• Tidak ada hasil yang ditemukan

Py Ionoquake Sistem Deteksi Anomali Tota

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Py Ionoquake Sistem Deteksi Anomali Tota"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Seminar Nasional Sains Antariksa

Homepage: http//www.lapan.go.id

PY-IONOQUAKE: SISTEM DETEKSI ANOMALI TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC)

UNTUK STUDI PREKURSOR GEMPA BUMI

PY-IONOQUAKE: TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) ANOMALY DETECTION

SYSTEM FOR EARTHQUAKE PRECURSOR STUDY

Supriyanto Rohadi1, Andi Eka Sakya1, Buldan Muslim2, Bambang Sunardi1, Sulastri1, Alpon Sepriando1

1Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.

2Pusat Sains dan Antariksa, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Riwayat Artikel:

Diterima: 22-11-2016 Direvisi: 09-03-2017 Disetujui: 19-03-2017 Diterbitkan: 22-05-2017

Kata kunci:

Prekursor gempa, TEC, python, indeks Dst, Py-IonoQuake.

Keberadaan sistem yang otomatis menghitung data Total Electron Content

(TEC), menganalisis dan menampilkan hasilnya menjadi target yang diharapkan dalam penelitian prekursor gempa bumi. Makalah ini membahas tentang Py-Ionoquake, sistem deteksi anomali TEC berbasis python untuk studi prekursor gempa bumi. Py-Ionoquake merupakan pengembangan dari IonoQuake versi 1.0. Py-IonoQuake dirancang untuk akuisi dan analisis korelasi data TEC Global Ionosphere Map (GIM) secara otomatis. Output Py-IonoQuake adalah rasio simpangan koefisien korelasi dengan deviasi standarnya (skk/dskk) serta variasi spasial skk/dskk. Anomali TEC ditentukan apabila nilai skk/dskk kurang dari -1. Py-IonoQuake juga menampilkan data indeks Dst sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan anomali TEC yang terjadi. Hasil pengujian Py-IonoQuake terhadap beberapa kasus gempa bumi menunjukkan kemunculan anomali TEC yang dapat dikategorikan sebagai prekursor gempa bumi. Pengujian Py-IonoQuake menunjukkan kinerja yang lebih stabil baik dalam mode auto maupun offline.

Keywords:

Earthquake precursor, TEC, python, Dst index, Py-IonoQuake.

ABSTRACT

(2)

1.

Pendahuluan

Monitoring dan prediksi gempa bumi merupakan hal penting dalam pengurangan resiko bencana gempa bumi. Prediksi gempa bumi merupakan salah satu tantangan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mengingat hingga kini gempa bumi merupakan bencana yang belum dapat diprediksi baik kekuatan, lokasi maupun waktunya (Sunardi et al., 2016). Penelitian tentang tanda-tanda awal (prekursor) sebelum kejadian gempa bumi menjadi topik yang lebih banyak diangkat saat ini.

Di Indonesia, studi prekursor gempa bumi melalui pengamatan parameter geofisika, geoatmosferik (suhu permukaan) maupun geokimia (emisi gas radon) telah dilakukan dengan fokus lokasi di Pelabuhan Ratu (Pakpahan et al., 2014). Sementara pengamatan parameter suhu bawah permukaan, water level, emisi gas radon, suhu udara, tekanan udara serta curah hujan dilakukan di dua lokasi di Bantul, Yogyakarta (Sunardi et al., 2016).

Hasil penelitian masing-masing parameter prekursor gempa bumi masih menunjukkan kelemahan dalam hal konsistensi sehingga integrasi pengamatan dari berbagai parameter prekursor gempa bumi penting dilakukan untuk lebih menguatkan interpretasi adanya anomali yang berkaitan dengan gempa bumi (Nurdiyanto et al., 2011). Salah satu parameter yang dapat dikembangkan untuk melengkapi integrasi pengamatan parameter prekursor gempa bumi adalah parameter ionosfer dalam bentuk Total Electron Content (TEC).

Penelitian prekursor gempa bumi di Indonesia berbasis data TEC menunjukkan kemunculan anomali TEC pada kasus-kasus gempa bumi kuat di Indonesia selama 2014 Desember 2014 (Mw 6.3) (Sunardi et al., 2015a).

Penelitian lain dengan menggunakan teknik korelasi TEC mengambil studi kasus gempa bumi besar dengan magnitudo Mw ≥ 8 menunjukkan bahwa mayoritas gempa bumi tersebut dapat diketahui prekursornya. Deteksi anomali TEC sebagai prekursor gempa bumi hanya efektif apabila tidak terjadi badai geomagnet moderat atau lebih kuat (Muslim, 2015).

Pengembangan sistem yang dapat menghitung data TEC, menganalisis dan secara otomatis menampilkan hasilnya menjadi target

yang diharapkan untuk dapat memperkuat sistem monitoring prekursor gempa bumi yang telah terbangun sebelumnya. Tahun 2015 telah dikembangkan software IonoQuake versi 1.0 untuk monitoring data TEC-GPS menggunakan bahasa pemrograman Matlab. Hasil pengujian IonoQuake versi 1.0 menunjukkan kemunculan anomali TEC-GPS pada beberapa kasus gempa bumi yang dapat di kategorikan sebagai Prekursor Gempa bumi Terdeteksi (PGT) (Sunardi et al., 2015b).

Makalah ini membahas tentang Py-IonoQuake, sistem deteksi anomali TEC untuk studi prekursor gempa bumi. Py-IonoQuake dikembangkan menggunakan bahasa pemrograman Python sebagi penerus IonoQuake versi 1.0. Py-IonoQuake diharapkan dapat melengkapi sistem monitoring prekursor gempa bumi lainnya yang terlebih dahulu dikembangkan sehingga integrasi pengamatan prekursor gempa bumi melalui berbagi parameter geofisika, geoatmosferik, geokimia dan ionosferik dapat terwujud.

2.

Landasan Teori

Ionosfer bumi didefinisikan sebagai bagian dari atmosfer di mana elektron bebas dan ion energi panas ada di bawah kendali gravitasi dan medan magnet planet bumi (Zolesi dan Cander, 2014). Ionosfer terbentuk saat energi radiasi matahari dalam bentuk extreme UV (EUV) diserap oleh atom-atom netral di atmosfer bagian atas hingga terionisasi, membentuk ion-ion positif dan elektron bebas. Jumlah elektron dan ion bebas pada lapisan ionosfer tergantung pada besarnya intensitas radiasi matahari serta densitas gas pada lapisan tersebut. Ketinggian ionosfer pada umumnya berkisar 50 hingga 1000 km. Batas atas ionosfer sulit ditentukan dengan tepat karena menipisnya kerapatan elektron menuju plasmafer atau protonosfer (Langley,1997). Informasi tentang karakteristik ionosfer dalam suatu wilayah biasanya diwakili oleh karakteristik dari TEC (Rizal, 2010).

TEC merupakan jumlah total elektron dalam kolom vertikal (silinder) dengan penampang 1 m2

sepanjang lintasan sinyal dari perangkat Global Positioning System (GPS) yang dilalui di lapisan ionosfer pada ketinggian sekitar 350 km (Astra dan Pudja, 2009). Nilai TEC dinyatakan dalam satuan TEC Unit (TECU). 1 TECU adalah 1016

elektron/m2. Kisaran nilai TEC antara 1 hingga 200 TECU (Abidin, 2000).

Pemodelan TEC ionosfer dewasa ini telah banyak dikembangkan, salah satunya adalah

(3)

Europe (CODE). Model TEC dari GIM dimodelkan dalam kerangka referensi geomagnet-matahari menggunakan ekspansi harmonik bola hingga derajat dan orde 15 (Schaer, 1999). Model yang dipergunakan dalam GIM adalah model lapisan tunggal seperti diilustrasikan dalam Gambar 2-1. Model GIM mengasumsikan bahwa semua elektron bebas terkonsentrasi di kulit bola dengan ketebalan yang tipis (Schaer, 1997).

Konversi dari TEC vertikal Ev ke slant TEC radius dengan stasiun yang dipertimbangkan. R0

merupakan radius rata-rata bumi (~6.371 km) sedangkan H adalah ketinggian dari lapisan tunggal di atas permukaan rata-rata bumi.

Model kerapatan elektron E, yang mewakili distribusi TEC pada skala global dinyatakan dalam persamaan berikut (Schaer, 1997) :

(2-2) dengan E adalah vertikal TEC, β adalah lintang geosentris dari titik persimpangan garis receiver

- satelit dengan lapisan ionosfer, s = λ – λ0

adalah bujur tetap matahari dari titik tembus ionosfer atau titik sub ionosfer, nmakmerupakan

tingkat maksimum ekspansi harmonik bola,

ܲ෪௡௠= Λnm Pnm adalah normalisasi fungsi

legendre dengan derajat n dan urutan m

berdasarkan faktor normalisasi Λnm dan fungsi legendre klasik Pnm serta anm dan bnm

merupakan koefisien TEC fungsi bola.

Pada dekade 70 an mulai berkembang teori dilatasi dari deformasi kerak bumi yang disebut retakan dan pembentukan patahan utama yang kemudian disebut dengan daerah persiapan gempa bumi (Muslim, 2015). Anomali dari berbagai parameter yang teramati di daerah persiapan gempa yang luasnya sebanding dengan besar gempa bumi dapat terjadi sebelum gempa bumi yang disebut dengan prekursor gempa bumi.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa variasi TEC di ionosfer memiliki keterkaitan pula dengan fenomena gempa bumi. Medan listrik vertikal yang kuat di permukaan bumi sebelum gempa bumi dapat menembus hingga ionosfer dan memodifikasi distribusi dan

dinamika kerapatan elektron. Kopling seismo-ionosfer terjadi ketika anomali medan listrik dari tanah menembus hingga ionosfer (Pulinets et al., 2000). Tiga lapisan ionosfer dapat terimbas dampak gempa bumi antara lain lapisan D, lapisan E, dan lapisan F (Astra dan Pudja, 2009). Kopling seismo-ionosfer berpotensi menyebabkan adanya anomali TEC di ionosfer. Anomali TEC yang terkait dengan gempa bumi dapat terjadi beberapa hari sebelum dan setelah gempa bumi terjadi (Liu et al., 2004). Anomali TEC yang terjadi sebelum gempa bumi dikenal sebagai prekursor gempa bumi TEC.

TEC memiliki kaitan erat dengan aktivitas matahari maupun gangguan medan magnet bumi. Badai geomagnet terjadi akibat fenomena yang timbul di matahari terutama pada saat matahari aktif, yaitu berupa Coronal Mass Ejection (CME) yang terbawa angin matahari dan berakibat pada peningkatan aktivitas medan magnet bumi yang akan memicu terjadinya badai geomagnet (Laudza’i, 2015). Indikator badai geomagnet salah satunya dari indeks

Disturbance storm time (indeks Dst), yang menggambarkan gangguan pada komponen H geomagnet saat terjadi badai (Sugiura dan Chapman, 1960). Nilai negatif dari indeks Dst menandakan adanya badai geomagnet. Indeks Dst yang bernilai negatif tersebut disebabkan oleh arus badai yang melintasi bidang ekuatorial. Nilai indeks Dst yang semakin kecil berkorelasi dengan intensitas badai geomagnet yang semakin besar (Wetterer, 2011).

Gambar 2-1. Model lapisan tunggal untuk GIM (Schaer, 1997).

3.

Data dan Metode

(4)

2,50 arah lintang dan 50 arah bujur dengan

resolusi temporal 2 jam.

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, proses gempa bumi mampu mempengaruhi hingga lapisan ionosfer dalam bentuk anomali TEC. Namun demikian gangguan TEC juga dapat diakibatkan oleh adanya badai geomagnet yang disebabkan oleh aktivitas matahari. Dengan demikian diperlukan data Disturbance storm time index (indeks Dst) untuk mengklarifikasi anomali TEC. Data indeks Dst dapat diperoleh dari http://wdc.kugi.kyoto-u.ac.jp/.

Indeks Dst dipergunakan untuk mengetahui adanya aktivitas badai geomagnet. Badai geomagnet biasanya dinyatakan dengan nilai negatif yang menunjukkan penurunan medan magnet bumi. Berdasarkan indeks Dst, badai geomagnet dikelompokkan dalam tiga kelas sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3-1 (Gonzales et al., 1999).

Py-IonoQuake versi 1.0 dirancang dapat digunakan untuk monitoring TEC dalam dua mode. Mode auto memerlukan koneksi internet, dipergunakan untuk monitoring secara otomatis dan near real time. Sedangkan mode manual dirancang untuk monitoring secara offline. Baik mode auto maupun manual menggunakan data TEC GIM selama 31 hari. Mode auto melakukan

download data GIM secara otomatis selama 31 hari ke belakang dari tanggal terkini. Untuk performa yang ideal, jaringan internet harus stabil sehingga proses download data TEC GIM dapat berjalan dengan baik. Apabila koneksi internet mati, Py-IonoQuake akan memproses hingga data terakhir yang didapatkan. Mode manual bila terkoneksi internet akan mendownload data selama 31 hari ke belakang dari tanggal yang kita masukkan atau memproses data TEC GIM 31 hari terakhir yang ada apabila tidak ada koneksi internet. Demikian juga data indeks Dst akan mengikuti pola yang sama. Mode manual Py-IonoQuake memungkinkan dipergunakan untuk menganalisis data TEC GIM yang telah lampau maupun untuk analisis ulang terhadap kasus-kasus gempa bumi yang pernah terjadi.

Py-IonoQuake versi 1.0 dirancang untuk monitoring TEC pada koordinat tertentu yang dapat dirubah dengan mudah dalam menu

Setting Lat/Lon. Metode utama yang dipergunakan dalam Py-IonoQuake adalah

metode korelasi data TEC GIM. Py-IonoQuake otomatis akan menggunakan data TEC GIM terdekat dengan koordinat monitoring yang dimasukkan. Dari data TEC GIM 31 hari yang diperoleh baik melalui mode auto maupun manual diperoleh variasi diurnal TEC setiap hari selama 31 hari. Selanjutnya dapat ditentukan rata-rata bulanan, per-jam-an yang akan mewakili kondisi normal.

Metode korelasi dilakukan antara variasi diurnal TEC harian dengan rata-rata bulanan sehingga dapat ditentukan nilai koefisien korelasi dan simpangan dari nilai rata-rata selama 31 hari yang disebut sebagai simpangan koefisien korelasi (skk). Perbandingan antara skk dengan deviasi standar dari skk (skk/dskk) digunakan sebagai indikator anomali TEC. Batas ambang anomali TEC ditentukan pada nilai -1 (Muslim, 2015). Kategori anomali TEC apabila nilai skk/dskk < -1.

Variasi spasial skk/dskk diperlukan untuk mengetahui luasan anomali TEC. Py-IonoQuake versi 1.0 dirancang dapat dipergunakan untuk memetakan variasi spasial skk/dskk pada koordinat bujur tetap sesuai koordinat titik monitoring. Badai geomagnet akan menyebabkan anomali TEC dalam skala yang luas, sebaliknya proses persiapan gempa bumi diasumsikan akan menimbulkan anomali TEC yang bersifat lebih lokal.

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa anomali TEC dapat disebabkan juga oleh badai geomagnet yang diakibatkan oleh aktivitas matahari. Py-IonoQuake dirancang untuk dapat menampilkan data indeks Dst dengan rentang waktu yang sama dengan monitoring TEC. Dengan demikian anomali TEC yang terdeteksi lewat Py-Ionoquake akan dapat ditentukan apakah kemungkinan diakibatkan oleh badai geomagnet atau anomali TEC yang dapat dipertimbangkan sebagai prekursor gempa bumi.

Tabel 3-1. Kategori badai geomagnet berdasar indeks Dst (Gonzales et al., 1999).

Dst Kelas

-50 nT < Dst < -30 nT Badai lemah -100 nT < Dst < -50 nT Badai sedang

(5)

Gambaran singkat rancangan Py-IonoQuake ditunjukkan dalam diagram alir Gambar 3-1. Kinerja Py-IonoQuake selanjutnya diuji pada kasus-kasus gempa bumi dengan magnitude Mw > 6 selama Januari – Oktober 2016. Peningkatan performa Py-IonoQuake dapat dilakukan antara lain dengan melengkapi variasi spasial skk/dskk kearah bujur serta memberikan warning jika sistem mendeteksi adanya anomali TEC.

Warning dibedakan antara anomali TEC yang disebabkan oleh badai geomagnet dengan anomali TEC yang kemungkinan disebabkan oleh proses yang berkaitan dengan gempa bumi. Pengembangan Py-IonoQuake untuk diintegrasikan dengan monitoring prekursor gempa bumi yang telah ada sebelumnya juga perlu dilakukan untuk mewujudkan sistem monitoring prekursor gempa bumi yang terintegrasi.

4.

Pembahasan

Py-IonoQuake versi 1.0 dapat dioperasikan dalam dua mode, secara auto maupun manual. Tampilan utama / homescreen dari Py-IonoQuake

versi 1.0 diperlihatkan pada Gambar 4-1. Tampilan homescreen terdapat mode pilihan auto

atau manual, input waktu / date, setting

koordinat monitoring serta tombol eksekusi program (Run). Mode auto dipergunakan untuk monitoring TEC mendekati real time dengan memanfaatkan koneksi internet. Sedangkan menu manual dipergunakan untuk monitoring TEC secara offline sesuai dengan input waktu yang dikehendaki.

Output Py-IonoQuake akan ditampilkan pada layar yang sama. Contoh ouput dari Py-IonoQuake diperlihatkan pada Gambar 4-2. Ouput pertama Py-IonoQuake adalah variasi rata-rata TEC selama 31 hari. Ouput kedua Py-IonoQuake adalah nilai rasio simpangan koefisien korelasi dengan deviasi standar simpangan koefisien korelasi (skk/dskk). Batas anomali skk/dskk adalah -1. Jika nilai skk/dskk lebih kecil -1 maka dikategorikan sebagai anomali TEC.

Output ketiga dari Py-IonoQuake adalah variasi spasial skk/dskk pada bujur yang sama dengan input koordinat monitoring. Variasi spasial skk/dskk kearah lintang dapat terlihat

(6)

pada tampilan ketiga tersebut. Output ketiga ini bermanfaat untuk melihat apakah anomali TEC yang terjadi bersifat lokal atau global sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan kategori anomali TEC. Output keempat Py-IonoQuake adalah nilai indeks Dst dari (http://wdc.kugi.kyoto-u.ac.jp/). Indeks Dst dipergunakan untuk pertimbangan dalam mengkategorikan anomali TEC yang terjadi apakah dari gangguan badai geomagnet atau kemungkinan anomali yang berasal dari proses persiapan gempa bumi (pre seismic).

Pengujian Py-IonoQuake dilakukan terhadap kasus-kasus gempa bumi dengan magnitudo Mw > 6 selama tahun 2016. Pengujian Py-IonoQuake pada kasus gempa bumi Talaud tanggal 11 Januari 2016 dengan magnitudo Mw 6.4 ditunjukkan Gambar 4-3. Py-IonoQuake mendeteksi adanya tiga anomali TEC

berdasarkan kriteria skk/dskk yaitu pada tanggal 21 Desember 2015 dan 1 serta 7 Januari 2016. Nilai indeks Dst menunjukkan adanya badai geomagnet pada tanggal 21 Desember 2015. Dengan demikian anomali TEC yang terjadi pada tanggal 1 dan 7 januari 2016 dapat dipertimbangkan sebagai prekursor gempa bumi. Monitoring TEC terhadap gempa bumi Sumba tanggal 12 Februari 2016 (Mw 6.2) menggunakan Py-IonoQuake diperlihatkan pada Gambar 4-4. Output Py-IonoQuake memperlihatkan adanya anomali TEC pada tanggal 4 dan 7 Februari 2016 yang dapat dipertimbangkan sebagai prekursor gempa bumi, sementara anomali TEC pada tanggal 20 dan 21 Januari 2016 kemungkinan dipengaruhi oleh adanya badai geomagnet yang terjadi pada tanggal tersebut.

Gambar 4-1.Homescreen Py-IonoQuake versi 1.0.

(7)

Gambar 4-3.Output Py-IonoQuake mode manual untuk kasus gempa bumi Talaud 11 Januari 2016 Mw 6.4.

Gambar 4-4.Output Py-IonoQuake mode manual untuk kasus gempa bumi Sumba 12 Februari 2016 Mw 6.2.

Gambar 4-5 menunjukkan output dari Py-IonoQuake yang berkaitan dengan kasus gempa bumi Halmahera (Mw 6.1) tanggal 17 Februari 2016. Anomali TEC yang muncul pada tanggal 14 dan 15 Februari 2016 dapat dipertimbangkan sebagai prekursor gempa bumi sedangkan anomali TEC tanggal 7 Februari 2016 kemungkinan dikarenakan pengaruh badai geomagnet lemah yang terjadi di sekitar tanggal tersebut.

Pengujian Py-IonoQuake pada kasus gempa bumi Sumatera 1 Juni 2016 (Mw 6.5) ditunjukkan pada Gambar 4-6. Py-IonoQuake mendeteksi adanya anomali TEC pada tanggal 17 Mei 2016 yang berkaitan dengan adanya badai geomagnetik pada tanggal tersebut. Anomali kecil TEC juga terpantau pada 25 Mei 2016 dimana kondisi indeks Dst nampak normal sehingga dapat dipertimbangkan sebagai prekursor gempa bumi Sumatera 1 Juni 2016.

(8)

Gambar 4-5.Output Py-IonoQuake mode manual untuk kasus gempa bumi Halmahera 17 Februari 2016 Mw 6.1.

Gambar 4-6.Output Py-IonoQuake mode manual untuk kasus gempa bumi Sumatera 1 Juni 2016 Mw 6.5.

(9)

Gambar 4-8.Output Py-IonoQuake mode manual untuk kasus gempa bumi Laut Jawa 16 Oktober 2016 Mw 6.6.

Pengujian Py-IonoQuake menunjukkan anomali TEC dapat terdeteksi pada enam kasus gempa bumi dengan magnitudo Mw > 6 dan dapat dipertimbangkan sebagai prekursor gempa bumi. Py-IonoQuake juga mendeteksi adanya anomali TEC pada saat terjadi badai geomagnet. Pengujian pada kasus gempa bumi yang lebih banyak diharapkan dapat memperkuat tingkat kepercayaan terhadap keberhasilan Py-IonoQuake untuk deteksi anomali TEC.

Py-IonoQuake cukup stabil sehingga dapat dipertimbangkan sebagai salah satu sistem monitoring prekursor gempa bumi dan berpeluang untuk diintegrasikan dengan sistem monitoring prekursor gempa bumi yang telah ada atau telah dikembangkan sebelumnya.

5.

Implementasi

Saat ini penelitian prekursor gempa bumi menggunakan parameter geofisika, geo-atmosferik dan geokimia mulai intensif dilakukan. Py-IonoQuake berpeluang untuk digabungkan dengan sistem pengamatan prekursor gempa bumi yang telah terbangun sebelumnya sehingga integrasi pengamatan prekursor gempa bumi dapat diwujudkan.

6.

Kesimpulan

Py-IonoQuake, sistem deteksi anomali Total Electron content (TEC) dapat dioperasikan baik dalam mode auto maupun manual. Hasil pengujian Py-IonoQuake terhadap beberapa gempa bumi dengan magnitude Mw > 6 menunjukkan kemunculan anomali TEC yang dapat dikategorikan sebagai prekursor gempa

bumi. Pengujian Py-IonoQuake menunjukkan kinerja yang lebih stabil baik dalam mode auto

maupun manual.

Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG, Pussainsa LAPAN, para peneliti di Litbang geofisika serta semua pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.

Rujukan

Abidin, H. (2000). Penentuan Posisi Dengan GPS dan Aplikasinya. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Astra, I., dan Pudja, I. (2009). Analisa Vertical Total Electron Content di ionosfer daerah Jawa dan sekitarnya yang berasosiasi dengan gempa bumi Yogyakarta 26 Mei 2016 UTC,

Jurnal Meteorologi dan Geofisika, 10 (2), 121-131.

Gonzales, W. D., Tsurutani, B. T., Clua de Gonzales, A. L. (1999). Interplanetary origin of magnetic storms, Space Sci. Rev., 88, 529. Langley, R.B. (1997). Navstar GPS Internet

Connections,http://gauss.gge.unb.ca/GPS.INT ERNET.SERVICES.HTML, diakses 14 November 2016.

Laudza’i, L. (2015), Analisis anomali nilai Total Electron content (TEC) sebelum bencana gempa bumi, Skripsi, University Gadjah Mada.

(10)

Registered by Continuous GPS TEC Measurements, Annales Geophysicae, European Geosciences Union, 22, 1585-1593. Muslim, B. (2015). Pengujian teknik korelasi

untuk deteksi pengaruh aktivitas gempa bumi besar pada ionosfer, Jurnal Sains Dirgantara,

12, 87-101.

Nurdiyanto, B., Sunardi, B., Ngadmanto, D., Susilanto, P., Harsa, H., Novianti, S., Subakti, H., Peng, H., Hattori, K., dan Gaffar, E. (2011). Integration of geophysical parameter observation in the earthquake predictability,

Proceedings of the 36th HAGI and 40th annual convention and exhibition.

Pakpahan, S., Nurdiyanto, B., dan Ngadmanto, D. (2014). Analisis parameter geo-atmosferik dan geokimia sebagai prekursor gempa bumi di pelabuhan ratu, Sukabumi, Jurnal Meteorologi dan Geofisika, 15, 77-86.

Pulinets, S. A., Boyarchuk, K. A., Hegai, V. V., Kim, V. P., Lomonosov, A. M. (2000). Quasielectrostatic model of atmosphere thermosphere-ionosphere coupling, Adv Space Res, 26, 1209.

Rizal, M. (2010). Analisa nilai TEC (Total Electron Content) Pada Lapisan Ionosfer dengan menggunakan data pengamatan GPS dua frekuensi, Skripsi, ITS.

Schaer, S. (1999). Mapping and Prediction the Earth Ionosphere using the Global Positioning System, Doctoral Thesis, University of Bern. Schaer, S. (1997). How to use CODE’s Global

Ionosphere Maps, Astronomical Institute, University of Berne.

Sugiura, M., and Chapman, S. (1960). The Average Morphology of Geomagnetic Storms with Sudden Commencement, Sondernheft Nr.4, Göttingen.

Sunardi, B., Sakya, A. E., Masturyono. Rohadi, S., Ngadmanto, D., Sulastri, Susilanto, P., dan Pakpahan, S. (2016). Real time observation system for earthquake precursors study in Yogyakarta, Proceedings Jogja Earthquake in Reflection, 106–114.

Sunardi, B. Muslim, S. Pakpahan. (2015a). Anomali Total Electron Content (TEC) Sebelum Gempa bumi Kuat di Indonesia Tahun 2014, Prosiding Seminar Nasional Fisika, Unesa.

Sunardi, B., Muslim, B., Ngadmanto, D., Susilanto, P., Nugraha, J., Pakpahan, S., Prayogo, A. S., Sulastri (2015b). Ionoquake, sistem monitoring data TEC-GPS untuk studi prekursor gempa bumi di Indonesia, Prosiding Seminar Ilmiah Puslitbang BMKG, 106–114. Wetterer, C. J. (2011). Forecasting the Disturbed

Storm Time Index, Conference Paper.

Winarsunu, T. (2012). Statistik dalam Penelitian Psikologi dan Pendidikan, Edisi Revisi, UMM Press, Malang.

Zolesi, B., and Cander, L. R. (2014). Ionospheric prediction and forecasting, Springer Geophysics, Springer Heidelberg New York Dordrecht London.

Real-time (Quicklook) Dst index, http://wdc. kugi.kyoto-u.ac.jp/, diakses 14 November 2016.

Gambar

Gambar 2-1.  Model lapisan tunggal untuk GIM (Schaer, 1997).
Tabel 3-1. Kategori badai geomagnet berdasar indeks Dst (Gonzales et al., 1999).
Gambar 3-1. Diagram alir akuisisi dan analisis pada Py-IonoQuake.
Gambar 4-1. Homescreen Py-IonoQuake versi 1.0.
+4

Referensi

Dokumen terkait