• Tidak ada hasil yang ditemukan

Media Massa Masyarakat Sipil dan Pemilu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Media Massa Masyarakat Sipil dan Pemilu"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1

Media Massa, Masyarakat Sipil dan Pemilu 2014

(Analisis Relasi Media dan Masyarakat Sipil

Untuk Pemilu Bersih 2014 di Yogyakarta)

Catatan: Dipresentasikan dalam Konferensi Nasional Komunikasi

Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI)

di Lombok, 18-20 November 2014.

Dimuat dalam prosiding konferensi ber iSBN: 978-602-34699-8-9

Masduki

Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi

Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta E-mail: masduki@hotmail.com

Abstrak

Pelaksanaan pemilihan umum legislatif dan presiden 2014 dinilai berbagai pihak sebagai peristiwa politik paling menarik dan bergairah sepanjang sejarah politik Indonesia pasca reformasi tahun 1998. Partisipasi publik baik dalam skala pasif maupun aktif sangat tinggi, termasuk masyarakat sipil, elemen kelompok penekan yang pada Pemilu periode sebelumnya cenderung apatis. Paper ini memaparkan bagaimana relasi komunitas media dan masyarakat sipil di Yogyakarta dalam kerangka promosi gagasan, pemantauan dan evaluasi gerakan sosial untuk mendorong pelaksanaan Pemilu yang bersih dan berintegritas.

Dengan mengambil studi kasus Koalisi Pemilih Kritis (KPK), organisasi perkumpulan yang menghimpun sedikitnya 20 NGO dari beragam latarbelakang di Yogyakarta, paper ini akan menguraikan bagaimana pilihan isu, strategi publikasi dan model kolaborasi media massa dengan KPK dalam mengkomunikasikan temuan tracking record calon anggota legislatif, sikap kritis terhadap pelaksanaan Pemilu 2014 secara umum. KPK menjadi model integrasi NGO beragam sektor isu, mulai NGO yang fokus kepada pemantau media, isu gender, anggaran publik, hingga lingkungan dan gerakan anti korupsi. Dengan merujuk pada konsep-konsep media relations dan komunikasi strategis di sektor publik, paper ini menguji relevansi pilihan kolaborasi yang telah dilakukan dan menawarkan rekomendasi strategis bagi kolaborasi media dan masyarakat sipil di masa depan di Yogyakarta dan untuk skala nasional.

(2)

2 Pengantar

Arsitektur media massa sebagai pilar keempat demokrasi sepanjang pelaksanaan Pemilu legislatif (Pileg) dan Pilpres tahun 2014 menampilkan dua wajah kontradiktif. Secara nasional, televisi dan media cetak yang terafiliasi kepada konglomerat-cum-politisi tak ubahnya sebagai agen propaganda partisan melalui berita insinuatif, serangkaian siaran talkshow dan iklan politik pencitraan yang tidak berimbang antar-kandidat. Laporan penelitian Masyarakat Peduli Media Yogyakarta bekerjasama dengan Dewan Pers tahun 2014 menyebutkan, independensi media menjadi barang langka pada Pemilu 2014 karena dua alasan. Pertama, media massa dipandang sebagai pembentuk citra dan opini publik, termasuk memengaruhi pendapat masyarakat dalam menentukan pilihan partai, calon legislatif dan calon presiden. Kedua, sejumlah pemilik media di Indonesia adalah petinggi partai politik dan mencalonkan diri sebagai presiden sehingga mereka terbukti memanfaatkan medianya untuk politik praktis 2014 (MPM, 2014).

Di tingkat lokal, terdapat fenomena lain: kolaborasi intensif antara newsroom dan jurnalis media massa lokal, terutama media cetak dengan aktifis sosial berlandaskan kesamaan kesadaran

(common awareness) perlunya praktek Pemilu bersih. Fenomena ini antara lain muncul di kota Yogyakarta melalui terbentuknya Koalisi Pemilih Kritis (KPK) yang lahir atas prakarsa 20 lebih organisasi masyarakat sipil termasuk organisasi profesi jurnalis: Aliansi Jurnalis Independen. Tulisan pendek ini mencoba menguraikan model kolaborasi tersebut dengan memeriksa praktek

media relations yang dilakukan KPK. Tulisan ini masih bersifat observasi awal, yang diharapkan memicu riset lebih jauh tentang relasi media dan gerakan sosial pasca reformasi 1998, dan atau secara khusus bagaimana pola media relations dan komunikasi strategis di sektor sosial sebagai salah satu domain studi Komunikasi yang kian populer di Indonesia.

Mengambil momentum tahun politik 2014 atau pelaksanaan Pileg dan Pilpres sepanjang Februari sampai Agustus 2014, tulisan ini menguraikan dimensi teoritik dan empirik bagaimana media massa memberi ruang dan masyarakat sipil memanfaatkannya untuk promosi gagasan, pemantauan dan evaluasi gerakan mendorong pelaksanaan Pemilu yang bersih dan berintegritas di satu sisi dan melakukan abstraksi-analisa atas relasi media dengan aktifis sosial dalam konteks advokasi kebijakan publik. Data-data awal dalam tulisan ini berangkat dari pengalaman langsung penulis selaku koordinator Koalisi Pemilih Kritis (KPK), kemudian dilengkapi hasil pembacaan atas dokumen pernyataan sikap, rilis media dan kliping berita KPK. Tulisan ini tidak berpretensi menempatkan praktek relasi KPK-media sebagai model terbaik. Peristiwa tersebut hanya sebagai pintu masuk untuk merefleksikan dinamika praktek hubungan media yang dilakukan para aktifis sosial, terutama ketika mengadvokasi hak-hak politik.

Media dan Masyarakat Sipil

(3)

3 Masyarakat sipil lebih luas pemaknaannya ketimbang NGO. Masyarakat sipil menjadi agen perubahan dan promotor kondisi sosial baru yang egaliter. Masyarakat sipil adalah aktor independen tak terbatas pada lembaga, tetapi termasuk keluarga, individu dan dipersepsi sebagai ‘sektor ketiga’ yang terpisah atau beroposisi atas dunia bisnis dan politik pemerintahan. Model civil society memerlukan kondisi adanya organisasi sosial politik dan kelompok kepentingan yang memiliki tingkat kemandirian tinggi. Diantara organisasi sosial dan politik yang memiliki tingkat kemandirian tinggi tersebut adalah NGO dan media massa.

Dalam tulisan berjudul reviewing NGO’s media strategies, possibilities for NGO-media colaboration, peneliti Universitas Kathmandu Kumar Sharma menguraikan fenomena menarik Asia terkait meningkatnya jumlah platform media yang dioperasikan oleh NGO sebagai media internal di satu sisi dan maraknya menggunaan media tradisional serta media sosial di kalangan para aktifis dalam diplomasi agenda publik di forum internasional. Migrasi penggunaan media tradisional ke media sosial sangat tinggi di kota besar di Asia, akan tetapi mayoritas kalangan aktifis masih meyakini kekuatan media tradisional seperti media cetak, radio dan televisi untuk komunikasi advokasi (Sharma, 2010). Kebutuhan akan media yang kemudian bergeser menjadi ketergantungan di kalangan aktifis NGO sangat tinggi. Muncul istilah tidak ada publikasi media, tidak terjadi sebuah gerakan sosial. Aktifis bertindak seperti ‘politisi publik’.

Secara historis, kolaborasi antara kelompok masyarakat sipil dengan media menjadikan keduanya sebagai salah satu aktor penting penguatan hak-hak sipil di negara-negara Asia, termasuk Indonesia. Pasca reformasi politik 1998, kekuatan media industrial dan media-media sosial telah berjalan seimbang, bersamaan dengan kekuatan gerakan sosial dalam skala isu yang beragam. Di Jakarta, NGO seperti Indonesian Corruption Watch (ICW), Kontras, Walhi, Cetro, Perludem dan Formappi menjadi langganan media untuk diberitakan dan para aktifis di NGO tersebut rajin dan telah terbiasa memproduksi wacana serta isu publik yang layak diberitakan di media massa nasional dan bahkan media internasional. Mereka menjadi PR bagi lembaganya dan PR bagi isu-isu publik yang krusial, misalnya anti-korupsi.

Dalam pengantar buku Media Relations Handbook for NGO, Milica Pesic dari Media Diversity Institute menulis: we are truly living in an information age, with newspapers, television, radio and the internet offering opportunities to learn about the issues of the day and to connect with fellow citizens, both in our own communities and around the world.Media’s role in educating the population has never been more important in helping us to fully understand the many sectors that make up society, including government and non governmental organizations alike. Meric menggarisbawahi dua pera berbeda tapi saling melengkapi antara media dan aktifis NGO: It is the media’s responsibility to provide us with the facts that permit the public to make responsible decisions. But, equally important, it is the responsibility of governmental agencies and NGOs to keep the media properly informed. These are new responsibilities for both, and ones that do not necessarily come naturally (Silver, 2003).

(4)

4 jurnalis dan aktifis sosial menjadi salah satu faktor penting, disamping adanya ikatan batin selaku sama-sama korban rezim Orde Baru. Di era Orde Baru (1966-1998), baik media massa maupun aktifis pergerakan sama-sama mengalamai tekanan kebebasan.

Hingga tahun 2014, belum ada data yang akurat berapa jumlah NGO berskala nasional di Indonesia. Development Cooperation Review tahun 1981 pernah merilis sedikitnya 8.000 NGO di seluruh dunia yang terlibat dalam gerakan pembangunan dan pembebasan masyarakat dengan total biaya yang disumbang mencapai 3,3 milyar rupiah. Jumlah diatas diperkirakan melonjak menyusul banyaknya Negara yang mendeklarasikan demokrasi sebagai pilihan sistem politik yang kemudian mengakibatkan terbukanya pendirian organisasi non pemerintah tanpa tekanan politik otoriter. Di Indonesia, termasuk di Yogyakarta, jumlah NGO yang beroperasi pasca 1998 meningkat dengan pilihan isu populis, ditengah makin menipisnya skema bantuan donor asing terhadap kerja kerja advokasi perubahan sistem politik (Fakih, 2010).

Trend model kerja NGO yang karitatif, bantuan langsung program ke warga miskin dan terpinggirkan mulai bergeser ke pola program kerja berkelanjutan berupa penguatan kapasitas institusi masyarakat sipil dan regulasi publik. Menurut Mansoer Fakih, ketegorisasi NGO di Indonesia pernah dilakukan oleh Philip Eldridge (1988) ke dalam dua arus besar. Pertama, model NGO pembangunanisme, memusatkan perhatian pada pembangunan masyarakat konvensional seperti irigasi, pusat ekonomi dan kesehatan. Kedua, model NGO mobilisasi yang memusatkan kepada literasi, edukasi, aksi advokasi rakyat miskin yang tertinggal dengan isu beragam, sejak gender, demokrasi hingga penguatan media. Lebih jauh Mansoer mencoba mengkategorisasikan NGO ke dalam tiga kelompok. Pertama, NGO model konformisme: mengurangi penderitaan. Kedua, NGO model reformasi untuk membuat struktur baru, mengubah nilai-nilai. Ketiga, NGO transformasi: menentang eksploitasi, kontra diskursus (Fakih, 2010).

Baik pada kategori yang dibuat Eldridge maupun kategori dari Mansoer Fakih diatas, posisi media massa sangat penting bagi institusi NGO dalam melakukan diseminasi eksistensi dan gerakan sosialnya. Bahkan dalam model NGO transformasi-advokasi seperti yang marak dalam 10 tahun terakhir ini, kerjasama media massa telah menjadi pilar utama sukses gerakan NGO. Sebagai ilustrasi, hampir semua struktur organisasi di NGO memiliki divisi atau bagian hubungan media dan jaringan, atau divisi pengembangan isu, publikasi dan kerjasama dengan media. Bagi sebuah NGO, pemberitaan media yang berkesinambungan akan membentuk kredibilitas lembaga itu sendiri dan sekaligus mempercepat diseminasi gagasan program yang dampaknya tidak bersifat karitatif tetapi embedded ke benak publik.

Di Negara yang masih tahap transisional menuju demokrasi paripurna seperti Indonesia, sesungguhnya ada kesamaan peran, misi, kebutuhan antara NGO dengan media massa dan jurnalis, lebih dari sekedar relasi kebutuhan praktis pemberitaan. Sehingga sangat menarik untuk mengidentifikasi bagaimana relasi sosial kultural dan struktural yang terjalin antara keduanya, dengan mengambil setting momentum sosial politik tertentu seperti Pemilu. Dinamika relasi ini akan sangat mempengaruhi model interaksi, cara pandang terhadap gagasan, dan pengelolaan isu bersama dalam kapasitas masing masing diantara media dan masyarakat sipil. Mari kita mulai dengan mengemukakan definisi dan posisi keduanya di benak publik.

(5)

5 gerakan demokrasi melalui pemberdayaan civil society yang dilakukan melalui berbagai aktifitas promosi gagasan, pendampingan hingga advokasi (Praja, 2009).

Masyarakat sipil hadir sebagai reaksi dan solusi atas melemahnya kontrol institusi negara, termasuk parlemen, dalam menjalankan fungsi pengawasan rezim politik. Sehingga awalnya NGO lahir untuk melakukan gerakan sosial politik penguatan basis demokratisasi, keterbukaan, tuntutan pers yang bebas, kebebasan berorganisasi, advokasi anti korupsi dan sebagainya. Pada masa Orde Baru, NGO menjadi kelompok kritis yang memberikan tekanan pada pemerintah. Peneliti sosial Meuthia Ganie-Rochman menyebut pola hubungan dan model aktifitas NGO sebagai pola hubungan konfliktual dengan pemerintah (Rochman, 2002). Belakangan, relasi konfliktual juga ditunjukkan NGO dengan kelompok bisnis kapitalistik.

Sementara itu media massa dan jurnalis berperan penting dalam proses konstruksi sosial atas gagasan yang dikemukakan NGO dan masyarakat sipil secara umum kepada publik. Fungsi media massa bisa beragam. Pertama, memberikan informasi: menyediakan informasi aktual dan tajam terjadinya arus penentangan atas kebijakan Negara yang eksploitatif. Kedua, membangun korelasi: menjelaskan, menafsirkan, membentuk kesepakatan antara NGM dan konstituennya. Ketiga, merintis kesinambungan: melestarikan nilai-nilai kritis. Keempat, memberikan selingan hiburan atau oase survivalitas hidup kepada masyarakat dalam formula yang tetap mencerdaskan. Kelima, menggerakkan kepedulian kolektif, turut melakukan mobilisasi dan kampanye sosial. Keenam, melakukan kontrol sosial, membuka praktek kecurangan.

Apabila program kerja NGO dipengaruhi oleh komitmen personal dan kompetensi para aktifisnya, maka isi media juga sangat dipengaruhi oleh standar profesi dan pemahaman atas etika dan peran profesional jurnalis. Lambeth (1986) seperti dikutip MCQuail pernah membuat bangunan kriteria tentang sebuah profesi. Pertama, ia adalah pekerjaan yang bersifat fulltime.

Kedua, para praktisinya memiliki komitmen mencapai hasil dari profesi itu. Jurnalis tidak hanya berkomitmen pada jurnalisme sebagai kerja fisik, komitmen untuk perubahan sosial justru lebih memicu banyak orang terjun menjadi jurnalis. Ketiga, memasuki dan mengikuti suatu profesi dibentuk oleh suatu organisasi yang mempunyai standar profesional. Umumnya organisasi jurnalis memiliki standar profesional. Keempat, profesi itu diikuti oleh suatu pendidikan formal, memiliki bentuk keilmuan yang spesialis. Kebanyakan media hari ini telah memiliki standar pelatihan untuk melahirkan jurnalis yang profesional. Kelima, identik dengan aktifis sosial, para junalis memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pada level terendah dalam fungsi penyajian informasi, jurnalisme merupakan profesi pelayan publik (McQuail, 1994).

Sebagaimana masyarakat sipil, aktifitas jurnalistik amat tergantung kondisi lingkungan media dan negara. Semakin demokratis suatu negara, semakin progresif jurnalistiknya. Semakin sehat manajemen institusi media, semakin tinggi kualitas jurnalistiknya. Studi yang dilakukan John C. Merril di bukunya Global Journalism (2008) menemukan jawaban mengapa jurnalistik di kawasan Asia belum semaju di Eropa dan Amerika Serikat karena, media secara umum masih dikontrol ketat pemerintah, media swasta beroperasi secara nasional dan dikawal ketat oleh ideologi politik pro-pemerintah (Merril, 1983). Jurnalistik dan jurnalis di Indonesia hingga tahun 1998 masih bekerja untuk kepentingan menjaga status quo.

Media Relations Masyarakat Sipil

(6)

6 public relations. Pengkajian terhadap konsep dan praktek hubungan media, tidak bisa dipisahkan dari konteks sosiologis dan ekonomis dari media massa yang tumbuh pada suatu lingkungan publik dan korporasi di satu sisi dengan meningkatnya profesionalisme dan kompetisi dalam kinerja kemuhasam, baik kehumasan korporat maupun publik. Kesalahan dalam memahami dan menerapkan performa hubungan media yang sebetulnya harus menyehatkan publik kerapkali masih terjadi di kalangan akademisi dan praktisi jurnalistik serta kehumasan, yang dilandasi kecurigaan, hasrat dominasi diantara keduanya atas yang lain. Di sektor organisasi dan gerakan sosial, aktifis demokrasi yang menjalankan relasi media bisa dikategorikan sebagai humas/PR, meski mereka tidak secara terbuka mengakuinya.

Media relations (MR) dipahami sebagai aktifitas seorang PR dalam berhubungan dengan media komunikasi untuk melakukan publisitas atau merespon kepentingan media terhadap organisasi. Artinya, media relations berkaitan dengan komunikasi, promosi, pemberian informasi dan respon balik. Inti MR adalah aktifitas untuk publisitas. Media relations lebih luas daripada press relations. Press relations istilah lama yang merujuk kepada relasi public relations (PR) dengan media cetak saja, sedangkan media relations meliputi media cetak, elektronik, internet dan hubungan interpersonal yang menopangnya. Arus komunikasi dalam media relations adalah (1) organisasi, (2) media massa, (3) publik dan kembali lagi ke organisasi. Ketua PRSA Frank Wylie tahun 1997 pernah mengemukakan bahwa waktu kerja profesional public relations pemula dalam satu hari rata-rata (50 %) dipergunakan untuk urusan teknis media relations dan 50 % untuk menganalisis dan menilai citra organisasi.

Posisi dan urgensi aktifitas media relations sangat terikat dengan tahapan hidup sebuah organisasi sosial dan komersial. Pada tahap pendirian atau kelahiran, media relations officer (MRO), siapapun yang menempati posisi ini, bekerja keras untuk mengelola publisitas yang bisa memperkenalkan organisasi dan positioning atas isu publik. Pada tahap pertumbuhan, MR lebih menekankan publisitas untuk menempatkan posisi strategis organisasi di benak publik dan mitra kerja masyarakat sipil nasional hingga internasional. Pada tahap pengembangan, MRO lebih menekankan kepada publisitas kerjasama antarlembaga dan inovasi aktifitas baru. Pada tahap krisis hingga pembubaran, MRO lebih menekankan kepada publisitas berkait masih adanya rencana ke depan, integrasi isu kepada publik/organisasi yang lebih permanen. Dalam organisasi masyarakat sipil, pentahapan publisitas diatas juga dilakukan sejak pendirian, sosialisasi lembaga/koalisi, pengarusutamaan isu, aksi dan pelibatan publik. Pada semua tahap ini, media massa dilibatkan secara sadar melalui langkah-langkah media relations.

Pada prinsipnya, media relations meliputi aspek aspek bagaimana seseorang atau institusi memahami dan melayani media, membangun reputasi/citra positif, menyediakan fasilitas untuk publikasi, bekerjasama dalam penyediaan materi informasi krusial, membangun hubungan personal yang kuat (Jefkins, 1998). Aktifitas MR sangat luas, meliputi media briefing, gathering

dan embargo. Bentuk kegiatan yang populer antara lain: Pertama, konferensi pers, suatu kegiatan rutin mengundang jurnalis untuk berdialog, materi telah disiapkan secara dini oleh pengundang. Target kegiatan ini adalah pemuatan berita dengan sudut pandang pihak pengundang. Kedua, press briefing/jumpa pers. Lebih dari sekedar konferensi pers, kegiatan ini membuka ruang dialog saling bertukar pikiran untuk menghasilkan output topik berita yang tidak hanya berada pada sudut kepentingan pengundang tetapi sudutpandang publik.

(7)

7 Peristiwa tanya jawab yang dirancang khusus oleh MRO atau diminta jurnalis untuk keperluan memperdalam isu tertentu. Kelima, kunjungan ke redaksi, kegiatan mendatangi kantor redaksi media untuk menjalin hubungan kerjasama, mengetahui seluk-berluk kerja media. Pada tahap berikutnya, kerjasama yang terjalin antara media dan NGO diwujudkan melalui penerbitan rubrik khusus konsultasi, artikel bersama atau iklan layanan masyarakat.

Secara ringkas, dari sisi pandang kerja-kerja media, relasi media dan masyarakat sipil di Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut:

Model Sifat Pers Bentuk Output

Diseminator Pasif Peliputan kegiatan insidental aktifis

Berita singkat

Agregator Pasif Wawancara khusus kepada aktifis

Berita mendalam

Fasilitator Aktif Rubrik khusus lembaga aktifis

Analisis dan berita bersambung

Kolaborator Aktif Turutserta dalam gerakan aktifis

Investigasi dan aksi

Koalisi Pemilih Kritis dan Media

Koalisi Pemilih Kritis (KPK) terbentuk pada tanggal 18 Maret 2014 atas dasar kebutuhan untuk menyatukan kekuatan bersama dari sejumlah NGO dari beragam sektor untuk merespon pelaksanaan Pemilu 2014. Inspirasi KPK identik dengan gerakan serupa pada Pemilu 2009 yang kemudian dikenal dengan gerakan anti-politisi busuk. Semangat serupa ini diwujudkan dengan formula baru yang lebih moderat dengan mengusung jargon: Pemilu bersih, dengan makna mendorong pelaksanaan pemilihan tanpa politik uang, mengajak pemilih untuk kritis terhadap calon legislatif yang terindikasi melakukan tindak korupsi, kriminalitas dan KDRT. Penggunaan istilah KPK disepakati bukan untuk memanfaatkan popularitas KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), akan tetapi untuk mempermudah resepsi lembaga ini pada benak publik dan menjadi daya tarik khusus/gimmick dalam aksi-aksinya.

Adapun 20 NGO yang tergabung menjadi anggota KPK (belakangan bertambah menjadi 21) meliputi banyak sektor kepedulian dan secara rinci diuraikan sebagai berikut:

No Nama Fokus

1 FORUM LSM DIY Keistimewaan DIY

2 LBH Yogyakarta Hukum

3 Rifka Annisa Perempuan

4 Indonesia Court Monitoring Anti Korupsi 5 Rumah Perubahan Lembaga

Penyiaran Publik (LPP)

Penyiaran Publik

6 SIGAB Difable Society

7 IDEA Kebijakan Anggaran

(8)

8 9 Yayasan SATUNAMA Kewirausahaan

10 PUKAT UGM Anti Korupsi

11 PUSHAM UII HAM

12 Masyarakat Transparansi Bantul Anti Korupsi 13 Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Perempuan

14 LABH Buruh

15 Aliansi Jurnalis Independen Jurnalis

16 NARASITA Perempuan

17 LSKP Kebijakan Publik

18 Masyarakat Peduli Media Media

19 LBH Pers Jurnalis

20 PR2Media Media

21 IRE Pemberdayaan Masyarakat

Mengapa penulis memilih KPK? Meskipun bukan model kolaborasi yang pertama dan terbaik, tetapi KPK menjadi menarik dicermati karena organ yang bersifat adhoc ini merupakan kumpulan dari 20 organisasi masyarakat sipil di Yogyakarta. Gerakan KPK mewakili inisiatif kecil membangun kolaborasi untuk merangkul media secara kolektif bukan hanya media tertentu. Para pegiatnya berangkat dari pengalaman dan pemahaman yang sama bahwa media penting dan relasi yang terbangun antara media dengan pegiat KPK serta pola gerakan yang dipilih relatif sama dengan ketika relasi itu terjalin hanya antara satu media dengan NGO. Isu yang diusung bersifat krusial, yaitu pemantauan Pemilu 2014. Dalam relasinya dengan media massa, KPK menyajikan empat tahapan isu pokok: pendirian lembaga, tracking caleg, kampanye Pemilu bersih dan tindaklanjut aksi pasca Pemilu. Berikut rinciannya:

(9)

9

Publikasi pendirian KPK telah dimuat di beberapa media lokal dan nasional. Antara lain harian Tribun Jogja dengan narasi deskriptif sebagai berikut: Lembaga pro-demokrasi dan pro pemberantasan korupsi serta penegakan HAM di Yogyakarta, me-launching Posko Koalisi Pemilih Kritis (KPK) untuk Pemilu 2014. Menurut Koordinator KPK Masduki, tujuan dari posko tersebut pemilih kritis menuju demokrasi substantif untuk Pemilu yang lebih berkualitas.

Tribun Jogja mempertegas tujuan makro dan teknis pendirian KPK dalam narasi: "Posko didirikan sebagai upaya untuk turut terlibat aktif dalam pergerakan demokrasi substantif di Pemilu 2014," kata Masduki dalam rilis yang disampaikan kepada Tribun Jogja, Selasa (18/3/2013). Bagi KPK tidak cukup kesuksesan Pemilu 2014 hanya dalam aras demokrasi prosedural (berlangsungnya tahapan-tahapan Pemilu sesuai yang dijadwalkan KPU) saja tapi juga memastikan Pemilu 2014 arena politik menuju demokrasi subtantif.

"Demokrasi yang substansif termasuk dalam penegakan HAM dan keadilan serta pemberantasan korupsi," tambahnya. Untuk menuju demokrasi substantif, kebutuhan adanya pemilih kritis dalam Pemilu 2014 menjadi agenda strategis demi pesta demokrasi yang lebih berkualitas di tengah hingar bingarnya situasi kampanye para peserta ajang demokrasi lima tahunan itu. Posko KPK yang beranggotakan 20 lembaga prodemokrasi dan pro pemberantasan korupsi serta penegakan HAM di Yogyakarta membuka sekretariat di kantor Walhi Yogyakarta Jl Nyi Pembayun 14 A Kotagede Yogyakarta (Tribun Jogja, 2014).

Pendirian KPK juga diberitakan harian Kompas dengan narasi deskriptif antara lain sebagai berikut: …di Yogyakarta, 20 lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Pemilih Kritis untuk Pemilihan Umum 2014 membuka posko Koalisi Pemilih Kritis. Mereka hendak mengawal Pemilu 2014 sebagai arena politik menuju demokrasi substantif dan bukan sekadar prosedural rutin setiap lima tahun. ”Kebutuhan pemilih kritis ini menjadi agenda strategis di tengah ingar-bingar situasi kampanye,” kata Masduki, Koordinator Koalisi Pemilih Kritis untuk Pemilu 2014. Menjelang pencoblosan, koalisi ini akan membuat penelusuran rekam jejak calon anggota legislatif, baik dari sisi administratif maupun substantif. ”Publikasi penelusuran rekam jejak para caleg ini akan kami umumkan pekan depan,” katanya.

Pada tahapan publikasi hasil penelusuran profil calon anggota legislatif provinsi DIY, dokumen riset KPK dimuat hampir semua media cetak lokal di Yogyakarta. Antara lain Koran Tempo dengan narasi deskriptif berikut: Hampir 30 persen calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI asal daerah pemilihan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan orang yang berada di ambang batas usia produktif. “Mengetahui umur ini penting untuk melihat produktivitas,” kata Juru Bicara Koalisi Masduki dalam jumpa pers hasil penelusuran profil administratif calon DPR RI dan Dewan Perwakilan Daerah DIY, Kamis 27 Maret 2014.

(10)

10 selama lima tahun jika terpilih, maka ambang batas itu berada di usia 59 tahun. Meski demikian, koalisi menyebutkan ada juga sejumlah caleg yang melampaui ambang batas usi produktif. Adapun untuk calon anggota DPD dari DIY (13 orang), empat di antaranya disebut sudah berusia tak produktif. Koalisi tak membeberkan nama-nama mereka.

Selain merilis jumlah calon berusia produktif, koalisi yang terbentuk 18 Maret lalu itu sekaligus mengungkap tingkat pendidikan para calon. Jumlah calon DPR RI asal DIY berpendidikan sarjana mencapai rata-rata 75 persen dan DPD mencapai 76 persen. Adapun sisanya, baik DPR RI dan DPD, merupakan lulusan SMA dan Diploma. Menurut dia, latar pendidikan menjadi tolok ukur pada kompetensi, skill, dan kemampuan seorang legislator. Seorang calon legislator, ia melanjutkan, setidaknya harus berpendidikan sarjana. “Ini terkait dengan standar intelektualitas,” katanya (Koran Tempo, 2014).

Melalui artikel pendek ini, penting dikemukakan bahwa belum semua media berkenan meliput aktifitas KPK dan keadaan ini membangun keyakinan awal bahwa belum semua jurnalis memiliki semangat serupa dan masih terdapat resistensi dari kalangan jurnalis terhadap sikap dan gerakan aktifis. Pada momen pendirian KPK, posisi media dan jurnalis bersifat pasif, hanya meliput dan memuat berita. Ini berbeda pada momentum publikasi hasil tracking, dimana jurnalis turut memberi pilihan sudut pandang publik terhadap KPK dalam membuat publikasi. Fenomena ini kiranya menarik diteliti lebih lanjut. Jika dicermati, hanya sekitar 30 persen dari total media yang beroperasi di Yogyakarta meliput dan berkolaborasi membuat berita berkelanjutan atas aktifitas KPK. Mayoritas media yang meliput bersifat terbitan harian. Adapun data media massa selengkapnya di Yogyakarta tahun 2013 adalah:

No Nama Jenis Alamat

1 Bernas Jogja Koran Jl. IKIP PGRI Sonosewu 2 Harian Jogja Koran Jl. AM Sangaji

3 Jogja Raya Koran Jl. Affandi/Gejayan 4 Kedaulatan Rakyat Koran Jl. P. Mangkubumi 5 Koran Merapi Koran Jl. P. Mangkubumi 6 Radar Yogya Koran Jl. Ring Road Utara CC 7 Tribun Jogja Koran Jl. Jenderal Sudirman

8 Minggu Pagi SKM Jl. P. Mangkubumi

9 Basis Majalah Jl. Pringgokusuman

10 Djaka Lodang Majalah Jl. Patehan Tengah

11 KABARE Majalah Jl. Pacar Baciro

12 PRABA Majalah Jl. Bintaran Kidul

13 Pusara Majalah Jl. Tamansiswa

14 Rohani Majalah Jl. Pringgokusuman

15 SINUS Majalah Jl. Tamansiswa

16 Suara Aisyiyah Majalah Jl. Kauman

17 Suara Muhammadiyah Majalah Jl. KH Ahmad Dahlan

18 Utusan Majalah Jl. Pringgokusuman

(11)

11 Penutup

Berdasarkan uraian singkat diatas, maka tulisan ini akan ditutup dengan beberapa catatan dan rekomendasi kolaborasi yang dilakukan NGO dan media ke depan.

1. Pertama, kerja-kerja advokasi isu publik terutama pelaksanaan pemantauan Pemilu 2014 yang dilakukan masyarakat sipil yang tergabung dalam organisasi KPK di Yogyakarta belum menerapkan prinsip dan model aktifitas media relations secara penuh sehingga promosi dan penyebarluasan gagasan serta hasil kerja monitoring masih terbatas pada media cetak dan online yang beredar di ruang publik perkotaan.

2. Mayoritas kegiatan media relations berupa konferensi pers dan siaran pers menunjukkan kerja-kerja media relations dan kolaborasi antara media dan masyarakat sipil yang masih cenderung instan, opinion based dan tidak menjamin integrasi isu yang dapat secara permanen dikelola komunitas NGO dan redaksi media.

3. Sebagai NGO yang menempatkan diri pada ranah advokasi, transformasi masyarakat, KPK belum konsisten mengelola isu di media untuk advokasi yang berkesinambungan dan berbasis agenda publik. Model publikasi dan pilihan isu KPK masih berbasis isu sektoral dan tentative. Idealnya, peran NGO di tahap pemberitaan adalah pemantik bagi jurnalis untuk melakukan pendalaman isu publik.

Rekomendasi yang dapat dijukan untuk memperkokoh relasi media dengan NGO ke depan dalam advokasi isu-isu politik adalah penerapan kolaborasi yang paripurna antara media dan aktifis sosial. Aktifitas upgrading pengetahuan dan analisis sosial, ideologisasi isu-isu publik secara komprehensif melalui pelatihan terstruktur perlu digagas oleh aktifis sosial untuk jurnalis disamping kunjungan media dan pertemuan periodik antara kedua belah pihak. Kesamaan misi, idealisme dan adanya isu publik bersama yang disepakati dapat menjadi modal sosial kolaborasi struktural (kelembagaan) antara media-masyarakat sipil yang makin paripurna. Di masa depan, diharapkan semakin banyak aktifis di ranah masyarakat sipil yang tertarik menjadi jurnalis dan sebaliknya: jurnalis yang mengokohkan diri sebagai aktifis.

Daftar Pustaka

1. Fakih, Mansour (2010), Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial, Pergolakan Ideologi LSM di Indonesia, Yogyakarta: INSIST Press

2. Jefkin, Frank (1998), Public Relations, USA: Prentice Hall

3. Masyarakat Peduli Media (2014), Laporan Riset Pemilu 2014 dan Konglomerasi Media Nasional, Yogyakarta: Masyarakat Peduli Media

4. McQuail (2004), Mass Communication Theories, An Introduction, London: Sage Publications

5. Merril, John C. (2008), Global Journalism, Fifth Edition, USA: Missouri University 6. Nandyatama, Randy Wirasta (2014), The Politics of Non-Government Organizations’s

Involvement in ASEAN, an Indonesian Perspective, Yogyakarta: Faculty of Social and Political Studies, Gadjah Mada University Asean Studies Center

(12)

12 8. Rochman, Meuthia-Ganie, dalam Maruto MD dan Anwari WMK (ed.), (2002),

Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat, Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi,

Jakarta: Penerbit LP3ES

9. Sharma, Sundar Kumar (2010), Reviewing NGO’s Media Strategies, Possibilities for NGO-Media Collaboration, International NGO Journal May 2010

10.Serikat Perusahaan Pers (2013), Media Directory 2012/2013, Jakarta: SPS-Infomedia 11.Silver, Sarah (2003), A Media Relations Handbook for NGO, New York: Independent

Journalism Foundation

Referensi

Dokumen terkait

Tindak tutur komisif sendiri merukapan salah satu bagian dari tindak tutur ilokusi sebagai data yang akan digunakan oleh penulis dalam analisis ini adalah film

tegakkan untuk tempat bersarang dan jenis tumbuhan pakan kukang (Nycticebus coucang) di Hutan Lindung Pegunungan Merratus, Kalimantan Selatan dilakukan selama

Diagnosis mencakup kriteria sebagai berikut: gagal hati kronis lanjut disertai dengan hipertensi portal; kreatinin serum melebihi 1,5 mg/dL atau kreatinin serum 24-jam <

Penasehatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4).. Persuader yaitu staff BP4 menghadapi masalah-masalah yang di bawa oleh pasangan. Untuk itu staf BP4 sebagai

lain (1) untuk memetakan dan menganalisis tata kelola kelembagaan BUM Desa Mardi Gemi melalui unit usaha Pasar Ekologis Argo Wijil; (2) untuk meningkatkan kapasitas pengelola BUM

Setelah melakukan penelitian tindakan kelas dengan tiga siklus maka peneliti membuat kesimpulan atas pelaksanaan pembelajaran dengan menerapkan metode eksperimen