• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESESI KRISIS EKONOMI GLOBAL menurut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "RESESI KRISIS EKONOMI GLOBAL menurut "

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

RESESI KRISIS EKONOMI GLOBAL, INFLASI DAN PENGARUH TERHADAP PETANI SAWIT

Krisis Ekonomi Politik Indonesia Ditinjau Dari Sistem Perkebunan Skala Besar

Disajikan oleh Badan Persiapan Pembentukan Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit (BPPN- SPKS)

Krisis Ekonomi Politik Dilihat Dari Angka Inflasi

Rakyat Indonesia hingga hari ini selalu saja mendapat terpaan badai penderitaan. Ditengah semakin tingginya angka penggaguran,PHK masal dikalangan kelas buruh, pengusuran besar-besaran kaum pedagang kecil perkotaan atas nama keindahan kota, kemiskinan dipedesaan karena semakin hilangnya alat produksi dan ketersediaan alam yang semakin hari semakin menyempit. Hal tersebut sudah lama diderita rakyat Indonesia tanpa pernah berhenti, serangan sebelumnya adalah kenaikan harga-harga kebutuhan rakyat yang ditandai dengan kenaikan BBM dunia yang mempengaruhi dan memaksa pemerintah Indonesia harus merupah APBN –P yang berimpilkasai terhadap kenaikan harga BBM dalam negeri yang memicu semua harga kebutuhan pokok rakyat turut meningkat. Pukulan yang terbaru adalah krisis ekonomi global yang ditandai dengan krisis ekonomi di Amerika yang merupakan sentrum perekomomian dunia mengahantam semua sendi ekonomi dunia dan mendorong terjadinya inflasi di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia juga tidak terlepas dari terpaan badai ini.

Apabila dilihat indikator permukaan makro ekonomi sebelum krisis global terjadi, laporan BPS menyatakan bahwa angka inflasi bulan september berada pada kisaran 0,51 persen, sedangkan Untuk laju inflasi tahun kalender dari Januari-September 2008 sebesar 10,47%, sementara year on year sebesar 12,14 persen. Angka ini merupakan laju inflasi paling tinggi pada 3 tahun terakhir. Hal tersebut dipicu karena kenaikan harga-harga bahan pokok termasuk sewa perumahan. BPS mencatatkan beberapa komoditas yang mengalami kenaikkan harga antara lain adalah: bahan bakar rumah tangga, ikan segar, daging ayam ras, daging sapi, telur ayam ras, ikan diawetkan, tempe, beras, nasi dengan lauk dan banyak lagi termasuk minyak goreng.

(2)

Inflasi merupakan potret peristiwa moneter yang menggambarkan kenaikan harga barang, Dimana dalam hukum ekonomi tergambar posisi suplay dan demand (persedian dan penawaran) yang selalu terjadi dalam sistem pasar. Inflasi dapat diakibatkan oleh dua hal yaitu tarikan permintaan atau desakan biaya produksi. Inflasi tarikan permintaan (demand pull inflation) terjadi akibat adanya permintaan total yang berlebihan sehingga terjadi perubahan pada tingkat harga. Bertambahnya permintaan terhadap barang dan jasa mengakibatkan bertambahnya permintaan terhadap faktor-faktor produksi. Meningkatnya permintaan terhadap faktor produksi itu kemudian menyebabkan harga faktor produksi meningkat. Jadi, inflasi ini terjadi karena suatu kenaikan dalam permintaan total sewaktu perekonomian yang bersangkutan dalam situasi full employment. Yang kedua adalah Inflasi desakan biaya (cost push inflation) terjadi akibat meningkatnya biaya produksi (input) sehingga mengakibatkan harga produk-produk (output) yang dihasilkan ikut naik.

Kenaikan inflasi ini semakin menjelaskan ketimpangan ekonomi nasional yang gagal mengurus penataan produksi nasional untuk memenuhi kebutuhan pokok nasional dan semakin tingginya ketergantungan pada barang komoditas impor, khususnya komoditas pangan internasional, disisi lain strategi eksport yang dianut pemerintah tanpa berusaha memenuhi industri dan kebutuhan dalam negeri menyebabkan penderitaan rakyat semakin nyata.

Seharusnya Inflasi harus menjadi perhatian utama karena merupakan potret yang terjadi ditengah masyarakat. Semakin tinggi laju inflasi, maka semakin rendah kesejahteraan masyarakat karena nilai setiap sen uang yang dipegang orang terus menurun. Akibatnya daya beli melorot. Jadi, jika ekonomi dunia meradang, orang miskin Indonesia pun bisa jadi semakin miskin.

Krisis Global Dan Pengaruh Terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Beberapa faktor kenaikan harga-harga kebutuhan pokok memang tidak bisa dipisahkan dengan faktor resesi ekonomi dunia yang

kian memburuk seiring dengan krisis umum imprealisme1: kelesuan

ekonomi Amerika Serikat yang dipicu oleh krisis kredit perumahan (subprime mortgage); krisis finansial, krisis energi [minyak, gas, batubara], ditandai dengan kenaikan harga minyak di pasaran internasional yang telah menembus 117 US $/barel, namun terkoreksi pada angka 82 US $ / barel pada bulan oktober 2008 akibat permintaan terhadap minyak dunia menurun impas dari krisis yang terjadi di Amerika. Walaupun demikian harga minyak

       1 

(3)

dunia yang sempat melambung memaksa berbagai sektor produksi ekonomi menaikkan ongkos produksinya dan tidak ikut terkoreksi hingga hari ini. Sedangkan disisi lain imbas dari pemanasan global telah menyerang lingkungan hidup bumi manusia, dengan cuaca buruk, gelombang badai, banjir, longsor, telah memukul hampir semua produksi pertanian dan kelancaran sistem transportasi dunia.

Segala sesuatu ada saling hubunganya, krisis ekonomi Amerika kemudian menjadi krisis global yang berpengaruh pada sektor ril ditingkat lokal. Karena centrum kekuatan akumulasi modal kapitalis berada di negara ini, AS merupakan pasar eksport terbesar didunia termasuk pasar ekport Indonesia. Coba tengok angka-angka ekspor nonmigas Indonesia ke AS selama ini yang tercatat di Badan Pusat Statistik dan diolah kembali oleh Departemen Perdagangan. Sekilas terlihat betapa produk Indonesia sangat bergantung pada pasar Amerika karena ekspor Indonesia ke negara itu menduduki peringkat kedua terbesar setelah Jepang.

Ekspor nonmigas Indonesia ke AS meningkat dari 7,17 miliar dollar AS pada 2002 menjadi 10,68 miliar dollar AS pada 2006 atau meningkat 11,74 persen. Selama Januari-Agustus 2007, ekspor ke AS sudah mencapai US$ 7,48 miliar AS atau meningkat 5,14 persen dari periode yang sama 2006.

Itu artinya, peran ekspor ke AS terhadap total ekspor nonmigas Indonesia mencapai 12,45 persen, setingkat dibawah ekspor ke Jepang yang mencapai 15,36 persen.

Akibat orientasi eksport produk yang terlalu bertumpu pada pasar Amerika mengakibatkan hantaman telak bagi Indonesia karena daya beli komsumsi Amerika akan merosot akibat krisis finasial yang menerpanya. Bagi Indonesia, krisis ini akan memiliki dampak yang saling terkait diberbagai sektor. Pada akhirnya,semua ini akan memperlambat pertumbuhan.

Adapun dampak-dampak yang terjadi pada perekonomian Indonesia meliputi: Pertama, krisis global akan menyebabkan terganggunya stabilitas makro nasional. Ini berkaitan erat dengan inflasi yang merayap terus naik, juga factor peningkatan suku bungga yang mengakibtakan mengikisnya pendapatan riil rumah tangga akibat besarnya biaya yang dikaitkan dengan tinggi rendahnya bunga.

(4)

lokal. Kenaikan ini juga otomatis akan meningkatkan ongkos transportasi dalam jalur distribusi.

Ketiga, peningkatan inflasi dan harga barang industri, serta kenaikan harga BBM akan menggerus pendapatan riil rumah tangga. Hal ini pada gilirannya akan dimanifestasikan dalam bentuk penurunan tingkat konsumsi dan investasi domestik, yang akan semakin menambah tekanan ke bawah pada tingkat pertumbuhan.

Hantaman Krisis Global Bagi Rakyat Khususnya Petani Sawit

Pemerintah Indonesia hari ini tidak mampu mengurus semua persoalan rakyat, karena watak rezim hari ini yang mengabdikan dirinya untuk kepentingan pemodal. Ini ditandai dengan berbagai kebijakan yang sangat pro modal. Sejak tahun 2000 sektor industri minyak sawit sangat diminati oleh pasar dunia karena kebutahan komsusmsi bahan pangan dan kosmetik selain itu alternative pengunaan bahan bakar nabati (biofuel) mendorong naiknya harga CPO dunia sehingga dianggap sanggat menguntungkan bagi devisa Negara melaui eksport CPO yang sangat mengiurkan, Devisa dari industri minyak sawit pada tahun 2006 menurut komisi minyak sawit Indonesia berada pada urutan nomor 2 pada eksport non migas sektor pertanian dengan nilai ekspor komoditas perkebunan 2007 mencapai US$ 12,3 miliar (Rp 115,6 triliun) atau naik 21,5 persen dibandingkan 2006 yang mencapai US$ 10,11 miliar (Rp 95 miliar). Angka ekspor itu telah melampaui target sejak Oktober 2007 yang mencapai US$ 11,25 miliar (Rp 105,7 triliun).

(5)

Disisi lain memang keuntungan dapat diperoleh karena semakin meningkatnya harga TBS (Fresh Fruit Brunch) ditingkat petani sawit disebabkan permintaan pasar yang besar. Sejak tahun 2000 sampai tahun 2007 harga TBS melonjak tajam dari harga Rp 400-600/ kg mencapai hingga angka Rp 2000/ kg. Petani sawit ikut merasakan nikmatnya harga ini dan mendorong mereka untuk terlibat dalam perkebunan sawit, bahkan mereka berani untuk mengkonversikan kebun karet dan lahan pangan untuk dijadikan kebun sawit dengan dibantu oleh pemerintah melalui kredit perbankan yang sesunguhnya “keblinger” karena topangan mikro ekonomi yang lemah. Misalnya saja petani tidak diberikan penyuluhan soal keahlian budidaya tanaman sawit untuk meningkatkan produktivitasnya sehingga mereka cenderung menambah ekspansi lahan, justru sarana produksi terpangkas dengan meningkatnya harga pupuk dan pestisida yang sangat sulit didapatkan oleh petani, sementara untuk angkutan mereka berharap pada angkutan perusahaan padahal TBS harus diangkut sampai ke pabrik milik perusahaan 1 kali 24 jam, selebihnya harga akan menurun karena rendeman minyak sawitnya akan berkurang. Akibatnya petani sawit harus bergantung kepada perusahaan dan dijerat utang ditengah inflasi yang semakin meninggi. Hantaman telak terjadi ketika krisis yang terjadi di Amerika mempengaruhi seluruh perekonomian dunia yang mengakibatkan resesi dan pasti akan menghantam pasar eksport yang berbasikan komoditas dimana konsumen akan melakukan penundaan pembelian atau terpuruk karena daya belinya menurun akibat biaya produksi yang meninggi dikarenakan angka inflasi yang besar.

(6)

masuk rumah sakit jiwa akibat stres dan kebanyakan berasal dari petani kelapa sawit.

Ketidakmampuan Rezim Dalam Mengurus Kekayaan Alam Dan Ekonomi Rakyat

Fenomena tersebut sesungguhnya bisa diantisipasi apabila kemauan dan dedikasi yang tinggi untuk mensejahterakan rakyat ada pada nurani pimpinan negeri ini. Platform ekonomi yang tidak bergantung pada eksport dan diarahkan untuk pemenuhan dalam negeri seharusnya menjadi tumpuan utama. Waktu krisis finansial terjadi di Amerika pada juli 2007 mulai menandakan terjadinya krisis global, pemerintah Indonesia sesumbar bahwa fundamentalis ekonomi makro Indonesai masih kuat. Bank Indonesia justru mengatakan bahwa perlambatan perekonomian global yang ada di AS dan Eropa tidak serta merta akan menurunkan ekspor barang Indonesia. Kenyataan berbalik menjungkirbalikan semuanya, gejolak ekonomi global berdampak langsung kepada perekonomian di Indonesia karena jika ekonomi AS melemah, kinerja ekspor nasional akan terganggu, karena jika permintaan luar negeri berkurang, industri akan melakukan penyesuaian antara lain mengurangi produksi. Jika produksi di kurangi, tenaga kerja pun otomatis akan dikurangi dan akibatnya penganguran akan meningkat dan angka kemiskinan melonjak karena kehilangan sumber produksi. Artinya, jika AS sakit, Indonesia terkena langsung getahnya, rakyatlah yang menderita termasuk petani sawit dalam sektor industri minyak sawit yang bergantung pada eksport.

(7)

Disisi lain akibat melemahnya Rupiah, nilai kredit perbankan menjadi lebih tinggi dan berpengaruh langsung pada keuangan perusahaan dalam membayar kredit apalagi perusahaan yang bersandar pada bahan baku import yang harus dibeli dengan mata uang dollar. Akibatnya sector industri dalam negeri mengalami pukulan dan akan meningkatkan pengangguran karena biaya produksi meningkat dan akhirnya berujung pada kemiskinan, lagi-lagi rakyat yang menderita.

Ketika krisis semakin jauh mempengaruhi ekonomi Indonesia pemerintah kemudian panik dan membuat kebijakan yang tergesa-gesa tanpa antispasi sejak awal. Pemerintah SBY –JK kemudian membuat 10 langkah yang harus ditempuh untuk menghadapi krisis keuangan Amerika Serikat agar tidak memberikan pengaruh buruk terhadap perekonomian Indonesia yang terkesan euphoria ditengah inflasi yang sudah meninggi dan tingkat kepercayaan masyarakat yang lemah terhadap pemerintah dan nilai tukar Rupiah yang sudah mencapai angka Rp.11.000. Indonesia kemudian ikut-ikutan mengikuti paket kebijakan “bail out” Amerika yang sempat di tolak oleh DPR nya Amerika namun kemudian disetujui oleh kongres Amerika yang memuat tiga hal yaitu : pengucuran dan sebesar US $ 700 miliar untuk membeli utang kredit perumahan yang terkena masalah, menaikan jaminan simpanan di Bank sebesar US $ 100.000 menjadi US $ 250.000./orang dan membolehkan lembaga penjamin simpanan untuk meminjam dana talangan sebasar apapun kepada Negara. Perpu nomor 4 tahun 2008 diterbitkan pemerintah untuk menjamin kesulitan likuiditas dan persoalan perbankan dalam menghadapi krisis juga dadakan diterbitkan. Perusahan milik Pemerintah kemudian diperintahkan untuk membeli kembali (buyback) saham-saham BUMN yang diparkir diluar negeri untuk menjaga krisis jatuhnya Rupiah, sangat ironis dengan gembar-gembor privatisasi BUMN yang sebelumnya digaungkan oleh pemerintah. Selain itu juga BI menaikan jaminan tabungan hingga mencapai 2 miliar rupiah tentunya bagi pemodal dan orang kaya, sementara petani sawit harus berusaha menacari penghasilan tambahan untuk melunasi cicilan kredit diperbankan.

Lagi –lagi rakyat miskin dikorbankan untuk menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi. Kenyataan dilapangan ditingkat rakyat kecil sama sekali tidak tersentuh dengan paket kebijakan ini malah memberi intensif bagi orang kaya situan kapitalis yang akan semakin menghisap darah buruh dan tani di negeri ini, termasuk petani sawit.

(8)

Sistem perkebunan skala besar hari ini tidak terlepas dari sejarah kolonialisme di Nusantara ditandai dengan komersialisasi komoditas yang laku dipasaran dunia, sistem ini masih mewarisi sistem politik usang yang mengandalkan monopoli atas tanah ( sitem ekonomi politik feudal) dengan menjadikan pemilik perkebunan sebagai tuan tanah yang memonopoli penguasaan tanah yang sangat luas, serta mengendalikan kekuasaan Politik diwilayah tersebut. Pemenuhan kebutuhan sangat berorientasi pasar dengan upaya pemenuhan komsumsi negara-negara barat sementara kebutuhan ditingkat rakyat bukan menjadi tujuan utama pembangunan perkebunan sawit.

Dalam relasi produksinya perkebunan besar menggunakan sistem kapitalisme dengan mempekerjakan buruh yang dibayar dengan uang. Maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa majikan didalam pemilik perusahaan perkebunan merupakan tuan tanah ”tipe baru” baik yang dijalankan oleh perusahaan swasta maupun perusahaan negara. Istilah tuan tanah ”tipe baru” digunakan karena perusahaan perkebunan menguasai tanah yang sangat luas, dia tidak bekerja ditanah tersebut secara langsung dan hasilnya sangat berlebih yang diambil dari penindasan dan penghisapan terhadap kaum buruh dan petani berupa nilai lebih dengan mengambil waktu dan hasil kerja kaum buruh, serta produk lebih dengan mengambil hasil produksi yang dari petani kelapa sawit (Monopoli proses budidaya dan monopoli hasil produksinya). Jadi, tuan tanah ”tipe baru” dalam relasi produksi didalam sistem perkebunan skala besar merupakan pihak yang paling diuntungkan oleh sistem ini dan petani sawit hanya menjadi objek hisapan untuk pemenuhan kebutuhan TBS.

(9)

kolektif kaum tani, masyarakat adat dan masyarakat pedesaan pada umumnya memiliki nasib yang sama yakni terancam tanahnya untuk perluasan perkebunan ataupun dihambatnya proses produksi (budidaya).

Harga TBS yang anjlok hari ini tidak terlepas pada penerapan sistem ekonomi politik perkebunan skala besar yang masih dijaga oleh pemodal dan birokrasi yang mengabdikan diri kepada kaum imprealisme yang mencirikan beberapa hal yang di praktekan dalam sistem perkebunan skala besar ini diantaranya:

Pertama mengandalkan kosentrasi produksi dan monopoli dalam hal ini areal perkebunan sawit dikonsentrasikan dalam satuan wilayah yang sangat besar dan hanya dimonopili oleh pemain besar ( Wilmar, Sinarmas, Golden Hope, Asian Agri, Astra Agro ) meraka kemudian membentuk holding-holding pada perusahan induk dan melakukan merger dengan berbagai jalan, yaitu: menjadi anggota dalam cabang industri yang sama, hanya terlibat dalam berbagai pemrosesan bahan mentah, produsen untuk bahan mentah dan perantara bagi produk tertentu misalnya dengan nestle, catburry, Cargill yang merupakan produsen bahan makanan yang berasal dari CPO, terlibat dalam berbagai lini produksi namun berada dibawah satu korporasi, misalnya saja Sinarmas yang juga melakukan produksi diluar dari bisnis minyak sawit, Astra Agro yang mempunyai bisnis otomotif yang sangat terkenal.

Kedua adalah capital finance (uang) dimana bank kemudian merubah fungsinya dari hanya sekedar mediator dalam penjualan kemudian mulai masuk pada kegiatan produksi dimana uang didistribusikan oleh bank melaui pinjaman untuk kegiatan produksi sehingga fungsinya menjadi aktif bahkan sinarmas memiliki bank sendiri untuk mengakumulasi keuntungannya. Yang paling gress adalah ternyata FED (Bank Central Amerika) adalah perusahaan milik swasta yang terdiri dari beberapa bank sentral termasuk lehman brother yang bangkrut akibat kredit perumahan yang macet (subprime mortgage) dan juga oleh milik 300 orang pribadi yang sangat powerfull yang bisa seenaknya bisa mencetak US Dollar

tanpa jaminan emas murni satu gram pun2. Selain itu IMF melaui

cabang bisnisnya IFC (International Finance Corporation) juga menyalurkan kredit kepada kelompok wilmar group dalam melakukan investasi di sector industri sawit ini.

Ketiga adalah eksport capital, dimana eksport capital berkembag dari hasil akumulasi capital. Agar tidak terjadi krisis over-produksi karena surplus kapital, maka mereka mengeksportnya ke       

2 

(10)

luar negeri. Alasan utamanya adalah untuk memproteksi dan menambah pendapatan mereka dan rata-rata keuntungan. Sasaran dari eksport kapital adalah negara-negara yang terjajah dan setengah jajahan termasuk Indonesia, ini adalah praktek baru dari kolonialisme atau disebut juga dengan neo-kolonialisme. Ekspor capital di negara terjajah dan setengah-jajahan diarahkan pada pembangunan berbagai macam cabang industri yang melayani kepentingan negara-negara imperialis (industri ini utamanya dalah industri manufaktur, pengepakan ekspor bahan mentah dan pertanian, atau industri sekunder yang menyediakan barang konsumsi). Misalnya saja Bank Dunia (Wold Bank) memberikan

pinjaman kepada pemerintah Indonesia Setelah investasi terhadap

sektor kayu, tambang kini investasi utang yang merupakan rekayasa lembaga keuangan international bergerak ke isu perkebunan dalam kerangka Program Revitalisasi Perkebunan yang dicanangkan tahun 2007 dengan komoditas utama adalah sawit (unggulan), kemudian karet dan kakao. Untuk memperoleh keuntungan tentunya mereka akan mendikte pemerintah melaui politik dan ekonomi negara penerima kredit untuk menerbitkan undang-undang yang berpihak pada kepentingan modal semisal, UU Perkebunan tahun 2003, UUPMA tahun 2007, kepmentan no. 21 Tahun 2007 dan inpres tentang biofuel.

Pertanyaan selanjutnya mengapa eksport CPO Indonesia terganggu yang mangakibatkan turunya harga TBS bagi petani sawit, padahal sesunguhnya negara tujuan eksport CPO Indonesia ke negara India, Belanda dan China ? jawabanya karena akumulasi capital berasal dari Negara imprealis pimpinan Amerika, sehingga gejolak yang terjadi di Amerika langsung menghantam telak pasar eksport diseluruh dunia termasuk Indonesia yang mengorbankan petani sawit.

Darimana Memulai Melakukan Pembaharuan Sistem Perkebunan Skala Besar Kelapa Sawit ?

(11)

Berlandaskan pada kondisi kongkrit struktur sosial diwilayah sekitar Perkebunan Skala Besar Kelapa Sawit maka kita dapat menentukan dimana titik memulai kerja pembaharuan sistem tersebut kedalam sistem yang adil, sejahtera dan demokratis. Dengan meletakkan dan mendudukkan elemen yang paling dirugikan (baca: korban) oleh sistem sebagai aktor pembaharuannya. Karena, korban merupakan elemen yang memiliki segi hari depan setelah sistem tersebut diperbaharui, dimana cita – citanya kedepan korban menjadi aktor yang akan memegang peranan pokok dalam sistem perkebunan yakni berkedudukan sama dengan Perusahaan Perkebunan atau bahkan berkedudukan lebih tinggi dari perusahaan. Dengan demikian, berdasarkan susunan struktur sosoial didalam wilayah perkebunan maka Buruh Tani / Kebun, Petani Plasma, Buruh Industri Perkebunan merupakan pihak yang paling dirugikan (korban) oleh Sistem Perkebunan Besar Kelapa Sawit. Sedangkan Petani Non Plasma / Non Sawit keadaannya tidak stabil dengan adanya sistem tersebut, dimana elemen ini merupakan elemen yang terancam oleh Sistem Perkebunan Skala Besar Kelapa Sawit karena Sistem tersebut dengan watak dasarnya monopoli akan melakukan perluasan secara terus menurus. Sedangkan, Elite Birokrasi, Elite Politik, Preman maupun Tokoh – Tokoh Informal (tokoh yang sudah dibeli) merupakan pihak yang harus diwaspadai, sebab elemen tersebut merupakan elemen parasit yang diuntungkan oleh Sistem Perkebunan Skala Besar Kelapa Sawit. Dan, Perusahaan Perkebuan (Tuan Tanah ”Tipe Baru”) merupakan pihak yang mengambil keuntungan paling besar didalam Sistem Perkebunan Skala Besar Kelapa Sawit dengan merampas dan mengancam tanah – tanah petani, menindas dan menghisap buruh, serta merusak tatanan sosial dan kebudayaan masyarakat.

(12)

Industri Perkebunan kedalam satu barisan yang kokoh dan kuat. Kemudian, dengan menitik tekankan perjuangan berdasarkan kepentingan dasar ketiga elemen tersebut akan menjadi lem perekatnya, dimana kepentingan dasar Buruh Tani / Kebun, Petani Plasma adalah kepastian atas tanah, kemerdekaan dalam berbudidaya dan jaminan kelayakan hasil produksinya sedangkan

kepentingan Buruh Industri Perkebunan berupa terjaminnya

keamanan atas pekerjaannya. Maka, dengan membangun kesepemahaman dan membuat kesepakatan bersama dari tiga elemen tersebut menjadi keniscayaan yang tidak bisa dipungkuri untuk bergerak bersama dalam satu barisan perjuangan dalam mewujudkan Pembaharuan Sistem Perkebunan Skala Besar Kelapa Sawit.

Jadi, agar bisa terwujud kesatuan (aliansi) dasar antara Buruh Tani / Kebun, Petani Plasma dan Buruh Industri Perkebunan maka terlebih dahulu harus disiapkan syarat – syaratnya yakni terbangunnya organisasi tani (Buruh Tani / Kebun, Petani Plasma) dan organisasi buruh (Buruh Industri Perkebunan). Dengan terbangunnya organisasi buruh dan organisasi tani maka kesepemahaman, kesepakatan dan gerak langkah perjuangannya akan dilakukan secara bersama – sama dengan organisasinya. Sebab, tanpa terbangunnya organisasi massa demokratik akan semakin jauh menyatukan kekuatan korban kedalam barisan perjuangan bersama. Dan, Masing – masing individu didalam elemen akan terpecah kepentingannya sehingga mudah sekalai di cerai beraikan kedalam kepentingan subyektif yang akan merugikan perjuangan dalam melakukan Pembaharuan Sistem Perkebunan Skala Besar Kelapa Sawit. Maka menyiapkan syarat tersebut dibutuhkan kesanggupan dan kapasitas dari orang – orang yang konsern terhadap masalah tersebut. Serta, faktor internal dari setiap elemen tersebut (kontak maupun basis massanya) menjadi potensi dasar untuk membangun organisasinya. Melihat hal ini berdasarkan kesanggupan dan kemampuan (pengetahuan dan pengalaman historisnya) serta praktek kerja selama ini menempatkan Petani Plasma sebagai prioritas kerja dalam menyiapkan syarat – syarat tersebut, sembari juga mulai membangun secara terbatas organisasi buruh.

Referensi

Dokumen terkait