• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan refleksi kondisi pendidikan, politik, budaya dan agama (Elizur et al.,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan refleksi kondisi pendidikan, politik, budaya dan agama (Elizur et al.,"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Riset etika kerja di berbagai setting budaya menunjukkan bahwa etika kerja merupakan refleksi kondisi pendidikan, politik, budaya dan agama (Elizur et al., 1991). Etika sebagai ajaran baik-buruk, benar-salah, atau ajaran tentang moral khususnya dalam perilaku dan tindakan-tindakan ekonomi, bersumber terutama dari ajaran agama. Pernyataan ini muncul sejak terbitnya buku Max Weber The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (1904) dalam Mubyarto (2002) yang mengungkapkan hubungan yang erat antara ajaran-ajaran agama dan etika kerja, atau antara penerapan ajaran agama dan pembangunan ekonomi.

Konsep etika kerja dapat dikatakan bukan merupakan hal baru, karena Weber sudah mengungkapkan konsep tersebut sejak tahun 1904 yang dikenal dengan istilah etika kerja Protestan (Protestant work ethic). Weber mengembangkan teori etika kerja berdasarkan ide Martin Luther yang menyatakan bahwa bekerja merupakan suatu ‗panggilan dari Tuhan‘ (Weber, 1905 dalam Fouts, 2004). Dengan demikian, satu-satunya cara untuk hidup yang dapat diterima Tuhan adalah melalui ketaatan pada panggilan. Ide dari panggilan merujuk pada fakta bahwa bentuk kewajiban moral tertinggi adalah pemenuhan tugas seseorang pada urusan dunia dan bahwa bekerja merupakan suatu tugas yang diberikan oleh Tuhan. Martin Luther mengajarkan bahwa mengerjakan pekerjaan secara excellent merupakan cara hidup yang dapat diterima Tuhan. Dengan demikian jantung Etika Protestan adalah kerja keras dan

(2)

2 mencari keuntungan yang dipasangkan dengan menghindari bersenang-senang dan terbuangnya waktu.

Untuk menyediakan bukti atas klaim Weber, sejumlah hipotesis dikembangkan. Pada level individual, diharapkan Protestan mewakili pekerjaan terkait kapitalisme industri (kewirausahaan) dan pada level makro, industrialisasi menghasilkan pengembangan awal dari negara dan daerah yang didominasi populasi Protestan. Proposisi Weber yang menghubungkan antara afiliasi agama dan kesuksesan pekerjaan diperdebatkan pada level konseptual karena ada beberapa hasil penelitian yang menunjukkan tidak ada hubungan antara afiliasi agama dan etika kerja (Bernstein, 1988; Arslan, 2001). Salah satu contohnya adalah penelitian Bernstein (1988) yang menunjukkan bahwa, pengembangan etika kerja tidak dipengaruhi agama dikarenakan setelah berlangsung bertahun-tahun, etika kerja Protestan yang berupa spirit kerja keras bercampur dengan norma budaya barat dan tidak lagi diatributkan pada agama tertentu. Muncul pertanyaan apakah etika kerja Protestan (PWE) masih didominasi penganut Protestan ataukah sudah merupakan konstruk yang berbagi secara universal.

Pro kontra hubungan etika kerja dan afiliasi agama pada akhirnya mengarah pada dukungan yang kuat atas hubungan etika kerja dan afiliasi agama. Hasil riset Niles (1999) tentang hasil perbandingan 2 budaya antara budaya barat/Protestan (diwakili oleh Australia) dan budaya non barat/non Protestan (diwakili oleh Sri Lanka) menunjukkan bahwa, Australia mempunyai etika kerja Protestan lebih tinggi dibandingkan dengan etika kerja Protestan Sri Lanka. Australia lebih antusias dengan kepercayaan bahwa kerja keras akan membawa kesuksesan, yang merupakan konsep

(3)

3 etika kerja Protestan. Hasil penelitian Arslan (2001) juga menunjukkan bahwa etika kerja Protestan lebih kuat pada manajer penganut Protestan daripada manajer penganut Katolik dan paling lemah di kalangan manajer Muslim. Selain itu, hasil penelitian Arslan (2001) menunjukkan bahwa 42 penelitian yang pro PWE, 35 penelitian terkait PWE dan hanya 19 penelitian yang kontra PWE. Dengan demikian hasil-hasil riset lebih mendukung validitas etika kerja Protestan dan hubungan positif antara etika kerja Protestan dengan afiliasi agama. Oleh karena itu, penelitian tentang etika kerja yang bersumber pada agama masih dimungkinkan dalam penelitian.

Kebanyakan riset etika kerja dilakukan di negara-negara barat dan berfokus pada etika kerja Protestan (Protestan Work Ethic disingkat PWE), sedangkan riset etika kerja berbasis agama lain contohnya Islam, selama puluhan tahun diabaikan dalam literatur manajemen. Padahal fakta sejarah menunjukkan bahwa kontribusi ajaran Islam telah membawa kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi bagi penduduk muslim di Indonesia (Ali, 1988). Menurut Mubyarto (2002), topik tentang ekonomi Islam termuat dalam lebih dari seperlima ayat-ayat yang dimuat dalam al-Quran, namun pengkajian ekonomi dalam ajaran Islam terutama tentang etika kerja Islami masih kurang. Penelitian etika kerja Islami diawali oleh Ali tahun 1988 di Amerika Serikat dengan mengembangkan skala etika kerja Islami atau Islamic work ethic (IWE Scale) berdasarkan al-Quran dan Hadis yang merupakan sumber ajaran Islam dan menguji skalanya pada sampel mahasiswa Arab yang tinggal di Amerika. Penelitian-penelitian selanjutnya tentang etika kerja Islami seringkali menggunakan skala IWE dari Ali (1988) dan kebanyakan divalidasi pada sampel dari negara-negara Arab. Meski demikian, tidak banyak penelitian etika kerja Islami di Indonesia yang

(4)

4 merupakan negara dengan mayoritas penduduknya (87,18%) beragama Islam (Badan Pusat Statistik, 2010). Oleh karena itu, masih diperlukan riset etika kerja Islami di Indonesia.

Isu yang juga diangkat dalam penelitian ini adalah isu pengukuran etika kerja Islami. Sebenarnya isu pengukuran diawali dari etika kerja Protestan. Hal ini karena Weber tidak secara khusus membahas isu konseptualisasi dan operasionalisasi etika kerja Protestan, sehingga tidak ada konsensus operasional atas komponen-komponen etika kerja Protestan (Modrack, 2008; Furnham, 1990). Definisi etika kerja Protestan bervariasi antar tahun sejak Weber pertama kali mengenalkan istilah tersebut. Sejumlah studi berusaha melakukan pengukuran etika kerja Protestan, antara lain: Pro Protestant ethic scale (Blood, 1969), Protestant work ethic scale (Mirels & Garrett, 1971) dan Eclectic Protestant ethic scale (Ray, 1982), namun muncul masalah potensial lainnya terkait dengan ukuran etika kerja Protestan yang ada yaitu ukuran-ukuran ini relatif lama (rata-rata berusia lebih dari 15 tahun saat Miller melakukan riset di tahun 1997), kecuali untuk Australian work ethic scale yang dibuat pada tahun 1984. Hal ini menyebabkan beberapa item mengandung bahasa yang mempunyai bias gender, contohnya "kerja keras membuat laki-laki sebagai orang yang lebih baik". Oleh karena itu Miller (1997) melakukan pencarian yang tuntas dan sinopsis komprehensif dari sejarah konstruk etika kerja dan pengukurannya, sehingga dihasilkan multidimensional work ethic profile (MWEP).

MWEP merupakan ukuran etika kerja yang berasal dari 7 skala: (1) Protestant ethic scale dari Goldstein dan Eichhorn (1961) (2) Pro Protestant ethic scale (Blood, 1969) (3) Protestant work ethic scale (Mirels & Garrett, 1971) (4) Spirit of capitalism

(5)

5 (Hammond & Williams, 1976) (5) Work ethic (Buchholz, 1978) (6) Eclectic Protestant ethic scale (Ray, 1982) (7) Australian work ethic scale (Ho & Lloyd, 1984). Analisis Miller menghasilkan pengembangan MWEP yang terdiri dari 65 item ukuran etika kerja dengan 7 facet atau dimensi etika kerja yang terdiri dari: kerja keras, mengandalkan diri sendiri, menunda kesenangan, moralitas/etika, sentralitas kerja, bersenang-senang dan membuang-buang waktu. Miller juga menginvestigasi validitas konstruk MWEP dengan menilai hubungannya dengan kepribadian, kebutuhan dan kemampuan kognitif. Hasilnya menunjukkan validitas konvergen MWEP dengan skor pada conscientiousness dan kebutuhan berprestasi serta validitas diskriminan dengan skor kemampuan kognitif. Isu multidimensionalitas dalam pengukuran etika kerja Protestan juga menjadi perhatian peneliti-peneliti etika kerja Protestan dan dibahas secara tuntas dengan pembentukan dimensi-dimensi etika kerja Protestan dari berbagai skala etika kerja Protestan dalam MWEP oleh Miller (1997).

Wacana yang muncul kemudian adalah etika kerja kontemporer yang merupakan etika kerja yang terlepas dari afiliasi agama. Etika kerja kontemporer berawal dari ide bahwa etika kerja Protestan (Protestant work ethic/PWE) sudah merupakan konstruk yang berbagi secara universal, sehingga tidak lagi hanya dimiliki oleh penganut agama Protestan. Etika kerja kontemporer ditandai oleh munculnya instrumen Occupational Work Ethic Inventory (OWEI) yang dibuat oleh Petty (1991) yang mendefinisikan karakteristik yang dibutuhkan agar sukses di tempat kerja. Dimensi-dimensi OWEI yaitu: dapat diandalkan (dependable), interpersonal skill dan inisiatif. Pengukuran OWEI kemudian divalidasi oleh Petty (1995), Hill dan Petty (1995), Hill (1996), Hatcher (1995) dan Dawson (1999).

(6)

6 Isu pengukuran yang muncul, baik di etika kerja Protestan maupun di etika kerja kontemporer, juga muncul dalam etika kerja Islami. Pengukuran etika kerja Islami pertama kali dilakukan oleh orang barat yaitu Ali dari Indiana University Amerika pada tahun 1988 yang diberi nama skala Islamic work ethic (IWE Scale). Pengembangan ukuran baru etika kerja Islami diperlukan, karena sekalipun Ali (1988) telah menciptakan skala etika kerja Islami, namun penggalian konsep etika kerja Islami dari penulis-penulis di Indonesia sendiri, diharapkan lebih mampu mencerminkan penerapan ajaran Islam dalam budaya Indonesia. Pengembangan skala etika kerja Islami oleh Ali (1988) dilakukan di Amerika, sehingga ada kemungkinan skala tersebut kurang tepat diterapkan dalam budaya di Indonesia. Hal tersebut karena ada perbedaan cara penyebaran agama Islam di Amerika dengan di Indonesia. Di Indonesia, terjadi akulturasi agama Islam dengan budaya setempat dan nuansa ajaran Hindu yang berdampak terhadap cara hidup, contohnya berdakwah menggunakan wayang yang sebetulnya tidak dikenal dalam Islam, perayaan tahun baru Islam (Muharram) dengan membagikan ―bubur suro‖ ke para tetangga, perayaan Maulid Nabi menggunakan gamelan dan pembangunan masjid mirip pura Hindu, seperti masjid Demak. Selain itu, akulturasi pada saat awal penyebaran Islam di Indonesia juga berdampak pada penerimaan masyarakat atas Islam dan kemudian beralih memeluk Islam, sehingga jumlah pemeluk Islam di Indonesia semakin banyak (Ricklefs, 1991). Akulturasi antara Islam dengan budaya di Amerika tidak diketahui dengan jelas, yang ada hanyalah penerimaan Islam dari nama-nama kota di Amerika seperti: Alhambra, Azure, Albany, Andalusia (Queen et al.,1996). Adapun perbedaan penyebaran agama Islam di Indonesia dan di Amerika diringkas dalam Tabel 1.1.

(7)

7 Tabel 1.1.

Penyebaran Agama Islam di Indonesia dan di Amerika

Keterangan Islam di Indonesia Islam di Amerika

1. Penyebar awal agama Islam

Para pedagang Arab, Persia, dan Gujarat.

Estevánico dari Azamor adalah Muslim pertama dalam sejarah Amerika Utara. Ia adalah orang Berber dari Afrika Utara yang menjelajahi Arizona dan New Mexico untuk Kerajaan Spanyol. Ia datang ke Amerika sebagai budak penjelajah Spanyol. Namun kebanyakan peneliti lebih memfokuskan pada kedatangan para imigran yang datang dari Timur Tengah.

2. Proses masuk agama Islam

Bandar-bandar memiliki peranan penting dalam proses masuknya Islam ke Indonesia. Bandar merupakan tempat berlabuh kapal atau persinggahan kapal dagang, pusat perdagangan & sebagai tempat tinggal para pengusaha perkapalan. Sebagai negara kepulauan yang terletak pada jalur perdagangan internasional, Indonesia memiliki banyak bandar. Di bandar inilah para pedagang beragama Islam memperkenalkan Islam pada pedagang lain atau penduduk setempat. Letak geografis kota pusat kerajaan yang bercorak Islam umumnya terletak di pesisir dan muara sungai

Proses masuknya agama Islam di Amerika, dibawa oleh para imigran Timur Tengah. Pada awalnya, imigran Muslim yang datang ke Amerika bekerja sebagai budak, tapi kini tidak sedikit yang bekerja sebagai seorang profesional. Pekerjaan lain yang dijalani oleh Muslim di Amerika adalah guru, tentara, sopir taksi, dokter, wiraswasta, buruh, dan pekerjaan lainnya.

3. Proses penerimaan agama Islam

Di Pulau Jawa, penyebaran agama Islam dilakukan oleh Walisongo (9 wali). Wali ialah orang yang sudah mencapai tingkatan tertentu dalam mendekatkan diri kepada Allah. Para walisongo mendatangi masyarakat

- Penjelasan tentang bagaimana proses penerimaan Islam di Amerika tidak diketahui dengan pasti.

(8)

8 objek dakwah, dengan menggunakan

pendekatan sosial budaya. Pola ini memakai bentuk akulturasi, yaitu menggunakan budaya setempat dan nuansa ajaran Hindu yang dialiri dengan ajaran Islam yang mewarnai kehidupan dakwah. Alasan yang menyebabkan banyaknya penduduk nusantara yang sebelumnya memeluk agama Hindu kemudian beralih ke agama Islam antara lain: pernikahan antara para pedagang dengan

bangsawan, pendidikan pesantren, seni dan kebudayaan seperti wayang yang disebar oleh Sunan Kalijaga. Selain itu juga karena Islam tidak mengenal sistem kasta, tidak menentang adat dan tradisi setempat dan dilakukan dengan jalan damai.

Islam diterima oleh

masyarakat dari penamaan kota-kota di Amerika, seperti: Alhambra

(Los Angeles), Azure, dan La Habra. Bagian tengah Amerika mulai dari selatan hingga Illinois ada nama kota yang bernuansa Islami seperti: Albany, Andalusia, Attalla. Di Washington (kota Salem).

- Yang bisa diketahui adalah penjara sebagai penyokong pertumbuhan Islam di Amerika. Sekitar 80% dari narapidana berpindah agama ke Islam. Kebanyakan adalah keturunan Afrika. - Keberadaan organisasi muslim seperti American Muslim Council aktif terlibat menegakkan hak asasi dan hak warga negara bagi setiap orang Amerika. Council on American-Islamic Relations mengakomodasi

kepentingan Muslim di AS. CAIR adalah organisasi yang moderat di DPR Amerika dan arena politik Amerika. CAIR juga mengutuk semua aksi terorisme dan berperan sebagai lembaga pembela hak-hak warga Muslim AS yang paling besar

Sumber: Ricklefs (1991) dan Queen et al. (1996)

Pengukuran dari Ali (1988) seringkali digunakan oleh para peneliti etika kerja Islami dan teruji keandalannya (reliabilitasnya) pada sampel orang Arab. Sedangkan untuk uji validitasnya terutama untuk validitas eksternal dapat dikatakan belum teruji

(9)

9 karena hasil penelitian belum dapat digeneralisasi pada obyek sampel yang berbeda (selain orang arab). Selain itu, klaim uji validitas kebanyakan menggunakan korelasi Pearson antara item dengan total itemnya. Padahal penggunaan korelasi antara item dengan total item sebenarnya bukan uji validitas, tapi uji reliabilitas (Hair, et al., 2006). Oleh karena itu, penelitian ini menguji reliabilitas dan validitas skala etika kerja Islami dari Ali (1988). Pada tahap awal, uji reliabilitas menggunakan inter rater reliability, sedangkan validitasnya diuji menggunakan content validity ratio (CVR) yang berupa face validity. Sedangkan pada tahap validasi ukuran etika kerja Islami, uji reliabilitas menggunakan Cronbach alpha dan construct reliability, sedangkan uji validitas menggunakan construct validity dengan teknik analisis faktor.

Hasil evaluasi awal indikator skala EKI dari Ali (1988) menunjukkan bahwa, ada kekurangan pada indikator tersebut, contohnya belum ada indikator pengucapan ‗nama Allah (bismillah)‘, padahal umat Islam diperintahkan untuk mengucapkannya di setiap awal pekerjaannya untuk memperjelas niat. Selain itu, ada ketidak tepatan indikator skala EKI dari Ali (1988), contohnya ―negara harus menyediakan pekerjaan untuk setiap orang yang bersedia bekerja‖, yang bukan merupakan etika kerja Islami karena tidak berada pada level individual, tapi pada level negara. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan skala EKI dari Ali (1988) dan sekaligus mengevaluasinya.

Penelitian ini tetap menggunakan pengukuran dari Ali (1988), namun menambah pengukuran yang berasal dari berbagai penulis di Indonesia, agar sesuai dengan budaya Indonesia dan dapat menggambarkan EKI secara menyeluruh. Persamaan dan perbedaan pengukuran Etika kerja Islami pada penelitian ini dengan skala EKI dari Ali (1988) dan etika kerja yang lain ditunjukkan pada Tabel 1.2.

(10)

10 Tabel 1.2.

Pengukuran Etika Kerja Protestan, Etika Kerja Kontemporer, Etika Kerja Islami dari Ali (1988) dan Etika Kerja Islami dari Djamilah (2015)

No Keterangan Skala Etika Kerja

Protestan

Skala Etika Kerja Kontemporer

Skala IWE dari Ali (1988)

Skala Pengembangan Etika Kerja Islami dari Penelitian ini

(Djamilah, 2015)

1. Skala etika kerja

MWEP

(multidimensional work ethic profile) yang dikembangkan oleh Miller (1997) yang terdiri dari 65 item dengan 7 skala: a. Protestant ethic scale dari Goldstein dan Eichhorn (1961) b. Pro Protestant ethic scale (Blood, 1969) c. Protestant work ethic scale (Mirels & Garrett, 1971) OWEI (Occupational Work Ethic Inventory) dikembangkan oleh Petty (1991) berisi 50 deskriptor berkata tunggal yang mengukur ekspresi diri seseorang dalam kebiasaan kerja, sikap dan nilai kerja.

Skala IWE (Islamic work ethic) yang terdiri dari 46 item yang dibuat oleh Ali (1988) dari Indiana University

Skala etika kerja Islami terdiri dari 125 item yang dibuat oleh Ali (1988) dan penulis Indonesia: Shahata (1997), Ali (2008), Muttaqin (2008), Madjid (1992), Hamzah (2005), Tasmara (2002)

(11)

11

No Keterangan Skala Etika Kerja

Protestan

Skala Etika Kerja Kontemporer

Skala IWE dari Ali (1988)

Skala Pengembangan Etika Kerja Islami dari Penelitian ini

(Djamilah, 2015) d. Spirit of capitalism (Hammond & Williams, 1976) e. Work ethic (Buchholz, 1978) f. Eclectic Protestant ethic scale (Ray, 1982) g. Australian work

ethic scale (Ho & Lloyd, 1984). 2. Sampel Analisis konten direview

oleh sampel mahasiswa psikologi dan validasi pengukuran dilakukan pada sampel mahasiswa dan pekerja

Validitas konten diulas oleh sampel panel ahli dan Validasi pengukuran dengan sampel pekerja dari 6 jenis pekerjaan a. Pada saat pembuatan kuisioner, narasumber (sampelnya) adalah ulama atau peneliti di Amerika Serikat

a. Pada saat pembuatan kuisioner, narasumber (sampelnya) adalah ulama, akademisi (dosen) dan praktisi di institusi Islam yang ada di Surabaya, Malang, Yogyakarta dan Jakarta

b. Pada saat validasi ukuran, sampelnya adalah pekerja Islam di institusi Islam dan pabrik minuman keras

(12)

12

No Keterangan Skala Etika Kerja

Protestan

Skala Etika Kerja Kontemporer

Skala IWE dari Ali (1988)

Skala Pengembangan Etika Kerja Islami dari Penelitian ini

(Djamilah, 2015) b. Pada saat validasi ukuran, sampelnya adalah mahasiswa yang berasal dari Arab yang sudah bekerja di negara asal atau di Amerika 3. Reliabilitas Konsistensi internal

dengan alpha berkisar antara 0,69 hingga 0,89 Konsistensi internal dengan alpha berkisar antara 0,9 (Hatcher, 1995 dalam Boatwright & Slate, 2000) hingga 0,95 (Hill, 1992 dalam Boatwright & Slate, 2000)

Tidak dijelaskan pada saat pembuatan kuisioner, hanya dijelaskan uji reliabilitas dengan menggunakan

Cronbach alpha untuk validasi ukuran. Peneliti yang telah menguji reliabilitas IWE a.l.: Ali (1992), Abu –Saad (1998), Yousef (2000a&2000b) dan Yousef (2001)

Uji reliabitas:

a. Pada saat pembuatan kuisioner menggunakan inter rater reliability dengan standar minimal 0,85

b. Pada saat validasi ukuran menggunakan Cronbach alpha dan reliabilitas konstruk (construct reliability)

(13)

13

No Keterangan Skala Etika Kerja

Protestan

Skala Etika Kerja Kontemporer

Skala IWE dari Ali (1988)

Skala Pengembangan Etika Kerja Islami dari Penelitian ini

(Djamilah, 2015)

4. Validitas Uji validitas konstruk dengan analisis faktor dan CFA (confirmatory factor analysis) yang memenuhi kriteria goodness of fit indeces, lalu uji validitas

konvergen dan diskriminan serta validitas prediktif. Validasi pengukuran juga dilakukan oleh Hudspeth (2003)

OWEI telah direview beberapa kali oleh panel ahli dan diuji berulangkali dengan faktor analisis dengan standar loading minimal 0,3 oleh Petty (1995), Hill dan Petty (1995), Hill (1996), Hatcher (1995) & Dawson (1999). a. Face validity: terdiri dari ulama (imam masjid) atau peneliti budaya Arab dan Islam yang tinggal di Amerika Serikat dari berbagai Negara b. Validitas konstruk dengan korelasi antara item & total item untuk validasi pengukuran.

a. Face validity menggunakan ulama (pengasuh pondok pesantren); akademisi (dosen) di institusi Islam dan memahami al-Quran dan Hadis serta memahami etika kerja Islami; dan praktisi di institusi Islam, contoh bank syariah b. Validitas konstruk:

 Pada saat pembuatan kuisioner menggunakan content validity ratio (CVR) dengan standar minimal 0,70

 Pada saat validasi ukuran menggunakan validitas konstruk yaitu analisis faktor

(14)

14 Setelah pengembangan dan validasi ukuran etika kerja Islami berdasarkan skala IWE dari Ali (1988) dan penulis-penulis Indonesia yaitu Shahata (1997), Ali (2008), Muttaqin (2008), Madjid (1992), Hamzah (2005) dan Tasmara (2002), penelitian ini menguji hubungan etika kerja Islami dengan variabel keyakinan, orientasi nilai, sikap dan perilaku kerja. Pemilihan variabel-variabel tersebut berdasarkan pada kajian teori dan kajian hasil riset empiris serta penafsiran al-Quran kitab suci pemeluk agama Islam yang merupakan firman Allah dan Hadis yang merupakan perkataan dan perilaku Nabi Muhammad utusan Allah. Penelitian tersebut dilakukan mengingat sedikitnya hubungan etika kerja Islami dengan keyakinan, orientasi nilai, sikap dan perilaku kerja (lihat Tabel 1.3 dan 1.4). Tabel 1.3. menunjukkan bahwa, tidak ada penelitian etika kerja Protestan dan etika kerja kontemporer yang berperan sebagai variabel independen dan sekaligus sebagai variabel dependen ataupun sebagai variabel pemediasi. Sedangkan untuk etika kerja Islami hanya ada satu penelitian yang menggunakan etika kerja Islami sebagai variabel pemediasi yaitu penelitian Yousef (2000) yang menunjukkan etika kerja Islami sebagai variabel pemediasi antara lokus kendali dan konflik peran (role conflict) dan antara lokus kendali dan ambiguitas peran (role ambiguity). Kebanyakan penelitian menempatkan etika kerja Protestan, etika kerja kontemporer dan etika kerja Islami sebagai variabel independen saja atau sebagai variabel dependen saja. Hal ini menyebabkan pemahaman yang kurang komprehensif tentang penyebab (anteseden) tinggi rendahnya etika kerja, maupun dampak (konsekuensi) dari etika kerja. Oleh karena itu, maka masih diperlukan penelitian lain yang menggunakan etika kerja Islami sebagai variabel pemediasi yang menunjukkan

(15)

15 Tabel 1.3.

Anteseden Etika Kerja Protestan, Etika Kerja Kontemporer dan Etika Kerja Islami

Jenis Anteseden Anteseden (Variabel Independen) Pengarang 1. Karakteristik Individu A. Demografi 1) Gender 2) Tingkat pendidikan 3) Pengalaman kerja (part time/full time) 4) Umur 5) Agama 6) Pendapatan 7) Lama bekerja 8) Status pernikahan 9) Status bekerja/tidak

- Yousef (2001); Hill & Rejewski (1999); Boatwright & Slate (2000); Ali, Falcone & Azim (1995); Pesek, Raehsler & Balough (2006); Tang & Tzeng (1993); Tang & Weatherford (1998); Stones & Philbrick (1992); Furnham & Rajamanickam (1992); Furnham (1991); Furnham & Muhiudeen (1984); Furnham (1984); Ali & Al-Kazemi (2007); Adrian (2006); Boatwright & Slate (2002); Hill & Fouts (2005) - Yousef (2001; Ali (1992); Boatwright & Slate (2000); Wentworth & Chell (1997); Tang & Tzeng (1993); Furnham (1984); Ali & Al-Kazemi (2007); Boatwright & Slate (2002); Ter Bogt, Raaij-makers & Van Wel (2005)

- Yousef (2001); Boatwright & Slate (2000); Tang & Tzeng (1993); Ali & Al-Kazemi (2007); Hill & Fouts (2005)

- Yousef (2001); Ali (1992); Boatwright & Slate (2000); Cherrington, Condie & England (1979); Wentworth & Chell (1997); Tang & Tzeng (1993); Tang & Weatherford (1998); Furnham (1991); Furnham (1984); Ali & Al-Kazemi (2007); Adrian (2006); Boatwright & Slate (2002); Hill & Fouts (2005); Williamson (1974)

- Ali, Falcone & Azim (1995); Chusmir & Koberg (1988); Furnham (1991); Arslan (2001); Arslan & Chapman (1998); Cohen (1985); Williamson (1974) - Tang & Tzeng (1993); Furnham (1984); Ali & Al-Kazemi (2007)

- Ali (1992); Tang & Weatherford (1998) - Tang & Tzeng (1993)

- Shamir, B. (1986); Furnham & Rajamanickam (1992); Paul & Moser (2006)

(16)

16 Jenis Anteseden Anteseden (Variabel Independen) Pengarang 1. Karakteristik Individu B. Kepribadian: 1) Religiosity 2) Individualisme kerja 3) Lokus kendali 4) Cinta uang 5) Persepsi kelas sosial

- Chusmir & Koberg (1988)

- Ali, Falcone & Azim (1995); Abu –Saad (1998); Ali (1992); Ali (1988)

- Yousef (2000 a)

- Luna-Arocas & Tang (2004)

- Cokley et al. (2007); Furnham & Muhiudeen (1984); Williamson (1974); Goodwin (1972) C. Hasil: 1) Klasifikasi risiko (contoh tidak disiplin, membolos) 2) Indeks kesuksesan

- Hill & Rejewski (1999)

- Ali, Falcone & Azim (1995)

2. Karakteristik Organisasi/ pekerjaan A. Demografi organisasi/pekerjaan: 1) Umur organisasi 2) Jenis organisasi 3) Kepemilikan organisasi 4) Ukuran perusahaan 5) Level manajemen B. Sikap kerja: 1) Keterlibatan kerja 2) Sentralitas pekerjaan (teridentifikasi dengan peran kerja) 3) Work alienation - Yousef (2001)

- Yousef (2001); Ali, Falcone & Azim (1995); Bourantas & Papalexandris (1999); Ali & Al-Kazemi (2007)

- Yousef (2001) - Ali (1992)

- Ali (1992); Yousef (2001); Petty & Hill (2005)

- Ali & Azim (1995) - Hirschfeld & Field (2000)

(17)

17 Jenis Anteseden Anteseden (Variabel Independen) Pengarang 3. Karakteristik Negara A. Demografi negara: 1) Warga negara 2) Budaya nasional 3) Etnis 4) Tempat tinggal

- Ali, Falcone & Azim (1995); Furnham et al. (1993); Tang, Furnham & Davis (2003); Wentworth & Chell (1997); Arslan (2000); Furnham &

Rajamanickam (1992); Furnham (1991); Furnham & Muhiudeen (1984); Niles (1994); Arslan & Chapman (1998); Ali & Al-Kazemi (2007)

- Yousef (2001); Furnham et al. (1993)

- Boatwright & Slate (2000); Tang & Tzeng (1993); Stones & Philbrick (1992); Cokley et al. (2007); Adrian (2006); Boatwright & Slate (2002) - Furnham (1991)

hubungan antara etika kerja Islami dengan anteseden dan konsekuensinya. Penelitian ini menguji model hubungan etika kerja Islami dengan keyakinan, orientasi nilai, sikap dan perilaku kerja. Dengan demikian, diharapkan hasil penelitian mampu memberi masukan pada organisasi atau perusahaan dalam melakukan intervensi untuk meningkatkan etika kerja Islami dan memperoleh keluaran (outcome) tinggi karena mempunyai pekerja beretika kerja Islami yang tinggi.

Pengajuan variabel-variabel anteseden etika kerja Islami yang dilakukan dalam penelitian ini berdasar pada pertimbangan anteseden dan konsekuensi yang sudah pernah diteliti dan yang belum pernah diteliti pada etika kerja Islami. Tabel 1.3. menunjukkan bahwa anteseden etika kerja Islami, etika kerja Protestan dan etika kerja kontemporer yang seringkali diteliti adalah variabel demografi, baik pada level individu, level organisasi maupun level negara. Variabel-variabel yang menjadi anteseden, menunjukkan variabel tersebut berpengaruh pada etika kerja, etika kerja

(18)

18 Protestan atau etika kerja Islami. Pada level individu contohnya gender, tingkat pendidikan, pengalaman kerja, umur, pendapatan, dan lain-lain. Pada level organisasi contohnya pengaruh umur organisasi, tipe organisasi dan kepemilikan organisasi, dan lain-lain. Sedangkan pada level negara contohnya perbedaan etika kerja berdasar asal negara, warga negara dan budaya suatu negara. Penggunaan anteseden demografi akan menyulitkan bagi organisasi/perusahaan untuk mengintervensi atau memicu munculnya etika kerja Islami. Contohnya, jika hasil penelitian menunjukkan pria mempunyai etika kerja Islami lebih tinggi dibanding wanita, tentu tidak mungkin bagi perusahaan hanya memilih untuk merekrut pekerja pria saja dengan harapan etika kerja Islami pekerjanya tinggi. Hal tersebut memicu munculnya diskriminasi terhadap wanita. Contoh lain variabel demografi adalah umur organisasi. Jika ditemukan bukti bahwa etika kerja Islami lebih tinggi pada organisasi yang sudah beroperasi lama, tentu perusahaan tidak bisa intervensi, hanya menunggu waktu supaya organisasi berusia lama dan akhirnya pekerjanya beretika kerja Islami tinggi. Oleh karena itu, penelitian ini berfokus pada anteseden selain variabel demografi.

Anteseden selain demografi, seperti kepribadian (contohnya lokus kendali/locus of control) dan sikap kerja (contohnya sentralitas pekerjaan/work centrality), merupakan variabel-variabel yang jarang diuji. Oleh karena itu, penelitian ini tidak lagi menggunakan variabel demografi sebagai variabel anteseden etika kerja Islami, tapi lebih pada variabel kepribadian yaitu lokus kendali (locus of control), orientasi nilai yaitu individualisme kerja (work individualism) dan variabel sikap kerja yaitu cinta uang (love of money) dan sentralitas pekerjaan (work centrality). Adapun alasan pemilihan anteseden-anteseden tersebut dijelaskan di bawah ini.

(19)

19 Anteseden selain demografi yang pernah diteliti dalam etika kerja Islami adalah individualisme kerja dan lokus kendali atau disingkat LOK. Individualisme

kerja menunjukkan individualisme di tempat kerja yang berupa: menekankan

keterandalan diri sendiri, kebahagiaan diri sendiri, independen dengan yang lain, lebih menekankan penghargaan individu dibanding penghargaan kelompok, bangga pada aktivitas sendiri dan loyalitas pada diri sendiri dan keluarga. Skala individualisme kerja yang diciptakan oleh Ali (1988) dan dikembangkan oleh Triandis et al (1988), merupakan bagian dari individualisme dalam budaya nasional yaitu tingkat dimana orang-orang di suatu negara lebih suka bertindak sebagai individu dibanding anggota kelompok (Hofstede, 1983). Individualisme merupakan atribut budaya nasional yang menggambarkan suatu kerangka sosial yang longgar, dimana orang hanya menekankan perhatian pada diri mereka sendiri dan keluarga dekat mereka. Lawan dari individualisme adalah kolektivisme yaitu atribut budaya nasional yang menggambarkan suatu kerangka sosial yang ketat, dimana orang mengharapkan orang lain di kelompok yang merupakan anggota kelompok, harus mendapat perhatian dan perlindungan. Dalam budaya kolektivisme, tidak ada batasan yang jelas antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi, sehingga hubungan baik akan terjadi di dalam dan di luar pekerjaan.

Mempelajari individualisme adalah sangat penting dengan alasan variabel individualisme menyediakan pemahaman yang lebih baik atas variasi budaya lintas negara. Budaya-budaya berbeda dalam hal seberapa besar individualisme dan kerja sama ditekankan. Hubungan individualisme kerja dan etika kerja merupakan isu yang seharusnya juga ditekankan pada studi lintas budaya. Hasil penelitian-penelitian

(20)

20 terdahulu tentang hubungan individualisme kerja dengan etika kerja Islami menunjukkan hasil yang kontradiktif, karena ada hasil riset yang mendukung hubungan individualisme kerja dengan etika kerja Islami (Ali, 1988; Ali, 1992) dan ada yang tidak mendukung hubungan individualisme kerja dengan etika kerja Islami (Abu–Saad, 1998). Hasil kontradiktif tersebut mungkin disebabkan sampel penelitian adalah orang-orang timur dengan budaya kolektivis, namun tinggal di negara dengan budaya individualisme yang tinggi seperti di Amerika dan Israel, sehingga mengalami benturan budaya nasional.

Oleh karena hasil kontradiktif dalam penelitian hubungan individualisme kerja dengan etika kerja Islami, maka masih diperlukan suatu penelitian tentang hubungan tersebut, terutama pada budaya kolektivis, seperti di Indonesia dan pekerja tersebut tinggal di Indonesia, sehingga diharapkan tidak mengalami benturan budaya nasional. Ada pameo di Indonesia (khususnya di Jawa) yang berbunyi ―mangan ora mangan, sing penting kumpul (makan atau tidak makan, yang penting berkumpul)‖ yang berarti menunjukkan pentingnya jalinan hubungan sosial pada masyarakat Indonesia. Hasil penelitian Hofstede (1983), juga menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan budaya kolektivis yang lebih kuat daripada individualisme.

Budaya kolektivis bukanlah sesuatu yang asing di ajaran Islam. Al-Quran dan Hadis mengajarkan pentingnya kelompok atau di Islam dikenal dengan istilah jamaah. Allah berfirman dalam al-Quran Surat (Q.S.) Al Mu‘minun 52: ―sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu dan Aku adalah Rabbmu, maka bertakwalah kepadaku‖. Allah juga berfirman dalam Q.S. Ali Imran 103: ―dan berpegang teguhlah kalian semuanya dan janganlah kalian bercerai berai‖; Q.S. Al

(21)

21 Anfal 62-63: ―cukuplah Allah yang memperkuatmu dengan pertolonganNya dan dengan para mukmin serta mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman)‖; dan Q.S. At Taubah 71: ―orang-orang mukmin dan orang-orang mukminat adalah penolong satu sama lain, mereka menyuruh pada kebaikan dan melarang perbuatan munkar, mendirikan sholat, mengeluarkan zakat dan taat kepada Allah dan Rasulnya, mereka itu adalah orang-orang yang akan diberi rahmat oleh Allah‖; serta Q.S. Al Hujurot 10: sesungguhnya orang-orang yang beriman itu saudara, maka damaikanlah di antara dua saudara kalian. Selain al-Quran, Hadis juga mengajarkan tentang konsep kelompok (jamaah). Hadis riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasa‘i menyebutkan ―seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, tidak mendzaliminya atau tidak membinasakannya, apabila seseorang memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan membebaskannya dari kesulitan‖. Selain itu, Hadis riwayat (HR) Muslim dari Uqbah bin Amr: ―seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain‖. HR Bukhari dan Muslim: ―seorang muslim bersaudara bagi muslim lainnya dan tidak pula merusak citranya‖.

Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk di Indonesia, juga menekankan pentingnya hubungan sosial, terlihat dari ajaran-ajaran Islam yang menunjukkan pentingnya berkelompok dan menekankan perhatian pada orang lain, contohnya antara lain terlihat dalam: sholat berjamaah mempunyai nilai pahala yang lebih tinggi dibanding sholat sendirian (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim: ―sholat berjamaah itu lebih utama daripada sholat sendirian dengan duapuluh tujuh derajat‖; dan HR Abu Dawud: ―tidak ada tiga orang dalam suatu desa dan tidak melaksanakan sholat berjamaah, kecuali setan telah menguasai mereka, maka haruslah kalian

(22)

22 berjamaah karena sesungguhnya serigala memangsa kambing yang lagi sendirian‖); berdoa (berdzikir) secara berjamaah; berpergian jauh (seperti berhaji) secara berjamaah; dan berbuka puasa bersama; bahkan pendapatan yang diperoleh dari hasil bekerja juga mesti dipotong dengan kewajiban zakat yang diperuntukkan bagi orang lain yang tidak mampu (Q.S. At Taubah: 103; Q.S. Al Hadid: 7; dan Q.S. Al Baqarah: 177).

Anteseden lain dari etika kerja Islami yang pernah diteliti adalah lokus

kendali (disingkat LOK). Menurut Spector (1988), lokus kendali adalah seberapa

besar kepercayaan seseorang bahwa ia dapat mempengaruhi secara langsung lingkungannya. Lokus kendali adalah kepercayaan tentang outcome tindakan tergantung pada yang seseorang kerjakan (internal) atau pada kejadian di luar kendali seseorang (eksternal) (Zimbardo, 1985). Dalam setting organisasi, penghargaan atau outcome antara lain: promosi, peningkatan gaji, perkembangan karir, lingkungan kerja yang menguntungkan (Spector, 1988). Ada 2 jenis lokus kendali yaitu lokus kendali internal dan eksternal (Forte, 2005). Lokus kendali eksternal adalah kepercayaan bahwa perilaku seseorang dan hasilnya diarahkan oleh lingkungan atau di luar kendali seseorang. LOK ekternal meyakini bahwa apa yang terjadi pada dirinya terkendali oleh kekuatan di luar dirinya, seperti nasib/kesempatan atau perilaku orang lain. Individu ini memandang dirinya tidak berdaya menghadapi takdir yang dikendalikan oleh kekuatan luar yang lebih besar, kalaupun mempunyai pengaruh, hanya sedikit pengaruhnya. Sedangkan lokus kendali internal adalah kepercayaan bahwa perilaku seseorang dan hasilnya ditentukan oleh diri sendiri. Hal ini berarti, orang meyakini bahwa dirinya adalah otonom atau menguasai takdir

(23)

23 mereka sendiri dan menerima tanggung jawab pribadi atas apa yang terjadi pada mereka (Forte, 2005).

Konsep lokus kendali identik dengan konsep iman (percaya) seorang muslim kepada takdir (qodlo dan qodar) yaitu percaya pada: 1) Lingkaran yang menguasai berarti manusia mengalaminya dengan terpaksa dan tersetir dan ia tidak bisa memilih (ikhtiar), inilah qodlo, sedangkan qodar adalah kekhususan sebagai kebiasaan menurut aturan alam, contoh kematian, jodoh dan rizki adalah ketentuan Allah dan hukum alam (contoh naluri mempertahankan diri dan makan), 2) Lingkaran yang terkuasai berarti manusia dapat mengendalikan dan memilih atau manusia bebas memilih bertindak berdasarkan syariat Islam atau tidak berdasarkan syariat Islam dan manusia akan dimintai laporan pertanggung jawaban atas perbuatan tersebut, contoh berbuat baik-buruk dalam kehidupannya (Syarifuddin, 2000). Studi tentang LOK berarti mempelajari tentang lingkaran yang terkuasai manusia, yang berarti mengajarkan tentang tanggung jawab seseorang karena di bawah kendali orang tersebut, artinya jika perbuatan itu baik, maka dibalas dengan kebaikan dan apabila perbuatan itu buruk maka dibalas dengan keburukan (QS Al balad: 10 dan QS As Syams: 8)

Lokus kendali belum digali secara mendalam sebagai anteseden etika kerja Islami, terlihat dari penelitian tentang hubungan etika kerja Islami dan LOK hanya dilakukan oleh Yousef (2000a) yang menggunakan sampel pekerja di United Arab Emirates. Oleh karena itu, masih diperlukan penelitian sejenis dengan menggunakan sampel pekerja Islam di negara dengan pemeluk Islam terbesar seperti Indonesia.

(24)

24 Selain anteseden individualisme kerja dan lokus kendali, ada potensi anteseden lainnya yaitu cinta uang dan sentralitas pekerjaan yang diadopsi dari anteseden etika kerja Protestan. Adanya beberapa kesamaan etika kerja Protestan dan etika kerja Islami yaitu: menekankan pada kerja keras, komitmen dan dedikasi untuk pekerjaan, kreatifitas kerja, kerjasama dalam bekerja dan menghindari cara yang tidak etis dalam akumulasi kekayaan (Yousef, 2000a), memungkinkan untuk pengadopsian anteseden etika kerja Protestan pada anteseden etika kerja Islami.

Uang secara universal digunakan untuk menarik, menahan dan memotivasi pekerja serta untuk mencapai tujuan organisasional. Namun sayangnya, peneliti terkadang mengabaikan perbedaan orang dalam mereaksi uang yaitu arti uang dapat berbeda-beda antar orang. Menurut Luna-Arocas dan Tang (2004), cinta uang adalah penilaian 'arti' dan 'pentingnya' uang yang merefleksikan perbedaan individu atas sikap seseorang terhadap uang. Cinta uang tidak merefleksikan kebutuhan yang merujuk pada kebutuhan obyektif seseorang untuk hidup layak, tapi merefleksikan keinginan dan nilai yaitu apa yang sesungguhnya seseorang cari untuk mendapatkan dan menjaga keuntungan.

Dalam al-Quran lebih jauh dijelaskan tentang uang atau mal atau harta dan pengembangannya dalam kegiatan ekonomi yang di dalam al-Quran disebut sebanyak 25 kali dalam bentuk tunggal dan dalam bentuk jamak sebanyak 61 kali (Indra, 2012). Uang diartikan sebagai harta kekayaan dan nilai tukar bagi sesuatu. Berbeda dengan dugaan sementara orang yang beranggapan bahwa Islam kurang menyambut baik kehadiran uang, pada hakikatnya pandangan Islam terhadap uang dan harta amat positif. Manusia diperintah Allâh untuk mencari rezeki bukan hanya untuk

(25)

25 mencukupi kebutuhannya, tetapi al-Quran memerintahkan untuk mencari apa yang diistilahkan fadl yang secara harfiyah berarti kelebihan yang bersumber dari Allah. Kelebihan itu dimaksudkan agar yang memperolehnya dapat melakukan ibadah secara sempurna dan membantu orang lain yang tidak berkecukupan. Salah satu ayat yang mendukung hal itu terdapat dalam Q.S. al-Jumu‘ah, ayat 10: Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi (bekerjalah) dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.

Penelitian tentang cinta uang merupakan area yang terabaikan dalam manajemen dan etika. Hal ini mungkin dikarenakan cinta uang mempunyai konotasi negatif yaitu keserakahan atau ketamakan yang merupakan hal tabu bagi masyarakat. Padahal cinta uang merupakan konsep penting karena merupakan rerangka referensi dalam kehidupan sehari-hari (Luna-Arocas & Tang, 2004), membantu memahami, memprediksi dan mengendalikan perilaku tidak etis (Tang et al., 2003). Orang dengan profil uang (reaksi terhadap uang) yang berbeda akan menghasilkan pola sikap kerja (contohnya etika kerja) yang berbeda.

Tang et al. (2003) telah menguji skala cinta uang (love of money scale atau disingkat LOMS) pada berbagai budaya dan agama (Budha, Kristen, Hindu, Islam, Confucianism, dan lain-lain). Hasil penelitiannya membuktikan bahwa skala cinta uang telah tervalidasi dengan baik pada berbagai budaya dan agama, sehingga para peneliti dapat menggunakan LOMS untuk menguji berbagai hubungan teori dan model cinta uang lintas budaya.

Anteseden etika kerja Islami lainnya yang juga diadopsi dari etika kerja Protestan adalah sikap kerja yang berupa sentralitas pekerjaan. Sentralitas

(26)

26 pekerjaan merupakan identifikasi peran kerja. Arti dari sentralitas pekerjaan adalah kepercayaan seseorang tentang tingkat pentingnya pekerjaan berperan dalam hidupnya atau kepercayaan normatif tentang nilai dan pentingnya pekerjaan dalam konfigurasi kehidupan seseorang (Hirschfeld & Field, 2000). Orang yang mempertimbangkan pekerjaan sebagai pusat ketertarikan hidup mempunyai identifikasi yang kuat dengan pekerjaan. Dengan kata lain mereka mempercayai peran pekerjaan sebagai hal penting bagi kehidupan mereka.

Dua perspektif yang dikembangkan untuk menjelaskan sentralitas pekerjaan (Arvey et al., 2004): (1) perspektif ekstrinsik atau instrumental yang memandang bekerja sebagai cara untuk mendapatkan jaminan ekonomi dan kebutuhan materi. (2) perspektif intrinsik yang memandang bekerja sebagai hal penting untuk menjamin kebutuhan sosial psikologi seseorang. Dalam perspektif intrinsik, pekerjaan berkontribusi bagi identitas personal, harga diri, status dan pemenuhan diri.

Berdasarkan penjelasan perspektif sentralitas pekerjaan, dapat dikatakan bahwa variabel tersebut sejalan dengan ajaran Islam yang meminta seorang muslim bekerja dan atas kegiatan tersebut ia akan diimbali dengan imbalan tertentu, contohnya diampuni dosa-dosanya. Berdasarkan Hadis Riwayat Thabrani dan Baihaqi yang berbunyi: “Barangsiapa yang di waktu sorenya merasakan kelelahan karena bekerja, berkarya dengan tangannya sendiri, maka di waktu sore itu pulalah ia terampuni dosanya”. Bekerja adalah usaha untuk mewujudkan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan jiwa dan jasmani sesuai dengan QS. Al Qashas: 77, Q.S. Al Maidah: 93. Pentingnya bekerja juga diungkapkan melalui HR Al Bazzar dan

(27)

27 Ahmad: Sebaik-baik usaha adalah jual beli yang diterima dan usaha seseorang dengan tangannya sendiri.

Penelitian-penelitian tentang konsekuensi etika kerja Protestan, etika kerja kontemporer dan etika kerja Islami selama ini dapat dikatakan sangat bervariasi. Hal ini ditunjukkan di Tabel 1.4 yang menunjukkan hampir tiap peneliti meneliti konsekuensi yang berbeda-beda. Konsekuensi etika kerja Protestan, etika kerja kontemporer dan etika kerja Islami lebih banyak membahas tentang sikap kerja seperti kepuasan kerja, komitmen organisasional dan keterlibatan kerja.

Dapat dikatakan, hanya sedikit penelitian yang meneliti perilaku kerja

sebagai konsekuensi, baik di etika kerja Protestan, etika kerja kontemporer maupun

etika kerja Islami. Penelitian terdahulu menyarankan untuk meneliti konsekuensi yang lebih nyata dan pengaruhnya terhadap organisasi lebih terlihat contohnya kinerja tugas dan kinerja kontekstual (perilaku kewargaan organisasional/PKO).

Isu yang ingin diangkat dalam penelitian ini terutama adalah konsekuensi berupa perilaku kewargaan organisasional (PKO) atau organizational citizenship behavior yaitu kinerja pekerja yang melebihi deskripsi jabatan, bersifat sukarela dan tidak ada imbalan secara formal (William & Anderson, 1991). Hal ini karena, baik penelitian-penelitian etika kerja baik etika kerja Protestan, etika kerja kontemporer maupun etika kerja Islami lebih mengarah pada konsekuensi berupa sikap kerja seperti kepuasan kerja, komitmen organisasional dan keterlibatan kerja (lihat Tabel 1.4.). Padahal konsekuensi berupa perilaku kerja seperti kinerja dan PKO merupakan konsekuensi yang lebih nyata karena berwujud perilaku dan pengaruhnya

(28)

28 Tabel 1.4.

Konsekuensi Etika Kerja Protestan, Etika Kerja Kontemporer dan Etika Kerja Islami

Jenis Konsekuensi Konsekuensi (Variabel Dependen) Pengarang 1. Level Individual A. Sikap Kerja 1) Keterlibatan kerja

2) Komitmen organisasional continuance

3) Komitmen organisasional afeksi

4) Komitmen organisasional normatif 5) Komitmen organisasional (identifikasi

organisasional) 6) Komitmen karir 7) Loyalitas kerja

8) Etika kerja kontemporer 9) Time structure & purpose 10) Orientasi kepemimpinan 11) Orientasi jangka panjang

12) Sikap terhadap perubahan organisasi 13) Kepuasan kerja

14) Role ambiguity 15) Role conflict B. Kepribadian

1) Vocational preference (contoh konvensional & sosial)

2) Free rider effect & sucker effect C. Sikap Sosial

1) Penjelasan bagi pengangguran

2) Sikap terhadap penerima tunjangan sosial 3) Service ethic scale

4) Money ethic scale D. Keuntungan bagi pribadi

1) Kesuksesan sekolah dan ekonomi 2) Jumlah kepemilikan asuransi jiwa 3) Task preference (waktu yang dihabiskan

pada tugas)

4) Keuntungan terkait personal (kesehatan)

16) Cohen (1999); Carmeli & Freund (2004)

17) Cohen (1999); Carmeli & Freund (2004); Yousef (2000b)

18) Cohen (1999); Carmeli & Freund (2004); Yousef (2000b) 19) Yousef (2000b) 20) Yousef (2001) 21) Cohen (1999) ; Carmeli & Freund (2004) 22) Ali & Azim (1995) 23) Ali & Azim (1995);

Wayne (1989) 24) Mudrack (1999) 25) Hollingworth, Brewer &

Petty (2002) 26) Nevins, Bearden &

Money (2007) 27) Yousef (2000 b) 28) Yousef (2001) 29) Yousef (2000 a) 30) Yousef (2000 a) 31) Furnham & Koritsas

(1990)

32) Abele & Diehl (2005) 33) Furnham (1982) 34) Furnham (1982) 35) Tang & Weatherford

(1998) 36) Tang (1992) 37) Cohen (1985)

38) Burnett & Palmer (1984) 39) Tang (1989)

40) Mudrack (1992) 2. Level

Organisasional

A. Keuntungan bagi organisasi 1) Perilaku di tempat kerja

2) Frekuensi penggunaan program & fasilitas olah raga

3) Keuntungan kerja (seperti absensi)

4) Mudrack (1993) 5) Mudrack (1992) 6) Mudrack (1992)

(29)

29 terhadap organisasi lebih terlihat, contoh jika kinerja pekerja tinggi, maka kinerja organisasi (contohnya kinerja keuangan) akan tinggi juga.

Alasan yang muncul atas kurangnya riset konsekuensi etika kerja Islami yang berupa kinerja pekerja adalah kurangnya pembedaan antara kinerja tugas dengan aspek kontekstual kinerja pekerjaan (kinerja kontekstual) (Van Scotter, 2000). Oleh karena itu, hasil-hasil riset terdahulu menyarankan perlunya meneliti hubungan antara etika kerja dengan kinerja tugas dan kinerja kontekstual (terwujud dalam bentuk PKO). Dengan demikian, penelitian hubungan etika kerja Islami dengan PKO sebagai variabel konsekuensi, masih dimungkinkan dalam penelitian ini.

Psikolog I/O (industrial/organization) yang tertarik meneliti etika kerja, umumnya menggali hubungan etika kerja dengan variabel sikap kerja lainnya, seperti kepuasan kerja (Wanous, 1974); keterlibatan kerja (Blau, 1987; Randall & Cote, 1991) dan komitmen organisasional (Kidron, 1978; Morrow & McElroy, 1987), namun hanya sedikit studi yang menghubungkan etika kerja dengan kinerja pekerjaan. Oleh karena itu, penelitian ini menghubungkan etika kerja dengan kinerja, namun kinerja yang digunakan adalah kinerja dari aspek kontekstual. Penelitian ini memilih kinerja kontekstual daripada kinerja tugas karena perilaku pemenuhan tugas (kinerja tugas) secara formal sudah ditentukan oleh organisasi, sehingga kekuatan prediktif etika kerja bagi kinerja tugas menjadi lemah. Sedangkan untuk pemenuhan tugas yang tidak secara formal ditetapkan sebagai bagian pekerjaan atau kinerja kontekstual (perilaku kewargaan organisasional disingkat PKO), masih ada kemungkinan etika kerja sebagai prediktor hal tersebut. Oleh karena itu perlu

(30)

30 penelitian lebih lanjut tentang kinerja kontekstual yang dalam hal ini diistilahkan dengan perilaku kewargaan organisasional (PKO).

Kinerja tugas yaitu terkait dengan hasil produk, jasa atau aktivitas yang menyediakan dukungan langsung dalam proses teknis organisasi. Kinerja tugas memakai kemampuan teknis dan pengetahuan untuk menyelesaikan tugas. Sedangkan kinerja kontekstual yaitu pola-pola perilaku karyawan yang mendukung dalam konteks psikologi dan sosial dalam mengerjakan tugas. Ketika karyawan membantu pihak lain, bekerja sama dengan atasan dan rekan kerja yang terlibat dalam proses berorganisasi, hal itu disebut kinerja kontekstual.

Borman dan Motowidlo (1993) menyajikan 3 cara dimana perilaku kontekstual berbeda dengan aktivitas yang ditentukan organisasi. Pertama, aktivitas tugas berfokus secara dominan pada inti teknis itu sendiri, sementara aktivitas kontekstual berkontribusi lebih pada lingkungan sosial, organisasional dan psikologi dimana inti teknis berfungsi. Mereka menekankan bahwa aktivitas kontekstual mungkin terlihat berkaitan secara langsung dengan pemenuhan inti teknis ketika mereka terlibat aktivitas yang merupakan komponen dari pekerjaan seseorang. Namun, fokusnya bukan pada level kecakapan tugas, tapi pada level motivasi, usaha dan penentu-penentu yang ditunjukkan dalam pemenuhan tugas. Contohnya aktivitas kinerja kontekstual mungkin melibatkan level inisiatif seseorang yang ditunjukkan dengan kesediaan sukarela untuk terikat dalam tugas. Kedua, ketika aktivitas tugas secara khusus bervariasi antar pekerjaan dalam organisasi, aktivitas kontekstual mengatasi perbedaan pekerjaan dan merupakan hal yang umum lintas organisasi. Khususnya, aktivitas-aktivitas seperti secara sukarela membantu atau bekerja sama

(31)

31 dengan yang lain dalam organisasi, yang sangat berarti dan merupakan perilaku penting dalam seluruh pekerjaan. Ketiga, sumber variasi berbeda antara kinerja tugas dan kinerja kontekstual. Penekanan bagi pemenuhan aktivitas tugas adalah pada pengetahuan, skill dan kemampuan yang didemonstrasikan oleh seseorang. Namun aktivitas kontekstual akan diprediksi terbaik oleh variabel yang berfokus pada motivasional dan karaktersitik kepribadian dari seseorang. Perhatian pada variasi antara aktivitas tugas dan aktivitas kontekstual yang merupakan dampak etika kerja merupakan hal relevan. Dapat diargumentasikan bahwa dari perspektif konseptual etika kerja, seharusnya hanya sedikit berhubungan dengan ukuran kinerja yang berfokus pada pengetahuan, skill dan kemampuan. Etika kerja lebih terkait dengan perilaku yang terkait dengan kinerja kontekstual. Dengan demikian, pengukuran etika kerja mungkin menawarkan kegunaan prediktif yang substansial dalam aktivitas kontekstual. Secara khusus, adalah memungkinkan untuk memprediksi melalui ukuran etika kerja tentang seberapa besar seseorang terikat dalam kinerja kontekstual yang bernilai bagi organisasi. Hal ini mungkin berkontribusi secara empiris ketika kinerja kontekstual dan kinerja tugas dipertimbangkan secara independen oleh supervisor saat menilai kinerja.

Formulasi Campbell mengarah pada perbedaan antara perilaku yang berkontribusi pada keefektifan organisasional melalui fokus pada pemenuhan tugas dan perilaku yang membantu organisasi dengan cara lain. Perilaku pemenuhan tugas secara formal ditentukan oleh organisasi, sedangkan yang tidak secara formal sebagai bagian pekerjaan, masih tetap berharga bagi keefektifan organisasional. Borman dan Motowidlo (1993) menempatkan perilaku kinerja tidak secara formal ditentukan oleh

(32)

32 organisasi, dalam aktivitas kontekstual, contohnya: (1) Membantu mengerjakan aktivitas tugas yang bukan merupakan bagian pekerjaan secara formal. (2) Mempertahankan antusiasme ekstra atau usaha yang dibutuhkan untuk menyelesaikan aktivitas tugasnya sendiri secara sukses. (3) Membantu dan bekerjasama dengan yang lain. (4) Mengikuti aturan organisasi dan prosedur meski secara personal tidak tersedia. (5) Membenarkan, mendukung dan mempertahankan tujuan organisasi. Argumen-argumen tersebut di atas sekaligus menjadi justifikasi penelitian hubungan etika kerja dengan kinerja kontekstual yang terwujud dalam bentuk perilaku kewargaan organisasional. Dengan demikian, penelitian hubungan etika kerja Protestan, etika kerja kontemporer dan etika kerja Islami dengan kinerja dan perilaku kewargaan organisasional (PKO), masih dimungkinkan.

MacKenzie, Podsakoff dan Ahearne (1998) memperluas kinerja (in role) menjadi aspek kinerja extra role (perilaku kewargaan organisasional/PKO). Seperti yang sudah dikemukakan di atas, bahwa penelitian hubungan etika kerja dengan kinerja dan PKO sangat dimungkinkan ketika kinerja dapat dibedakan menjadi kinerja tugas dan kinerja kontekstual. Kinerja tugas mengarah pada kinerja berupa hasil kerja (output) sesuai dengan tugas formal yang diemban, sedangkan kinerja kontekstual mengarah pada aktivitas kontekstual, seperti membantu mengerjakan aktivitas tugas yang bukan merupakan bagian pekerjaan secara formal dan membantu serta bekerja sama dengan yang lain atau yang dikenal dengan istilah perilaku kewargaan organisasional (PKO). PKO sendiri mengalami perluasan dimensi yang mengarah pada pengukuran yang bersifat lebih spesifik (narrow) dan mengarah pada berbagai bidang, sehingga varibel tersebut lebih mempunyai validitas prediktif ketika

(33)

33 dihubungkan dengan variabel lain. Contohnya perilaku kewargaan organisasional mempunyai 7 tema dimensi dalam tuliasan Podsakoff et al. (2000). Podsakoff et al. (2000), menunjukkan adanya pertumbuhan dalam riset-riset perilaku kewargaan organisasional (PKO) dan mencoba untuk menggali kesamaan dan perbedaan berbagai bentuk konstruk perilaku ‗citizenship‘ yang diidentifikasi dalam literatur. Ada berbagai tipe-tipe perilaku ‗citizenship‘ yaitu: (1) helping behavior (2) sportsmanship (3) organizational loyalty (4) organizational compliance (5) individual initiative (6) civic (7) self development. Fokus pada kinerja extra role (perilaku kewargaan organisasional) merupakan pengembangan penting dengan alasan karena kinerja extra role mempengaruhi keputusan tentang promosi, pelatihan dan kompensasi. Selain itu kinerja extra role mempunyai pengaruh pada keefektian dan kesuksesan organisasi.

Pemilihan perilaku kewargaan organisasional (PKO) sebagai konsekuensi etika kerja Islami berdasarkan argumen Abu-Saad (1998). Menurut Abu –Saad (1998), berdasarkan skala IWE (Islamic work ethic) dari Ali (1988) salah satu dimensi etika kerja Islami adalah faktor kewajiban personal dan organisasional (personal and organizational obligations) yang menunjukkan perlunya pekerja muslim bekerja sama dan saling tolong menolong dengan orang lain. Hal itu berarti, PKO dianjurkan dalam Islam seperti tersurat dalam al-Quran surat At Taubah: 71 Allah berfirman: ‗orang-orang beriman perlu saling tolong menolong‘. Islam juga menekankan pentingnya saling bekerja sama dalam pekerjaan, memberikan kemudahan bagi orang lain dalam bekerja (Q.S. Al Baqarah: 280) dan berempati

(34)

34 (Q.S. Al Hasyr: 9). Dengan demikian pemilihan perilaku kewargaan organisasional (PKO) dalam penelitian ini masih dimungkinkan.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Pengembangan dan validasi ukuran etika kerja Islami berdasarkan pengembangan ukuran etika kerja Islami (Islamic work ethic scale) oleh Ali (1988) dan penafsiran al-Quran dan Hadis oleh penulis-penulis di Indonesia yaitu Shahata (1997), Ali (2008), Muttaqin (2008), Madjid (1992), Hamzah (2005) dan Tasmara (2002).

2. Pengujian model yang menunjukkan hubungan etika kerja Islami dengan anteseden dan konsekuensinya yaitu:

a. Apakah individualisme kerja berpengaruh negatif pada etika kerja Islami? b. Apakah lokus kendali berpengaruh positif pada etika kerja Islami?

c. Apakah cinta uang berpengaruh positif pada etika kerja Islami?

d. Apakah sentralitas pekerjaan berpengaruh positif pada etika kerja Islami? e. Apakah etika kerja Islami berpengaruh positif pada perilaku kewargaan

(35)

35

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengembangkan dan memvalidasi ukuran etika kerja Islami berdasarkan kajian literatur termasuk di dalam al-Quran dan Hadis. Pengembangan ukuran dilakukan berdasarkan Islamic work ethic scale dari Ali (1988) dan dari penulis-penulis Indonesia yaitu Shahata (1997), Ali (2008), Muttaqin (2008), Madjid (1992), Hamzah (2005) dan Tasmara (2002).

2. Menguji model hubungan etika kerja Islami dengan anteseden dan konsekuensinya. Secara spesifik, penelitian ini menguji pengaruh lokus kendali, individualisme kerja, cinta uang dan sentralitas pekerjaan pada etika kerja Islami dan pengaruh etika kerja Islami pada perilaku kewargaan organisasional (PKO).

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini terdiri dari manfaat bagi pengembangan teori etika kerja, khususnya teori etika kerja Islami, pengembangan metodologi penelitian dan implikasi praktis bagi perusahaan/organisasi yang ada di negara-negara yang mayoritas penduduknya Islam.

1. Bagi literatur dalam area teori etika kerja:

a. Memperluas skop penelitian berdasar pada penilaian diri partisipan terhadap etika kerja Islami, karena selama ini riset hanya mengidentifikasi etika kerja Protestan atau etika kerja secara umum. Dengan demikian riset ini mengatasi gap penelitian dalam literatur.

(36)

36 b. Penelitian ini menggali peran etika kerja Islami, yang spesifik pada budaya ‗Timur‘ dalam arti lingkungan di mana masyarakatnya kebanyakan memeluk agama Islam.

2. Bagi literatur dalam area metodologi penelitian:

a. Penelitian ini menyelesaikan masalah-masalah dalam pengukuran etika kerja Islami dengan meningkatkan validitas konten dan validitas konstruk. Masalah pertama dalam pengukuran adalah konten (isi) instrumen etika kerja Islami terkait budaya pembuat instrumen. Penelitian ini menambah pengukuran yang berasal dari berbagai penulis di Indonesia di samping tetap memakai pengukuran etika kerja Islma terdahulu dari Ali (1988), dengan harapan lebih sesuai dengan setting budaya Indonesia dan dapat lebih menyeluruh dalam menangkap konsep etika kerja Islami.

b. Penelitian ini mengatasi masalah kedua dalam pengukuran yaitu validitas konstruk. Dengan melakukan validasi pengukuran etika kerja menggunakan uji validitas konstruk, diharapkan kuisioner etika kerja Islami akan terbebas dari social desirability bias.

3. Studi ini mempunyai implikasi bagi praktisi.

a. Membantu organisasi/perusahaan (khususnya perusahaan multinasional yang didirikan di pasar yang didominasi umat Islam) dalam merekrut, menyeleksi, melatih dan mempertahankan tenaga kerja berkualitas.

b. Menyediakan informasi bagi praktisi berupa pemahaman lebih baik tentang level etika kerja Islami; pengembangan program dan peran etika kerja Islam.

(37)

37

1.5. Keaslian Penelitian

Kebanyakan riset etika kerja dilakukan di negara-negara barat dan berfokus pada etika kerja Protestan. Oleh karena itu, perlu riset etika kerja di negara-negara timur yang berdasarkan pada sistem sosial dan kepercayaan lain, misalnya Islam. Indonesia sebagai negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia, merupakan tempat yang tepat untuk penelitian etika kerja Islami. Dengan demikian penelitian etika kerja Islami di Indonesia relevan untuk dilakukan.

Hal lain yang menjadi dasar penelitian ini adalah masalah pengukuran etika kerja Islami. Selama ini sudah ada pengukuran etika kerja Islami, namun sayangnya pengukuran tersebut diciptakan oleh orang barat yaitu Ali (1988) dari Indiana University yang dikonfirmasi oleh ulama/peneliti yang tinggal di Amerika dan divalidasi dengan sampel orang Arab yang tinggal di Amerika, sehingga diperlukan suatu pengukuran baru yang lebih sesuai dengan setting budaya Indonesia dan sampel orang Indonesia. Penelitian ini mengembangkan ukuran etika kerja Islami dengan tetap menggunakan pengukuran dari Ali (1988), namun penelitian ini menambah pengukuran yang berasal dari berbagai penulis di Indonesia, dengan harapan lebih sesuai dengan setting budaya Indonesia dan dapat lebih menyeluruh dalam menangkap konsep etika kerja Islami.

Setelah validasi pengukuran, penelitian ini menguji model hubungan etika kerja Islami dengan anteseden dan konsekuensi. Hal ini dilakukan mengingat kebanyakan penelitian etika kerja Islami sebagai variabel independen saja atau sebagai variabel dependen saja, sehingga menyebabkan pemahaman yang kurang komprehensif tentang penyebab (anteseden) tinggi rendahnya etika kerja, maupun

(38)

38 dampak (konsekuensi) dari etika kerja. Dengan melakukan pengujian model, hasil penelitian mampu memberi masukan pada organisasi dalam melakukan intervensi untuk meningkatkan etika kerja Islami dan memperoleh keluaran tinggi. Secara spesifik, penelitian ini menguji hubungan etika kerja Islami dengan lokus kendali, individualisme kerja, cinta uang dan sentralitas pekerjaan. Hal yang baru dalam penelitian ini adalah variabel cinta uang, sentralitas pekerjaan dan perilaku

kewargaan organisasional (PKO).

Penelitian cinta uang dan sentralitas pekerjaan sebenarnya sudah pernah dilakukan, namun terbatas pada anteseden etika kerja Protestan. Adanya kesamaan etika kerja Protestan dan etika kerja Islami yaitu: menekankan pada kerja keras, komitmen dan dedikasi untuk pekerjaan, kreatifitas kerja, kerjasama dalam bekerja dan menghindari cara yang tidak etis dalam akumulasi kekayaan (Yousef, 2000a), memungkinkan untuk pengadopsian anteseden etika kerja Protestan.

Pemilihan anteseden cinta uang kluster achieving money worshiper berdasarkan pada argumen banyaknya penelitian terdahulu yang mengabaikan perbedaan orang dalam mereaksi uang atau cinta uang ketika meneliti area manajemen dan etika. Padahal cinta uang merupakan konsep penting karena merupakan rerangka referensi dalam kehidupan sehari-hari (Luna-Arocas & Tang, 2004); dan membantu memahami, memprediksi dan mengendalikan perilaku tidak etis (Tang & Chiu, 2003). Orang-orang yang mempunyai profil uang yang berbeda akan menghasilkan pola sikap kerja yang berbeda pula. Contohnya profil uang berupa kluster achieving money worshiper akan mempunyai etika kerja Protestan yang lebih

(39)

39 tinggi dibanding profil uang lainnya (kluster careless money admirer, apathetic money manager, dan money repellent individual).

Sedangkan pemilihan variabel sentralitas pekerjaan didasarkan pada anggapan perlunya mengisi gap dalam literatur komitmen kerja. Sentralitas pekerjaan menggambarkan aspek berbeda dari komitmen umum bagi peran kerja. Menurut Arvey et al. (2004), penelitian terdahulu menunjukkan pekerjaan dianggap merupakan hal yang lebih penting dibandingkan area kehidupan lainnya seperti bersenang-senang (contohnya rekreasi), komunitas (contohnya perkumpulan dan masyarakat) dan aktivitas keagamaan. Hal itu menunjukkan pentingnya meneliti ruang dunia kerja. Seseorang yang mempercayai peran pekerjaan sebagai hal penting bagi kehidupan, maka ia akan bekerja keras dan merupakan cara untuk peningkatan harga diri dan pemenuhan diri yang merupakan ciri-ciri etika kerja Islami.

Konsekuensi etika kerja Islami berupa perilaku kewargaan organisasional (PKO) dipilih dalam penelitian ini karena kurangnya penelitian terdahulu tentang hubungan etika kerja dengan kinerja kontekstual. Hubungan etika kerja dengan konsekuensinya lebih banyak berfokus pada konsekuensi berupa sikap kerja. Oleh karena itu, penelitian yang menggunakan konsekuensi kinerja masih dimungkinkan. Penelitian hubungan etika kerja, kinerja dan PKO dapat dilakukan ketika kinerja dapat dibedakan menjadi kinerja tugas dan kinerja kontekstual. Kinerja tugas mengarah pada kinerja berupa hasil (output) sedangkan kinerja kontekstual mengarah pada kinerja di luar tugas formal atau PKO. Hal yang mendasari perlunya PKO adalah al-Quran surat At Taubah: 71, Al Baqarah: 280 dan Al Hasyr: 9 yang berisi pekerja muslim mesti bekerja sama dan saling tolong menolong dengan orang lain.

Referensi

Dokumen terkait

Perebutan kekuasaan dan politik akibat pembagian wilayah jajahan hingga menjadi area negara yang tidak memperhatikan kondisi etnis, agama, budaya menjadi salah satu

dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, karya M. 5) Syarh al-Nawawi ‘ala Muslim, Imam al-Nawawi. c) Data tersier, yaitu data dari karya ilmiah, diktat perkuliahan, internet dan data

Bagian enteron membentuk bangunan yang memanjang dan diikuti oleh adanya rotasi sumbu tubuh embrio.. Masih terdapat neuroporus pada bagian anterior

Pelaksana Ujian Nasional Tingkat Satuan Pendidikan dapat menggunakan 3 paket soal Praktik yang tersedia atau memilih di antara ketiga paket yang sesuai dengan ketersediaan

Wawancara dilakukan oleh peneliti dengan tujuan untuk memperoleh informasi dan data tentang penggambaran kontur dengan surfer pada perkuliahan Praktikum Ilmu Ukur

Tetapi ambingnya dapat berkembang dengan sangat baik / ideal sebagai ternak perah, dan kambing ini merupakan progenitor / yang memberikan darahnya pada..

Nama Paket Pekerjaan : Biaya jasa tenaga kerja petugas Pemeliharaan Taman Gedung Nari Graha dan Gudang Induk Lingkup Pekerjaan : Penyediaan Jasa Perorangan untuk

Ketentuan Pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah indonesia, melakukan tindak luar wilayah indonesia, melakukan tindak pidana di