• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMPERTANYAKAN KESETARAAN GENDER BERCERM. pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MEMPERTANYAKAN KESETARAAN GENDER BERCERM. pdf"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

MEMPERTANYAKAN KESETARAAN GENDER: BERCERMIN

PADA RUANG HUNIAN TRADISIONAL INDONESIA

(STUDI KASUS: RUMAH GADANG MINANGKABAU)

Yunita Setyoningrum

Program Studi Desain Interior, Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Kristen Maranatha

Jl. Soeria Sumantri, MPH no.65, Bandung, Jawa Barat

Abstrak

Diskriminasi antara perempuan dan laki-laki pada berbagai tempat di belahan bumi ini masih selalu terjadi. Demikian pula di Indonesia, kaum wanita seringkali dianggap kaum kelas dua, yang posisinya di bawah keberadaan kaum laki-laki. Padahal sesungguhnya, alam pikiran tradisional Indonesia tidak pernah mendiskreditkan ataupun mengecilkan peran serta wanita dalam kehidupan. Bahkan pada beberapa suku tertentu, wanita mengambil bagian yang penting dalam perikehidupan masyarakatnya, dipuja, dan dihormati. Tulisan ini difokuskan pada pembahasan tentang arsitektur tradisional, yaitu Rumah Gadang Minangkabau, sebagai contoh kasus untuk menunjukkan alam pikiran leluhur kita terhadap gender.

Dalam pembahasan arsitektur rumah tradisional di berbagai tempat di Indonesia, hampir seluruh elemen arsitektur maupun interiornya memiliki makna yang mencerminkan nilai-nilai sosial budaya masyarakatnya. Termasuk diantaranya, cerminan relasi gender dalam masyarakat adat tersebut, tergambar dengan jelas pada sistem hunian yang diwariskan secara turun-temurun itu.

Tulisan ini membahas tentang bagaimana peran sosial perempuan dalam memaknai kehidupan penghuni rumah tradisional, yang dianalisis dari elemen ruang Rumah Gadang. Apakah ruang yang ada terbentuk karena filosofi kesetaraan laki-laki dan wanita, ataukah karena unsur usaha domestifikasi wanita semata? Dari leluhur kita, dalam hal ini dalam ruang hunian tradisional yang kita warisi, ternyata banyak sekali nilai-nilai kepemimpinan gender yang dapat kita ambil sebagai perenungan sosial di masa kini.

Kata kunci: hunian, tradisional, ruang laki-laki, ruang perempuan, kesetaraan gender

Abstract

Gender discrimination has always occured in many places in this world. In our country, women is

often considered as second class citizen below men. But indeed, Indonesian traditional philosophy and

(2)

took important role in their society, being honored and respected. This paper is focused on the

traditional architecture, in this case, Minangkabau Gadang House, to reveal our ancestor’s

conception on gender.

Traditional houses in Indonesia that have been handed over in generations, reflected social

and cultural values among the society. Those values were signified in the architectural elements of

traditional houses. Gender relation in the ethnic society is drawn clearly in traditional buildings,

particularly in living spaces that people used everyday.

Genereally, this paper discussed on women’s role in the Minangkabau traditional life, which

can be examined from Gadang House space elements. Was Gadang House spaces exist because of

gender equity? Or was it exist because of the society attempt to discriminate women? Indeed, from

traditional objects that our ancestor inherit years ago, there are a great deal of gender leadership

values can be learned as a reflections in our daily life.

Keywords: living space, traditional, men’s space, women’s space, gender equity

1. Makna Ruang Hunian sebagai Produk Arsitektur

Manusia menciptakan tanda-tanda bermakna untuk diketahui oleh orang lain disekitarnya, atau dengan kata lain digunakan dengan tujuan untuk berkomunikasi

satu sama lain. Bahkan pakar semiotik, Roland Barthes, menyebutkan bahwa, “...as soon as there is a society, every usage is converted into a sign itself” (Geoffrey

Broadbent et.al: 13). Pemaknaan benda-benda, baik yang terdapat di alam maupun benda-benda ciptaan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, berangkat dari kebutuhan riil dari benda dan pekerjaan itu sendiri, yang disebut dengan makna denotatif atau first meaning. Lebih jauh lagi, manusia memberi makna tambahan untuk meningkatkan nilai dari benda-benda yang diciptakannya dan pekerjaan yang dilakukannya. Makna tambahan ini disebut dengan makna konotatif atau second meaning. Benda-benda dimaknai tidak lagi berdasarkan fungsinya, namun juga secara

simbolik. Demikian pula arsitektur sebagai benda buatan manusia, seringkali dimaknai bukan hanya berdasarkan fungsinya, namun juga berdasarkan apa yang dapat dikomunikasikan atau disampaikan secara konotatif kepada pengguna dan pengamatnya.

(3)

makna-makna simbolik yang berkaitan dengan nilai-nilai budaya masyarakat penggunanya. Sementara secara horizontal, elemen-elemen arsitektur dan interior bangunan yang seringkali memiliki makna-makna simbolik adalah pola organisasi ruang dan pembagian zona ruang (zoning-blocking), orientasi ruang, arah muka bangunan (facade) dan massa bangunan.

2. Rumah Hunian Tradisional sebagai Simbolisasi Nilai Sosial Budaya

Bentuk rumah tradisional berbagai suku daerah di Indonesia sebagai produk arsitektur, bukan semata-mata merupakan perwujudan fungsi bangunan sebagai tempat berlindung, berteduh, dan tempat melakukan aktivitas sehari-hari, namun juga

merupakan perwujudan secara simbolik dari nilai-nilai sosial dan budaya yang dipegang teguh oleh masyarakat daerah tersebut secara turun-temurun.

Ruang pada hunian tradisional Indonesia menggambarkan kelompok sosial yang tinggal didalamnya, serta mencerminkan orientasi budaya dalam masyarakat yang lebih luas. Aspek-aspek budaya yang seringkali ditemukan tercermin pada ruang hunian tradisional adalah sistem kekerabatan dalam kelompok sosial, hak-hak turun temurun (inheritance rights), status sosial, relasi antargender, dan urut-urutan pekerjaan penghuninya (Gunawan Tjahjono et.al: 16). Aspek budaya yang akan digarisbawahi pada tulisan ini adalah cerminan dari relasi antargender.

Arti kata gender sendiri adalah pelabelan jenis kelamin manusia yang dilakukan berdasarkan fungsi dan peranan sosial. Pelabelan jenis kelamin ini sangat tergantung pada nilai-nilai sosial budaya yang dianut oleh suatu masyarakat, bukan lagi didasari keadaan fisik yang ‘given’. Jadi telaah mengenai kondisi gender dapat jadi sangat berbeda pada struktur masyarakat yang berbeda pula. Dalam budaya masyarakat yang berbeda, wujud ruang hunian dapat bervariasi dikarenakan perbedaan persepsi masyarakat terhadap relasi antargender. Pada tulisan ini, hunian tradisional suku Minangkabau atau lebih dikenal dengan “Rumah Gadang” dari Sumatera Barat dipilih sebagai ilustrasi untuk menggambarkan cerminan relasi antargender para penghuninya.

3. Pemaknaan Ruang pada Rumah Gadang Minangkabau

(4)

oleh satu keluarga Minangkabau, biasanya digunakan untuk beberapa keluarga pada saat yang bersamaan. Keberadaan keluarga-keluarga yang berdiam didalamnya sangat bergantung pada keturunan perempuan dalam keluarga tersebut. Hal ini berarti anak-anak perempuan pada sebuah keluarga, ketika beranjak dewasa dan menikah, akan memboyong suaminya ke dalam rumah keluarganya. Dengan demikian besarnya (dimensi lebar) Rumah Gadang dan banyaknya ruang didalamnya tergantung pada banyaknya perempuan bersuami yang terdapat pada satu keluarga penghuni.

Sistem keanggotaan Rumah Gadang tersebut sesungguhnya bertujuan untuk mencapai makna sentralitas, keberakaran, dan keterikatan pada tempat (place

attachment). Sentralitas berarti keberakaran, wilayah teritori, atau tempat untuk

berpulang kembali, bersarang, dan menetap. Dengan sistem keanggotaan semacam itu, kebersamaan antarperempuan dalam satu keluarga terjaga pada satu pusat (ruang hunian) sehingga pola kekerabatan matrilineal dapat senantiasa dilestarikan.

Tujuan memperoleh makna sentralitas juga tampak pada sebutan ‘gadang’, yang lebih memiliki arti ‘mulia’ dan ‘terhormat’ daripada ‘besar’. Dikatakan mulia dan terhormat karena hampir seluruh tatanan perikehidupan bermasyarakat diadakan didalamnya, mulai dari aktivitas musyarawarah sampai dengan pesta dan perayaan penting dalam keluarga. Jadi Rumah Gadang dimaknai sebagai titik pusat dimana aktivitas manusia terjadi di sekelilingnya.

Makna sentralitas, keberakaran, dan keterikatan pada tempat ini tak lepas dari peranan para perempuan penghuni yang bertugas menjaga dinamika dan keharmonisan di dalam rumah. Keberadaan perempuan dalam Rumah Gadang berkaitan pula dengan tujuan pencapaian makna privasi, perlindungan, keamanan, dan rasa memiliki (sense of belonging). Ruang hunian seringkali dimaknai sebagai tempat untuk berpaling dari ketidakteraturan dunia luar. Di dalamnya penghuni rumah memperoleh privasi, rasa aman, nyaman, relaks, kehangatan, dan rasa kekeluargaan. Kaum perempuan dianggap sebagai ‘tempat berpulang’ bagi para suami dan anak-anaknya dari aktivitas mereka yang hingar-bingar di luar rumah.

Filosofi umum dari Rumah Gadang adalah ‘harmonis dan dinamis

(5)

dimaksudkan untuk mengantisipasi permasalahan iklim tropis. Hal ini sesuai dengan teori Jerome Tognoli, “Ketika manusia merasakan ketidaksesuaian dalam lingkungannya, maka ia akan merasakan hubungan yang negatif dan ‘mengganggu’

dengan lingkungan tempat tinggalnya itu. Dengan demikian akan terbentuk motivasi

dalam diri manusia untuk mencari keharmonisan atau paling tidak menghentikan

hubungan yang dianggapnya negatif tersebut.”

Filosofi tersebut tampak pula pada elemen-elemen arsitektur dan interior horizontal yaitu pada pola organisasi ruang yang bersusun bertahap dari area publik sampai dengan privat (disini tampak pembagian teritori perempuan dan laki-laki), dibagi oleh aksis simetris yang disusun oleh grid tiang-tiang yang disebut ‘lanjar’.

Orientasi bangunan memanjang ke samping sejajar arah utara-selatan, sehingga facade menghadap ke arah timur atau barat. Keduanya merupakan upaya harmonisasi oleh kultur masyarakat Minangkabau.

Pola organisasi ruang Rumah Gadang membagi teritori perempuan dan laki-laki dengan menempatkan teritori perempuan pada bagian belakang yang bersifat lebih privat dan sakral, dan teritori laki-laki pada bagian depan yang bersifat lebih publik dan terbuka untuk umum. Penghuni perempuan beraktivitas secara dominan dalam rumah, sedangkan kaum laki-laki lebih banyak beraktivitas di luar rumah, di sawah, surau, atau masjid. Hal ini sebenarnya terjadi oleh karena pertimbangan karakter alamiah perempuan dalam menggunakan ruang. Dalam permasalahan jarak sosial atau interpersonal, wanita dan laki-laki menggunakan dan mempersepsi ruang secara berbeda. Perbedaan ini kadangkala bukan hanya dipengaruhi oleh jenis kelamin pengguna ruang saja, namun juga faktor konteks situasional, faktor usia, hubungan antarpengguna ruang, dan jenis kelamin pengguna ruang lainnya. Laki-laki pada umumnya menggunakan lebih banyak ruang interaksional dibandingkan perempuan.

Secara alamiah, menurut Bakan (1966) ada dua daya yang bekerja dalam interaksi semua makhluk hidup, yaitu agresi (berhubungan dengan proaktivitas, perlindungan diri, pengakuan diri) dan kesatuan (berhubungan dengan reaktivitas, sensitivitas interpersonal, dan dukungan/support). Kedua daya ini, menurut LaFrance

(6)

Pola organisasi ruang pada Rumah Gadang juga menunjukkan bahwa walaupun kaum perempuan bersaudara dan keluarga intinya masing-masing tinggal bersama dalam satu rumah, privasi masing tetap terjaga. Di bagian muka masing-masing kamar (yaitu pada area tengah/semipublik) terdapat area yang digunakan oleh masing-masing keluarga inti untuk makan, bercengkerama, dan menerima tamu. Jadi aktivitas personal dari masing-masing keluarga tetap terjaga walaupun merek tinggal dalam satu rumah.

Dalam hal menerima tamu, tamu yang lebih formal akan diterima di area publik yang terletak di grid paling muka dari Rumah Gadang, sedangkan tamu yang merupakan kerabat dekat akan diterima di grid tengah rumah. Keunikan dalam hal

tamu yang bertandang pada kultur Minangkabau adalah tamu pantang pulang sebelum disuguhi makan. Makanan untuk tamu akan disediakan oleh perempuan tertua dalam rumah. Hal ini menunjukkan karakter perempuan sebagai penjaga keharmonisan dengan karakter akrab dan kekeluargaan.

4. Penutup

Menilik ruang hunian tradisional di Indonesia, tampak bahwa memang ada pembedaan gender. Peran sosial antara laki-laki dan perempuan dipisahkan berdasarkan karakter alamiahnya, yaitu laki-laki sebagai agresor yang mengerjakan peran-peran aktif, sedangkan wanita sebagai figur yang lebih tenang, penyeimbang, dan penyelaras hidup. Namun demikian penempatan tersebut bukanlah bertujuan untuk merendahkan posisi perempuan menjadi kurang penting dibandingkan dengan laki-laki, tetapi lebih karena penghargaan pada perempuan dan karakternya.

Secara fisik, perempuan memang lebih lemah daripada laki-laki, demikian pula perilakunya cenderung lebih halus, ulet, sabar, dan penuh perhatian terhadap detil. Namun karakter fisik dan perilaku tersebut sama sekali tidak dapat dianggap sebagai kelemahan atau inferioritas. Sifat-sifat tersebut memungkinkan perempuan mengerjakan peran-peran domestik baik dalam rumah tangga maupun dalam bagian internal pada organisasi secara lebih baik dibandingkan laki-laki pada umumnya. Disamping itu, dari pola penggunaan ruang Rumah Gadang kita dapat melihat bahwa

(7)

Ketimpangan gender sesungguhnya tidak terjadi dalam nilai-nilai kodrati yang asli pada budaya bangsa Indonesia. Faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan gender adalah kepentingan-kepentingan dari berbagai pihak yang tidak mampu memandang harmoni dari kesetaraan perempuan dan laki-laki. Pembedaan gender, bahkan segala macam pembedaan berdasarkan karakter fisik (usia, ras, dsb), sulit dihindari selama manusia masih menggunakan tanda-tanda pada benda dan aktivitas benda di sekitarnya, serta memberi makna dalam kehidupannya. Namun demikian perbedaan tersebut hendaknya tidak dilakukan secara berurutan, dalam artian salah satu kelompok menjadi lebih superior daripada lainnya. Tuntutan kesetaraan gender oleh kaum perempuan di masa kini hendaknya dilakukan dengan

bijaksana dan tidak membabi buta ataupun dengan emosi yang negatif. Perempuan seyogyanya menerima karakter alamiah yang dianugerahkan pada diri mereka sebagai suatu potensi yang tidak akan sama dengan laki-laki, namun setara dilihat dari posisinya. Dengan bercermin pada harmoni Rumah Gadang Minangkabau, kaum perempuan dapat belajar banyak untuk meningkatkan kepemimpinan feminin yang mampu membawa keharmonisan pada lingkungan sekitarnya.

Daftar Pustaka

Abdullah, Irwan. 2003. Penelitian Berwawasan Gender dalam Ilmu Sosial. Jurnal Humaniora vol. XV no.3.

Broadbent, Geoffrey. Signs, Symbols, and Architecture. John Wiley & Sons, Inc. USA.

Brown, Barbara B. 1987. Territoriality dalam Handbook of Environmental Psychology Vol.1. Stokols, Daniel & Altman, Irwin (editor). John Wiley & Sons, Inc.

USA.

Davison, Julian. 1999. Traditional Architecture dalam Architecture, Indonesian Heritage Series, Bab 1, Archipelago Press. Singapore.

Tognoli, Jerome. 1987. Residential Enviroment dalam Handbook of Environmental Psychology Vol.1, editor Stokols, Daniel & Altman, Irwin. John Wiley & Sons, Inc.

USA.

(8)

Rumah Gadang (Rumah Tradisional Minangkabau, Sumatera Barat) dalam

www.budayamelayuonline.com

Referensi

Dokumen terkait

Tugas Akhir ini disusun sebagai syarat untuk memenuhi salah satu persyaratan mencapai derajad ahli madya keuangan perbankan yang diajukan pada Program Studi D-III

Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis siswa dalam pembelajaran matematika melalui Pembelajaran Berbasis

Kelurahan yang memiliki luas lahan terbesar yang masuk dalam kelas sangat sesuai yaitu Kelurahan Sorosutan dengan luas 130,94 Ha sedangkan yang paling sedikit yaitu Kelurahan

Jika dilihat dari hasil klasifikasi secara gabungan dengan klasifikasi MUSIC 3D, perusahaan akan mengetahui tidak hanya dalam satu sisi misalnya hanya dalam sisi

Penelitian ini merupakan penelitian deskritiptif korelasional dan salah satu tujuannya yaitu untuk mengetahui hubungan koordinasi mata kaki dengan ketepatan menembak

Skema BPJS yang dipermasalahkan MUI adalah BPJS untuk dua program, diantaranya: program jaminan kesehatan mandiri dari BPJS dan jaminan kesehatan Non PBI (Peserta Bantuan

Penguasaan bahasa Jepang harus mencakup aspek pragmatik agar dapat menggunakan bahasa secara fasih dan komunikatif seperti layaknya orang Jepang berbicara1. Oleh

Analisis cluster dengan tingkat kemiripan 80 % yang melibatkan ke empat komponen utama dari peubah kuantitatif (tinggi tanaman, jumlah gabah isi per malai, jumlah total gabah per