• Tidak ada hasil yang ditemukan

Multikulturalisme implementasi pendidikan Di Eropa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Multikulturalisme implementasi pendidikan Di Eropa"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

Multikulturalisme di Eropa

Dalam Rangka memenuhi Tugas

dari mata kuliah HI Eropa

DISUSUN OLEH :

Fikri Ardiyansyah 1242500922

Zikra Ali Anwari 1242500336

Rudolof Denis T Rene’l 1242500138

Nabila 1242500724

Alfianto 1142500501

Hervillo Glen 1142500840

Hilastu Firadus 1142500295

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(2)

Latar Belakang Masalah

Berbicara tentang multikulturalisme di Eropa sangatlah terkait dengan ekspansi Islam ke Eropa dan penguasaan terhadap gereja-gereja di Eropa memunculkan berbagai pengalaman, yang tidak kesemua negaranya merasakan adanya mutual cooperation, tetapi justru yang membekas hingga saat ini adalah sejarah penuh konflik dan perang. Ingatan sejarah yang penuh kesuraman itu masih harus ditambahkan dengan masa lalu yang penuh polemik antara Kristen dan Islam bahkan hingga saat ini menyisakan usaha saling meneguhkan truth claim

diantara kedua belah pihak.

Faktanya dalam konteks pre-konsepsi dari kehadiran Islam di negara Eropa pada sepertiga akhir abad XX.Masyarakat Muslim yang datang ke Eropa di era Modern pada umumnya adalah para veteran tentara pada PD II, pengungsi (Al Jazair, Maroko, Tunisia di Perancis).Kemudian, atas kebutuhan modernisasi industri di Eropa, datanglah para imigran pekerja (Pakistan dan India di Inggris, dan di Eropa Barat, Maroko, Indonesia dan Turki di Belanda).Kedatangan kedua kelompok awal ini masih dipandang sebelah mata oleh umumnya negara Eropa. Dan ini berbekas pada kebijakan masing-masing negara terhadap kaum imigran.

Melalui ulasan sejarah tersebut, seorang ahli berpendapat yang mengatakan bahwa kedatangan Islam di Eropa tidak terlepas dari kebijakan dan persepsi masing-masing negara terhadap imigran, memori historis, serta yang lebih dalam membekas adalah praktik kolonialisme yang mencakup hampir seluruh Negara berpenduduk Muslim.Lebih lengkap ia mengatakan: “Each Europe nation has a particular relationship with its immigrant, which has been influenced by its colonial legacy, its historical memory, and its traditional perception of its former subject people. Each nation is in the process of developing policies and models for the treatment of its newest citizens, who put the nation’s self-perception of liberal traditions and religious tolerances to the test.

(3)

mayoritas adalah pelajar, persepsi sinical itu sedikit-demi sedikit mulai terhapus.Hubungan yang mulai melunak dan cair ini terjadi karena semakin banyaknya turunan generasi kedua dan ketiga dari imigran Muslim yang menganggap Eropa bukan lagi tempat tinggal sementara, melainkan tanah kelahiran mereka. Pada satu sisi situasi ini memiliki konsekuensi yang cukup baik bagi relasi negara-imigran. Tetapi pada sisi lainnya, juga menyisakan problem psikologis bagi umat Islam, terutama karena adanya asumsi “bahwa menjadi bagian dari warga Eropa, itu berarti menjadi semakin sedikit religius”. Seorang ahli berpendapat bahwa: “In western nations with a tradition of European immigration, the suitability of Muslims for citizenship was questioned in a variety of ways and eventually somewhat resolved. This has not necessarily lessened the prejudice against their presence.”

Sehingga dapat dikatakan bahwa adanya multikulturalisme yang ada di eropa sangatlah dipengaruhi oleh sejarah kemunculan islam di tambahlah lagi pada abad ke 20 dimana banyak veteran perang yang berasal dari timur tengah yang mengungsi ke wilayah eropa sehingga banyak percampuran budaya yang ada disana. Semula masyarakat muslim yang ada di eropa sulit untuk memahami budaya yang ada di eropa namun dengan berkembangnya waktu masyarakat muslim yang ada di eropa mulai bisa memahami tentang kebudayaan eropa dikarenakan sudah melalui proses regenerasi dari waktu ke waktu sehingga budaya eropa semakin lama semakin di terima oleh masyarakat muslim yang ada di eropa.

Walaupun masyarakat muslim yang ada di eropa sudah mulai memahami tentang kebudayaan yang ada di eropa namun permasalahan itu muncul kembali di prancis dimana terdapat larangan berjilbab bagi wanita yang berkerja di perusahaan sehingga menimbulkan protes dikalangan masyarakat muslim khususnya wanita yang berada di Prancis. Selain itu, permasalahan multikulturalisme yang ada di Jerman yang berpengaruh di negaranya.

(4)

sehingga di Rusia sering terjadi permasalahan internal yaitu masalah multikulturalisme yang ada di negaranya. Ditambah dengang adanya kebijakan Rusifikasi yang ada di Rusia yang membuat etnis minoritas yang ada disana tersudutkan.

Pembahasan

Seperti yang sudah dijelaskan pada latar belakang dimana multikulturalisme yang ada di Eropa berasal dari perkembangan munculnya islam disana dikarenakan pada abad ke 20 banyak imigran yang datang dari timur tengah untuk bekerja dikarenakan pada saat itu eropa membutuhkan tenaga kerja yang cukup banyak sehingga mendatangkan pekerja dari luar eropa yaitu timur tengah. Semenjak hal tersebut, banyak warga negara dari timur tengah yang menetap di eropa sehingga melahirkan keturunan yang berakibat timbul pergesekan kebudayaan antara warga eropa yang asli dengan warga negara eropa yang merupakan keturunan dari etnis – etnis lain diluar dari bangsa eropa sehingga memunculkan multikulturalisme di eropa. Terdapat beberapa negara yang berkaitan dengan multikulturalisme di eropa antara lain : Rusia, Jerman dan Prancis dimana ketiga negara tersebut memiliki permasalahan multikulturalisme di negaranya masing – masing.

1

Rusia merupakan negara yang berada di wilayah eropa timur dimana di negaranya memiliki keberagaman etnis yang ada di disana antara lain : Rusia 77,7%, Tatar 3,7%, Ukraina 1,4%, Bashkir 1,1%, Chuvash 1%, Chechnya 1%, lainnya 10,2%, tidak ditentukan 3,9%. Perlu diketahui bahwa etnis yang ada di suatu Negara sangatlah berpengaruh terhadap agama yang ada disana. Di rusia sendiri agama yang ada di Antara lain : Rusia Ortodoks 15-20%, Muslim 10-15%, Kristen lainnya 2%. Perkembangan muslim di Rusia dibawa oleh etnis Tatar dan Bashkir dimana kedua etnis tersebut merupakan etnis muslim dan biasanya etnis muslim yang ada di rusia tinggal di Republik Bashkortostan merupakan salah satu negara federal dari Rusia yang populasinya

1D. Gorenburg, Soviet Nationalities and Assimilation: Forthcoming in Reb

ounding Identities: The Politics of

(5)

diperkirakan mencapai 4.1 juta orang dan didominasi oleh etnis Russia 36.1%, etnis Bashkir 29.5% serta etnis Tatar 25.4%. Agama Islam di wilayah Bashkortostan dianut oleh sekitar 40% dari populasi yang berasal dari etnis Bashkir dan Tatar lalu penganut Kristen Ortodoks.2

Etnis Tatar berasal dengan konfederasi Tatar yang berada di

gurun Gobi sebelah timur laut di abad ke-5. Setelah penaklukan pada abad 9 oleh suku Khitans, Suku ini bermigrasi ke selatan. Pada abad ke-13, mereka ditundukkan oleh Kekaisaran Mongol di bawah Jenghis Khan. Di bawah kepemimpinan cucunya Batu Khan, mereka pindah ke arah barat, membentuk bagian dari Angkatan Emas yang mendominasi wilayah padang rumput Eurasia selama abad 14 dan 15. Etnis tatar menaklukkan Rus di tahun 1200 dan memerintah sampai Ivan III, duke besar Moskow, mengalahkan mereka di tahun 1462. Ivan menjadi penguasa tunggal atas Rusia tengah. Ia memulai dinasti pertama dalam kekaisaran Rusia. Pada tahun 1613, aristokrasi Rusia memilih Michael Romanov sebagai tsar (atau kaisar). Ini adalah permulaan dinasti kedua yang berlangsung selama tiga ratus tahun. Di bawah Romanov, Kekaisaran Rusia ukurannya menjadi lebih dari tiga kali lipat, meluas ke selatan, timur, dan barat. Para tsar terkesan dengan negara-negara kaya dan canggih dari Eropa Barat. Mereka mencoba untuk meniru Barat. Tapi masuknya Rusia ke dalam era industri modern terhalang oleh sistem tenaga kerja abad pertengahan. Petani Rusia, yang disebut serf (petani pengolah tanah, atau disebut juga budak tanah), tetap terikat dalam keadaan penghambaan kepada pemilik tanah.3

Dinasti Romanov tetap berkuasa sampai tahun 1917. Di tahun itu, kekaisaran tersapu oleh revolusi rakyat yang membentuk Uni Republik Sosialis Soviet, lebih dikenal sebagai Uni Soviet, atau U.S.S.R. Rusia, yang terbesar dari republik, membentuk inti dari Uni Soviet, memiliki sekitar setengah penduduknya. Kaum Komunis memerintah negara itu sampai serikat itu runtuh pada tahun 1991. Sejak saat itu, Rusia telah berjuang untuk mengatasi efek dari sistem komunis yang gagal. Negara ini berusaha membangun pemerintahan demokratis dan ekonomi kapitalis.

2European Parliament, ‘Violations of Human Rights and Democracy in the

Republic of Mari El in Russian

Federation’ (online), 12 Mei 2005, http://www.europarl.europa.eu/sides/g etDoc.do?pubRef=//EP//TEXT+CRE+20050512+ITEM‐

025+DOC+XML+V0//EN, diakses pada 6 Juni 2015

3The Economist, ‘The Dying Fish Swims in The Water’, 20 Desember 2005

(6)

Selain etnis Tatar dan Bashkir adapula etnis Chech yang marupakan mayoritas beragama Islam dan tinggal di daerah Kaukasus Utara yang termasuk wilayah Rusia. Chechenia dan Ingushetia adalah wilayah administratif Rusia yang terpisah sampai 1934, lalu bergabung dengan pemerintah Soviet dalam wilayah Otonomi Republik Ingush. Pada 1989 populasi gabungan antara Chechnya-Ingush diperkirakan sebesar 1.194.317 jiwa, terdiri dari 237.438 dari Ingushetia dan 956.879 dari Chechnya. Angka ini termasuk masyarakat Chechnya-Ingushetia yang ada di Yordania, Turki, dan Suriah dalam pertengahan abad kesembilan belas yang melarikan diri saat perang dengan Rusia di Kaukasus.4

Bahasa yang digunakan etnis Chechnya dan Ingushetia berbeda satu sama lain meski di daerah mereka kedua bahasa tersebut tetap digunakan. Invasi di Kaukasus menyebabkan adanya dominasi Rusia dan perginya orang-orang Chechnya dan Ingushetia selatan ke Turki, Yordania, dan Suriah. Selama delapan belas dan kesembilan belas abad, Chechnya dan Ingushetia dikonversi dari agama animisme tradisional mereka menjadi Islam, yang dianggap langkah yang dimotivasi kemungkinan politik. Hal ini diyakini bahwa ada kelompok membuat konversi untuk menyesuaikan diri untuk mempertahankan Kaukasus dari Rusia. Saat ini Islam adalah agama mayoritas penduduk dan telah menjadi kunci elemen dalam identitas etnis mereka.

Selama bergabung dengan Uni Soviet, etnis Chechnya banyak mengalami penindasan dan ketidakadilan. Oleh karena itu perjuangan etnis Chechnya sebenarnya sudah dimulai sejak masih berada dalam naungah Uni Soviet hingga menjadi Rusia seperti sekarang ini. Perjuangan etnis Chechnya ini terbagi dalam enam periode yaitu5 :

 Periode Pertama

Periode ini terjadi pada sekitar abad 16 dan17. Pada saat itu Moskow bermaksud untuk meluaskan pengaruhnya di bidang politik dan ekonomi. Penduduk dan pemimpin Chechnya rupanya tertarik dengan pendekatan Moskow tersebut dan mulai mengakui dengan sukarela kekuasaan Moskow atas wilayah mereka.

4The Baltic Times, ‘Europarliament hits Russia where it hurts’, 18 Mei 200

5,

<http://www.baltictimes.com/news/articles/12706/#.UzLXP6h_uYj>, diak ses pada 6 Juni 2015

5Finno Ugric People, ‘Mari El: Needing an Orange Revolution against Mosc

ow’s meddling in their internal

(7)

 Periode Kedua

Masa ini terjadi pada abad 18, yaitu adanya ekspansi militer pertama Rusia ke wilayah utara pegunungan Kaukasus. Pada masa itu bangsa Chechnya mulai membangkitkan perlawanan bersenjata untuk memperjuangkan kebebasan dan kemerdekaan mereka. Gerakan anti kolonial dari Chechnya biasanya dilakukan oleh orang dari golongan bawah yang merasakan adanya ketidakadilan dalam pemerintahan.

 Periode Ketiga

Hubungan antara bangsa Rusia dan Chechnya semakin buruk pada abad 19. Saat itu pasukan perlawanan Chechnya dinilai berhasil menyatukan sebagian besar bangsa Chechnya dalam kesatuan. Kelompok perlawanan Chechnya ini sempat berunding dengan pihak Rusia untuk membahas perdamaian namun gagal. Tahun 1828 pun terjadi perang Kaukasia. Perlawanan kelompok Chechnya ini mulai dipengaruhi oleh semangat jihad.

 Periode Keempat

Periode keempat dimulai pada akhir abad ke-19. Saat itu secara konstitusional Chechnya merupakan bagian dari Rusia dan tetap mengalami perlakuan yang tidak adil. Pemerintah Rusia kemudian mulai berpikir bahwa kekerasan tidak akan berhasil mengatasi masalah separatisme sehingga yang diperlukan adalah sosialisasi kebudayaan Rusia di Chechnya dengan mendirikan sekolah Rusia yang secara tidak langsung membuat orang-orang Chechnya untuk lebih memfokuskan diri pada perekonomian daripada perang. Masa ini juga dikenal sebagai masa damai yang karena kondisi pemerintahan yang mulai melonggarkan peraturan pendudukan etnis yang menandakan gerakan liberalisasi sistem sosial. Para pemuka Chechnya pun mencoba berkompromi dengan membiarkan pembangunan berjalan terus dan mengikutsertakan pejuangnya untuk membantu Rusia dalam perang, walau perlakuan diskriminatif terhadap etnis mereka terus terjadi.

 Periode Kelima

Pada periode ini rakyat Chechnya terbagi menjadi tiga kubu yaitu:

a. Kubu Nasionalis yang ingin Chechnya bergabung dalam Uni Soviet (Komunis).

(8)

c. Kubu Nasionalis radikal yang merupakan kelompok Islam dan ingin Chechnya bergabung dengan Turki.

Bentuk perjuangan rakyat Chechnya mulai beragam seperti dengan usaha membentuk sebuah negara teokratik merdeka juga pembentukan sebuah negara yang lebih sekuler (Republik Mountaineers pada tahun 1918). Walau kedua ide itu gagal, namun pihak Chechnya lain akhirnya memutuskan umtuk mengabdikan diri pada Uni Soviet yang menjanjikan kebebasan, persamaan, tanah, dan kekuasaan bagi mereka namun pada kenyataannya, janji Uni Soviet tidak pernah terwujud.

Etnis Chechnya-Ingushetia akhirnya angkat senjata lagi pada masa rezim Joseph Stalin. Kekacauan dan kerusuhan semakin berubah menjadi perang gerilya. Pada masa Stalin terjadi praktik genosida dan pengusiran kepada beberapa petinggi Chechnya. Setelah masa Stalin, muncul pemikiran untuk membangkitkan lagi Republik Mandiri Sosialis Soviet Chechnya-Ingush, sebagai salah satu negara satelit Uni Soviet. Pejuang-pejuang lama yang dulu dibuang kembali lagi namun Republik Mandiri Sosialis Soviet Chechnya-Ingushetia tidak pernah diwujudkan juga.

Pada tahun 1960-an, muncul keberanian dari sebagian warga Chechnya untuk mengirim surat kepada Central Committee Partai Komunis di Moskow yang mengkritik sikap pemerintah daerah mereka terhadap kehidupan bermasyarakat dan berbudaya mereka. Tapi pemerintah Uni Soviet tidak memberi respon positif. Pemerintah Uni Soviet malah melancarkan aksi etnosida untuk mematikan unsur dasar kehidupan suku bangsa Chechnya-Ingushetia, serta menimbulkan trauma bagi mereka.

Chechnya-Ingushetia yang merasa diperlakukan tidak baik oleh Uni Soviet kemudian membentuk gerakan pemberontakan yang semakin memuncak pada masa disintegrasi Uni Soviet tahun 1991 dan etnonasonalisme Chechnya-Ingushetia baru pun muncul.

 Periode Keenam

(9)

Mashkadov yang terpilih pada 1997. Pada awal tahun 1999, ia menjadikan Syariah Islam sebagai hukum negara, yang memicu perpecahan di dalam gerakan perlawanan Chechnya sendiri.

Bentuk pergerakan Chechnya rupanya dilakukan dengan aksi kekerasan seperti bom bunuh diri di kota-kota besar Rusia sehingga banyak pihak yang menganggap mereka sebagai gerakan terorisme. Pada masa Vladimir Putin berkuasa, Rusia menerapkan tindakan keras terhadap etnis Chechnya-Ingushetia, seperti dengan memerintahkan perang dan pembumi hangusan daerah pertikaian, sehingga banyak rakyat sipil yang terbunuh dan mengungsi.Kemudian pada Maret tahun 2003 telah disetujui untuk mengadakan referendum untuk menentukan nasib Chechnya sebagai negara bagian yang merdeka dan akan bergabung ke dalam Federasi Rusia. Referendum tersebut akhirnya menyetujui dibuatnya konstitusi baru bagi rakyat Chechnya.

Bulan Oktober pada tahun 2003 Ahmad Kadirov terpilih menjadi presiden Chechnya namun ia juga terbunuh. Terbunuhnya Presiden Chechnya ini kembali membawa suasana buruk antara Chechnya-Ingushetia dengan Rusia, ditandai merebaknya aksi teror di Rusia. Pemerintah Rusia pun melakukan tindakan tegas terhadap teroris Chechnya-Ingushetia dan hal ini justru mengakibatkan banyak korban sipil yang membuat Rusia menerima banyak kritikan.

Melihat hal tersebut, rusia mempunyai kebijakan rusifikasi me-Rusia-kan segala sesuatu hasil peradaban manusia ke dalam bentuk yang diterima oleh bangsa Rusia, melalui asimilasi budaya dan proses-proses kebudayaan lainnya Kebijakan Rusifikasi telah ada bahkan pada zaman kekaisaran Rusia demi pembentukan nasionalisme serta membentuk karakter orang-orang Rusia sebagai sebuah bangsa. Salah satu kebijakan Rusifikasi ini ialah penyeragaman bahasa yang digunakan di Rusia, yakni bahasa Rusia Asimilasi kebudayaan etnis mayoritas (yakni etnis Rus’) terhadap kebudayaan etnis-etnis minoritas menjadi cara yang paling efektif untuk mempertahankan kekuasaan Rusia di daerah-daerah seperti Siberia, Asia Tengah, dan Kaukasus pada masa Kekaisaran. Bahasa sebagai salah satu unsur budaya menjadi kunci untuk keberhasilan strategi asimilasi ini. Pada masa Uni Soviet, kebijakan Rusifikasi ini tetap menjadi alat untuk menciptakan budaya nasional yang seragam.6

6 RIA Novosti, “Infographics: Russian Census 2010 Final Result”,

(10)

Kebijakan Rusifikasi tidak semata-mata digunakan untuk menunjukkan keunggulan budaya Rus’ dibanding budaya lain; kebijakan ini digunakan sebagai alat politik untuk menjaga daerah kekuasaan Kekaisaran Rusia dari ancaman atau pengaruh bangsa lain. Karenanya, Rusifikasi bahasa tidak hanya sebagai sebuah politik bahasa yang telah berkembang dari zaman Kekaisaran, namun juga sebagai sebuah politik identitas yang menyatukan seluruh rakyat Rusia di bawah kekaisaran yang sama dan Tuhan yang sama dengan slogan ‘otokrasi, orthodoksi, dan nasionalisme. Bahasa merupakan sebuah komponen kunci dari pembentukan identitas etnis, sehingga penggunaan bahasa yang seragam mengindikasikan adanya asimilasi budaya dan identitas pada minoritas-minoritas di Rusia. Pada tahun 1970an dan 1980an, pemerintah Soviet berperan dalam program Rusifikasi yang bertujuan untuk menghancurkan kebudayaan dan bahasa minoritas di Uni Soviet, dengan mengganti kedua hal tersebut dengan budaya dan bahasa Rusia.7

Adanya kebijakan Rusifikasi ini bermula sebelum Uni soviet dimana Wilayah kekuasaan Rusia kontemporer yang sangat luas dahulunya merupakan sebuah wilayah multietnik yang dihuni oleh banyak bangsa; Slavik Timur, Baltik, Turki, dan FinnoUgrik. Sejarah Rusia dimulai dari kedatangan bangsa Varangia pada tahun 862 untuk melerai bangsa Finno-Ugrik dan Slavik Timur yang sering bertikai di wilayah Novgorod.Kedua bangsa ini sepakat untuk menjadikan Rurik dari bangsa Varangia untuk menjadi pangeran yang memimpin dan menegakkan hukum yang adil di antara mereka. Peradaban yang dibawa bangsa Varangia ini dinamakan dengan Kievan Rus' akhirnya menjadi sebutan untuk bangsa Varangia dan bangsa-bangsa lainnya yang bersatu di bawah Kepangeranan. Secara etimologi, Rus' merupakan nama dalam bahasa Finno-Ugrik untuk menyebut orang Swedia.8

Pada perkembangannya, wilayah Kievan Rus’ menjadi wilayah kepangeranan yang beragama dan menganut hukum Kristen Orthodoks serta menggunakan abjad Kirillik. Karena beberapa sebab, kepangeranan ini harus pindah ke Moskow. Sejak pemerintahan Tsar Ivan

7 O. Shevel, Russian nation‐building from Yeltsin to Medvedev: Ethnic, civ

ic, or purposefully

ambiguous?,Washington DC, Annual Meeting of the American Political Sci ence Association, 2010, hal. 5‐6

8R.G. Suny dan T. Martin, A State of Nations: Empire and Nation Making i

n The Age of Lenin and Stalin, New

(11)

IV, Kekaisaran Rusia telah menaklukan daerah-daerah berpenduduk non-Slav. Untuk memperkuat kekuasaan di daerah-daerah taklukan, Kekaisaran Rusia tidak jarang mendeportasi warga asli daerah tersebut dan membawa etnis Rus’ untuk menempati kota tersebut.Untuk melegitimasi kekuasaan dan juga meredam pemberontakan etnis minoritas, Kekaisaran Rusia menggunakan kebijakan Rusifikasi. Ketika Aleksander III memerintah, kebijakan Rusifikasi ini meliputi tiga poin; otokrasi/monarki, Orthodoksi, dan ke-Rusia-an.28 Kebijakan ini diteruskan oleh penerus tahta berikutnya yakni Nikolas II.

Selanjutnya kebijakan Rusifikasi Rusia yang ada pada era sebelum Uni Soviet dilanjutkan ke zaman Uni Soviet pada tahun 1917, wilayah Kekaisaran Rusia mengalami revolusi besar yang kemudian melengserkan tahta Nikolas II. Revolusi ini terjadi karena kaum borjuis di Kekaisaran Rusia tidak mampu melaksanakan berbagai tanggung jawab mereka dan pemerintah provinsial tidak sanggup menyelesaikan Masalah Nasional sebagaimana yang dituntut oleh masyarakat Rusia pada revolusi tahun 1905. Masalah Nasional adalah masalah yang terkait dengan pembentukan negara dan wilayah, penindasan etnis minoritas, perang sipil, penetapan konstitusi, dan penetapan berbagai kebijakan lainnya. Dalam upayanya menyelesaikan Masalah Nasional, Lenin bertekad kuat untuk menyatukan semua etnis di Uni Soviet di bawah satu bendera kelas pekerja. Bolshevik juga menentang keras diskriminasi terhadap penggunaan bahasa-bahasa minoritas.9

Oleh karenanya, pemerintah Uni Soviet mengeluarkan kebijakan untuk menyatukan identitas dari etnis-etnis yang berbeda dan membuatnya menjadi satu masyarakat yang sama. Kebijakan tersebut bernama korenizatsiya, atau dalam bahasa Inggris disebut dengan indigenization. Keinginan Bolshevik untuk membuat sebuah federasi yang berslogan national in form but socialist in content, yang menghasilkan pelembagaan etnisitas yang ada di Uni Soviet melalui pembentukan dan pembagian republik-republik dan daerah-daerah etnis serta identifikasi paspor pun terlaksana. Daerah otonomi ini akan mendorong penggunaan bahasa lokal di institusi pendidikan yang ada. Lenin berpendapat bahwa sebelum dilakukan asimilasi yang lebih masif, kelompok-kelompok minoritas wajib diberi hak-hak minoritas.10

9Encyclopaedia Britannica, “Rurik Dynasty”, <http://www.britannica.com/

EBchecked/topic/512998/RurikDynasty>, diakses pada 6 Juni 2014

10 The Online Etymology Dictionary, “Russia”, http://www.etymonline.co

(12)

Daerah otonomi tingkat pertama yakni SSR (Soviet Socialist Republics). Republik otonomi ini memiliki hak untuk melakukan pemisahan diri atau secession. Daerah otonomi tingkat kedua yakni Autonomous Soviet Socialist Republics (ASSR). Berbeda dengan SSR, ASSR tidak memiliki hak apapun untuk memisahkan diri dari Uni Soviet. ASSR membawahi dan mengendalikan dua daerah otonomi di tingkatan berikutnya, yakni autonomous oblast’/AO (autonomous region) dan okrug (distrik). Kelompok-kelompok etnis yang dinilai belum memiliki kesadaran nasional yang memadai akan mendapatkan daerah otonomi dengan hirarki yang lebih rendah, yakni oblast’ dan okrug yang tidak memiliki konstitusi dan tidak memiliki hak untuk menentukan nasib perekonomian dan perpolitikan.

Di antara kebijakan korenizatsiya terdapat politik bahasa, salah satu contohnya adalah pengadopsian abjad Kirilik untuk bahasa-bahasa etnis minoritas yang tidak memiliki bahasa tertulis. Ini adalah pertama kalinya kelompok-kelompok minoritas di wilayah Rusia memiliki kesadaran nasional Pada tahun 1921, Lenin melancarkan kampanye anti-agama di Uni Soviet, sebagaimana ajaran komunisme yang ia pahami. Kampanye anti-agama ini tentu saja berpengaruh besar bagi seluruh penduduk Uni Soviet, terlepas dari apapun agama yang mereka anut. Kampanye ini berakibat penutupan seluruh tempat peribadatan di Uni Soviet dan pelarangan pelaksanaan ritual keagamaan. Pada tahun 1924, Stalin menjadi Sekretaris Jenderal Komite Pusat selepas kematian Lenin. Kebijakan korenizatsiya dihentikan olehnya pada pertengahan 1930an.11

Setelahnya, kebijakan Rusifikasi dimunculkan kembali oleh Stalin setelah ia diangkat menjadi penguasa di Uni Soviet Stalin memiliki pandangan berbeda dengan Lenin tentang Masalah Nasional. Stalin menginginkan sebuah negara dengan satu bahasa dan budaya yang sama; yakni bahasa Rusia dan budaya Rus’ Di tahun 1938, semua kelompok minoritas diharuskan menggunakan abjad Kirillik. Selain itu, kosakata bahasa Rusia juga dimasukkan ke berbagai bahasa minoritas, seperti kosakata dalam bidang kimia, teknologi, dll. Semua bahasa di Uni Soviet harus menggunakan abjad Kirillik; ahli linguistik Uni Soviet dikerahkan untuk meRusia-sisasikan bahasa-bahasa minoritas dan menghapus kosakata-kosakata serapan (loanwords) dari bahasa-bahasa minoritas di dalam tata bahasa Rusia.

11The Free Encyclopedia by Farlex, “Russian Empire”,

(13)

Gorbachev mulai memimpin Uni Soviet pada tahun 1985 dan mengeluarkan kebijakan bernama Glasnost’ i Prestroika (Keterbukaan dan Restrukturisasi). Glasnost’ menjamin kebebasan berpendapat dan keterbukaan, disisi lain juga menjamin kebebasan akan penindasan bagi kelompok-kelompok minoritas. Media tumbuh lebih leluasa dan pemahaman publik tentang kebebasan berpendapat semakin meningkat. Kebijakan milik Gorbachev ini menghancurkan kebijakan-kebijakan yang digagas oleh pendahulunya dan menyebabkan rezim Uni Soviet runtuh pada tahun 1991 karena banyaknya intervensi militer di berbagai tempat yang menurunkan tingkat legitimasi Uni Soviet.

Setelah jatuhnya rezim Uni Soviet pada tahun 1991 mengakibatkan munculnya 15 negara baru pada perpolitikan dunia, yang mana kesemuanya gencar mengkampanyekan identitas nasional mereka sebagai bentuk perayaan kemerdekaan mereka dari Uni Soviet. Biarpun demikian, pada Federasi Rusia, identitas nasional masih merupakan sebuah masalah yang belum juga dapat diselesaikan. Presiden pertama Federasi Rusia, Boris Yeltsin, tidak pernah mengartikulasikan dengan jelas konsep identitas nasional Rusia. 11 Juni 1992, Yeltsin meniadakan kampanye anti-agama di Federasi Rusia dengan membuka kembali tempat tempat peribadatan secara resmi.

(14)

sebagai kebijakan homogenisasi yang amat menekankan karakter identitas Rusia (russkiy).

Pada tahun 2000, Putin membenahi tatanan wilayah otonomi warisan Uni Soviet yang pada politik kontemporer Rusia dinamai sebagai subjek-subjek federal (federal subjects). Federasi Rusia terdiri dari 85 subjek federal; 46 oblast’(propinsi), 22 republik, 9 krai (sudut/ujung), 4 avtonomniy okrug (distrik otonomi), 3 kota federal, dan 1 avtonomniy oblast’ (propinsi otonomi). Tiga kota federal dalam Federasi yakni Moskow, St. Petersburg, dan Sevastopol (setelah Krimea resmi menjadi bagian dari Federasi). Pada tahun 1996-7 (era Yeltsin), subjek federal ini berjumlah sebanyak 89. Vladimir Putin menggagas sebuah pemikiran untuk merger atau menggabungkan beberapa subjek federal menjadi satu. Mengingat subjek-subjek federal di Federasi Rusia dibentuk berdasarkan kelompok-kelompok etnis yang ada, hal ini membuat banyak kelompok-kelompok etnis di Federasi Rusia yang kurang menyetujui tindakan ini. Penggabungan ini diatur oleh Hukum Federal no. 6-FKZ pada 17 Desember 2001 yang bertujuan untuk menyamakan level pembangunan sosial dan ekonomi dan untuk mengoptimalkan manajemen, infrastruktur, dan sumber daya regional. Pemerintah Rusia bersikeras bahwa penggabungan ini tidak akan menyulitkan kelompok minoritas dalam pembentukan administrasif yang baru. 12

Lima penggabungan dilakukan pada tahun 2005-2008, dan dilakukan sesuai hukum yang ada. Penggabungan subjek-subjek federal akan terus dilakukan, dan proses penggabungan ini mendapatkan banyak sekali dukungan dari berbagai pihak, seperti dari The Russian Academy of Sciences dan pemimpin partai Demokrasi Liberal, Aleksei Mitrofanov, yang mengajukan proposal untuk penggabungan yang lebih masif sehingga proses sentralisasi dapat tercapai kurang dari 50 tahun. Proses penggabungan subjek federal ini merisaukan banyak sekali kelompok-kelompok minoritas mengingat penggabungan subjek ini sama artinya dengan penggabungan banyak kelompok etnis di satu wilayah dibawah hukum subjek federal yang sama; hal ini berpotensi untuk memicu lebih banyak konflik etnis daripada yang terjadi pada masa Uni Soviet. Seorang sejarawan Mari, Ksenofont Sanukov, menyatakan bahwa

12 J. OLoughin, Geopolitical Fantasies and Ordinary Russians: Perception

and Reality in the PostYeltsin Era,

University of Colorado, Colorado, 2000, hal. 8, N. Riasanovsky, Russian Id entities: a historical survey, Oxford

(15)

penggabungan subjek-subjek federal ini mengakibatkan pembubaran pengakuan hak-hak kelompok minoritas dan wilayah-wilayah titular yang ada. Penggabungan ini juga merupakan cara Federasi Rusia untuk memperluas kekuasaan pusat. Menurutnya, hal ini tidak bagus mengingat kekuasaan pusat menginginkan homogenisasi. Proses penggabungan ini juga meniadakan atribut-atribut identitas etnis yang berpotensi untuk menimbulkan ketidakpuasan diantara etnis-etnis minoritas yang ada.13

Pemerintah Rusia gencar mempromosikan nilai-nilai non-etnis agar semua suku bangsa di Rusia bersatu demi menghindari faktor-faktor potensial pemicu ketidakstabilan federasi.Putin, selaku kepala negara, mengeluarkan banyak hukum dan peraturan-peraturan baru tentang kelompok-kelompok minoritas di Rusia. Proses pembuatan kebijakan-kebijakan ini tentu saja tidak melibatkan kelompok minoritas manapun. Keputusan-keputusan yang diambil oleh Federasi Rusia bersifat homogen, dalam artian bersifat seragam kepada semua kelompok etnis di Federasi Rusia.Keputusan-keputusan ini diambil tanpa adanya pertimbangan dari kelompok-kelompok minoritas dalam kaitannya untuk menekankan identitas ke-Rusia-an. Homogenisasi ini bertujuan untuk mengurangi banyaknya permintaan/atau klaim dari kelompok-kelompok minoritas yang ada, mengingat Federasi Rusia memiliki banyak kelompok etnis minoritas.

Pada tahun 2002, muncul amandemen dari Duma yang mengatur tentang penggunaan bahasa-bahasa di Federasi Rusia, baik tertulis maupun bahasa lisan. Amandemen ini sebenarnya merupakan adopsi dari amandemen tahun 1991 Hukum Federal Tentang Bahasa dan Bangsa-Bangsa Federasi Rusia setelah organisasi-organisasi etnis Tatar menginginkan Latinisasi (Latinization) abjad mereka. Amandemen ini mengatur tentang pemberlakuan aksara wajib untuk menulis, yakni aksara Kirillik. Pasal 3(6) dari amandemen tersebut menyatakan bahwa abjad yang digunakan pada penulisan bahasa Rusia dan bahasa-bahasa milik republik etnis di Federasi Rusia haruslah menggunakan abjad Kirillik. Pada November 2004, Pengadilan Konstitusi Rusia dituntut oleh Parlemen Tatarstan karena Amandemen 2002 dinilai sebagai bentuk pencegahan bagi kelompok-kelompok etnis nonRus' untuk memilih bentuk penulisan bahasa ibunya. Hal ini juga berdampak pada

13 In Defence of Marxim, ‘Lenin on The National Question’, <http://www.

(16)

kelompok-kelompok Finno-Ugrik yang juga menggunakan abjad Latin, terutama orang-orang Karelia. Bahasa Karelia tidak dapat dijadikan sebagai bahasa resmi Republik Karelia selama bahasa Karelia masih menggunakan abjad Latin. Pakar bahasa Karelia menyebutkan bahwa Republik Karelia membutuhkan bahasa resmi untuk Republik Karelia, dan bahasa tersebut tetap harus menggunakan abjad Latin. Bahasa Karelia yang digunakan di Republik Karelia masih memiliki status legal yang lebih rendah (dibanding dengan bahasa-bahasa resmi di berbagai republik etnis lainnya) pada tahun 2011 karena penulisannya yang menggunakan abjad Latin. Semua republik milik kelompok-kelompok etnis Finno-Ugrik memiliki bahasa resmi masing-masing kecuali Republik Karelia. 14

Tidak hanya dalam masalah penggunaan abjad, kebijakan homogenisasi ini juga masuk ke ranah pendidikan sebagaimana yang diatur oleh Hukum Federal no. 309 tahun 2007 yang mengatur tentang pengajaran bahasa dan budaya minoritas serta bahasa yang digunakan dalam ujian. Hukum Federal ini, sering disebut juga sebagai ‘One Education’, keluar tanpa ada diskusi yang melibatkan kelompok-kelompok minoritas. Pada tahun 2009, muncul lagi dekrit pendidikan yang lebih baru yang tidak membolehkan penggunaan bahasa minoritas pada ujian masuk sekolah menengah yang diselenggarakan oleh republik; bahasa yang digunakan haruslah bahasa Rusia dan harus menggunakan abjad Kirillik. Beberapa taman kanak-kanak di Republik Karelia ditutup oleh pihak berwenang Rusia karena beroperasi secara ekslusif dengan menggunakan bahasa Karelia (yang mendapatkan dukungan metode pembelajaran dari Finlandia). Pada bulan Mei 2009, Moskow membentuk komisi yang mencegah pemalsuan sejarah dengan nama Commission against the Falsification of History. Komisi ini dibuat untuk mencegah tertulisnya pemalsuan sejarah atau terjadinya penulisan sejarah yang tidak diakui sebagai bagian dari sejarah Rusia yang dinyatakan asli pada buku-buku cetak murid di sekolah. Komisi ini bertindak dengan cara menerbitkan persetujuan untuk semua buku cetak yang dipakai di sekolah demi menghindari pemalsuan kejadian-kejadian sejarah Rusia.15

14E. Giuliano, ‘Secessionism From The Bottom Up: Democratization, Natio

nalism, and Local Accountability in

The Russian Transition’, World Politics, no. 58, 2012, hal. 277‐309

15 J. Smith, The Education of National Minorities: The Early Soviet Experi

ence, University College of London,

(17)

Negara yang mengalami permasalahan Multikulturalisme selain Rusia adalah Jerman dimana Secara historis, karakteristik masyarakat Jerman merupakan masyarakat multikultural. Hal ini ditandai oleh banyaknya imigran yang datang ke Jerman sejak dimulainya perekrutan tenaga kerja musiman dengan berbagai negara di tahun 1950-an. Imigran tersebut tidak dapat dipungkiri telah membawakan akibat-akibat tertentu bagi kondisi ekonomi, social, budaya dan politik Jerman. namun tidak kurang, kaum imigran tersebut telah berkontribusi besar dalam pembangunan Negara bangsa Jerman yang hinggah kini diakui sebagai salah satu Negara maju dan demokrtis. Namun hal ini sangat bertolak belakang dengan wacana tersebut, pada hakikatnya Jerman tidak pernah mengakui para imigran tersebut, bahkan imigran generasi kedua dan ketiga yang lahir dan menetap di Jerman pasca reunifikasi tidak pernah diniatkan oleh pemerintah untuk mengintegrasikan mereka16.

Masalah multikultural di Jerman ini jelas muncul akibat dari banyaknya imigran yang berbondong-bondong datang ke Jerman. Secara historis, Jerman merupakan Negara multikultural di mana Jerman memulai perekrutan tenaga kerja musiman dari berbagai Negara pada tahun 1950-an. Pada awalnya hal ini tidak menjadi masalah, namun masalah mulai muncul ketika para tenaga kerja musiman yang pada awalnya diprediksi hanya menetap sementara di Jerman menjadi penduduk tetap yang tinggal di Negara tersebut selama satu generasi. Bangsa Jerman tentu tidak menginginkan hal ini karena mereka sadar bahwa kedatangan imigran yang terus-menerus akan menjadi ancaman tersendiri bagi bangsa asli Jerman. Pada pertengahan 1980-an, pemerintah Jerman mulai mencari cara untuk mengatasi permasalahan ini. Kemudian muncullah kebijakan konsep multikulturalisme.

Para imigran dari Negara lain boleh tinggal di Jerman dan mempertahankan kebudayaan, bahasa dan pola hidup beragama, namun mereka harus tetap menghargai kebudayaan dan bahasa asli bangsa Jerman serta menyatakan kesetiaan terhadap Jerman. Kebijakan ini tentu saja diharapakan dapat menyatukan kebudayaan dari dua Negara berbeda dan kehidupan bermasyarakat lintas ras dan agama bisa berjalan dengan baik dan hidup berdampingan dengan

16 ANTONIUS, DARMAWAN (2012) KEGAGALAN KEBIJAKAN

(18)

sendirinya. Secara tidak langsung, kebijakan ini membeli “kesetiaan” para imigran kepada Jerman, mereka dituntut untuk tidak lagi setia terhadap Negara asalnya, melainkan dituntut untuk setia terhadap Negara baru mereka. Hal ini kemudian menjadi masalah karena kebijakan ini sulit diterima oleh para imigran. Mereka sulit untuk beradaptasi dan mengimplementasikan kebijakan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Ditambah lagi Jerman belum mengetahui bagaimana langkah pasti yang harus diambil agar kebijakan ini berjalan sesuai harapan. Jerman tidak tahu bagaimana caranya untuk menyatukan beberapa kebudayaan berebeda, agama, ras, dan pola hidup antara masyarakat lokal dan masyarakat imigran agar nilai-nilai kebudayaan dari masing-masing Negara tidak luntur.

Menurut Parekh model multikulturalisme yang ada di Jerman ini adalah model nasionalitas-etnik yang berdasarkan kesadaran kolektif etnik yang kuat yang landasannya adalah hubungan darah dan kekerabatan dengan founders (Para pendiri Negara). Bahasa yang digunakan sehari-hari juga menjadi salah satu identitas nasional secara etnik. Model ini dianggap sebagai model tertutup. Orang luar yang tidak memiliki hubungan darah dengan para pendiri bangsa akan tersingkir menjadi orang luar dan dianggap sebagai orang asing. Hal ini membuat kebijakan yang ingin dijalankan oleh Jerman sangat sulit untuk diimplementasikan. Kebijakan multikulturalisme sangat bertolak belakang dengan sejarah dan budaya bangsa Jerman sendiri. Pada faktanya, kebijakan ini membuat penduduk asli dan penduduk imigran tidak dapat bersatu.

(19)

kasus ini. Berbagai kasus lain namun serupa juga sering terjadi di Jerman. Hal ini merupakan akibat dari meningkatnya muslim di sana dan dengan kenyataan bahwa muslim di Jerman dianggap sebagai kaum yang sering menimbulkan masalah sosial hingga kriminal sehingga menumbuhkan 6 perasaan islamofobia, serba curiga, dan berpikir negatif terhadap Islam17. Ditambah lagi dengan tragedi

menara kembar WTC yang terjadi pada 11 September 2001 yang membuat masyarakat barat semakin menganggap bahwa Islam merupakan Agama teroris. Hal ini kemudian menyebabkan keraguan warga Jerman untuk tinggal dan hidup berdampingan dengan damai bersama para imigran ini dan semakin meningkatkan masalah kesenjangan. Mereka menganggap imigran muslim ini hanya akan meningkatkan tingkat kriminalitas atau kekerasan serta membuat kehidupan menjadi tidak nyaman dan aman.

Kecendrungan-kecendrungan menolak multikulturalisme di Jerman sangat tampak juga sepanjang periode 2000-an, dimana wacana tentang terorisme dan islam menjadi fokus perhatian politisi dan masyarakat. Hinggah tahun 2010, Kanselir Angela Markel menegaskan jika multikulturalisme di Jerman telah gagal. Merkel menyebutkan dalam pertemuan dengan para kader muda partai Uni Demokrat Kristen (CDU) di Potsdam itu, Merkel juga mengatakan, para pendatang, yang sebagian besar berasal dari Turki atau negara-negara Arab dan beragama Islam, harus memulai proses integrasi dengan masyarakat asli Jerman, menguasai bahasa Jerman, dan menjunjung tinggi budaya masyarakat setempat 18. Kebijakan yang telah dibuat oleh negara Jerman terhadap

imigran pekerja sudah sesuai. Akan tetapi, dalam menjalankannya belum bisa berjalan dengan maksimal, masih terjadi problema. Sehingga pemerintah Jermah membuat kebijakan multicultural di negaranya,Ada 4 kebijakan multikultural di Jerman, yaitu:

 Kebijakan Separatisme. Kebijakan ini berlaku bagi golongan-golongan minoritas yang sudah berabad-abad tinggal di Jerman. Mereka dilindungi oleh UU khusu s dan

17Hileud, (2008 , 24 Agustus), “Pemimpin Koalisi Jerman Tutup Pintu

Untuk Imigran Muslim,” http://hileud.com/pemimpin-koalisi-jerman-tutup-pintu-untuk-imigran-muslim.html,diakses pada tanggal 7 Juni 2015

18Bbc, (2010 , 06 April), “Multikultural Jerman Dianggap Gagal,”

(20)

dapat menyelenggarakan pendidikannya menurut kebudayaan golongan minoritas ini. Contohnya: imigran Turki dapat membangun sekolah khusus untuk orang-orang Turki.

 Kebijakan asimilasi. Kebijakan ini bertujuan agar anak-anak dari orang asing tersebut dapat menyesuaikan diri atau berasimilasi dengan masyarakat Jerman.

 Kebijakan kerja sama. Kebijakan ini mengakui adanya golongan-golongan minoritas yang mempunyai kebudayaan-kebudayaan tertentu. Mereka dihormati sepanjang tidak mengganggu ketenteraman kehidupan masyarakat umum. Terkenal pendidikan yang disebut intercultural education.

 Kebijakan Uni Eropa. Dengan lahirnya Uni Eropa munculah pendidikan yang menjembatani perbedaan-perbedaan di dalam masyarakat Eropa. Pendidikan multikultural di Jerman belum begitu berkembang dan pada saat ini masih menghadapi berbagai kendala. Ada kekhawatiran akan munculnya kembali nasionalisme sempit dan rasisme.

Berangkat dari kebijakan yang telah dibuat oleh Jerman mampu mengantarkan Jerman ke pintu gerbang keberhasilan untuk membangun multikulturalisme di negara yang dahulu pernah dianggap gagal. Jerman pada saat ini mampu untuk menerima bebrbagai imigran yang menetap di negaranya. Penduduk imigran muslim mulai mendapatkan tempat di Jerman dengan memberikan kebebasan untuk umat muslim khusunya wanita untuk mengenakan Jilbab. Namun hal ini tidak berlangsung lama,bebrapa waktu lalu tahun 2014 kelompok sayap kanan Neo Nazi anti salafisme menggelar aksi demo di koln dengan menuntut Jerman hanya untuk bangsa Jerman dan mereka menganggap budaya muslim tidak termasuk ke dalam budaya Jerman. Selain itu, mereka juga membakar salah satu masjid di Jerman dan hal ini mengancam 57% warga muslim yang berada di Jerman.

(21)

Nationalsozialistischen Untergrundes yang banyak menyerang umat muslim di Eropa khususnya Jerman merupakan kaum radikal yang bertindak sangat rasis terhadap umat muslim dan Islam tentunya19.

Selain itu Merkel,kanselir Jerman Merkel mengingatkan bahwa neo-Nazi merupakan bagian lembaran hitam sejarah Jerman. Ia pun memperingatkan aksi rasialisme dan diskriminasi di negara ini. Menyinggung pembunuhan 10 orang oleh neo-Nazi, Merkel menyebut insiden ini didalangi sayap kanan dan memalukan Jerman.

Ia pun menuntut upaya koordinasi dan gerakan baru guna mencegah terbentuknya Partai Neo-Nazi Demokrat Nasional. Terkait hal ini, Aiman Mazyek, ketua Islamic Center Jerman mengatakan, "Eskalasi kekerasan dan tindakan amoral neo-Nazi rasis di Jerman telah mengancam keamanan dan jiwa umat Islam. Dan pemerintah serta aparat keamanan tidak serius menangani masalah ini." Menurutnya, pejabat terkait di berbagai wilayah Jerman menutup mata mereka terhadap aksi kejahatan neo-Nazi, oleh karena itu masyarakat muslim Jerman sangat khawatir dengan keamanan mereka.20 Hal ini yang masih

menjadi polemik di Jerman dalam menangani multikulturalisme di negaranya.

Selain Negara Rusia dan Jerman terdapat pula Prancis yang menghadapi permasalahan Multikulturalisme dimana Sejarah munculnya multikulturalisme di Perancis bisa diawali oleh masa-masa kolonialisme yang dianut oleh negara tersebut. Negara jajahan Perancis sebagian besar merupakan negara-negara dari Afrika seperti Maroko, Aljazair, Sengal dan masih banyak lagi. Masyarakat dari negara-negra jajahan itulah yang membantu Perancis dalam berperang melawan Jerman beserta Aliansinya dalam perang dunia ke-2. Pasca perang dunia ke-2, Rupanya Perancis membutuhkan banyak pekerja kasar untuk membangun negerinya yang porak poranda, sehingga semakin banyak imigran yang datang ke negeri itu untuk bekerja dan kemudian bekerja dan menetap disana. Hal inilah yang melatarbelakangi multikulturalisme di Perancis.

19Dw, (2012 , 06 Mei), “Radikalisme Neo Nazi Di Jerman,”www.dw.de

/radikalisme neo Nazi- di Jerman,diakses pada tanggal 7 Juni 2015

20Indonesia Irib, (2009 , 03 Maret), “Multikultural Jerman Dianggap

(22)

Terkait dengan isu multikulturalisme yang ada di negara Perancis, kami akan menyampaikan informasi contoh kasus berupa imigran yang ada di sana. Imigran Prancis banyak berasal dari negara-negara Arab atau Afrika bagian utara. Atas dasar sejarah itulah makanya para imigran ini semakin hari semakin banyak jumlahnya. Mengingat para imigran tersebut berasal dari wilayah Afrika Utara seperi Aljazair maupun Maroko yang notabennya beragama muslim, maka saat mereka datang ke Prancis untuk bekerja, terjadilah proses multikulturalisme dengan percampuran budaya Eropa dengan budaya Arab. Seiring berjalannya waktu, para imigran ini semakin bertambah sehingga menjadi isu yang cukup krusial bagi Prancis sendiri karena tidak hanya memasuki urusan politik saja namun juga sudah memasuki ranah ekonomi, sosial dan budaya. Hal inilah yang menjadi perhatian pemerintah dalam menangani permasalahan imigran di Prancis.

Kesenjangan sosial antara imigran dengan masyarakat asli Prancis sering kali terlihat dari kehidupan yang mereka jalani di sana. Banyak sekali aksi-aksi diskriminatif yang dialamatkan kepada masyarakat muslim di sana dalam melakukan kegiatan sehari-harinya. Bahkan hal ini sudah masuk dalam urusan pemerintah agar tidak timbul gesekan masyarakat. Mengingat di tubuh pemerintahan sendiri ada blok-blok yang berlainan paham akan kehadiran imigran. Berkaitan dengan berkembangnya islam di Prancis yang sangat pesat dan mereka hidup secara damai dengan sesama umat Islam, namun lain halnya kehidupan di luar komunitas muslim di sana. Seperti yang sudah kami jelaskan tadi, bahwa timbulnya gesekan tersebut akibat adanya proses integrasi yang terjadi. Masalah yang dialami masyarakat muslim Prancis berawal dari peristiwa 11 September 2001 sebagai tragedi paling dahsyat dan menggemparkan dunia.

(23)

jumlah menduduk nasional. Buku yang diterbitkan oleh Badan Intelijen Pusat Amerika (CIA), CIA World Factbook, menyatakan ada sekitar 5-10% populasi Muslim di Perancis. Pada tahun 2000, Kementerian Dalam Negeri Perancis memperkirakan ada 4,1 juta orang yang dilahirkan dalam keluarga Islam, dan sekitar 40.000 orang yang beralih agama. Ada juga yang memperkirakan jumlah Muslim di Perancis 7 juta jiwa pada tahun 2009.Kembali ke permasalahan islamphobia pasca 9/11, kondisi kehidupan antar umat beragama di Prancis menjadi kacau. Ditambah pada saat itu presiden Sarkozy merupakan orang yang anti-imigran, sehingga berimbas pada kebijakan yang dibuat oleh pemerintahannya.

Daftar Pustaka

ANTONIUS, DARMAWAN (2012) KEGAGALAN KEBIJAKAN MULTIKULTURALISME DI

JERMAN. Other thesis, UPN "Veteran" Yogyakarta

Bbc, (2010 , 06 April), “Multikultural Jerman Dianggap Gagal,”

http://www.bbc.co.uk- Multikultural Jerman dianggap gagal,diakses pada tanggal 7 Juni 2015

(24)

entities: The Politics of

Identity in Russia and Ukraine (Cambridge University Press), edite d by Blair Ruble, Nancy Popson and

Dominique Arel, Harvard University, hal. 1

Dw, (2012 , 06 Mei), “Radikalisme Neo Nazi Di Jerman,”www.dw.de /radikalisme

neo Nazi- di Jerman

Encyclopaedia Britannica, “Rurik Dynasty”, <http://www.britannica.com/ EBchecked

/topic/512998/RurikDynasty>

European Parliament, ‘Violations of Human Rights and Democracy in the Republi

c of Mari El in Russian

Federation’ (online), 12 Mei 2005, http://www.europarl.europa.eu/ sides/getDoc.do?pubRef=//EP//TEXT+CRE+20050512+ITEM ‐ 025+DOC+XML+V0//EN

E. Giuliano, ‘Secessionism From The Bottom Up: Democratization, Nation alism,

and Local Accountability in

The Russian Transition’, World Politics, no. 58, 2012, hal. 277‐309 Finno Ugric People, ‘Mari El: Needing an Orange Revolution against Mosc ow’s med

dling in their internal affairs’, <http://uralica.com/mari.htm>

Hileud, (2008 , 24 Agustus), “Pemimpin Koalisi Jerman Tutup Pintu Untuk Imigran

Muslim,” http://hileud.com/pemimpin-koalisi-jerman-tutup-pintu-untuk-imigran-muslim.html

In Defence of Marxim, ‘Lenin on The National Question’, http://www.marx ist.com

/lenin‐nationalquestion160604.html

Indonesia Irib, (2009 , 03 Maret), “Multikultural Jerman Dianggap

Gagal,”http://indonesian.irib.ir/editorial/fokus/item/58210-Rasisme_Neo_Nazi_Ancam_Jerman,diakses pada tanggal 7 Juni 2015

(25)

sity College of London,

School of Slavonic and East European Studies, 1997, hal. 1 J. OLoughin, Geopolitical Fantasies and Ordinary Russians: Perception an d Reality i

n the PostYeltsin Era,

University of Colorado, Colorado, 2000, hal. 8, N. Riasanovsky, Ru ssian Identities: a historical survey, Oxford

University Press, United States, 2005, hal. 135

R.G. Suny dan T. Martin, A State of Nations: Empire and Nation Making in The Age of Lenin and Stalin, New

York, Oxford University Press, 2001, hal. 35

The Economist, ‘The Dying Fish Swims in The Water’, 20 Desember 2005, <http://

www.economist.com/node/5323735>

The Baltic Times, ‘Europarliament hits Russia where it hurts’, 18 Mei 200 5, <http:/

/www.baltictimes.com/news/articles/12706/#.UzLXP6h_uYj> The Online Etymology Dictionary, “Russia”, http://www.etymonline.com/i ndex.ph

p?term=russia

The Free Encyclopedia by Farlex, “Russian Empire”,

http://encyclopedia.thefreedic

Referensi

Dokumen terkait

1) Tekanan positif merupakan tekanan hidrostatik yang terjadi akibat cairan dalam membran. Pada dialisis hal ini dipengaruhi oleh tekanan dialiser dan resisten vena

Bagaimana tidak gelisah sepanjang masa, karena menurut sumber yang layak dipercaya, Kadirun suaminya kini sedang punya WIL. “Tahu

Abstrak : Tulisan ini berupaya membuktikan keterlibatan teori pembelajaran konstruktivisme dalam konsep kurikulum 2013. Melalui kajian pustaka, diketahui bahwa pendekatan

Berdasarkan hasil-hasil observasi dan survai terhadap subak-subak sampel, maka dapat dirumuskan rancangan Model Kebijakan untuk Revitalisasi Awig-Awig dan Perilaku

[r]

variabel jumlah tenaga kerja (X 2 ) terhadapan pendapatan industri pengolahan (Y 1) dan perdagangan (Y2), di peroleh t hitung &gt; t tabel , maka Ho ditolak dan Hi diterima

Penuntutan terhadap suatu peristiwa atau tindak pidana, termasuk tindak pidana narkotika merupakan fungsi yang dijalankan oleh Kejaksaan, dalam hal ini oleh penuntut

Melalui lagu model yang sering dinyanyikan oleh guru dan anak pada saat proses pembelajaran, diharapkan nilai karakter yang ada pada lirik lagu tersebut akan mampu