LITERATURE REVIEW
ADAPTASI ANATOMI DAN FISIOLOGI
PADA ORGAN REPRODUKSI WANITA
SELAMA MASA KEHAMILAN
DWI HANDINI
PUSKESMAS SUKARESMI
DESA SUKARESMI, KECAMATAN TAMANSARI KABUPATEN BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT
Literature Review Dwi Handini Halaman 2 DAFTAR ISI
1. Pendahuluan ... 3
2. Genitalia interna dan eksterna ... 4
2.2. Genitalia interna ... 5
4.2. Siklus menstruasi (siklus reproduktif/siklus ovarian) ... 26
4.2.1.Fase folikular (fase proliferatif) ... 27
4.2.2. Fase ovulatori ... 27
4.2.3. Fase luteal (fase pra-menstruasi/fase sekresi) ... 28
4.2.4. Fase menstruasi ... 30
4.3. Siklus hormonal selama masa kehamilan ... 30
Literature Review Dwi Handini Halaman 3 1. PENDAHULUAN
Anatomi serta fisiologi pada wanita mengalami perubahan-perubahan sebagai respons adaptif
selama masa kehamilan, yang dimulai sejak terjadinya proses pembuahan (fertilisasi), yang
kebanyakan disebabkan oleh stimulasi fisiologis dari fetus dan plasenta. Setelah melahirkan dan
menyusui, anatomi dan fisiologi wanita sebagian besar akan kembali berubah seperti kondisi semula
di saat sebelum hamil.
Beberapa dari perubahan fisiologis yang ditemukan pada wanita hamil bisa dipersepsikan
sebagai abnormal, jika ditemukan pada wanita yang tidak hamil (Cunningham, et al., 2014). Sebagai
contoh, perubahan-perubahan yang terjadi pada sistem peredaran darah (cardiovascular) selama
kehamilan – mencakup di antaranya terjadinya peningkatan substantif pada volume darah serta peningkatan detak jantung – merupakan gejala yang mirip ditemukan pada pengidap penyakit thyrotoxicosis (yaitu penyakit yang terjadi akibat peningkatan hormon tiroid pada tubuh) atau
penyakit jantung. Sehingga, perubahan-perubahan yang terjadi sebagai proses adaptasi anatomis dan
fisiologis pada wanita hamil tidak hanya bisa dimisinterpretasikan sebagai patologi, namun tidak
adanya pengetahuan terhadap perubahan-perubahan tersebut juga bisa memperburuk penyakit yang
memang telah diidap oleh wanita hamil sebelumnya. Oleh karena itu, pemahaman terhadap proses
adaptasi anatomis dan fisiologis pada wanita selama masa kehamilan sangatlah penting.
Tulisan ini merangkum literatur-literatur ilmiah tentang anatomi dan fisiologi dari organ
reproduksi wanita – dalam kaitannya dengan proses adaptasi selama masa kehamilan. Struktur tulisan ini disusun sebagai berikut: (1) anatomi organ reproduksi (genitalia) wanita, baik interna maupun
eksterna; (2) anatomi panggul; serta (3) siklus hormonal. Sedangkan, tujuan pembelajaran yang
diharapkan bisa dicapai melalui tulisan ini mencakup antara lain:
1. mendefinisikan terminologi kunci (key terms) dari ilmu anatomi dan fisiologi yang terkait dengan
topik adaptasi anatomi dan fisiologi dari organ reproduksi wanita selama masa kehamilan;
2. menjelaskan struktur, mendeskripsikan lokasi, dan menjelaskan fungsi dari organ-organ genitalia
utama pada wanita – baik internal maupun eksternal;
3. menjelaskan perubahan-perubahan adaptasi anatomis dan fisiologis yang terjadi selama masa
kehamilan dari setiap organ-organ genitalia utama pada wanita – baik internal maupun eksternal; 4. menjelaskan struktur, mendeskripsikan lokasi, dan menjelaskan fungsi dari organ-organ utama
penyusun panggul pada wanita;
5. menjelaskan perubahan-perubahan adaptasi anatomis dan fisiologis yang terjadi selama masa
kehamilan dari setiap organ-organ utama penyusun panggul pada wanita;
6. menjelaskan tipe-tipe panggul pada wanita berdasarkan morfologinya, serta dampaknya pada
Literature Review Dwi Handini Halaman 4 7. menguraikan fase-fase yang terjadi dalam siklus menstruasi pada wanita, kelenjar-kelenjar dan
hormon-hormon dominan yang terlibat dalam setiap fase, serta perubahan-perubahan yang terjadi
pada setiap fase; dan
8. mengidentifikasi hormon-hormon maternal yang dihasilkan selama masa kehamilan,
perubahan-perubahan dan regulasi hormonal yang terjadi, organ-organ yang menjadi target dari sekresi
hormon tersebut, serta efek utamanya pada kehamilan.
2. GENITALIA INTERNA DAN EKSTERNA
Sebelum dijelaskan secara lebih rinci di bagian selanjutnya, Tabel 1 di bawah ini merangkum fungsi dari masing-masing organ utama yang menyusun genitalia wanita.
Tabel 1. Rangkuman fungsi dari organ-organ utama yang menyusun genitalia wanita. Sumber: LaPres, et al. (2016).
Organ Fungsi
Ovarium Tempat produksi dan pematangan oosit; mensekresikan estrogen,
progesteron, dan inhibin.
Tuba falopi Menerima dan mengangkut oosit sekunder, tempat pembuahan
(fertilisasi); dan membawa pra-embrio jika terjadi pembuahan.
Uterus Menyediakan lingkungan internal yang layak untuk pengembangan
embrio dan fetus selama kehamilan.
Vagina Sebagai saluran kopulatori (persetubuhan) dan jalan lahir.
Labia mayora Melindungi organ genitalia eskterna lainnya pada wanita.
Labia minora Membungkus vestibulum; melindungi orifis vagina dan orifis uretra.
Klitoris Mengandung reseptor indera yang terkait dengan kenikmatan seksual.
Tonjolan vestibulum Jaringan erektil dari vestibulum yang akan terisi darah selama terjadi
rangsangan seksual.
Kelenjar vestibulum Mensekresikan cairan yang melakukan lubrikasi pada orifis vagina
Literature Review Dwi Handini Halaman 5 2.1. GENITALIA INTERNA
Gambar 1 dan Gambar 2 memperlihatkan anatomi genitalia interna wanita, dimana struktur utamanya tersusun oleh vagina, rahim (uterus), tuba falopi dan indung telur (ovarium). Perkembangan
dan fungsi dari struktur tersebut dikendalikan oleh hormon spesifik yang mempengaruhi kesuburan
serta kehamilan (Lowdermilk, et al., 2012; Peate dan Nair, 2015).
Gambar 1. Penampang lateral (tampak samping) dari anatomi genitalia interna wanita. Sumber: Lowdermilk, et al. (2012).
2.1.1. VAGINA
Vagina merupakan saluran tubular berotot serat (fibromuskular) yang terletak di depan rektum,
di belakang kandung kemih (Lowdermilk, et al., 2012). Vagina tersusun atas membran berotot
(musculomembranous) dalam lipatan-lipatan yang disebut rugae, sehingga memungkinkan terjadinya
dilatasi (pengembangan rongga) vagina secara ekstrim, yang berfungsi membantu terjadinya proses
coitus dan persalinan. Selain untuk coitus dan jalan lahir, vagina juga berfungsi sebagai saluran
pembuangan darah menstruasi. Pada wanita dewasa, rongga vagina bisa mencapai panjang sekitar 8
cm hingga 10 cm. Dua-per-tiga bagian rongga vagina bagian dalam relatif lebih mudah diregangkan,
dibandingkan sepertiga bagian rongga terluar. Pada masa subur, kerutan-kerutan rugae pada vagina
sangat rentan terhadap infeksi akibat kolonisasi bakteri. Pada masa puber atau masa menopause,
jaringan mukosa1 dari vagina relatif lebih halus daripada ketika masa subur, yang diakibatkan oleh
penurunan hormon estrogen. Secara alamiah, vagina sebenarnya bersifat asam (pH rendah), yang
1Jaringan yang mengandung kelenjar yang bisa mensekresikan mukus atau cairan kental (lendir), yang biasanya
Literature Review Dwi Handini Halaman 6 berfungsi melindungi genitalia interna dari terjadinya infeksi. Oleh karena itu, penggunaan zat-zat
kimiawi pada vagina bisa mengganggu kesetimbangan keasaman vagina.
Gambar 2. Penampang anterior (tampak depan) dari anatomi genitalia interna wanita. Sumber: Lowdermilk, et al. (2012).
Keasaman vagina tersebut meningkat pada masa kehamilan, dari pH sekitar 4 hingga 7 pada
kondisi normal, menurun menjadi sekitar 3,5 hingga 6 pada masa kehamilan (Lowdermilk, et al.,
2014). Peningkatan pembuluh darah dalam vagina selama masa kehamilan menyebabkan vagina
berwarna keunguan yang dikenal sebagai tanda Chadwick (Cunningham, et al., 2014). Dinding
vagina juga mengalami perubahan drastis selama masa kehamilan dalam rangka mempersiapkan
proses persalinan, meliputi: penebalan jaringan mukosa, peregangan jaringan ikat dan terjadi
hipertrofi2 dari sel-sel otot polos. Selain itu, jaringan epitelium dalam vagina juga mengalami
hipertrofi.
2
Literature Review Dwi Handini Halaman 7 2.1.2. RAHIM (UTERUS)
Uterus merupakan organ berotot berbentuk buah pir yang terletak di sebelah atas vagina, di
belakang kandung kemih, dan di depan rektum (Lowdermilk, et al., 2012). Uterus diikat oleh delapan
buah ligamen3, meskipun ligamen-ligamen tersebut tidak melekat erat ke salah satu bagian rangka
(skeleton). Kandung kemih yang berisi penuh bisa menekan uterus ke belakang, sedangkan rektum
yang berisi penuh bisa menekan uterus ke depan. Uterus juga bisa berubah posisi (menjadi seperti
buah pir terbalik), ukuran maupun bentuknya, baik akibat gaya gravitasi maupun akibat perubahan
postur. Uterus merupakan tempat terjadinya menstruasi, tempat terjadinya implantasi dari sel telur
yang dibuahi, dan tempat fetus berkembang selama kehamilan serta persalinan. Sebelum kehamilan
pertama, uterus bisa memiliki panjang rata-rata sekitar 8 cm, lebar sekitar 5 cm, dengan ketebalan
sekitar 3 cm. Setelah kehamilan, ukuran uterus menjadi relatif lebih besar dibandingkan sebelum
kehamilan (Gambar 3).
Gambar 3. Perbedaan ukuran uterus pada wanita dewasa nulipara (kiri), multipara (tengah) dan menopause (kanan). Sumber: Netter (2014).
Dinding uterus relatif tebal dan tersusun dari tiga lapisan: endometrium (lapisan terdalam),
miometrium (lapisan tengah muskular), dan perimetrium (lapisan serosa terluar dari uterus yang
menyelimuti tubuh uterus). Lapisan endometrium merupakan lapisan mukosa yang menyusun rongga
uterus pada wanita yang tidak hamil. Ketebalannya bervariasi antara 0,5 mm hingga 5 mm dan
mengandung banyak pembuluh darah serta kelenjar. Lapisan miometrium menyusun bagian terbesar
dari uterus dan terdiri dari otot polos yang bertautan dengan jaringan ikat yang mengandung
3
Literature Review Dwi Handini Halaman 8 serat elastis. Selama proses kehamilan, bagian atas dari lapisan miometrium inilah yang mengalami
proses pertumbuhan hipertrofi yang relatif cukup pesat (Cunningham, et al., 2014).
Selanjutnya, anatomi uterus diperinci lagi menjadi tiga bagian: fundus – yaitu bagian cembung di atas tabung uterus, korpus – yaitu bagian tengah uterus antara fundus dan serviks, serta serviks – yaitu leher rahim yang terbuka dan terhubung langsung dengan rongga vagina.
2.1.2.1. FUNDUS
Pada kehamilan normal, uterus terus mengalami perkembangan pada laju yang bisa diprediksi
berdasarkan tinggi fundus (Lowdermilk, et al., 2014). Pada usia kehamilan sekitar 12 minggu hingga
14 minggu, fundus bisa teraba di sekitar simfisis4 pubis (Gambar 4). Pada usia kehamilan sekitar 22 minggu hingga 24 minggu, fundus bisa teraba di sekitar pusar (umbilikus). Sedangkan pada usia
kehamilan sekitar 38 minggu hingga 40 minggu, tinggi fundus menurun sebagaimana posisi fetus
sendiri telah mulai turun memasuki rongga panggul.
Gambar 4. Tinggi fundus dari kehamilan normal dengan bayi tunggal dalam skala usia
kehamilan mingguan. Sumber: Lowdermilk, et al. (2014).
4
Literature Review Dwi Handini Halaman 9 2.1.2.2. KORPUS
Korpus merupakan tubuh utama dari uterus. Korpus adalah organ yang sangat muskular dan
bisa membesar untuk menampung fetus pada masa kehamilan. Lapisan terdalam dari korpus
(endometrium) mengalami siklus perubahan yang dipengaruhi oleh perubahan tingkat hormon yang
disekresikan oleh indung telur (ovarium). Selama menstruasi, lapisan endometrium akan menebal
sebagai respons adaptif untuk mempersiapkan telur yang terbuahi memasuki uterus. Lapisan
endometrium tersebut akan kembali menipis begitu selesai menstruasi. Jika pembuahan tidak terjadi,
lapisan endometrium akan terkelupas sehingga terjadi perdarahan (bleeding). Jika pembuahan terjadi,
embrio akan melekat ke dinding uterus dan menyatu dengan lapisan endometrium (terjadi sekitar 1
minggu setelah pembuahan), yang disebut sebagai proses implantasi, setelah sebelumnya melalui
beberapa tahap pembelahan sel atau proliferasi (LaPres, et al., 2016). Proses menstruasi serta-merta
akan berhenti selama proses kehamilan sekitar 40 minggu (280 hari).
Selanjutnya, Gambar 5 memperlihatkan bagaimana pengaruh pembesaran korpus selama proses kehamilan terhadap perubahan struktur perut (abdominal) serta rongga dada (diafragma).
Selama proses persalinan, dinding muskular dari korpus akan berkontraksi, mendorong bayi melewati
serviks dan selanjutnya memasuki vagina. Setelah menopause, ukuran korpus mengecil dan
Literature Review Dwi Handini Halaman 10 Gambar 5. Peningkatan ukuran uterus pada usia
kehamilan 4, 6 dan 9
bulan; serta pengaruhnya
terhadap perubahan
struktur abdominal dan
diafragma. Sumber: Lowdermilk, et al.
(2014).
2.1.2.3. SERVIKS
Serviks merupakan bagian terendah dari uterus yang terbuka dan terhubung langsung dengan
rongga vagina dan memiliki saluran yang memungkinkan sperma memasuki uterus serta darah
menstruasi untuk keluar. Serviks tersusun dari jaringan ikat yang berserat. Serviks bisa diamati
menggunakan spekulum. Seperti vagina, serviks terbungkus oleh mukosa lembut berbentuk donut,
dengan bagian tengah yang terbuka yang disebut os (lubang) eksternal serviks (Gambar 6). Pada wanita nulipara (belum pernah melahirkan), os eksternal serviks berukuran kecil, teratur dan memiliki
celah berbentuk oval. Sedangkan pada wanita para (pernah melahirkan), celah tersebut berubah
bentuk menjadi menyerupai bibir. Di luar masa menstruasi atau ovulasi, serviks merupakan
pertahanan yang baik dalam melawan bakteri. Serviks memiliki sifat basa, yang berguna untuk
Literature Review Dwi Handini Halaman 11 Gambar 6. Serviks normal dari wanita multipara (atas), serta os eksternal serviks
normal dari wanita nulipara (kiri bawah)
dan wanita para (kanan bawah). Sumber: Lowdermilk, et al. (2012).
Saluran serviks terdiri atas kelenjar-kelenjar yang mensekresikan mukus. Mukus tersebut tebal
dan tak bisa dipenetrasi sperma, kecuali pada masa ovulasi. Pada masa ovulasi, konsistensi dari
mukus tersebut berubah sehingga sperma mampu menembusnya dan memungkinkan terjadinya
pembuahan. Bahkan pada masa terjadinya ovulasi, mukus mampu menyimpan sperma hidup selama
2 hari hingga 3 hari. Sperma tersebut selanjutnya bisa berpindah menuju korpus dan tuba falopi untuk
membuahi telur; sehingga coitus yang dilakukan 1 atau 2 hari sebelum ovulasi bisa memnyebabkan
kehamilan. Namun demikian, beberapa wanita tidak mengalami ovulasi yang teratur, sehingga
kehamilan bisa terjadi pada waktu yang tidak bisa diprediksi berdasarkan periode menstruasi terakhir.
Saluran serviks terlalu sempit dan tertutup oleh lapisan mukosa kental (mucous plug atau
operculum) untuk bisa dilewati fetus selama masa kehamilan (Gambar 7). Lapisan mucous plug tersebut terbentuk sebagai respons serviks terhadap stimulasi hormon estrogen dan progesteron yang
banyak diproduksi selama masa kehamilan (Lowdermilk, et al., 2014). Namun demikian, saluran
serviks bisa meregang dan lapisan mucous plug-nya terlepas saat terjadi proses persalinan sehingga
Literature Review Dwi Handini Halaman 12 Gambar 7. Serviks pada wanita yang tidak hamil (kiri) dan wanita hamil (kanan). Sumber: Lowdermilk, et al. (2014).
Selain pembentukan mukosa kental, selama masa kehamilan, terjadi juga perubahan-perubahan
lain di dalam serviks, mencakup: peningkatan jumlah kelenjar serviks, hipertrofi dari endoserviks
yang menyebabkan bentuknya menjadi seperti sarang lebah, peningkatan pasokan darah, peningkatan
sekresi mukus, dan serviks menjadi lebih lembut (Vij, 2010).
2.1.3. TUBA FALOPI
Tuba falopi merupakan struktur silindris sepanjang sekitar 5 cm hingga 8 cm, yang merentang
mulai dari tepi atas uterus sampai ke indung telur (ovarium), dengan diameter sekitar 0,7 cm. Tuba
falopi berpasangan: kanan dan kiri. Ujung dari setiap tuba falopi berbentuk kipas atau jari tangan,
yang dikenal dengan sebutan fimbrae, yang tersusun dari silia (sel-sel menyerupai rambut), sehingga
mampu menyediakan tempat yang cukup luas bagi telur-telur yang dikeluarkan oleh ovarium untuk
berlandas. Tuba falopi berfungsi menyalurkan telur (ovum) dari ovarium menuju ke uterus, dan
menyalurkan sperma dari uterus menuju ke ovarium, melalui gerakan-gerakan siliaris dan peristaltis.
Jika sperma berhasil masuk ke dalam tuba falopi – baik dari hasil dari coitus maupun inseminasi buatan – maka pembuahan telur bisa terjadi. Jika telur dibuahi, maka akan terjadi proses pembelahan sel selama empat hari, sementara telur tersebut bergerak perlahan dari tuba falopi menuju ke uterus
(Barrett, et al., 2012; Lowdermilk, et al., 2012; LaPres, et al., 2016). Gambar 8 memperlihatkan tahap-tahap terjadinya proses pembuahan (fertilisasi), pembelahan sel (proliferasi) dan implantasi.
Selama masa kehamilan, tuba falopi sedikit mengalami hipertrofi; namun demikian, jaringan epitel
Literature Review Dwi Handini Halaman 13 Gambar 8. Tahap-tahap pembuahan (fertilisasi), pembelahan sel dan implantasi. Awal implantasi terjadi sekitar tujuh hari setelah pembuahan. Sumber: LaPres, et al. (2016).
2.1.4. INDUNG TELUR (OVARIUM)
Seperti tuba falopi, ovarium juga berpasangan: kanan dan kiri (Gambar 9). Ovarium merupakan kelenjar yang terletak di dalam fosa ovarium pada dinding pelvis lateral, tepat di bawah
dan di belakang tuba uterin (Vij, 2010). Ovarium biasanya berwarna keperakan dan terletak
membujur. Tiap ovarium memiliki berat sekitar 2 gram hingga 5 gram, dengan panjang sekitar 4 cm,
lebar sekitar 2 cm, dan tebal sekitar 1 cm (Lowdermilk, et al., 2012; Peate dan Nair, 2015). Ovarium
tidak melekat namun terletak sangat dekat pada tuba falopi. Ovarium terikat pada beberapa ligamen
yang menjaga ovarium tetap pada posisinya. Ovarium memiliki dua fungsi utama, yaitu menghasilkan
ovum dan melakukan sekresi hormon (estrogen dan progesteron). Sehingga ovarium sangat bertautan
secara fungsional, baik dengan sistem reproduksi wanita maupun dengan sistem kelenjar tubuh
endoktrin, sebagaimana ovarium menghasilkan ova serta hormon estrogen dan progesteron. Setelah
Literature Review Dwi Handini Halaman 14 Selama masa kehamilan, pertumbuhan folikular tidak terjadi di dalam ovarium karena
kurangnya LH (luteinising hormone, yaitu hormon lutein) dan FSH (folliclestimulating hormone,
yaitu hormon penstimulasi folikel). Korpus luteum akan tumbuh dan bertahan hingga sekitar tiga
bulan di dalam ovarium, dan mensekresikan progresteron dalam jumlah yang banyak serta estrogen
dalam jumlah yang sedikit. Setelah usia kehamilan sekitar tiga bulan, yaitu ketika plasenta mulai
mensekresikan hormon, korpus luteum akan mengalami degenerasi (Vij, 2010). Perubahan ini akan
dijelaskan secara lebih detail dalam bagian siklus hormonal.
Gambar 9. Ovarium sebagai bagian dari genitalia interna wanita. Sumber: Peate dan Nair (2015).
2.2. GENITALIA EKSTERNA
Genitalia eksterna wanita secara keseluruhan disebut sebagai vulva – yang berakar dari Bahasa Latin dan bermakna ‘menyelimuti’. Struktur utama vulva tersusun atas mons pubis, labia, klitoris, vestibulum dan perineum (Gambar 10). Fungsi utama dari genitalia eksterna meliputi: (1) memudahkan sperma pria memasuki tubuh wanita; (2) melindungi organ genitalia interna dari infeksi;
serta (3) menyajikan kenikmatan seksual (Lowdermilk, et al., 2012; Peate dan nair, 2015).
2.2.1. MONS PUBIS
Mons pubis adalah gundukan daging yang terletak di atas simfisis pubis, terdiri atas jaringan
berlemak dan diselimuti kulit, yang ditumbuhi rambut pubis setelah mengalami pubertas. Mons pubis
Literature Review Dwi Handini Halaman 15 Gambar 10. Genitalia eksterna wanita, yang secara keseluruhan disebut sebagai vulva. Sumber: Netter (2014).
2.2.2. LABIA
Labia bermakna ‘bibir’. Labia mayora berukuran relatif besar dan berdaging, sebanding dengan buah zakar (scrotum) pada pria. Labia mayora tersusun atas kelenjar keringat dan kelenjar minyak
sebasea; yang ditumbuhi rambut setelah pubertas. Fungsi dari labia mayora adalah untuk melindungi
vagina.
Sedangkan labia minora berupa lipatan kulit tak berlemak dan tak berambut yang terletak di
dalam labia mayora dan mengelilingi vagina serta uretra. Lebar labia minora bisa sangat sempit
hingga mencapai 5 cm. Labia minora tersusun atas jaringan pembuluh darah dan syaraf, sehingga
sangat sensitif terhadap rangsangan. Ketika dirangsang, labia minora bisa membesar dan melakukan
Literature Review Dwi Handini Halaman 16 2.2.3. KLITORIS
Klitoris berakar dari Bahasa Yunani dan bermakna ‘kunci’, karena klitoris dianggap sebagai
kunci seorang wanita dalam meraih kenikmatan seksual. Klitoris berukuran kecil, berbentuk silindris,
dan tersusun dari jaringan erektil serta jaringan syaraf. Klitoris terletak di sebelah dalam titik
pertemuan anterior dari labia minora. Terdapat dua lipatan di atas dan di bawah klitoris. Lipatan
sebelah atas klitoris membentuk kulup (prepuce) yang menyelimuti klitoris. Sedangkan lipatan
sebelah bawah klitoris membentuk frenulum (lipatan membran).
Pada ukurannya yang relatif kecil, klitoris justru paling banyak mengandung pembuluh darah
dan jaringan syaraf, sehingga berwarna kemerahan dan sangat sensitif terhadap sentuhan, rangsangan
dan suhu. Seperti penis pada pria, klitoris bisa mengalami ereksi. Fungsi utama klitoris adalah untuk
stimulasi seksual.
2.2.4. VESTIBULUM
Vestibulum merupakan ruang berbentuk oval yang berada di bagian sebelah dalam labia
minora dan sebelah luar himen, yang mencakup: uretra, vagina, sepasang kelenjar Bartholin, serta
sepasang kelenjar Skene. Uretra terhubung langsung dengan kandung kemih. Pintu masuk vagina
disebut sebagai introitus, sedangkan area berbentuk setengah lingkaran di sebelah dalamnya disebut
fourchette. Terdapat pembuluh kecil di sebelah introitus, yaitu kelenjar Bartholin, yang ketika
distimulasi akan mensekresikan mukus sebagai pasokan lubrikasi saat melakukan coitus. Selama masa
kehamilan, kelenjar Bartholin umumnya mengalami pembesaran sekitar 1 cm dari kondisi normal
(Cunningham, et al, 2014). Sedangkan di sebelah dalam uretra, terdapat kelenjar Skene, yang
mensekresikan mukus pada jumlah yang tidak terlalu banyak untuk menjaga agar uretra tetap lembab
dan memasok lubrikasi saat mengeluarkan urin.
Vagina dikelilingi oleh himen (selaput dara). Himen merupakan jaringan berpori, liat namun
elastis yang terbungkus mukosa, yang menyelimuti introitus dari vagina. Pada wanita yang masih
perawan, himen bisa benar-benar menutup rapat introitus vagina, namun biasanya himen hanya
mengelilingi introitus vagina seperti cincin. Karena kerapatan himen sendiri bervariasi di antara para
wanita, maka pada beberapa wanita perawan, himen bisa robek saat mengalami coitus pertama kali,
namun pada beberapa wanita perawan lainnya, tidak terjadi perobekan himen karena jaringan
himennya terlalu lembut dan lentur. Pada wanita yang tidak perawan, biasanya himen masih tampak
sebagai jaringan kecil yang mengelilingi vagina. Namun demikian, tidak ditemukan bukti ilmiah
yang mendukung keterkaitan antara ada tidaknya himen dengan pengalaman seksual pada wanita
Literature Review Dwi Handini Halaman 17 2.2.5. PERINEUM
Perineum merupakan bagian paling posterior dari organ reproduktif wanita, terletak antara
vulva dengan anus, dan tersusun oleh kulit, otot dan fascia (jaringan ikat). Selama proses persalinan,
perineum sangat rapuh, mudah terkoyak atau teriris, sehingga harus dijahit untuk pemulihan.
Episiotomi adalah tindakan mengiris sebagian perineum selama proses persalinan untuk memberikan
ruang yang lebih besar untuk bayi yang akan dilahirkan. Dalam kurun waktu 25 tahun terakhir,
tindakan episiotomi telah menurun dan wajib dilakukan secara selektif, karena dampak negatifnya
yang bisa meningkatkan ketidaknyamanan ibu selama postpartum berupa trauma perineal yang pada
tingkat lanjut bisa menyebabkan inkontinensia feces (Lowdermilk, et al., 2012).
Secara umum, perubahan yang terjadi pada genitalia eksterna bisa diobservasi secara visual dari
perubahan vulva akibat proses persalinan. Gambar 11 memperlihatkan perbedaan visual yang jelas pada mons pubis, labia mayora, labia minora, prepuce klitoris, orifis5 vagina serta perineum, antara
wanita nulipara dengan wanita multipara, pada usia kehamilan yang sama (Lowdermilk, et al., 2014).
Gambar 11. Perbedaan visual vulva antara wanita nulipara (kiri) dengan wanita multipara (kanan), pada usia kehamilan yang sama. Sumber: Lowdermilk, et al. (2014).
3. PANGGUL
3.1. JARINGAN KERAS PANGGUL
Lima faktor penting yang bertanggung jawab atas proses persalinan normal antara lain meliputi:
jalan lahir yang ditentukan oleh morfologi panggul (pelvis), fetus, tenaga yang ditentukan oleh
kontraksi rahim, posisi, serta respons psikologis (Saxena, 2015). Sehingga anatomi panggul mutlak
harus dipahami dalam konteks asuhan kebidanan. Tidak seperti organ genitalia yang telah dibahas di
5
Literature Review Dwi Handini Halaman 18 bagian awal – yang hanya tersusun atas jaringan lunak, anatomi panggul disusun oleh: (1) jaringan keras yang tersusun oleh formasi tulang; dan (2) jaringan lunak yang tersusun oleh jaringan otot,
jaringan ikat (ligamen) serta fascia.
Berdasarkan formasi tulang yang menyusunnya, panggul dapat diklasifikasikan menjadi:
panggul besar (pelvis mayor) – yang berfungsi untuk menyangga abdomen, serta panggul kecil (pelvis minor) – yang berfungsi sebagai rangka yang melindungi organ genitalia serta menentukan jalan lahir (Paulsen dan Waschke, 2011). Lebih jauh, struktur pelvis mayor tersusun atas: tulang paha (Os
coxae), tulang kelangkang (Os sacrum), dan tulang tungging (Os coccygis) – yang dikenal juga sebagai tulang sulbi atau tulang ekor. Sedangkan, struktur pelvis minor terdiri atas: pintu masuk
(pelvic inlet), pintu tengah (pelvic midlet), dan pintu keluar (pelvic outlet). Gambar 12 menampilkan struktur tulang panggul besar (pelvic mayor) dan Gambar 13 menunjukkan struktur tulang panggul kecil (pelvic minor).
Gambar 12. Penampang ventral cranial dari struktur tulang panggul besar (pelvic mayor). Sumber: Paulsen dan Waschke (2011).
Pada Gambar 12 terlihat bahwa pelvis mayor dibentuk oleh sebuah formasi lingkar yang stabil
– dimana persendian antara tulang kelangkang-tulang usus (Articulatio iliac) menghubungkan sepasang tulang pinggang (Os coxae), sedangkan simfisis pubis menghubungkan sepasang tulang
kelangkang (Os sacrum), sehingga mampu mentransfer berat abdomen dan bagian tubuh sebelah atas
lainnya ke kaki (Paulsen dan Waschke, 2011). Selanjutnya, di wilayah pelvic minor, pelvic inlet
(Apertura pelvic superior) dibentuk oleh formasi lingkar linea terminalis, dimulai dari simfisis pubis,
Literature Review Dwi Handini Halaman 19 dalam pelvic inlet. Sedangkan, pelvic outlet (Apertura pelvic inferior) dibentuk oleh batas inferior
dari formasi lingkar yang tersusun atas bagian anterior dari simfisis pubis, bagian lateral dari tonjolan
tulang duduk (ischial), serta bagian posterior dari ujung tulang tungging (coccyx).
Menurut Cunningham, et al. (2014), selama masa kehamilan, biasanya terjadi peningkatan
mobilitas dari persendian antara tulang kelangkang-tulang usus (sacroiliac), persendian antara tulang
kelangkang-tulang tungging (sacrococcygeal) dan simfisis pubis, yang menyebabkan rasa pegal pada
punggung. Selanjutnya, sendi-sendi yang meregang akibat proses persalinan biasanya akan pulih
seperti sedia kala dalam waktu 3 bulan hingga 5 bulan setelah partus.
Gambar 13. Struktur tulang panggul kecil (pelvic minor): saat kepala fetus memasuki pelvic inlet (kiri), pelvic midlet (tengah), dan akhirnya memasuki pelvic outlet (kanan) pada rotasi 90°. Sumber: Saxena (2015).
3.2. JARINGAN LUNAK PANGGUL
Lebih jauh, berdasarkan jaringan lunak yang menyusunnya, terdapat tiga lapisan utama yang
menyusun struktur panggul, meliputi: lapisan luar, lapisan tengah dan lapisan dalam (Paulsen dan
Waschke, 2011). Gambar 14, Gambar 15, dan Gambar 16 berturut-turut memperlihatkan penampang caudal dari lapisan luar panggul, penampang caudal dari lapisan tengah panggul, dan
penampang cranial dari lapisan dalam panggul. Lapisan dalam panggul tersebut juga dikenal sebagai
dasar panggul (pelvic floor) atau diafragma panggul.
Jaringan otot utama yang menyusun lapisan luar dan tengah panggul mencakup otot-otot di
wilayah organ perineum (Regio perinealis), yang terbagi dalam wilayah organ genitalia eksterna serta
uretra (Regio urogenitalis) dan wilayah anus (Regio analis). Lebih jauh, jaringan otot utama yang
menyusun lapisan luar panggul antara lain terdiri atas: Musculus sphincter ani externus yang
Literature Review Dwi Handini Halaman 20 sekitar vulva (Paulsen dan Waschke, 2011). Jaringan otot Musculus transversus perinei superficialis
pada wanita sangatlah lemah karena tidak membentuk pelindung berotot (muscular plate).
Gambar 14. Penampang caudal dari lapisan luar panggul. Sumber: Paulsen dan Waschke (2011).
Selanjutnya, jaringan otot utama yang menyusun lapisan tengah panggul antara lain terdiri atas:
Musculus transversus perinei profundus – yang terbungkus oleh Ligamentum transversum perinei, serta Musculus sphincter urethrae externus (Paulsen dan Waschke, 2011). Seperti halnya Musculus
transversus perinei superficialis yang telah dijelaskan di atas, jaringan otot Musculus transversus
perinei profundus pada wanita juga sangat lemah, karena hanya tersusun oleh serat otot tunggal yang
Literature Review Dwi Handini Halaman 21 Gambar 15. Penampang caudal dari lapisan tengah panggul. Sumber: Paulsen dan Waschke (2011).
Dan terakhir, jaringan otot utama yang menyusun lapisan dalam panggul – yang juga dikenal sebagai dasar panggul (pelvic floor) atau diafragma panggul, meliputi: Musculus pobococcygeus,
Musculus iliococygeus dan Musculus ischiococcygeus atau dikenal dengan sebutan coccygeus saja
(Paulsen dan Waschke, 2011). Jaringan otot Musculus pobococcygeus dan Musculus iliococygeus,
bersama-sama dengan jaringan otot Musculus puborectalis merupakan otot-otot utama yang
menyusun formasi jaringan otot yang dikenal sebagai Musculus levator ani.
Literature Review Dwi Handini Halaman 22 Menurut Paulsen dan Waschke (2011), dasar panggul memiliki fungsi utama untuk
menstabilkan posisi dari organ dalam isi rongga panggul (pelvic viscera), sehingga sangat penting
secara fisiologis dalam proses urinari serta kontinensi feses. Sebagai tambahan, menurut Moore, et al.
(2014), dalam proses persalinan, dasar panggul tersebut berfungsi penting dalam mendukung kepala
fetus di saat uterus dan serviks terus mengembang. Dalam hal ini – seperti telah dijelaskan sebelumnya – bahwa karena otot-ototo penyusun perineum dan levator ani, serta ligamen-ligamen dari pelvic fascia pada wanita sangatlah lemah, maka jaringan-jaringan tersebut bisa terluka akibat proses
kelahiran bayi (Gambar 17). Dengan demikian, sebagaimana otot-otot pobococcygeus dan puborectalis merupakan otot-otot penyusun utama dari levator ani, maka otot-otot ini sering robek
akibat proses persalinan. Padahal, otot-otot tersebut sangatlah vital karena melingkari dan
mendukung organ-organ penting seperti uretra, vagina serta saluran anal. Oleh karena itu, levator ani
dan pelvic fascia yang melemah akibat peregangan atau robekan selama proses persalinan, bisa
menurunkan fungsinya dalam mendukung vagina, kandung kemih, uterus atau rektum, atau bahkan
bisa mengubah posisi leher dari kandung kemih dan uretra. Perubahan-perubahan tersebut bisa
menyebabkan inkontinensi tekanan dalam proses urinari, yang sebagai contoh dicirikan oleh
pengeluaran urin yang tak terkendali ketika terjadi peningkatan tekanan pada organ intra-abdominal
akibat batuk atau mengangkat barang, atau bahkan bisa menyebabkan prolaps dari beberapa organ isi
rongga panggul.
Literature Review Dwi Handini Halaman 23 3.3. MORFOLOGI PANGGUL
Dari penjelasan di atas, rongga panggul sangatlah vital dalam proses persalinan. Faktor lain
yang menentukan kelancaran dalam proses persalinan adalah bentuk (morfologi) panggul. Terdapat
empat tipe morfologi panggul berdasarkan bentuk rongganya (pelvic cavity), antara lain meliputi:
android, gynecoid, anthropoid, dan platypelloid (Lowdermilk, et al., 2012; Cunningham, et al., 2014;
Moore, et al., 2014; Saxena, 2015). Berdasarkan etimologinya, android bermakna mirip seperti
robot-manusia, gynecoid bermakna mirip seperti wanita, anthropoid bermakna mirip seperti robot-manusia,
sedangkan platypelloid bermakna mirip seperti bebek. Gambar 18 menyajikan visualisasi morfologi panggul dari keempat tipe tersebut.
Menurut Moore, et al. (2014); android dan anthropoid merupakan tipe yang paling umum
ditemukan pada panggul pria, android dan gynecoid merupakan tipe yang paling umum ditemukan
pada panggul wanita kulit putih, gynecoid dan anthropoid merupakan tipe yang paling umum
ditemukan pada panggul wanita kulit hitam, sedangkan platypelloid merupakan tipe yang paling
jarang ditemukan – baik pada panggul wanita maupun pria.
Tipe panggul wanita normal adalah gynecoid, dengan pelvic inlet yang biasanya berbentuk oval
dengan diameter transversal yang lebar – sehingga sangat menunjang dalam kelancaran proses persalinan. Wanita-wanita yang memiliki tipe platypelloid atau tipe android berisiko tinggi untuk
melahirkan. Lebih jauh, Saxena (2015) mendeskripsikan keempat tipe panggul tersebut secara rinci
Literature Review Dwi Handini Halaman 24 Gambar 18. Empat tipe morfologi panggul berdasarkan bentuk rongganya (pelvic cavity).
Sumber: Moore, et al. (2014).
Tabel 2. Beragam dimensi dari empat tipe panggul berdasarkan morfologi rongganya (pelvic cavity). Sumber: Saxena (2015).
Anthropoid Android Platypelloid
Literature Review Dwi Handini Halaman 25 Tabel 2. Beragam dimensi dari empat tipe panggul berdasarkan morfologi rongganya (pelvic cavity). Sumber: Saxena (2015).
Anthropoid Android Platypelloid
yang
Panggul depan Lebar Melebar Sempit Lurus
Literature Review Dwi Handini Halaman 26 Tabel 2. Beragam dimensi dari empat tipe panggul berdasarkan morfologi rongganya (pelvic cavity). Sumber: Saxena (2015).
Anthropoid Android Platypelloid
90°
Siklus menstruasi disebut juga sebagai siklus reproduktif atau siklus ovarian. Siklus menstruasi
merupakan perubahan yang terjadi pada tubuh wanita dalam rangka mempersiapkan kehamilan.
Organ penting dalam siklus reproduktif pada wanita meliputi: kelenjar pituitari, ovarium dan uterus – dimana aktivitas setiap organ tersebut saling mempengaruhi (Peate dan Nair, 2015). Siklus
reproduktif pada wanita terjadi secara teratur setiap 26 hari hingga 30 hari selama masa subur. Setiap
bulannya, salah satu ovarium akan melepaskan telur tunggal (ovum) – dimana prosesnya disebut sebagai ovulasi.
Terdapat tiga kelompok hormon yang mengendalikan siklus menstruasi pada wanita, antara
lain: (1) GnRH (Gonadotrophin-releasing hormones atau hormon-hormon yang melepaskan
gonadotrofin), mencakup: LHRH (luteinising hormonereleasing hormone, yaitu hormon yang
melepaskan hormon lutein) dan FSHRH (follicle stimulating hormonereleasing hormone, yaitu
hormon yang melepaskan folikel); (2) gonadotrofin, mencakup: LH (luteinising hormone, yaitu
Literature Review Dwi Handini Halaman 27 hormon-hormon ovarian, mencakup: estrogen dan progesteron. Gambar 19 menampilkan regulasi hormonal yang mengendalikan perubahan-perubahan yang terjadi pada ovarium dan uterus selama
siklus menstruasi.
Hipotalamus mengendalikan aktivitas kelenjar pituitari. Siklus menstruasi akan dimulai ketika
sel syaraf dalam hipotalamus memicu sekresi dari FSH dan LH. GnRH yang terletak dalam
hipotalamus mengendalikan pelepasan hormon-hormon pituitari (gonadotrofin), yaitu: FSH dan LH.
FSH dan LH tersebut dihasilkan oleh kelenjar pituitari dan mengendalikan hormon-hormon ovarian:
estrogen dan progesteron. Terdapat empat fase yang berbeda dalam siklus menstruasi, mencakup: (1)
fase folikular (fase proliferatif); (2) fase ovulatori; (3) fase luteal (fase sekresi); dan (4) fase
menstruasi – yang masing-masing dijelaskan secara rinci di bawah ini.
4.1.1. FASE FOLIKULAR (FASE PROLIFERATIF)
Fase folikular juga dikenal sebagai fase proliferatif, yang dianggap sebagai fase awal dalam
siklus menstruasi yang menyebabkan ovulasi, yaitu ketika ovarium telah siap untuk melepaskan telur.
Siklus menstruasi tersebut biasanya berlangsung selama 28 hari, dimana fase folikular terjadi selama
14 hari pertama dalam siklus tersebut. Selama fase folikular, terjadi peningkatan FSH dari kelenjar
pituitari yang menstimulasi perkembangan beberapa folikel pada permukaan ovarium, dimana
folikel-folikel tersebut mengandung telur. Ketika tingkat konsentrasi FSH menurun, hanya ada satu folikel-folikel
yang bertahan untuk terus berkembang. Folikel tersebut menghasilkan estrogen. Selanjutnya,
endometrium akan mempersiapkan diri untuk menampung telur yang dihasilkan. Pada awal fase
folikular, yaitu tepat di saat menstruasi berakhir, dinding uterus akan berada pada kondisi yang paling
tipis, sementara tingkat konsentrasi estrogen dan progesteron berada pada kondisi yang paling rendah.
Sedangkan pada fase folikular selanjutnya, kembali terjadi penebalan dan proliferasi uterus.
4.1.2. FASE OVULATORI
Ovulasi merupakan fase kunci dalam siklus menstruasi. Pada setiap siklus, hanya satu telur
(ovule) yang dilepaskan oleh folikel ovarian yang dominan, sebagai respons akibat terjadinya lonjakan
LH. Telur tersebut hanya bisa dibuahi selama 48 jam. Fase ovulatori tersebut terjadi ketika terjadi
lonjakan sekresi LH yang menghasilkan telur masak di dalam kapsul ovarium. Selanjutnya,
konsentrasi LH mencapai puncak pada pertengahan siklus, yang memicu pelepasan ovum yang
disebut sebagai proses ovulasi. Proses ovulasi tersebut terjadi sekitar 16 jam hingga 32 jam setelah
lonjakan LH dimulai. Beberapa hari kemudian, tingkat konsentrasi LH menurun. Tingkat konsentrasi
Literature Review Dwi Handini Halaman 28 Tingkat konsentrasi progesteron meningkat menjelang pelepasan folikel, yang berfungsi untuk
mempersiapkan endometrium dari uterus sebagai tempat untuk implantasi.
4.1.3. FASE LUTEAL (FASE PRA-MENSTRUASI/FASE SEKRESI)
Fase pacsa-ovulasi dikenal sebagai fase luteal atau fase pra-menstruasi atau fase sekresi,
dimana tingkat konsentrasi LH dan FSH berkurang. Pada fase ini, folikel pecah, melepaskan ovum,
dan kemudian membentuk korpus luteum. Korpus luteum memproduksi progesteron dalam jumlah
yang sangat banyak, yang berguna untuk mencegah estrogen agar tidak menstimulasi lonjakan LH
susulan dari kelenjar pituitari. Ketika ovum dibuahi, tingkat konsentrasi progesteron tersebut akan
tetap dijaga oleh korpus luteum sehingga kesiapan endometrium untuk implantasi juga tetap terjaga.
Jika telur dibuahi oleh sperma dan diimplantasikan (atau menempel) ke dalam endometrium,
maka dimulailah proses kehamilan, yang dihitung sejak hari pertama dari siklus menstruasi tersebut.
Jika fertilisasi telur tidak terjadi, maka terjadi proses degenerasi pada korpus luteum dan tingkat
konsentrasi estrogen maupun progesteron akan terus berkurang hingga mencapai tingkat terendah.
Selanjutnya, pembuluh darah dalam jaringan endometrium akan mengalami konstriksi (penyempitan)
Literature Review Dwi Handini Halaman 30 4.1.4. FASE MENSTRUASI
Awal menstruasi dihitung sejak terjadinya perdarahan (bleeding) – yang terjadi akibat penurunan suplai hormon progesteron oleh korpus luteum. Siklus menstruasi rata-rata adalah 28 hari,
namun bisa lebih singkat atau bahkan lebih lama. Siklus menstruasi pada remaja bisa mencapai 45
hari. Pada kebanyakan wanita berusia antara 25 tahun hingga 35 tahun, siklus menstruasinya teratur
antara 21 hari hingga 35 hari. Semakin menua, siklus menstruasi pada wanita akan lebih sulit
diprediksi, hingga akhirnya mengalami menopause.
Terdapat beberapa kondisi abnormal pada wanita dalam fase menstruasianya, antara lain: (1)
amenorrhea – yaitu ketika wanita pada usia subur sama sekali tidak mengalami menstruasi; (2) hypomenorrhea– yaitu ketika cairan menstruasi menjadi lebih sedikit dari biasanya; (3) menorrhagia
– yaitu ketika terjadi perdarahan menstruasi yang sangat banyak; (4) oligomenorrhea – yaitu ketika frekuensi dari perdarahan menstruasi menjadi lebih jarang dari biasanya; dan (5) polymenorrhea – yaitu ketika frekuensi dari perdarahan menstruasi menjadi lebih sering dari biasanya (Vij, 2010).
4.2. SIKLUS HORMONAL SELAMA MASA KEHAMILAN
Kehamilan menyebabkan perubahan adaptif pada tingkat konsentrasi hormon, yang mampu
mempertahankan endometrium (LaPres, et al., 2016). Gambar 20 memperlihatkan perubahan tingkat konsentrasi hormon selama masa kehamilan.
Gambar 20. Perubahan tingkat konsentrasi relatif
dari hCG (human chorionic
gonadotropin), estrogen, dan
progesteron selama masa
Literature Review Dwi Handini Halaman 31 Trofoblas dari blastosis akan mensekresikan hCG (human chorionic gonadotropin atau
gonadotorfin korionik manusia), yaitu sejenis LH yang berfungsi mempertahankan korpus luteum.
Trofoblas membentuk korion, yang berfungsi membangun bagian embrionik dari plasenta dan
merupakan sumber dari hCG. Selain hCG, plasenta juga mensekresikan hormon-hormon lainnya,
meliputi: estrogen, progesteron, HCS (human chorionic somatomammotropin) dan relaxin (Vij,
2010).
HCS antara lain berfungsi untuk: (1) memicu sitensa protein; (2) mengurangi penggunaan
glukosa sehingga wanita hamil bisa memberikan suplai glukosa yang lebih banyak untuk fetus; serta
(3) memicu terjadinya mobilisasi lemak dari depot-depot lemak, sehingga terjadi suplai asam lemak
bebas pada jumlah yang banyak untuk menghasilkan tambahan energi pada tubuh wanita hamil.
Melalui stimulasi hCG, korpus luteum akan terus mensekresikan progesteron dan estrogen
dalam rangka memelihara endometrium. Karena hCG hanya dihasilkan selama kehamilan, maka tes
kehamilan dirancang untuk mendeteksi ada tidaknya kandungan hCG dalam darah atau urin, yang
biasanya dilakukan pada hari ke-8 hingga hari ke-10 setelah terjadinya pembuahan (fertilisasi).
Tingkat konsentrasi hCG tersebut terus meningkat tajam dan mencapai puncaknya pada usia
kehamilan sekitar 10 minggu. Setelahnya, tingkat konsentrasi hCG dalam darah akan terus menurun
dan akhirnya mencapai tingkat terendah antara usia kehamilan sekitar 16 minggu hingga 20 minggu,
yang menyebabkan terjadinya degenerasi pada korpus luteum. Namun demikian, pada usia kehamilan
sekitar 12 minggu, plasenta akan menggantikan peran korpus luteum dalam menghasilkan estrogen
dan progesteron, yang berfungsi untuk mencegah hilangnya lapisan endometrium. Perlu dicatat bahwa
pada kondisi yang abnormal, yaitu jika korpus luteum berhenti mensekresikan progesteron dan
estrogen terlalu cepat atau jika plasenta terlalu lamban memproduksi estrogen dan progesteron, maka
akan terjadi penurunan konsentrasi hormon-hormon tersebut, yang pada akhirnya bisa menyebabkan
lepasnya plasenta dari dinding uterus, sehingga terjadilah keguguran.
Dalam hal ini, ovarium tidak aktif selama masa kehamilan, yang disebabkan oleh tingginya
tingkat konsentrasi progesteron dan estrogen dalam darah, sehingga menekan sekresi GnRH oleh
hipotalamus, yang pada akhirnya mencegah pelepasan FSH dan LH dari kelenjar pituitari.
Sepanjang masa kehamilan, konsentrasi estrogen dan progesteron dalam darah akan terus
meningkat, dimana laju peningkatan estrogen lebih cepat daripada laju peningkatan progesteron. Di
samping itu, selama masa kehamilan, konsentrasi estrogen dan progesteron dalam plasenta akan
menstimulasi perkembangan kelenjar mamari (kelenjar susu) dalam rangka mempersiapkan sekresi air
Literature Review Dwi Handini Halaman 32 PERTANYAAN KRITIS
Berdasarkan hasil riset Sack, et al. (1983), ditemukan bahwa ada pasien yang mengalami koma
berkepanjangan yang kelenjar pituitari dari hipotalamusnya masih berfungsi normal. Dari temuan
tersebut, apa saja implikasinya jika ada kasus wanita usia subur yang mengalami koma
berkepanjangan?
REFERENSI
Barrett, K.E., Barman, S.M., Boitano, S. dan Brooks, H.L. 2012. Ganong’s Review of Medical
Physiology, 24th Edition. Th e McGraw-Hill Companies, Inc. ISBN: 978-0-07-178004-9.
Cunningham, F.G., Leveno, K.J., Bloom, S.L., Spong, C.Y., Dashe, J.S., Hoffman, B.L., Casey, B.M.
dan Sheffield, J.S. 2014. Williams Obstetrics, 24th Edition. McGraw-Hill Education. ISBN:
978-0-07-179894-5.
LaPres, J., Kersten, B. dan Tang, Y. 2016. Gunstream’s Anatomy & Physiology: With Integrated
Study Guide, 6th Edition. ISBN: 978-0-07-809729-4.
Lowdermilk, D. L., Perry, S. E. dan Cashion, K. 2014. Maternity Nursing, 8th Edition. Mosby Elsevier
Inc. ISBN: 978-0-323-24191-5.
Lowdermilk, D.L., Perry, S.E, dan Alden, K.R.. 2012. Maternity and Women’s Health Care, 10th
Edition. Mosby Elsevier Inc. ISBN: 978-0-323-07429-2.
Moore, K.L., Dalley, A.F. dan Agur, A.M.R. 2014. Clinically Oriented Anatomy, 7th Edition. Wolters
Kluwer-Lippincott Williams & Wilkins. ISBN 978-1-4511-1945-9.
Netter, F.H. 2014. Atlas of Human Anatomy, 6th Edition. Saunders-Elsevier. ISBN:
978-0-8089-2451-7.
Paulsen, F., dan Waschke, J. 2011. Atlas of Human Anatomy, Latin Nomenclature,General Anatomy
and Musculoskeletal System, 15th Edition. Urban & Fischer Verlag-Elsevier. ISBN:
978-0-7234-3639-3.
Peate, I. dan Nair, M. 2015. Anatomy and Physiology for Nurses at a Glance. John Wiley & Sons,
Literature Review Dwi Handini Halaman 33 Sack, J., Sazbon, L., Lunenfeld, B., dan Najenson, T. 1983. Hypothalamic-pituitary function in
patients with prolonged coma. J. Clin. Endocrinol. Metab. 56: 635. DOI:
http://dx.doi.org/10.1210/jcem-56-3-635.
Saxena, R. 2015. A Practical Guide to Obstetrics & Gynecology. Jaypee Brothers Medical Publishers
Ltd. ISBN: 978-93-5152-479-3.