• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA PERTUMBUHAN FAKTOR KONDISI DAN NISB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "POLA PERTUMBUHAN FAKTOR KONDISI DAN NISB"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

447

PRESENTASI POSTER

POLA PERTUMBUHAN, FAKTOR KONDISI, DAN NISBAH KELAMIN IKAN KEPERAS (Cyclocheilichthys apogon) DI SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN1

Dimas Angga Hedianto2 dan Siti Nurul Aida3

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan keperas melalui pengamatan hubungan panjang beratnya, nilai faktor kondisi, dan nisbah kelamin ikan keperas di Sungai Musi. Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2006, Agustus 2006, dan Januari 2007 di sepanjang Sungai Musi mulai dari hulu hingga hilir secara purposive menggunakan jala dan eksperimental gillnet. Ikan keperas yang dianalisis selama penelitian berjumlah 246 ekor terdiri atas 124 ekor (50,41%) ikan jantan dan 122 ekor (49,59%) ikan betina dengan kisaran panjang tubuh total berkisar antara 54-195 mm (rerata 90,75 ± 27,94 mm) dan bobot tubuh 1,62-87,68 gram (rerata 12,09 ± 13,43 gram). Hubungan panjang berat ikan keperas di Sungai Musi mengikuti persamaan W=4x10-6L3,2268 (R2 = 0,9681; r = 0,9839) dengan pola pertumbuhan bersifat

allometrik positif (α=0,05) atau pertumbuhan berat lebih cepat daripada pertumbuhan panjangnya. Persamaan hubungan panjang berat untuk ikan keperas jantan dan betina masing-masing adalah W=4x10-6L3,2306 dan W=4x10-6L3,2185 dengan pola pertumbuhan yang sama, yaitu allometrik positif. Analisis kovarians menunjukkan bahwa garis regresi persamaan hubungan panjang berat ikan keperas jantan dan betina tidak berbeda nyata (α=0,05). Oleh karena itu ikan jantan dan betina memiliki persamaan dalam pertambahan berat (yang cenderung dominan) dan pertambahan panjangnya. Faktor kondisi berkisar antara 0,64-2,21 dengan rerata 1,08 ± 0,21 yang menunjukkan tubuh ikan kurang pipih. Nisbah kelamin ikan keperas jantan dan betina adalah 1,02:1. Berdasarkan uji Chi-Square pada selang kepercayaan 95% (α=0,05) diperoleh bahwa jumlah ikan keperas jantan dan betina di Daerah Aliran Sungai Musi masih berada dalam kondisi seimbang (p>0,05).

Kata kunci: Pola pertumbuhan, faktor kondisi, nisbah kelamin, Cyclocheilichthys apogon, Sungai Musi

PENDAHULUAN

Sungai Musi merupakan salah satu sungai terbesar di Pulau Sumatera yang melintasi kota Palembang, Sumatera Selatan. Sungai Musi membelah Kota Palembang menjadi dua bagian kawasan, Seberang Ilir di bagian utara dan Seberang Ulu di bagian selatan. Daerah aliran Sungai (DAS) Musi terletak diantara 1°40’-5° Lintang Selata n (LS) dan 102°7’-108° Bujur Timur (BT). Sungai ini memiliki panjang se kitar 750 km dengan fluktuasi air mencapai 6-7 meter setiap tahunnya (Febriani, 2004). Ikan keperas (Cyclocheilichthys apogon) merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang memperkaya bagian dari keanekaragaman hayati di Sungai Musi yang memiliki nilai ekonomis sebagai ikan konsumsi alternatif dan rucah (pakan ikan) oleh masyarakat sekitar. Ikan ini dapat dijadikan pula sebagai ikan hias karena memiliki warna tubuh yang cukup menarik (Gambar 1).

1

Dipresentasikan pada Seminar Nasional Perikanan Indonesia di STP Jakarta, 24-25 Nopember 2011

2

Peneliti Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan, Jatiluhur-Purwakarta. Jl. Cilalawi No. 1 Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat 41152. e-mail: dimas_brpsi@yahoo.com

3

(2)

448

Gambar 1. Ikan Keperas (Cyclocheilichthys apogon) sumber: Anonimous (2005)

Ikan keperas tergolong ordo Cypriniformes, famili Cyprinidae, Genus Cyclocheilichthys, dan spesies Cyclocheilichthys apogon. Ikan keperas memiliki tubuh simetri, dan bentuk tubuh pipih. Posisi mulut terminal, dapat disembulkan dan tidak memiliki sungut. Kelengkapan sirip terdiri atas sirip dorsal, ventral, pectoral, anal, dan caudal. Sirip caudal bertipe cagak. Posisi sirip ventral terhadap sirip pectoral adalah abdominal. Pangkal sirip ekor biasanya berbintik hitam (Saanin, 1984). Pada tubuh ikan keperas terdapat barisan titik-titik hitam di sepanjang barisan sisik. Lineal lateralis sempurna tidak terputus, terdapat 31-37 sisik sepanjang gurat sisi. Sirip punggung (dorsal) memiliki 7-9 jari-jari lemah bercabang dan memiliki satu jari-jari keras. Batang ekornya dikelilingi oleh 16 sisik dan terdapat 5-8½ jari-jari bercabang pada sirip dubur. Tidak terdapat tonjolan di ujung rahang bawah (Kottelat et al., 1993). Faring ikan keperas memiliki 1-2 baris gigi dengan setiap barisnya terdapat maksimum 8 gigi (Chheng et al., 2004) (Gambar 1).

Ikan keperas biasa hidup di sungai sedang hingga besar, danau, reservoir, parit dengan pola arus relatif lemah hingga tergenang. Secara khusus, ikan keperas menyukai daerah permukaan air (surface water) dimana terdapat banyak tumbuhan-tumbuhan air, dedaunan, ranting-ranting dan akar pohon yang memungkinkan banyak terdapat plankton dan Crustacea. Ikan keperas menyukai perairan dengan suhu 24-26 °C. Di Indonesia, ikan keperas ditemukan di Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Di Asia Tenggara, ikan keperas menyebar dari Indonesia hingga Myanmar. Di dunia, ikan keperas terdapat di Amerika Utara (Kanada bagian utara hingga Meksiko), Afrika, dan Eurasia (Chheng et al., 2004). Penyebaran ikan keperas meliputi Sumatera, Kalimantan, Jawa, Malaysia, Laos, Kamboja, Thailand, Vietnam, Myanmar, dan Indocina (Kottelat et al., 1993).

(3)

449

kemontokan ikan dalam angka berdasarkan pada data panjang dan berat. Oleh karena itu, apabila dalam suatu perairan terjadi perubahan mendadak dari nilai faktor kondisi suatu jenis ikan, maka hal tersebut perlu diselidiki karena telah terjadi perubahan pada faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tersebut (Effendie, 1979). Analisis nisbah kelamin dapat menunjukkan proporsi seimbang atau tidaknya jumlah ikan jantan dan betina di alam.

BAHAN DAN METODE

Metode Pengumpulan Data

Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2006, Agustus 2006, dan Januari 2007 di sepanjang DAS Musi mulai dari hulu hingga hilir (Gambar 2; Tabel 1). Alat yang digunakan dalam penangkapan ikan contoh adalah jala dan experimental gillnet dengan 4 ukuran mata jaring yaitu 0,5; 1, 1,5 dan 2 inchi. Penangkapan dilakukan pada siang hingga sore hari dimana jala dan experimental gillnet dipasang selama 4-6 jam, kemudian diangkat. Sebagian ikan contoh didapat dari enumerator (pengumpul ikan) dan nelayan.

(4)

450

Tabel 1. Keterangan titik stasiun penelitian pengambilan sampel di DAS Musi

Titik

Stasiun Nama Lokasi Zona

Lintang

43'1,5" 103025'0,6" Pemukiman

5 Semangus Hulu 2057'57,1" 103019'12,1" Pemukiman 6 Bungamas Hulu 3042'10" 103022'33,3" Pemukiman

7 Desa

Lingkungan I Tengah 2 0

52'39,4" 103049'54,8" Pemukiman

8 Desa Teluk Tengah 2053'17,5" 10402'13,3" Pemukiman 9 Muara Lawai Tengah 3039'2,7" 103044'35,4" Pemukiman

10 Desa Gunung

Megang Tengah 3

0

27'14,4" 103051'49" Pemukiman

11 Perjaya Hulu 4018'21,1" 104022'47,7" Di bawah

23'1,5" 104050'14" Pemukiman

14 Pasar

Indralaya Tengah 3

0

15'9,6" 104040'39,3" Pemukiman

15 Pemulutan Tengah 3010'39,3" 104045'29,2" Pemukiman 16 Sungai Dua Tengah 303'12,9" 104051'44,6" Pemukiman

Ikan contoh yang telah diawetkan dalam larutan formalin 10% kemudian diidentifikasi menggunakan buku identifikasi (Kottelat et al., 1993). Ikan contoh lalu diukur panjang total dan ditimbang beratnya. Panjang total ikan contoh diukur menggunakan penggaris dengan ketelitian 0,1 cm. Sebelum ditimbang, ikan contoh terlebih dahulu dikeringkan menggunakan tissue agar formalin yang ada pada tubuh ikan tidak menambah berat ikan. Ikan contoh ditimbang menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,01 gram.

Analisis Data

Hubungan panjang dan berat dianalisis menggunakan rumus sebagai berikut (Bagenal & Braum, 1978; Nielsen & Johnson, 1985; Hile, 1963 dalam Effendie, 1997):

(5)

451

pertumbuhan beratnya. Jika nilai b≠3 maka pola pertumbuhan ikan bersifat allometrik atau pertumbuhan panjang dan beratnya tidak seimbang. Apabila nilai b>3 artinya pola pertumbuhan bersifat allometrik positif atau pertumbuhan berat lebih cepat daripada pertumbuhan panjangnya, sedangkan apabila nilai b<3 maka pola pertumbuhan bersifat allometrik negatif atau pertumbuhan panjang lebih cepat daripada pertumbuhan beratnya (Effendie, 1997). Untuk menguji apakah terdapat perbedaan atau tidak hubungan panjang berat antara ikan jantan dan betina dari perairan yang sama dilakukan analisis kovarian (Carlander, 1968 dalam Effendie, 1979).

Faktor kondisi mutlak atau faktor kondisi Fulton (K) dianalisis berdasarkan pada panjang dan berat ikan contoh untuk pola pertumbuhan isometrik (b=3), dihitung dengan rumus (Bagenal & Braum, 1978; Effendie, 1979; Nielsen & Johnson, 1985; Effendie, 1997):

K =

3 5

10

L W

Faktor kondisi relatif/nisbi (Kn) dianalisis berdasarkan pada panjang dan berat ikan contoh untuk pola pertumbuhan allometrik (b≠3), dihitung dengan rumus (Bagenal & Braum, 1978; Effendie, 1979; Nielsen & Johnson, 1985; Effendie, 1997):

Kn =

b aL

W

Ket : K : Faktor kondisi mutlak Kn : Faktor kondisi relatif

W : Berat ikan (gram)

L : Panjang total ikan (mm)

a dan b : konstanta

Untuk menganalisis nisbah kelamin, dihitung menggunakan rumus:

Rasio Kelamin =

F M

Ket: M : Jumlah ikan jantan F : Jumlah ikan betina

Penentuan seimbang atau tidaknya nisbah kelamin jantan dan betina dilakukan pengujian menggunakan uji ”Chi - Square” pada selang kepercayaan 95 (α = 0,05) (Walpole, 1992).

HASIL DAN PEMBAHASAN

(6)

452

Tabel 2. Kisaran panjang dan berat serta jumlah hasil tangkapan ikan keperas

Bulan Pada Tabel 2. di atas terlihat adanya kecenderungan peningkatan kisaran panjang maupun berat pada ikan keperas jantan dan betina sejak bulan Juni 2006 hingga Januari 2007. Hal ini mengindikasikan bahwa bulan Juni 2006 lebih didominasi oleh ikan kecil, sedangkan pada bulan Januari didominasi oleh ikan besar. Oleh karena itu, faktor perbedaan ukuran ikan menjadi faktor pembeda pada tiap populasi untuk setiap waktu pengamatan.

Gambar 3. Hubungan panjang berat ikan keperas di Sungai Musi

(7)

453

Tabel 3. Hubungan panjang berat ikan keperas jantan dan betina pada setiap waktu penelitian

Tabel 3. Hubungan panjang berat ikan keperas jantan dan betina pada setiap waktu penelitian

Bulan Betina

n (ekor) Persamaan R2 r Sifat

Juni 2006 68 W=2x10-6L3,454 0,9454 0,9723 Allometrik positif

Agustus 2006 25 W=2x10-5L2.8863 0,9599 0,9797 Isometrik

Januari 2007 29 W=3x10-5L3.3145 0,9241 0,9613 Isometrik

Total 122 W=4x10-6L3,2185 0,9578 0,9787 Allometrik positif

Hubungan panjang berat ikan keperas jantan dan betina pun mengikuti pola pertumbuhan allometrik positif berdasarkan ujit-t (α = 0,05) dengan persamaan regresi masing-masing adalah W=4x10-6L3,2306 dan W=4x10-6L3,2185 (Tabel 3). Nilai koefisien determinasi dan korelasi pada persamaan regresi hubungan panjang berat ikan keperas jantan dan betinan menunjukkan nilai yang mendekati satu.

Hubungan panjang berat ikan keperas pada setiap waktu pengamatan menunjukkan adanya perubahan pola pertumbuhan. Pada bulan Juni 2006, ikan keperas jantan dan betina mengikuti pola pertumbuhan allometrik positif (α = 0,05). Namun, pada bulan Agustus 2006 dan Januari 2007 ikan keperas jantan dan betina mengikuti pola pertumbuhan Isometrik (α = 0,05) atau perubahan terus-menerus yang bersifat seimbang di dalam tubuh ikan dimana pertumbuhan panjang sama dengan pertumbuhan beratnya. Persamaan regresi hubungan panjang berat ikan keperas jantan dan betina pada bulan Juni 2006, Agustus 2006, dan Januari 2007 tertera pada Tabel 4. Nilai koefisien determinasi dan korelasi regresi hubungan panjang berat ikan keperas jantan dan betina pada setiap waktu pengamatan menunjukkan nilai yang mendekati satu.

Pertumbuhan allometrik adalah perubahan yang tidak seimbang di dalam tubuh ikan dan dapat bersifat sementara. Pada pola pertumbuhan ini, pertumbuhan panjang dapat lebih dominan daripada pertumbuhan berat ataupun sebaliknya. Ukuran ikan akan mempengaruhi perubahan sementara pada bagian tubuh tertentu (misalnya sirip) dan kemontokan ikan terkait pertumbuhan, terutama pada ikan-ikan kecil pada tahap pertumbuhan (Effendie, 1997). Perbedaan pola pertumbuhan yang bersifat allometrik positif pada ikan keperas di bulan Juni 2006 diduga akibat adanya pengaruh perbedaan

Bulan Jantan

n (ekor) Persamaan R2 r Sifat

Juni 2006 72 W=3x10-6L3,3469 0,9436 0,9714 Allometrik positif Agustus 2006 19 W=8x10-6L3,061 0,9884 0,9942 Isometrik Januari 2007 33 W=7x10-6L3,1121 0,9604 0,9800 Isometrik

(8)

454

ukuran dibandingkan bulan lainnya. Pada bulan Juni 2006, ikan keperas lebih didominasi oleh ikan kecil dengan kisaran panjang 54-140 mm (76,75 ± 17,23 mm) dan berat 1,62-33,78 gram (6,37 ± 5,95 gram). Pada bulan Agustus 2006 dan Januari 2007 diasumsikan perubahan yang bersifat sementara (allometrik) tersebut telah berhenti, digantikan oleh perubahan terus menerus secara proporsional di dalam tubuh ikan keperas sehingga menjadi bersifat isometrik.

Menurut Bagenal & Braum (1978), adanya perubahan koefisien a (intercept) dan b (slope) tidak hanya terjadi pada tingkat antar spesies, bahkan intern spesies. Hubungan panjang berat akan berbeda menurut jenis kelamin, tingkat kematangan gonad, musim, bahkan waktu per harinya (karena perubahan tingkat kepenuhan lambung). Lebih jauh, koefisien b dapat mengalami perbedaan karena tahap metamorfosis (ukuran) pertumbuhan, ukuran pertama kali matang gonad, dan perbedaan lingkungan. Selama masa perkembangan pertumbuhan, ikan biasanya akan melewati beberapa tahap (stages) dimana masing-masing ukuran akan memiliki karakteristik hubungan panjang-berat masing-masing (Vasnetsov, 1953 dalam Bagenal & Braum, 1978). Oleh karena itu, adanya perbedaan pola pertumbuhan pada bulan Juni 2006 mengindikasikan adanya pertumbuhan tingkat populasi pada ikan keperas. Lebih lanjut, menurut Effendie (1979) hubungan panjang berat dapat menerangkan pertumbuhan ikan, kemontokan dan perubahan lingkungan.

Analisis kovarians menunjukkan bahwa kedua garis regresi persamaan ikan keperas jantan dan betina tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05). Oleh karena itu, ikan keperas jantan dan betina memperlihatkan persamaan dalam pertambahan berat (yang cenderung dominan) dan pertambahan panjangnya. Nilai intercept (koefisien a) pada ikan keperas betina memiliki nilai yang lebih besar daripada ikan jantan. Hal ini mengindikasikan ikan keperas betina lebih berat daripada ikan jantan pada ukuran panjang yang sama.

Tabel 4. Kisaran nilai faktor kondisi ikan keperas

Jenis Kelamin Faktor Kondisi

Kisaran Rerata ± Standar Deviasi

Jantan 0,72-2,05 1,03 ± 0,17

Betina 0,64-2,21 1,13 ± 0,24

Total 0,64-2,21 1,08 ± 0,21

(9)

455

Gambar 4. Fluktuasi nilai rerata faktor kondisi pada setiap waktu pengamatan

Faktor kondisi menunjukkan keadaan baik atau tidaknya (kemontokkan) ikan yang dinyatakan dalam angka-angka (data panjang berat) dan dilihat dari segi kapasitas fisik untuk survival dan reproduksi (Effendie, 1997). Faktor kondisi dipengaruhi oleh tingkat kematangan gonad (breeding cycle) (LeCren, 1951 dalam Saha et al., 2009), makanan (feeding rhytms) (Bal and Jones, 1960 dalam Saha et al., 2009), lingkungan (Wahabeb, 1992 dalam Saha et al., 2009), umur (ukuran) dan jenis kelamin (Bagenal & Braum, 1978; Effendie, 1997). Faktor kondisi ikan keperas jantan dan betina tersaji pada Gambar 4. Rata-rata nilai faktor kondisi ikan jantan lebih rendah daripada ikan betina pada setiap bulannya. Nilai faktor kondisi cenderung meningkat pada setiap waktu penelitian.

Menurut Widiasari (2007), pada bulan Agustus 2006 dan Januari 2007, terdapat peningkatan tingkat kematangan gonad (TKG) dari ikan keperas baik jantan maupun betina. Jumlah TKG 3 dan 4 yang memasuki fase matang meningkat frekuensinya daripada bulan Juni 2006. Lebih lanjut menurut Hedianto et al. (2010), pada bulan Agustus 2006 dan Januari 2007 terjadi peningkatan komposisi pakan alami dari ikan keperas berupa pakan hewani (Annelida, Crustacea, dan Insecta) dibandingkan pada bulan Juni 2006. Oleh karena itu, faktor yang mempengaruhi fluktuasi nilai faktor kondisi ikan keperas pada bulan yang berbeda adalah reproduksi (tingkat breeding cycle) dan makanan (feeding rhytms), baik ikan keperas jantan maupun betina.

Nilai faktor kondisi ikan lainnya di Sungai Musi yang pernah diteliti meliputi ikan lampam (Barbonymus schwanenfeldii) memiliki nilai faktor kondisi berkisar 0,98–1,07 untuk ikan jantan dan 0,95–1,01 untuk ikan betina (Setiawan, 2007). Nilai faktor kondisi ikan siumbut (Labiobarbus leptocheilus) berkisar 0,83-1,41 untuk ikan jantan dan 0,88– 1,73 untuk ikan betina (Kusumasari, 2007). Terakhir adalah faktor kondisi ikan sebarau (Hampala macrolepidota) jantan berkisar antara 1,07-1,19, sedangkan pada ikan betina nilainya berkisar antara 1,01-1,06 (Solihatin, 2007).

(10)

456

lainnya yang hidup di Sungai Musi diantaranya adalah ikan sebarau (Hampala macrolepidota) dengan rasio kelamin adalah 1:0,67 (Solihatin, 2007), ikan lampam (Barbonymus schwanenfeldii) adalah 1:1,27 (Setiawan, 2007).

Tabel 5. Nisbah kelamin ikan keperas

Bulan Jantan

(ekor)

Betina (ekor)

Total (ekor)

Nisbah Kelamin (M/F)

Nilai

Harapa n

Juni 2006 72 68 140 1,06 : 1 70

Agustus

2006 19 25 44 0,76 : 1 22

Januari

2007 33 29 62 1,14 : 1 31

Total 124 122 246 1,02 : 1 123

Analisis nisbah kelamin ikan keperas berdasarkan waktu pengamatan didapatkan perbandingan jantan dan betina pada bulan juni 2006 sebesar 1,06:1; pada bulan agustus 2006 sebesar 0,76:1; dan pada bulan Januari 2007 sebesar 1,14:1 (Tabel 7). Berdasarkan uji Chi-Square pada selang kepercayaan 95% (α=0,05) diperoleh bahwa

2

hitung <

2tabel, sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah ikan keperas jantan dan

betina di DAS Musi pada waktu pengamatan masih berada dalam kondisi seimbang.

Menurut Ball & Rao (1984), untuk mempertahankan kelangsungan hidup dalam suatu populasi, perbandingan jantan dan betina diharapkan berada dalam kondisi seimbang, setidaknya ikan betina lebih banyak. Nisbah kelamin di alam sering terjadi penyimpangan dari kondisi ideal. Hal ini disebabkan oleh adanya pola tingkah laku bergerombol antara ikan jantan dan betina, kondisi lingkungan, dan faktor penangkapan.

KESIMPULAN

1. Pola pertumbuhan ikan keperas di Sungai Musi bersifat allometrik positif.

2. Pola pertumbuhan ikan keperas jantan dan betina tidak berbeda nyata dan keduanya bersifat allometrik positif. Pada ukuran yang sama, ikan betina lebih berat daripada ikan jantan.

3. Faktor kondisi ikan keperas berkisar antara 0,64-2,21 dengan rerata 1,08 ± 0,21 yang menunjukkan ikan keperas memiliki tubuh kurang pipih.

4. Fluktuasi faktor kondisi pada setiap waktu pengamatan dipengaruhi oleh faktor reproduksi (tingkat breeding cycle) dan makanan (feeding rhytms).

5. Nisbah kelamin ikan keperas di Sungai Musi masih berada dalam kondisi seimbang dengan perbandingan 1,02:1.

PERSANTUNAN

(11)

457

T.A. 2006, di Balai Riset Perikanan Perairan Umum-Mariana, Palembang.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2005. Indian river barb. http://teakdoor.com/thailands-zoos-and-animals/49939-indian-river-barb.html. Diakses tanggal 2 November 2011.

Bal, D. V. & K. V. Rao. 1984. Marine fisheries. Tata McGraw-Hill Publishing Company, New Delhi, 51-73 pp.

Bagenal, T. B. & E. Braum. 1978. Eggs and early life history,. In Bagenal, T. (ed.). Methods for assessment of fish production in freshwaters. Blackwell, Oxford, England. 165-201 pp.

Chheng, P., E. Baran, & B. T. Touch. 2004. Synthesis of all published information on beardless barb Cyclocheilichthys apogon (“trey srawka kdam”). WorldFish Center and Inland Fisheries Research and Development Institute, Phnom Penh, Cambodia. 12 p.

Effendie, M. I. 1979. Metode biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 p.

Effendie, M. I. 1997. Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Bogor. 157 p.

Febriani, Y. 2004. Studi perkembangan lanskap budaya riparian (riverin cultural landscape) di tepian Sungai Musi, Palembang Sumatera Selatan. Tesis. Institut Pertanian Bogor. 87p. Tidak dipublikasi.

Hedianto, D. A., R. Affandi, & S. N. Aida. 2010. Komposisi dan luas relung makanan ikan keperas (Cyclocheilichthys apogon, Valenciennes 1842) di Sungai Musi. Jurnal Iktiologi Indonesia, Vol. 10, No. 1 Juni: 73-81 pp.

Kottelat, M., J. A. Whitten, S. N. Kartikasari, & S. Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater fishes of western indonesia and sulawesi. Periplus Edition (HK) Ltd. Hongkong. 377 p.

Kusumasari, M. F. 2007. Biologi reproduksi dan studi kebiasaan makanan ikan siumbut (Labiobarbus leptocheilus) di Sungai Musi, Sumatera Selatan. Skripsi. Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Tidak dipublikasi.

Lamberts, D. 2001. A case study on floodplain gillnet fisheries in siem reap. Tonle Sap Fisheries. http://www.fao.org/DOCREP/004/AB561E/ab561e08.htm. Diakses tanggal 25 Mei 2007.

Nielsen, L. A. & D. L. Johnson. 1985. Fisheries techniques. American Fisheries Society, Bethesda, Maryland. 468 p.

Saanin, H. 1984. Taksonomi dan identifikasi ikan jilid I dan II. Binacipta. Bandung. 508 p.

Saha, S. N., P. Vijayanand, & S. Rajagopal. 2009. Length-weight relationship and relative condition factor in Thenus orientalis (Lund, 1793) along East Coast of India. Curr. Res. J. Biol. Sci., 1(2): 11-14 pp.

Setiawan, B. 2007. Biologi reproduksi dan kebiasaan makanan ikan lampam (Barbonymus schwanefeldii) di Sungai Musi, Sumatera Selatan. Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasi.

(12)

458 Bogor. 104 p. Tidak dipublikasi.

Steel, R. G. H. & J. H. Torrie. 1989. Prinsip dan prosedur statistika: suatu pendekatan biometrik (diterjemahkan oleh Bambang Sumantri). Edisi kedua. PT. Gramedia. Jakarta. 748 p.

Walpole, R. E. 1992. Pengantar statistika (diterjemahkan oleh Bambang Sumantri). Edisi ketiga. PT. Gramedia. Jakarta. 515 p.

Gambar

Gambar 1. Ikan Keperas (Cyclocheilichthys apogon)
Gambar 2. Peta stasiun pengambilan contoh di DAS Musi
Gambar 3. Hubungan panjang berat ikan keperas di Sungai Musi
Tabel 3. Hubungan panjang berat ikan keperas jantan dan betina pada setiap waktu penelitian
+4

Referensi

Dokumen terkait

Keadaan ini merupakan indikasi dari musim pemijahan bagi ikan, khususnya bagi ikan betina (Effendie 1984). Nilai faktor kondisi jantan lebih kecil dibandingkan betina disebabkan

betina lebih berat pada ukuran panjang total yang sama dibandingltan ikan jantan... Judul Skripsi : Aspek Biologi Reproduksi, Makanan, dan Pola Pertumbuhan Ikan Biji Nangka

Berdasarkan hasil uji t terhadap nilai koefisien pertumbuhan (b) untuk ikan jantan maupun ikan betina menunjukkan tipe pertumbuhan allometrik negatif dimana t hitung &gt;t tabel

Dilihat dari bentuk fisik gonad ikan jantan dan betina pada usia yang sama terlihat bahwa gonad ikan jantan lebih cepat berkembang dibanding gonad betina (Gambar 5),

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Setiawan (2007) di Sungai Musi, Sumatera Selatan pola pertumbuhan dari ikan lampam ( B. Schwanenfeldii ) bersifat alometrik positif

Pola nilai faktor kondisi ikan lidah jantan dan betina yang terbentuk tidak sama, ikan lidah jantan selalu lebih kecil dibandingkan ikan beti- na.. Hal ini terungkap

Sebaran frekuensi panjang total ikan rono jantan dan betina yang tertangkap selama penelitian di Danau Poso.. A

Berdasarkan pengamatan pra sampling yang dilaksanakan pada Bulan Agustus 2010 menunjukkan bahwa ikan lemuru kategori dewasa (adult) dimana gonad jantan dan betina sudah bisa