• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengutuk Diri Menjadi Petani

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Mengutuk Diri Menjadi Petani"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

Mengutuk Diri Menjadi Petani

Upaya Pengentasan Jerat “Menjadi Buruh di ladang Sendiri” Para “Petani Gurem Lahan Marginal” Tepi Hutan Pegunungan Surojoyo Kabupaten Rembang Dalam Pemenuhan Sektor Pangan

Ditengah Konversi dan Eksploitasi Lahan Sebagai Imbas dari Kapitalisme Tebu

Oleh

Kholil Rachman dkk

Tanah adalah unsur terpenting dalam kegiatan pertanian. Tanah menjadi bagian dari diri petani yang diikat oleh tradisi dan perasaan. Cara berpikir demikian tidak menuntut petani memiliki tanah, namun menguasai atau mengelola tanah sudah merupakan bagian dari kehidupan. Tanah subur, jaringan irigasi, dan subsidi pemerintah nyatanya tak cukup untuk mengangkat hidup Paiman (65), puluhan tahun membanting tulang di sawah, ia akhirnya takluk oleh tuntutan kebutuhan hidup. Paiman adalah aktivis petani di wilayahnya. Ia menjabat Ketua Kelompok Tani Sido Mukti di Desa Jentir, akan tetapi, kebutuhan keluarga mengubur aktivitas itu. Lahan seluas 0,5 hektar (ha) warisan orangtua, dijual untuk menyekolahkan anaknya. Pasangan Sunarwi (60)- Ngatmi (50) memiliki kisah yang nyaris sama. Ketiadaan uang untuk membayar biaya sekolah anak, berobat, dan kebutuhan dapur memaksanya menyewakann 1 ha sawahnya di Desa Nglakeh, seharga Rp 20 juta ke Bos Tebu tahun 2010. Hingga lima tahun kemudian, keduanya harus bekerja serabutan sebagai buruh tandur (tanam), tukang ngarambet (pembersih rumput liar), atau buruh panen, sekadar untuk bertahan hidup. Ketidakseimbangan pendapatan dan beban kebutuhan hidup mendorong petani gurem menjual dan menyewakan lahan. Akibatnya, mereka tidak hanya kian terjebak dalam kemiskinan, tetapi juga pada kekalahan karena kehilangan tanah

Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Kementrian Agama Republik Indonesia

TAHUN 2015

Membela Harga Diri, Menyuarakan Kata Hati: Perspektif Anak Seorang Petani

Sebuah Pengantar Singkat

Oleh:

KHOLIL LUR ROCHMAN

Ratapan Petani Kecil By. Anonymous

Aku ini sakit,

sementara kalian berseminar tentang keadaanku di Hotel-Hotel Mewah

Aku ini lapar,

sementara kalian menumpuk-numpuk laporan tentang keadaanku

Aku ini terlantar,

dan kalian masih melakukan konferensi yang kurang berarti Kalian Menjual kemiskinanku demi ambisi pribadi

Kalian menyelidiki semua yang menjadi kekhawatiranku namun sampai sekarang aku ini tetap sakit lapar dan terlantar

(2)

kabar pembatasan produksi tembakau. Sungguh berita tersebut sangat menyayat masyarakat. Soalnya dari sekian tanaman yang dibudidayakan tembakaulah yang mampu memberikan nafas lebih dari tanaman yang lain. Dengan tembakaulah masyarakat dapat bertahan hidup lebih lama. Walaupun lahan pertanian dikampung kami tak begitu besar, namun menjadi harapan satu-satunya masyarakat.

Aku ingin menengok kebelakang. Mengenang masa kecilku dulu. Mengenang masa-masa bermain dengan lumpur dan tanaman itu. duapuluh tahun yang lalu atau lebih aku masih kecil. Aku masih duduk di bangku SD. Aku belum mengenal mengenai bertani. Walaupun bapakku seorang petani. Walaupun kakek dan seluruh keluarga besarku seorang petani. Namun lembat laun seiring berjalannya waktu aku mulai terjun. Aku mulai turun. Aku mulai merasakan hidup sebagai petani. Awalnya aku hanya ikut membantu orang tua. Ketika itu usiaku baru menginjak SD. Bukan membantu sih, tapi lebih tepatnya mengganggu pekerjaan orang tua. Namun waktu berganti, hari berganti, minggu, bulan dan tahun berganti. Aku benar-benar terjun sebagai petani. Ketika duduk dibangku SMP aku mulai membantu lebih intensif pekerjaan orang tua. Sebagai petani gurem. Ketika musim tanam tiba. Aku membantu untuk Daud ( memanen benih padi yang telah ditanam untuk dibesarkan). Aku juga ikut tandur (menanam benih padi). Disaat padi mulai tumbuh aku ikut menyiangi atau orang kampung menyebutnya matun. Disaat musim panen tiba aku ikut derep (panen padi). Terus beranjak usia, aku beranikan diri untuk mencoba menerjunkan sepenuhnya untuk bertani. Aku sisikan waktu lebih dimasa SMA untuk mengurus ladang. Ketika itu aku kelas dua SMA. Dimusim tembakau aku niatkan untuk mencoba belajar menanam tembakau dari kecil sampai panen. Walaupun lahan yang aku coba tanami tidak begitu besar. Sekitar 1/8 HA. Dengan bantuan orang tua dan masukan dari berbagai orang didekatku sangat membantuku dalam bertani tembakau. Aku merasakan menjadi petani sebenarnya. Aku merasakan begitu nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan surya yang mengepakkan cahayanya aku telah berada di ladang kecil itu. Ditemani sebuah cangkul, arit, dan beberapa alat pertanian lain aku habiskan masa remaja ku itu. Aku menemukan kenikmatan itu.

Aku menemukan kenikamatan ketika makan. Disaat keringat mulai bercucur deras di tubuhku. Disaat sinar mentari menghantam wajahku. Disitulah kenikmatan nasi bercampus sayur dan sebuah lauk tempe. Disaat siang yang menyala, disaat sore yang hangat aku merasakan semilirnya angin surga menerpaku. Aku merasakan kedamaain seorang petani. Aku merasakannya itu. Mungkin inilah yang membuat para petani betah menjalani rutinitas hidupnya. Terlepas dari penghasilan dan kebutuhan hidupnya. Terdapat kepuasan yang tak ternilai.

Andai saja mereka saudara-saudaraku para petani yang selalu setiap menghidupi rakyat negeri kehidupannya lebih sejahtera. Maka itu adalah puncak kepuasan dari sebuah perjalanan hidup petani. Itulah puncak segalanya hidup mereka. Walaupun kini mereka masih berkutat dengan berbagai kendala mulai mahalnya harga pupuk, rendahnya harga hasil panen, minimnya peran pemerintah tak membuat mereka patah arang. Semoga saja mereka saudaraku semua tetap bertahan menjadi petani dan semoga kesejahteraan akan segera datang sebagai puncak kenikmatan hidup sebagai petani.

Ratapan Petani Kecil merupakan puisi yang aku dapat dari sebuah forum petani, dan inilah yang saya alami sebagai anak seorang petani yang akrab dengan keterbatasan dan kemiskinan. Sebagai pewaris profesi petani kadang saya menjadi sangat emosional jika melihat ulasan atau tulisan yang menjelaskan tentang “kematian” para petani kita, petani Indonesia. Apalagi jika melihat dari dekat fakta bahwa petani kita memang bisa dianggap bukan petani “pengusaha”, melainkan petani “buruh”. Baiklah saya menerima karena itu memang kenyataannya. Saya adalah cucu petani, saudaranya petani dan tetangga para petani. Tapi kenyataan itu tidak lantas membuat kita harus terus menangisi petani kita. Apakah ada solusi dari masalah diatas. Saya yakin selalu ada. Karena tidak ada masalah yang tidak ada jalan keluarnya. Saya ingin melihat masalah ini dari kacamata saya sendiri sebagai orang yang tidak bisa dikatakan dekat tetapi sejak kecil melihat kehidupan para petani.

(3)

harga-harga obat pembasmi hama yang menyerang tanaman mereka. Selalu itu yang menjadi masalah terutama sejak era reformasi berlangsung. Nenek saya pernah bercerita, dulu menanam apapun di ladang rasanya sangat mudah. Tidak perlu pupuk macam-macam dan obatan-obatan kimia yang aneh-aneh.Ketiga masalah diatas adalah konsekuensi dari adanya tiga pilar utama industri yang menunjang kehidupan seluruh masyarakat kita. Industri pupuk, industri obat-obatan, dan industri tani itu sendiri, yaitu petani yang menjadi pekerja lapangan yang langsung berhadapan dengan sawah, ladang dan kebun yang mereka miliki. Disinilah keuletan dan ketrampilan para petani yang dibutuhkan. Sayangnya untuk menjadi petani umumnya masyarakat kita tidak harus mengenyam pendidikan yang tinggi. Kultur dari masyarakat negara Indonesia adalah kultur tani, sehingga sekuat apapun tenaga yang diberikan oleh para penyelenggara negara untuk menyejahterakan rakyatnya tidak akan pernah berhasil jika negara tidak memberi perhatian yang serius kepada ketiga industri diatas.

Sedangkan dua industri yang lain yaitu pupuk dan obat-obatan yang notabene para praktisinya harus mengenyam pendidikan yang tinggi selalu menjadi momok yang menakutkan bagi para petani. Industri penunjang pertanian ini juga tidak bisa disalahkan karena mereka berdiri atas dasar dedikasinya yang diperuntukkan untuk para petani, sehingga menghasilkan produk-produk yang bermanfaat untuk memajukan industri pertanian. Bagaimanapun kedua industri tersebut tidak boleh mati, karena sebagai penunjang bagi berlangsungnya kehidupan petani dan industri pertanian itu sendiri.

Sebuah Solusi

Malu sebenarnya mengatakan ini sebuah solusi, tapi menurut saya, sah-sah saja kita menyampaikan sebuah pendapat, syukur-syukur jika pendapat itu menjadi pertimbangan bagi penyelesaian sebuah masalah. Menurut hemat saya, para petani yang terhormat itu tidak dapat dipersalahkan karena mereka adalah korban dari buruknya sebuah sistem dan ketidaktahuan, atau ketidakmauan para penyelenggara negara dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada di negeri ini. Mimpi saya kelak jika para penyelenggara negara tidak lagi menganggap dirinya sebagai manusia yang harus dilayani serta dihormati dan berganti menjadi manusia pelayan, maka semua

masalah yang melingkupi hidup berbangsa dan bernegara ini akan berangsur-angsur akan selesai dengan sendirinya. Mudah-mudahan itu tidak lama lagi. Lalu apakah kita akan menunggu masalah akan selesai dengan sendirinya ? saya harap tidak.

Pertama, berkaca kepada fakta di lapangan, saya sering melihat ketika seorang tengkulak menawar harga padi yang dipanen seorang petani. Para tengkulak ini menawar dengan harga rendah dengan memberi alasan logis, “karena harga dipasaran memang segitu, kalau tidak segitu nanti saya tidak dapat untung”. Jadi siapa sebenarnya yang menciptakan pasar. Tentu saja penyelenggara negara. Faktanya adalah tempat terakhir dari padi yang dihasilkan oleh petani ini nantinya akan lari ke lumbung-lumbung yang telah disediakan pemerintah. Artinya pemerintahlah yang membeli padi dari para petani. Karena mayoritas dari masyarakat di Indonesia ini adalah petani, maka saya kurang setuju jika pemerintah membuat lumbung (gudang-gudang) hanya di pusat kota yang disiapkan untuk mengantisipasi agar tetap tersedia bahan-bahan pokok untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh Indonesia. Yang saya maksud adalah pemerintah menentukan harga jual bahan-bahan hasil tani ini dengan harga yang menyulitkan masyarakat dengan alasan yang sekali lagi “logis” karena mahalnya proses pembelian bahan pangan ini dari petani sampai berada di lumbung milik pemerintah. Proses itu adalah termasuk transportasi, pemeliharaan tempat, dan manajemen penyaluran kembali kepada masyarakat.

(4)

Tidak ada salahnya jika saat ini pemerintah menyelenggarakan kajian ke desa-desa penghasil pangan. Jika memungkinkan membuat lumbung di setiap desa, kecamatan dan kabupaten sehingga proses distribusi bahan pangan dari petani ke pemerintah tidak memakan biaya mahal. Pemerintah cukup membuat regulasi yang mengatur bagaimana bahan-bahan makanan ini bisa sampai kembali ke masyarakat dengan harga terjangkau. Sedangkan penentuan berapa persen alokasi dari hasil pertanian yang didistribusikan kepada daerah lain yang bukan darah petani sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, semisal di kota-kota dan daerah lainnya. Disinilah nanti akan tercipta pasar daerah, jadi sederhananya pemerintah tidak bisa memberikan harga beras di kota sama dengan harga beras di desa karena dampaknya akan sangat menyengsarakan masyarakat desa yang notabene adalah petani.

Kedua, Pemerintah secara ketat mengawasi jika perlu

mengkaji bahan-bahan obat pembasmi hama yang digunakan petani harus benar-benar aman dari lingkungan. Saya sering mendengar para petani berujar “jaman sekarang hama yang memakan tanaman sepertinya lebih kuat dari jaman dulu, dan bahkan kadang lebih banyak”. Jaman sekarang tidak mungkin menghasilkan tanaman yang baik tanpa obat-obat kimia. Yang dimaksud pak tani adalah mereka tidak akan bisa membasmi hama yang meyerang tanaman mereka jika tidak membeli obat dengan harga mahal. Para petani sudah pengalaman bahwa obat yang mahal harganya ternyata lebih baik dan bisa membunuh hama dengan cepat. Ironisnya yang saya dengar dari petani sendiri, obat-obat yang mahal itu bisa membunuh hama penyerang tanamannya sekaligus membunuh hewan-hewan yang semestinya menjadi penunjang bagi keberlangsungan kehidupan tanamana mereka, seperti katak-katak kecil, cacing tanah dan hewan-hewan lain yang seharusnya tidak ikut mati.

Sedangkan mengenai masalah harga yang tidak terjangkau, pemerintah harus turun tangan membereskan kejahatan mafia industri obat-obatan bagi pertanian yang sengaja mencari untung sebesar-besarnya tanpa mengindahkan efek dari lingkungan akibat produk yang dihasilkan mereka. Para akademisi yang nantinya bergerak dibidang industri obat-obatan pembasmi hama tanaman

juga harus diperhatikan. Jika perlu memberikan alokasi dana yang besar untuk melakukan riset dan kajian-kajian yang mendalam bagaimana menghasilkan obat yang aman bagi lingkungan yang menjadi media bagi kelangsungan industri pertanian. Juga harus berani memberikan kesejahteraan lebih bagi para insinyur-insinyur terbaik yang menyumbang lebih banyak dibidang pertanian.

Ketiga, Masalah kelangkaan pupuk sebenarnya hanyalah

sandiwara yang sudah diketahui umum. Pupuk yang disediakan pemerintah tidak terdistribusi dengan baik dikarenakan ulah nakal para distributor dan kentalnya kong kalikong antara penegak hukum dan para distributor penimbun pupuk. Jika memang pemerintah serius mengatasi masalah kelangkaan pupuk dan pemalsuan pupuk maka harus berani jika perlu membentuk satgas mafia industri perpupukan Indonesia.

Melihat kenyataan diatas, mungkin kita tidak perlu ikut campur terlalu banyak dengan keadaan politik negara kita. Sudah banyak orang yang akan mengurusnya. Lebih baik kita peduli dengan keadaan petani kita. Karena sudah tidak ada yang peduli lagi kepada mereka. Kita kaum muda yang mulai harus memperhatikannya. Agar dikemudian hari anak cucu kita tetap bisa melihat sawah, tetap tahu padi itu sepeti apa, beras itu asalnya dari mana. Dan agar anak cucu kita bisa menghargai usaha jerih payah nenek moyang. Karena Indonesia adalah titipan anak cucu kita. Bukan warisan nenek moyang. Perlu dibedakan dan dipahami artinya. Agar tidak salah dalam mengambil tindakan.

(5)

telah melakukan hal yang sangat baik untuk kehidupan rakyat Indonesia selanjutnya.

Ada Contoh bagus dari Bunga Amalia Safitri, anak muda dari Bali yang berkesampatan memberikan resentasi di 10 SMA tentang keadaan pertanian Indonesia di Belgia. Dia menceritakan keadaan sebenarnya tentang pertanian Indonesia. Luar biasa tanggapan anak muda disana. Mereka mau bekerja menjadi apa yang mereka mau dalam 1 hari, lalu upahnya mereka sumbangkan untuk program pertanian di Indonesia. Bayangakan mereka yang jauh disana, tidak mempunyai sawah, tidak pernah melihat sawah seperti apa, tidak tahu bertani itu seperti apa tapi mau membantu kehidupan petani di Indonesia.

Tulisan ini hanyalah sikap emosional saya terhadap “yang katanya” matinya petani indonesia. Maka mohon jangan dianggap sebagai sikap pembelaan terhadap petani, walaupun saya adalah anak petani. Para petani adalah orang-orang luar biasa yang sangat berjasa bagi keberlangsungan hajat hidup orang banyak, tanpa dibela pun mereka dengan ikhlas berusaha menyuburkan tanah mereka dan berusaha memberikan hasil tani terbaiknya untuk orang banyak. Karena manusia tidak akan bisa hidup tanpa petani. Apabila hal-hal diatas terlaksanan mungkin fenomena “menjadi buruh diladang sendiri” tidak akan terjadi dan saatnya diakhiri.

Aku hanyalah anak petani gurem. Lahir jauh dari peradaban kota. Disebuah kampung kecil yang masyarakat sebut kampung Pandansili. Disinilah aku dilahirkan. Ditengah-tengah hiruk-pikuk para petani yang berjuang untuk mencapai kesejahteraan. Daun tembakau, bulir-bulir padi, biji-biji jagung menjadi roda penggerak perekonomian masyarakat. Namun beberapa waktu lalu, terdengar kabar pembatasan produksi tembakau. Sungguh berita tersebut sangat menyayat masyarakat. Soalnya dari sekian tanaman yang dibudidayakan tembakaulah yang mampu memberikan nafas lebih dari tanaman yang lain. Dengan tembakaulah masyarakat dapat bertahan hidup lebih lama. Walaupun lahan pertanian dikampung kami tak begitu besar, namun menjadi harapan satu-satunya masyarakat.

Aku ingin menengok kebelakang. Mengenang masa kecilku dulu. Mengenang masa-masa bermain dengan lumpur dan tanaman itu. duapuluh tahun yang lalu atau lebih aku masih kecil. Aku

masih duduk di bangku SD. Aku belum mengenal mengenai bertani. Walaupun bapakku seorang petani. Walaupun kakek dan seluruh keluarga besarku seorang petani. Namun lembat laun seiring berjalannya waktu aku mulai terjun. Aku mulai turun. Aku mulai merasakan hidup sebagai petani.

(6)

Andai saja mereka saudara-saudaraku para petani yang selalu setiap menghidupi rakyat negeri kehidupannya lebih sejahtera. Maka itu adalah puncak kepuasan dari sebuah perjalanan hidup petani. Itulah puncak segalanya hidup mereka. Walaupun kini mereka masih berkutat dengan berbagai kendala mulai mahalnya harga pupuk, rendahnya harga hasil panen, minimnya peran pemerintah tak membuat mereka patah arang. Semoga saja mereka saudaraku semua tetap bertahan menjadi petani dan semoga kesejahteraan akan segera datang sebagai puncak kenikmatan hidup sebagai petani.

Ada pameo yang mengatakan: ”kalau ingin hidup tentram jadilah petani, kalau ingin dihormati jadilah pegawai negeri, dan kalau ingin kaya jadilah pedagang” Nampaknya kini pomeo tersebut sudah tidak sepenuhnya berlaku. Kehidupan petani jauh dari kesan tentram dan sejahtera. Bahkan menurut Sastraatmadja (2006) petani hidup dalam suasana ketertinggalan dengan kondisi kehidupan yang mengenaskan. Kita yang selalu bangga mengklaim diri sebagai bangsa agraris dan atau negara maritim, ternyata setelah sekian lama membangun, masih belum meraih kemakmuran dari kedua bidang tersebut. Impor beras dan produk- produk pertanian lainnya masih saja terjadi.

Kesan kuat yang muncul sekarang ini adalah bahwa petani merupakan profesi inferior, dan sektor pertanian identik dengan sektor marjinal. Kesan tersebut tidak sepenuhnya salah karena data secara umum menunjukkan hal tersebut. Padahal pada tahun 1970-an 1970-antara kesejahtera1970-an pet1970-ani deng1970-an kesejahtera1970-an tenaga kerja industri tidak begitu jauh berbeda. Namun kini, keadaan tidak lagi berpihak pada petani. Industri melaju jauh lebih cepat dibandingkan sektor pertanian. Serapan tenaga kerja pertanian memang bertambah, namun kalau sektor pertanian lebih banyak dijejali dengan petani gurem maka sektor pertanian akan menjadi penyumbang kemiskinan yang signifikan. Dalam periode 10 tahun antara 1993-2003 jumlah petani gurem yang semula 10,8 juta telah bertambah menjadi 13,7 juta orang. Oleh karenanya kesejahteraan petani hingga kini masih merupakan mimpi. Pada tahun 2002 dari total penduduk miskin di Indonesia, lebih dari separonya adalah petani yang tinggal di pedesaan. Jumlah rumahtangga pertanian pada tahun 2003 adalah 24,3 juta, sekitar 82,7% di antaranya

termasuk kategori miskin. Demikian juga data persentase penduduk miskin usia 15 tahun keatas menurut provinsi/kabupaten/kota dan sektor bekerja pada tahun 2003 (BPS, 2004) menunjukkan prosentase terbesar penduduk miskin hampir di seluruh kabupaten/provinsi adalah bekerja di sektor pertanian.

Sektor pertanian terus saja terpuruk, sehingga nasib petani tak kunjung sejahtera. Pendapatan keluarga petani disinyalir hanya Rp 500 ribu per bulan sehingga kemiskinan petani menjadi masalah kronis yang sulit terpecahkan. Ketua HKTI pernah mengkritisi kebijakan pertanian yang belum konsisten antar instansi. Contohnya adalah penetapan harga dasar gabah. Kebijakan Deptan untuk menetapkan harga dasar gabah adalah untuk mensejahterakan petani, namun di tempat lain Deperindag membuka kran impor beras sehingga petani tak bisa menikmati harga dasar yang telah ditetapkan pemerintah. Sementara Bulog belum berperan sebagaimana yang diharapkan sebagai penyangga harga gabah dan mengamankan harga beras. Selain itu nasib petani semakin tidak menentu karena bencana alam seperti banjir atau kekeringan yang menyebabkan hancurnya persawahan Tampaknya nasib petani Indonesia belum secerah yang diharapkan, mereka harus rela hidup prihatin entah sampai kapan.

Besarnya angka kemiskinan di sektor pertanian, mungkin juga berkaitan dengan kemampuan pertanian sebagai buffer pengangguran. Di masyarakat, mata pencaharian sebagai petani kadang digunakan sebagai perlindungan dari status pengangguran. Daripada disebut nganggur, ya mendingan bekerja di pertanian, walau dengan ala kadarnya dan dengan curahan waktu dan kapasitas yang sangat minimal. Hal tersebut turut menjelaskan laporan dalam World Development Report 2003, dimana penduduk desa yang tinggal di area “fragile” (dan umumnya bermata pencaharian petani), meningkat dua kali lipat dalam 50 tahun ini.

Telah banyak dilakukan penelitian dan kajian faktor-faktor yang mempengaruhi keterpurukan petani. Salah satu diantaranya adalah kesulitan pembiayaan usahatani dan kebutuhan dana cash

(7)

bargaining position lagi. Demikian halnya dengan rendahnya produktivitas petani kecil sebagai konsekuensi beragam masalah seperti keterbatasan sumber daya manusia petani, penyusutan luas lahan produksi, tidak memadainya sarana produksi dan prasarana yang dibutuhkan usaha tani yang efisien, dan berbagai masalah lainnya. Merujuk World Development Report 2003, penduduk desa miskin yang umumnya petani berhadapan dengan beberapa

tantangan yang mempengaruhi potensi pembangunan/

perkembangannya yaitu : 1) terbatas bahkan rusaknya sumberdaya alam, 2) terbatasnya kebijakan dalam pengembangan teknologi produksi dan proses “secondary crops”, 3) jeleknya infrastruktur (transportasi, komunikasi, energi) dan tidak memadainya perhatian dari institusi pembangunan (pendidikan, kesehatan, investasi), 4) marjinalnya Social budaya (kekuasaan, suara, hak tanah, tenure) dan terbatasnya kesempatan ekonomi lokal (pertanian, off-farm, kesempatran kerja di kota). Demikian banyak permasalahan yang dihadapi petani kecil dan miskin, menyebabkan kedaulatan petani semakin jauh dan sepertinya masih sekedar wacana dan angan-angan.

Dibalik kuatnya kesan keterpurukan kehidupan petani, dalam kenyataannya di lapang terdapat sekelompok petani yang maju dan hidupnya sejahtera. Namun karena jumlahnya yang relatif sedikit, keragaan sekelompok petani maju tersebut seakan-akan seperti sebuah penyimpangan yang positif (meminjam istilah yang berkembang dalam penelitian pertumbuhan dan perkembangan psikososial anak "positive deviance”). Bayangan yang segera muncul dalam mengasosiasikan petani sukses adalah kepemilikan lahan yang luas. Padahal tidak semuanya demikian. Petani ikan hias atau petani tanaman hias terkadang memiliki lahan yang relatif sempit atau tidak jauh berbeda dengan petani tanaman pangan pada umumnya, namun bisa memberikan keuntungan yang jauh lebih besar. Bagi petani maju, kepemilikan lahan yang luas bisa disebabkan baik karena kemampuannya mempertahankan asset yang sudah dimiliki dan diturunkan keluarga besar (warisan) sebelumnya, dan atau kemampuan mengembangkan dan menambah luasan kepemilikan lahan sebagai konsekuensi keberhasilan usahataninya. Kedua penyebab tersebut sama-sama

berkaitan dengan kemampuan manajerial usaha pertanian sebagaimana pengelolaan bisnis-bisnis lainnya.

Pada umumnya petani maju memiliki visi yang lebih baik berkaitan dengan usahataninya; bahwa menjalankan usaha pertanian bukan hanya kegiatan usaha rutin yang harus dijalani, melainkan sebagai pilihan hidup yang membutuhkan kreativitas dan prasyarat bisnis lainnya. Para petani maju adalah mereka yang berani menanggung resiko dan mampu keluar dari situasi yang membelenggu dinamika dan kreativitas usaha. Mereka menjalankan usaha tani sebagaimana bisnis lainnya dengan prinsip-prinsip bisnis, dan bukan semata menjalankan usahatani sebagai kegiatan budaya terkait dengan kegiatan turun temurun yang telah dilakukan nenek moyangnya. Pengamatan secara acak menunjukkan bahwa petani maju dan sukses kebanyakan yang bergerak dalam usaha pertanian yang memiliki kekhasan seperti tanaman hias, ikan hias, komoditas perkebunan seperti karet, kopi, lada, atau petani yang mengelola lahannya dengan beragam komoditas yang memiliki nilai jual yang baik. Hal tersebut berbeda dengan para petani tanaman pangan yang menunjukkan keterampilan pengelolaan usahatani yang sangat beragam. Karena besarnya prosentase petani Indonesia yang mengusahakan pertanian tanaman pangan, maka jumlah petani miskin banyak yang bergerak di sektor ini.

Pertanian adalah kegiatan usaha yang sama saja dengan usaha lainnya, di dalamnya bekerja kaidah-kaidah bisnis seperti pengambilan keputusan, pengelolaan sumberdaya, tuntutan untuk menciptakan nilai tambah, ke-uniq-an produk, kepioniran, juga dinamis. Jika kaidah tersebut dijalankan maka pertanian dapat mensejahterakan petaninya. Beberapa contoh aplikasi kaidah bisnis tersebut antara lain adalah :

Menuntut daya inovasi, kepioniran, juga keunikan. Hal tersebut ditunjukkan oleh kisah sekelompok pemuda yang pertama kali memperkenalkan buah Melon di Indonesia tahun 1980-an. Juga kisah petani yang pertama mengintroduksi kultivar baru tanaman hias Aglonema di tahun 2000-an. Daya inovasi dan kepionirannya berbuah kesejahteraan bagi yang bersangkutan.

(8)

sumberdaya untuk memperoleh nilai tambah. Keberhasilan optimal akan diperoleh jika pengelolaan dilakukan dengan efisien, produktivitas yang tinggi dan nilai tambah yang tinggi pula.

Menuntut kemampuan leadership dan manajerial. Pertanian dalam skala yang paling kecil sekalipun tidak dapat dikerjakan sendiri, tetapi harus dikerjakan oleh lebih dari satu orang, sehingga mebutuhkan kemampuan leadership dan managerial si petaninya. Pada skala yang lebih besar kemampuan tersebut akan lebih menonjol dan menjadi salah satu faktor kunci keberhasilan. Leaderhip dibutuhkan dalam mengelola para pekerja yang digunakan. Manajerial dibutuhkan untuk mengelola semua sumberdaya yang dikerahkan mulai dari managemen personalia, keuangan, pemasaran, produksi, persediaan dan sebagainya. Butuh informasi akurat dan teknologi. Bagi petani /pelaku bisnis pertanian, disamping kemampuan penguasaan teknologi budidaya, pasca panen dan pengolahan, juga dituntut penguasaan atas informasi yang akurat. Bagi komoditas hortikultura (sayuran) yang perubahan harganya harian, informasi harga sangat penting bagi penentuan waktu panen dan tanam.

Oleh karena itu, salah satu masalah sekaligus tantangan pembangunan pertanian selama ini adalah bagaimana meningkatkan keterampilan petani agar mengimplementasikan kaidah bisnis dalam usahataninya. Peningkatan keterampilan usahatani petani dapat dilakukan baik melalui penyuluhan pertanian maupun melalui peningkatan keterpaparan petani terhadap informasi pembangunan pertanian. Dengan demikian petani dapat mengambil keputusan penting terkait komoditas pertanian yang layak diusahakan, karena diprediksi akan memberi keuntungan yang besar serta resiko yang terkontrol.

Rembang Desember 2012

DAFTAR ISI

Bab I: Pendahuluan

A. Obyek penelitian

B. Alasan memilih obyek dampingan C. Kondisi subyek dampingan saat Ini

D. Kondisi subyek dampingan yang diharapkan E. Staregi yangdilakukan

Bab II: Memperjuangkan Nasib: Deskripsi Keberadaan Petani Padi dan Petani Tebu dalam Belenggu Kemiskinan

A. Nasib petani padi: kemiskinan di lumbung pangan 1. Tanah subur petani tak makmur: belajar dari Pak

Sukardi

2. Belajar dari kisah petani miskin

3. Kemiskinan Petani ditengah kenaikan produktifitas padi

B. Nasib petani tebu: tak semanis yang diharapkan C. Beragam upaya pemberdayaan dari belenggu

kemiskinan

Bab III: Mengutuk Diri Menjadi Petani: Telaah terhadap Realitas Kehidupan Petani Gurem Lahan Marginal Pegunungan Surojoyo Kabupaten Rembang

A. Petani Gurem: Tipologi Masyarakat Tepi Hutan B. Diagnosis Kemiskinan Masyarakat Tepi Hutan

1. Konsep Kemiskinan

2. Gambaran Umum

3. Permasalahan Kemiskinan 4. Kegagalan Pemenuhan Hak Dasar

a. Terbatasnya Kecukupan dan Mutu Pangan b. Terbatasnya Akses dan Rendahnya Mutu

Layanan Kesehatan

(9)

d. Terbatasnya Kesempatan Kerja dan Berusaha e. Terbatasnya Akses Layanan Perumahan f. Terbatasnya Akses Terhadap Air Bersih g. Lemahnya Kepastian Kepemilikan dan

Penguasaan Tanah

h. Memburuknya Kondisi Sumberdaya Alam i. Kurangnya Keamanan dan Ketertiban Umum j. Lemahnya Partisipasi

k. Ketidaksetaraan dan Ketidakadilan Gender C. Isu Strategis

Bab IV: Upaya Pemberdayaan Ditengah Konversi dan Eksploitasi Lahan sebagai Imbas Dari Kapitalisme Tebu

Bab V: Collective Parming: sebagai Alternatif Strategi Pemberdayaan

Bab VI: Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN

Selama ini kita hanya memahami bahwa, petani adalah produsen pangan. Kalau direnungi mendalam, kenyataan tidak sesederhana itu. Di tengah mainstream penafsiran produsen pangan, petani sebenarnya konsumen. Seluruh tahapan proses produksi petani jadi konsumen sejati. Sebelum olah tanah, petani membeli benih (padi), setelah olah sawah, petani membeli segala jenis pupuk. Hingga tahap pertumbuhan padi, petani membeli segala macam obat-obatan, pestisida1 sampai insektisida2. Petani

juga pangsa pasar aktif, jadwal konsumsinya jelas dan pasti. Menggiurkan bagi perusahaan saprotan (sarana produksi pertanian). Tak ada proteksi signifikan terhadap petani selaku konsumen. Pupuk, komoditas paling banyak menguras modal, meski telah disubsidi, kenyataan petani tak pernah menikmatinya. Di sentra pangan, pupuk sampai ke tangan petani, selalu lebih mahal. Subsidi hanya dinikmati pedagang di rantai distribusi pupuk. Belum lagi benih yang "nir-subsidi", juga obat-obatan. Proses transaksi sepenuhnya liberal, produsen seenaknya menaikkan harga. Perusahaan saprotan berpikiran, bila petani tidak membeli, dengan apa hama sundep, kelep atau wereng cokelat yang menyerang sawah diberantas. Petani jelas tak mau kehilangan momen satu-satunya yang jadi andalan, ialah panen. Apakah

1Pestisida adalah substansi kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang digunakan untuk mengendalikan berbagai hama, yang dimaksud hama di sini adalah sangat luas, yaitu serangga, tungau, tumbuhan pengganggu, penyakit tanaman yang disebabkan oleh fungi (jamur), bakteria dan virus, kemudian nematoda (bentuknya seperti cacing dengan ukuran mikroskopis), siput, tikus, burung dan hewan lain yang dianggap merugikan. Pestisida juga diartikan sebagai substansi kimia dan bahan lain yang mengatur dan atau menstimulir pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman. Sesuai konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT), penggunaan pestisida ditujukan bukan untuk memberantas atau membunuh hama, namun lebih dititiberatkan untuk mengendalikan hama sedemikian rupa hingga berada dibawah batas ambang ekonomi atau ambang kendali.

(10)

setelah panen petani senang. Tidak demikian. Memang ada proteksi harga dasar (HD), tetapi mekanisme pasar bebas yang mengepung HD jauh lebih kuat hingga gabah tetap saja berharga rendah. Dominasi mafia gabah lebih ampuh dalam memainkan harga. Kapan harga dikerek dan kapan harus dibanting, mereka lebih paham, dan memiliki instrumen riil di lapangan.

Liberalisme di sektor pertanian penyebab petani tak memiliki posisi tawar. Dalam proses produksi pangan, kewenangan terbatas di lingkup on-farm, sedangkan off-farm3, sepenuhnya di luar kuasa

petani. Belum lagi ketimpangan sosiologi, bahwa apa yang disebut petani kenyataannya buruh tani. Modal produksi cuma tenaga, sedangkan tanah, sepenuhnya milik tuan tanah yang punya gabah menumpuk tanpa sebercak pun lumpur sawah mengotori bajunya. Proses produksi pertanian tak ubahnya industri manufaktur. Ada buruh dan pemilik modal. Buruh jual tenaga lalu dibayar, pemilik modal mutlak memegang policy perusahaan. Hal sama pada buruh tani. Celakanya, tidak ada undang-undang yang memproteksi "hubungan industrial" di petak-petak sawah berlumpur itu, termasuk dalam kapasitas petani (buruh tani) sebagai konsumen.

Berdasarkan lapangan pekerjaan, dari 95,5 juta penduduk yang bekerja, sekitar 42,05% dari mereka bekerja di sektor pertanian. Sektor-sektor lain yang cukup besar peranannya dalam penyerapan tenaga kerja di antaranya sektor perdagangan (20,13%), industri (12,46%) dan jasa (11,90%). Di negara yang

3 Kegiatan on farm yaitu usaha budidaya tanaman dilakukan petani pada musim hujan, sedangkan pemeliharaan ternak dilakukan secara tidak intensif. Kegiatan of farm yang umum dilakukan yaitu sebagai buruh tani di lahan kering pada musim hujan sedangkan pada musim kemarau menjadi buruh tani di lahan sawah. Kegiatan non farm yang umum dilakukan petani adalah sebagai tukang, buruh bangunan dan menjadi TKI ke luar negeri. Allokasi waktu yang digunakan petani untuk kegiatan on farm lebih sedikit dibandingkan kegiatan of farm dan non farm. Di bidang on farm yaitu dalam hal budidaya tanaman, petani umumnya tidak bertanam secara monokultur tetapi lebih banyak bertanam secara tumpangsari. Jenis tanaman yang ditumpangsarikan umumnya yang memiliki umur panen berbeda atau tanaman tersebut sengaja ditanam dengan waktu tanam yang berbeda sehingga waktu panennya berbeda pula. Teknik bertanam ini merupakan strategi petani untuk mendapatkan sumber pendapatan berkesinambungan selama satu tahun disamping mengurangi resiko kegagalan panen karena ketidak pastian curah hujan

didominasi penduduk yang menggantungkan ekonominya pada sektor pertanian (baik secara langsung maupun tak langsung) ini, sektor pertanian ibarat "benang kusut". Carut-marutnya problem pertanian di Indonesia tak menemui ujung dan pangkal. Kompleksnya permasalahan menempatkan petani pada strata masyarakat yang lemah dari jaman ke jaman. Selama itu pula, petani selalu hanya menjadi objek dalam setiap peristiwa politik dan "pembangunan". Sebagai objek, petani selalu ditempatkan pada posisi tidak menguntungkan dalam setiap kondisi. Pada saat musim penghujan datang (air melimpah dan banjir) petani harus merugi karena tanamannya rusak. Begitu musim kemarau tiba kondisi juga tidak membaik, petani dihadapkan pada kekeringan yang membuat menurunnya tingkat produksi atau bahkan gagal panen karena puso. Hal yang sama terjadi pada persoalan harga produk pertanian, terutama padi. Pada saat produktivitas tinggi, petani berharap mendapat untung. Nyatanya saat produksi melimpah harga pun jatuh. Lebih buruk lagi saat produktivitas kurang yang berarti stok pangan menipis. Harga yang tinggi justru menimbulkan masalah karena mayoritas petani kita (75 persen) hanya buruh tani atau petani gurem dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar4

yang merupakan net consumer (mengonsumsi lebih banyak daripada yang dihasilkan).

Fenomena yang sama terjadi pada masalah saprodi atau asupan pertanian. Pada saat harga saprodi (pupuk, bibit, pestisida) mahal dan distribusi kurang, petani tidak dapat menjangkau. Ironisnya saat petani kita mampu menghasilkan sendiri bibit/benih unggul dengan harga murah, justru mereka dihadapkan dengan masalah baru di "meja hijau" dengan dalih hak paten. Ujungnya bisa ditebak, argumentasi sederhana dari orang sederhana seperti petani jarang menang bertarung pendapat dalam logika hukum yang berpihak pada pemodal. Seringkali justru terjadi kriminalisasi kepada rakyat sebagai korban sehingga menimbulkan trauma

(11)

psikologis. Fakta lain paling mutakhir petani juga dihadapkan pada persoalan semakin meyempitnya lahan pertanian. Nyatanya ada sekitar 120.000 hektar lahan pertanian beralih fungsi pada setiap tahunnya.

Me-review sejarah panjang pertanian di negeri ini, membuat kita mendapatkan gambaran (meski tidak lengkap) tentang berbagai persoalan yang dihadapi petani dari jaman ke jaman. Beberapa persoalan tersebut dapat dikategorikan dalam beberapa simpul, diantaranya adalah:

Pertama, salah satu persoalan pokok dalam pembangunan pertanian di Indonesia adalah sempitnya rata-rata penguasaan lahan oleh petani, sehingga petani tidak dapat melakukan produksi pertanian secara efisien. Termasuk beberapa program yang dijalankan pemerintah melalui Kementrian Pertanian juga kurang berjalan. Ini merupakan problem mendasar yang dialami oleh kaum tani di Indonesia. Kepemilikan lahan kecil sangat susah untuk memacu penghasilan dan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tahun 1993-2003, rata-rata luas lahan pertanian turun dari 0,80 ha menjadi 0,72 ha. Di Jawa, rata-rata luas lahan pertanian turun dari 0,47 ha menjadi 0,38 ha. Akibatnya, jumlah petani gurem, yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha, meningkat 2,17 persen per tahun, jumlahnya 13,3 juta rumah tangga tahun 2003. Ini berarti bahwa lebih dari 55% rumah tangga pengguna lahan adalah kategori petani gurem. Penyempitan lahan pertanian selain karena penambahan jumlah rumah tangga tani juga karena industrialisasi dan konversi lahan. Celakanya, struktur petani di Indonesia didominasi oleh pemilik lahan sempit itu. Hasil penelitian Departemen Pertanian pada tahun 2000 menunjukkan bahwa 88 persen rumah tangga petani hanya menguasai lahan sawah kurang dari 0,5 ha. Dengan luas lahan ini, petani hanya mendapatkan keuntungan semusim berkisar antara Rp 325.000 hingga Rp 543.000, atau hanya Rp 81.250 hingga Rp 135.000 per bulan (Kompas, 21/5/2002). Jika setiap rumah tangga petani memiliki anggota keluarga lima orang, maka pendapatan per kapita komunitas petani hanya sekitar Rp 25.000 per bulan atau setara dengan Rp 300.000 per tahun (pendapatan ini bahkan lebih rendah dari tingkat upah minimum per bulan yang diterima oleh tenaga kerja di sektor formal).

Kedua, masalah ketersediaan dan keterjangkauan saprodi (pupuk, bibit, pestisida). Banyaknya kebocoran dalam sistem distribusi selalu menyulitkan petani untuk mendapatkan pupuk dengan mudah dan harga terjangkau. Padahal, saat ini petani kita sudah terlanjur tergantung dengan penggunaan pupuk kimia, pestisida, dan herbisida akibat program revolusi hijau yang dipaksakan oleh pemerintah Orde Baru. Jika ada yang memulai kembali ke sistem pertanian organik, petani masih dihadapkan pada persoalan pasar.

Ketiga, lemahnya peran pemerintah dalam memberikan proteksi terhadap petani. Jika ada upaya untuk itu, pemerintah seringkali memberikan program yang tidak tepat. Baik waktu, sasaran, dan kebutuhan terutama dalam peningkatan infrastruktur. Hal ini diperparah dengan liberalisasi impor beras yang telah memukul produksi petani dalam negeri, sehingga keuntungan yang mereka dapatkan hampir tidak ada. BPS mencata penuruan NTP (Nilai Tukar Petani) pada tahun 2006 hingga sebesar 15,55% yang disebabkan oleh kenaikan biaya produksi pertanian tidak diimbangi dengan jaminan harga di pasar. Salah satu pendorong dari liberalisasi perdagangan dunia adalah World Trade Organization (WTO), dimana Indonesia merupakan salah satu negara anggotanya. Dengan menjadi anggota WTO, Indonesia harus tunduk atas aturan di dalamnya, yang mengikat secara hukum (legally binding). Dalam konteks pertanian, negosiasi WTO tertuang dalam Agreement on Agriculture (AOA). Negara kaya sangat kuat mengendalikan AOA untuk kepentingan pasar mereka dan sesungguhnya yang terjadi adalah perdagangan yang tidak adil. Pemerintah Indonesia tidak berani mengambil resiko berhadapan dengan kepentingan negara maju dalam melinduangi dan membuka akses perdagangan yang menguntunkan untuk produk pertanian.

(12)

Kelima, permainan harga oleh tengkulak dan pemodal yang merugikan petani. Tingginya kebutuhan hidup dan kebutuhan produksi yang dialami petani memaksa petani harus terjerat sistem ijon. Akibatnya petani tidak mempunyai kedaulatan dalam menentukan harga. Tengkulak dan para pemodal-lah yang memegang rule game pasar

Keenam, rendah dibidang teknologi, membuat petani masih mengolah pertanian dengan cara-cara konvensional yang sangat tidak efisien, boros tenaga kerja, dan butuh waktu lama. Penyebab mahalnya teknologi pertanian adalah karena ketidakmanpuan pemerintah dalam menemukan dan menciptakan teknologi untuk pertanian. Sekolah-sekolah pertanian dan fakultas pertanian yang ada tidak dibekali karakter kerakyatan, sehingga kalaupun ada temuan teknologi mereka tidak segera dimassalkan tetapi malah di jual kepada korporasia. Mestinya, untuk meningkatkan produktifitas pertanian pemerintah membantu menfasilaitasi petani dengan pengadaan teknologi murah. Caranya bisa dengan memberikan subsidi kepada petani agar sanggup beli, atau menurunkan bea-impor teknologi pertanian agar harganya lebih murah dan bisa dijangkau5.

5 Sebagai perbandingan model pertanian Taiwan dapat di jadikan contoh. Salah satu model yang patut dijadikan acuan adalah soal kecilnya gap antara sektor pertanian dan sektor industri dan jasa. Walaupun sebagian besar rumah petani di Taiwan memiliki lahan kurang dari 1 hektar (46,9% dari total petani tergolong pemilik lahan kurang dari 0,5 hektar, dan 28 % tergolong pemilik lahan kurang dari 1 hektar), petani Taiwan tidak merasa berada pada posisi social yang rendah dalam struktur sosial-ekonomi Taiwan. Mereka tidak perlu merasa terpaksa menjadi petani. Sebabnya, antara lain, adalah, karena mereka sangat berkesempatan mengoptimalkan penggunaan jam kerja untuk mendapatkan penghasilan yang tinggi dengan tidak bergantung seratus persen pada kegiatan usaha tani tersebut. Seperti petani di negeri manapun, mereka masih punya waktu luang yang cukup banyak di luar kegiatan bertani. Bedanya, sistem ekonomi Taiwan memberi lapangan kerja nonpertanian yang cukup luas karena dari segi lokasi usaha pertanian, industri, jasa dan sebagainya tumbuh berdampingan di berbagai wilayah. Di dalam kota Taipei sekalipun, kecuali di kawasan inti pusat bisnis, kita akan melihat orang Taiwan menggunakan lahan sekecil apapun untuk menanam tanaman produktif. Mengapa keserasian social-ekonomi ini bisa terwujud? Pertama, sejak tahun 1950-an para pemimpin pendahulu mereka sudah merancang dan terus menyempurnakan adminsitrasi pertanahan yang efesien untuk menampung semua fungsi. Kedua, kebijakan pendidikan terhadap

anak-Ketujuh, tidak cukup modal bagi petani untuk mengembangkan pertaniannya. Pemerintah memang beberapa tahun menyediakan KUT kepada petani tetapi dilapangan KUT banyak di korupsi dan kalaupun sampai di tangan petani dikenai syarat-syarat pemimjaman yang berat, sehingga petani enggan menggunakan KUT. Mayoritas petani (85 persen) bergantung pada modal sendiri untuk membiayai pertaniannya. Hanya tiga persen mendapat kredit bank, dua persen kredit nonbank, dan 10 persen kredit lain. Padahal, modernisasi pertanian menuntut biaya lebih besar. Banyak kasus menunjukkan bahwa akibat kurangnya modal yang dimiliki kaum tani, memaksa mereka mensiasati dengan pengelolaan sederhana yang tentunya berpengaruh pada kualitas dan kuantitas. Misalnya tanaman padi mestinya di berikan pupuk tiga kali tetapi banyak petani karena keterbatasan modal hanya sekali dan dua kali. Kenaikan harga BBM telah memicu kenaikan bahan-bahan dan alat kebutuhan untuk pertanian, kurangnya modal membuat petani mikir untuk mengolah lahannya, sehingga banyak diantara mereka yang malah menjual lahannya.

Kedelapan, lemahnya infrastktur lain seperti jalan raya, alat angkutan hasil pertanian, dan sistem pengairan. Lemahnya infrastuktur ini memaksa petani mengeluarkan biaya tinggi untuk memaksa hasil poduksinya laku dipasar. Selain itu, kelemahan infrastrktur seperti transfortasi yang menghubungkan produk pertanian dengan pasar membuka peluang bagi pedagang, penimbun, atau makelar untuk mematoka harga tinggi dan memainkan harga di kota. Padahal value yang di terima petani sungguh sangat kecil.

(13)

Realitas Memprihatinkan ini bisa kita bisa lihat dari sejarah kehidupan petani, dari jaman kerajaan dulu hingga era global sekarang. Pada zaman kerajaan dulu, petani bukan saja dijadikan sebagai tenaga kerja murah, bahkan gratis, tapi juga objek pajak. Misalnya pada zaman Kerajaan Majapahit, di satu pihak raja membebaskan tanah milik komunitas agama dari pajak, pada saat yang sama memungut pajak dan menuntut kerja rodi kepada warga desa. Bagi para petani yang mengurangi produksi pertaniannya, entah dengan cara apa, disamakan dengan pencuri yang gisa dihukum mati. Praktek seperti itu terus hingga masa penjajahan Belanda. Periode cultuurstelsel (tanam paksa) selama 1830-1870 adalah sisi lain lembaran hitam yang menghiasi sejarah kelam petani. Sistem tanam paksa menyebabkan kesengsaraan luar biasa pada rakyat (para petani) di Pulau Jawa. Demikian pula pada jaman Jepang, meski tidak lama, tapi kesannya mendalam. Petani diharuskan menyerahkan hasil bumi, sementara tenaganya diperas sebagai pembantu tentara (heiho) dan romusha. Kebijakan kolonial Hindia Belanda (1619-1942) adalah membawa produk pertanian dari Jawa yang subur ke pasar dunia, di mana produk-produk tersebut sangat dibutuhkan dan laku, tanpa mengubah secara fundamental struktur ekonomi pribumi. Namun, pemerintah kolonial tak pernah berhasil mengembangkan ekonomi ekspor secara luas di pasar dunia, seperti halnya Inggris pada masa yang sama, sehingga kepentingan utama Pemerintah Belanda tetaplah bertumpu pada koloninya: Hindia Belanda. Upaya pemerintah kolonial untuk meraih pasar internasional adalah mempertahankan pribumi tetap pribumi, dan terus mendorong mereka untuk berproduksi bagi memenuhi kebutuhan pasar dunia. Keadaan ini mewujudkan struktur ekonomi yang secara intrinsik tidak seimbang, yang oleh JH Boeke (1958) disebut dualisme ekonomi.

Pada sektor domestik, ada satuan pertanian keluarga, industri rumah tangga, dan perdagangan kecil. Kalau pada sektor ekspor terjadi peningkatan yang dipicu oleh harga komoditas dunia, maka sektor domestik justru mengalami kemerosotan dan kemunduran. Tanah dan petani semakin terserap ke sektor pertanian komersial yang dibutuhkan Pemerintah Hindia Belanda untuk perdagangan dunia. Akibatnya adalah semakin meningkatnya populasi petani yang berupaya melakukan kompensasi penghasilan uang-hal ini

semakin dimantapkan menjadi kebiasaan-dengan intensifikasi produksi pertanian subsisten. Proses pemiskinan di pedesaan Jawa dijelaskan Geertz dalam konteks ini. Kemiskinan di Jawa adalah produk interaksi antara penduduk pribumi (petani di Jawa) dan struktur kolonial pada tingkat nasional dalam konteks politik-ekonomi. Adapun keterkaitan proses pemiskinan dan tesis involusi pertanian di Jawa, dijelaskan Geertz sebagai suatu pola kebudayaan yang memiliki suatu bentuk yang definitif, yang terus berkembang menjadi semakin rumit ke dalam. Pertanian dan petani Jawa secara khusus, dan kehidupan sosial orang Jawa secara umum, harus bertahan untuk menghadapi realita meningkatnya jumlah penduduk dan tekanan kolonial melalui proses kompleksifikasi internal. Ketika negara kita sudah merdekapun, nasib petani tetap saja menyedihkan. Pada periode pemerintahan Presiden Soekarno, para petinggi negara lebih sibuk mengurus politik. Nasib petani diabaikan. Memang ada yang cukup menggembirakan, yakni disahkannya UU Pokok Agraria pada 1960 dan UU Pokok Bagi Hasil. Sayangnya, kedua UU tersebut sampai sekarang belum bisa dilaksanakan. Parahnya lagi, pada masa Orde Lama, kemiskinan petani justru dijadikan lahan subur oleh Barisan Tani Indonesia (BTI) yang jadi onderbouw PKI. Akibatnya apa, pada saat peristiwa G 30 S/PKI meletus, petanilah yang paling banyak jadi korban.

(14)

mengecilnya proporsi pembagian bawon oleh penderep, perubahan sistem bawon ke tebasan, hingga panen di waktu malam.

Tekanan ekonomi yang tinggi di satu sisi, dan melonggarnya ikatan sosial di sisi lain, mengakibatkan "terlontarnya" petani kecil dari pedesaan dalam bentuk rural-urban migration. Maka berbondong-bondonglah orang desa (petani) ke kota, yang pada gilirannya menimbulkan persoalan baru bagi kota. Dari sisi mikro, keterpurukan kehidupan para petani padi itu terkait dengan pilihan kebijakan pembangunan ekonomi pada masa itu yang lebih berpihak pada industri yang bersifat high-tech. Setelah reformasi berjalan, dari sisi kehidupan petani (terutama padi) tidak terjadi perubahan signifikan. Memang pemerintah telah mengeluarkan Inpres No. 9/2001 yang isinya antara lain menyangkut kebijakan harga dasar pembelian pemerintah (procurement price policy), yakni Rp 1.519 per kg gabah kering giling (GKG) atau Rp 2.470 per kg beras di gudang Bulog. Namun realitas di lapangan, jauh dari harapan. Karena daya beli Bulog terbatas, mekanisme harga sangat bergantung pada situasi wilayah masing-masing, yang pada umumnya seringkali di bawah harga dasar pembelian pemerintah. Di beberapa daerah sekarang sudah ada kecenderungan terjadinya subsistensi tahap kedua. Penanaman padi oleh petani didasarkan untuk kepentingan subsistensinya saja dan melanjutkan romantisme masa lalu. Malah sampai ada petani yang bilang, "Abdi mah melak pare teh pedah resep wungkul, da ari ngarepkeun untung mah moal aya". Dalam pengertian menanam padi itu hanya sebagai hobi, sedangkan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-harinya diperoleh dari kegiatan lain seperti off farm, non farm, atau bahkan migrasi sirkuler, mencari pekerjaan di daerah perkotaan. Untuk jangka panjang, jelas, kondisi seperti ini akan mempengaruhi produksi padi nasional.

Memang dari dulu tidak ada sejarahnya petani melakukan perlawanan atau revolusi, sekalipun mereka berada pada posisi yang dirugikan, kecuali di Rusia dan Perancis. Tapi untuk Indonesia, kebungkaman petani ini perlu dilihat secara hati-hati. Mereka sebenarnya melakukan perlawanan, sebuah perlawanan khas Asia Tenggara sebagaimana dideskripsikan oleh desksipsi James C. Scott. Bentuk perlawanan bisa berupa mencuri sedikit demi sedikit misalnya dengan tidak mengembalikan KUT,

memperlambat kerja, berpura-pura bodoh, pura-pura sakit, di depan berkata "ya", tapi di belakang malah mengumpat dan menjatuhkan nama baik.

Masyarakat petani banyak yang tergolong masyarakat miskin karena berbagai faktor dan keterbatasan, diantaranya yang utama adalah :

a. Sebagian petani miskin karena memang tidak memiliki faktor produktif apapun kecuali tenaga kerjanya (they are poor becouse they are poor).

b. Luas lahan petani sempit dan mendapat tekanan untuk terus terkonversi.

c. Terbatasnya akses terhadap dukungan layanan pembiayaan. d. Tidak adanya atau terbatasnya akses terhadap informasi dan

teknologi yang lebih baik.

e. Infrastruktur produksi (air, listrik, jalan, telekomunikasi) yang tidak memadai.

f. Struktur pasar yang tidak adil dan eksploitatif akibat posisi rebut-tawar (bargaining position) yang sangat lemah.

g. Ketidak-mampuan, kelemahan, atau ketidak-tahuan petani sendiri.

Sebagai bentuk protes atas ketidak berdayaan dan sikap frustasi terhadap keberadaan eksisitensi dan nasib, banyak petani yang memilih jalan pintas demi kesenangan sesaat dengan mengkonversi dan meyewakan lahan pertanian mereka pada “bos-bos tebu” yang beberapa tahun terakhir ini gencar ekspansi lahan. Ini realitas yang saling menguntungkan. Bagi petani yang sudah jenuh dengan gagal panen dan belenggu kemiskinan, uang hasil sewa lahan pertanian mereka ke “bos-bos tebu” merupakan pelipur lara dan kenikmatan yang mungkin belum pernah dirasakan sebelumnya. Bagi “bos-bos tebu” juga diuntungkan karena mereka dapat mengkonversi ratusan hektar lahan pertanian ke tebu, ditengah kebutuhan gula nasional yang terus tak terpenuhi.

(15)

11000,00/kg namun pada kenyatannya keuntungan tersebut tidak dinikmati oleh semua kalangan pergulaan di Indonesia termasuk petani tebu dan pekerja pabrik gula. Masalah gula juga masih menjadi masalah pelik di Indonesia mengingat kebutuhan gula di Indonesia rata-rata sebesar 4 juta ton sedangkan produksi nasional hanya sekitar 2,3 juta ton saja sehingga sisanya harus diimpor dari luar. Impor gula inipun juga masih menjadi pro dan kontra karena kalangan petani dan industri gula menolak penjualan gula rafinasi di tingkat pengecer karena akan merusak harga gula lokal mengingat gula rafinasi hanya dijual Rp 6000 per kilogram. Dari segi harga, harga lelang tebu tahun ini yang mencapai Rp 11.040,-/kg naik hampir Rp 3.000 dibanding tahun lalu yang hanya mencapai Rp 8.400/kg. Persoalannya di saat harga lelang mahal areal tanam tebu berkurang akibat areal lahan yang biasanya digunakan sebagai perkebunan tebu kini kini dikonversi menjadi pemukiman dan area bisnis komersil yang lain.

Fenomea konversi lahan ini semakin gencar karena selama tiga tahun terakhir produksi gula nasional juga menurun. Data Dewan Gula Indonesia (DGI) terbaru menyebutkan, produksi gula nasional 2,3 juta ton turun dari perkiraan Juli 2011 sebesar 2,57 juta ton dan di bawah target pada 2011 yaitu 2,7 juta ton. Target swasembada gula pun terus mundur, dari tahun 2007, direvisi pada 2010, dan diundur lagi tahun 2014. Memang banyak masalah yang belenggu program swasembada gula. Persoalan paling utama adalah inefisiensi usaha tani tebu rakyat. Penggunaan tebu varietas lama, tebu rakyat yang dikepras berulang kali, dan teknik budidaya yang berorientasi bobot menyebabkan kuantitas dan kualitas tebu turun. Dana pembongkaran ratoon (pangkal tanaman tebu) minim. Di Jawa banyak konversi lahan tebu menjadi tanaman lain, karena kecilnya pendapatan petani. Mereka pindah ke komoditas yang menjanjikan hasil lebih. Kecilnya pasokan tebu rakyat inilah yang menyebabkan pabrik gula (PG) di Jawa Timur beroperasi hanya 4-5 bulan.

Industri gula adalah industri yang cukup tua di Indonesia karena sudah berdiri sejak abad 17 dan mencapai puncaknya pada tahun 1930-an dimana produksi saat itu adalah 3 jutan ton serta mengekspor gula hingga 2 juta ton ke luar Indonesia. Pada masa kolonial pemerintah Belanda memberika peluang pembukaan

pabrik gula serta sistem sewa tanah yang murah kepada penduduk lokal hingga 99 tahun untuk mengelola industri gula serta perkebunan tebu. Didukung oleh tenaga kerja yang murah serta alih konversi lahan pertanian kepada perkebunan gula maka produksi gula saat itu mencapai puncaknya namun setelah Indonesia merdeka mulai terjadi penurunan kuantitas dan kualitas industri gula. Dari data Proefstation Voor De Java Suikerindustrie – Jaargang 1934 rendemen tebu saat itu mencapai 11% namun saat ini rata-rata rendemen tebu hanya mencapai 7%. Secara garis besar ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemunduran industri gula di Indonesia yaitu: pertama, Penurunan lahan perkebunan tebu6,

saat ini lahan tebu yang ada di Indonesia mencapai 400.000 ha turun jika dibandingkan luasan tertinggi pada tahun 1996 yaitu 450.000 ha. Kedua, Penurunan produktivitas lahan, dengan produktivitas lahan 6 ton/ha maka kebutuhan gula di Indonesia masih perlu dibantu dengan impor. Penurunan ini banyak terjadi karena tidak adanya peremajaan secara berkala terhadap tanaman tebu serta kualitas bahan tanam yang kurang sebagai akibat fluktuasi harga gula nasional serta tidak adanya kepedulian pemerintah terhadap peningkatan rendemen tebu. Ketiga, Penurunan efisiensi pabrik gula, rata-rata pabrik gula di Indonesia yang berada di bawah BUMN PT. Rajawali Nasional Indonesia (RNI) adalah pabrik gula peninggalan Belanda dimana peralatan sudah cukup tua dan proses produksi tentu mengalami degradasi karena faktor usia. Tiga faktor dominan diatas adalah penyebab menurunnya produksi nasional sedangkan kebutuhan nasional akan

(16)

gula semakin meningkat terutama dengan munculnya industri makanan dan minuman serta kebutuhan gula untuk rumah tangga.

Sampai sekarang pun lahan-lahan tebu ini masing saling bersaing dengan tanaman pangan, yaitu dengan sawah-sawah yang mestinya ditanami padi dan palawija, di lahan-lahan kering atau tegalan yang juga biasa ditanami sayuran, kacang-kacangan, ubi-ubian, dan bahkan buah-buahan. Jadi lahan tebu yang 441.318 hektar tadi secara nasional, sebenarnya seluruhnya bersaing dengan lahan tanaman pangan lainnya. Dari sisi petani pun penerimaan dari usaha tani tebu juga sudah kalah dengan komoditi pangan lainnya. Hanya untuk petani yang tidak punya modal, pilihan yang paling mudah adalah menyerahkannya kepada pihak lain untuk ditanami tebu, dan nanti petani tinggal mendapatkan hasilnya meskipun tidak seberapa. Kalau untuk usaha tani komoditi lain sendiri modal kurang, walaupun hasilnya memang lebih tinggi. Keadaan inilah yang banyak dialami oleh petan sehingga harus menyerahkan lahannya pada pihak perkebunan tebu dan pabrik gula atau KUD-KUD. Sebenarnya kalau petani punya modal dan tenaga dalam usaha tani mereka pasti memilih komoditi lain yang lebih menguntungkan.

A. Obyek Penelitian

Pegunungan Surojoyo adalah deretan pegunungan kapur di selatan Kabupaten Rembang yang melintasi empat wilayah Kecamatan yaitu Kecamatan Sale, Bulu, Sulang, dan Sumber. Penelitian ini tidak mencakup keseluruan empat wilayah kecamatan tersebut tetapi difokuskan di empat desa yang merasakan dampak paling berat dari realitas “Menjadi Buruh di Lahan Sendiri” sebagai imbas dari konversi dan eksploitasi lahan pertanian ke tanaman tebu yaitu Desa Nglakeh, Jentir, Sangkrah dan Kalinanas.

B. Alasan Memilih Subyek Dampingan

Masyarakat petani lahan marginal di sepanjang tepi hutan pegunungan Surojoyo adalah masyarakat yang dikesankan sebagai korban. Sebagai masyarakat miskin tepi hutan mereka dianggap bersalah dan tidak bermoral saat terjadi penjarahan dan perambahan hutan besar-besaran beberapa

tahun yang lalu. Mereka dicap sebagai para pencuri. Padahal mereka hanyalah sebagai pencuri kecil yang berani melaksanakan pencurian karena kong-kalikong dengan penguasa hutan yang tentunya mendapat bagian yang lebih banyak. Sebagai pencuri kecil, mereka menebang pohon memprosesnya menjadi batangan kayu dan memikulnya keluar dari hutan dengan memberi upeti 50% dari harga kayu ke petugas hutan. Maka muncullah istilah sepayol (separo nyolong: sebagian mencuri).

Sebagai petani lahan marginal tepi hutan mereka hidup dalam keterbatasan dan belenggu kemiskinan. Maka, saat ada tawaran penyewaan lahan dari bos-bos tebu, mereka berbondong-bondong menyewakan lahan mereka dengan harga yang ditentukan oleh para bos tebu, yang sudah pasti sangat murah dengan durasi 5 tahun. Untuk sesaat mereka bisa bahagia dan dapat hidup dengan uang hasil sewaan tetapi beberapa bulan kemudian saat uang tersebut habis dan tanah mereka sudah tersewakan, mereka bingung dengan kehidupannya dan terpaksa menjadi buruh di lahan mereka sendiri yang telah disewakan kepada para bos tebu. Sebuah kehidupan yang perlu mendapat perhatian untuk dicarikan alternatif pemberdayaan7.

(17)

C. Kondisi Subyek Dampingan Saat Ini

Fenomena menjadi “Buruh di Lahan Sendiri” telah berlangsung selama 3 tahun terakhir. Penyewaan lahan secara besar-besaran yang dimiliki warga kepada bos-bos tebu selama minimal 5 tahun telah mewajibkan mereka menjadi pekerja musiman dan serabutan dengan kualitas hidup yang semakin susah. Uang hasil sewa lahan yang diterima dimuka telah melenakan warga dengan kehidupan glamor sesaat yang berujung dengan ketidakpastian hidup.

Setelah lahan pertanian yang menjadi penopang kehidupan mereka dikuasai para bos-bos tebu, maka salah satu harapan dan tumpuan hidup warga adalah dari hasil ternak piaraan yang kebanyakan adalah sapi. Hampir setiap warga memiliki lebih dari 2 ekor sapi. Masalahnya secara mendadak harga sapi anjlok dibawah harga terendah. Seekor sapi dewasa yang awalnya dapat laku dijual seharga 8 juta sekarang hanya dihargai separonya saja. Sapi yang awalnya menjadi aset dan kebanggan telah menjadi masalah baru. Hal ini diperparah dengan harga pakan yang tinggi karena harus didatangkan dari luar daerah sebagai akibat telah beralihnya pertanian padi ke tebu. Rumput yang awalnya mudah ditemui kini menjadi langka, karena bos-bos tebu memilih cara instan dan ekonomis untuk mematikannya, yaitu dengan meyemprotkan cairan kimia yang mengakibatkan rumput menjadi kering dan mati. Wargapun tidak berani mengambil rumpul di area tebu karena takut ternak mereka keracunan.

Satu-satunya yang dapat dilakukan warga untuk menyambung kehidupan selain menjadi buruh musiman di area tebu adalah mengais kayu-kayu kering di hutan untuk dijual sebagai kayu bakar yang rata-rata mereka cuma mampu mendapat uang Rp. 10.000 per hari yang tentu saja jauh untuk bisa mencukupi kebutuhan hidup minimal apalagi layak.

D. Kondisi dampingan yang diharapkan

Kondisi dampingan yang diharapkan adalah terciptakan masyarakat petani lahan marginal tepi hutan yang terberdayakan. Serangkaian upaya pemberdayaan mencakup tiga aspek, yaitu: menciptakan kondisi yang kondusif yang

mampu mengembangkan potensi masyarakat setempat, memperkuat modal (potensi) sosial masyarakat demi meningkat mutu kehidupannya, dan mencegah dan melindungi agar kekuatan atau tingkat kehidupan masyarakat yang sudah rendah menjadi semakin rendah.

Pemberdayaan (empowerment) adalah serangkaian upaya strategi dalam rangka memperluas akses masyarakat terhadap sumberdaya pembangunan melalui penciptaan peluang yang seluas-luasnya agar masyarakat lapisan bawah (baca: masyarakat pedesaan) mampu berpartisipasi. Pemberdayaan juga merupakan upaya peningkatan pedesaan sehingga mampu berpartisipasi. Pemberdayaan juga merupakan upaya peningkatan kemampuan masyarakat (berkaitan dengan pemantapan otonomi daerah) agar mampu mengakses proses pembangunan untuk mendorong kemandirian yang berkelanjutan (tanggap dan kritis terhadap perubahan) serta mampu berperan aktif dalam menentukan nasibnya sendiri.

Kebijakan pemberdayaan petani dapat dipilah menjadi tiga kelompok, yaitu: Pertama: Kebijakan langsung (sering disebut sebagai tujuan praktis), diarahkan pada peningkatan akses terhadap sasaran pemberdayaan masyarakat melalui penyediaan bahan kebutuhan dasar berupa sandang, pangan, perumahan, kesehatan dan pendidikan, peningkatan produktivitas dan pendapatan. Ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan menghasilkan nilai tambah, perbaikan akses sumberdaya, teknologi, pasar, dan sumber pembiayaan; Kedua: Kebijakan tidak langsung; diarahkan pada penciptaan kondisi yang menjamin kelangsungan setiap upaya peningkatan pemerataan, pemberdayaan, penyediaan sarana dan prasarana, penguatan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan; Ketiga: Kebijaksanaan khusus; ditujukan pada penyiapan penduduk miskin untuk melakukan sosial ekonomi sesuai dengan budaya setempat. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong dan memperlancar proses transisi dari kehidupan subsisten menjadi kehidupan pasar.

(18)

terutama keterjaminan peluang berusaha tani dan pada akhirnya meningkatkan pendapatan rumah tangga di pedesaan (Marzali, 2003, 87). Berkembangnya beragam usaha tani komoditas hortikultura, misalnya, membuka peluang berusahatani sepanjang tahun. Perbaikan harga komoditas pertanian pada sistem pemasaran akan mempengaruhi struktur biaya dalam proses produksi. Di samping dapat memberikan jaminan perolehan pendapatan, khususnya bagi rumahtangga petani yang kurang mampu, pemberdayaan petani juga membangun jaringan sosial ekonomi para petani melalui komunikasi yang intensif dan komunikatif antar petani. Melalui komunikasi yang intensif, dapat menjadi media yang sangat fungsional dalam membahas berbagai aspek kehidupan pedesaan, terutama yang memiliki kontribusi bagi keamanan dan ketenangan rumahtangga masyarakat lapisan bawah. Meski demikian, tidak dipungkiri terdapatnya beberapa kendala yang menghambat aktivitas pemberdayaan tersebut terutama dari segi manfaat ekonomi

E. Strategi yang dilakukan

Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut maka strategi yang dilakukan dibagi dalam dua tahap:

1. Tahap pertama merupakan observasi terhadap petani, teknik yang digunakan adalah FGD (Focus Group Discussion).

2. Tahap kedua merupakan programaksi yang dilakukan dalam kerangka kaji tindak partisipatoris (PAR = Participatory, Action Research)..

3. Pelatihan. Pelatihan diberikan secara bertahap sesuai dengan kronologis pelaksanaan kegiatan di lapang, dilakukan dalam kelas, saung petani, dirumah atau halaman petani dan di warung setempat. Materi yang diberikan menyangkut komponen teknologi spesifik lokasi

(menyangkut komoditas potensial yang akan

dikembangkan), teknologi pengolahan hasil pertanian, struktur dan organisasi pertanian dan kelembagaan, strategi pemasaran dan kerjasama serta materi lain yang disesuaikan dengan perhatian dan permintaan petani.

4. Diskusi dan Konsultasi. Kegiatan ini sebenarnya hampir sama dengan kegiatan Pembelajaran lapang, bedanya kegiatan ini dilakukan tidak langsung di lapang, hanya berkumpul di pondok dan membahas tentang teori tanpa praktek.

5. Sekolah Lapangan. Pada kegiatan ini, peserta sekolah lapang juga mengadakan kunjungan lapang ke kelompok tani di Desa Paga Kecamatan Paga Kabupaten Rembang. Di sini peserta sekolah lapang banyak bertukar pikiran dengan petani setempat; khususnya tentang strategi pemanfaatan lahan marginal tepi hutan.

F. Pihak-pihak yang Terlibat (stakeholders) dan Bentuk Keterlibatannya

(19)

Bab II

MEMPERJUANGKAN NASIB:

Deskripsi Keberadaan Kehidupan Petani Padi dan Petani Tebu dalam Belenggu Kemiskinan

KAMI ADALAH PETANI Kami adalah apa yang mereka sebut hanya petani Yang diciptakan oleh Tuhan sepenuh cinta Kami yang hidup dengan kerja keras kami sendiri Kami adalah petani seperti itu, selalu dalam kemiskinan, selalu menjadi korban Tidak berhenti bekerja, semakin menderita dan menderita Ketika orang lain bergantung kepada kami Kami adalah petani yang selalu memakai celana kolor Kami bekerja di bawah hujan dan terik matahari tanpa istirahat Kami adalah penanam yang nampak pemberani Yang mengolah tanah dengan kerbau, bajak, dan garu Kami adalah yang menanami tanah itu dengan membungkuk

Lumpur sampai ke lutut di tengah hujan sepanjang hari Ketika kami para petani berhenti bekerja Semua orang akan kelaparan dan bangsa ini akan menangis

Mereka yang mementingkan diri sendiri dan merampas kekuasaan Merasa tahu penderitaan penduduk miskin Mengapa kami para petani dan pekerja lainnya Bergerak bersama-sama untuk mengusir iblis! (Benedict J. Kervliet, The Huk Rebellion, A Study of Peasant Revolt in the Philippines, 1982:132)

Dalam sejarah Indonesia, petani merupakan salah satu golongan/kelompok sosial yang mempunyai peranan cukup penting. Peranan mereka dalam memproduksi bahan makanan khususnya beras sangat strategis dalam menjamin kebutuhan pangan bagi semua orang. Oleh karena sebagian besar penduduk

Indonesia mengkonsumsi beras, maka peran petani sangat sentral dalam menyediakan kebutuhan dasar itu. Hal ini sudah dicatat oleh T.S.Raffles hampir lebih dari satu abad yang lalu, ketika ia menyaksikan begitu pentingnya beras dalam kehidupan orang Jawa. ”Padi/beras adalah makanan utama untuk semua kelas sosial dan merupakan tanaman utama dalam pertanian mereka” (Raffles, 1978, I: 109). Meskipun mempunyai peranan yang demikian penting, sejarah petani di Jawa lebih banyak diwarnai penderitaan dan keterpurukan.

Istilah petani sendiri mempunyai pengertian luas dan beragam. Istilah petani secara spesifik menyangkut suatu profesi atau jenis pekerjaan yang berkaitan dengan tanah atau agraria. Namun demikian, seringkali petani sebagai kelompok sosial dikaitkan dengan susatu sistem pertanian/sistem ekonomi, ideologi, kemiskinan, keterbelakangan, konflik pedesaan, dan lain-lain. Berbeda dengan masyarakat primitif yang mengembangkan sistem pertanian ladang secara berpindah-pindah, petani adalah komunitas yang hidupnya menetap dengan sistem pertanian sawah yang permanen, serta relatif otonom dalam membuat setiap keputusan menyangkut kegiatan menanam. Istilah petani juga dibedakan antara ”peasant” dan ”farmer”. Istilah pertama mengacu pada petani subsisten yang tidak banyak terlibat dalam ekonomi pasar, dan secara sosial merupakan satuan komunitas yang relatif homogen dan tertutup (closed corporate community). Sementara itu, istilah farmer mengacu pada petani yang sepenuhnya terlibat dalam ekonomi pasar, mengikuti kompetisi untuk mendapatkan sarana produksi secara terbuka, dan berusaha menciptakan alternatif baru untuk memperoleh keuntungan maksimum. Perubahan dari peasant ke farmer bukan sekedar menyangkut orientasi psikologis, melainkan juga ditentukan oleh perubahan kelembagaan yang mempengaruhi pilihan-pilihan petani (Wolf, 1973: xiv-xv). Dalam kaitan inilah, kemudian timbul perbedaan pendapat tentang corak ekonomi petani: ekonomi moral dan ekonomi rasional (Scott, 1981; Popkin, 1979).

Gambar

Tabel 1. Perubahan Status Tenaga Kerja dalam Usaha Pertanian, 1986 – 2001
Tabel 2. Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja Pertanian, 1986 – 2002
Gambar 2. Tingkat partisipasi
Gambar 3. Keterkaitan Diseminasi, Umpan Balik dan  Identifikasi Kebutuhan & Peluang Selain itu, juga di temui adanya teknologi pertanian yang
+7

Referensi

Dokumen terkait

7.2 Kondisi untuk penyimpanan yang aman, termasuk ketidakcocokan Bahan atau campuran tidak cocok.. Pertimbangan untuk nasihat lain •

Seni budaya merupakan salah satu pelajaran yang ada ditiap sekolah dari jenjang Sekolah Dasar(SD), Sekolah Menengah Pertama(SMP), Sekolah Menengah Atas(SMA), maupun

 Mencoba memecahkan masalah dengan tenang dan berfikir dengan cerdas  Memperbaiki diri sendiri dari kesalahan yang telah berlalu.  Belajar mengatur dir,i dsb MUHAMMAD ILHAM

Batasan anak- anak eks wanita tunasusila sudah berperilaku keberagamaan ialah saat mereka sudah dengan kesadaran dirinya melakukan tindakan atau perbuatan yang

Medan magnet yang sebelumnya adalah magnet permanen diganti menjadi elektromagnet, sehingga kuat medan magnet bisa diatur oleh besarnya arus penguatan medan magnet. Belitan

[r]

Astin Nugraheni (2006 ) dalam skripsinya yang berjudul “Konflik Batin Tokoh Zaza dalam Novel Azalea Jingga Karya Naning Pranoto: Tinjauan Psikologi Sastra”. Hasil Penelitian

Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang