Mengapa Harus Sekuler?
Tahun 1919, dengan ditandatanganinya perjanjian Versailes, Perang Dunia I berakhir dengan kemenangan di pihak sekutu. Perang ini membawa dampak yang besar terhadap perkembangan politik dunia. Salah satunya, runtuhnya Kesultanan Turki Utsmani pada tahun 1923.
Turki Utsmani yang merupakan Dinasti Islam terakhir di dunia menjadi korban pertama penerapan sistem sekuler dalam Islam. Turki yang awalnya menjadi
lambang kekuatan politik Islam berubah menjadi lambang sekularisme. Secara jelas, Turki menyebut dirinya sebagai negara sekular, sebagaimana dalam pasal 1 UUD Turki menyatakan, Turki adalah negara Republik, Nasionalis, Kerakyatan, Kenegaraan, Sekularis, Revolusioneris.1
Perubahan besar-besaran yang terjadi di Turki memberikan dampak yang signifikan bagi dunia Islam. Para pejuang westernisasi menjadikan Turki sebagai teladan utama saat menyatakan tentang kemajuan dan kebangkitan. Mereka disilaukan oleh
kemajuan Industri negara barat yang menerapkan sekularisme dan mulai tertarik untuk mengadopsi dan menerapkannya.
Mereka pun berusaha untuk mengadopsi ajaran sekular ke dalam Islam. Untuk memuluskan tujuan tersebut, mereka mencari jutifikasi dari ajaran-ajaran Islam. Banyak hal yang mereka klaim menjadi pendukung sekular. Namun, yang menjadi fokus kami di sini adalah klaim mereka terhadap ayat-ayat al-Qur’an.
Ada banyak ayat yang mereka klaim mendukung gerakan sekularisme. Namun, ayat yang biasa mereka jadikan dalil adalah ayat-ayat yang menjelaskan tentang tugas Rasulullah . Bahkan, basmalah pun tak luput dari target sasaran mereka.
Maka dari itu, kami merasa perlu untuk memberikan sedikit penjelasan mengenai penafsiran ayat-ayat tersebut. Namun, dikarenakan terbatasnya space, kami tidak akan membahas ayat tersebut satu persatu. Kami hanya akan membahas secara global namun mencakup keseluruhan.
Kita mulai dari basmalah. Nurcholish Madjid, salah seorang pejuang sekularisme di Indonesia berargumen menggunakan basmalah untuk menguatkan pendapatnya. Menurutnya, kata ar-Rahîm yang menunjukkan sifat kasih Tuhan di dunia (menurut ukuran-ukuran duniawi), dan ar-Rahîm yang menunjukkan sifat kasih di akhirat (menurut norma-norma ukhrawi) mengindikasikan bahwa Penghayatan nilai spiritual keagamaan bukanlah hasil kegiatan rasionalistis. Demikian pula sebaliknya, masalah duniawi tidak dapat didekati dengan metode spiritualistis. Keduanya memiliki bidang
yang berbeda, meskipun di antara iman dan ilmu terdapat hubungan erat.2
Padahal, makna yang dikehendaki tidaklah demikian. Ulama menjelaskan bahwa yang masing-masing dari lafal Rahmân dan Rahîm memiliki makna yang berbeda. Lafal Rahmân berarti Zat yang maha besar rahmat-Nya, karena Rahmân mengikuti wazân “Fa’lânu” yang merupakan kalimat yang berfaidah mubâlaghah (hiperboloa) yang menjelaskan banyak dan besarnya sesuatu. Akan tetapi, lafal ini tidak
memberikan faidah dawâm (selamanya) sebagaimana lafal ghadlbân (sangat
1 Adian Husaini. (2005) Wajah Peradaban Barat. Jakarta: Gema Insani, Hlm. 272
marah). Sedangkan lafal Rahîm bermakna Zat yang rahmatnya abadi, karena bentuk lafal “Fa’îlun” digunakan untuk sifat-sifat yang abadi (terus-menerus).3
Pembahasan selanjutnya mengenai dalil mereka menggunakan ayat-ayat yang menyebut (atau membatasi) penyampaian risalah ilahi dan urusan ukhrawi sebagai tugas dan tujuan para Nabi. Karena ayat tersebut banyak sekali, kami cukupkan dengan mengambil satu sampel saja. Kita bahas ayat 82 dari surah an-Nahl. Allah berfirman, “fa-in tawallaw fa-innamâ ‘alaikal-balâghul-mubîn.” Ayat yang senada dapat kita temukan dalam surah Surah an-Nahl (16): 35 dan 82, asy-Syura (42): 48, Yâsîn (36): 17, dan al-Maidah (5): 99.
Ali Abdurraziq, salah satu pejuang sekularisme sebelum menampilkan ayat-ayat di atas menyatakan, “Al-Quran secara jelas menjelaskan bahwa tugas Rasulullah hanyalah menyampaikan Risalah Allah kepada umat manusia. Dan beliau tidak dibebani dengan tugas selain itu.”4 Di sini, Ali terpaku pada makna lahiriah ayat
tanpa mau meninjau kembali penafsiran-penafsiran yang telah dijelaskan oleh ulama.
Memang, secara lahiriah redaksi ayat seakan hanya membatasi tugas Nabi pada satu hal saja; dakwah. Hal ini dikarenakan ayat tersebut menggunakan susunan qashr atau hashr, yaitu susunan kalimat yang berfaidah membatasi suatu perkara hanya tertentu pada suatu hal secara khusus. Namun, perlu diketahui bahwa qashr terbagi menjadi dua; haqiqi dan idhafi. Dan yang berfaidah membatasi suatu perkara hanya tertentu pada satu perkara saja; bukan yang lain adalah qashr haqiqi.5 Sedangkan
qashr yang terdapat dalam ayat di atas (dan ayat-ayat senada) merupakan qashr idhafi.6
Qashr idhafi sendiri berarti membatasi sesuatu terhadap perkara lain dengan
meninjau aspek tertentu.7 Maksudnya, sesuatu tersebut dibatasi hanya kepada salah
satu dari dua atau lebih perkara yang ada dalam aspek tersebut.
Misal, dalam ayat ini yang menjadi peninjauan adalah lawan bicara; Rasulullah . Maka, maksud dari ayat ini adalah tugas Nabi hanyalah menyampaikan Risalah, bukan membuat orang lain beriman. Sehingga, hal ini tidak menafikan bahwa Rasulullah masih memiliki tugas lain seperti jihad dan kewajiban-kewajiban
lainnya.8 Dan hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya ayat dalam al0-Quran yang
menjelaskan tentang tugas-tugas Nabi selain dakwah. Seperti ayat 84 surah an-Nisâ’ yang berisakan perintah kepada Nabi untuk berjihad.
Dari sini dapat kita simpulkan, ayat-ayat yang oleh pejuang sekularisasi diklaim mendukung mereka sebenarnya tidak mendukung sama sekali bahkan tekesan menentang. Karena memang pada dasarnya Islam tidak mengenal ajaran sekuler dan tidak perlu mengenalnya.
Bagaimana pun, sekularisme merupakan produk barat yang lahir dari trauma yang mereka alami terhadap ajaran kristen. Dan taruma tersebut tidak dialami oleh umat Islam. Sehingga, kita selaku umat Islam tidak perlu ikut membebek kepada barat
3 Ali Ash-Shabuni. Shafwatut-Tafâsîr, I/2 Versi Maktabah Syamilah.
4 Ali Abdur-Raziq. (2002). Al-Islâm wa Ushûlul-Hukmi. Kairo: Darul-Kitab al-Mishri. Hlm. 98-99
5 Ali al-Jarim dan Musthafa Amin. Al-Balâgah al-Wâdhihah. Surabaya: Al-Haramain. Hlm. 217
6 Ath-Thahir bin Muhammad bin Asyur. (2000). At-Tahrîr wat-Tanwîr. Beirut: Muassisatut-Tarikh al-Arabi. XIII/194
7 Ali al-Jarim dan Musthafa Amin. Al-Balâgah al-Wâdhihah. Surabaya: Al-Haramain. Hlm. 219