• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tentang kepustakaan yang berkaitan dengan rumusan masalah penelitian hukum ini. Uraian meliputi tindak pidana dan tindak pidana korporasi, pertanggungjawaban tindak pidana korporasi, teori mengenai konsep hukum dan pandangan hakim tentang hukum.

Tujuan dari kajian pustaka ini adalah untuk menjawab rumusan permasalahan skripsi ini. Juga nanti akan dipergunakan untuk melakukan analisa hasil penelitian di Bab III

A. TINDAK PIDANA DAN TINDAK PIDANA KORPORASI. 1. Tindak Pidana

Kusumadi Pudjosewojo sebagaimana yang dikutip oleh Bambang Purnomo dalam bukunya Azas–azas hukum pidana, hukum digambarkan sebagai rangkaian ugeran/peraturan yang menguasai tingkah laku dan perbuatan tertentu dari manusia dalam hidup bermasyarakat.1 Kemudian Bambang Purnomo juga menjelaskan beberapa pendapat tentang pengertian hukum pidana, sebagai berikut:2

a. Hukum Pidana adalah hukum sanksi.

Definisi ini diberikan berdasarkan ciri hukum pidana yang membedakan dengan lapangan hukum yang lain yaitu bahwa hukum

(2)

2

pidana sebenarnya tidak mengadakan norma sendiri melainkan sudah terletak pada lapangan hukum yang lain, dan sanksi pidana diadakan untuk menguatkan ditaatinya norma–norma tersebut.

b. Hukum Pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai perbuatan perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya.

c. Hukum Pidana dalam arti Objektif (dinamakan jus poenale) meliputi: 1. Perintah dan larangan yang pelanggarannya diancam dengan sanksi

pidana oleh badan yang berhak.

2. Ketentuan–ketentuan yang mengatur upaya yang dapat dipergunakan, apabila nurma itu dilanggar, yang dinamakan hukum penitentiaire.

3. Aturan–aturan yang menentukan kapan dan dimana berlakunya norma–norma tersebut diatas.

4. Subyektif (dinamakan jus puniendi) yaitu hak negara menurut hukum untuk menuntut pelanggaran delik dan untuk menjatuhkan serta melaksanakan pidana.

d. Pengertian hukum pidana menurut Moeljatno, bahwa hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku disemua negara, yang mengadakan dasar – dasar dan anturan untuk :

(3)

3

2. Menentukan kapan dan dalam hal – hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan – larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan.

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Berdasarkan beberapa difinisi hukum pidana tersebut, dapat diambil suatu kesimpulan tentang pengertian hukum pidana, yaitu hukum yang mengatur perbuatan–perbuatan yang dilarang oleh undang–undang dan berakibat diterapkannya hukumam bagi siapa saja yang melakukan dan memenuhi unsur–unsur perbuatan yang disebutkan dalam undang–undang pidana.

Bambang Poernomo dalam bukunya Azas-Azas Hukum Pidana, menyebutkan maksud diadakannya istilah perbuatan pidana, peristiwa pidana, tindak pidana dan sebagainya adalah untuk mengalihkan bahasa dari istilah asing strafbaar feit.3 Simons sebagaimana dikutip oleh Moeljatno dalam bukunya Azas-Azas Hukum Pidana menerangkan, sebagai berikut:4

Strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.

(4)

4

Sedangkan Van Hamel merumuskan strafbaar feit adalah kelakuan orang (menslijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (straf waardig) dan dilakukan dengan kesalahan. Pembentuk undang-undang tidak mengadopsi mentah-mentah istilah strafbaar feit, jika diadopsi mentah-mentah istilah dan makna strafbaar feit sebagaimana dikemukakan oleh Simon dan Van Hamel di atas, maka istilah tersebut baru dapat dipakai setelah ada penetapan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Karena untuk mengetahui orang bersalah atau tidak, melawan hukum atau tidak, dapat dipertanggungjawabkan atau tidak harus melalui suatu proses penyelesaian perkara pidana berdasarkan hukum pidana formil yang berlaku.

Menurut Moeljatno yang menggunakan istilah “perbuatan pidana”, memberi makna perbuatan pidana adalah “perbuatan yang dilarang oleh

(5)

5

perbuatan pidana dan kesalahan. Dengan demikian makna istilah perbuatan pidana yang dikemukakan oleh Moeljatno bukanlah merupakan salinan dari strafbaar feit.

Makna istilah “perbuatan pidana” yang dikemukakan Moeljatno di

atas masih terkesan bersifat pasif, baru merupakan perbuatan yang berada dalam dimensi rumusan peraturan pidana belum keluar menjadi perbuatan nyata yang dilakukan orang. Wiryono Projodikoro menggunakan istilah “tindak pidana”, dan memaknai tindak pidana dengan arti “suatu perbuatan

yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana”.5

Dasar patut dipidananya perbuatan, berkaitan erat dengan masalah sumber hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana atau bukan.6 Tindak pidana tersebut dalam KUHP tidak dirumuskan secara tegas tetapi hanya menyebutkan unsur-unsur tindak pidananya saja, tetapi dalam konsep hal tersebut telah dirumuskan atau diformulasikan, misalnya dalam konsep KUHP dirumuskan dalam Pasal 11 yang menyatakan bahwa:

1. Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.

5 Wiryono, Projodikoro, 1989, Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia, cetakan kedua, Bandung: PT Eresco, Hal 232.

(6)

6

2. Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar. Serupa dengan makna yang dikemukakan oleh Moeljatno bahwa makna yang dikemukakan oleh Wiryono Projodikoro7 di atas masih terkesan bersifat pasif, baru merupakan perbuatan yang berada dalam dimensi rumusan peraturan pidana belum keluar menjadi perbuatan nyata yang dilakukan orang dalam suatu peristiwa atau kejadian dan sedikit bias karena jika diambil contoh seseorang yang menunggak iuran listrik dikenai sanksi denda, sedangkan denda merupakan salah satu jenis sanksi pidana. Apakah perbuatan menunggak iuran listrik merupakan tindak pidana, contoh lain, karena bolos sekolah seorang anak dikurung (tidak boleh keluar rumah) oleh orang tuanya, apakah perbuatan bolos sekolah merupakan tindak pidana?

Penempatan kesadaran hukum masyarakat sebagai salah satu sifat melawan hukum, yaitu hukum tak tertulis merupakan jembatan hukum agar penggunaan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan dapat menjangkau keadilan substantif atau keadilan materil, terlebih hal tersebut jika dikaitkan dengan tindak pidana korupsi, di mana korupsi merupakan hal yang sangat dicela oleh masyarakat.

(7)

7

Penempatan sifat melawan hukum materiel tersebut juga untuk menjangkau keseimbangan dalam kehidupan masyarakat, karena menurut Muladi tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan masyarakat yang mengakibatkan gangguan individual ataupun masyarakat.8

Dari istilah-istilah yang dikemukakan di atas, tulisan ini memilih menggunakan istilah “tindak pidana” karena sudah sering digunakan oleh

pembentuk undang-undang, contoh Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, undang-undang tindak pidana narkotika, Undang-undang Tindak

Pidana Pencucian Uang, dalam KUHAP pun muncul kata “tindak pidana”

hingga lebih lazim digunakan.

2. Tindak Pidana Korporasi

Istilah “Tindak Pidana Korporasi” dalam beberapa literature sering

disebut juga dengan “Kejahatan Korporasi” pada dasarnya tidak muncul

dengan sendirinya melainkan muncul seiring dengan perkembangan zaman dan perkembangan masyarakat. Awal mula lahirnya tindak pidana korporasi ini berangkat dari pendapat Edwin Sutherland yang mengemukakan jenis-jenis kejahatan yang dikenal dengan White Collar Crime. Terkait dengan white collar crime itu sendiri Hazel Croal sebagaimana dikutip oleh Yusuf Shofie memberikan definisi yaitu sebagai: white collar crime sering diasosiasikan dengan berbagai skandal dunia

(8)

8

keuangan dan bisnis (financial and bussines world) dan penipuan canggih oleh para eksekutif senior (the sophisticated frauds of senior executives) yang didalamnya termasuk apa yang secara popular dikenal sebagai tindak pidana korporasi (corporate crime).9

Mengenai corporate crime atau kejahatan korporasi ini, Steven Box mengemukakan tipe dan karakteristik tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi yang pada dasarnya berbeda dengan tindak pidana atau kejahatan konvensional pada umumnya. Steven Box menyatakan bahwa ruang lingkup tindak pidana korporasi melingkupi:10

1) Crimes for corporation, yakni kejahatan atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi dalam mencapai usaha dan tujuan tertentu guna memperoleh keuntungan.

2) Criminal corporation, yaitu korporasi yang bertujuan semata-mata untuk melakukan kejahatan. (dalam hal ini korporasi hanya sebagai kedok dari suatu organisasi kejahatan).

3) Crimes against corporation, yaitu kejahatan-kejahatan terhadap korporasi seperti pencurian atau penggelapan milik korporasi, dalam hal ini korporasi sebagai korban. Dalam tulisan ini, sudah tentu yang akan dibahas hanyalah Crimes for corporation yakni kejahatan atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi dalam mencapai

9Yusuf Shofie, “Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi”, (Jakarta: Ghalia Indonesia,

2002), hal. 44.

10 Lihat juga Muladi dan Dwija Priyatnohal 29 dan bandingkan juga dengan Hamzah Hatrik, “Asas

(9)

9

usaha dan tujuan tertentu guna memperoleh keuntungan. Berkaitan dengan korban kejahatan korporasi ini, Muladi membedakan antara korban kejahatan konvensional dengan korban kejahatan korporasi sebagai berikut:

Pada kejahatan konvensional, korbannya dapat diidentifikasi dengan mudah, sedangkan pada kejahatan korporasi korbannya seringkali bersifat abstrak, seperti pemerintah, perusahaan lain atau konsumen yang jumlahnya banyak, sedangkan secara individual kerugiannya sangat sedikit.11

Sedangkan menurut Clinard dan Yeager, terdapat enam jenis korban kejahatan korporasi yaitu:12

1) Konsumen (keamanan atau kualitas produk). Bilamana resiko keamanan dan kesehatan dihubungkan dengan penggunaan produk, maka konsumen telah menjadi korban dari produk tersebut.

2) Konsumen (kekuasaan ekonomi). Pelanggaran kredit, yakni memberikan informasi yang salah dalam periklanan dengan tujuan untuk mempengaruhi konsumen.

3) Sebagian besar sistem ekonomi telah terpengaruh oleh praktik-praktik perdagangan yang tidak jujur secara langsung (pelanggaran terhadap ketentuan anti monopoli dan pelanggaran-pelanggaran

11Arief Amrullah, “Kejahatan Korporasi (The Hunt for Mega Profits and The Attack on Democracy)”, (Malang: Banyumedia Publishing, 2006),hal. 133.

(10)

10

terhadap peraturan persaingan lainnya) dan kebanyakan pelanggaran keuangan kecuali yang berkaitan dengan belanjaan konsumen.

4) Pelanggaran lingkungan (pencemaran udara dan air), yang menjadi korban yakni lingkungan fisik.

5) Tenaga kerja menjadi korban dalam pelanggaran terhadap ketentuan upah.

6) Pemerintah menjadi korban, karena adanya pelanggaran-pelanggaran administrasi atau perintah pengadilan dan kasus-kasus penipuan pajak.

Selain itu, tindak pidana korporasi telah menimbulkan kerugian diberbagai bidang misalnya kerugian di bidang:

1. Kerugian di bidang ekonomi atau kerugian materil Berbagai peristiwa menunjukkan bahwa tingkat kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh kejahatan ini luar biasa besarnya, khususnya bila dibandingkan dengan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan warungan seperti perampokan, pencurian, penipuan. Misalanya perkiraan yang dilakukan oleh Subcommitee on Antitrust and Monoplay of the US Senate Judiciary Commites yang diketuai oleh Senator Philip Hart memperkirakan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi antara 174-231 miliar dollar per tahun. Ini adalah angka yang sangat jauh bila dibandingkan kejahatan warungan yang berkisar 3-4 miliar.

(11)

11

tubuh yang terjadi di seluruh dunia. Resiko kematian dan cacat yang disebabkan oleh korporasi dapat diakibatkan baik oleh produk yang dihasilkan oleh korporasi maupun dalam proses produksi, sehingga yang menjadi korban kejahatan korporasi adalah masyarakat luas, khususnya konsumen dan mereka yang bekerja pada korporasi.

3. Kerugian di bidang sosial dan moral Disamping kerugian ekonomi, kesehatan dan jiwa, kerugian yang tidak kalah pentingnya yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi adalah kerugian di bidang sosial dan moral. Dampak yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi adalah merusak kepercayaan masyarakat terhadap perilaku bisnis. The

President„s Commision on Law Enforcement and Administration of

Justice pernah menyatakan bahwa kejahatan korporasi merupakan kejahatan yang paling penting mencemaskan bukan saja karena kerugiannya yang sangat besar, akan tetapi akibat yang merusak terhadap ukuran-ukuran moral perilaku bisnis orang Amerika. Kejahatan bisnis (korporasi) merongrong kepercayaan public terhadap sistem bisnis, sebab kejahatan demikian diintegrasikan ke dalam struktur bisnis yang sah (the structure of legitimate business).

(12)

12

demikian, pertanggungjawaban pidana korporasi harus tetap memperhatikan kriteria-kriteria yang dikemukakan oleh Clinard dan Yeagar sebagai berikut:13

1. The degree of loss to the public. (Derajat kerugian terhadap public);

2. The lever of complicity by high corporate managers. (Tingkat keterlibatan oleh jajaran manager);

3. The duration of the violation. (Lamanya pelanggaran).

4. The frequensi of the violation by the corporation. (Frekuensi pelanggaran oleh korporasi);

5. Evidence of intent to violate. (Alat bukti yang dimaksudkan untuk melakukan pelanggaran);

6. Evidence of extortion, as in bribery cases. (Alat bukti pemerasan, semisal dalam kasus suap);

7. The degree of notoriety engendered by the media. (Derajat pengetahuan publik tentang hal-hal negative yang ditimbulkan oleh pemberitaan media); 8. Precedent in law. (Jurisprudensi);

9. The history of serious, violation by the corporation. (Riwayat pelanggaran-pelanggaran serius oleh korporasi);

10.Deterence potential. (Kemungkinan pencegahan);

11.The degree of cooperation evinced by the corporation. (Derajat kerja sama korporasi yang ditunjukkan oleh korporasi).

Kemudian apabila dilihat secara global, maka tujuan pemidanaan korporasi menyangkut tujuan yang bersifat integratif yang mencakup :14

(13)

13

1. Tujuan pemidanaan adalah pencegahan (umum dan khusus). Tujuan pencegahan khusus adalah untuk mendidik dan memperbaikipenjahatnya; sedangkan tujuan pencegahan umum adalah agar orang lain tidak melakukan kejahatan tersebut.Jadi jika dihubungkan dengan korporasi, maka tujuan dipidananya korporasi agar korporasi itu tidak melakukan pidana lagi, dan agar korporasi-korporasi yang lain tercegah untuk melakukan tindak pidana, dengan tujuan demi pengayoman masyarakat.

2. Tujuan pemidanaan adalah perlindungan masyarakat. Perlindungan masyarakat sebagai tujuan pemidanaan mempunyai dimensi yang sangat luas, karena secara fundamental ia merupakan tujuan semua pemidanaan. Secara sempit hal ini digambarkan sebagai bahan kebijaksanaan pengadilan untuk mencari jalan melalui tindak pidana. Perlindungan masyarakat sering dikatakan berada di seberang pencegahan dan mencakup apa yang dinamakan tidak mampu . Bila dikaitkan dengan korporasi, sehingga korporasi tidak mampu lagi melakukan suatu tindak pidana.

(14)

14

4. Tujuan pemidanaan adalah pengimbalan atau keseimbangan, yaitu adanya kesebandingan antara pidana dengan pertanggungjawaban individual dari pelaku tindak pidana, dengan memperhatikan beberapa faktor.Penderitaan yang dikaitkan oleh pidana harus menyumbang pada proses penyesuaian kembali terpidana pada kehidupan masyarakat sehari-hari dan di samping itu beratnya pidana tidak boleh melebihi kesalahan terdakwa bahkan tidak dengan alasan-alasan prevensi general apapun.

Mengutip kembali pernyataan Muladi diatas yang menyatakan bahwa:

…Pada kejahatan konvensional, korbannya dapat diidentifikasi dengan mudah,

sedangkan pada kejahatan korporasi korbannya seringkali bersifat abstrak dan tidak

mudah diidentifikasi…15

Hazel Croall, menyatakan bahwa kesulitan mendeteksi kejahatan korporasi ini karena karakteristik umum yang melekat pada white collar crime, yaitu:16

1. Ketidakjelasan pertanggungjawaban pidana (Diffusion Of Responsibility) 2. Ketidakjelasan korban (Diffusion Of Victim)

3. Aturan hukum yang samar (Ambiguous Criminal Law)

4. Serta sulit mendeteksi dan dilakukan penuntutan (Weak Detection And Prosecution).

Dari berbagai penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa korban kejahatan korporasi tidak hanya mengalami kerugian materi, tetapi juga kerugian imateril seperti kesehatan, bahkan bukan tidak mungkin kehilangan nyawa dan juga menimbulkan kerugian terhadap lingkungan hidup. Kerugian materi yang diderita

(15)

15

oleh korban kejahatan korporasi sangat sulit untuk diestimasi. Hal ini dikarenakan korban kejahatan korporasi yang sangat luas (masyarakat pada umumnya, konsumen pengguna produk yang dihasilkan korporasi baik berupa barang maupun jasa, korporasi yang bertindak selaku kompetitor, para karyawan dan pemegang saham dalam sebuah korporasi, bahkan negarapun dapat menjadi korban kejahatan korporasi). Selain itu, tidak jarang kerugian yang diderita oleh korban kejahatan korporasi bersifat kompleks sehingga tidak mudah melakukan pembuktiannya dan korbannya seringkali bersifat abstrak dan tidak mudah diidentifikasi.

3. Kriminalisasi Tindak Pidana Korporasi

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kriminalisasi? Mungkin pertanyaan inilah yang pertama-tama harus dijawab. Istilah “kriminalisasi” pada dasarnya merupakan suatu istilah yang berasal dari bahasa Inggris yaitu “Criminalization” yang menurut penulis secara sederhana dapat diartikan bahwa

sebuah langkah atau proses yang diambil oleh legislative untuk menilai, menentukan dan merumuskan, apakah suatu perbuatan yang sebelumnya dinyatakan bukan sebagai perbuatan pidana (tindak pidana) menjadi suatu tindak pidana.

Terkait dengan masalah kriminalisasi ini, pada dasarnya akan meliputi dua masalah sentral yaitu terkait dengan masalah menentukan:17

1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan

(16)

16

2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.

Meskipun demikian, untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, perlu memperhatikan pernyataan dari Satjipto Rahardjo yang menyatakan bahwa untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana perlu diperhatikan kriteria umum sebagai berikut:18

1. Apakah perbuatan itu diakui oleh masyarakat karena merugikan atau dapat merugikan atau mendatangkan korban;

2) Apakah biaya mengkriminalisasikan seimbang dengan hasil yang akan dicapai. Artinya biaya pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, beban yang dipikul korban dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai; 3) Apakah akan makin bertambah beban aparat penegak hukum sehingga terjadi

ketidak seimbangan kemampuan dan beban tugas, atau nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimiliki petugas penegak hukum;

4) Apakah perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa Indonesia, yakni terwujudnya masyarakt yang adil dan makmur sehingga merupakan bahaya bagi keselamatan masyarakat.

Jadi dapat disimpulkan pula bahwa istilah “krimanalisasi” hanya berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang dinilai sebagai perbuatan pidana. Proses kriminalisasi ini penting mengingat dalam hukum pidana Indonesia menganut asas legalitas sebagaimana dituangkan dalam Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan bahwa: Tiada

(17)

17

suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu.19

Ini artinya, suatu perbuatan dapat dihukum apabila sudah ada aturan hukum yang mengatur atau menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan pidana. Perlu pula dikemukakan bahwa asas legalitas disini dimaksudkan untuk memberikan jaminan kedudukan hukum warga negara terhadap pemerintahan. Disinilah pentingnya proses kriminalisasi yaitu menentukan suatu perbuatan sebagai perbuatan pidana. Perlu pula dikemukakan bahwa proses kriminalisasi di bidang tindak pidana ekonomi yang salah satunya tindak pidana korporasi terus berlangsung dari waktu ke watu dalam sistem hukum Indonesia. Hal ini adalah sesuatu yang wajar mengingat salah satu peran negara adalah melindungi warganya.

Dalam rangka negara (pemerintah) melakukan banyak kriminalisasi terhadap tindak pidana baru di bidang ekonomi misalnya kriminalisasi tindak pidana pencucian uang yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan UndangUndang Nomor 25 Tahun 2003 sebagaimana saat ini telah dicabut oleh Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, kriminalisasi tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kriminalisasi di bidang perpajakan dengan diaturnya perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (KUP) diubah

(18)

18

dengan UndangUndang Nomor 16 Tahun 2000 dan kriminalisasi di bidang perbankan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Berdasarkan uraian singkat diatas, dapat dilihat bahwa proses kriminalisasi dalam hal tindak pidana di bidang ekonomi berlangsung begitu cepat dan diatur dalam berbagai ketentuan dengan berbagai variasinya masingmasing.

Namun demikian, berbeda dengan hal sebagaimana disebutkan diatas, kriminalisasi tindak pidana korporasi dapat dikatakan berjalan sangat lambat dibandingkan dengan kriminalisasi tindak pidana ekonomi lainnya. Hal ini terbukti dengan tidak adanya Undang-Undang yang mengatur mengenai tindak pidana korporasi. Jangankan sampai pada lahirnya undang-undang yang mengatur secara khusus mengenai tindak pidana korporasi, sampai dengan saat ini saja masih terjadi perdebatan yang tidak kunjung selesai mengenai pertanggungjawaban korporasi secara pidana. Sudah tentu hal ini nampaknya akan sangat berpengaruh terhadap berkembangnya kualitas dan kuantitas kejahatan yang bersangkutan dan akan sangat berpengaruh dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana di bidang ekonomi. Selain itu, dengan terlambatnya melakukan kriminalisasi tindak pidana korporasi maka akan manimbulkan dampak yang sangat serius. Hal ini dikarenakan dampak dari tindak pidana korporasi begitu berbahayanya.

(19)

19

ataupun material, delik aduan ataupun delik biasa sehingga upaya pencegahan dan pemberantasan dapat dilaksanakan secara efektif dan evisien.

Selain itu, yang perlu untuk diantisipasi mengingat banyaknya peraturan yang mengkriminalisasi tindak pidana di bidang ekonomi adalah berkaitan dengan subtansi atau pengaturannya. Dalam hal ini seringkali ditemukan terjadi tumpang tindih atau duplikasi norma antara ketentuan yang satu dengan ketentuan yang lain sehingga yang dicapai bukan efektifitas dan evisiensi dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana tetapi justru menimbulkan ketidakpastian hukum yang akan menghambat penegakan hukumnya. Oleh sebab itu, dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana ekonomi yang dalam hal ini adalah tindak pidana korporasi (yang tidak dapat dilepaskan antara bidang yang satu dengan bidang lainnya) dan dalam rangka menghindari tumpang tindih sebagaimana dikemukakan diatas, maka dibutuhkan suatu asas-asas hukum yang menjadi dasar dalam melakukan kriminalisasi tersebut, dibutuhkan suatu kebijakan hukum pidana (criminal penal policy) yang terpadu dan dibutuhkan kebijakan penal mengenai kriminalisasi di bidang ekonomi itu sendiri.

B. PERTANGGUNGJAWABAN TINDAK PIDANA KORPORASI

Ketika korporasi dinyatakan bertanggungjawaban secara pidana atas tindak pidana yang dilakukan, maka pada umumnya dikenal tiga sistem pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu:20

(20)

20

1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang

bertanggungjawab (perkembangan pertanggungjawaban korporasi pada tahap

pertama),

2. Korporasi sebagai pembuat namun penguruslah yang bertanggungjawab

(perkembangan pertanggungjawaban korporasi pada tahap ke dua)

3. Korporasi sebagai pembuat dan korporasi pula yang harus bertanggungjawab

(perkembangan pertanggungjawaban korporasi pada tahap ketiga).

Namun demikian, hemat saya, konsep pertanggungjawaban pidana korporasi tidak cukup sampai dengan 3 konsep sebagaimana dikemukakan diats, dalam hal ini, harus ditambahkan 1 konsep lagi yaitu: “Pengurus dan korporasi keduanya sebagai

pelaku tindak pidana dan keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban

pidana”. Hal ini penulis kutip dari pendapat yang dikemukakan oleh Sutan Remy

Sjahdeini. Berikut penjelasannya.

Beberapa alasan yang digunakan Sutan Remy Sjahdeini berkaitan dengan konsep “Pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana dan

keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban pidana” antara lain sebagai

berikut:21

1. Apabila hanya pengurus yang dibebani pertanggungjawaban pidana, maka menjadi tidak adil bagi masyarakat yang telah menderita kerugian karena pengurus dalam melakukan perbuatannya itu adalah untuk dan atas nama korporasi serta dimaksudkan untuk memberikan keuntungan atau menghindarkan mengurangi kerugian finansial bagi korporasi.

(21)

21

2. Apabila yang dibebani pertanggungjawaban pidana hanya korporasi sedangkan pengurus tidak harus memikul tanggung jawab, maka sistem ini akan dapat memungkinkan pengurus bersikap “lempar batu sembunyi tangan” atau mengalihkan pertanggungjawaban. Dengan kata lain, pengurus

akan selalu dapat berlindung di balik punggung korporasi untuk melepaskan dirinya dari tanggung jawab dengan dalih bahwa perbuatannya itu bukan merupakan perbuatan pribadi dan bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi merupakan perbuatan yang dilakukannya untuk dan atas nama korporasi dan untuk kepentingan korporasi.

3. Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi hanya mungkin secara vikarius, atau bukan langsung (doctrine of vicrious liability), pertanggungjawaban atas tidak pidana yang dilakukan oleh seseorang dibebankan kepada pihak lain. Dalam hal pertanggungjawaban pidana, korporasi dialihkan pertanggungjawaban pidananya kepada korporasi. Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi hanya mungkin dilakukan secara vikarius karena korporasi tidak mungkin dapat melakukan sendiri suatu perbuatan hukum.

(22)

22

pertanggungjawaban pidana sedangkan manusia pelakunya dibebaskan. Untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, harus terlebih dahulu dapat dibuktikan bahwa tindak pidana tersebut benar telah dilakukan oleh pengurus korporasi dan sikap sikap batin pengurus dalam melakukan tindak pidana itu adalah benar bersalah dan karena itu pengurus yang bersangkutan harus bertanggung jawab atas tindak pidana itu.

Baru setelah dapat dibuktikan bahwa pengurus telah melakukan tindak pidana dan harus bertanggung jawab atas tindak pidana itu. Baru setelah dapat dibuktikan bahwa pengurus telah melakukan tindak pidana dan harus bertanggung jawab secara pidana, maka pertanggungjawaban pidana itu dapat dibebankan secara vikarius kepada korporasi. Tanpa terlebih dahulu dapat dibuktikan bahwa pengurus memang benar telah melakukan tindak pidana dan memang benar pengurus tersebut memiliki sikap batin yang bersalah dalam melakukan tindak pidan itu, tidak mungkin dapat dilakukan pembebanan pertanggungjawaban pidana secara vikarius kepada korporasi yang dipimpin oleh pengurus tersebut.

(23)

23

manusia pelakunya bebas. Hal ini bertentangan dengan sifat pembebanan pertanggungjawaban pidana secara vikarius. Kondisi seperti ini jelas bertentangan pula dengan asas bahwa korporsi tidak dapat bertindak sendiri tetapi harus melalui pengurusnya.22

Apabila pada bagian sebelumnya sudah dibahas mengenai apa itu korporasi, apa itu tindak pidana korporasi, kriminalisasi tindak pidana korporasi, sejarah dan tahap-tahap pertanggungjawaban pidana korporasi, doktrin yang membenarkan pertanggungjawaban pidana korporasi serta sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, hal yang tidak kalah penting yang penulis ingin kemukakan adalah masalah implementasi atau penerapan aturan yang bersangkutan. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, didalam hukum pidana khusus seperti dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang-Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau dalam Undang-Undang No. 08 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang korporasi sudah dengan tegas diatur sebagai subjek hukum. Ini artinya, seharusnya korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana manakala terjadi tindak pidana yang bersangkutan.

Namun demikian, dalam kenyataannya, hukum pidana hanya berkonsentrasi menjatuhkan pidana kepada orang perseorangan atau dengan perkataan lain korporasi yang terkait dengan tindak pidana yang bersangkutan tidak pernah dimintakan pertanggungjawaban secara pidana (pidana denda yang dijatuhkan bagi perusahaan si koruptor misalnya). Hal ini membuktikan bahwa meskipun korporasi sudah diatur sebagai subjek hukum pidana (meskipun hanya dalam hukum pidana khusus) apabila

(24)

24

ketentuan tersebut tidak pernah diimplementasikan maka ketentuan itu akan menjadi “ketentuan yang mati”. Jadi dalam hal ini, penulis menekankan bahwa pengaturan

korporasi sebagai subjek hukum pidana adalah sesuatu yang penting dan sama pentingnya dengan pelaksanaan dari ketentuan yang mengatur korporasi dapat ditertanggungjawabkan secara pidana tersebut.

C. DOKTRIN PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI

Terdapat beberapa doktrin yang membenarkan korporasi sebagai subjek hukum pidana yang dinilai dapat melakukan tindak pidana dan dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana. Umumnya, pertanggungjawaban korporasi didasarkan pada doktrin respondeat superior yaitu suatu doktrin yang menyatakan bahwa korporasi sendiri tidak bisa melakukan kesalahan. Dalam hal ini hanya agen-agen korporasilah yang bertindak untuk dan atas nama korporasi. Oleh sebab itu, hanya agen-agen korporasi saja yang dapat melakukan kesalahan. Doktrin respondeat superior inilah yang kemudian menghasilkan tiga model pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu direct corporate criminal liability, strict liability, dan vicarious liability sebagaimana akan dijelaskan berikut ini.23

Namun sebelum membahas teori teori tersebut, perlu ditekankan bahwa antara teori teori tersebut memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan.

1. Identification Theory Atau Direct Liability Doctrine

(25)

25

Sebelum membahas lebih jauh mengenai doktrin-doktrin atau teori-teori yang membenarkan pertanggungjawaban pidana korporasi, Roeslan Saleh menyatakan bahwa khususnya untuk pertanggungjawaban dari badan hukum (korporasi), asas kesalahan tidak mutlak berlaku.24

Doktrin pertama yang membenarkan pertanggungjawaban pidana korporasi adalah Identification Theory atau dikenal juga dengan Direct Liability Doctrine. Di Inggris, sejak tahun 1944 telah mantap pendapat bahwa suatu korporasi dapat bertanggungjawab secara pidana, baik sebagai pembuat atau peserta untuk tiap delik, meskipun disyaratkan adanya mens rea dengan menggunakan asas identifikasi. Doktrin pertanggungjawaban pidana langsung atau doktrin identifikasi adalah salah satu teori yang digunakan sebagai pembenaran bagi pertanggungjawaban pidana korporasi meskipun korporasi bukanlah sesuatu yang dapat berdiri sendiri.

Menurut doktrin ini korporasi dapat melakukan tindak pidana secara

langsung melalui “pejabat senior” (senior officer) dan diidentifikasi sebagai

perbuatan perusahaan atau korporasi itu sendiri, dengan demikian maka

perbuatan “pejabat senior” (senior officer) dipandang sebagai perbuatan

korporasi. Jadi, dalam teori ini agar suatu korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana maka orang yang melakukan tindak pidana tersebut harus dapat didentifikasi terlebih dahulu. Pertanggungjawaban pidana baru dapat benar-benar dibebankan kepada korporasi apabila perbuatan pidana tersebut

dilakukan oleh orang yang merupakan “directing mind” dari korporasi tersebut.

(26)

26

Hal senada juga dikemukakan oleh Richard Card, yang menyatakan bahwa; “the acts and state of mind of the person are the acts and state of mind of

the corporation ” (tindakan atau kehendak direktur adalah merupakan tindakan

dan kehendak korporasi).25

Jadi, dalam teori identifikasi, perbuatan pidana yang dilakukan oleh pejabat senior diidentifikasikan sebagai perbuatan pidana yang dilakukan oleh

korporasi. Teori ini disebut juga sebagai teori atau doktrin “alter ego” atau “teori

organ” yang dapat diartikan secara sempit maupun secara luas, sebagaimana

dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, yaitu sebagai:26

1) Arti sempit (Inggris): Hanya perbuatan pejabat senior atau otak korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi. Secara sempit teori identifikasi hanya membebankan pertanggungjawaban pidana kepada pejabat senior karena pejabat seniorlah yang merupakan otak atau pengambil keputusan atau kebijakan dalam korporasi, sehingga yang menentukan arah kegiatan korporasi adalah pejabat senior atau dengan perkataan lain bahwa pada umumnya pejabat senior adalah orang yang mengendalikan perusahaan, baik sendiri maupun bersama-sama yang dalam hal ini dipandang sebagai pengendali perusahaan yang didalamnya terdiri dari para direktur dan manajer.

2) Arti luas (Amerika Serikat): Tidak hanya pejabat senior atau direktur tetapi juga agen dibawahnya. Tetapi apabila ditafsirkan secara luas, pertanggungjawaban secara pidana tidak hanya dapat dibebaknan terhadap

25 Muladi, Op. Cit., hal 21.

(27)

27

pejabat senior saja melainkan juga dapat dibebani kepada mereka yang berada dibawahnya.

Korporasi pada asasnya dapat dipertanggungjawabkan sama dengan orang pribadi berdasarkan asas identifikasi ini. Misalnya dalam hal ini suatu korporasi yang melakukan tindak pidana (yang mensyaratkan adanya mens rea dan actus reus). Pengadilan dalam hal ini dapat memandang atau menganggap bahwa perbuatan dan sikap batin dari pejabat tertentu yang dipandang sebagai perwujudan dari “kedirian” organisasi tersebut adalah perbuatan dan sikap batin dari korporasi. Korporasi dalam hal ini bukan dipandang bertanggungjawab atas dasar pertangunggjawaban dari perbuatan pejabatnya, melainkan korporasi itu sendiri yang bertanggungjawab seperti halnya dalam pelanggaran terhadap kewajiban hukum justru dipandang telah melakukan tindak pidana itu secara pribadi.27

Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah, bagaimana menentukan siapa yang menjadi directing mind dari sebuah korporasi. Apabila dilihat dari segi formal yuridis, yaitu melalui anggaran dasar korporasi, maka akan terlihat jelas siapa yang menjadi directing mind dari korporasi tersebut. Anggaran dasar tersebut berisi penunjukan pejabat-pejabat yang mengisi posisi tertentu berikut kewenangannya.

Disisi lain, Lord Diplock mengemukakan bahwa pejabat senior adalah:

“mereka-mereka yang berdasarkan memorandum dan ketentuan yayasan atau hasil

keputusan para direktur atau putusan rapat umum perusahaan, telah dipercaya

melaksanakan kekuasaan perusahaan”.28

(28)

28

Selain itu, menurut Lord Morris, yang dapat dikatakan sebagai pejabat senior adalah orang yang tanggung jawabnya mewakili atau melambangkan pelaksana dari the directing mind and will of the company”. (Pejabat senior adalah orang yang tanggung jawabnya mewakili atau melambangkan pelaksana dari The directing mind and will of the company).

Oleh sebab itu, mengenai hakikat pejabat senior itu sendiri pada dasarnya adalah mereka yang baik secara individual maupun kolektif, diberikan kewenangan untuk mengendalikan korporasi melalui tindakan atau kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Pejabat senior dari segi struktural dan kewenangan (biasanya direktur dan manejer) berbeda dari mereka yang bekerja sebagai pegawai atau agen yang melaksanakan perintah atau keputusan yang dibuat oleh pejabat senior. Selain itu, menurut Hanafi, penerapan prinsip identifikasi dapat menimbulkan beberapa masalah antara lain:29

a. Semakin besar dan semakin banyak bidang usaha sebuah perusahan, maka besar kemungkinan bahwa perusahan tersebut akan menghindar dari tanggung jawab. Sebagai contoh yang dapat diambil untuk menggambarkan kondisi ini, misalnya dalam kasus Tesco yang memiliki lebih dari 800 cabang yang dituntut melakukan tindak pidana berdasarkan “The Trade Description Act 1968” yang dilakukan oleh manager cabang toko tersebut. Dalam kasus

ini, House Of Lord memutuskan bahwa manager cabang adalah orang lain yang merupakan tangan dan bukan otak perusahaan, belum ada pelimpahan oleh direksi berupa pelimpahan fungsi managerial mereka sehubungan

(29)

29

dengan urusan perusahaan dengan manager cabang itu. Dia harus memenuhi aturan umum dari perusahan dan menerima perintah dari atasannya pada tingkat regional dan distrik, karenanya perbuatannya atau kelalaiannya bukan kesalahan perusahan.

b. Bahwa perusahan hanya bertanggungjawab apabila orang itu diidentifikasikan dengan perusahan, yaitu dirinya sendiri yang secara

perorangan atau individual bertanggungjawab karena dia memiliki “mens

rea” untuk melakukan tindak pidana. Apabila terdapat beberapa “superior

officers” yang terlibat, maka masing masing mungkin tidak memiliki tingkat

pengetahuan yang disyaratkan agar merupakan “mens rea” dari tindak pidana

tersebut. Dapatkah perusahan bertanggungjawab jika apa yang diketahui secara bersama-sama oleh para pejabat perusahaan tersebut sudah cukup

merupakan “mens rea”.

Dari pendapat tersebut, terlihat beberapa persamaan antara korporasi dengan tubuh manusia berkaitan dengan pusat atau otak dan organ yang melaksanakan perintah dari otak. Pada korporasi juga terdapat direktur dan manejer yang mengontrol kegiatan korporasi dan para pegawai atau agen yang melaksanakan kebijakan dari direktur atau manajer. Sikap batin dan keinginan dari para pegawai tersebut tidak dapat dianggap sebagai keinginan dan sikap batin dari korporasi. Berbeda dengan sikap batin dan keinginan dari direktur atau manejer yang dapat dianggap sebagai sikap batin dan keinginan dari korporasi, karena direktur atau manejer merupakan directing mind dari korporasi.

(30)

benar-30

benar menjadi otak atau pemegang kontrol operasional korporasi, yang berwenang mengeluarkan kebijakan dan mengambil keputusan atas nama korporasi. Suatu perbuatan dapat dianggap sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, hanya apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh pejabat senior korporasi yang memiliki kewenangan untuk dapat bertindak sebagai directing mind dari korporasi tersebut.

2. Strict Liability Atau Absolute Liability

Doktrin kedua yang mendukung pertanggungjawaban pidana korporasi adalah strict liability atau absolute liability atau yang disebut juga dengan pertanggungjawaban tanpa kesalahan atau disebut dengan no-fault liability atau liability without fault. Dalam prinsip ini, pertanggungjawaban dapat dimintakan tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan dari pelaku tindak pidana.

Menurut Barda Nawawi Arief, sering dipersoalkan apakah strict liability itu sama dengan absolute liability. Mengenai hal ini terdapat dua pendapat yang berbeda satu dengan yang lainnya. Pendapat pertama menyatakan, bahwa strict liability merupakan absolute liability. Jadi dapat dikatakan bahwa kelompok pertama ini menyamakan pengertianantara strict liability dan absolute liability.

(31)

31

sudah melakukan tindak pidana yang memenuhi rumusan undang-undang harus atau mutlak dapat dipidana.30

Menurut Curzon, adanya doktrin strict liability didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut:31

a. Adalah sangat esensiil untuk menjamin dipatuhinya peraturan-peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat.

b. Pembuktian akan adanya mens rea akan menjadi sangat sulit untuk pelanggaran–pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat itu (dalam hal ini salah satunya adalah tindak pidana ekonomi).

c. Tingginya tingkat “bahaya sosial” yang ditimbulkan oleh perbuatan yang

bersangkutan. Dalam hukum pidana Inggris, pertanggungjawaban yang bersifat mutlak hanya dapat diterapkan pada pelanggaran ringan misalnya, pelanggaran terhadap ketertiban umum atau kesejahateraan umum.

Pelanggaran terhadap tata tertib atau penghinaan terhadap pengadilan (contempt of court), pencemaran nama baik, atau menggangu ketertiban masyarakat merupakan contoh pelanggaran yang masuk dalam ketagori pelanggaran terhadap ketertiban umum atau kesejahteraan umum.

Strict liability menurut Russel Heaton dalam bukunya Criminal Law Textbook diartikan sebagai suatu perbuatan pidana dengan tidak mensyaratkan adanya kesalahan pada diri pelaku terhadap satu atau lebih dari actus reus.32

Jadi dalam hal ini, strict liability ini merupakan pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault). Romli Atmasasmita menyatakan bahwa hukum

30 Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 40.

31 Muladi dan Barda Nawawi Arif, Op. Cit., hal. 141.

(32)

32

pidana Inggris selain menganut asas “actus non facit reum nisi mens sit rea” (a

harmful act without a blame worthy mental state is not punishable), juga menganut prinsip pertanggungjawab mutlak tanpa harus membuktikan ada atau tidak adanya unsur kesalahan pada si pelaku tindak pidana. Prinsip pertanggungjawab tersebut dikenal sebagai strict liability crimes”.33

Apabila diperhatikan, terdapat dua istilah yang berbeda untuk menggambarkan strict liability. Ada yang menggunakan istilah “strict liability” dan

ada pula yang menggunakan istilah “strict liability crimes”. Kedua istilah tersebut

nampaknya tidak memiliki perbedaan yang prinsipil. Namun demikian, dalam tulisan ini, penulis akan menggunakan istilah “strict liability” mengingat dalam Black’s Law Dictionary, pengertian Strict-liablity crimes adalah: a crime that does not require a mens rea element, such as speeding or attempting to carry a weapon aboard an aircraft. Jadi pengertiannya adalah kejahatan atau tindak pidana. Sedangkan terkait dengan bentuk pertanggungjawabannya disebut dengan istilah “strict liability”.

Selanjutnya, Hamzah Hatrik mendefenisikan bahwa strict liability adalah pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault), yang dalam hal ini si pembuat sudah dapat dipidana jika ia telah melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana yang telah dirumuskan dalam undang-undang, tanpa melihat lebih jauh sikap batin si pembuat.34

Disamping itu, Hanafi dalam bukunya “Strict Liability dan Vicarious Liability dalam Hukum Pidana” menegaskan bahwa dalam perbuatan pidana yang

33Romli Atmasasmita, “Perbandingan Hukum Pidana”, Cetakan I, (Bandung: Mandar Maju, 1996),

hal. 76.

(33)

33

bersifat strict liability hanya dibutuhkan dugaan atau pengetahuan dari pelaku (terdakwa), sudah cukup menuntut pertanggungjawaban pidana dari padanya. Jadi, tidak dipersoalkan adanya mens rea karena unsur pokok strict liability adalah actus reus (perbuatan) sehingga yang harus dibuktikan adalah actus reus (perbuatan), bukan mens rea (kesalahan).35

Selain itu, Siswanto Sunarso dalam bukunya Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa juga menerangkan bahwa menurut doktrin ”strict liability” (pertanggungjawaban ketat) seseorang sudah dapat

dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea). Secara singkat, strict liability diartikan sebagai liability without fault” (pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan).36 Pendapat

senada juga diutarakan oleh Muladi sebagaimana dikutip oleh M. Hamdan dalam bukunya Tindak Pidana Pencemar Lingkungan.37

Terkait dengan hal ini, Sutan Remi Sjahdeini berpendapat bahwa: “Dalam hukum pidana yang terjadi belakangan, diperkenalkan pula tindak pidana-tindak pidana yang pertanggungjawaban pidananya dapat dibebankan kepada pelakunya sekalipun pelakunya tidak memiliki mens rea yang disyaratkan. Cukuplah apabila dapat dibuktikan bahwa pelaku tindak pidana telah melakukan actus reus, yaitu melakukan perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana atau tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan oleh ketentuan pidana. Tindak pidana-tindak pidana yang

35 Hanafi, Loc. Cit.

36 Siswanto Sunarso, “Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa”,

(Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal. 141.

(34)

34

demikian itu disebut offences of strict liability atau yang sering dikenal juga sebagai offences of absolute prohibitation”.38

Selain pendapat tersebut, terdapat pendapat lain yang berbeda yang menyatakan bahwa strict liability bukan atau tidak sama dengan absolute liability. Dalam hal ini, orang yang telah melakukan perbuatan terlarang menurut undang-undang (actus reus) tidak harus atau belum tentu dapat dipidana. Menurut doktrin strict liability (pertanggungjawaban mutlak), seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea).

Argumentasi yang hampir serupa dikemukakan pula dalam bukunya Ted Honderich. Dikemukakan olehnya bahwa premisse (dalil atau alasan) yang bisa dikemukakan untuk penerapan strict liability adalah sebagai berikut:39

1. Sulitnya membuktikan pertanggungjawaban untuk tindak pidana tertentu. 2. Sangat perlunya mencegah jenis-jenis tindak pidana tertentu untuk,

menghindari adanya bahaya yang sangat luas.

3. Pidana yang dijatuhkan sebagai akibat dari strict liability adalah ringan. Mengenai penerapan strict liability maupun vicarious liability (sebagaimana akan dijelaskan pada bagian berikutnya), Muladi dan Dwidja Priyatno

mengemukakan bahwa: “Menurut hemat penulis penerapan doktrin “strict liability

maupun “vicarious liability” hendaknya hanya diberlakukan terhadap jenis perbuatan

pelanggaran yang sifatnya ringan saja seperti dalam pelanggaran lalu lintas dan dalam kejahatan-kejahatan yang membutuhkan penanganan luar biasa. Kemudian

38 Sutan Remi Sjahdeini, Op. Cit., hal. 78.

(35)

35

menurut hemat penulis (Muladi dan Dwidja Priyatno), doktrin tersebut terutama yang menyangkut perundangan terhadap kepentingan umum atau masyarakat, misalnya perlindungan di bidang makanan, minuman serta kesehatan lingkungan hidup. Dengan dasar doktrin ini maka fakta yang bersifat menderitakan si korban dijadikan dasar untuk

menuntut pertanggungjawaban pada si pelaku atau korban sesuai dengan adagium “res ipsa loquitur” atau dapat dikatakan sebagai fakta sudah berbicara sendiri”.40

Oleh sebab itu, strict liability dan vicarious liability juga pada dasarnya dapat diterapkan terhadap korporasi atas pelanggaran hukum yang telah dilakukannya yang sudah tentu membahayakan kepentingan masyarakat umum. Dalam konteks ius constituendum, RKUHP 2010 telah mengadopsi doktrin pertanggungjawaban strict liability tersebut. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 38 ayat (1) dari RKUHP 2010, yaitu: Bagi tindak pidana tertentu, Undang-Undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan. Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, strict liability hanya berlaku untuk tindak pidana tertentu saja yang ditetapkan oleh undang-undang. Dalam hal ini, pelaku tindak pidana akan dibebani pertanggungjawaban tanpa harus dibuktikan terlebih dahulu adanya kesalahan (mens rea) ketika perbuatan (actus reus) dilakukan.

Menurut hemat saya, pemberlakuan ketentuan strict liability terhadap tindak pidana tertentu saja adalah sudah tepat, karena penerapannya tidak boleh sembarangan melainkan harus dengan pembatasan, sehingga penerapannya tidak meluas dan tetap menjamin kepastian hukum. Mengenai pertangunggjawaban mutlak

(36)

36

(strict liability) itu sendiri dalam kaitannya dengan korporasi, korporasi juga dapat dibebani pertanggunggjawaban atas tindak pidana tertentu yang tidak harus dibuktikan unsur kesalahannya (mens rea), yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Masalah yang perlu diperhatikan terkait penerapannya adalah apakah tindak pidana tertentu yang tidak mensyaratkan adanya usur kesalahan yang telah ditetapkan oleh undang-undang tersebut harus dapat mengakomodasi sekian banyak kejahatan yang dilakukan oleh korporasi dalam berbagai aspek kehidupan manusia.

Sebagai perbandingan, Negeri Belanda dewasa ini sudah tidak memberlakukan lagi pertanggungjawaban yang didasarkan pada doktrin pertanggungjawaban muktlak. Di Belanda, pertanggungjawaban mutlak tersebut dikenal dengan istilah leer van het materielle feit atau fait materielle yang hanya diberlakukan terhadap tindak pidana yang berupa pelanggaran. Seiring dengan perkembangan hukum itu sendiri, penerapan pertanggungjawaban mutlak ditiadakan dengan arrest susu tahun 1916 dari Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad Netherland).41

3. Vicarious Liability Doctrine

Doktrin berikutnya yang membenarkan pertanggungjawaban korporasi adalah vicarious liability. Pada dasarnya, doktrin vicarious liability didasarkan

pada prinsip “employment principle”. Yang dimaksud dengan prinsip

employment principle dalam hal ini bahwa majikan (employer) adalah penanggungjawab utama dari perbuatan para buruhnya atau karyawannya. Jadi dalam hal ini terlihat prinsip “the servant‟s act is the master act in law” atau

(37)

37

yang dikenal juga dengan prinsip the agency principle yang berbunyi “the company is liable for the wrongful acts of all its employees”.42

Oleh sebab itu, perlu dikemukakan dimuka bahwa dalam pembahasan mengenai doktrin vicarious liability ini mencakup pula pembahasan mengenai Doctrine of Delegation atau The Delegation Principle. Hai ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Peter Gillies yang menyatakan bahwa:

According to the doctrine of vicarious liability in the criminal law, a person may incur liability by virtue of attribution to her or him of responsibility for the act, or state of mind, or both the act and state of mind of another person; an offence, or element in an offence, commited by another person: Such liability is almost wholly confined to statutory offences, and the basis for its imposition is the (presumed) intention of legislature, as gleaned from a reading of the enacting provision in question, that this offence should be able to be commited vicariously as well as directly. In other words, not all offences may be commited vicariously. The courts have evolved a number of principle of specialist application in this context. One of them is the scope of employment principle.43

Disisi lain, Vicarious Liability Doctrine ini sering diartikan sebagai pertanggungjawaban pengganti (pertanggungjawaban menurut hukum dimana

seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain” (the legal

responsibility of one person for the wrongful acts of another).44

(38)

38

Pada dasarnya, teori atau doktrin atau ajaran ini diambil dari hukum perdata yang diterapkan pada hukum pidana. Vicarious liability biasanya berlaku dalam hukum perdata tentang perbuatan melawan hukum (the law of torts) berdasarkan doctrine of respondeat superior. Menurut asas repondeat superior, di mana ada hubungan antara master dan servant atau antara principal dan agent, berlaku pendapat dari Maxim yang berbunyi qui facit per alium facit per se. Menurut Maxim tersebut, seorang yang berbuat melalui orang lain dianggap di sendiri yang melakukan perbuatan itu. Oleh karena itu, ajaran vicarious liability juga disebut sebagai ajaran respondent superior.45

Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Sutan Remy Sjahdeini dalam bukunya Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi yang menyatakan bahwa vicarious liability biasanya berlaku dalam hukum perdata tentang perbuatan melawan hukum berdasarkan doktrin respondeat superior.46

Berdasarkan doktrin pertanggungjawaban pengganti ini, seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan atau kesalahan atau perbuatan dan kesalahan orang lain. Pertanggungjawaban seperti ini hampir seluruhnya diterapkan pada tindak pidana yang secara tegas diatur dalam undang-undang. Dengan kata lain, tidak semua delik dapat dilakukan secara vicarious. Pengadilan telah mengembangkan beberapa prinsip yang dapat diaplikasikan secara khusus mengenai hal ini. Salah satunya adalah employment principle sebagaimana telah dikemukakan diatas.

(39)

39

Mengenai employment principle ini, Peter Gillies mengemukakan beberapa pendapat dalam kaitannya dengan vicarious liability, yaitu:47

a. Suatu perusahaan atau korporasi (seperti halnya manusia sebagai pelaku atau pengusaha) dapat bertanggungjawab secara pengganti untuk perbuatan yang dilakukan oleh karyawan atau agennya. Pertanggungjawaban demikian hanya timbul untuk delik yang mampu dilakukan secara vicarious.

b. Dalam hubunganya dengan “employment principle”, tindak pidana ini

sebagian besar atau seluruhnya merupakan “summary offences” yang

berkaitan dengan peraturan perdagangan.

c. Kedudukan majikan atau agen dalam ruang lingkup pekerjaannya, tidaklah relevan menurut doktrin ini. Tidaklah penting bahwa majikan, baik sebagai korporasi maupun secara alami, tidak telah mengarahkan atau memberi petunjuk atau perintah pada karyawan untuk melakukan pelanggaran terhadap hukum pidana. (Bahkan, dalam beberapa kasus, vicarious liability dikenakan terhadap majikan walaupun karyawan melakukan perbuatan bertentangan dengan instruksi, berdasarkan alasan bahwa perbuatan karyawan dipandang sebagai telah melakukan perbuatan itu dalam ruang lingkup pekerjaannya). Oleh karena itu, apabila perusahaan terlibat, pertanggungjawaban muncul sekalipun perbuatan itu dilakukan tanpa menunjuk pada orang senior di dalam perusahaan.

(40)

40

Perlu ditekankan bahwa dalam employment principle, majikan adalah pihak yang utama yang bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukan oleh buruh dimana perbuatan tersebut dilakukan dalam lingkup pekerjaannya. Di negara Australia dinyatakan dengan tegas bahwa the vicar‟s criminal act (perbuatan dalam delik vicarious) dan the vicar‟s guilty mind (kesalahan atau sikap batin jahat dalam delik vicarious) adalah tanggungjawab majikan. Berbeda halnya dengan negara Inggris, a guilty mind hanya dapat dianggap menjadi tanggungjawab majikan hanya jika ada pendelegasian kewenangan dan kewajiban yang relevan (a relevan “delegation” of power and duties) menurut undang-undang.48

Dengan kata lain ada prinsip delegasi (delegation principle) yang dianut, dimana kesalahan (guilty mind) dari buruh atau karyawan dapat dipertangungjawabkan kepada majikan, hanya apabila ada pendelegasian kewenangan dan kewajiban dan hanya untuk delik yang ditentukan oleh undang-undang (statutory offences).

Sutan Remy Sjahdeini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief yang mengistilahkan konsep pertanggungjawaban ini dengan istilah “pertanggungjawaban pengganti”.

Lebih tepatnya, Sutan Remy Sjahdeini menyatakan bahwa ajaran “vicarious liability”, atau yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah “pertanggungjawaban vikarius atau pertanggungjawaban pengganti”, adalah

pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang dilakukan, misalnya oleh A kepada B.49

48Barda Nawawi Arief, “Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana”, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,

2002), hal. 152.

(41)

41

Hamzah Hatrik mengutip pendapat Black mengenai vicarious liability ini, yaitu indirect legal responsibility, for example, the liability of an employer for the acts of an employes, or principal for torts an contracts of an agent.50

Hatrik juga mengutip pendapat Roeslan Saleh bahwa pada umumnya seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Tetapi ada yang disebut vicarious liability, maka orang yang bertanggung jawab atas perbuatan orang lain dalam hal ini aturan undang-undanglah yang menetapkan siapa-siapakah yang dipandang bertanggung jawab sebagai pembuat.51

Dikaitkan dengan pertanggungjawaban Korporasi, menurut V.S. Khanna dalam tulisannya berjudul “Corporate Liability Standars: When Should Corporation

Be Criminality Liabel?” Dikemukakan bahwa terdapat tiga syarat yang harus

dipenuhi untuk adanya pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu; agen melakukan suatu kejahatan; kejahatan yang dilakukan itu masih dalam ruang lingkup pekerjaannya; dan dilakukan dengan tujuan untuk menguntungkan korporasi.52

Teori ini juga hanya dibatasi pada keadaan tertentu di mana majikan (korporasi) hanya bertangungjawab atas perbuatan salah pekerja yang masih dalam ruang lingkup pekerjaannya.53

Rasionalitas penerapan teori ini adalah karena majikan (korporasi) memiliki kontrol dan kekuasaan atas mereka dan keuntungan yang mereka peroleh secara langsung dimiliki oleh majikan (korporasi).54

50 Hamzah Hatrik, Op. Cit., hal. 115. 51Ibid., hal. 116.

52 V.S. Khanna, Corporate Liability Standars: When Should Corporation Be Criminality Liabel?, “American Criminal Law Review”, 2000, hal. 1242-1244.

53C.M.V. Clarkson, “Understanding Criminal Law”, Second Edition, (London: Sweet & Maxwell,

(42)

42

Jadi dalam hal ini, doktrin pertanggungjawaban pengganti hanya dapat diterapkan apabila benar benar dapat dibuktikan bahwa ada hubungan atasan dan bawahan antara majikan (dalam hal ini korporasi) dengan buruh atau karyawan yang melakukan tindak pidana. Oleh sebab itu, harus diperhatikan benar-benar apakah hubungan antara korporasi dengan organ-organnya cukup layak untuk dapat membebankan pertanggungjawaban kepada majikan (dalam hal ini korporasi) atas tindak pidana yang dilakukan oleh organorgannya.

Selain itu juga harus juga dipastikan apakah buruh atau karyawan tersebut dalam hal tindak pidana yang dilakukan, benar-benar bertindak dalam kapasitas lingkup pekerjaannya. Sedangkan menurut Menurut Marcus Flatcher dalam perkara pidana ada 2 (dua) syarat penting yang harus dipenuhi untuk dapat menerapkan perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pengganti, syarat tersebut adalah:55

1) Harus terdapat suatu hubungan pekerjaan, seperti hubungan antara majikan dan pegawai atau pekerja.

2) Perbuatan pidana yang dilakukan oleh pegawai atau pekerja tersebut berkaitan atau masih dalam ruang lingkup pekerjaannya.

Menurut undang-undang (statute law) vicarious liability, dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:56

1) Seseorang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, apabila terdapat adanya pendelegasian (the delegation principle).

55 Hanafi, Op. Cit., hal. 34.

(43)

43

2) Seorang majikan atau pemberi kerja dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pekerjanya apabila menurut hukum, perbuatan dipandang sebagai perbuatan majikan.

Perlu pula dikemukakan bahwa Doktrin atau teori pertanggungjawaban pengganti pada satu sisi dirasa bertentangan nila-nilai moral yang terkandung dalam prinsip keadilan, dimana dalam pemidanaan tidak cukup hanya perbuatan saja (act), tetapi juga kesalahan (state of mind) sehingga seseorang dapat dipertanggungjawabkan karena melakukan perbuatan (act) atau tidak melakukan (omission) perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Menurut Boisvert, teori ini secara serius dianggap menyimpang dari doktrin mens rea karena berpendirian bahwa kesalahan manusia secara otomatis begitu saja diatributkan kepada pihak lain yang tidak melakukan kesalahan apapun.

Apabila dibandingkan antara strict liability dan vicarious liability, maka jelas tampak persamaan dan perbedaannya. Persamaan yang tampak bahwa baik strict liability crimes maupun vicarious liability tidak mensyaratkan adanya mens rea atau unsur kesalahan pada orang yang dituntut pidana. Hal ini tercermin pula dalam Paper prepared for OECD Anti-Corruption Unit Working Group on Bribery in International Business transactions yang menyatakan bahwa: “In general, the process of judicial interpretation of the statutory objected to corporate liability being imposed only for regulatory offences, especially those offences which did not require

proof of mens rea or a mental element.”57

(44)

44

Berdasarkan pengertian kalimat diatas pada umumnya penafsiran hukum menurut undang-undang penjatuhan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi hanya untuk pelanggaran yang khususnya tidak mensyaratkan mens rea atau unsur kejiwaan. Sedangkan perbedaannya terdapat pada strict liability crimes pertanggungjawaban pidana bersifat langsung dikenakan kepada pelakunya, sedangkan pada vicarious liability pertanggungjawaban pidana bersifat tidak langsung kepada pelaku melainkan “dilimpahkan” atau “digantikan” kepada orang

lain.58

Dalam KUHP Indonesia saat ini, tidak mengenal adanya pertanggungjawaban pengganti, tetapi doktrin pertanggungjawaban pengganti telah diadopsi dalam RKUHP 2010, sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (2) yang menyatakan: “Dalam hal ditentukan oleh UndangUndang, setiap orang dapat

dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain”. Dalam penjelasannya juga dikemukakan bahwa “ketentuan ayat ini merupakan pengecualian dari asas tiada pidana tanpa kesalahan”. Ini artinya, lahirnya pengecualian ini merupakan penghalusan dan pendalaman asas regulatif dari yuridis moral yaitu dalam hal-hal tertentu tanggung jawab seseorang dipandang patut diperluas sampai kepada tindakan bawahannya yang melakukan pekerjaan atau perbuatan untuknya atau dalam batas-batas perintahnya.

Oleh karena itu, meskipun seseorang dalam kenyataannya tidak melakukan tindak piana namun dalam rangka pertanggungjawaban pidana ia dipandang mempunyai kesalahan jika perbuatan orang lain yang berada dalam kedudukan sedemikian itu merupakan tindak pidana. Sebagai suatu pengecualian, maka

(45)

45

ketentuan ini penggunaannya harus dibatasi untuk kejadian-kejadian tertentu yang ditentukan secara tegas oleh undang-undang agar tidak digunakan secara sewenang-wenang.

Dengan diterapkannya doktrin pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) ini diharapkan dapat menjadi faktor yang dapat mencegah dan meminimalisir terjadinya tindak pidana baik tindak pidana yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.

4. The Corporate Culture Model

Doktrin berikutnya yang membenarkan pertanggungjawaban korporasi adalah doktrin The Corporate Culture Model. Menurut doktrin atau teori the corporate culture model ini, korporasi dapat dipertanggungjawabkan dilihat dari prosedur, sistem bekerjanya, atau budayanya (the procedures, operating systems, or culture of a company). Oleh karena itu, teori budaya ini sering juga disebut teori atau model sistem atau model organisasi (organisational or systems model).59

Dilihat dari pengaplikasiannya, teori The Corporate culture Model ini dapat diterapkan apabila:60

a. An attitude, policy, rule, course of conduct or practice within the corporate body generally or in the part of the body corporate where the offences occured.

Referensi

Dokumen terkait

28,29 Data from experimental models of chancroid suggest that these lesions should be responsive to azithromycin, 31 and therefore, that mass distribution of azithromycin for yaws

Quilliam et al (2012) reported the activity of soil microorganisms by soil respiration, saying that reapplication of biochar significantly increased the level of basal

Maka dari data tersebut dapat disimpulkan Ho diterima dan H  ditolak artinya bahwa pemberian kacang merah tidak efektif untuk untuk mengontrol kadar gula darah pada

Audit laporan keuangan dilakukan untuk menentukan apakah laporan keuangan telah dinyatakan sesuai dengan kriteria tertentu dan pihak yang bertanggung jawab dalam mengaudit laporan

Berdasarkan hasil perhitungan dan interpretasi data lapangan geolistrik, diperoleh parameter-parameter dari jenis batuan berdasarkan tanahan jenis pada kedalaman yang

Mulai mengatur hidup kita, arahnya diluruskan kembali, yang kemarin sibuk menumpuk aset hutangan dan gaya hidup berlebihan sekarang fokus bagaimana membuat bisnis

Tahapan ini terdiri dari spesifikasi komponen utama yang digunakan dalam perancangan prototipe kendaraan hybrid, spesifikasi motor konvensional dan motor listrik, serta

Dokumen pendukung bagi NPWP berupa salinan kartu NPWP, Surat Pemberitahuan Pajak (SPT), atau dokumen lainnya yang mencantumkan NPWP dan nama pemilik NPWP. Dalam