• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ingin Wanita Jadi Subjek Politik.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ingin Wanita Jadi Subjek Politik."

Copied!
2
0
0

Teks penuh

(1)

o

Selasa

0

Rabu

456 7

20 21 22

.

Mar

0

A,Jr

0

Mei

G

Kamis

0

Jumat

8 9 10 11

23 24 25 26

OJun

0 Jul 0 Ags

o Sabtu

12 13

27 28

OSep OOkt

Pikiran

Rakyat

. Ev{e"'Arla'dl1e'ShTnta'i5ewi

.

Minggu

14

15

16

~

30 31

ONov

ODes

Ingin Wan ita

~ ~ - -~- - ,. ~- .- .,', ~

-Jadi Su~j~~ P~Ii~ik

HAMPIR saban hari

media menuliskan

per-nyataanya,

hampir

se-tiap waktu radio

me-nyebutkan

namanya.

Tapi ia bukan calon

le-gislatif (caleg) yang

se-dangjor-joran

mem-promosikan

diri untuk

dipilih para

konsti-tuen1Jya. Evie Ariadne

Shinta Dewi hanya

seo-rang perempuan

yang

mengaku

"kadung"

nyebur

dalam sistem

politik,

dan kini

se-dang sibuk

menyiap-kan Pemilu 2009.

"Jadi, Kalau saya ada.di mana-~ana .; rang yang mendafta; ~e~jadi calon d~~ ?awel ~engan pemllu, kemudlan anggota KPU pastilah didukung organi-dmhs medl~ dan nye~a.r, kar~na m~- sasi atau kelompok massa (ormas) ter-mang kapasltasnya dl SItu," uJat EVle tentu.

y~ng statu.s facebooknya selalu ramai Hal ituterb~kti d;"ri berbagai'perta-dltanggapl gara faceboo~~

_=

nyaan sesama caIQnanggota KPU

Masuk sistem yang pada waktu itu mendaftar. "Saya . Keterlibatan Evie di KPU awalnya le- bin~ng saat ditany~ dari ormas ma-blh untuk penelitian desertasi program na, dldukung oleh Slapa. Lha wong doktornya tentang Sistem Komunikasi saya mendaftar untukkeperluan de-Politik Pemilu di Indonesia. Kebetulan, sertasi," ujar Evie yang akhirnya promotornya adalah Prof. Kusnaka mengaku dari Unpad.

.

Adimihardja. "Beliau menyarankan ke- Masuk ke ranah politik seperti itu, pada saya untuk masuk langsung ke Evie mengaku mengalami "gegar bu-dalam sistem politik yang ada," ujar daya:' yan!?sangat luar biasa. Di

kam-Evie. pus, ~aleblh banyak behtat dengan

Berangkat dari situlah, Evie mulai teori-teori, diskusi mah~siswa, dan menimbang-nimbang sistem mana hal-hal yang bersifat keilmuan. Tetapi yang ~kan dimasukinya. "Kalau ke par~ ketika masuk ke ~ala.m~~stem politik pol, tldak mungkin. Saya kan pegawai secara langsung; la dlkepu~g banyak negeri. Jadi calegjuga, kurang sreg. Sa- hal berbe~a'da? ~pa yang la bay~ng-tu-satunyajalan untuk masuk ke dalam kan, mulal dan slstem, kultur, mznd-sistem itu, ya lewat KPU. Lembaga set, sampai ke paradigma.

yang saya pikir bisa lebih menerima sa-ya sa-yang independen," tuturnsa-ya.

Justrn dari situlah, Evie mulai me-ngukai "rimba" sistem komunikasi po-litik di Indonesia. Menurntnya, untuk menjadi anggota KPU ternyata tidak independ.~p..Pada uffiumnya, seseo- ..

Hum as

Un pod

2009---ERIYANTI/"PR"

EVIE Ariadne Shinta Dewi.*

---P

EREMPUAN kelahiran Ban-dung 1April 1967, ditemui "PR" usai mengikuti rapat men-dadak di Pemkot Bandung, padahal di-rinya barn saja selesai mengajar di Ju-rnsan Hubungan Masyarakat Fikom Unpad Jatinangor, tempat dirinya ber-karier.

"Waduh, maafMbakjadi telat begini. Padahal kita sudah janjian sejak Senin ya," ujar ibu tiga anak ini sambil me-nepis tetesan hujan yang menempel di bajunya.

_ J~rena_kesil.?ukan_(lim..p-o[>ul\!.ritas-nya~Evie-menolak ka,\au-dmnya""Secara

sengaja mencoba ikon Komisi Pemilih-an Umum (KPU) Kota BPemilih-andung. Me-nurnt dia, hal itu hanya kebetulan ka-rena memang jabatannya sebagai Ke':; tua Divisi Sosialisasi Pendidikan Pemi-lih, Manajemen Informasi & Hubung-an Partisipasi Masyarakat KPU Kota _~andung. _

----Kliping

Penuh warna

KeterlibatanEviedalam sistem

po-litik, mungkin barn sekarang.Tetapi

.

dengan berlatarbelakang pendidikan Hubungan Internasiomil (HI) Unpad
(2)

-untuk gelar kesarjanaannya, Evie su-dah mengenal dunia tersebut. Namun bila merunut kembali bagaimana kehi-dupan Evie sebelum sekarang, bisa di-bilang penuh warna.

. Saat remaja, Evie rajin menulis dan berorganisasi. Beberapa tulisan dan karya sastranya sering muncul di ber-bagai media, termasuk HU Pikiran Rakyat. Menurut Evie, kegiatan menu-lis itu dijalaninya saat masih kuliah. la pun sempat bergabungdengan Kelom-pok 10. Bahkan, Evie juga sempat menjadi wartawan HU Gala.

Na1)1unkarena merasa tidak "tahan" dengan tugas kewartawanan pada wak-tu iwak-tu, selulus dari HI Unpad tahun 1991 Evie berhentijadi wartawan. la pindah ke Jakarta dan menjalani karier di dunia perhotelan. la berpindah dari satu ke hotel yang lain dan dalam ku-run tiga tahun ia sudah berhasil men-dudukijabatan ~bagai training mana-ger di sebuah hd'fel dengan sistem ma-najemen Jepang.

Tahun 1994 Evie menikah dengan H. Arrys Sudradjat, S.H. dan melepaskan diri dari semua karier yang sudah di-rintisnya. la menjadi ibu rumah tangga dan mempunyai 3 orang anak. Nam1.Jn, bukan Evie namanya kalau harus ber-henti berkegiatan. Meski sebagai ibu rumah tangga, ia kursus ini itu sampai ASI terakhir si bungsu diberikan, ia pun berkuliah lagi di UPI (Universitas Pendidikan Indonesia).

"Waktu itu saya ambil manajemen pendidik~n karena terobsesi ingin pu-nya sekolaha yang baik untuk anak sa-ya. Tapi kalau Allah SWT berkehendak lain, manusia tidak bisa berbuat apa-apa," ujar Evie yang setelah lulus ter-nyata malah diterima menjadi PNS di jurusan Hubungan Masyarakat

(Hu-mas) Fikom Unpad. "Padahal, waktu itu last minute banget dengan usia saya yang sudah 35 tahun," ujarnya.

Di antara "pontang-pantingnya" mengurus sosialisasipPemilu di KPU, Evie masih mengajar minimal 14 SKS/ minggu, dan menghubungi dosen-do-sen program S3 di Unpad JIn. Dago. Tak mengherankan bila ia harus bolak-balik Bandung-Jatinangor.

"Kalau sudah begini, saya suka ber-

.

tanya-tanya mengapa itu jalan tol tidak dibuat nyaman untuk kaum perempu-an. Padahal, kita harus bolak-balik

sa-ban hari dengan rahim yang di-ajrug-ajrug. Inilah yang

menu-rut saya bentuk dari belum-nya ada perhatian politik

yang benar \1nfuk perem-puan," ujarnya m\ilai

menyinggung persoalan

po-litik perempuan.

Bukan subjek

Dalam sisfem politik di Indonesia, perempuan menurut Evie, memang ti-da diposisikan sebagai subjek. Contoh-nya perempuan yang tergabung dalam PKK. Dalam banyak kegiatan, mulai dari membuat konsep hidup sehat, ningkatan gizi keluarga, cara-cara pe-nimbangan, sampai manajemen dan pengelolaan Puskemas semuanya dlIa-kukan oleh kaum perempuan yang menjadi penggerak PKK. Namun pada saat perempuan itu harus membuat ke-putusan, ia menyerahkan hal itu kepa-da pak RT, pak lurah, pak camat, atau yang lainnya.

Ibu-ibu ini, menurut Evie, tidak aware bahwa dirinya adalah subjek da-lam sebuah sistem politik. Mereka ha-nya merasa sebagai subordinat seum~r hidup. Tidak pernah terbangun sistem yang komprehensif yang memosisikan perempuan sebagai dirinya.

"Dalam kegiatan Posyandu itu, yang inenjadi kreator message-nya kan me-reka. Mereka yang membuat program, menyampaikan pesan dari progran ter-sebut, mengevaluasinya. Tetapi kenapa pada saat harus memutuskan sesuatu harus minta persetujuan kepada pak lurah atau pak camat? Inilah yang kita sebut selalu menjadi sub ordi-nat," ujarnya.

Evie mengaku bukan seorang feminis, teta-pi sangat tidak tahan kalau melihat pe-rempuan tidak bisa menjadi dirinya sendiri. Padahal, kata dia, pada saat perempuan tidak membuat keputusan, sistem politikjalan terus. "Karena perem-puan-perempuan yang bekerja ril di lapangan tidak menyadari dengan apa yang sudah

dilakukannya-- terlepas apakah dia mau menjadi anggo-ta le- gisla-tif

atau tidak -- maka kuota 20% perem-puan itu diisilah oleh peremperem-puan-pe- perempuan-pe-rempuan yang justru tidak tahu perso-alan di tingkat akar rumput," paparnya.

Lebih parahnya, perempuan-perem-puan yang sudah menjadi anggota le-gislatif pun, cenderung memilih untuk duduk di komisi yang berkenaan de-ngan kesejahteraan. "Kenapa tidak be-rani duduk di komisi pemerintahan atau anggaran misalnya. Dengan begi-tu, kaum perempuan dapat memberl perspektif keperempuanannya bagi pe-nyelenggaraan pemerintahan," ujar-anya.

Kendati begitu, Evie mengakui, seba-gian besar perempuan memang belum siap. Sementara, pendidikan politik pe-rempuan juga tidak ada. Padahal, PKK sebagai lembaga legal pemerintah su-dah seharusnya memberikan pendidik-an politik sederhpendidik-ana tentpendidik-ang kewarga-negaraan (civic

education) kepada:para

anggotanya. Sehingga kaum perempu-an tahu apa yperempu-ang kewajibperempu-an dperempu-an hak-haknya sebagai warga negara.

Untuk memberdayakan perempuan, Evie menganjurkan isteri-isteri pejabat harus well educated. Kalau jabatan suaminya meningkat, isteri pejabat ha-rus mau belajar. "Kalau leader sudah educated dan salah satunya adalah aware terhadap politik, di bawahnya

pasti mengikuti," ujarnya. Hal penting lain menut:Ut Evie, pemerintah harns

membuat sebuah sistem dalam skala nasional

yang fokus pada perem-puan. Perempuan tidak sekadar dianggap seba-gai penopang ekonomi keluarga pada saat kri-sis, tetapi sebuah Ise-kuatan yang justru dapat menggerakkan ekonomi dalam skala yang lebih makro.

Referensi

Dokumen terkait