel 29: 137-163. (Terjemahan Indonesia: “Dato’ ri Bandang. Legenda pengislaman daerah Sulawesi Selatan”, dalam D. Perret dkk. (eds.), Hubungan Budaya dalam Sejarah Dunia Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka – EFEO, 1998, hlm. 23-61.)

1987 “Sebuah hikayat Melayu dipentaskan”, dalam 10 Tahun Kerjasama Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) dan École française d‘Extrême-Orient (EFEO), Jakarta: Puslit Arkenas, hlm. 73-85.

1988 “Notes sur les relations historiques et littéraires entre Campa et Monde Malais”, dalam Actes du Séminaire sur le Campa organisé à l’Université de Copenhague le 23 mai 1987, Paris: Centre d’Histoire de Civilisations de la Péninsule Indochinoise, hlm. 95-106.

1989a “Etat, cité, commerce: le cas de Bima”, Archipel 37: 83-105. 1989b “Naskah-naskah Melayu dari Pulau Sumbawa”, dalam Ismail

Hussein dkk. (eds.), Tamadun Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, jil. II, hlm. 606-629.

1991 “Malay literature in the 19th century: the Fadli connection”, dalam J.J. Ras & S.O. Robson (eds.), Variation, Transformation

and Meaning: Studies on Indonesian Literatures in Honour of A. Teeuw, Leiden: KITLV Press, hlm. 87-114.

1992 “Sair Java-Bank di rampok: littérature malaise ou sino-malaise?”, dalam Claudine Salmon (ed.), Le moment “sino-malais” de la littérature indonésienne, Paris: Association Archipel, hlm. 43-70. 1994 “Some aspects of Islamic justice in the Sultanate of Pontianak c.

1880”, Indonesia Circle 63: 129-143.

(25)

Dunia Melayu”, dalam Ismail Hussein, P.B. Lafont & Po Dharma (eds.), Dunia Melayu dan Dunia Indocina, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, hlm. 217-234.

1999 “Sair Java-Bank di rampok: Sastra Melayu atau Melayu-Tionghoa?”, dalam H. Chambert-Loir & Hasan Muarif Ambary (eds.), Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard, Jakarta: EFEO – Puslit Arkenas – Yayasan Obor Indonesia, hlm. 335-364. (Edisi ke-2, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011.)

2000 “Mythes et archives: l’historiographie indonésienne vue de Bima”, BEFEO 87 (1): 215-245.

2004 Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah. Jakarta: KPG – EFEO. 2005 “The Sulalat al-Salatin as a political myth”, Indonesia 79:

131-160.

2006a “Alexandre le Grand en Insulinde”, dalam H. Chambert-Loir & Bruno Dagens (eds.), Anamorphoses: Hommage à Jacques

Dumarçay, Paris: Les Indes Savantes, hlm. 369-393.

2006b “Malay colophons”, Indonesia and the Malay World, vol. 34, No.

100, hlm. 363-381.

2007 “Hikayat Iskandar Zulkarnain di Dunia Melayu”, dalam Ahmad Kamal Abdullah dkk. (eds.), Prosiding Seminar Kesusasteraan Bandingan Antarabangsa, 7-9 Jun 2007, Kuala Lumpur, hlm. 94-108.

2009a Sapirin bin Usman, Hikayat Nakhoda Asik; Muhammad Bakir, Hikayat Merpati Mas dan Merpati Perak. Jakarta: Masup Jakarta – EFEO.

2009b Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: KPG – EFEO.

2009c “Aksara, huruf, lambang: Jenis-jenis tulisan dalam sejarah”, dalam H. Chambert-Loir (ed.), Sadur, 2009, hlm. 309-338.

2009d “Transkripsi sebagai terjemahan”, dalam H. Chambert-Loir (ed.), Sadur, 2009, hlm. 791-807.

2010 “Kolofon Melayu”, dalam Oman Fathurahman (ed.), Filologi

dan Islam Indonesia, Jakarta: Kementerian Agama RI, Puslitbang Lektur Keagamaan, hlm. 151-180.

2011a “Kolofon Melayu”, Jurnal Terjemahan Alam & Tamadun Melayu, 3, 1, hlm. 99-119.

2011b “Sebuah sumber Prancis tentang masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda: Cerita perjalanan Augustin de Beaulieu”, dalam Aprinus Salam dkk. (eds.), Jejak Sastra & Budaya: Prosiding

Seminar Internasional Persembahan untuk 70 Tahun Prof. Dr. Siti Chamamah Soeratno, Yogyakarta: Elmatera, hlm. 175-208.

(26)

Kelisanan Nusantara: Festschrift untuk Prof. Achadiati Ikram, Depok: Yayasan Pernaskahan Nusantara, hlm. 1-16.

2011d “Syair Sultan Fansuri”, dalam H. Chambert-Loir, Sultan, Pahlawan dan Hakim: Lima Teks Indonesia Lama, Jakarta: KPG. 2011e “Tempayan Kalimantan menurut sebuah teks Melayu tahun 1839”,

dalam H. Chambert-Loir, Sultan, Pahlawan dan Hakim: Lima Teks Indonesia Lama, Jakarta: KPG.

2013 “Daendels dan al-Ghazali: wawasan politik Abdullah al-Misri”, dalam Jelani Harun & Ben Murtagh (eds.), Penghargaan kepada

Professor Emeritus V.I. Braginsky: Mengharungi Laut Sastera Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, hlm. 50-87. Chambert-Loir, Henri & Siti Maryam Salahuddin

1999 Bo’ Sangaji Kai: Catatan Kerajaan Bima. Jakarta: EFEO – Yayasan Obor Indonesia. (Cetakan kedua, 2012).

Chambert-Loir, Henri, Suryadi, Oman Fatrurahman & H. Siti Maryam R. Salahuddin

2009 Iman dan Diplomasi: Sultan Bima Abdul Hamid Muhammad Syah, Jakarta: KPG – EFEO.

Cheah Boon Kheng

1998 “The rise and fall of the great Melakan empire: Moral judgement in Tun Bambang’s Sejarah Melayu”, JMBRAS 71 (2): 104-121. 1998a (ed.) Sejarah Melayu: The Malay Annals. Kuala Lumpur: MBRAS

(Reprint No 17). Cohen, Marcel

1958 La grande invention de l’écriture et son évolution. Paris: Klincksieck. Dicetak ulang dalam Marcel Cohen & Jérôme Peignot (eds.), Histoire et art de l’écriture, Paris: Laffont, 2005 (coll. Bouquins).

Cohen, Marcel dkk. (eds.)

1963 Ecriture et psychologie des peuples. Paris: Armand Colin. Dicetak ulang dalam Marcel Cohen et Jérôme Peignot (eds.), Histoire et art de l’écriture, Paris: Laffont, 2005 (coll. Bouquins).

Cohen, Matthew Isaac

2004 “Traditional and Popular Painting in Modern Java”, Archipel 69: 5-38.

Collet, Octave

1910 L’île de Java sous la domination française. Bruxelles: Falk Fils. Collins, James T.

1998 Malay, World Language: A Short History (edisi kedua). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. (Terjemahan Indonesia, Bahasa Melayu Bahasa Dunia: Sejarah Singkat. Jakarta: KITLV-Jakarta – Yayasan Obor Indonesia, 2005).

(27)

Cowan, C.D. & O.W. Wolters (eds.)

1976 Southeast Asian History and Historiography: Essays Presented to D.G.E. Hall. Ithaca: Cornell University Press.

Crawfurd, John

1820 History of the Indian Archipelago: Containing an Account of the Manners, Arts, Languages, Religions, Institutions, and Commerce of its Inhabitants. Edinburgh: Constable, 3 jilid.

Dain, Alphonse

1964 Les Manuscrits. Paris: Les Belles Lettres. Dakers, C. H.

1939 “The Malay coins of Malacca”, JMBRAS 17 (1): 1-12, 2 hlm. gambar.

Damais, L.-C.

1962-1963 “Bibliographie indonésienne. Compte rendu de Bahasa dan Budaja”, BEFEO L (2), 1962, hlm. 417-518, jil. LI, no. 2, 1963, hlm. 583-594, BEFEO LII (1), 1964, hlm. 204-240.

Déroche, François dkk.

2000 Manuel de codicologie des manuscrits en caractères arabes. Paris: Bibliothèque Nationale de France.

2005 Islamic Codicology: An introduction to the study of manuscripts in Arabic script. London: Al-Furqân Islamic Heritage Foundation. Dipodjojo, Asdi

1981 Taju’ssalatin, Fasal 10-12. Yogyakarta: Lukman. Douikar­Aerts, Faustina

2003 Alexander Magnus Arabicus: Zeven eeuwen Arabische Alexandertraditie, van Pseudo-Callisthenes tot Sûrï. Disertasi, Universitas Leiden, 2003.

Drewes, G.W.J.

1954 Een Javaanse Primbon uit de zestiende eeuw. Brill: Leiden. 1969 The Admonitions of Seh Bari. The Hague: Martinus Nijhoff. 1977 Directions for Travellers on the Mystic Path: Zakariyya al-Ansari’s

Kitab Fath al-Rahman and its Indonesian adaptations; with an appendix on Palembang manuscripts and authors. The Hague: Martinus Nijhoff.

1978 An Early Javanese Code of Muslim Ethics. The Hague: Martinus Nijhoff.

1995 “Short notice on the story of Haji Mangsur of Banten”, Archipel 50: 119-122.

Drewes, G.W.J. & L.F. Brakel

1986 The Poems of Hamzah Fansuri. Dordrecht: Foris. Eco, Umberto

(28)

Effendy, Tenas

1989 “Sedikit catatan tentang ‘Syair Perang Siak’”, dalam D.J. Goudie, Syair Perang Siak, Kuala Lumpur: MBRAS, hlm. 257-268. Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie

1917-1939. Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 8 jilid.

Endicott, K.M.

1970 An Analysis of Malay Magic. Singapore: OUP. Eringa, F.S.

1984 Soendaas-Nederlands woordenboek. Dordrecht: Foris. Eymeret, J.

1972 “Java sous Daendels, 1808-1811”, Archipel 4: 151-168. Favre, Abbé P.

1875 Dictionnaire malais-français. Wina: Imprimerie Impériale. Firdousi, Abou’lkasim

1877 Le Livre des Rois, Shah-Nameh, diterjemahkan oleh Jules Mohl. Paris, jil. V.

Fox, J.J.

1971 “A Rotinese dynastic genealogy: structure and event”, dalam T.O. Beidelman (ed.), The Translation of Culture: Essays to E.E. Evans-Pritchard, London: Tavistock Publications, hlm. 37-77.

Francis, E.

1856 Herinneringen uit den levensloop van een Indisch ambtenaar van 1815 tot 1851. Batavia: Van Dorp.

Gaillard, Marina

2005 Alexandre le Grand en Iran: Le Dârân Nameh d’Abu Tâher Tarsusi. Paris: De Boccard.

Gallop, Annabel Teh

1994 The Legacy of the Malay Letter. Warisan Warkah Melayu. London: British Library.

2002 Malay Seal Inscriptions: a study in Islamic epigraphy from Southeast Asia. PhD thesis, School of Oriental and African Studies, University of London.

2003 “Malay documents in the Melaka Records”, Paper presented at the 3rd International Convention of Asia Scholars, Singapore, 19-22 August 2003.

Gallop, Annabel Teh & Bernard Arps

1991 Golden Letters: Writing Traditions of Indonesia; Surat Emas: Budaya Tulis di Indonesia. Jakarta: Yayasan Lontar.

Gonda, J.

1952 Sanskrit in Indonesia. Nagpur: International Academy of Indian Culture.

Graaf, H.J. de

(29)

Guillot, Claude

2004 “La Perse et le Monde malais. Echanges commerciaux et intellectuels”, Archipel 68: 159-192.

Guillot, Claude & Ludvik Kalus

2000 “La stèle funéraire de Hamzah Fansuri”, Archipel 60: 3-24. (Terjemahan Indonesia, “Batu nisan Hamzah Fansuri”, dalam C. Guillot & L. Kalus, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia, Jakarta: KPG, 2008, hlm. 71-93.

Hadi, Amirul

2004 Islam and State in Sumatra: A study of seventeenth-century Aceh. Leiden: Brill.

Hall, D.G.E. (ed.)

1961 Historians of South East Asia. London: School of Oriental and African Studies, University of London.

Hamer, C. den

1890 “De sair Madi Kentjana”, TBG 33: 531-563. Hanitsch, R.

1903 “On a collection of coins from Malacca”, JMBRAS 39: 183-202, 2 hlm. gambar.

1905 “On a second collection of coins from Malacca”, JMBRAS 44: 213-16, 1 hlm. gambar.

Hashim Musa

2003 Epigrai Melayu: Sejarah Sistem Tulisan dalam Bahasa Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka (ed. pertama, 1997). Hellwig, Tineke

1986 “Njai Dasima, een vrouw uit de literatuur”, dalam C.M.S. Hellwig & S.O. Robson (eds.), A man of Indonesian Letters; Essays in

Honour of Professor A. Teeuw, Dordrecht: Foris, hlm. 48-66. Hikayat Hang Tuah

1978 [Transkripsi sebuah naskah milik Perpustakaan Nasional di Jakarta, tertanda “oleh: Bot Genoot Schap”]. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Bacaan Sastra Indonesia dan Daerah, 2 jilid.

Hikayat Inderaputera

1968 Hikayat Inderaputera (ed. Enche’ Ali bin Ahmad). Kuala Lumpur: Dewa Bahasa dan Pustaka.

Hitchcock, Michael

1984 “Is this evidence for the lost kingdoms of Tambora?”, Indonesia Circle 33: 30-35.

Ho, Engseng

(30)

Hoed, Benny Hoedoro

2006 Penerjemahan dan Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Hoëvell, W.R. van

1845 “Eenige mededeelingen omtrent het eiland Bali van Abdullah bin Mohamad el-Mazrie”, Tijdschrift voor Neêrlandsch-Indië, VII-2: 139-201.

Hollander, J.J. de

1873 “Berichten van eenen Malaier over Siam en de Siameezen”, BKI 20: 229-230.

Hooykaas, C.

1937 Over Maleise literatuur. Leiden: Brill. (Edisi kedua, 1947) 1951 Perintis Sastra. Groningen – Jakarta: J.B. Wolters. Ikram, Achadiati dkk.

2001 Katalog Naskah Buton Koleksi Abdul Mulku Zahari. Jakarta: Masyarakat Pernaskahan Nusantara – Yayasan Obor Indonesia. Iskandar, Teuku

1981 “Some manuscripts formerly belonging to Jakarta lending libraries”, dalam N. Phillips & K. Anwar (eds.), Papers on Indonesian Languages and Literatures, London: Indonesian Etymological Project – Paris: Association Archipel, hlm. 145-152. 1995 Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad. Brunei: Universiti

Brunei Darussalam.

1999 Catalogue of Malay, Minangkabau and South Sumatran Manuscripts in the Netherlands. Leiden: Documentatiebureau Islam-Christendom, 2 jil.

Jamilah Haji Ahmad (ed.)

1981 Hikayat Sempurna Jaya. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Jedamski, Doris

2009 “Terjemahan sastra dari bahasa-bahasa Eropa ke dalam bahasa Melayu sampai tahun 1942”, dalam H. Chambert-Loir (ed.), Sadur, 2009, hlm. 171-203.

Jelani Harun

2003 Pemikiran Adab Ketatanegaraan Kesultanan Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

2004 “Bustan al-Salatin, ‘The Garden of Kings’: A universal history and adab work from seventeenth-century Aceh”, Indonesia and the Malay World, vol. 32, No. 92: 21-52.

Jones, Russell

1975 “The date of School of Oriental and African Studies naskah dari Sjair Perang Mengkasar”, Bulletin of the School of Oriental and African Studies 38 (2): 418-420.

(31)

1985 Hikayat Sultan Ibrahim ibn Adham. An edition of an anonymous Malay text with translation and notes. Berkeley: University of California.

1987 Hikayat Raja Pasai. Petaling Jaya: Fajar Bakti. 2007 Loan-Words in Indonesian and Malay. Leiden: KITLV. Jong Boers, Bernice de

1995 “Mount Tambora in 1815: A volcanic eruption in Indonesia and its aftermath”, Indonesia 60: 36-60.

Jordaan, R. E. & P. E. de Josselin de Jong,

1985 “Sickness as metaphor in Indonesian political myths”, BKI 141 (2): 253-274.

Josselin de Jong, J.P.B. de

1935 De Maleische Archipel als ethnologisch studieveld. Leiden: J. Ginsberg.

1977 “The Malay Archipelago as a ield of ethnological study”, dalam

P.E. de Josselin de Jong (ed.), Structural Anthropology in the Netherlands, The Hague: Martinus Nijhoff, hlm. 166-182. Josselin de Jong, P. E de

1961. “Who’s Who in the Malay Annals”, JMBRAS, 34 (2): 1-89. 1964 “The Character of the Malay Annals”, dalam Malayan and

Indonesian Studies, J. Bastin & R. Roolvink (eds.), Oxford: The Clarendon Press, hlm. 235-241.

1985 “Le roi en son royaume: mythes politiques de l’Indonésie occidentale”, ASEMI XVI (1-4): 195-210.

1986 “Textual anthropology and history: The sick king”, dalam C.D. Grijns & S.O. Robson (eds.), Cultural Contact and Textual Interpretation, Dordrecht: Foris.

Junus, Umar

1984 Sejarah Melayu: Menemukan Diri Kembali. Petaling Jaya: Fajar Bakti.

Jusuf, Jumsari (ed.)

1978 Antologi Syair Simbolik dalam Sastra Indonesia Lama. Jakarta: Departement Pendidikan dan Kebudayaan.

Juynboll, H.H.

1899 Catalogus van de Maleische en Sundaneesche handschriften der Leidsche Universiteits-bibliotheek. Leiden: Brill.

Kartodirdjo, Sartono

1973 Protest Movements in Rural Java. Singapore: OUP. Kassim Ahmad (ed.)

1964 Hikayat Hang Tuah [transkripsi sebuah naskah milik Dewan Bahasa dan Pustaka]. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. (Edisi ketiga, 1971).

(32)

Katalog Manuskrip Melayu di Jerman Barat

1992 Katalog Manuskrip Melayu di Jerman Barat, oleh Asma Ahmat. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia.

Katalog Manuskrip Melayu di Perancis

1991 Katalog Manuskrip Melayu di Perancis, oleh Siti Mariani Omar. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia.

Kathirithamby-Wells, J. & Muhammad Yusoff Hashim

1985 The Syair Mukomuko: some historical aspects of a nineteenth century Sumatran chronicle. Kuala Lumpur: MBRAS. Kern, H.

1948 “Uit de verslagen van Dr W. Kern, taalambtenaar op Borneo, 1938-1941”, TBG 82 (3-4): 538-47.

Kern, R.A.

1947 “Proeve van Boegineesche geschiedschrijving”, BKI 104: 1-31. Khalid Hussain

1967 Hikayat Iskandar Zulkarnain. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Koster, G. L.

1986 “The soothing works of the seducer and their dubious fruits: interpreting the Syair Buah-Buahan”, dalam C.M.S. Hellwig & S.O. Robson (eds.), A man of Indonesian Letters; Essays in

Honour of Professor A. Teeuw, Dordrecht: Foris, hlm. 73-99. 1997 Roaming through Seductive Gardens: Readings in Malay

narrative. Leiden: KITLV.

Koster, G.L. & H.M.J. Maier

1982 “Variation within identity in the Syair Ken Tembuhan”, Indonesia Circle 29: 3-17.

1986 “The Kerajaan at war: on the genre heroic-historical syair”, dalam

Tauik Abdullah (ed.), Papers of the Fourth Indonesian-Dutch History Conference, Yogyakarta 24-29 July 1983. Part Two: Literature and History. Yogyakarta, Gadjah Mada, hlm. 29-72. Kratz, Ulrich

1977 “Running a library in Palembang in 1886 A.D.”, Indonesia Circle 14: 3-12.

1980 “A brief description of the ‘Malay’ manuscripts of the ‘Overbeck Collection’ at the Museum Pusat, Jakarta”, JMBRAS 53 (1): 90-106.

1989 “Hikayat Raja Pasai: A second manuscript”, JMBRAS 62 (1): 1-10. 2002 “Jawi spelling and orthography: A brief review”, Indonesia and the

Malay World, vol. 30, no. 86: 21-26. Kratz, E.U. & Adrietty Amir

2002 Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Saghir. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Lacarrière, Jacques

(33)

Lafont, P.-B.

1977 Catalogue des manuscrits cam des bibliothèques françaises. Paris: EFEO.

Lapian, A.B.

1987 “Bencana alam dan penulisan sejarah (Krakatau 1883 dan Cilegon

1888)”, dalam Alian dkk. (eds.) 1987, hlm. 211­231.

Leeuwen, Pieter Johannes van

1937 De Maleische Alexanderroman. Meppel: Ten Brink. Lemaire, Jacques

1989 Introduction à la codicologie. Louvain-la-Neuve: Université Catholique.

Leyden, John.

1821 Malay Annals: Translated from the Malay language by the late Dr

John Leyden with an introduction by Sir Thomas Stamford Rafles. London: Longman. (Cetak ulang, Kuala Lumpur: MBRAS, 2001). Liaw Yock Fang

1975 Sejarah Kesusasteraan Melayu Klassik. Singapura: Pustaka Nasional. (Cetakan ke-3, 1982).

1976 Undang-Undang Melaka: The laws of Melaka. The Hague: Martinus Nijhoff.

Ligtvoet, A.

1880 “Transcriptie van het dagboek der vorsten van Gowa en Tello met vertaling en aanteekeningen”, BKI 28: 1-259.

Linden, A. van der

1937 De Europeaan in de Maleische Literatuur. Meppel. Lombard, Denys

1967 Le Sultanat d’Atjeh au temps d’Iskandar Muda (1607-1636). Paris: EFEO.

1979 “Regard nouveau sur les ‘pirates malais’ (première moitié du XIXème siècle”, Archipel 18: 231-250.

1990 Le carrefour javanais. Essai d’histoire globale. Paris: EHESS. Lombard-Salmon, Claudine

1972 “Société peranakan et utopie: deux romans sino-malais (1934-1939)”, Archipel 3: 169-195.

Manguin, Pierre-Yves

1979 “L’Introduction de l’Islam au Campa”, BEFEO 61: 255-287. Manuskrip Melayu Koleksi Perpustakaan Negara Malaysia

1987 Manuskrip Melayu Koleksi Perpustakaan Negara Malaysia: Satu Katalog Ringkas. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia. Marihandono, Djoko

Referensi

Dokumen terkait

Terdapat kesamaan antara keduanya yaitu dapat dilihat dari hasil uji deskriptif yang memperoleh hasil bahwa semua indikator dari dimensi- dimensi baik variabel budaya

• Pasien yang memenuhi kriteria eksklusi tidak disertakan dalam penelitian • Penderita dinilai berdasarkan skor Kalesaran dan Skor Alvarado. • Sampel darah diambil sebelum

Tabel pengujian menu artikel digunakan untuk mengetahui apakah menu artikel yang terdapat dalam aplikasi ini dapat menampilkan artikel yang berkaitan

Kedudukan Pegawai Negeri Sipil (PNS) sangatlah urgen yang pelaksanaan perekrutannya mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 jo Peraturan Pemerintah Nomor

Tidak terdapat pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif tipe NHT terhadap hasil belajar psikomotorik siswa kelas VII pada mata pelajaran Aqidah

Pengujian dan pengamatan yang dilakukan penulis merupakan pengujian dan pengamatan yang dilakukan terhadap perangkat keras dan perangkat lunak dari sistem secara keseluruhan

Tentu, saya dapat membuat workplane di tengah-tengah silinder (lebih jauh tentang ini kelak). Tapi dengan menggunakan origin, tentu dapat meminimalkan jumlah