• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. KERANGKA PEMIKIRAN. (PDB) atau gross domestic product (GDP) yang merupakan pendapatan nasional.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "III. KERANGKA PEMIKIRAN. (PDB) atau gross domestic product (GDP) yang merupakan pendapatan nasional."

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

3.1. Kerangka Teori

3.1.1. Produk Domestik Regional Bruto

Variabel makroekonomi paling penting adalah produk domestik bruto (PDB) atau gross domestic product (GDP) yang merupakan pendapatan nasional.

GDP mengukur output barang dan jasa total suatu negara dan pendapatan totalnya. Pendapatan daerah merupakan bagian dalam penghitungan pendapatan nasional, di mana pendapatan nasional merupakan total dari pendapatan daerah di seluruh Indonesia (Sukirno, 2000).

Pendapatan daerah merupakan variabel penting untuk dianalisis dalam perencanaan suatu daerah. Dari sisi produksi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan total nilai produksi barang dan jasa yang diproduksi dalam suatu wilayah pada jangka waktu tertentu. Produksi barang dan jasa tersebut dihasilkan oleh sektor-sektor produksi (Sukirno,2000). Berdasarkan pendekatan produksi, nilai PDRB dapat dinyatakan secara matematis sebagai berikut :

(1)

Keterangan :

Yi = Nilai produksi (output) sektor-sektor perekonomian mulai dari sektor ke- i sampai sektor ke- n.

t = tahun pengamatan

Output untuk barang dan jasa suatu perekonomian, PDRB-nya tergantung pada : jumlah input yang disebut faktor-faktor produksi, dan kemampuan untuk mengubah input menjadi output, sebagaimana ditunjukkan dalam fungsi produksi.

= n

i

t Yi t

PDRB( ) ( )

(2)

Teknologi produksi yang ada menentukan berapa banyak output diproduksi dari sejumlah modal dan tenaga kerja tertentu, secara matematis fungsi produksi adalah :

Yi = F (Ki, Li) (2)

Keterangan :

Yi = Output /produksi sektor i Ki = input produksi modal sektor i Li = input produksi tenaga kerja sektor i

Fungsi produksi pada persamaan (2) mencerminkan teknologi yang digunakan untuk mengubah modal dan tenaga kerja menjadi output. Banyak fungsi produksi yang mempunyai perangkat yang disebut pengembalian skala konstan (return to scale), artinya jika seluruh input pruduksi kita tingkatkan dalam prosentase yang sama maka output akan meningkat sebesar prosentase kenaikan inputnya. Apabila kita ingin meningkatkan output sebesar 10 persen maka kita harus menambah 10 persen penggunaan modal dan tenaga kerja. Secara matematis dirumuskan sebagai berikut.

zYi = F (zKi, zLi) (3)

Dari sisi pengeluaran, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan jumlah pengeluaran untuk konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap atau investasi, dan ekspor netto dalam suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu. Adapun formula PDRB berdasarkan pengeluaran yang dikenal dengan permintaan agregat adalah (Richardson, 2001).

Y (t) = C (t) + I (t) + G (t) + X (t) – M (t) (4)

(3)

Keterangan :

Y = pendapatan daerah (output) C = konsumsi masyarakat I = investasi

G = pengeluaran pemerintah X = ekspor daerah

M = impor daerah

i dan t = masing-masing menunjukkan lokasi/daerah dan tahun.

Persamaan-persamaan (1) sampai (3) merupakan basis teori yang digunakan dalam menyusun model yang mengintegrasikan sisi penawaran.

Sedangkan persamaan (4) yang menggambarkan sisi permintaan hanya mampu disajikan prilaku investasi sektor Industri dan investasi swasta, sedangkan prilaku konsumsi, ekspor dan impor daerah tidak mampu disajikan pada studi ini.

Persamaan (2) dapat dimodifikasi untuk mengestimasi pertumbuhan PDRB dengan memasukkan dua kelompok variabel, yaitu varibel yang menangkap perkembangan teknologi dan variabel yang menangkap perbedaan sumberdaya regional.

3.1.2. Fungsi Penawaran Agregat

Kurva penawaran agregat merupakan hubungan antara tingkat harga umum (P) dan produksi total (Y). Dengan asumsi Keynes (tingkat upah tidak fleksibel) gambar 2 menunjukkan bahwa pada tingkat harga P0 tingkat upah riil (W/P)0 dan terdapat kesempatan kerja penuh di mana permintaan tenaga kerja(DL) sama dengan penawaran tenaga kerja (SL) sebesar L0, dan pendapatan daerah sebesar Y0. Apabila harga turun menjadi P1 dan tingkat upah riil menjadi (W/P)1

(4)

akan menyebabkan jumlah permintaan tenaga kerja lebih rendah dari penawaran tenaga kerja sehingga kesempatan kerja sebesar L1, karena tingkat upah tetap maka total pendapatan sebesar Y1. Titik-titik yang menghubungkan Yo dan Y1 akan membentuk kurva penawaran Agregat (AS).

P

P0

P1

L1

L0

Y0

Y1

Y

Y=f(L) W/P

L (W/P)0

(W/P)1

DL

SL

AS W

Gambar 2. Kurva Penawaran Agregat

(5)

3.1.3. Investasi

Investasi merupakan pengeluaran domestik yang dilakukan oleh sektor swasta untuk mendirikan bangunan-bangunan baru, mesin-mesin baru beserta perlengkapannya dan perubahan jumlah berbagai macam persediaan perusahaan.

Secara singkat, investasi didefinisikan sebagai tambahan bersih terhadap stok kapital dalam kurun waktu tertentu. Investasi dapat dibedakan investasi tetap dan investasi persediaan (Sukirno, 2000).

Kepustakaan ekonomi menyebutkan dua faktor yang paling menentukan invetasi swasta, yakni suku bunga dan pendapatan nasional. Dengan asumsi faktor lain konstan, maka hubungan antara permintaan investasi (I) dengan tingkat suku bunga (r) dinyatakan dalam bentuk fungsi sebagai berikut :

I = f (r) ; ΔI/Δr < 0 (6) Apabila tingkat suku bunga (r) turun, maka permintaan investasi (I) meningkat, dan sebaliknya kalau tingkat bunga naik, maka permintaan investasi akan turun. Perubahan suku bunga dapat mempengaruhi stok modal karena hal ini akan mengubah proyeksi profitabilitas dari berbagai peluang investasi yang ada. Keynes menjelaskan pengaruh suku bunga terhadap investasi yang didasarkan pada tingkat hasil internal (internal return) disebut sebagai efisiensi marjinal modal = MEC atau marginal efficiency of capital (Dornbusch, 1992).

Selain suku bunga, hal pokok yang mempengaruhi permintaan investasi adalah keyakinan akan adanya perubahan pendapatan nasional. Kenaikan pendapatan nasional akan memperbesar volume penjualan sehingga mendorong para produsen meningkatkan kapasitas produksinya. Faktor lain yang sering diidentifikasi berpengaruh terhadap investasi seperti tingkat pajak dan upah yang ikut menentukan biaya modal dan tenaga kerja (Dornbusch, 1992).

(6)

Hasil studi Azis (1994) dalam Hidayattulah (2003) menyebutkan bahwa investasi pada dasarnya tergantung pada besar kecilnya pemilikan sumberdaya yang dapat dikelola dan faktor lainnya. Secara khusus, investasi sawasta sangat tergantung dari insentif yang diciptakan daerah misalnya penyederhanaan prosedur, izin investasi, keringanan pajak, dan tersedianya infrastruktur.

Hidayattulah juga menyebutkan bahwa defisit fiskal yang semakin besar akan mempengaruhi ketersediaan kredit untuk sektor swasta sehingga menyebabkan investasi swasta berkurang.

3.2. Kinerja Fiskal Daerah 3.2.1. Penerimaan Fiskal Daerah

Sumber-sumber penerimaan fiskal daerah terdiri dari pendapatan asli daerah (PAD), dana bagi hasil pajak dan bukan pajak, transfer dari pemerintah pusat, dan penerimaan lain yang sah berdasarkan undang-undang. PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang berasal dari sumber-sumber daerah itu sendiri. Adapun yang termasuk dalam PAD adalah pajak-pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba dari badan usaha milik daerah, dan jenis pendapatan lainnya yang sah. Sedangkan transfer pusat berupa Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan total bagi hasil (BPS, 2003 ; Citraumbara, 2004).

Total penerimaan daerah ini menggambarkan ketersediaan fiskal daerah atau Fiscal Available, sedangkan kemampuan fiskal atau kapasitas fiskal (Fiscal Capacity) menggambarkan kemampuan keuangan daerah yang bersumber dari PAD dan total bagi hasil (TBHS).

(7)

Definisi pajak adalah suatu pungutan yang merupakan hak prerogatif pemerintah, pungutan tersebut didasarkan pada undang-undang yang berlaku dan dapat dipaksakan kepada subyek pajak yang tidak ada balas jasa langsung yang dirasakan oleh penggunanya. Contohnya adalah pajak penghasilan, pajak yang diterima pemerintah ini kita tidak tahu apakah akan digunakan untuk membayar gaji pegawai, untuk membayar hutang, atau belanja rutin. Sedangkan Retribusi adalah pungutan pemerintah karena pembayar menerima jasa langsung dari pemerintah, misalnya retribusi parkir, jasa PLN, PAM, dsb (Mangkusubroto,1991).

Secara teoritis, besaran pajak merupakan fungsi dari suatu perekonomian.

Besaran pajak atau retribusi daerah dirumuskan sebagai.

T = f (Y) ; ΔT/ΔY > 0 (7) Keterangan :

T = pajak atau retribusi daerah Y = PDRB.

Makin beragam aktivitas ekonomi suatu daerah makin banyak objek pajak dan retribusi yang bisa dipungut. Makin tinggi nilai suatu objek pajak makin besar jumlah pajak yang dapat dipungut. Jenis pajak daerah misalnya pajak hotel dan restauran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak listrik, dan lain-lain.

Sedangkan retribusi misalnya retribusi pelayanan kesehatan, pengurusan akte, retribusi pasar, dan lain-lain. Jadi baik pajak maupun retribusi dan jenis penerimaan daerah lainnya berkaitan dengan tingkat perekonomian suatu daerah.

Bahl (2000) di Cina dan Rao (2000) di India telah melakukan studi regresi linier hubungan antara penerimaan pemerintah daerah dengan pendapatan per

(8)

kapita dan jumlah penduduk yang menggunakan data cross-section menunjukkan hubungan yang signifikan.

Selain pajak dan retribusi daerah, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB ) juga merupakan salah satu sumber penerimaan daerah yang penting. Nilai keduanya ditentukan pula oleh aktivitas perekonomian daerah. Pada prinsipnya, PBB dan BPHTB merupakan objek pajak yang terikat dengan lokasi (immobile tax bases) sehingga seharusnya diserahkan kepada pemerintah daerah (Gandhi, 1995). Pemungutan pajak tersebut dilakukan oleh pemerintah daerah selanjutnya dibagihasilkan dengan pemerintah pusat, bagian daerah penghasil ditentukan berdasarkan prosentase tertentu yang dikenal dengan Dana Bagi Hasil Pajak (BPH).

Selain pajak, terdapat penerimaan daerah berupa Bagi Hasil Sumber Daya Alam (BHSDA). Besarnya penerimaan dari hasil sumber daya alam ditentukan oleh ketersediaan sumberdaya alam yang dibagi hasilkan. Pemerintah pusat dapat mengatur sedemikian sehingga penggunaan hasil sumberdaya alam dapat secara merata melalui mekanisme transfer. Hasil penerimaan yang bersumber dari sumberdaya alam merupakan penerimaan pemerintah pusat dan dibagihasilkan dengan persentase (porsi) tertentu. Bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi, kabupaten, dan desa terdiri dari bantuan blok dan bantuan khusus.

Bantuan blok, terdiri dari bantuan pengembangan Provinsi (Inpres Dati I), bantuan pengembangan Kabupaten (Inpres Dati II), bantuan pengembangan Desa (Inpres desa), Inpres Desa tertinggal (IDT). Bantuan khusus terdiri enam tipe, yaitu subsidi daerah otonom (SDO) untuk dana rutin, bantuan pengembangan jalan kota

(9)

dan Kabupaten, bantuan sekolah, dan bantuan kesehatan (BPS, 2003 ; Citraumbara, 2004).

Sejak tahun 2001, formulasi bantuan pemerintah pusat diubah menjadi DAU dan DAK. DAU dinyatakan sebagai bantuan pemerintah pusat untuk mengatasi kesenjangan fiskal yang terjadi akibat perbedaan potensi daerah. DAU dapat digunakan untuk membiayai baik belanja rutin maupun belanja pembangunan. Jadi DAU berpengaruh pada total penerimaan keuangan daerah.

Jumlah alokasi bantuan pemerintah baik dalam bentuk Inpres dan SDO maupun dalam formula baru DAU dan DAK berdasarkan pertimbangan tertentu.

Shah (2000), merinci faktor-faktor yang menjadi pertimbangan pemerintah untuk mengalokasikan Inpres dan SDO yaitu jumlah penduduk, jumlah gaji pegawai negeri, kondisi prasarana, jumlah usia sekolah, kebutuhan obat-obatan, desa tertinggal dan penduduk miskin. Sedangkan bentuk bantuan dalam formula baru lebih tegas karena dinyatakan dalam undang-undang. Besaran DAU ini ditentukan oleh pemerintah pusat dengan pertimbangan kebutuhan fiskal daerah (fiscal need) dan kemampun fiskal daerah (fiscal capacity). Kebutuhan fiskal daerah dihitung berdasarkan indikator seperti indeks jumlah penduduk, luas daerah, indeks harga bangunan, dan indeks kemiskinan. Sedangkan kemampuan atau potensi fiskal daerah dihitung berdasarkan indeks industri, indeks sumberdaya alam, dan indeks sumberdaya manusia (SETNEG, 1999 ; BPS, 2003 ; Citraumbara, 2004).

Secara empirik Hirawan (1993) menguji keterkaitan antara Inpres dengan variabel seperti jumlah penduduk, luas wilayah, PDRB per kapita, dan PAD per kapita. Dari variabel-variabel tersebut, jumlah penduduk memiliki pengaruh yang

(10)

nyata (signifikan). Sedangkan variabel PDRB per kapita dan PAD per kapita memiliki korelasi negatif tetapi keduanya tidak signifikan.

3.2.2. Pengeluaran Fiskal Daerah

Pengeluaran fiskal daerah menggambarkan besarnya kebutuhan fiskal daerah (Fiscal need) untuk membiayai seluruh kebutuhan daerahnya baik kebutuhan rutin maupun pembangunan. Selisih antara kapasitas fiskal daerah (fiscal capacity) dan kebutuhan fiskal (fiscal need) menunjukkan besarnya kesenjangan fiskal daerah (Fiscal Gap), semakin besar nilai negatif dari kesenjangan fiskal menunjukkan kesenjangan fiskal daerah yang semakin senjang.

Dalam teori ekonomi, pengeluaran pemerintah atau goverment expenditure (G) merupakan semua pembelian barang dan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah. Variabel G adalah variabel eksogen di mana besaran nilainya tergantung pada strategi yang dianut pemerintah daerah dalam menjalankan kebijakan fiskalnya. Jenis pengeluaran pemerintah terdiri dari pengeluaran rutin, pengeluaran pembanganan, dan tabungan pemerintah. Pengeluaran pemerintah rutin terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, dan subsidi yang semuanya berdampak langsung terhadap perekonomian. Peningkatan pengeluaran rutin akan meningkatkan pendapatan pegawai, selanjutnya berdampak pada permintaan agregat dan akhirnya meningkatkan output total secara nasional (Sukirno, 2000).

Di sisi pengeluran daerah, struktur pengeluaran daerah dikelompokkan ke dalam pengeluaran untuk belanja rutin dan pengeluaran untuk belanja pembangunan. Belanja rutin merupakan pengeluaran untuk membiayai kegiatan pemerintah daerah yang bersifat administrasi dan pelayanan pemerintah umum.

(11)

Belanja pembangunan merupakan pengeluaran untuk membiayai kegiatan pembangunan. Besar dan kecilnya belanja rutin ataupun belanja pembangunan dalam periode tertentu tergantung banyak faktor, yang penting di antaranya adalah jumlah pajak yang akan diterima, tujuan-tujuan kegiatan ekonomi jangka pendek, dan pertimbangan politik dan keamanan (BPS, 2003 ; Citraumbara, 2004;

Sukirno, 1994).

Berbagai kajian merumuskan bahwa besarnya belanja rutin tergantung dari jumlah penduduk, total pengeluaran pemerintah, jumlah pendapatan. Sedangkan belanja pembangunan terutama tergantung pada jumlah penerimaan pemerintah (Azis, 1984 ; Hanani, 2000; Brodjonegoro, 2000). Hanani (2000) mengidentifikasi bahwa besaran belanja rutin pemerintah tergantung pada jumlah penduduk dan total pengeluaran pemerintah, dan belanja pembangunan yang dinyatakan sebagai sisa dari pengeluaran untuk belanja rutin termasuk untuk cicilan hutang pemerintah. Sedangkan Brodjonegoro (2000) menyatakan bahwa pengeluaran rutin dipengaruhi oleh produksi (PDRB) dan pengeluran rutin tahun sebelumnya, dan pengeluaran untuk pembangunan dinyatakan sebagai fungsi dari total penerimaan daerah.

3.3. Kinerja Perekonomian Daerah

Para ahli perekonomian menyebutkan bahwa indikator prekonomian suatu daerah ditunjukkan oleh instrumen-instrumen pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja yang menggambarkan jumlah penggangguran (unemployment), tingkat harga (inflasi), dan pendapatan perkapita yang menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat.

(12)

3.3.1. Pertumbuhan Ekonomi

Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau berkembang apabila tingkat kegiatan ekonomi lebih tinggi dari pada yang dicapai tahun sebelumnya. Tolok ukur keberhasilan ekonomi dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi, struktur ekonomi, semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antar penduduk, antar daerah, dan antar sektor (Kuncoro,2004 dalam Adi, 2005).

Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai peningkatan kemampuan dari suatu perekonomian dalam memproduksi barang dan jasa. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi lebih menunjuk pada perubahan yang bersifat kuantitatif dan biasanya diukur menggunakan data Produk Domestik Bruto (PDB) maupun Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Pertumbuhan ekonomi juga sering diartikan sebagai proses kenaikan output per kapita.

Untuk mengetahui apakah suatu perekonomian mengalami pertumbuhan, perlulah ditentukan perubahan yang sebanarnya berlaku dalam kegiatan ekonomi dari tahun ke tahun. Oleh karena itu perlu dihitung pendapatan nasional menurut harga tetap/pendapatan nasional riil dengan cara mendeflasikan pendapatan nasional menurut harga berlaku, atau menilai kembali berdasarkan harga pada tahun dasar perbandingan (base year). Menggunakan indeks harga konsumen (IHKU), pendapatan nasional riil dapat ditentukan menggunakan formula : (Sukirno, 1985).

100 IHKUt* PDRBt

PDRBRt = (8)

Keterangan :

PDRBRt : pendapatan daerah riil pada tahun t

PDRBt : pendapatan daerah menurut harga yang berlaku pada tahun t IHKUt : indeks harga konsumen pada tahun t sebagai tahun dasar.

(13)

Pada studi ini Persamaan (8) digunakan tidak hanya untuk menghitung pendapatan daerah tetapi digunakan juga untuk variabel keuangan lainnya.

Dengan penggunaan indikator PDB, PDRB dan pendapatan per kapita, dapat dikembangkan empat tipologi daerah untuk mengetahui pola dan struktur pertumbuhan ekonomi suatu daerah, yaitu:

1. Daerah cepat maju dan tumbuh adalah daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata Kabupaten dan Kota.

2. Daerah maju dan tertekan adalah daerah yang memiliki tingkat pendapatan perkapita lebih tinggi, namun pertumbuhan ekonominya lebih rendah dibanding rata-rata Kabupaten dan Kota.

3. Daerah berkembang cepat adalah daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, namun tingkat pendapatan perkapitanya masih lebih rendah dibanding rata-rata kabupaten dan kota.

4. Daerah relatif tertinggal adalah daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan rata-rata pendapatan perkapita lebih rendah dibanding rata-rata kabupaten dan kota.

Lin and Liu (2000) dalam Adi (2005) mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat terjadi melalui dua cara, yaitu: pertama dengan menaikkan investasi modal, dan kedua melakukan efisiensi terhadap sumber daya yang dimiliki. Paparan ini menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal mempunyai peranan yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Beberapa alasan yang mendasari adalah sebagai berikut: (1) pemerintah daerah mempunyai kewenangan lebih besar berinvestasi dan membelanjakan lebih banyak untuk

(14)

berbagai sektor produktif; (2) pemerintah daerah mampu menyediakan barang- barang publik dan jasa yang dibutuhkan. Bagaimana pun pemerintah lokal tetap akan lebih sensitif terhadap kondisi ekonomi lokal. Pemberian kewenangan (otonomi) yang lebih besar, membuat pemda lebih leluasa melakukan alokasi yang efisien pada berbagai potensi lokal sesuai dengan kebutuhan publik (Lin and Liu 2000; Mardiasmo 2002; Wong 2004 dalam Adi, 2005). Hal ini pada gilirannya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dan pendapatan per kapita; (3) Adanya pemberdayaan dan penciptaan ruang pada publik untuk berpartisipasi dalam pembangunan (Mardiasmo, 2002 dalam Adi, 2005).

Bohte and Maier (2000), dalam Adi (2005) menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dan lebih tinggi ternyata terjadi pada pemerintahan yang terdesentralisasi. Dengan menggunakan data lag 1 dan lag 2 (data sebelum), Lin and Liu (2000) membuktikan bahwa desentralisasi fiskal memberikan dampak yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Oases (1995) menemukan hal yang sama, desentralisasi fiskal mempunyai hubungan yang positif dan signifikan dengan pertumbuhan ekonomi per kapita.

Data PDB atau PDRB digunakan oleh para ekonom untuk mengukur pertumbuhan ekonomi suatu negara atau daerah. Perbedaan pokok antara analisis pertumbuhan ekonomi nasional dan pertumbuhan ekonomi daerah adalah pada perpindahan faktor / factor movements (Ricardson, 2001). Untuk analisis nasional dapat diasumsikan perekonomian tertutup, namun asumsi ini tidak dapat diterapkan pada daerah karena kemungkinan masuk keluarnya tenaga kerja arus perpindahan modal dan tenaga kerja antar daerah sangat terbuka. Ini disebut analisis dinamika di mana kemungkinan terjadinya pertumbuhan ekonomi daerah

(15)

dapat lebih tinggi dari nasional, atau sebaliknya menyebabkan pertumbuhan ekonomi daerah jauh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional.

Pertumbuhan ekonomi dapat dihitung berdasarkan nilai absolut ataupun nilai relatif dalam prosentase (Tambunan, 2001). Dalam bentuk prosentase dirumuskan sebagai berikut :

% 100

*

1 - t

1 - t t

PDRB PDRB PDRBt = PDRB

Δ (9)

Keterangan :

PDRBt = total output daerah pada tahun t

∆ PDRBt = pertumbuhan ekonomi pada tahun t dalam nilai absolut t-1 = tahun sebelumnya

Pertumbuhan Ekonomi yang tinggi dan prosesnya yang berkelanjutan merupakan kondisi utama bagi pembangunan ekonomi. Kebutuhan ekonomi yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk mengindikasikan penambahan pendapatan setiap tahunnya yang tercermin dari peningkatan output agregat atau barang dan jasa serta produk domestik regional bruto (PDRB) di daerah.

Menurut Romer (1996) dalam jangka panjang, pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh ketersediaan dan kualitas dari faktor-faktor produksi seperti sumber daya manusia, kapital, teknologi, bahan baku, enterpreneurship, dan energi. Sedangkan dalam jangka pendek, pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal misalnya perdagangan internasional dan pertumbuhan ekonomi kawasan atau dunia. Faktor internal terbagi dua yaitu faktor ekonomi dan non ekonomi, seperti kondisi politik, sosial, dan keamanan.

Kondisi politik dan sosial yang tidak stabil merupakan faktor yang mempertinggi

(16)

country risk dan akan menyebabkan terhalangnya investasi. Investasi yang tidak tumbuh dalam suatu daerah menandakan bahwa pertumbuhan ekonomi daerah tidak meningkat, karena investasi merupakan sumber utama pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Pertumbuhan ekonomi dapat bersumber dari sisi Permintaan Agregat (AD) dan Panawaran Agregat (AS). Keseimbangan permintaan dan penawaran agregat merupakan keseimbangan ekonomi yang menghasilkan sejumlah output agregat dan tingkat harga tertentu yang selanjutnya akan merupakan pendapatan nasional atau pendapatan daerah (Mankiw, 2000).

3.3.2. Penyerapan Tenaga Kerja

Penyerapan tenaga kerja atau kesempatan kerja atau permintaan tenaga kerja diartikan sebagai banyaknya orang yang bekerja pada berbagai sektor perekonomian, seperti sektor pertanian, pertambangan, industri, kehutanan, jasa, dan sektor–sektor lain. Permintaan tenaga kerja ini merupakan permintaan turunan (derived demand) yang berarti bahwa permintaan tenaga kerja oleh suatu perusahaan tergantung pada permintaan konsumen akan produk yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Peningkatan permintaan tenaga kerja tergantung pada penerimaan yang diperoleh perusahaan dari penjualan output yang dihasilkan oleh tenaga kerja tersebut (Bellante, 1990).

Kurva tenaga kerja menunjukkan kecondongan garis yang menurun, ini dapat diartikan bahwa suatu perusahaan yang menghendaki keuntungan maksimal dapat memilih jumlah tenaga kerja yang optimal untuk digunakan. Jumlah optimal ini menjadikan nilai produk fisik marjinal tenaga kerja (MPL) sama dengan upah yang merupakan biaya marginal bagi satu unit tenaga kerja. Oleh karena itu

(17)

perusahaan akan menyesuaikan jumlah tenaga kerja yang digunakan dengan biaya (upah) tenaga kerja. Apabila upah meningkat, perusahaan akan mengurangi jumlah tenaga kerja (Branson, 1979).

Gambar 3. Hubungan Permintaan Tenaga Kerja dan Pengangguran pada Pasar Tenaga kerja

Keterangan :

DL = permintaan tenaga kerja (0 – N1)

SL = penawaran tenaga kerja / jumlah angkatan kerja (0 – N2) N = jumlah tenaga kerja

L0 = permintaan tenaga kerja awal

L1 = permintaan tenaga kerja setelah upah naik

L2 = tenaga kerja yang tidak mendapat kesempatan kerja/

nganggur ( UE = SL – DL ) L0 -L1 = jumlah PHK

L1- L2 = jumlah pengangguran W = upah riil tenaga kerja W0 = upah awal

W1 = upah setelah naik L0

L1 L2

L W

SL

DL

W0

W1

O

UE

PHK A

(18)

Hubungan antara penyerapan tenaga kerja dan pengangguran dapat dijelaskan melalui keseimbangan pasar tenaga kerja pada Gambar 3. Kondisi keseimbangan pasar tenaga kerja terjadi pada tingkat upah W0 dan jumlah tenaga kerja sebesar L0 pada titik A. Kondisi keseimbangan akan bergeser bila terjadi pergeseran antara jumlah tenaga kerja yang diminta (DL) dan jumlah yang ditawarkan (SL) akibat berubahnya tingkat upah ataupun kebutuhan perusahaan. .

3.3.3. Pendapatan per Kapita

Produk Domestik Regioanl Bruto (PDRB) per kapita dapat digunakan sebagai proxy pendapatan per kapita yang mencerminkan tingkat kesejahteraan penduduk. PDRB per kapita dapat dirumuskan sebagai (Suparmoko, 1999)

PDRBK = PDRB/POPP , Δ PDRBK / Δ POPP < 0 (10) Keterangan:

PDRBK = rata-rata pendapatan per kapita PDRB = total pendapatan daerah POPP = jumlah penduduk

Walaupun PDRB rata-rata merupakan alat ukur yang lebih baik tetapi belum mencerminkan kesejahteraan penduduk secara tepat karena PDRB rata-rata tidak mencerminkan kesejahteraan ekonomi yang sungguh-sungguh dirasakan masyarakat, bisa terjadi PDRBK tinggi tetapi ada sekelompok penduduk yang tidak menerima pendapatan itu. Oleh karena itu perlu juga diperhatikan distribusi pendapatan.

Pada studi ini distribusi pendapatan dihitung dengan koefisien variasi dari PDRBK yaitu rasio antara standart deviasi dengan rata-rata PDRBK

(19)

CV = s/X (11) Keterangan :

CV : koefisien variasi dari PDRBK s : standar deviasi

X : rata-rata PDRBK

3.3.4. Inflasi

Inflasi merupakan masalah yang selalu dihadapi setiap perekonomian dan merupakan salah satu indikator yang umum digunakan untuk mengetahui keadaan perekonomian suatu negara atau daerah. Secara teoritis inflasi terjadi jika harga- harga produksi meningkat secara terus menerus akibat jumlah penawaran mata uang lebih tinggi dari jumlah barang yang diproduksi, atau penurunan mata uang yang terus menerus. Ukuran tingkat harga yang paling banyak digunakan adalah indeks harga konsumen (IHK) atau consumer price index (CPI), dimana IHK ini mengubah berbagai barang dan jasa menjadi sebuah indeks tunggal yang mengukur seluruh tingkat harga (Mankiw, 2000).

dasar t

P

IHK = P (12)

*100%

1 1

=

t t t

IHK IHK

π IHK (13)

Keteragan :

IHK = indeks harga konsumen P = harga tahun berjalan Pdasar = harga pada tahun dasar π = tingkat inflasi

t, t-1 = tahun yang sedang berjalan, dan tahun sebelumnya

(20)

3.4. Dampak Kebijakan Fiskal terhadap Perekonomian Daerah

Beberapa pustaka terdahulu menguraikan terdapat pengaruh yang signifikan antara kebijakan pemerintah terhadap kinerja perekonomian daerah.

Campur tangan pemerintah pada umumnya dilakukan untuk mencapai sasaran secara nasional yaitu pertumbuhan ekonomi, tingkat penggangguran, inflasi, dan stabilitas. Secara umum, instrumen kebijakan pemerintah untuk mempengaruhi perekonomian daerah dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu instrumen moneter dan instrumen fiskal.

Instrumen kebijakan moneter bekerja melalui pasar uang yang dikendalikan oleh bank sentral (Bank Indonesia) dengan penetapan tingkat suku bunga (SBI) dan pengendalian jumlah uang beredar. Perubahan pada pasar uang terjadi melalui mekanisme transmisi ke investasi yang selanjutnya akan mempengaruhi kinerja sektor riil. Sedangkan Instrumen kebijakan fiskal dapat dilakukan melalui belanja pemerintah (G) dan pajak (T). Kedua instrumen ini secara langsung akan berpengaruh pada sektor riil, yaitu penawaran agregat (AS).

Sejalan dengan topik studi ini, maka yang dibahas lebih lanjut adalah campur tangan pemerintah melalui instrumen fiskal yaitu pengeluaran pemerintah (G) dan Pajak (T). Kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah (G) berpengaruh positif terhadap total produksi daerah dan permintaan agregat yang selanjutnya berpengaruh pada pendapatan nasional, sementara kebijakan peningkatan pajak (T) berpengaruh negatif terhadap investasi dan pendapatan nasional (Budiono, 1982).

(21)

Apabila terjadi peningkatan pengeluaran pemerintah (G) atau terjadi ekspansi fiskal melalui instrumen G, maka akan berdampak positif terhadap perekonomian melalui sisi Permintaan Agregat (AD) maupun sisi Produksi atau Penawaran Agregat (AS). Diasumsikan bahwa peningkatan G digunakan untuk membiayai program sektoral maka akan meningkatkan produksi sektoral dan secara total akan meningkatkan produksi (output =Y) total atau PDRBS (Gambar 4). Keseimbangan awal terjadi pada kondisi : Y0, r0, P0, W0, dan L0. Diasumsikan terjadi peningkatan G untuk program Pertanian dan Infrastruktur, maka produksi akan meningkat dari Y0 ke Y1 yang menyebabkan pergeseran kurva AS0 ke AS1

yang menyebabkan harga turun dari P0 ke P1. Turunnya harga menyebabkan permintaan barang meningkat sehingga AD bergeser dari AD0 ke AD1 dan berdampak pada naiknya harga sampai menuju keseimbangan P*. Pada pasar barang, meningkatnya AD menggeser kurva IS dari IS0 ke IS1 yang menyebabkan naiknya suku bunga dari r0 ke r1. Peningkatan suku bunga menyebabkan investasi turun sehingga Y turun dari Y1 ke Y* (Crowding out effect). Pada pasar tenaga kerja, meningkatnya Y akan menambah jumlah tenaga kerja dari L0 ke L1.

Jadi dampak peningkatan G terhadap perekonomian meningkatkan Y total (PDRBS), Pertumbuhan Ekonomi yang berdampak juga pada peningkatan PDRB per kapita, meningkatkan kesempatan kerja atau mengurangi jumlah penggangguran, sehingga keseimbangan akhir pada kondisi : Y*, r*, P*, W*, dan L*

(22)

Y1

Y0

L0

0 L

Y1

Y0

L1

r

r1

r0

LM

IS0 IS1

Y

Y AS0

AD1

AD0

P

P0 = P*

P1

Y0 Y*

Y0 Y*

L*

L0

DL0

DL1

S L

L W

W0

W1

AS1

Gambar 4. Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Perekonomian

(23)

Keterangan :

r : tingkat suku bunga

Y : produksi atau output = PDRBS P : tingkat harga

W : harga tenaga kerja atau upah tenaga kerja L : jumlah tenaga kerja

3.5. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian daerah secara ringkas dapat dijelaskan dalam Gambar 5 yang menunjukkan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal memberikan kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur dana perimbangan maupun memobilisasi potensi sumberdaya dan mengatur pembangunan ekonomi daerahnya.

Dalam hal pengaturan perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah, pemerintah daerah leluasa menentukan komposisi besaran dana bagi hasil dan transfer sehingga mempengaruhi besarnya DAU. Dalam hal kewenangan memobilisasi sumberdaya akan berpengaruh pada besarnya penerimaan PAD, di samping itu pemerintah daerah juga leluasa dalam menentukan komposisi pengeluaran rutin dan pembangunan berdasarkan prioritas pembangunan.

Di sisi pengeluaran, besarnya penerimaan daerah (PAD dan DAU) akan mempengaruhi besarnya belanja pemerintah daerah, baik yang dialokasikan kepada pembiayaan rutin maupun pembangunan yang nantinya akan mempengaruhi kinerja perekonomian daerah yang merupakan gabungan dari kinerja sektoral. Dengan demikian alokasi anggaran sektoral akan mempengaruhi PDRB sektoral dan penyerapan tenaga kerja.

(24)

Gambar 5. Kerangka Konseptual Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Perekonomian Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu

Prioritas Pembangunan Kewenangan memobilisasi sumberdaya dan mengatur pembangunan ekonomi daerah Perimbangan Keuangan

Antara Pemerintah Pusat dan Daerah

Perubahan komposisi

& Besaran Bagi Hasil + Transfer (DAU,DAK)

Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten (APBD)

Kebijakan Desentralisasi Fiskal

Keleluasaan Mengalokasikan

Dana

Kinerja Perekonomian Daerah

• PDRB Sektor Pertanian

• PDRB Sektor Industri

• PDRB Sektor Pertambangan

• PDRB Sektor Pariwisata

• PDRB Sektor Jasa

• Investasi

• Tingkat Kesempatan Kerja

• Pendapatan Disposibel

• PDRB per Kapita

• Pertumbuhan Ekonomi

• Distribusi Pendapatan Belanja /Pengeluaran

Pemerintah: : 1. Pengeluaran Rutin 2. Pengeluaran

Pembangunan

(25)

Perubahan kebijakan fiskal yang lebih desentralistik diharapkan memberikan pengaruh positif terhadap perekonomian daerah. Pada sektor pertanian, kebijakan dan arah pembangunan sektor pertanian lebih banyak ditentukan oleh daerah sehingga menimbulkan peluang pengembangan komoditas sesuai dengan potensi dan daya saing wilayah yang akhirnya mampu meningkatkan pendapatan petani dan pengentasan kemiskinan (Gany, 2000).

Richardson (2001) menyebutkan bahwa dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian dapat dikaji sebagaimana dampak kebijakan fiskal terhadap perekonomian nasional, yaitu dari sisi permintaan dan penawaran. Pada sisi penawaran atau sisi produksi, desentralisasi fiskal diasumsikan akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi melalui dua cara yaitu : (1) meningkatkan investasi modal di level daerah yang akan meningkatkan stok modal sehingga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, dan (2) peningkatan efisiensi alokasi sumberdaya. Dengan demikian pemerintah daerah dapat meningkatkan total output melalui alokasi sumberdaya lebih banyak atau merealokasi sumberdaya dari sektor (area) yang produktivitasnya rendah ke sektor (area) yang produktivitasnya tinggi (Lin and Liu, 2000).

Pengaruh besaran dana yang dikelola dan keleluasaan tersebut merupakan faktor dari derajat desentralisasi fiskal suatu daerah. Makin tinggi penerimaan fiskal yang bebas pengalokasiannya makin tinggi derajat desentralisasi fiskal yang dimiliki daerah yang diharapkan makin optimal pengalokasiannya. Demikian pula makin tinggi penerimaan fiskal diharapkan makin tepat pilihan infrastruktur sehingga makin tinggi insentif investasi yang diciptakan. Namun demikian, keleluasaan dari sisi penerimaan terutama upaya peningkatan pajak dan retribusi justru bisa berpengaruh negatif terhadap investasi (Vaillancourt, 2000).

(26)

Aspek desentralisasi fiskal yang lainnya adalah aspek pemerataan pendapatan antar daerah. Sejalan dengan pengaruh fiskal terhadap efisiensi yang positif tehadap laju pertumbuhan ekonomi, bahwa adanya ketidakseimbangan kapasitas fiskal antar daerah akan berimplikasi terhadap pemerataan pendapatan per kapita antar daerah pula. Perlu dicatat, bahwa alasan pemerataan merupakan salah satu faktor pendorong desentralisasi fiskal. Adanya perbedaan antar daerah mengenai potensi sumberdaya alam dan potensi penerimaan pajak yang dibagihasilkan serta perbedaan potensi pendapatan asli daerah justru mendorong kesenjangan antar daerah dengan adanya perubahan-perubahan dalam struktur bagi hasil dan keleluasaan memobilisasi sumberdaya lokal (Bird, 2000).

Gambar

Gambar 2. Kurva Penawaran Agregat
Gambar 4.  Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Perekonomian

Referensi

Dokumen terkait

penghubung dari katub peralatan pengangkat (blade lift valve). n) Lepaskan hose katup balik dan tabung penghisab dari hydraulic tank. o) Pindahkan penutup bagian depan

Konsep dasar pengendalian memandang bahwa sistem pengendalian intern bukan suatu kejadian atau keadaan yang terjadi sesaat dan mandiri, akan tetapi merupakan

Risiko sering dihubungkan sebagai volatilitas atau penyimpangan (deviasi) dari hasil investasi yang diterima dengan yang diharapkan, sehingga risiko.. merupakan

Dari latar belakang diatas maka dirumuskan masalah dalam penelitian ini adalah “Adakah hubungan antara pola asuh orang tua dengan karakter anak usia dini di PAUD Bougenville

Dari 19 (Sembilan belas) perusahaan peserta pelelangan, 6 (enam) peserta memasukkan table kualifikasi dan 5 (lima) peserta mengupload dokumen penawaran, adapun hasil

Ekonomi adalah sebuah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana manusia mencukupi kebutuhan hidupnya, ini di dasarkan dari asal kata ekonomi yang berasal dari bahasa yunani,

BEBAN KOGNITIF DAN KEMAMPUAN PENALARAN SISWA SMA SESUAI GAYA BELAJAR PADA PRAKTIKUM KLASIFIKASI ANGIOSPERMAE MELALUI MEDIA VIRTUAL.. Universitas Pendidikan Indonesia

Simultaneously, the characteristics of companies that consists of company size, leverage, management ownership, public ownership, profitability, liquidity and type