• Tidak ada hasil yang ditemukan

SENGKETA WANPRESTASI PERJANJIAN HUTANG PIUTANG DALAM KELUARGA ANTARA ORANG TUA DAN ANAK (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 1/PDT.G/2017/PN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SENGKETA WANPRESTASI PERJANJIAN HUTANG PIUTANG DALAM KELUARGA ANTARA ORANG TUA DAN ANAK (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 1/PDT.G/2017/PN."

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1 SENGKETA WANPRESTASI PERJANJIAN HUTANG PIUTANG DALAM

KELUARGA ANTARA ORANG TUA DAN ANAK (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 1/PDT.G/2017/PN.GARUT)

Adhi Rangga Sofyan Ananta

Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Email: Adhi.rangga03@gmail.com

Burhanudin Harahap

Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Email: Burhanudin.harahap@staff.uns.ac.id

Yudho Taruno Muryanto

Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Email: Yudho_fhuns@yahoo.com

Abstract

Agreement is an deal made by one person against another person that gives rise to rights and obligations. Legal actions in this study related to debt agreements in the family scope. The method used in this study is normative. One form of problems in this research is about not fulfilling the obligation to pay debts because this is related to the rights and obligations of someone in the agreement. If there is a problem like this submitted to the court, the judge in this case judges from the legal facts that occur by considering various aspects in deciding the matter.

With the occurrence of the problem of not paying debts within the family scope, it is hoped that this problem can be resolved through a peaceful way so that the problem will not be resolved in court.

Keywords: Agreement, breach the promise, Judge

A. Pendahuluan

Perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.1 Perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal.

Dengan terpenuhinya empat syarat sahnya perjanjian, maka secara hukum adalah mengikat bagi para pihak yang membuatnya.

Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Memang perikatan itu paling banyak lahir dari perjanjian, tetapi ada juga perikatan yang lahir dari undang- undang.2 Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat kita temui landasannya pada ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa: “Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian baik karena undang-undang”.3 Ketentuan tersebut dipertegas lagi dengan rumusan ketentuan Pasal 1313

1 Wirjono Prodjodikoro, 2000, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Bandung: Mandar Maju, hal. 4.

2 R. Subekti, 1979, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, hal. 1.

3 Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

(2)

2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”.4 Setiap perjanjian yang melahirkan suatu perikatan diantara kedua belah pihak adalah mengikat bagi kedua belah pihak yang membuat perjanjian, hal ini berdasarkan atas ketentuan hukum yang berlaku di dalam Pasal 1338 (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya”.5

Apabila para pihak telah ada kata sepakat maka terbentuklah suatu perjanjian hutang piutang. Dengan adanya kesepakatan atau persetujuan tersebut mengakibatkan ikatan hukum bagi para pihak. Umumnya ikatan hukum yang diakibatkan persetujuan adalah saling memberatkan atau merupakan pembebanan kepada para pihak yang terkait. Hal tersebut mengakibatkan timbulnya hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian pinjam meminjam ini. Hak dan kewajiban tersebut harus dilakukan oleh para pihak dengan baik sesuai dengan kesepakatan yang telah terjadi.6

Kegiatan pinjam-meminjam uang telah dilakukan sejak lama dalam kehidupan bermasyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat utama dalam pembayaran. Dapat diketahui bahwa hampir semua masyarakat telah menjadikan pinjam meminjam uang sebagai sesuatu yang sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan kegiatan ekonominya dan untuk meningkatkan taraf kehidupannya. Dengan kompleksitas tersebut pinjam meminjam dapat terjadi dalam lingkup keluarga seperti dalam kasus Putusan Nomor 1/Pdt.G/2017/Pn.Garut yakni hutang piutang dimana suatu keluarga melakukan perjanjian hutang piutang yang dituangkan dalam perjajian tertulis, Bahwa yang menjadi permasalahan antara Para Penggugat dan Para Tergugat dalam gugatannya adalah hutang piutang yang terjadi tahun 2001 dimana Para Tergugat telah meminjam uang kepada Para Penggugat sebesar Rp. 41.500.000 (empat puluh satu juta lima ratus ribu rupiah). Para Penggugat mendalilkan bahwa Para Tergugat telah melakukan wanprestasi dengan tidak melunasi hutangnya serta tidak menyerahkan sertifikat SHM No. 1437, Desa Kota Kulon sebagai jaminan hutang tersebut sehingga akibatnya telah menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi Para Penggugat.

Pada dasarnya suatu perjanjian akan berlangsung dengan baik jika para pihak yang melakukan perjanjian tersebut dilandasi oleh iktikad baik (good faith), namun jika iktikad baik itu tidak dilaksanakan maka akan rentan terhadap sengketa yang terjadi. Dari permasalahan tersebut penulis tertarik untuk membahas mengenai Wanprestasi Perjanjian Hutang Piutang Dalam Keluarga Antara Orang Tua Dan Anak (Studi Kasus Putusan Nomor 1/Pdt.G/2017/Pn.Garut). Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah yang akan diteliti yaitu apakah perbuatan yang dilakukan Tergugat dalam Putusan Nomor 1/Pdt.G/2017/Pn.Garut dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan wanprestasi dan bagaimana pertimbangan hakim terhadap sengketa wanprestasi dalam Putusan Nomor 1/Pdt.G/2017/Pn.Garut.

4 Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

5 Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

6 Taufik Siregar, Isnaini, dan Jandrias Tarigan, Tinjauan Yuridis terhadap Hubungan Hukum Karena Wanprestasi di dalam Hutang Piutang (Studi Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.05/Pdt.G/2007/PN.LP), Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, Volume 1, Nomor 2, Desember 2014, hal. 191.

(3)

3 B. Metode Penelitian

Dalam arti kata yang sesungguhnya, maka metode adalah cara atau jalan. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja, yaitu cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.7 Menurut Peter Mahmud Marzuki segala penelitian yang berkaitan dengan hukum (Legal Research atau Rechtsonderzoek) adalah selalu Normatif.8Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi dari berbagai aspek guna menjawab isu hukum yang diteliti, adapun beberapa pendekatan yang dimaksud yaitu:

pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Berkenaan dengan penulisan hukum ini penulis menggunakan 2 (dua) pendekatan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach) karena pendekatan ini dianggap relevan dengan penelitian hukum yang dikaji oleh penulis.

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan

1. Klasifikasi Wanprestasi terhadap Perbuatan Hukum Tergugat

Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan sumber perikatan adalah perjanjian dan undang-undang. Perikatan adalah suatu hubungan hukum di bidang hukum kekayaan dimana satu pihak berhak menuntut suatu prestasi dan pihak lainnya berkewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi. Sedangkan perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

Definisi ini mendapat kritik dari Prof. R. Subekti, karena hanya meliputi perjanjian sepihak padahal perjanjian pada umumnya bersifat timbal balik, seperti perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa, perjanjian tukar menukar dan sebagainya. Sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang terdiri atas perikatan yang lahir dari undang- undang saja dan perikatan yang lahir dari undang-undang yang berhubungan dengan perbuatan manusia. Perikatan yang lahir dari undang-undang yang berhubungan dengan perbuatan manusia dapat dibagi atas perikatan yang halal dan perikatan yang tidak halal, yaitu perbuatan melawan hukum.9

Perjanjian dalam hutang piutang adalah suatu perbuatan yang mana para pihaknya adalah yang bersedia dan sepakat mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian dalam rangka untuk melaksanakan perjanjian hutang piutang. Dalam Pasal 1320 KUHPeradata menentukan adanya 4 (empat) syarat sahnya suatu perjanjian, yakni:

1. Adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu; dan

4. Suatu sebab (causa) yang halal.10

7 Soejono dan Abdurrahman, 1999, Metode penelitian: Suatu Pemikiran dan Penerapan, Jakarta: Rineka Cipta, hal.

44.

8 Peter Mahmud Marzuki, 2013 Penelitian Hukum, edisi Revisi, Jakarta: Kencana Prenada Media Groub, hal. 83.

9 R. Subekti, 2008, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Intermasa, hal. 42.

10 Subekti dan Tjitrosudibio, 2003, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, hal. 330.

(4)

4 Persyaratan tersebut diatas berkenan baik mengenai subjek maupun objek perjanjian. Persyaratan yang ke-1 dan ke-2 berkenan dengan subjek perjanjian atau syarat subjektif. Persyaratan yang ke-3 dan ke-4 berkenan dengan objek perjanjian atau syarat objektif. Pembedaan kedua persyaratan tersebut dikaitkan pula dengan masalah batal demi hukumnya (nieteg atau null and ab initio) dan dapat dibatalkannya (vernietigbaar) suatu perjanjian. Apabila syarat objektif dalam perjanjian tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum atau perjanjian yang sejak semula sudah batal, hukum menganggap perjanjian tersebut tidak pernah ada. Apabila syarat subjektif tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau sepanjang perjanjian tersebut belum atau tidak dibatalkan pengadilan, maka perjanjian yang bersangkutan masih terus berlaku.11

Di dalam kenyataan sulit untuk menentukan pada saat debitur dikatakan tidak memenuhi perikatan, karena sering kali ketika mengadakan perjanjian pihak-pihak tidak menentukan waktu untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Bahkan di dalam perikatan di mana waktu untuk melaksanakan prestasi itupun ditentukan, cidera janji tidak terjadi dengan sendirinya. Yang mudah untuk menentukan saat debitur tidak memenuhi perikatan ialah pada apabila orang itu melakukan perbuatan yang dilarang tersebut maka ia tidak memenuhi perikatan.

Akibat yang sangat penting dari tidak dipenuhinya perikatan ialah bahwa kreditur dapat minta ganti rugi atas ongkos, rugi dan bunga yang dideritanya. Untuk adanya kewajiban ganti rugi bagi debitur, maka undang-undang menentukan bahwa debitur harus terlebih dahulu dinyatakan berada dalam keadaan lalai (ingebrekestelling).

Apabila debitur tidak memenuhi perikatannya (wanprestasi) ataupun pada perikatan-perikatan di mana pernyataan lalai tidak disampaikan kepada debitur, maka debitur dikatakan tidak memenuhi perikatan. Hak-hak kreditur adalah sebagai berikut:

a. Hak menuntut pemenuhan perikatan (nakomen);

b. Hak menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan itu bersifat timbal balik, menuntut pembatalan perikatan (ontbinding);

c. Hak menuntut ganti rugi (schadevergoeding);

d. Hak menuntut pemenuhan perikatan dengan ganti rugi;

e. Hak menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi.

Berkaitan dengan hutang piutang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu:

uang yang dipinjamkan dari orang lain.12 Sedangkan piutang mempunyai arti uang yang dipinjamkan (dapat ditagih dari orang lain).

Hutang adalah kewajiban yang dinyatakan atau tidak dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik yang secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan apabila tidak dipenuhi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur. Piutang adalah tagihan (klaim) kreditur kepada debitur atas uang, barang atau jasa yang ditentukan dan bila debitur tidak mampu memenuhi maka kreditur berhak untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang termasuk dalam bentuk akta di bawah tangan salah satunya adalah perjanjian hutang piutang di manahanya dibuat oleh pihak yang

11 Gunawan Widjaja, 2003, Seri Pemahaman Perseroan Terbatas: 150 Tanya Jawab tentang Perseroan Terbatas, Jakarta: Forum Sahabat, hal. 68.

12 Poerwardaminto, 2003, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, hal. 1136.

(5)

5 berkepentingan tanpa bantuan seorang pejabat umum yang berwenang seperti Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah yang selanjutnya disebut PPAT.

Perjanjian hutang piutang di bawah tangan adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak sendiri tanpa ada bantuan dari pejabat umum. Dimana para pihak tersebut tertarik untuk melakukan perjanjian hutang piutang di bawah tangan disebabkan karena praktis, ekonomis, perlu uang cepat, dan tanpa perlu pejabat yang berwenang. Para pihak telah terikat dengan apa yang menjadi isi dari perjanjian yang telah mereka sepakati dan yang telah ditandatangani, karena dengan ditandatanganinya suatu perjanjian artinya para pihak telah menyetujui isi dan mentaati serta melaksanakan apa yang tercantum dalam perjanjian tersebut yang sesuai dengan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.

Berkaitan dengan sengketa wanprestasi dalam Putusan ini diajukan oleh Penggugat yang bernama Dra. Yani Suryani (Penggugat I) dan Handoyo Adianto (Penggugat II) selanjutnya disebut Para Penggugat melawan Tergugat yang bernama Siti Rokayah (Tergugat I) dan Asep Ruhendi (Tergugat II) selanjutnya disebut sebagai Para Tergugat.

Bentuk wanprestasi dalam putusan ini yang diajukan oleh Para Penggugat dengan alasan :

 Bahwa pada tanggal 23 Januari 2001, Para Tergugat datang ke rumah Para Penggugat untuk meminta bantuan pinjaman uang karena Para Tergugat memiliki hutang di bank senilai Rp. 40.274.904,- (empat puluh juta dua ratus tujuh puluh empat ribu sembilan ratus empat rupiah). Maksud tujuan Para Tergugat adalah meminta tolong kepada Penggugat I dan Penggugat I meminta tolong kepada Penggugat II (selaku suami Penggugat I) agar membantu kesulitan dan permasalahan yang dihadapi Para Tergugat, dan dihadapan Para Penggugat Tergugat II berjanji akan segera melunasi dalam jangka waktu 2 (dua) tahun dengan menjual aset-aset miliknya yang ada yaitu rumah tinggalnya yang terletak di Jalan Ciledug No. 196, Rt 001, Rw 015 Kelurahan Kota Kulon, Kecamatan Garut Kota, Garut sebagaimana tercantum dalam SHM No. 1437, Desa Kota Kulon sebagai jaminan pelunasan pinjaman hutang nantinya yang dibuat dalam perjanjian hutang piutang pada tanggal pada tanggal 06 Februari 2001.

 Bahwa selanjutnya pada tanggal 1 Februari 2001, Penggugat II telah memberikan sejumlah uang sebesar Rp. 21.500.000,- (dua puluh satu juta lima ratus ribu rupiah) lewat transfer Bank dan sebesar Rp. 20.00.000,- (dua puluh juta rupiah) diberikan secara cash/tunai dan disepakati pinjaman uang sebesar Rp. 41.500.000,- (empat puluh satu juta lima ratus ribu rupiah).

 Bahwa setelah Para Tergugat menerima pemberian uang dari Para Penggugat guna penyelesaian permasalahan mereka dengan pihak Bank, namun ditunggu- tunggu kurang lebih 3 (tiga) minggu, ternyata tidak ada pemberitahuan akan penyelesaian permasalahan dari Para Tergugat, bahkan SHM No. 1473, Desa Kota Kulon, yang akan diberikan kepada Para Penggugat sebagai jaminan pelunasan hutang tidak pula terealisasikan.

 Bahwa sebelum Para Penggugat mengajukan gugatan ini, Para Penggugat telah menanyakan kepada Para Tergugat untuk penyelesaian hutang mereka berikut

(6)

6 menanyakan SHM No. 1437 Desa Kota Kulon sebagai jaminan pelunasan hutang, namun ternyata Para Tergugat tidak menyerahkan sertifikat tersebut.

 Bahwa oleh karena penyerahan SHM No. 1437 Desa Kota Kulon dan penyelesaian hutang antara Para Tergugat dengan Para Penggugat belum juga terlaksana, maka pada tanggal 08 Oktober 2016, Tergugat I telah membuat Surat Pengakuan Hutang sebagaimana yang diperjanjikan sebelumnya.

 Bahwa akibat perbuatan wanprestasi yang dilakukan oleh Para Tergugat telah menimbulkan kerugian bagi Para Penggugat.

Berdasarkan wujud wanprestasi yang didalilkan oleh Para Penggugat dalam gugatannya perbuatan Para Tergugat harus memenuhi salah satu unsur dalam wanprestasi bahwa tidak dipenuhinya janji dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. Seorang debitur dikatakan lalai, apabila ia tidak memenuhi kewajibannya atau terlambat memenuhinya tetapi tidak seperti yang telah diperjanjikan.13 Wujud dari tidak memenuhi perikatan itu ada 3 (tiga) macam yang termuat dalam Pasal 1243 KUHPerdata, yaitu:

a. Debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan;

b. Debitur terlambat memenuhi perikatan;

c. Debitur keliru atau tidak pantas memenuhi perikatan.14

Dalam kasus gugatan tersebut Perbuatan Para Tergugat yang didalilkan oleh Para Penggugat dalam hal ini memenuhi salah satu unsut wanprestasi dalam Pasal 1243 KUHPerdata yaitu “Debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan”. Bentuk wanprestasi tersebut dibuktikan dalam dalil gugatan yang berbunyi: Bahwa Para Tergugat memiliki hutang kepada Para Penggugat senilai Rp. 41.500.000,00 (empat puluh satu juta lima ratus ribu rupiah) dengan jaminan SHM No. 1437, Desa Kota Kulon tetapi Tergugat I tidak menyerahkan sertifikat tersebut sehingga akibatnya telah menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi Para Penggugat. Dengan berdasar pada ketentuan Pasal 1236 KUH Perdata, pihak yang telah merasa dirugikan dengan adanya perjanjian hutang piutang karena pihak yang lain telah ingkar prestasi atau wanpretasi, maka pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut pertanggungjawaban atas perbuatnnya dengan memberikan ganti biaya dan kerugian. Untuk menuntut tanggung jawab hukum dapat dilakukan melalui lembaga litigasi atau melalui non litigasi.

Langkah penyelesaian yang dapat ditempuh oleh para pihak yang bersengketa dalam perjanjian hutang piutang ini apabila terdapat salah satu pihak melakukan wanprestasi, maka terdapat beberapa langkah untuk memperoleh tanggung jawab dari pihak yang melakukan wanprestasi atas perjanjian hutang piutang:

Pertama, Yang harus ditempuh karena masalah mengenai wanprestasi hutang piutang dalam lingkup keluarga ini merupakan masalah yang menyangkut dengan hubungan kekeluargaan, maka alangkah baiknya dilakukan penyelesaian secara kekeluargaan terlebih dahulu, agar pihak yang wanprestasi tersebut dapat memenuhi kewajibannya kembali sesuai yang diperjanjikan.

Kedua, Apabila dengan kekeluargaan pihak yang wanprestasi tersebut tetap tidak mau memenuhi kewajibannya maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan di

13 Jon Hendri dan Khoiri, Tinjauan Yuridis terhadap Wanprestasi dalam Hal Hutang Piutang, Jurnal Cendekia Hukum Volume 3, Nomor 2, Maret 2018, hal. 117.

14 Sedyo Prayogo, Penerapan Batas-Batas Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum dalam Perjanjian, Jurnal Pembaharuan Hukum Volume III, Nomor 2, Mei-Agustus 2016, hal. 283.

(7)

7 Pengadilan Negeri setempat. Karena untuk menyatakan salah satu pihak wanprestasi harus dengan putusan Pengadilan Negeri yang berkekuatan hukum tetap. Sehingga dengan adanya putusan yang menyatakan bahwa salah satu pihak telah wanprestasi tersebut, maka pihak tersebut dihukum untuk memenuhi kewajibannya sesuai yang diperjanjikan apabila perlu diwajibkan untuk membayar ganti kerugian pula. Hakim dalam memutus perkara mengenai penyelesaian perkara wanprestasi dalam perjanjian hutang piutang, untuk menyatakan bahwa salah satu pihak telah wanprestasi dengan berdasar pada ketentuan yang mengatur mengenai wanprestasi serta tanggung jawab hukumnya sebagaimana yang diatur dalam undang-undang yang berlaku.

2. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Sengketa Wanprestasi

Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang menganut sistem hukum

“civil law” (Eropa Kontinental), yang di warisi dari pemerintah kolonial Belanda semenjak ratusan tahun yang lalu. Dalam sistem Civil Law, hukum tertulis merupakan sumber hukum. Dengan sistem ini mempengaruhi corak berpikir hakim Indonesia dalam memeriksa dan memutus perkara.15

Asas negara tersebut menempatkan unsur “moralitas”, yakni “atas berkat rahmat Allah” dan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai unsur utama. Tak terkecuali lembaga kehakiman sebagai salah satu lembaga negara yang senantiasa dituntut untuk menegakkan hukum yang seadil-adilnya, demi kepastian dan ketertiban hukum bagi masyarakat. Untuk mewujudkan penegakan hukum yang dicita-citakan itu, maka hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara dilindungi dan diberi kekuasaan yang merdeka dan bebas oleh negara dari berbagai intervensi dari pihak manapun dan dalam bentuk apapun, sebagai jaminan ketidakberpihakan hakim kecuali terhadap hukum dan keadilan demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.

Karena itu, dalam mewujudkan suatu kepastian dan ketertiban hukum bagi masyarakat, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.16

Dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang selalu berkaitan dan haruslah diperhatikan, karena satu sama lainnya harus berimbang, yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.17

Hakim dalam menyelesaikan perkara perdata di pengadilan mempunyai tugas untuk menemukan hukum yang tepat.18 Hakim dalam menemukan hukum tidak cukup hanya mencari dalam undang-undang saja, sebab kemungkinan undang-undang tidak mengatur secara jelas dan lengkap sehingga hakim harus menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.19

Atas dasar itu, maka hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus dituntut harus berdasarkan atas fakta hukum di persidangan, norma atau kaidah-kaidah hukum, moral hukum, dan doktrin hukum sebagai pertimbangan putusannya terhadap suatu

15 Josef M Monteiro, Putusan Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Jurnal Hukum Pro Justisia, Volume 25, Nomor 2, April 2007, hal. 134.

16 Pasal 28 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

17 Edi Rosadi, Putusan Hakim yang Berkeadilan, Jurnal Badamai Law, Volume 1, Nomor 1, April 2016, hal. 382.

18 Bambang Sutiyoso, Implementasi Gugatan Legal Standing dan Class Action dalam Praktik Peradilan di Indonesia, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Volume 26, Nomor 11, Mei 2004, hal. 77.

19 Busyro Muqaddas, Mengkritik Asas-Asas Hukum Acara Perdata, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Volume 20, Nomor 9, Juni 2002, hal. 21.

(8)

8 perkara, demi tegaknya keadilan, kepastian, dan ketertiban hukum, yang merupakan tujuan utama hukum itu sendiri.20

Putusan adalah produk dari pemeriksaan perkara yang dilakukan oleh hakim.

Berdasarkan Pasal 178 HIR/189 RBG, setelah pemeriksaan selesai, maka hakim karena jabatannya harus melakukan musyawarah untuk mengambil putusan yang akan dijatuhkan. Pemeriksaan dianggap telah selesai apabila telah melalui tahap jawaban dari tergugat, replik dari penggugat, duplik.21

Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aquo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Mahkamah Agung.22

Berbicara tentang hakim dan putusan hakim di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan tentang keadilan dan kepastian hukum. Hal ini disebabkan kedua kata tersebut merupakan unsur yang esensial dalam hukum termasuk putusan hakim. Grustav Radbruch mengemukakan bahwa ada tiga nilai dasar yang harus terdapat dalam hukum, yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.23 Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 Ayat (1) yaitu hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.24 Pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara harus benar-benar memiliki kepastian hukum demi terwujudnya keadilan.

Masyarakat membutuhkan suatu keadilan dari aturan hukum yang dibentuk dari suatu penetapan hakim tersebut.

Hakim dalam menyelesaikan konflik yang dihadapkan kepadanya harus secara obyektif berdasarkan hukum yang berlaku, maka dalam proses pengambilan keputusan, para hakim harus mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun termasuk dari eksekutif. Dalam pengambilan keputusan, para hakim hanya terikat pada fakta-fakta yang relevan dan kaidah hukum yang menjadi atau dijadikan landasan hukum keputusannya. Tetapi penentuan fakta-fakta yang termasuk fakta-fakta yang relevan dan pilihan kaidah hukum yang mana yang akan dijadikan landasan untuk menyelesaikan kasus yang dihadapinya diputuskan oleh hakim yang bersangkutan sendiri.25

Dalam pemeriksaan suatu perkara juga memerlukan adanya pembuktian, dimana hasil dari pembuktian itu akan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memutus perkara pembuktian merupakan tahap yang paling penting dalam pemeriksaan di persidangan. Pembuktian bertujuan untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa

20 A Salman Maggalatung, Hubungan Antara Fakta, Norma, Moral dan Doktrin Hukum dalam Pertimbangan Putusan Hakim, Jurnal Cita Hukum, Volume II, Nomor 2, Desember 2014, hal. 186.

21 Khairul Aswadi, Ratio Decidendi Hakim dalam Memutus Perkara Wanprestasi (Studi Kasus Putusan Nomor:

107/PDT.G/2017/PN.MTR), Jurnal Unizar Law Review, Volume 1, Nomor 1, Juni 2018, hal. 84-85.

22 Mukti Arto, 2004, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 140.

23 Satjipto Rahardjo, 2007, Hati Nurani Hakim dan Putusannya: Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence) Kasus Hakim Bismar Siregar, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, hal. 44.

24 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

25 Firman Floranta Adonara, Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara Sebagai Amanat Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 2, Juni 2015, hal. 218-219.

(9)

9 atau fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa peristiwa atau fakta tersebut benar-benar terjadi, yakni dibuktikan kebenaranya, sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para pihak.

Dalam memberikan pertimbangan seorang hakim harus terlepas dari campur tangan oleh pihak manapun yang berusaha mempengaruhi putusan yang akan dihasilkan oleh hakim dan obyektif terhadap perkara yang diperiksa. Hal ini untuk menjaga eksistensi lembaga peradilan dan hakim itu sendiri.

Perkara wanprestasi terhadap suatu perjanjian hutang piutang yang diajukan oleh Para Penggugat dijadikan sebagai pertimbangan hukum yang diambil oleh hakim berdasarkan pada kesimpulan pembuktian yang telah diperoleh Hakim, yaitu antara lain:

 Bahwa yang menjadi permasalahan antara Para Penggugat dan Para Tergugat dalam gugatannya adalah hutang piutang yang terjadi tahun 2001 dimana Para Tergugat telah meminjam uang kepada Para Penggugat sebesar Rp.

41.500.000,- (empat puluh satu juta lima ratus ribu rupiah).

 Bahwa Para Tergugat dalam bantahannya mengatakan hanya menerima uang dari Para Penggugat sebesar Rp. 21.500.000,- (dua puluh satu juta lima ratus ribu rupiah) dan bukan sebesar Rp. 41.500.000,- (empat puluh satu juta lima ratus ribu rupiah). Sebagaimana bukti transferan dari Para Penggugat sebesar Rp. 21.500.000,- (dua puluh satu juta lima ratus ribu rupiah) ke rekening BCA atas nama Tergugat II. Sehingga Surat Perjanjian Hutang yang dibuat oleh Tergugat I, Tergugat II dan Penggugat I tidak sesuai dengan dengan apa yang di perjanjikan karena Para Tergugat pada tanggal 06 Februari 2001 tidak pernah menerima uang sebesar Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) sebagai uang sisa yang belum dibayar. Hal ini sejalan dengan keterangan saksi Eep Rusdiana, Dedi Herman, Ai Ruchyati, Lilis Sumiarsih yang menerangkan bahwa Tergugat II menerangkan kepada saksi bahwa ia hanya meminjam uang sebesar Rp.

21.500.000,- (dua puluh satu juta lima ratus ribu rupiah).

 Bahwa Para Tergugat membantah dalil gugatan Para Penggugat yang menyatakan bahwa Para Tergugat menerima pemberian uang dari Para Penggugat guna penyelesaian permasalahan mereka di Bank, namun ditunggu- tunggu lebih dari 3 (tiga) minggu, ternyata tidak ada pemberitahuan akan penyelesaian permasalahan dari Para Tergugat, bahkan SHM No. 1437, Desa Kota Kulon, yang akan diberikan kepada Para Penggugat sebagai jaminan pelunasan hutang tidak terealisasikan, terhadap hal ini Para Tergugat dalam jawabannya menyatakan bahwa SHM No. 1437, Desa Kota Kulon atas nama Ny. Siti Rokayah, dijadikan jaminan apabila Para Penggugat mampu menolong Para Tergugat melunasi hutang Tergugat II ke Bank BRI yaitu sebesar Rp.

40.274.904,- (empat puluh juta dua ratus tujuh puluh empat sembilan ratus empat rupiah), bahwa kemudian Para Penggugat hanya memberikan uang sebesar Rp. 21.500.000,- (dua puluh satu juta lima ratus ribu rupiah). Sehingga hutang Tergugat II kepada Bank BRI tidak terbayar lunas, kemudian sertifikat tersebut baru dapat diambil dari bank BRI pada tanggal 06 Mei 2004 setelah dilunasi oleh Lilis Suminarsih (anak dari Tergugat I dan kakak kandung dari

(10)

10 Penggugat I dan Tergugat II) sebagai bukti keterangan saksi dari Lilis Suminarsih.

 Bahwa Para Penggugat dalam bukti surat yang diajukan dipersidangan yaitu telah mentransfer uang sejumlah Rp. 21.500.000,- (dua puluh satu juta lima ratus ribu rupiah) ke rekening Tergugat II, hal ini juga diperkuat dengan bukti yang diajukan oleh Para Tergugat yaitu bukti print out buku tabungan Tergugat II, dan sisanya Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) menurut dalil Para Penggugat diserahkan secara cash/tunai dengan bukti dan didukung oleh keterangan saksi Achmad Ruspianto, bahwa setelah Majelis meneliti bukti terkait dengan uang proyek karena Penggugat II mempunyai proyek pembuatan tanki, namun apakah uang tersebut berasal dari uang cash/tunai yang diserahkan oleh Para Penggugat kepada Para Tergugat sebagaimana yang didalilkan oleh Para Penggugat.

 Bahwa Tergugat II telah dengan tegas mengakui dalam jawaban duplik, saksi- saksi yang diajukan serta diperkuat dengan bukti print out buku tabungan Tergugat II bahwa Tergugat II telah menerima uang sejumlah Rp. 21.500.000,- (dua puluh satu juta lima ratus ribu rupiah) yang ditransfer oleh Para Penggugat ke rekening Tergugat II, hal ini menurut Majelis tetap harus dibayar oleh Tergugat II karena sepanjang yang diakui oleh Tergugat II dan sebagaimana bukti yang telah diajukan ke persidangan, yang pada prinsipnya hutang adalah tetap hutang dan harus dibayar oleh Tergugat II sejumlah Rp. 21.500.000,- (dua puluh satu juta lima ratus ribu rupiah).

 Bahwa dalam surat pengakuan hutang piutang antara Tergugat I, Tergugat II dan Penggugat I namun dalam gugatan perkara a quo diajukan oleh Penggugat I dan Penggugat II sebagaimana eksepsi Para Tergugat I bahwa Penggugat II tidak mempunyai hubungan hukum dalam perjanjian ini, hal ini telah dibantah oleh Para Penggugat dalam repliknya menyatakan bahwa pinjaman uang antara Para Tergugat dan Penggugat I yang uangnya berasal dari Penggugat II (suami Penggugat I) terhadap hal ini Majelis berpendapat bahwa perjanjian hanya berlaku bagi pihak-pihak yang membuat, apabila Penggugat II merasa uang yang diberikan pinjaman tersebut adalah uang dari Penggugat II mengapa Penggugat II tidak masuk sebagai pihak dalam perjanjian hutang piutang tersebut.

 Bahwa perjanjian pengakuan hutang yang ditandatangani oleh Tergugat I, Tergugat II dan Penggugat I, tidak ada saksi dan tidak diatas materai terhadap hal ini Majelis berpendapat bahwa akta yang dibuat dibawah tangan sebagaimana ketentuan Pasal 1874 KUHPerdata harus dibubuhi dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang notaris atau pejabat yang berwenang dan dilegalisasi namun tidak ada hal tersebut sehingga kekuatan pembuktiannya secara formil sangat lemah.

 Bahwa berdasarkan Surat Pengakuan Hutang tanggal 08 Oktober 2016 yang di dalilkan oleh Para Penggugat bahwa Tergugat I telah menandatangani Surat Pengakuan Hutang tersebut adalah batal demi hukum karena Surat Pengakuan Hutang tersebut ditandatangani oleh Tergugat I manakala Tergugat I sedang dalam keadaan sakit sedangkan Pihak Tergugat II dan Pihak Penggugat II tidak ikut menandatangani sehingga hakim menilai bahwa Surat Pengakuan Hutang

(11)

11 yang di buat tanggal 08 Oktober 2016 penuh dengan rekayasa dan tipu daya sehingga sangat beralasan hukum apabila Surat Pengakuan Hutang Tersebut dinyatakan batal demi hukum.

 Bahwa berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas maka hutang piutang yang terjadi antara Para Tergugat dan Para Penggugat pada tanggal 6 Februari didasarkan adanya perjanjian antara Tergugat I, Tergugat II dan Penggugat II dan surat pengakuan hutang tanggal 8 Oktober 2016 tidak memenuhi syarat- syarat sah perjanjian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata sehingga menurut Majelis perjanjian tersebut batal demi hukum.

 Bahwa dalam perkara ini yang digugat oleh Para Penggugat adalah Tergugat I yang merupakan Ibu kandung dari Penggugat I yang secara nyata dan tegas telah diakui kebenarannya oleh masing-masing pihak selama proses persidangan perkara ini, yang artinya Ibu mertua dari Penggugat II.

 Bahwa menurut norma yang hidup dalam masyarakat indonesia baik norma yang karena sumbernya seperti norma agama, kesopanan, kesusilaan dan hukum maupun norma yang berdasarkan daya mengikatnya antara lain cara, kebiasaan, tata kelakuan dan adat istiadat bahwa seorang anak harus menghormati dan berbakti kepada orangtuanya.

Berdasarkan pertimbangan hakim diatas penulis menyimpulkan bahwa perbuatan Para Penggugat dalam hal ini tidak dapat membuktikan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Para Tergugat termasuk perbuatan wanprestasi terhadap perjanjian hutang piutang yang isi perjanjian hutang piutang tersebut didalilkan oleh Para Penggugat bahwa hutang yang dipinjam oleh Para Tergugat sebesar Rp. 41.500.000,- (empat puluh satu juta lima ratus ribu rupiah) namun yang diterima oleh Para Tergugat sebesar Rp. 21.500.000,- (dua puluh satu juta lima ratus ribu rupiah). Namun dalam pembuktian Para Penggugat tidak bisa membuktikan bahwa uang sisa sebesar Rp.

20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) telah dibayar cash/tunai oleh Para Penggugat.

Walaupun dalam perjanjian hutang piutang yang dibuat oleh Para Penggugat dan Para Tergugat dituliskan Rp. 41.500.000,- (empat puluh satu juta lima ratus ribu rupiah) tetapi yang diterima oleh Para Tergugat bukan sebesar yang diperjanjikan sehingga perbuatan Para Tergugat tidak dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan wanprestasi karena unsur dalam Pasal 1320 KUHPerdata persyaratan ke-3 dan ke-4 mengenai unsur suatu hal tertentu dan suatu sebab (causa) mengenai perjanjian hutang piutang ini dinyatakan batal demi hukum yang unsur obyektif nya tidak terpenuhi. Dalam hal ini perbuatan Para Tergugat walaupun dalam perjanjian hutang piutang dinyatakan batal demi hukum namun Para Tergugat tetap dinyatakan berhutang sebesar yang dipinjam dari Para Penggugat sebesar Rp. 21.500.000,- (dua puluh satu juta lima ratus ribu rupiah) dan harus membayar sejumlah yang dipinjam dari Para Penggugat.

D. Penutup

1. Kesimpulan

a. Perbuatan Tergugat dalam putusan tersebut yang didalilkan oleh Para Penggugat karena Para Tergugat berhutang uang sebesar Rp. 41.500.000,- (empat puluh satu juta lima ratus ribu rupiah) yang belum dikembalikan serta jaminan hutang berupa Sertifikat Hak Milik Nomor 1437 yang tidak diserahkan kepada Para Penggugat.

Hal tersebut menjadi dasar bagi Para Penggugat bahwa perbuatan Para Tergugat

(12)

12 dapat diklasifikasikan melakukan perbuatan wanprestasi jika tidak memenuhi perikatan yaitu debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan, debitur terlambat memenuhi perikatan, debitur keliru atau tidak pantas memenuhi perikatan.

b. Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan. Pertimbangan hakim dalam putusan tersebut perbuatan Para Tergugat tidak dapat diklasifikasikan melanggar perbuatan wanprestasi karena perjanjian tersebut dinyatakan batal demi hukum oleh Majelis Hakim karena jumlah hutang yang ditulis dalam perjanjian dengan yang diterima oleh Para Tergugat tidak sama. Walaupun tidak dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan wanprestasi namun Para Tergugat tetap wajib untuk mengembalikan sejumlah hutang yang telah diterima oleh Para Tergugat.

2. Saran

Hendaknya perjanjian dalam hutang piutang itu dijalankan sebagaimana mestinya karena perjanjian ini dibuat berdasarkan kehendak para pihak dan dijadikan sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Selain dalam putusan tersebut perjanjian hutang piutang ini dalam lingkup keluarga yang dibuat antara ibu dengan anaknya.

Sehingga sudah sepatutnya bahwa kewajiban seorang anak apabila orang tua meminta bantuan maka sebagai seorang anak kita membantu permasalahannya.

(13)

13 DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Gunawan Widjaja, 2003, Seri Pemahaman Perseroan Terbatas: 150 Tanya Jawab tentang Perseroan Terbatas, Jakarta: Forum Sahabat.

Mukti Arto, 2004, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum, edisi Revisi, Jakarta: Kencana Prenada Media Groub.

Poerwardaminto, 2003, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

R. Subekti, 1979, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa.

..., 2008, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Intermasa.

Satjipto Rahardjo, 2007, Hati Nurani Hakim dan Putusannya: Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence) Kasus Hakim Bismar Siregar, Bandung:

PT Citra Aditya Bakti.

Soejono dan Abdurrahman, 1999, Metode penelitian: Suatu Pemikiran dan Penerapan, Jakarta:

Rineka Cipta.

Subekti dan Tjitrosudibio, 2003, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita.

Wirjono Prodjodikoro, 2000, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Bandung: Mandar Maju.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

JURNAL

A Salman Maggalatung, Hubungan Antara Fakta, Norma, Moral dan Doktrin Hukum dalam Pertimbangan Putusan Hakim, Jurnal Cita Hukum, Volume II, Nomor 2, Desember 2014.

Bambang Sutiyoso, Implementasi Gugatan Legal Standing dan Class Action dalam Praktik Peradilan di Indonesia, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Volume 26, Nomor 11, Mei 2004.

Busyro Muqaddas, Mengkritik Asas-Asas Hukum Acara Perdata, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Volume 20, Nomor 9, Juni 2002.

Edi Rosadi, Putusan Hakim yang Berkeadilan, Jurnal Badamai Law, Volume 1, Nomor 1, April 2016.

Firman Floranta Adonara, Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara Sebagai Amanat Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 2, Juni 2015.

Jon Hendri dan Khoiri, Tinjauan Yuridis terhadap Wanprestasi dalam Hal Hutang Piutang, Jurnal Cendekia Hukum Volume 3, Nomor 2, Maret 2018.

Josef M Monteiro, Putusan Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Jurnal Hukum Pro Justisia, Volume 25, Nomor 2, April 2007.

Khairul Aswadi, Ratio Decidendi Hakim dalam Memutus Perkara Wanprestasi (Studi Kasus Putusan Nomor: 107/PDT.G/2017/PN.MTR), Jurnal Unizar Law Review, Volume 1, Nomor 1, Juni 2018

(14)

14 Sedyo Prayogo, Penerapan Batas-Batas Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum dalam Perjanjian, Jurnal Pembaharuan Hukum, Volume III, Nomor 2, Mei- Agustus 2016.

Taufik Siregar, Isnaini, dan Jandrias Tarigan, Tinjauan Yuridis terhadap Hubungan Hukum Karena Wanprestasi di dalam Hutang Piutang (Studi Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.05/Pdt.G/2007/PN.LP), Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, Volume 1, Nomor 2, Desember 2014.

Referensi

Dokumen terkait

Pasal 2 Ayat (1) : Yang dimaksud dengan jasa pelayanan Kemetrologian adalah keseluruhan tindakan yang dilakukan oleh pegawai yang berhak terhadap alat-alat UTTP dalam

Oleh karena itu, pengurus koperasi dituntut untuk memahami kondisi agribisnis dan memiliki jiwa kewirausahaan sehingga dia dapat melihat usaha koperasinya sebagai

Program persiapan pranikah diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan optimisme peserta mengenai kehidupan pernikahan.Utamanya, diharapkan setelah mengikuti program,

Lampiran diperlukan bila terdapat informasi yang diperlukan baik bersifat melengkapi maupun menjelaskan tetapi tidak perlu dimasukkan dalam bagian isi tugas akhir, seperti :

penggolongan peserta didik berdasarkan karakteristik mereka masing-masing dengan mengkondisikan peserta didik demikian, maka peserta didik akan lebih mudah dalam

riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit terdahulu, diagnosis masuk, diagnosis utama/ akhir, diagnosis komplikasi, dan diagnosis lain serta tindak lanjut tidak

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa: (1) cara dan tata ungkap wimba pada relief Monumen Simpang Lima Gumul Kediri menggambarkan waktu, ruang, penggambaran

Total Biaya yang terjadi pada rencana produksi berdasarkan simulasi kebutuhan produksi dengan target. produksi 50% pada perulangan ketiga