T-o-.-ffi
WACANA
BERNAS
JOGJA
Jangan
Pan$
Alil
Ona
(Ld
TAHUN
2014 ini kita memperi-ngati 16 tahun PeristiwaMei
1998. Tragediitu
menyisakan kepedihandan
trauma
bagi
banyak
orang, terutama warga Tionghoadi
Indo-nesia. Mereka menjadi
sasaran pengalihan amuk massa yangterjadi siang. malam antara tanggal 12-16Mei
1998. Banyak toko dan rumahmilik
warga Tionghoa yang dirusak.Selain
kerugian ekonomi
akibat penjarahandan
perusakan, keke-rasanfisik
termasuk kekerasan sek-sual dan tekanan mental harus di-rasakan warga Tionghoa pada masa-masa itu.Selain Jakarta, beberapa kota di Indonesia pernah menjadi saksi bisu
pecahnya
konflik
SARA
yang menyasar warga Tionghoa, misalnyadi
Solo,
Kebumen, Kudus,Peka-longan,
Situbondo,
Rengasdeng-klok,
Bagan Siapi-api, hingga Ma-kassar. Banyak yang menganalisis bahwa isu rasial yang terjadi di Solo tahun 1998 itu lebih kalena provokasibeldka. Banyak
penduduk
yang bukan Tionghoa memberi bantuan dan melindungi orang-orang Tiong-hoa yang merasa terancam.Meski-pun
sentimenanti
Tionghoa tidak mudah dihapus begitu saja, namun sebenarnya rasa kemanusiaan dan keharmonisanitu
ada.Tragedi
Mei
1998 menjadi catat-an kelam spkaligus awaltitik
balik bagi warga Tionghoa untuk memilikikesempatan
yang
sama
sebagaiwarga
negara.
Ini
dimulai
dari hesi-den A-bdunahriran Wahid (GusPur)
yang pertamakali
membuka katup kebebasan bagi wargaTiong-hoa. Gus Dur men geluarkan Keppres Nomor6 Tdhun 2000 yang mencabut Inpres Nomor l4Tahun 1967 tentang larangan mempertontonkan hal-hal
yang
berbau Tionghoa
di
muka umum. Gus Dur juga men gumumkan Tahun Baru Imlek sebagai hari liburnasional
fakultatif.
Tidak
lama kemudia4 Tahun Baru Imlek ditetap-kan sebagai harilibur
nasional,se-bagaimana
hari
raya agama-agama lainnya melalui Keppres Nomor 19Tahun 2002
i,ang' ditandatangani oleh Presiden MegawatiSoekarno-putri.
Konghucu
diakui
sebagai agama keenamdi
Indonesia dan kebebasanberibadah
bagi
para pemeluknya lebih terjamin.Pada masa pemerintahan
Presi-den Susilo
Bambang Yudhoyono(SBY)
keluarlahUU
Kewargane-Senin
Legi,
12'Mei2014
HALAMAN
4
Oleh:
Hendra
Kurniawan
garaan Indonesia Nomor 12 Tahun 2OO6
yang
menempatkan wargaTionghoa dalam
persamaan dan kesetaraan denganwarga
negarayang
lainnya dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.Hubung-an antar warga negara menjadi lebih terbuka dan kecurigaan sudah jauh
berkurang. Situasi
ini
membuka kesempatanbagi
warga Tionghoa untuk terlibat dalam kancah politik. Tahun 2.007,Christiandi
Sanjaya, seorangetnis
Tionghoa, terpilih
sebagai Wakil Gubernur Kalimantan Barat.
Setelah 16 tahun berlalu, kiprah Tionghoa Indonesia semakin luas. Basuki
iTjahaja
Purnama (Ahok),berhasil menjadi tokoh
Tionghoa yang fenomenal di Indonesia.Wakil
GubernurDKI
yang
berpasangan dengan Jokowiini
telah ,mendapattempat
di
hati jutaan rakyatlndone-sia yang
haus akan
perubahan. Selainitu
ada jugaKwik
Kian Giedan Marie Elka
Pangestu yangpernah
berkesempatan menjadi
menteri dalam kabinet di Era Refor-masi.Ini
beberapa bukti yang men-dobrak paradigma lama bahwa etnisTionghoa
dianggap
tidak
dapat berperan dalam pemerintahan..
Bukan
Cinalagi
Kini
di penghujung pemerintah-annya, Presiden SBY kembali mem-bawaangin
segarbagi
wargaTi-onghoal Tanggal 14 Maret
2Ol4 yang lalu keluarlah Keppres Nomor 12 Tahun 2014 yang mencabut dan menyatakan tidak berlakunya Surat Edaran Presidium Kabinet AmperaNomor
SE-06/PRES.KAB
I 6l[967
tanggal 28 Juni 1967. Melalui keppres
ini
istilah orang dan/atau komuniiasTjina/China/Cina diubah
menjadiTionghoa,
sedangkan penyebutan negaraRepublik
RakyatCina
di-kembalikan menjadi RepublikRakyat Tiongkok. Maka diharapkan aturanini
semakin memperkuatproduk-produk hukum
sebelumnya yang sudah berpihak pada hak-hak warga Tionghoa.Sebutan
Cina yang
ditetapkan oleh pemerintah OrdeBarusebelum-nya
biasa
digunakanoleh
peme-rintah kolonial. Istilah Cina berasaldari
bahasa Belandayaitu
Chi'nayang
mengacu pada orang-orang Tionghoa berkuncir.' Sebutan Cinabagi
Tionghoa
di
Indonesia ber-konotasi menghina danmerendah-kan,
seperti sebutan Inlander bagi pribumi di 4asa kolonial atau Niggerbagi
orangAfrika di
Amerika.Di
samping
itu
terciptalah
stereotip negatifbagi
warga Tionghoa yang diidentikkan dengan perilaku tidak patriotik, eksklusif, bersifat asosial. danapolitik.
Warga Tionghoadi-upayakan
keluar
dari
lingkaran
mayoritas dan ditempatkan sebagai orang a5ingdi
negeri yang sejak lahir telah menjadi tanah airnya.Suburnya s€ntimen anti
fiong-hoa layaknya bom waktu yang siap meledak kapan saja. Puncaknya ter-jadi dalam kerusuhari rasial di bulan
Mei
1998. Inilah bukti bahwa kon-sep.asimilasi yang
diusung Orde Baru bersifat paksaan.. Semestinyaproses
asimilasi
dapat
berjalan secardwajar
dan
alamiah. Pem-bauran yang dianjurkan pemerintahsaat
itu
tida\
mengarah
padakerukunan
hidup
bermasyarakatjustru
mremicu kerentanan sosial sekaligusmematikan
demokrasi. Dengan demikian gagasan integrasijauh lebih
tepat. Tionghoa harus diakui sebagai salah satu suku yang kedudukannya sama seperti halnya Jawa, Sunda, Batak, Minangkabau; Dayak, Bugis, dan suku-sukulain-nya
di
Indonesia.Pengakuan terhadap identitas
kultural
merupakan hak yang perludimiliki
oleh setiap kelompok ma-syarakat termasuk Tionghoa. Or-ang Tionghoa tidak dapatsepenuh-nya
menanggalkannilai-nilai
bu-daya negeri asalnya yang telah men. darah daging. Meskipun demikian, sebenarnya orang Tionghoa merasamelu
handarbeni
lan
hangrung-kebi terhadap negara tempat mereka.dilahirkan,
mencari penghidupan,dan menjalani hidup
hingga ajal menjemput.Maka
salah besar apabila adayang
mengatakan bahwa
orang Tionghoa Indonesia tidak memilikirasa nasionalismp dan tidak memiliki sumbangsih bagi negara ini. Sejarah telah mencatat sekian banyak tokoh
Tionghoa
Indonesia
yang
turut
berperan pada
masa pergerakan nasional, mempersiapkan Prokla-masi, ikut serta dalam pemerintahan,hingg4 berjasa
mengharumkannama bangsa melalui'bidang-bidang yang ditekuninya. Sayangnya tidak
banyak yang
pahamhal
ini.
Pe-nguasa seolah sengaja mengabur-kan sementara pembelajaran sejarahdi
sekolah juga tidak pernah meng-ungkapnya.Harmonikehidupan
Penggunaan istilah Cina selamaini
telah menimbulkan dampak psi-kososial-diskriminatif dalam relasi hidup bermasyarakat warga Tiong-hoa. Perlakuandiskriminatif
jelas melanggar prinsip-prinsip hak asasimanusia
dan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Istilah Tionghoa dipandang lebih halus dantidak memiliki
konotasi
negatif. Dengan demikian eksistensi warga Tionghoa yang sudih ada sejakse-belum negara ini lahir pada akhirnya
diakui
setara dengan etnis lainnya.Inilah
wujud harmoni multikulturaldalam
naungan ncgara Bhinneka Tunggal Ika.Sekarang
ini
warga Tionghoa melalui berbagai organisasi danko-munitas
semakin
aktif
berperandalam dinamika
kehidupan sosial masydrakat.Makin
banyak
pulawarga Tionghoa yang
menekuni profesi di luar kebiasaan sebelumnya seperti guru, dosen,tokoh
masya-rakat, seniman, penulis, hingga artis.Situasi
ini
berhasil
menciptakart pembauran yanglebih baik
diban-dingkan upaya asimilasi. Pembauran bukan berarti meniadakanperbeda-an-perbedaan yang
ada-untuk
kemudian
dilebur menjadi
satu, namun justru harus dapat menerima perbedaanitu
untuk
memperkaya khazanah bangsa.Semakin diterimanya kaum
Ti-onghoa beserta
identitas
ke-Ti-onghoa-annya maka. sokatperbeda-an
itu
akanluruh
seiring
dengan perrgakuan akan keberadaan warga Tionghoa sebagai bagiandari
ma-syarakat Indonesia. Dengandemi-kian
Bhinneka
TunggalIka
tidak sekedar konsepsi untuk menjemba-tani kenyataan multikultural bangsa,namun juga berarti ada kesempatan yang sama bagi semua anak bangsa,
termasuk
masyarakat Tionghoa
untuk turut
mengabdibagi
bangsadan negara
ini.
Jangan panggil aku Cina(lagi)!
***
Hendra Kurniawan MPd,
DosenP
endidikan Sejarah
Universitas