• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pentingnya Partisipasi Masyarakat dalam teori

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pentingnya Partisipasi Masyarakat dalam teori "

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Pentingnya Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Kawasan Budaya Terpadu dan Kawasan Srategis Konservasi Warisan Budaya di Kota Makassar

The Necessity of the Public Participants in Developing the Integrated Culture Area and Strategic Area of Conservation of Cultural Heritage in Makassar

Yadi Mulyadi

Staf Pengajar Jurusan Arkeologi

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin.

email: lumiday@yahoo.com ABSTRACT

Participations of public in the effort conservation of culture heritage is one of priority which must be reached in every exploiting activity of culture pledge object which with vision of conservation. Including government plan of town Makassar which will do expansion of integrated culture area and strategic area of conservation of culture heritage need to be supported by all component, good of academician, practitioner and culture observer, government officer and government functionary, self-supporting private sector and institute of public as presentation of reality from participation of public. This thing need to be done, because rightful owner public from culture heritage.

Conservation effort done shall affect at the increasing of awareness of urban community Makassar for the importance of existence of cultural heritage pledge so that public later which will play more and, government ready to and observes so that doesn't go out from applicable law corridor about conservation. Investment of public in activity of conservation of cultural pledge object in Makassar, in harmony with government concept which in stretcher now that is concept Good Governance.

Key words: participations, conservation, culture heritage

Partisipasi masyarakat dalam upaya pelestarian warisan budaya merupakan salah satu prioritas yang harus tercapai dalam setiap kegiatan pemanfaatan benda cagar budaya yang berwawasan pelestarian. Termasuk rencana pemerintah kota Makassar yang akan melakukan pengembangan kawasan budaya terpadu dan kawasan strategis konservasi warisan budaya perlu didukung oleh seluruh komponen, baik akademisi, praktisi dan pemerhati budaya, aparat dan pejabat pemerintahan, swasta dan lembaga swadaya masyarakat sebagai wujud nyata dari partisipasi masyarakat. Hal ini perlu dilakukan, karena masyarakatlah pemilik syah dari warisan budaya.

Upaya pelestarian yang dilakukan haruslah berdampak pada meningkatnya kesadaran masyarakat kota Makassar akan pentingnya keberadaan bangunan-benda cagar budaya sehingga masyarakatlah nanti yang akan lebih berperan serta, pemerintah tinggal mengayomi dan mengawasi sehingga tidak keluar dari koridor hukum yang berlaku tentang pelestarian. Penyertaan masyarakat dalam kegiatan pelestarian benda cagar budaya di Makassar, selaras dengan konsep pemerintahan yang di usung sekarang yaitu konsep Good Governance

(2)

I. Pendahuluan

Dalam salah satu rubrik di harian Tribun Timur medio Februari 2006, Walikota Makassar menyebutkan tentang rencana penataan kota Makassar tahun 2005-2015 yang sementara ini masih dalam proses pengkajian di Bappeda kota Makassar. Salah satu poinnya adalah berkaitan dengan pengembangan Kawasan Budaya Terpadu dan Kawasan Strategis Konservasi Warisan Budaya. Rencana tersebut tentu saja merupakan langkah yang positif yang diambil oleh pemerintah kota Makassar dan mencerminkan kepedulian yang sangat tinggi pemerintah kota terhadap sejarah budaya dan eksistensi kota Makassar sebagai kota tua bersejarah yang kini menjelang usianya yang ke 401 tahun November 2008 nanti. Langkah tersebut tentu saja membutuhkan dukungan dari berbagai elemen masyarakat kota Makassar, sehingga rencana pengembangan kawasan terpadu dan kawasan strategis tersebut berdampak positif terhadap perkembangan kota Makassar dan masyarakat Makassar pun merasakan manfaatnya secara langsung.

(3)

kuno yang bersejarah. Sehingga langkah pemerintah kota Makassar untuk mengembangkan Kawasan Strategis Konservasi Warisan Budaya merupakan suatu langkah yang sangat tepat untuk pelestarian benda cagar budaya yang memang membutuhkan untuk dikonservasi dan dilestarikan. Dalam tulisan ini, benda cagar budayanya difokuskan pada bangunan kolonial yang terdapat di kota Makassar tua.

Dalam upaya pengembangan kawasan tersebut, kita dapat merujuk pada UU RI No. 5 tahun 1992 dan PP RI No. 10 tahun 1993, yang secara jelas termaktub bahwa benda cagar budaya dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata. Merujuk pada produk hukum tersebut, sebagaimana yang tertuang dalam pasal-pasalnya, maka pemanfaatan benda cagar budaya sebagai obyek wisata adalah sah secara hukum. Pemanfaatan benda cagar budaya sebagai obyek wisata sebagaimana yang diatur dari kedua produk hukum tersebut, harus tetap menjaga kelestarian dari benda cagar budaya itu sendiri. Dalam UU RI No. 5 tentang Kepariwisataan, juga diatur secara jelas bahwa pembangunan kepariwisataan harus tetap menjaga kelestarian budaya.

Selain itu, partisipasi masyarakat menjadi hal yang penting guna mencapai hasil yang maksimal dalam pengembangan kawasan budaya tersebut. Pemetaan sebaran benda cagar budaya yang terdapat di kota Makassar dapat menjadi langkah awal untuk memulai upaya pengembangan Kawasan Budaya Terpadu dan Kawasan Strategis Konservasi Warisan Budaya.

II. Distribusi Benda Cagar Budaya Kota Makassar

(4)

arsitektur bangunan, maka selanjutnya dilakukan urut-urutan bangunan berdasarkan kronologi angka tahun dibangun. (lihat Asmunandar, 2006:68). Upaya ini dilakukan untuk mengetahui secara lebih jelas pola perkembangan Kota Makassar

Tabel 1. Daftar bangunan-bangunan di wilayah kota lama Makassar berdasarkan kronologi

No Nama Bangunan Tahun Letak

1 Benteng Rotterdam 1545/1673 Jalan Ujung Pandang

2 Jaringan Jalan Abad ke-17 dan awal

abad ke-19

Di sekitar Rotterdam dan timur laut koningsplein

3 Kompleks Makam Raja-raja Tallo abad ke-18 Jalan sultan Abdullah 4 Klenteng Ma Tjo Poh Ibu Agung

Bahari 1738 Jalan sulawesi

5 Rumah Abu Famili Nio 1750-an Jalan Sulawesi

6 Klenteng Kwan Kong 1810 Jalan Sulawesi

7 Vihara Istana Naga Sakti 1860 Jalan Sulawesi

8 Gereja Immanuel 1885 Jalan Balai Kota

9 Rumah Kediaman Residen Gubernur

1885 Jalan Jenderal Ahmad Yani

10 Gereja Katedral 1892 Jalan Kajaolalido

11 Societeit de Harmonie 1896 Jalan Riburane

12 Rumah Leluhur Marga Thoeng 1898 Jalan Sulawesi

13 Rumah Abu Tung Abadi 1898 Jalan Sulawesi

14 Rumah Mayor Thoeng akhir abad ke-19 Jalan Sulawesi 15 Apartemen Sarang Lebah akhir abad ke-19 Jalan Usman Jafar 16 Sekolah Dasar Lariang Bangi 1906 Jalan G. Latimojong

17 Sekolah Dasar Timor 1907 Jalan Timor

18 Mesjid Arab 1907 Jalan Lombok

19 Rel Kereta awal abad ke-20 Jalan Tentara Pelajar dan Jalan Veteran

20 Apartemen Sarang Semut awal abad ke-20 Jalan Ince Nurdin

21 SMP Negeri 6 1910 Jalan Jenderal Ahmad Yani

22 Kantor Direktorat Jendral Anggaran

1910 Jalan Riburane

23 SMU Negeri 16 1910 Jalan Amannagappa

24 Bioskop Ratu 1914 Jalan Lembeh

27 Asrama Lompobattang 1915 Jalan Rajawali

28 Rumah Tahanan Militer 1915 JalanRajawali

29 Kompleks Purnawirawan Kodam

VII Wirabuana 1915 Jalan Rajawali

30 Museum Kota Makassar 1918 Jalan Balai Kota

31 Kantor Kamar Dagang dan

Industri 1920 Jalan Jenderal Ahmad Yani

32 Percetakan Makassar NV. OGEM 1920 Jalan Jenderal Ahmad Yani

33 Menara air 1920 Jalan Ratulangi

34 Rathkamp 1920 Jalan Jenderal Ahmad Yani

35 Sekolah Kwan Bung 1920 Jalan Ranggong

36 Rumah tinggal 1920-an Jalan Bacan

37 Rumah tinggal 1920-an Jalan Sumba

38 Rumah Sakit Jiwa 1920 Jalan Lanto Dg Pasewang

39 Gedung KMT 1920 Jalan Lembeh

(5)

41 Rumah Tinggal 1925 Jalan bacan

42 Gedung MULO 1927 Jalan Jenderal Sudirman

43 Wisma Corimac 1927 Jalan Jenderal Sudirman

44 Rumah Tinggal 1928 Jalan Lombok

45 Rumah Tinggal 1928 Jalan Balai Kota

46 Gereja Katholik Susteran 1928 Jalan Lamadukelleng 47 Aula SMU Katolik Makassar 1928 Jalan Lamadukelleng

48 Rumah tinggal 1920-an Jalan Bacan

49 Rumah tinggal 1920-an Jalan Bacan

50 Rumah tinggal 1920-an Jalan Sumba

51 Tjian Rijan & Co 1920-an Jalan Lombok

52 Gudang Beras 1920-an Jalan Ternate

53 Kantor CV. Angin Timur 1920-an Jalan Sangir

54 SMU Kartika Chandra Kirana 1920-an Jalan Sungai Tangka

54 Hotel Empress 1930 Jalan Kajaolalido

55 Rumah Tinggal 1931 Jalan Daeng Tompo

56 Rumah Jabatan Walikota Makassar

1933 Jalan Penghibur

57 Sekolah Frateratau Menalia 1934 Jalan Thamrin

58 Kantor Polisi Militer 1935 Jalan Jenderal Sudriman

59 Rumah Tinggal 1935 Jalan Datu Museng

60 Rumah Jabatan Gubernur 1937 Jalan Jenderal Sudirman 61 Rumah Sakit Bersalin Sentosa 1938 Jalan Jenderal Sudirman 62 Kantor Walikota Makassar 1938 Jalan Jenderal Sudirman

63 Rumah Tinggal 1938 Jalan Daeng Tompo

64 Rumah Sakit Stella Maris 1938 Jalan Penghibur

65 Kompleks Perwira Kodam VII Wirabuana

1938 Jalan Sungai Tangka

66 SMP Negeri 5 1930-an Jalan Sumba

67 Kantor Direktorat Jenderal Pajak 1940 Jalan Slamet Riyadi

68 Sekolah Frateran 1940 Jalan Kajaolalido

69 Kantor Pos dan Telegram 1940 Jalan Balai Kota

70 Bunker Jepang 1942 Jalan Amanagappa

71 Queenshead 1946 Jalan Balai Kota, Jalan

Manggis, Jalan Sungai Tangka, Jalan Amanagappa dan Jalan Rajawali

72 Rumah Wakil Gubernur Sul-Sel 1946 Jalan Sultan Hasanuddin 73 Fasilitas Dermaga Rekreasi Layar 1950 Jalan Ujung Pandang

74 Rumah Tinggal 1954 Jalan Arif Rate

(6)

sekarang disebut Pecinan. Kawasan Pecinan ini, ditandai dengan banyaknya klenteng dan vihara sebagai sarana ibadah bagi orang-orang Cina. Klenteng dan vihara tersebut berdiri pada masa sekitar pertengahan abad ke-18 hingga akhir abad ke-20.

Di kawasan pecinan juga terdapat deretan rumah-rumah yang berpola medieval, tanpa halaman depan. Umumnya bangunan ini berlantai dua, dimana ruang bawah sebagai tempat usaha dagang, sedangkan bagian atas difungsikan untuk hunian. Fenomena bangunan seperti ini didukung oleh kawasan Pecinan sejak dulu merupakan kawasan perdagangan yang berdekatan dengan pelabuhan. Bangunan tersebut pada umumnya berupa ruang ruang terbuka di bagian belakang atau patio, yang berfungsi memasukkan cahaya dan udara secara alami ke dalam rumah. Kawasan Pecinan ini dikenal juga dengan sebutan Negory Vlaardingen yang dihuni juga oleh pedagang dari Eropa. Buktinya dapat dilihat pada beberapa bangunan pada kawasan Pecinan yang menggunakan gaya arsitektur Eropa Klasik maupun Eropa Modern.

Setelah pemukiman di luar benteng berlangsung, Belanda mendirikan beberapa bangunan pemerintahan, bangunan perumahan, bangunan pendidikan, gereja, bangunan kesehatan, dan sarana sosial. Namun, bangunan-bangunan tersebut umumnya menempati daerah di sekitar Lapangan Karebosi dan di sekitar Benteng Rotterdam, sebagai daerah eksklusif orang-orang Belanda. Sementara untuk sarana militer, dibangun di daerah selatan Benteng Rotterdam, Jalan Rajawali.

III. Pembahasan

(7)

budaya di kota Makassar. Nilai historis sebagai salah satu nilai penting yang terkandung dalam benda cagar budaya di kota Makassar baru sebagian kecil nilai penting yang ada. Kasnowihardjo (2001) mengemukakan lebih spesifik beberapa potensi yang dimiliki benda cagar budaya yang merupakan objek arkeologi antara lain:

1. Scientific research, maksudnya bahwa tinggalan arkeologi tidak hanya untuk memenuhi kepentingan disiplin ilmu arkeologi ataupun para arkeologi saja, tetapi berbagai disiplin ilmu lain pun dapat memanfaatkan bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai contoh bangunan candi, mesjid, dan makam kuno, dapat pula dijadikan objek penelitian bagi para ahli bidang teknik baik sipil ataupun arsitektur.

2. Creative arts, bahwa tinggalan arkeologi dapat juga dijadikan sebagai sumber inspirasi para seniman, sastrawan, penulis, maupun fotografer, dan tinggalan arkeologi tersebut sekaligus dijadikan sebagai objek kreatifitasnya.

3. Education, tinggalan arkeologi terutama yang bersifat monumental ataupun yang sudah dimuseumkan, mempunyai peranan penting dalam pendidikan bagi anak-anak sekolah dan generasi muda, yaitu dalam upaya menanamkan rasa cinta dan bangga terhadap kebesaran bangsa dan tanah airnya.

4. Recreation and tourism, salah satu bentuk pemanfaatan tinggalan arkeologi ialah sebagai objek wisata dan tempat-tempat rekreasi yang sehat dan positif. Tempat – tempat wisata seperti tersebut apabila perlu dapat dijual dengan retribusi yang tinggi, karena merupakan tempat atau lokasi yang langka, bahkan mungkin satu-satunya tempat di dunia.

5. Symbolic representation, maksudnya bahwa tinggalan arkeologi kadang-kadang berfungsi sebagai gambaran secara simbolis bagi kehidupan manusia, terutama bagi yang mempercayainya, sebagai contoh beberapa panel relief Karmawibangga yang ditemukan di Candi Borobudur yang menggambarkan hukum karma, yaitu hukum sebab akibat tentang kehidupan manusia antara waktu di dunia dan di akhirat. 6. Legitimation of action, keberadaan tinggalan arkeologi dapat dijadikan

sebagai alat untuk melegitimasi suatu kondisi tertentu.

7. Sosial solidarity and integration, keberadaan tinggalan arkeologi dapat memotivasi suatu solidaritas sosial dan integrasi yang kuat dalam suatu masyarakat.

(8)

nantinya akan kita sesali. Namun fenomena yang terjadi sekarang, upaya pelestarian benda cagar budaya khususnya banguan kuno di Makassar belumlah berjalan maksimal. Upaya pelestarian yang dilakukan masih cenderung berada dalam koridor teoritis saja. Padahal Sudah saatnya Makassar perlu untuk lebih menonjolkan benda-benda cagar budayanya. Termasuk bangunan, gedung, lingkungan, dan lainnya, yang punya nilai sejarah perjuangan. Visi dan misi pelestarian harus bisa melindungi warisan, menjamin keanekaragaman, dan ekonomis. Melestarikan benda cagar budaya itu perlu motivasi.

(9)

sekolah-sekolah dari Taman Kanak-Kanak sampai ke Perguruan Tinggi, dengan nama : Heritage In Young Hands.

Dalam kaitan ini di Indonesia, program ini pun ada namun seakan-akan hanya dengan keterlibatan Departemen Pendidikan Nasional tanpa ada kesertaan Pemerintah Daerah secara proaktif. Pihak UNESCO juga berpesan kepada para politisi/pemberi keputusan/Pemda, agar di dalam penyelenggaraan pelestarian cagar budaya hendaknya dilibatkan masyarakat terdekat dengan kegiatan tersebut dan jadikanlah sebagai kegiatan bersama dengan masyarakat kalau kegiatan itu benar-benar ingin berhasil. Jika langkah seperti ini diterapkan pula di Makassar dalam upaya pelestarian benda cagar budaya di Makassar, niscaya benda cagar budaya yang membisu itu akan lebih mudah mengungkapkan kisah sejarah kota Makassar kepada kita. Hal tersebut tentu saja akan berdampak positif pada terbangunnya identitas kultural dan sejarah dari kota Makassar, selain dampak ekonomis yang akan semakin meningkat dengan hadirnya para wisatawan untuk berwisata tempo dulu di kota Makassar.

(10)

kajian Cultural Resource Management salah satu aspek dalam pengelolaan adalah aspek legalitas. Oleh karena itu produk hukum baik yang berupa undang-undang maupun peraturan pemerintah harus selalu menjadi acuan.

Adapun setelah upaya pelestarian, dalam pemanfaatan benda cagar budaya sebagai obyek wisata, tentunya akan melibatkan berbagai pihak dengan berbagai kepentingan pula. Pemerintah kota Makassar sebagai salah satu pihak yang berhak ikut memanfaatkan tentunya juga harus memahami kewenangan yang dimilikinya. Pemahaman terhadap kewenangan bukan hanya merujuk pada undang-undang tentang otonomi daerah, tetapi harus melihat produk perudangan yang terkait. Dalam hal ini produk perundangan yang harus menjadi rujukan minimal undang-undang tentang cagar budaya, undang-undang tentang kepariwisataan, dan peraturan pemerintah No. 10 serta produk perundangan yang lainnya. Dengan memahami kewenangan masing-masing pihak, maka dalam pemanfaatan benda cagar budaya akan tetap menjaga kelestarian benda cagar budaya itu sendiri. Lebih penting lagi asas keseimbangan dalam pemanfaatan akan terwujud.

3.1 Landasan Hukum

(11)

3.1.1 Pedoman Internasional

Selain berlandaskan pada peraturan-peraturan atau pedoman yang telah dikeluarkan atau digunakan oleh pemerintah Indonesia dalam melakukan pelestarian terhadap benda cagar budaya, kegiatan ini juga berlandaskan pada peraturan-peraturan atau pedoman yang terdapat pada piagam Burra dan UNESCO sebagai salah satu aturan internasional terhadap tindakan pelestarian terhadap sumberdaya arkeologi. Adapun aturan-aturan atau pedoman yang berlaku, baik yang terdapat pada piagam Burra maupun Unesco yaitu :

a. Piagam Burra - Pasal 2 :

Ayat (2) :

“ Tempat-tempat bersignifikansi budaya harus dilestarikan”. Ayat (4) :

“Tempat-tempat bersignifikansi budaya harus dilindungi dan tidak dibiarkan terlantar atau ditinggalkan dalam kondisi yang mengkhawatirkan”.

- Pasal 26: Ayat (1) :

“pekerjaan pada sebuah tempat harus didahului oleh kajian-kajian untuk memahami tempat tersebut yang harus meliputi analisis fisik, dokumentasi, oral, dan bukti-bukti lainnya, memakai pengetahuan, keahlian dan disiplin yang sesuai”.

b. UNESCO

(12)

penjualan sangat dibatasi untuk menjaga eksploitasi secara besar-besaran oleh investor yang memiliki peralatan yang canggih dan modal yang besar.

3.1.2 Pedoman Nasional

Untuk skala nasional pedoman yang perlu diperhatikan dalam proses pelaksanaan pelestarian yaitu, Undang-undang Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri. Adapun isi dari masing-masing pedoman yang mengatur tentang pelestarian yaitu:

Upaya pengelolaan sumberdaya arkeologi berangkat dari amanat UUD 1945 Pasal 32 serta TAP MPR Nomor II tahun 1993, khususnya dalam bidang kebudayaan dengan menegaskan:

“nilai tradisi dan peninggalan sejarah yang memberikan corak khas pada kebudayaan bangsa serta hasil pembangunan yang mengandung nilai kegairahan, kepeloporan, dan kebanggaan nasional perlu terus digali, dipelihara, serta dibina untuk memupuk semangat perjuangan dan cinta tanah air. Perencanaan tata ruang di semua tingkatan harus memperhatikan pelestarian bangunan dan benda yang mengandung nilai sejarah”.

Selain didasarkan atas perundangan pokok diatas, upaya pengelolaan sumberdaya arkeologi pada era otonomi daerah saat ini, juga memperhatikan atau mengakomodasi perundangan yang terkait lainnya seperti :

1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1992, tentang Benda Cagar Budaya:

1. pasal 13 Ayat (1) :

“ Setiap orang yang memiliki atau menguasai benda cagar budaya wajib melindungi dan memeliharanya “.

Ayat (2) :

(13)

2. Pasal 15

Ayat (2) point d :

“Tanpa seizin dari pemerintah setiap orang dilarang mengubah bentuk dan atau warna serta memugar benda cagar budaya.”

Ayat (2) point e :

“ Pemanfaatan benda cagar budaya yang dimaksud dalam ayat (1) tidak dilakukan dengan cara atau apabila: Bertentangan dengan upata perlindungan benda cagar budaya sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 15 ayat (2).” 3. Pasal 19

Ayat (1) :

“ Benda cagar budaya tentu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan agama, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.” (Anonim, 1997).

b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 10 tahun 1993 tentang pelaksanaan Undang-undang RI No. 5/ 1992, pasal 22, 23 ayat (1), dan pasal 36.

- Pasal 22:

“Setiap orang yang memiliki atau yang menguasai Benda Cagar Budaya wajib melakukan perlindungan dan pemeliharaan Benda Cagar Budaya yang dimiliki atau yang dikuasainya”.

- Pasal 23 Ayat (1) :

“Perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya dilakukan dengan cara penyelamatan, pengamanan, perawatan, dan pemugaran”.

Ayat (2) :

(14)

4. Pasal 36 Ayat (1) :

“Pemanfaatan benda cagar budaya dapat dilakukan atas izin yang diberikan oleh Mentri”.

Ayat (2) :

“Pemanfaatan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) hanya diberikan untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan dan atau budaya”.

Ayat (3) :

“Pemanfaatan Benda Cagar Budaya untuk kepentingan sebagaimana yang dimaksud ayat (2) dilakukan dengan tetap memperhatikan fungsi sosial dan kelestarian Benda Cagar Budaya” (Anonim, 1997).

c. Keputusan Mendikbud R.I. nomor 063/U/1995 tentang perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya, pasal 10, 11, dan pasal 18.

- Pasal 10 Ayat (1) :

“Setiap pemilik dan atau yang menguasai benda cagar budaya wajib memelihara kondisi fisik benda cagar budaya yang dimiliki dan atau dikuasai”.

Ayat (2):

“Pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi perawatan dan pemugaran”.

- Pasal 11 Ayat (1):

“Perawatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (2), dilakukan dengan cara:

(15)

b. Menyimpan Benda Cagar Budaya pada tempat yang tidak mengakibatkan Benda Cagar Budaya tercemar atau rusak akibat pengaruh lingkungan.”

Ayat (2):

“Tata cara perawatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal”.

- Pasal 18 :

“Pada saat berlakunya keputusan ini semua ketentuan yang mengatur perlindungan dan pemeliharaan Benda Cagar Budaya masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan keputusan ini (Anonim, 1997)”.

d. Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pemanfaatan Benda

Cagar Budaya Sebagai Objek Wisata

Kegiatan dengan kepariwisataan baik yang berkaitan dengan sumberdaya alam maupun sumberdaya arkeologi untuk kewenangan Pemerintah Daerah telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang RI no. 9 tahun 1990, tentang kepariwisataan. Kewenangan tersebut diatur dalam:

5. Pasal 34 Ayat (1) :

“Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan dibidang penyelenggaran kepariwisataan dengan Pemerintah Daerah”.

Ayat (2) :

(16)

IV. Kesimpulan

Mengetahui, mengerti dan memahami landasan hukum dan wewenang dalam pemanfaatan benda cagar budaya sebagai obyek wisata bukan berarti persoalan akan menjadi selesai. Dalam pelaksanaannya ternyata masih menyisakan beberapa persoalan yang harus secepatnya dicarikan jalan keluar. Pengertian tentang benda cagar budaya dalam persepsi berbagai pihak berbeda-beda. Dalam Peraturan Pemerintah N0. 10 tahun 1993 dan Keputusan menteri yang dimaksud benda cagar budaya adalah situs atau artefak yang sudah mendapat Surat Keputusan Penetapan sebagai benda cagar budaya dari menteri yang berwenang. Tentunya ini mempunyai kelemahan mengingat banyaknya sumber daya arkeologis yang mempunyai nilai tinggi untuk kepentingan akademik, ideologik dan ekonomi belum mempunyai Surat Penetapan tersebut.

Salah satu langkah kongkrit yang dapat dilakukan adalah membuat Model Pengelolaan Kawasan Budaya, yang bertujuan :

1. Mendorong dan meningkatkan kemarnpuan pemerintah kota Makassar dalam rangka melindungi asset budaya dengan cara pelestarian bangunan atau kawasan budayanya. 2. Mengarahkan dan mengendalikan hasil perancangan (design) bangunan baru yang

berada di dalam kawasan budaya yang dilestarikan.

3. Penajaman arah pengendalian pembangunan pada kawasan khusus yang dilestarikan dengan memberikan perlindungan terhadap bangunan dan memberikan arah pembentukan jati diri kawasan.

(17)

diwakili oleh instansi terkait, serta dari masyarakat yang dapat diwakili oleh LSM-LSM yang bergerak dibidang kebudayaan. Dari hal ini, tentu saja diharapkan rencana pengembangan Kawasan Budaya Terpadu dan Kawasan Strategis Konservasi Warisan Budaya yang sementara dilakukan kota pemerintah kota Makassar akan dapat terwujud tidak hanya pada tataran konsep semata tapi menjadi nyata. Termasuk dalam hal ini pengembangan Karebosi dan revitalisasi komplek kerajaan Tallo tetap mengacu pada model pengelolaan kawasan budaya. Bukankah indah ketika Makassar menjadi kota metropolis yang tetap memiliki identitas kultural yang kuat dengan bangunan-bangunan bersejarahnya yang unik dan lestari.

(18)

Asmunandar. 2006. Laporan Pendataan Benda Cagar Budaya di kawasan Kota Lama Makassar. ttb

Cleere, Henry F. 1989 (ed). Archaeological Heritage management in the Modern World.

Unwyn Hyman. London.

Darvill, Timothy. 1995. Value Systems in Archaeology. Malcolm A. Cooper, etc (ed).

Managing Archaeology. London and New York. Routledge

Grant, Jim. Sam Gorin and neil Fleming. 2002. The Archaeological Coursebook : An Introduction To Study Skills, Topics and Methods. Routledge. London and New York. Gunn, Clare A. 1994. (Third ed). Tourism Planning:Basics, Concepts, Cases. Taylor &

Francis. London.

Haryono, Timbul, 1995, “Arkeologi Kawasan dan Kawasan Arkeologi: Asas keseimbangan dalam pemanfaatan”, Berkala Arkeologi, tahun XV (Edisi Khusus) Yogyakarta, Balai Arkeologi, 139-143

Haryono, Timbul Prof. Dr. 2003, Pengembangan dan Pemanfaatan aset Budaya Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah.

Kasnowiharjo,Gunadi. 2001. “Manajemen Sumberdaya Arkeologi”. Lembaga Penerbitan Unhas : Makassar

Mundardjito. 1995. “Benda Cagar Budaya: Pengertian dan Nilai”. Makalah dalam Rapat Penyusunan Petunjuk Teknis Pelestarian, Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Cisarua, Jawa Barat, 20-23 Maret 1995.

_____.1996. “Pendekatan Integratif Dan Partisipatif Dalam Pelestarian Budaya”. Makalah. Dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya Tetap Pada Fakultas Sastra. Universitas Indonesia.

Nuryanti, Wiendu. 1999. Tourism and Culture Global Civilization in Change?. Lester Borley.

Heritage and Environment Management : The International Perspective.

Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.

Pearsen, M. dan Sullivan S, 1995, Looking After Heritage Places, Melbourne University Press, Carlton-Victoria, Australia.

Renfrew, Collin and Paul Bahn. 1991. Archaeology : Theories, Methods and Practice.

Thames and Hudson. London.

Soejono, RP. 2004. “ Arkeologi dan Pemahaman Kebudayaan”, dalam Seminar Sehari tentang Kebudayaan : Makna dan Pengelolaannya. CSIS. Jakarta.

(19)

Nama Lengkap : Yadi Mulyadi

T T L : Bandung, 19 Maret 1980

Pendidikan : S-1 Arkeologi Universitas Hasanuddin Mahasiswa Pasca Sarjana Arkeologi UGM

Pekerjaan : Staf pengajar jurusan arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Unhas dan aktif di Ujungpandang Heritage Society

Alamat : BTN Tabaria Blok E4 No. 6 Makassar Handphone : +62811445547

Fleksi : +62411-5445547

Gambar

Tabel 1. Daftar bangunan-bangunan di wilayah kota lama Makassar berdasarkan kronologi

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian tersebut kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa agama adalah ajaran yang berasal dari Tuhan atau hasil renungan manusia yang terkandung dalam

335 Ni Wayan Rati, S.Pd., M.Pd 197612142009122002 Pendidikan Guru Sekolah Dasar 2013 Penerapan Iptek Pendampingan Penyusunan Lembar Kerja Siswa (LKS) Siaga Bencana Berbasiskan

Pada Gambar 6a menunjukkan bahwa dalam simulasi ETAP nilai tegangan disisi sumber dari penyulang Cengkong Abang setelah dilakukan rekonfigurasi dengan penyulang

Berdasarkan hasil pelaksanaan kegiatan workshop di SMK Bina Insan Siak Hulu dapat kami simpulkan bahwa program Abdimas ini telah mampu memberikan manfaat yang sangat

Keberadaan DuPont Crop Protection yang bergerak dalam industri bahan kimia perlindungan tanaman atau pestisida, dimulai sebagai mitra bisnis di Indonesia pada tahun 1975

Location Manager Freelance Location Manager atau sering disebut dengan Manager Lokasi berperan dalam pencarian lokasi yang sesuai dengan konsep yang diinginkan oleh director..

pokok-pokok masalah yang akan dibahas secara terperinci, dan c) prosedur pemecahan masalah; (2) dengan metode ceramah dan tanya jawab, guru diberi pengertian

Neuron sensorik adalah neuron yang membawa impuls dari reseptor (indra) ke pusat susunan saraf (otak dan sumsum tulang belakang)..