• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI PROGRAM COMMUNITY ACTION PLAN (CAP) DALAM PENATAAN KAMPUNG KUMUH DKI JAKARTA (STUDI KASUS KAMPUNG BUKIT DURI JAKARTA SELATAN)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "EVALUASI PROGRAM COMMUNITY ACTION PLAN (CAP) DALAM PENATAAN KAMPUNG KUMUH DKI JAKARTA (STUDI KASUS KAMPUNG BUKIT DURI JAKARTA SELATAN)"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

635

EVALUASI PROGRAM COMMUNITY ACTION PLAN (CAP) DALAM PENATAAN KAMPUNG KUMUH DKI JAKARTA

(STUDI KASUS KAMPUNG BUKIT DURI JAKARTA SELATAN)

Ayuni Murtiana Riadin1, Toddy Aditya2, Nurhakim3 Universitas Muhammadiyah Tangerang

[email protected], [email protected] [email protected]3

ABSTRAK

DKI Jakarta sampai saat ini masih menjadi primadona bagi warga pendatang yang ingin mengadu nasib di Ibukota. Para pendatang yang selalu bertambah setiap tahunnya menyebabkan tingkat kepadatan penduduk di Jakarta semakin tinggi. Hal ini tidak berbanding lurus dengan ketersediaan lahan untuk pemukiman yang mengakibatkan banyaknya warga yang tinggal di sekitar bantaran sungai. Tata kelola bangunan yang tidak teratur serta lingkungan yang kurang bersih menyebabkan pemukiman atau perkampungan ini terlihat kumuh. Setelah pergantian kepemimpinan pada tahun 2017 lalu, DKI Jakarta mulai berbenah. Pemerintah DKI Jakarta meluncurkan program penataan kampung yang berbasis masyarakat. Melalui program ini diharapkan terbentuknya sinergitas antara pemerintah, dan masyarakat sehingga mengasilkan terciptanya pemukiman yang lebih manusiawi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan program Community Action Plan (CAP) dalam penataan kampung di DKI Jakarta. Jenis penelitian yang digunakan yaitu deskriptif dengan pendekatan metode kualitatif. Sumber data diperoleh melalui studi pustaka dan studi lapangan berupa observasi dan wawancara. Penelitian ini dilakukan di Bukit Duri, Jakarta Selatan, dan objek penelitiannya adalah bagaimana pelaksanaan program Community Action Plan (CAP) di lapangan, dapatkah memberikan solusi kepada warga Bukit Duri dan bagaimana peran para aktor yang terlibat dalam pelaksanaan program Community Action Plan (CAP) tersebut dalam penataan kampung kumuh di Bukit Duri, Jakarta Selatan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa program Community Action Plan (CAP) belum bisa menjadi solusi bagi warga korban penggusuran di Bukit Duri, Jakarta Selatan. Terdapat egosentris lembaga pendamping serta tidak jelasnya legalitas lahan yang nantinya akan dijadikan Kampung Susun menyebabkan tidak terciptanya kolaborasi dan sinergitas pihak-pihak yang terkait seperti warga, pemerintah dan masyarakat sipil.

Kata Kunci : Pemukiman Kumuh, Penataan Kampung, Pembangunan Partisipatif, Community Action Plan (CAP), Kampung Bukit Duri

ABSTRACT

DKI Jakarta is still the belle of immigrants who want to try their luck in the capital. The migrants who always increase each year cause the population density in Jakarta to be higher.

This is not matched by the availability of residential land which resulted in many residents living around the riverbanks. Irregular building management and unclean environment make the settlement or village look dirty. After the change of leadership in 2017, DKI Jakarta began to improve. The DKI Jakarta Government has launched a community-based village management program. Through this program, it is hoped that synergy will be formed between the government and the community so as to result in the creation of more humane settlements.

This study aims to find out how the implementation of the Community Action Plan (CAP) program in village structuring in DKI Jakarta. The type of research used is descriptive with a qualitative method approach. Sources of data obtained through library research and field studies in the form of observation and interviews. This research was conducted in Bukit Duri,

(2)

636 South Jakarta, and the object of the research was how the implementation of the Community Action Plan (CAP) program in the field, could provide solutions to the residents of Bukit Duri and how the roles of the actors involved in implementing the Community Action Plan (CAP) program in the arrangement of slums in Bukit Duri, South Jakarta. The results of this study indicate that the Community Action Plan (CAP) program cannot yet be a solution for residents of evictions in Bukit Duri, South Jakarta. There is an egocentric accompanying agency and unclear land legality which will later be made in the Susun Village, resulting in the not creating collaboration and synergy of related parties such as citizens, government and civil society.

Keywords: Slum Settlement, Kampung Arrangement, Participatory Development, Community Action Plan (CAP), Kampung Bukit Duri

PENDAHULUAN

Melihat kedudukannya sebagai ibukota, Jakarta tidak pernah terlepas dari kegiatan pembangunan di berbagai aspek kehidupan. Dan seiring dengan cepatnya perkembangan ekonomi dan pembangunan di berbagai kota, Ibukota Jakarta selalu menjadi daya tarik paling kuat bagi kaum urban yang berbondong-bondong datang untuk mengadu nasib. Mereka yang kebanyakan hanya bermodal nekat dan skill yang minim mencoba peruntungannya di Jakarta. Fenomena ini mengakibatkan jumlah populasi penduduk di DKI Jakarta meningkat dari tahun ke tahun.

Menurut Nugroho dalam Siti Miftahul Ulum dkk, jumlah populasi penduduk yang semakin bertambah dari tahun ke tahun di DKI Jakarta menyebabkan ibukota ini mengalami dampak negatif kependudukan yang dapat dilihat dari meningkatnya kepadatan penduduk di beberapa kampung kota (Ulum, Mustikawati, & Ridjal). Tidak hanya itu, kepadatan penduduk yang terus meningkat juga mempengaruhi ketersediaan lahan pemukiman yang ada.

Dalam konteks pemukiman di ibukota, masih banyak terdapat pemukiman-pemukiman atau bangunan yang termasuk kepada tipe kampung yang ilegal. Dimana kampung yang ilegal ini terdapat pemukiman yang dibangun di tepian sungai, biasanya bangunannya tidak teratur, tidak layak huni dan karena posisinya yang berada di pinggir sungai, terlihat sangat kumuh dan kotor. Dan ditambah lagi pola hidup warga yang terbiasa membuang sampah ke sungai.

Kondisi seperti ini lama kelamaan akan menimbulkan dampak negatif, salah satunya banjir.

Ibukota Jakarta merupakan daerah yang dialiri oleh 13 sungai yang

(3)

637 berpotensi membuat banjir. Belasan sungai itu adalah Mookervart, Angke, Pesanggrahan, Grogol, Krukut, Kali Baru Barat, Ciliwung, Kali Baru Timur, Cipinang, Sunter, Buaran, Jati Kramat dan Cakung (Rahmatina, 2017). Setidaknya terdapat tiga jenis banjir di Jakarta yaitu banjir rob yang disebabkan oleh kenaikan air laut yang memasuki kawasan pemukiman di pesisir utara Jakarta. Banjir selanjutnya adalah disebabkan oleh ketika volume hujan yang tinggi ditambah lagi dengan buruknya sistem drainase ibukota. jenis banjir yang terakhir adalah banjir kiriman dari kawasan hulu Jakarta, yang disebabkan oleh curah hujan yang tinggi di kawasan Bogor dan Cianjur. Melihat ancaman tersebut bisa dikatakan bahwa bencana banjir menjadi prosesi tahunan dialami warga ibukota setiap saat.

Salah satu kawasan yang terdampak banjir adalah Kelurahan Bukit Duri, Jakarta Selatan. Bukit Duri adalah salah satu kawasan pemukiman warga pinggiran yang terletak di bantaran sungai Ciliwung. Pemukiman Bukit Duri ini selalu menjadi langganan banjir 5 tahunan Ibukota yang pasti ramai diperbincangkan media. (Tjakra & Adisurya, 2017). Dalam rangka menaggulangi masalah banjir yang diakibatkan oleh pemukiman warga di bantaran sungai, pemerintah mengeluarkan sebuah kebijakan mengenai tata aturan sungai.

Kebijakan mengenai tata aturan sungai ini tercantum didalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2011 bahwa sungai memiliki daerah sempadan yang harus steril dengan jarak kanan dan kiri dengan kedalaman 3 m sebesar paling sedikit 10 m dari tepi kiri dan kanan sungai, dengan kedalaman 3 m sampai 20 m berjarak 15 m dari tepi sungai, dengan kedalaman lebih dari 20 m berjarak 30 m dari tepi sungai (Widyastuti, 2017).

Perlu adanya penataan kampung demi terciptanya keteraturan dan ketertiban pemukiman di ibukota Jakarta. Seperti yang diutarakan oleh Arief Sabaruddin dan Elisa Sutanudjaja perwakilan dari Rujak Center for Urban Studies dalam diskusi yang bertema “Tantangan Pembangunan Kawasan Kumuh DKI Jakarta” bahwa kunci keberhasilan proyek penataan kampung di perkotaan adalah dengan melibatkan partisipasi dari masyarakat setempat. Melalui sosialisasi, pembinaan, pemberdayaan industri lokal serta menjalin relasi dengan tokoh masyarakat dapat menjadi beberapa cara yang mampu menarik partisipasi masyarakat dalam penataan tempat tinggal mereka. Selain itu, kepercayaan

(4)

638 masyarakat terhadap pemerintahnya juga menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan penataan kampung kota. Sedangkan menurut Elisa, penggusuran paksa yang dilakukan pemerintah merupakan salah satu tindakan yang melanggar Hak Asasi Manusia.

Karena jika perkampungan digusur, maka tidak akan lagi ada rumah terjangkau. Elisa juga menambahkan bahwa di beberapa lahan bekas penggusuran justru dibangun apartemen atau kompleks perumahan yang pada akhirnya membuat warga kampung semakin termarjinalkan (Himawan, 2018). Selain mengeluarkan kebijakan mengenai tata aturan sungai, pemerintah DKI Jakarta juga membuat program Normaisasi Sungai Ciliwung dalam rangka upaya menanggulangi bencana banjir tahunan yang melanda Jakarta. Normalisasi Sungai adalah istilah yang dipakai pada era Gubernur Basuki Tjahja Purnama.

Normalisasi Sungai Ciliwung merupakan program strategis nasional yang dilakukan oleh BBWSCC (Balai Besar Wilayah Sungai Cisadane dan Ciliwung) dibawah naungan Kementerian PUPR dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai pelaksana. Program normalisasi sungai ini dilakukan dalam rangka upaya mengembalikan sungai kepada fungsi awalnya, yaitu dengan cara melebarkan dan memperdalam sungai agar kapasitas daya tampung sungai bertambah sehingga dapat menampung debit banjir (Subangkit, 2017). Selain sebagai pengendali banjir, program normalisasi sungai juga bertujuan untuk memperbaiki kualitas sungai sehingga dapat menurunkan kerugian kesejahteraan masyarakat karena banjir dapat berkurang. Selain itu akibat adanya program strategis nasional normalisasi Sungai Ciliwung ini masyarakat yang tinggal disekitar bantaran sungai harus rela digusur dan direlokasi.

Pada masa kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahja Purnama (Ahok) penggusuran banyak terjadi kepada warga DKI Jakarta yang tinggal dibantaran sungai. Salah satunya adalah warga Bukit Duri, Jakarta Selatan yang tinggal di bantaran sungai Ciliwung. Dengan adanya program Normalisasi Sungai Ciliwung dan pembuatan jalan inspeksi di kawasan tersebut, menyebabkan warga yang tinggal di bantaran sungai Ciliwung harus dibongkar atau digusur. Penggusuran ini dilakukan setelah Pemerintah Kota Jakarta Selatan menerbitkan Surat Peringatan pertama sampai ketiga. Surat Peringatan Pertama (SP1) diterbitkan

(5)

639 pada 13 Juni 2017 kemudian Surat Peringatan Kedua (SP2) pada 20 Juni 2017 dan

Surat Peringatan Ketiga (SP3) dikeluarkan pada hari Rabu, 5 Juli 2017 untuk warga Bukit Duri, Jakarta Selatan. Surat peringatan ini ditujukan kepada warga RT 01, 02,03 dan 04 RW 12 kelurahan Bukit Duri yang terkena dampak normalisasi tersebut untuk sesegera mungkin mengosongkan atau membongkar bangunannya sendiri (Kompas, 2017). Petugas merobohkan bangunan rumah- rumah warga di bantaran Sungai Ciliwung. Warga melakukan perlawanan dengan cara menggugat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) memutuskan bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan pelanggaran hukum ketika menggusur warga Bukit Duri (Nugroho S. , 2017).

Pasca Pilkada DKI Jakarta 2017, masyarakat kampung Bukit Duri menyimpan harapan yang besar kepada gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang baru dilantik dengan masa bakti 2017-2022. Dikutip dari salah satu berita di media, pada masa kampanye Anies pernah menandatangani 10 poin aspirasi warga Bukit Duri dimana salah satu poin nya adalah membangun kampung deret atau kampung susun di kawasan bekas penggusuran Bukit Duri sebagai ganti rugi atas penggusuran rumah warga pada tahun 2016 lalu (Sari, 2018). Gubernur Anies Baswedan juga menata kembali kampung yang terkena penggusuran dengan program Community Action Plan (CAP) 21 Kampung. Program ini adalah wacana aksi dari pemerintah provinsi DKI Jakarta yang melibatkan lembaga swadaya masyarakat dan kelompok kerja untuk menciptakan kampung berkualitas yang lestari dan sejahtera (Taylor, 2018).

Beberapa penelitian yang pernah dilakukan berkaitan dengan penataan kampung kumuh dengan berbasis komunitas salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Rusydan Fathy dan Jalu Lintang Yogiswara Anuraga (2019) tentang Community Action Plan (CAP) dan Kampung Improvement Program (KIP) Studi Komparatif Kebijakan Inklusif Tata Ruang permukiman di Surabaya dan Jakarta. Penelitian ini menunjukkan bahwa pendekatan yang dilakukan dalam penerapan pembangunan yang berbasis komunitas tidak bisa disamakan.

Pembangunan harus memperhatikan lokalitas daerah setempat karena masing-

(6)

640 masing daerah mempunyai ciri dan budaya nya masing-masing.

Kemudian penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Arief Subangkit (2017) tentang analisa perubahan sosial warga Bukit duri pasca normalisasi Ciliwung. Penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi perubahan pada aspek sosial dan kultural warga Bukit Duri. Aspek sosial yang berubah mulai dari mata pencaharian, perubahan peran, dan akses aktifitas harian yang terbatas. Sedangkan aspek kultural yang berubah terdiri dari hal kebiasaan dan ritual warga yang mulai ditinggalkan sebab harus menyesuaikan dengan aturan yang ada di rusun.

Penelitian-penelitian tersebut diatas belum ada yang secara spesifik membahas pelaksanaan pembangunan yang berbasis komunitas melalui program CAP di DKI Jakarta. Dalam konteks teori pembangunan dengan pendekatan partisipasi diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat dalam meningkatkan efektifitas dan efisiensi pembangunan dalam bingkai proses demokrasi dan pemberdayaan. (Cleaver dalam Alfitri, 2011: 39). Argumen efisiensi, partisipasi adalah sebuah instrumen untuk mencapai hasil dan dampak program dan kebijakan yang lebih baik, sedangkan dalam argumen demokratisasi dan pemberdayaan, partisipasi adalah sebuah proses meningkatkan kapasitas individu sehingga menghasilkan sebuah perubahan yang positif bagi kehidupan (Cooke dan Kothari dalam Alfitri, 2011: 39). Partisipasi juga diartikan sebagai gejala demokrasi tempat orang-orang diikutsertakan dalam perencanaan dan pelaksanaan segala sesuatu yang berpusat pada berbagai kepentingan (Poerbakawatja dalam Adon Nasrullah, 2016: 37).

Peran serta masyarakat dalam pembangunan sangat diperlukan. Hal ini dikarenakan masyarakat itu sendiri yang mengetahui bagaimana kondisi dan permasalahan mereka. Sehingga masyarakat tidak hanya dijadikan sebagai objek melainkan sebagai pelaku dalam pembangunan. Pembangunan yang tidak melibatkan partisipasi, seringkali dianggap tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Terdapat tiga alasan utama pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan, alasan pertama adalah partisipasi masyarakat merupakan alat guna memperoleh informasi terkait kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat yang jika tanpa kehadirannya, suatu proyek akan gagal.

(7)

641 Alasan yang kedua adalah masyarakat akan lebih percaya terhadap suatu proyek atau pembangunan jika mereka dilibatkan atau diikutsertakan dari mulai perencanaan sampai kepada pelaksanaan, karena mereka lebih mengetahui bagaimana seluk beluk pelaksanaan pembangunan di lapangan dan hal ini juga dapat menumbuhkan sense of belonging atau rasa memiliki serta rasa tanggung jawab masyarakat terhadap suatu proyek atau pembangunan tersebut. Alasan yang ketiga adalah partisipasi masyarakat dianggap sebagai bagian dari hak demokrasi.

Dalam hal ini masyarakat berhak memberikan saran atau masukan terhadap jalannya suatu pembangunan di daerah mereka. Hal ini selaras dengan dengan konsep mancentered development yaitu jenis pembangunan yang lebih mengarah kepada perbaikan nasib manusia dan tidak hanya sekedar alat pembangunan itu sendiri (Alfitri, 2011).

Pembangunan yang menempatkan masyarakat sebagai subyek sekaligus obyek pembangunan, sudah mulai digalakkan di DKI Jakarta. Gubernur Anies Baswedan menginisiasi pembangunan partisipatif ini dengan meluncurkan program Community Action Plan (CAP). Kelebihan CAP di antaranya: (1) Adanya partisipasi yang besar dari komunitas lokal; (2) Dengan mengimplementasikan CAP, solusi atas masalah datang dari dalam komunitas dan hal ini sesuai dengan kebutuhan dan prioritas mereka; (3) Menjamin bahwa semua kelompok yang relevan berpartisipasi dalam kegiatan, terutama perempuan dan kelompok masyarakat lainnya yang sering dilupakan; (4) Menjamin penerimaan dan mendukung solusi oleh masyarakat setempat. Sedangkan kelemahan CAP meliputi: (1) Membutuhkan waktu dan sumber daya untuk mengintegrasikan semua pemangku kepentingan yang relevan dalam prosesnya; (2) Menemukan konsensus antara semua anggota komunitas dapat sangat memakan waktu; dan (3) CAP tidak akan berkembang tanpa motivasi dan dorongan kuat dari komunitas lokal (Fathy & Yogiswara Anuraga, 2019). Dengan adanya program CAP ini diharapkan masyarakat mampu mengakomodir kepentingannya dalam proses pembangunan sehingga pembangunan yang dihasilkan pun akan sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat itu sendiri.

(8)

642 METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan metode kualitatif dan studi kasus dalam menganalisis pelaksanaan penataan kampung berbasis masyarakat. Lokasi penelitian ini dilakukan di Kampung Bukit Duri Jakarta Selatan. Pemilihan lokasi ini karena Kampung Bukit Duri merupakan salah satu wilayah yang menjadi korban penggusuran akibat adanya program strategis nasional Normalisasi Ciliwung yang dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta. Selain itu, Kampung Bukit Duri juga merupakan salah satu kampong yang termasuk kedalam prioritas dari program penataan kampung kumuh tersebut.

Sumber data dari penelitian ini diperoleh melalui data primer dan data sekunder. Data primer didapat berdasarkan hasil observasi dan wawancara secara mendalam (in-depth interview). Sedangkan data sekunder diperoleh dari beberapa dokumen yang menunjang dan relevan dengan penelitian ini seperti publikasi elektronik, media sosial, hasil penelitian terdahulu serta dokumen-dokumen instansi pemerintah terkait.

Penelitian ini dimulai dari melakukan observasi awal guna mengetahui kondisi langsung di lapangan. Kemudian peneliti menyiapkan beberapa persiapan untuk melakukan tahapan penelitian selanjutnya yang lebih mendalam seperti menyiapkan alat bantu penelitian, alat tulis, alat perekam, pengurusan izin untuk melakukan penelitian, dan membuat pedoman wawancara. Penelitian ini menggunakan teknik triangulasi data, dengan cara cek data silang (cross-check) dan cek ulang pada sumber data yang sama (re-check). Selanjutnya data kualitatif yang sudah terkumpul akan dianalisa kembali dengan cara mengelompokkan informasi berdasarkan jawaban yang diberikan oleh responden. Pengelompokan diatas ini adalah sebagai upaya untuk menjawab pertanyaan dalam penelitian.

KERANGKA TEORI Pembangunan Partisipatif

Pembangunan merupakan proses pembaharuan yang kontinu dari keadaan tertentu pada keadaan yang dianggap lebih baik (Siagian dalam Adon Nasrullah, 2016:27). Pembangunan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk merubah kearah yang lebih baik. Pembangunan dalam arti luas adalah usaha untuk memajukan atau memperbaiki serta meningkatkan nilai

(9)

643 sesuatu yang sudah ada. Selain itu pembangunan juga berarti seperangkat usaha manusia untuk mengarahkan perubahan sosial dan kebudayaan sesuai dengan tujuan dari kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu mencapai pertumbuhan peradaban kehidupan sosial dan kebudayaan atas dasar target-target yang telah ditetapkan (Jamaludin, 2016).

Ditinjau dari sisi terminologis, pembangunan erat kaitannya dengan istilah “development, modernization, westernization, empowering, industrialization, economic growth, europanization”, bahkan term political change. Identifikasi tersebut lahir karena pembangunan memiliki makna yang multi interpretable sehingga istilah tersebut sering disamakan dengan beberapa terma yang berlainan arti (Moeljarto Tjokrowinoto dalam Adon Nasrullah, 2016:6). Siagian dalam Adon Nasrullah (2016) berpendapat bahwa

“pembangunan adalah rangkaian usaha mewujudkan pertumbuhan dan perubahan secara terencana dan sadar yang ditempuh oleh suatu negara bangsa menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa”. Untuk mewujudkan perubahan dan pertumbuhan tersebut perlu memperhatikan beberapa implikasi yaitu diantaranya :

a. Pembangunan berarti mengoptimalkan kemampuan manusia secara baik individu ataupun kelompok (capacity)

b. Pembangunan berarti mendorong tumbuhnya kebesamaan, kemerataan, nilai, dan kesejahteraan (equity)

c. Pembangunan berarti memberikan kepercayaan kepada masyarakat untuk mampu membangun dirinya sendiri sesuai dengan kemampuannya.

Kepercayaan ini berbentuk kesempatan yang sama, kebebasan memilih dan kekuatan untuk memutuskan (sustainability).

d. Pembangunan berarti mendorong tumbuhnya kebersamaan, kemerataan nilai, dan kesejahteraan (equity)

e. Pembangunan berarti memberikan kepercayaan kepada masyarakat untuk mampu membangun dirinya sensdiri sesuai dengan kemampuannya.

Kepercayaan ini berbentuk kesempatan yang sama, kebebasan memilih dan kekuasaan untuk memutuskan (sustainability)

f. Pembangunan berarti mengurangi ketergantungan negara satu kepada

(10)

644 negara lain, menciptakan hubungan saling menguntungkan dan saling menghormati (inter dependence) (Bryan and White dalam Suryono, 2004:

35, dalam Adon Nasrullah)

Suryono dalam Adon Nasrullah mengungkapkan bahwa terdapat empat paradigma pembangunan yaitu paradigma pertumbuhan (growth paradigm), paradigma pertumbuhan dan pemerataan (growth dan equity strategy development), paradigma human development dan paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Paradigma pertumbuhan (growth paradigm) memiliki konsep yang memperjuangkan terjadinya peningkatan pendapatan negara untuk mengejar ketertinggalan. Sasaran utama dari paradigma ini adalah menciptakan kondisi masyarakat dan negara yang lebih baik.

Paradigma pembangunan pertumbuhan dan pemerataan berorientasi pada pembangunan sosial, yaitu pengelolaan dan investasi sumber daya manusia dalam proses pembangunan. Kelemahan strategi ini adalah menciptakan adanya ketergantungan suatu negara kepada negara lain. Pendekatan selanjutnya adalah pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Paradigma ini mempunyai konsep pembangunan yang bersifat ramah lingkungan, yaitu dengan dengan tidak mengorbankan sumber daya untuk masa mendatang untuk kebutuhan sekarang atau bisa diartikan pendekatan pembangunan berkelanjutan ini memperhatikan sumber daya yang bersifat bisa diperbarui atau tidak bisa diperbarui. Dengan demikian, pemanfaatan segenap potensi dan studi pembangunan akan disertai kebijakan pemeliharaannya dan pemulihannya.

Kemudian paradigma pendekatan pembangunan yang berpihak kepada rakyat, yang menempatkan manusia sebagai subyek pembangunan dan menekankan pada pentingnya pemberdayaan manusia. Pemberdayaan yang dimaksud dalam paradigma ini adalah dalam hal mengaktualisasikan segala potensinya secara maksimal dalam pembangunan (Jamaludin, 2016).

Pembangunan yang melibatkan peran serta masyarakat didalamnya menjadikan masyarakat tersebut bukan lagi hanya sebagai obyek dalam pembangunan melaikan diposisikan juga sebagai pelaku utama dalam pembangunan. Pendekatan seperti ini lebih bersifat memberdayakan masyarakat atau yang lebih dikenal dengan istilah community development yakni memampukan dan memandirikan

(11)

645 masyarakat itu sendiri (Jamaludin, 2016).

Christenson & Robinson dalam Alfitri (2011:32) mendefinisikan community development sebagai suatu proses, masyarakat yang tinggal pada lokasi tertentu mengembangkan prakarsa untuk melaksanakan suatu tindakan sosial (dengan atau tanpa intervensi) untuk mengubah situasi ekonomi, sosial, kultural dan lingkungan. Penekanan paling penting justru terletak pada prakarsa dan partisipasi masyarakat dalam proses yang berlangsung. Artinya konsep pengembangan dan pemberdayaan bertujuan untuk menolong diri sendiri keluar dari masalah. Sedangkan konsep pemberdayaan menurut Kartasasmita dalam Alfitri (2011: 25) adalah usaha memampukan masyarakat untuk bisa mandiri dan tentunya lepas dari perangkap kemiskinan serta keterbelakangan. Dalam kerangka pemikiran seperti itu, ada beberapa upaya dalam memberdayakan masyarakat, salah satunya adalah dengan membuka ruang partisipasi seluas-luasnya kepada masyarakat dalam pengambilan keputusan. Pemberdayaan masyasrakat sangat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan dan pengalaman demokrasi.

Nindita dalam Alfitri (2011: 34-36) mengungkapkan bahwa ada tiga pendekatan untuk perencanaan pengembangan masyarakat yaitu:

1. Development for community, pencetus dari kegiatan pengembangan masyarakat adalah perusahaan yang mempunyai status sebagai pendonor, dan komunitas target berperan sebagai objek pengembangan masyarakat.

Pendekatan ini berdampak ketergantungan komunitas terhadap perusahaan untuk mencapai hasil akhir. Tujuan akhir dari pendekatan ini adalah menghasilkan sesuatu. Oleh karena itu, jangka waktu dari program ini relatif lebih pendek. Program ini lebih dikenal dengan nama program inkind.

2. Development with community, dalam pendekatan atau program ini, kegiatan dirumuskan secara bersama-sama antara perusahaan dengan masyarakat.

Posisi perusahan adalah sebagai agen pembangunan kemudian komunitas berperan sebagai sebagai subjek sekaligus objek program pengembangan masyarakat. Karakteristik program ini berorientasi pada hasil, yaitu memenuhi kebutuhan komunitas sekaligus untuk mencapai tujuan perusahaan. Jika ditinjau dari dampak, program ini memiliki dampak yang positif, yaitu komunitas dilatih untuk mandiri dan tidak sepenuhnya

(12)

646 tergantung pada perusahaan. Jangka waktu program ini cukup lama dan berkelanjutan.

3. Development of community, pendekatan yang terakhir ini memiliki karakteristik berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan komunitas atau masyarakat, dengan tujuan pembangunan yang berproses. Komunitas menjadi pencetus sekaligus pelaku dalam program ini, sedangkan perusahaan tetap berkedudukan sebagai agen pembangunan. Dampak positifnya adalah membuat komunitas menjadi self-reliance karena mereka terlibat langsung sepenuhnya dalam program dan mereka sendiri juga yang menentukan keberhasilan atau kegagalannya. Program ini memiliki jangka waktu yang panjang. Program ini biasanya berbentuk kemitraan yaitu pelatihan dan pendampingan pada komunitas tertentu.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembangunan yang selama ini lebih berorientasi kepada paradigma pertumbuhan yaitu memperluas perkembangan teknologi dan pembangunan infrastruktural dalam meningkatkan produksi pada kenyataannya telah gagal.

Konsep tersebut justru semakin memperlebar kesenjangan antara kelas atas dan kelas bawah, ketidakadilan dalam akses ekonomi serta pemerataan hasil pembangunan. Memasuki era millennium pendekatan di atas sudah semakin usang dan ditinggalkan oleh para pemimpin dunia, perlahan paradigma pertumbuhan mengalami perubahan secara signifikan.

Pada pelaksanaannya, konsep pembangunan dengan paradigma pertumbuhan masih menempatkan masyarakat sebagai obyek pembangunan.

Masyarakat ditempatkan hanya sebagai penerima hasil pembangunan saja, bukan sebagai pelaku atau subyek yang terlibat langsung dalam proses pembangunan tersebut. Hal ini akan mengakibatkan besarnya ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah. Selain itu juga pembangunan yang dihasilkan bersifat normatif dan terkadang kurang sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Seiring berjalannya waktu, muncul beberapa paradigma pembangunan yang tidak hanya fokus kepada pertumbuhan ekonomi semata, melainkan memperhatikan berbagai aspek lainnya. Salah satu paradigma pembangunan yang mulai dikembangkan di Indonesia adalah paradigma

(13)

647 pembangunan berkelanjutan atau sustainable development. Paradigma pembangunan berkelanjutan merupakan konsep pembangunan yang memperhatikan dampak serta kemanfaatan untuk generasi yang akan datang.

Selain itu pembangunan berkelanjutan juga harus diarahkan kepada sasaran ekonomi yaitu adanya penurunan angka kemiskinan, sasaran sosial atau ekuitisosial yang adil dan sasaran lingkungan (Jamaludin, 2016).

Paradigma pembangunan berkelanjutan bukanlah suatu konsep yang baru.

Paradigma pembangunan berkelanjutan sudah ada sejak tahun 70-an.

Pembangunan berkelanjutan atau sustainable development memiliki prinsip- prinsip yang menjadi titik fokus yang diperhatikan. Prinsip-prinsip tersebut diantaranya adalah adanya pemerataan dan keadilan sosial, menghargai keanekaragaman (diversity), adanya keterkaitan manusia dengan alam, dan berjangka panjang (Absori, 2006).

Prinsip adanya pemerataan dan keadilan sosial berangkat dari sebuah realita bahwa sebenarnya pembangunan tidak hanya diperuntukkan bagi masyarakat kelas atas melainkan pembangunan juga harus mampu mengakomodir aspirasi dan kebutuhan masyarakat kelas menengah kebawah. Pembangunan harus bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Ditinjau dari prinsip pemerataan dan keadilan sosial, saat ini pembangunan di DKI Jakarta era Gubernur Anies Baswedan menunjukkan adanya perubahan. Pemerintah DKI Jakarta mengembangkan pola pembangunan yang mengusahakan adanya pemerataan, baik dari segi ekonomi, maupun sosial melalui program penataan kampung dengan berbasis komunitas atau Community Action Plan (CAP). Community Action Plan (CAP) atau rencana tindak komunitas adalah serangkaian program yang didalamnya terdapat keikutsertaan warga serta masyarakat sipil dalam upaya mewujudkan aspirasi masyarakat dalam pembangunan. Program ini diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat kelas menengah kebawah.

Setelah CAP selesai, masuk kepada tahap CIP (Collaborative Implementation Program) dan Monitoring Evaluation Program. Pembangunan yang berorientasi dengan menempatkan masyaraka sebagai obyek atau aktor utama pembangunan, memiliki kekuatan dalam merencanakan, merumuskan dan melaksanakan pembangunan sesuai dengan keterkaitan yang tepat antara alam, aspek sosio-

(14)

648 ekonomis, kultur saat ini dan masa depan, dengan pendekatan pembangunan terpadu yang menekankan multisektoral, yang mengedepankan partisipasi lokal dan perencanaan dari bawah. Hal ini merupakan model pembangunan yang dirasa tepat untuk dilaksanakan seiring dengan semakin kuatnya tuntutan daerah dalam rangka otonomi yang luas (Jamaludin, 2016).

Perhatian terhadap arti pentingnya peran serta masyarakat untuk keberhasilan pembangunan muncul sebagai akibat pergeseran orientasi pembangunan dari capital investment growth model pada tahun 1960-an ke orientasi people centered basic needs approach pada tahuh 1970-an. Adanya perubahan orientasi pembangunan tersebut bertolak dari kenyataan bahwa ternyata golongan miskin dalam pembangunan ekonomi tidak banyak terangkat dalam kemajuan pembangunan.

Saat ini paradigma pembangunan partisipatif sedang digalakkan oleh Pemerintah DKI Jakarta. Pembangunan yang membuka ruang aspirasi seluas- luasnya demi terciptanya pembangunan yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Melalui beberapa regulasi Anies Baswedan melakukan revitalisasi kampung kota dengan meluncurkan program Community Action Plan (CAP). Salah satunya melalui Keputusan Gubernur Nomor 878 Tahun 2018 tentang Gugus Tugas Pelaksanaan Penataan Kampung dan Masyarakat, Anies Baswedan melakukan penataan terhadap 21 kampung dengan Community Action Plan (CAP). Beberapa kampung yang masuk ke dalam daftar prioritas penataan diantaranya adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Prioritas Penataan Kampung Pemerintah DKI Jakarta

Kota Administratif Kampung

Jakarta Barat Rawa Barat, Rawa Timur, Kali Apuran, Guji Baru, Kunir, Jakarta Timur Prumpung

Jakarta Utara

Lodan, Tongkol, Krapu, Marlina, Akuarium, Muka, Walang, Elektro, Gedong Pompa, Kerang Ijo, Blok Empang, Tanah Merah, Tembok Bolong,

Jakarta Selatan Baru

Sumber: Keputusan Gubernur Nomor 878 Tahun 2018

Selain ke 21 kampung tersebut di atas, sebenarnya masih ada satu kampung yang dijanjikan Anies untuk dilakukan penataan, kampung tersebut adalah Kampung Bukit Duri. Hal ini sesuai dengan perjanjian politiknya dengan

(15)

649 masyarakat Bukit Duri pada saat kampanye beberapa waktu lalu. Gubernur Anies Baswedan sejak awal masa kampanye sudah berkomitmen untuk menghapus praktek-praktek penggusuran paksa terhadap warga yang tinggal di bantaran sungai. Bagi Anies, kampung ditengah kota merupakan bagian dari sejarah peradaban kota itu sendiri. Gubernur Anies Baswedan juga menjanjikan akan membangunkan shelter atau temat tinggal sementara sambil menunggu proses pembangunan kembali permukiman untuk warga Bukit Duri.

Sebelumnya warga sudah mengajukan gugatan class action ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat atas kasus penggusuran dan gugatan terhadap Pemerintah Kota Jakarta Selatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Tuntutan warga pada saat itu adalah meminta ganti rugi yang layak bagi warga korban penggusuran. Ganti rugi yang diinginkan warga adalah rumah diganti dengan rumah, tanah ganti tanah bukan dengan uang. Kedua gugatan tersebut akhirnya dimenangkan oleh majelis hakim dan diputuskan bahwa Pemerintah Kota Jakarta Selatan bersalah dalam kasus penggusuran.

Pada saat sebelum melakukan penggusuran, pemerintah saat itu memberikan solusi kepada warga yang terdampak penggusuran untuk direlokasi ke Rumah Susun Rawa Bebek yang berlokasi Jatinegara, Jakarta Timur. Namun beberapa warga Bukit Duri menolak solusi tersebut karena beberapa faktor, salah satunya yaitu karena akses perjalanan yang terlalu jauh antara tempat tinggal dengan tempat mencari nafkah. Warga korban penggusuran belum siap jika harus dipindah ke rusun. Hal ini dikarenakan nantinya akan banyak perubahan yang akan dialami oleh warga di tempat yang baru, tepatnya di Rumah Susun Rawa Bebek. Perubahan-perubahan tersebut dapat dilihat dari aspek pekerjaan dan pendapatan, perubahan anggota keluarga yang mencari nafkah, akses aktifitas keseharian warga menuju tempat bekerja dan akses ke lembaga pendidikan. Selain itu, dampak lain dari relokasi warga Bukit Duri ke Rusun adalah berkurangnya intensitas interaksi dalam hal ini adalah keterbukaan dan kekompakkan antar sesama warga (Subangkit, 2017). Pada saat penggusuran dan proses hukum berjalan, warga Bukit Duri didampingi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Ciliwung Merdeka yang merupakan sebuah wahana gerakan kemanusiaan yang diselenggarakan oleh Komunitas Kerja yang terdiri dari anak, remaja dan warga

(16)

650 Bukit Duri bantaran sungai Ciliwung RT 005, 006, 007, 008 RW 012, Kelurahan Bukit Duri,

Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan dan Kampung Pulo RT 009, 010, 011 RW 003 Kelurahan Kampung Melayu, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur bersama para pendamping Jaringan Kerja Kemanusiaan Ciliwung Merdeka.

Diawal pelaksanaan CAP, Ciliwung Merdeka bersama warga sudah menawarkan konsep Kampung Susun kepada Gubernur. Warga pun juga sudah mengajukan usulan lahan seluas 1,6 hektare dan akhirnya disepakati bahwa shelter akan dibangun di Gedung Setia Ciliwung dengan luas 5000 meter persegi. Namun pada kenyataannya pelaksanaan program Community Action Plan (CAP) di Kampung Bukit Duri ini tidak berjalan dengan lancar seperti di kampung- kampung yang lain.

Pemerintah DKI Jakarta masih belum mampu maksimal dalam mewujudkan program tersebut di Bukit Duri. Banyak kendala yang menghambat Pemerintah DKI Jakarta dalam menjalankan program Community Action Plan (CAP) di Bukit Duri. Mulai dari persoalan ketersediaan lahan. Minimnya ketersediaan lahan untuk pembangunan kembali kawasan pemukiman serta sarana dan prasarana pendukung. Saat ini, lahan bekas gusuran rumah warga sudah dibeton dan menjadi jalan inspeksi, tidak akan bisa dan tidak akan mungkin jalan yang sudah dibangun dan dibeton dibongkar kembali untuk dijadikan kawasan pemukiman. Berbeda dengan di Kampung Akuarium, pasca digusur mereka masih memiliki lahan lapang yang bisa digunakan. Sehingga pemerintah pun tak kesulitan mencari lahan untuk membangunkan kembali pemukiman mereka yang pernah tergusur. Kemudian persoalan selanjutnya adalah terkait legalitas lahan dan gedung yang nantinya akan dijadikan shelter untuk warga Bukit Duri.

Pemerintah DKI Jakarta memastikan tak bisa membangun kampung susun bagi warga Bukit Duri korban penggusuran. DKI beralasan lahan seluas 1,6 hektare yang diajukan warga Bukit Duri untuk pembangunan hunian tersebut ternyata tidak memiliki bukti sertifikat hak milik. Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Pemukiman DKI Jakarta mengutarakan bahwa PT Setia Ciliwung hanya memiliki lampiran pembayaran pajak yang diklaim sebagai bukti kepemilikan lahan Wisma Ciliwung. Bukti tersebut dinilai belum cukup menjadi

(17)

651 legalitas bagi pemerintah untuk membelinya. Diperlukan bukti sertifikat hak milik untuk menghindari adanya gugatan dari pihak lain (Hidayat, 2018).

Faktor lain yang menjadi kendala tidak berjalannya CAP di Bukit Duri adalah warga yang sudah tidak solid lagi dalam memperjuangkan hak mereka.

Ada gesekan juga diantara warga sehingga mengakibatkan warga menjadi tidak satu suara lagi. Selain karena ada konflik diantara warganya sendiri, setelah digusur warga Bukit Duri pun tercerai berai, terpencar ke beberapa tempat. Ada yang memilih untuk direlokasi ke rusun, ada yang tetap bertahan di sekitar kawasan bekas gusuran, bahkan ada juga yang keluar dari kawasan Bukit Duri seperti Kampung Melayu dan sekitarnya. Seiring berjalannya waktu, warga sudah tidak fokus lagi dalam memperjuangkan shelter serta Kampung Susun yang dijanjikan oleh pemerintah. Kompleksitas persoalan turut mengiringi perjalanan program Community Action Plan (CAP) di Bukit Duri. Tidak terbentuknya kerja kolaborasi yang baik antara warga, masyarakat sipil dan pemerintah dalam kasus penggusuran Bukit Duri menjadi faktor penyebab tidak berhasilnya program penataan kampung yang diinisiasi Gubernur Anies Baswedan pada saat kontrak politiknya dengan warga beberapa waktu yang lalu.

KESIMPULAN

Konsep penataan kampung dengan program Community Action Plan (CAP) yang diinisiasi langsung oleh Gubernur Anies Baswedan pada kenyataannya tidak berhasil diterapkan di Kampung Bukit Duri. Kegagalan ini disebabkan karena banyak faktor yang menghambat berjalannya program tersebut.

Tidak terciptanya kolaborasi yang maksimal antara pemerintah, warga dan lembaga pendamping dalam hal ini Ciliwung Merdeka menyebabkan kegagalan dalam mewujudkan pemukiman yang lebih manusiawi bagi warga Bukit Duri.

Selanjutnya dari faktor lembaga yang melakukan pendampingan. Hanya ada satu lembaga yang menopang sebagai figur sentral dalam memperjuangkan hak-hak bermukim warga Bukit Duri. Tidak ada sinergi dan koordinasi yang jelas dengan lembaga advokasi yang lain dalam kasus Bukit Duri.

Dari sisi pemerintah, regulasi program CAP ini sebenarnya sudah jelas, namu ketika implementasinya menemukan kendala. Pemerintah kesulitan dalam menemukan lahan yang diperuntukkan untuk membangun shelter dan Kampung

(18)

652 Susun. Lahan yang diusulkan oleh warga ternyata masih bermasalah terkait legalitasnya dan akhirnya anggaran yang sudah ada kembali dicoret karena persoalan lahan tadi. Dari faktor masyarakat sudah tidak fokus lagi dalam memperjuangkan hak bermukim mereka. Pasca digusur, sebagian dari warga banyak yang tercerai berai ke tempat-tempat lain. Ada yang tetap bertahan disekitar lokasi gusuran kaena masih berharap adanya kejelasan dari tuntutan mereka selama ini, ada juga yang akhirnya bersedia direlokasi ke Rusun Rawa Bebek dan ada pula yang pergi ke luar wilayah Bukit Duri dan mungkin sudah mendapatkan sumber kehidupan yang jauh lebih baik.

Selanjutnya kurang maksimalnya keterlibatan para aktor atau pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan program penataan kampung dengan Community Action Plan (CAP) menjad penentu lain yang menyebabkan gagalnya implementasi CAP di Bukit Duri. Faktor-faktor tersebut diatas yang pada akhirnya menjadikan kerja kolaborasi tidak maksimal dan program Community Action Plan (CAP) gagal diterapkan di Bukit Duri. Sehingga program yang diluncurkan oleh Gubernur Anies Baswedan ini belum bisa menjadi solusi yang tepat dalam rangka peningkatan kawasan pemukiman di DKI Jakarta khususnya di Bukit Duri, Jakarta Selatan.

DAFTAR PUSTAKA BUKU

Alfitri. (2011). Community Development (Teori dan Aplikasi). Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Ife, J., & Tesoriero, F. (2016). Community Development. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Jamaludin, Adon Nasrullah. (2016). Sosiologi Pembangunan. Bandung: CV.

Pustaka Setia

Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.

Bandung: Alfabeta.

PUBLIKASI ELEKTRONIK

Absori. (2006). Deklarasi Pembangunan Berkelanjutan Dan Implikasinya Di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum, 42.

Fathy, R., & Anuraga, J. L. (2019). Community Action Plan (Cap) Dan

(19)

653 Kampung Improvement Program (Kip): Studi Komparatif Kebijakan Inklusif Tata Ruang Permukiman Di Surabaya Dan Jakarta .

Subangkit, A. (2017). Perubahan Sosial Warga Bukit Duri Pasca Normalisasi Sungai Ciliwung. Jurnal Komunikasi, 6.

Ulum, S. M., Mustikawati, T., & Ridjal, A. (n.d.). Koridor Kampung Kota sebagai Ruang Komunikasi Informal .

Widyastuti, S. A. (2017). Analisis Dampak Normalisasi Daerah Alira Sungai (DAS) Ciliwung Terhadap Masyarakat Kampung Pulo di DKI Jakarta.

Jurnal Ekonomi, 3.

ARTIKEL BERITA ONLINE

Himawan, R. F. (2018, June 11). Penataan Kampung Kota Oleh Warga Dan Untuk Warga: Press Release Diskusi “Tantangan Pembangunan Kawasan Kumuh DKI Jakarta”. Retrieved from Rujak Center for Urban Studies:

https://rujak.org/penataan-kampung-kota-oleh-warga-dan- untuk-warga-press- release-diskusi-tantangan-pembangunan-kawasan-kumuh- dki-jakarta/

Nugroho, S. (2017, January 9). Metropolitan. Retrieved from Tribunnews.com:

https://www.google.com/amp/m.tribunnews.com/amp/metropolitan/2017/01 /0 9/begini-awal-mula-kasus-penggusuran-bukit-duri

Rahmatina, S. (2017, 12 13). Megapolitan. Retrieved from Okezone.com: https://news.okezone.com/read/2017/12/13/338/1829648/ini- 5-faktor- penyebab-banjir-jakarta-enggak-cuma-dari-cuaca-ekstrem

Referensi

Dokumen terkait