• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kehidupan Sosial Ekonomi Nelayan Desa Bagan Percut Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang (Studi Kemiskinan Keluarga Nelayan Desa Bagan Percut)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Kehidupan Sosial Ekonomi Nelayan Desa Bagan Percut Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang (Studi Kemiskinan Keluarga Nelayan Desa Bagan Percut)"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI NELAYAN DESA BAGAN PERCUT KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG

(Studi Kemiskinan Keluarga Nelayan Desa Bagan Percut)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Universitas Sumatera Utara Oleh:

Nama: Afrianty Sitorus NIM: 130902110

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(2)

KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI NELAYAN DESA BAGAN PERCUT KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG

(Studi Kemiskinan Keluarga Nelayan Desa Bagan Percut)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Universitas Sumatera Utara

Oleh

Nama: Afrianty Sitorus NIM: 130902110

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(3)

Judul Skripsi : KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI NELAYAN DESA BAGANPERCUT KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG (Studi Kemiskinan Keluarga Nelayan Desa Bagan Percut)

Nama : Nama: Afrianty Sitorus NIM : 130902110

Departemen/Prodi : Ilmu Kesejahteraan Sosial

Menyetujui, DOSEN PEMBIMBING

Drs. Bengkel Ginting, M. Si NIP: 19630103 198903 1 003

KETUA DEPARTEMEN

Agus Suriadi, S. Sos, M. Si NIP: 19670808 199403 1 004

DEKAN FISIP USU

Dr. Muryanto Amin, S. Sos, M. Si NIP: 19740930 200501 1 002

(4)

Kehidupan Sosial Ekonomi Nelayan Desa Percut (Dusun Bagan) Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang

ABSTRAK

Latar belakang penulisan ini berangkat dari kehidupan masyarakat nelayan di Indonesia khususnya nelayan tradisional yang selalu di identikkan dengan kemiskinan. Ditengah kondisi laut Indonesia yang menyediakan potensi yang begitu besar, terdapat kenyataan pahit dimana masyarakat nelayan belum juga bisa keluar dari lingkaran kemiskinan. Kondisi demikian merupakan kenyataan yang tidak dapat di pungkiri sehingga perlu untuk diteliti mengenai kehidupan sosial ekonomi nelayan dan faktor yang menyebabkan kemiskinan tersebut.

Penelitian ini dilakukan di dusun Bagan Desa Percut Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Bagan merupakan sebuah Dusun yang berada di desa Percut kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Lokasi ini menjadi tempat penelitian karena wilayah ini merupakan wilayah pesisir yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kehidupan sosial ekonomi nelayan khususnya nelayan tradisional di dusun Bagan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Informan dalam penelitian ini terbagi menjadi 3 bagian, yaitu informan utama, informan kunci dan informan tambahan.

Informan utama yaitu terdiri dari 2 orang nelayan pencari kerang dan 1 orang nelayan jaring gembung. Informan kunci yaitu istri nelayan dan anak nelayan.

informan tambahan yaitu toke kerang dan kepala dusun 18. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi partisipatif dan wawancara mendalam.

Berdasarkan data yang telah diperoleh dari lapangan dan di analisis maka kehidupan sosial ekonomi masyarakat nelayan tergolong miskin. Hal tersebut dikarenakan kehidupan nelayan tradisional sepenuhnya bergantung pada hasil tangkapan yang diperoleh dari laut. Kondisi miskin pada nelayan tradisional di Bagan Percut dapat terlihat dengan jelas melalui keadaan rumah yang kurang layak, pendapatan nelayan yang tidak menentu, anak-anak nelayan yang mengalami putus sekolah akibat orangtua tidak sanggup menyekolahkan. Kondisi demikian bukanlah suatu keadaan yang otomatis terjadi pada kehidupan nelayan tradisional melainkan terdapat berbagai hal yang menyebabkannya sebagai berikut: kebiasaan nelayan yang menghabiskan penghasilan sehari untuk kebutuhan sehari, gaya hidup boros/ tidak menabung, keterbatasan kemampuan modal usaha, keterbatasan kualitas sumber daya manusia, sistem pemasaran hasil tangkapan, dampak negatif program struktural pemerintah dan termasuk kondisi alam.

(5)

Social-Economics Life of Fisherman in the Percut Village (Bagan Village) Percut Sei Tuan Sub-district Deli Serdang Districts

ABSTRACK

Background of this writing departs from the life of fishermen community in Indonesia, especially traditional fishermen who always in identical with poverty.

Indonesia's marine conditions that provide such a huge potential, in fact there is a bitter reality where fishing communities have not been able to get out of the circle of poverty. Such a condition is a reality that can not be denied so it is necessary to be studied about the socio-economic life of fishermen and the factors that cause the poverty.This research was conducted in Bagan Village Percut Village Percut Sei Tuan Sub-district Deli Serdang Districts. Bagan is a village located in Percut village, Percut Sei Tuan, Deli Serdang District.This location is a place of research because this region is a coastal area that the majority of the population livelihood as fishermen. The purpose of this study is to find out how the social life of the fisherman's economy, especially the traditional fishermen in Bagan Village. This research uses qualitative research method with case study approach. Informants in this study are divided into 3 parts, namely the main informants, key informants and additional informants. The main informant consisted of 2 fishermen and 1 Fisherman nets of bloated fish. Key informants are fishermen's wife and fisherman's son. Additional informants is Skipper shells and head of Village 18.

Data collection techniques were conducted with participative observation and in- depth interviews. Based on the data that have been obtained from the field and in the analysis of the socio-economic life of the fishing community is poor. This is because the traditional fishing life is entirely dependent on the catch obtained from the sea.The poor condition of traditional fishermen in Bagan Percut can be seen clearly through the condition of less decent housing, uncertain fishermen's income, fishermen children who have dropped out because parents can not afford to send their children to school.Such a condition is not an automatic situation in the life of traditional fishermen but there are various things that cause it as follows: the habit of fishermen who spend a day's income for daily needs, extravagant / non-saving lifestyles, limited capital capabilities, limited human resource quality, Marketing of the catch, the negative impacts of the government's structural program and including the natural conditions.

Keywords: Poverty, Fisherman, Socio-Economic Life, Income.

(6)

KATA PENGANTAR

Segala kemuliaan bagi Allah Yang Kudus dalam kasih dan keadilan-Nya.

Allah yang murah hati dan panjang sabar dalam membimbing saya selama penyelesaian tugas skripsi untuk terus berpengharapan kepada-Nya. Oleh karena anugerah-Nya sematalah saya dapat menyelesaikan tugas saya sebagai mahasiswa S1 di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Saya sangat bersyukur oleh bimbingan-Nya melalui doa, firman-Nya serta dukungan orang-orang di sekeliling saya, dalam proses yang panjang ini Ia menyatakan kehendak-Nya dalam mengarahkan saya sebagai mahasiswa yang tunduk dan takut akan Allah.

Dalam pengerjaan skripsi ini, saya sadar akan keterbatasan pengetahuan saya, keterbatasan dalam pengalaman dan kelemahan lainnya sebagai seorang mahasiswa. Namun hal itu tidak menghalangi saya untuk berusaha memberikan yang terbaik sebagai seorang mahasiswa. Saya juga menyadari penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari dukungan, doa dan kerja sama dari berbagai pihak, baik dukungan moral maupun materil. Oleh sebab itu saya selaku penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ibu saya N. Simanjuntak yang sudah memberikan kasih sayang dan doa serta perhatian dan kepeduliannya di dalam setiap keterbatasannya sebagai manusia tetap berusaha memberi yang terbaik, saya melihat kasih Allah didalammu. Demikian juga dengan Ayah terkasih alm B. Sitorus,

(7)

terkasih Bang Roganda Sitorus yang sudah bertanggungjawab, mengasihi, mengayomi dan mendoakan adik-adikmu, kepada kakak saya Kak Tina Sitorus dan Kak Mika Sitorus, adik-adik saya Indrianto Sitorus, Zulfri Sitorus, Nommensen Sitorus, dan Fatresia Sitorus trimakasih dukungan doanya dan kasih sayangnya sebagai sesama saudara. Kuatlah didalam satu nama, Tuhan kita yang hidup, kiranya kita menjadi keluarga yang tinggal dan hidup dalam kasih Allah.

2. Bapak Drs. Bengkel Ginting selaku dosen pembimbing skripsi akademik saya yang telah meluangkan waktu, tenaga dan fikiran untuk membimbing saya. Trimakasih pak, saya diberkati oleh integritas Bapak kepada Tuhan dan kesabaran Bapak dalam membimbing saya dan mahasiswa-mahasiswa lainnya dalam proses bimbingan skripsi. Maafkan saya apabila selama bimbingan skripsi terdapat hal yang merepotkan bapak dan mengganggu bapak, trimakasih kepada bapak dan keluarga, semoga tetap hidup dalam kasih dan anugerah Tuhan.

3. Bapak Dr. Runtung Sitepu, SH, M. Hum, selaku rektor Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos, M. Si Selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Agus Suriadi S. Sos, MSP selaku ketua Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

6. Seluruh dosen dan pegawai Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial serta dosen dan pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

(8)

Sumatera Utara, trimakasih untuk jasa dan bibingannya selama saya menjadi mahasiswa dan sampai menyelesaikan skripsi ini.

7. Terimakasih untuk SERERA AUKSANO ( kak Margaret, kak Eny, kak Rossy dan afri, serta kakak ter kece kak Rina Marira Hutagaol S. Ikom heheh...) yang sudah bertumbuh bersama dalam kasih dan iman kepada Tuhan Yesus. Terimakasih untuk 4 tahun kurang lebih perkuliahan kita lalui bersama, jatuh dan bangunnya itu semua baik maka Tuhan ijinkan, bersyukur kepada Tuhan yang sudah mengerjakan segala-galanya di dalam kita. Tetap tinggal dan berbuah dalam iman kepada Yesus ya saudari-saudariku, biar Allah yang terus dimuliakan dalam hidup kita.

8. Terimakasih kepada kak Mutiara dan kak Kristani yang sudah berdoa dan mendukung saya selama penulisan skripsi. Demikian juga kepada omi dan ema seperjuangan skripsi, tetap semangat ema dan jaga kesehatan.

Kepada kak Susi dan Kak Beta yang sudah berdoa dan mengingatkan saya dengan kasih untuk terus mempersembahakn skrisi bagi kemuliaan Tuhan. Trimakasih juga untuk Kak Jessica dan Kak Lisa yang sudah memfasilitasi Wifi bagi saya ketika memerlukan internet dalam mengerjakan skripsi di rumah Sei Putih, heheh.. Terimakasih untuk kasih sayang dan bimbingan serta doa dari kakak-kakak, diberkati dan semakin diteguhkan dalam iman kepada Tuhan melalui kehidupan kalian.

9. Kepada adik-adik satu kos di Berdikari 52, Risma, Vivi, Ruth, Octaviana, Riris, Sari, Desi, Kristin, Sherin, Maya, Putri, Siti, dan yang lainnya.

Terimakasih untuk dukungan doa dan meminjamkan kartu perpus untuk meminjam buku dek. Semoga tetap dalam perlindungan Tuhan dan

(9)

semangat kuliahnya ya! cepat nyusul kakak tapi tetap nikmati saja proses dalam menjalaninya, semua ada waktunya dek.

10. Terimakasih kepada teman satu dosen pembimbing Monides Sagala, terimakasih untuk kesabaranmu dan maaf sering buat menunggu untuk jumpa dosen. Semangat untuk kedepannya, Tuhan punya rencana yang baik.

11. Terimakasih juga kepada Maylyn yang sudah mendukung doa maupun semangat kepada penulis dan kepada Andres Junior yang sama-sama mengerjakan di perpustakaan daerah tetap semangat ya, kerjakan cepat- cepat biar segera jadi alumni. Tuhan pasti menolong dan buka jalan, minta aja sama Tuhan. Demikian juga Martianus, Raianto, Valiant, dan yang lain tetap semangat ya. Kepada seluruh teman-teman Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial angkatan 2013 dan adik-adik junior.

12. Kepada orang-orang yang tidak disebutkan namanya yang sudah mendukung dan membantu saya dalam doa dalam menyelesaikan skrisi ini, saya ucapkan terimakasih. Kiranya kasih dan anugerah Allah tetap dalam hidup kita semuanya dan kembali untuk kemuliaan Allah.

13. Kepada seluruh informan di Bagan Percut, terimakasih untuk waktu yang sudah diluangkan dan keramahannya menyambut saya dan juga kepada Ibu Rabita yang sudah menghidangkan makanan berbuka puasa, semoga bapak dan ibu semuanya dalam perlindungan Allah dan ridho Allah menyertai. Terimakasih kepada Bapak Irwansyah Pohan yang sudah dengan ramah dan ketulusan memberikan tumpangan bagi saya selama 3

(10)

hari 2 malam menginap di rumahnya, kiranya ridho Allah menyertai dan anak-anak bapak dan ibu beroleh pengetahuan dan kehidupan yang baik.

Medan, Agustus 2017

Penulis

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 9

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 9

1.4 Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nelayan ... 12

2.1.1 Pengertian Nelayan ... 12

2.2.2 Klasifikasi Nelayan ... 13

2.2 Karakteristik Sosial Masyarakat Pesisir ... 16

2.3 Sosial Ekonomi ... 20

2.3.1 Permukiman Nelayan ... 22

2.3.2 Pendapatan Nelayan ... 23

2.3.3 Pendidikan Nelayan ... 24

2.3.4 Interaksi Sosial ... 24

2.4 Kemiskinan Nelayan ... 25

2.5 Akar Kemiskinan Nelayan ... 27

2.6 Pengertian Kemiskinan ... 29

2.7 Indikator Kemiskinan ... 30

2.8 Konsep Penelitian ... 34

2.9 Defenisi Konsep ... 36

BAB III METODE PENELITIAN 3.1Tipe Penelitian ... 38

3.2 Lokasi Penelitian ... 38

3.3 Subjek Penelitian ... 39

3.4 Unit Analisis dan Informan Penelitian ... 39

3.5 Teknik Pengumpulan data ... 40

3.6 Teknik Analisis Data ... 42

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Lokasi Penelitian ... 43

4.2 Letak Geografis ... 44

4.3 Struktur Pemerintahan ... 46

4.4 Keadaan Penduduk ... 47

4.4.1 Struktur Penduduk Menurut Agama ... 48

4.4.2 Struktur Penduduk Menurut Mata Pencaharian ... 49

4.5 Etnik dan Buadaya Desa Percut ... 50

4.6 Kondisi Fasilitas dan Utilitas ... 51

(12)

4.6.1.1 Sarana Pendidikan ... 51

4.6.1.2 Sarana Kesehatan ... 52

4.6.1.3 Sarana Ibadah ... 53

4.6.2 Kondisi Utilitas ... 53

4.6.2.1 Kondisi Srana Jalan ... 53

4.6.2.2 Kondisi Sarana Jembatan... 54

4.7 Visi dan Misi Kabupaten Deli Serdang ... 54

4.7.1 Visi Kabupaten Deli Serdang ... 54

4.7.2 Misi Kabupaten Deli Serdang ... 55

BAB V ANALISIS DATA 5.1 Hasil Temuan ... 57

5.1.1 informan Utama I ... 57

5.1.2 informan Utama II ... 61

5.1.3 informan Utama III ... 66

5.1.4 informan Kunci I ... 71

5.1.5 informan Kunci II ... 74

5.1.6 informan Kunci III ... 76

5.2 Analisis Data ... 77

5.2.1 Pola Kehidupan sehari-hari Keluaraga Nelayan Tradisional ... 77

5.2.1.1 Permukiman Nelayan ... 81

5.2.1.2 Pendapatan Nelayan ... 83

5.2.1.3 Pendidikan Nelayan ... 85

5.2.1.4 Interaksi Sosial ... 88

5.2.2 Kehidupan Sosial Ekonomi Keluaraga Nelayan Tradisional ... 89

5.3 Kemiskinan Nelayan ... 90

5.3.1 Faktor-faktor yang Menyebabkan Kemiskinan Nelayan ... 94

5.3.1.1 Faktor Internal Nelayan ... 94

a. Kondisi Fisik ... 94

b. Keterbatasan Kualitas SDM Nelayan Tradisional ... 94

c. Mental Emosional ... 95

d. Keterbatasan Kemampuan Modal Usaha dan Teknologi ... 97

e. Gaya Hidup Boros ... 98

5.3.2 Faktor Eksternal Kemiskinan Nelayan ... 99

a. Sistem Pemasaran Hasil Perikanan ... 99

b. Dampak Sosial Negatif Program Struktural ... 100

c. Kondisi Alam ... 101

BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan ... 103

6.7 Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA ... 106

(13)

DAFTAR TABEL

1. Jumlah Penduduk menurut jenis kelamin di dusun Bagan ... 48

2. Jumlah Penduduk menurut Agama di Desa Percut tahun 2015 ... 49

3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian di Desa Percut ... ... 49

4. Sarana Pendidikan yang terdapat di desa Percut tahun 2016 ... 52

5. Jumlah Pelayanan Kesehatan yang Tersedia di Desa Percut ... 52

6. Jumlah sarana ibadah yang Terdapat di Desa Percut ... 53

7. Kondisi panjang jalan berdasarkan jenisnya di Desa Percut tahun 2015 .. 54

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Nelayan merupakan suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budi daya. Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya. Imron dalam (Mulyadi, 2005:7)

Secara geografis, masyarakat nelayan hidup, tumbuh dan berkembang di kawasan pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara darat dan laut (Kusnadi, 2009). Potensi sumber daya kelautan dan perikanan Indonesia yang sangat besar dapat dikatakan yang terbesar di dunia, sangatlah kontradiktif dengan realitas yang terjadi saat ini dimana 98,7 % nelayan Indonesia termasuk kategori nelayan kecil dan 25,14 % penduduk miskin Indonesia adalah nelayan (Ono, 2015:27).

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia mempunyai panjang pantai 81.000 km dan memiliki 17.508 buah pulau serta dua pertiga dari luar wilayahnya berupa perairan laut yang terdiri dari laut pesisir, laut lepas, teluk dan selat yang luasnya 3,1 juta km2 (Dendi, 2005:1). Indonesia memiliki potensi perikanan yang besar serta mempunyai hak pengelolaan dan pemanfaatan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sekitar 2,7 juta km2 sehingga luas wilayah laut yang dapat dimanfaatkan sumberdaya alam hayati dan non hayati di perairan yang luasnya sekitar 5,8 juta ton per tahun (Nikijuluw, 2002: 15).

(15)

Laut dapat berfungsi sebagai sumber kehidupan, penyediaan makanan, obat-obatan dan bahan-bahan material. Laut juga sebagai media transportasi dan komunikasi sehingga akan mempunyai kontribusi dalam perdagangan dan pertumbuhan ekonomi. Ahmad, 1996: Dahuri, dalam (Sugandi, 1996).

Potensi lestari total ikan laut terdapat 7,5 persen (6,4 juta ton/tahun) dari potensi dunia berada di perairan laut Indonesia. Selain itu, berkisar 24 juta hektar perairan laut dangkal Indonesia cocok untuk usaha budi daya laut seperti budi daya ikan kakap, ikan kerapu, teripang, rumput laut, dan biota laut lainnya yang bernilai ekonomis tinggi, dengan potensi produksi 47 juta ton/tahun. Secara keseluruhan nilai ekonomi total dari produk perikanan dan produk bioteknologi perairan Indonesia diperkirakan mencapai 82 miliar dolar AS per tahun.

Berdasarkan potensi ini, masyarakat Indonesia yang kebanyakan hidup di wilayah pesisir terkhususnya nelayan sewajarnya memiliki tingkat kualitas hidup yang baik dan sejahtera.

Namun, kekayaan alam Indonesia tidak cukup mampu membuat masyarakatnya luput dari ancaman kemiskinan. Kemiskinan menjadi agenda nasional yang terus dikaji secara konsisten oleh pemerintah, menyangkut kehidupan masyarakat miskin baik di perkotaan, pedesaan hingga ke daerah pesisir. Sebagai masalah global, kemiskinan sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup.

Suatu ironi bagi negara maritim seperti Indonesia adalah masyarakat nelayannya merupakan golongan masyarakat paling miskin di Asia bahkan dunia (Suara Pembaruan, 18 November 2005). Walau data agregatif dan kuantitatif yang terpercaya tidak mudah diperoleh, pengamatan visual atau langsung ke kampung-

(16)

kampung nelayan dapat memberikan gambaran yang jauh lebih gamblang tentang kemiskinan nelayan ditengah kekayaan laut yang begitu besar. Pemandangan yang sering dijumpai di perkampungan nelayan adalah lingkungan hidup yang kumuh serta rumah-rumah yang sangat sederhana. Kalaupun ada beberapa rumah yang menunjukkan tanda-tanda kemakmuran (misalnya rumah yang megah dan berantena parabola), rumah-rumah tersebut umumnya dipunyai oleh pemilik kapal, pemodal, atau rentenir yang jumlahnya tidak signifikan dan sumbangannya kepada kesejahteraan komunitas sangat tergantung pada individu yang bersangkutan. (Zainul, 2007: 36)

Nelayan teridentifikasi sebagai golongan miskin, dimana sedikitnya 14,58 juta jiwa atau sekitar 90% dari 16, 2 juta jumlah nelayan di Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan. Padahal negara Indonesia adalah negara bahari yang pulau-pulaunya dikelilingi oleh lautan yang didalamnya terkandung berbagai potensi ekonomi khususnya di bidang perikanan, namun sampai saat ini kehidupan nelayan tetap saja masih berada dalam jurang kemiskinan.

(Martadiningrat dalam Antara, 2008:1)

Berdasarkan data Survei Sosial dan Ekonomi Nasional 2013 (Badan Pusat Statistik) diketahui bahwa 2,2 persen rumah tangga di Indonesia memiliki kepala rumah tangga berprofesi sebagai nelayan. Jumlahnya sekitar 1,4 juta kepala rumah tangga nelayan. Rata-rata jumlah anggota rumah tangga di Indonesia sekitar empat orang. Maknanya, ada sekitar 5,6 juta penduduk Indonesia yang kehidupannya bergantung kepada kepala rumah tangga yang berprofesi sebagai nelayan. Sebagian besar nelayan tinggal tersebar di 3.216 desa

(17)

yang terkategori sebagai desa nelayan (mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan).

Masyarakat nelayan dikategorikan sebagai masyarakat miskin dengan indikasi bahwa tingkat perekonomiannya masih lemah karena tingkat pendapatan yang rendah, kualitas hidupnya rendah, kesejahteraan sosial rendah, dan hidup dalam kesulitan. Nelayan terjebak dalam perangkap kemiskinan yang pelik, tidak memiliki akses yang memadai terhadap pendidikan dan kesehatan. Nelayan juga kesulitan mendapatkan akses kredit karena sebagian besar bank beranggapan bahwa pinjaman bagi nelayan berisiko tinggi (survei Lembaga Demografi di Sulawesi Utara, 2014).

Kemiskinan masyarakat pesisir bersifat multi dimensi dan disebabkan oleh tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat antara lain kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, infrastruktur (DKP, 2005:10).

Disamping itu kurang kesempatan berusaha, kurangnya akses terhadap informasi teknologi dan permodalan, budaya dan gaya hidup yang cenderung boros, menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah. Pada saat yang sama, kebijakan pemerintah selama ini kurang berpihak pada masyarakat pesisir sebagai salah satu pemangku kepentingan diwilayah pesisir. (Zainul, 2007:37).

Pendapatan nelayan diperkirakan menjadi lebih kecil dengan adanya krisis ekonomi yang telah melanda bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan karena meningkatnya biaya operasional dari tahun sebelumnya, sementara depresiasi nilai rupiah terhadap dollar Amerika tidak dinikmati oleh nelayan kecil karena pangsa pasar nelayan tradisional ini masih terfokus dalam negeri. Hal berbeda justru dialami pengusaha perikanan yang berorientasi ekspor, dimana nilai produksi

(18)

perikanan mengalami peningkatan karena adanya depresiasi rupiah terhadap dollar.

Tingkat pendapatan nelayan dapat diketahui dengan melihat proporsi produksi ikan dengan jumlah nelayan per hari. Indonesia memiliki proporsi produksi ikan lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain, seperti Rusia (140 kg/nelayan/hari), Jepang (75 kg/nelayan/hari), USA (100 kg/nelayan/hari) dan Norwegia (98 kg/nelayan/hari) sedangkan Indonesia (5,5 kg/nelayan/hari) Dahuri, 2005: 18 dalam. Kondisi semakin diperparah lagi dengan kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). Hal ini dapat dilihat dari berita berbagai media massa yang menggambarkan penderitaan para nelayan akibat kenaikan BBM tersebut. Banyak nelayan yang berhenti melaut sejak pemerintah menaikkan harga BBM. (Zainul, 2007: 38)

Menurut data, jumlah nelayan di Sumatera Utara sekitar 321.000 orang yang tersebar di 13 kabupaten dan kota, dari jumlah tersebut nelayan tradisional mencapai 70 persen, nelayan menengah 20 persen dan nelayan skala besar 10 persen. Berarti, nelayan yang termarginalkan adalah sekitar 70 persen dari jumlah nelayan (sekitar 224 ribu lebih) nelayan masih berada di bawah garis kemiskinan (BPS Sumut, 2009).

Kabupaten Deli Serdang sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara menunjukkan jumlah penduduk miskin mulai tahun 2009 - 2010 mengalami penurunan. Dari 94.800 jiwa (5,7%) menjadi 91.440 (5,17%).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2016) Kabupaten Deli Serdang memiliki luas wilayah 4.339 km2 yang terbagi dalam 33 kecamatan dan 617 desa/kelurahan, dan dihuni oleh berbagai ragam etnik/suku, agama dan budaya, antara lain suku

(19)

karo, Melayu, Tapanuli, dan Simalungun, dll. Mata pencaharian penduduk Deli Serdang juga beragam seperti nelayan, petani/pekebun, pegawai negri, pengusaha, buruh dan sebagainya (Badan Pusat Statistik 2016).

Salah satu desa yang berada di Kabupaten Deli Serdang yang penduduknya mayoritas bermatapencaharian sebagai nelayan adalah dusun Bagan Percut. Bagan Percut terletak di wilayah kecamatan Percut Sei Tuan yang mempunyai luas 10.63 km2 yang terdiri dari sembilan belas dusun. Dengan jumlah penduduk 15.183 jiwa. Jumlah penduduk yang bermatapencaharian sebagai nelayan tersebar di desa Percut, dusun 16-18 adalah 919 nelayan (Badan Pusat Statistik, 2016). Jumlah KK dusun 16 terdapat 219 KK, dusun 17 terdapat 169 KK, dan dusun 18 terdapat 236 KK.

Secara teknologi yang digunakan di desa Bagan Percut, nelayan terbagi atas nelayan tradisional dan nelayan modern. Nelayan yang tergolong tradisional dilihat dari alat tangkap dan perahu yang digunakan, seperti yang menggunakan perahu dayung dengan alat tangkap jala, bubu/nama lain untuk nelayan yang menggunakan perahu dayung untuk menangkap kepiting dengan menggunakan perangkap/ranjau, dan pencari kerang yang menggunakan tangan. Nelayan yang menggunakan perahu dayung dengan alat tangkap jala dapat memperoleh bahan (hasil tangkapan) seperti udang dan ikan karena daya jangkau yang terbatas mengakibatkan terbatasnya pula bahan (hasil tangkapan) yang diperoleh nelayan.

Nelayan pencari kerang menggunakan tangan untuk menangkap kerang, bahan yang diperoleh hanya jenis kerang. Waktu melaut nelayan tradisional tergantung pada pasang air laut. Ketika pasang mati maka nelayan tradisional tidak dapat melaut karena air laut naik sedangkan pada saat pasang besar/timpas nelayan

(20)

tradisonal akan dapat melaut karena air laut mengalami naik dan surut sehingga aktivitas melaut dapat dilakukan.

Nelayan yang tergolong modern dapat dilihat dari perahu bermesin dan alat tangkap yang digunakan disesuaikan dengan perahu. Nelayan di Desa Bagan Percut menggunakan teknologi mesin yaitu mesin Jandong dan Dompeng dengan ukuran 22,25-30 kaki. Alat tangkap yang digunakan yaitu: pukat layang, trawel/katrol, jaring, pancing, dll. Perahu dengan mesin memiliki daya jangkau lebih luas dibandingkan dengan perahu dayung, sehingga melalui alat tangkap yang disesuaikan dengan perahu maka dapat menghasilkan jenis tangkapan lebih beragam seperti: ikan, udang, kepiting, cumi-cumi, songket, dll. Jam berangkat untuk melaut tergantung pasang air laut, biasanya nelayan berangkat pukul 05.00- 15.00 atau 12.00-08.00. Waktu untuk melaut nelayan dengan perahu bermesin dan alat tangkap modern tidak tergantung pada pasang air laut. Baik pasang mati atau pasang besar nelayan dengan perahu bermesin dan lengkap dengan alat tangkap dapat melaut.

Kehidupan masyarakat nelayan di Desa Bagan Percut sangat memprihatinkan terlihat semakin jelas sejak diterapkannya kebijakan modernisasi perikanan, untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya perikanan laut yaitu:

modernisasi melalui penggunaan motorisasi dan teknologi alat tangkap yang modern. Sehingga nelayan yang tidak memiliki modal tidak dapat mengikuti perkembangan seperti pemilikan kapal dengan peralatan modern maupun pemilikan alat tangkap yang lebih modern dan keterbatasan penggunaan teknologi.

Para nelayan besar/pemilik modal mampu bersaing sedangkan nelayan kecil dengan keterbatasan modal dan kemampuan terbatas pula untuk menunjukkan

(21)

eksistensinya. Selanjutnya berbagai program pembangunan perikanan juga tidak berpihak kepada nelayan kecil.

Kondisi sanitasi nelayan masih sangat memprihatinkan, masih terdapat beberapa rumah tangga yang tidak memiliki kamar mandi dan akses air bersih sangat terbatas. Sehingga kegiatan menyuci pakaian, mandi dan kegiatan lainnya yang membutuhkan air bersih dilakukan di sungai yang juga kondisi airnya tidak layak untuk digunakan. Di desa nelayan ini terlihat beberapa rumah yang masih terbuat dari anyaman bambu dan papan, dengan beralaskan papan dan beberapa diantaranya rumah bara karena tanah tempat rumah dibangun merupakan rawa.

Beberapa rumah seperti tidak terawat dan dipenuhi dengan barang-barang yang berantakan, di sekitar rumah nelayan akan tercium bau amis yang berasal dari hasil tangkapan dari laut yang kurang dibersihkan.

Potensi laut yang dimiliki Indonesia tidak berbanding lurus dengan kondisi kehidupan masyarakat yang hidup dan bergantung pada hasil laut. Hampir seluruh daerah nelayan di Indonesia masyarakatnya mengalami kemiskinan dan merupakan kondisi lebih rendah apabila dibandingkan dengan kehidupan petani.

Tingkat pendidikan yang rendah sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi nelayan seperti rendahnya pendapatan karena faktor pemilikan kapal maupun modal yang terbatas, sehingga berpengaruh juga terhadap kondisi permukiman yang kumuh dan rumah yang tidak layak. Beberapa perkampungan nelayan yang diketahui penulis di daerah Sumatera mengalami kondisi yang tidak jauh berbeda dengan kondisi tersebut. Kehidupan masyarakat nelayan daerah Bagan Percut lebih memprihatinkan lagi karena merupakan desa yang dekat

(22)

dengan kota Medan dan nelayan desa ini cukup memperoleh perhatian dan bantuan dari pemerintah.

Gambaran kehidupan sosial ekonomi penduduk nelayan yang buruk terlihat dengan kasat mata melalui keadaan pemukiman, rumah yang tidak layak huni, sanitasi yang tidak baik, remaja dan anak-anak yang ikut melaut sehingga putus sekolah, pernikahan usia remaja, dll. Berdasarkan kondisi tersebut peneliti tertarik untuk meneliti mengenai “Kehidupan Sosial Ekonomi Nelayan Desa Percut (Dusun Bagan) Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang”.

1.2 Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas, maka masalah penelitian dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana kehidupan sosial ekonomi nelayan tradisional desa Bagan Percut Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang?

2. Apa saja faktor yang menyebabkan terjadinya kemiskinan pada nelayan tradisional di Desa Bagan Percut?

1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui Kehidupan sosial ekonomi masyarakat nelayan di Desa Bagan Percut dan faktor yang menyebabkan kemiskinan nelayan Desa Bagan Percut.

(23)

1.3.2 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi dalam pengembangan :

1. Secara Akademis, sebagai pengembangan konsep dan teori yang berkenaan dengan kehidupan sosial ekonomi dan penyebab kemiskinan nelayan, dan dapat memberikan sumbangan positif terhadap keilmuan di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial dan menambah referensi dan kajian bagi peneliti mendatang.

2. Secara teoritis,

a. Menambah pengetahuan, pemahaman serta pengalaman tentang masalah yang diteliti.

b. Membentuk pola fikir yang dinamis serta untuk mengetahui kemampuann peneliti dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.

c. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan karya ilmiah.

3. Secara Praktis dapat digunakan sebagai bahan masukan, pertimbangan dan sebagai bahan evaluasi khususnya bagi masyarakat nelayan yang miskin serta bagi Pemerintah maupun pihak-pihak luar secara umum guna mempertimbangkan pemberian bantuan kepada nelayan.

1.4 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan akan disajikan dalam enam bab sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Pendahuluan berisikan latar belakang masalah, perumusanmasalah, tujuan, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

(24)

BAB II : TINJAUAN PUSATAKA

Bab ini berisikan uraian konsep yang berkaitan dengan masalah dan objek yang diteliti, kerangka pemikiran beserta bagannya, defenisi konsep dan defenisi operasional.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data serta teknik analisis data.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan uraian tentang gambaran lokasi penelitian, yaitu Desa Percut Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang.

BAB V : ANALISIS DATA

Berisi tentang uraian dan analisis data yang diperoleh dalam penelitian.

BAB VI : PENUTUP

Bab ini berisikan Kesimpulan dan Saran yang bermanfaat sehubungan dengan penelitian yang dilakukan.

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nelayan

2.1.1 Pengertian Nelayan

Menurut Imron dalam Mulyadi (2005: 7) Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budi daya. Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya.

Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 Tentang Revisi Undang-Undang No.

31 Tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 1 angka 10 mendefinisikan Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Sedangkan nelayan kecil (pasal 1 angka 11 UU No. 45 Tahun 2009, menyebutkan bahwa nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan paling besar berukuran 5GT (gross ton).

Ditjen Perikanan (2000) mendefinisikan nelayan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi menangkap ikan (binatang air lainnya, tanaman air). Orang yang hanya melakukan pekerjaan seperti membuat jaring, menyangkut alat-alat perlengkapan ke dalam perahu/kapal tidak dikategorikan sebagai nelayan, walaupun mereka tidak secara langsung melakukan penangkapan.

(26)

Ensiklopedi Indonesia mendefenisikan Nelayan yaitu orang yang secara aktif melakukan kegiatan menangkap ikan, baik secara langsung (seperti penebar dan pemakai jaring) maupun secara tidak langsung (seperti juru mudi perahu layar, nahkoda kapal ikan bermotor, ahli mesin kapal, juru masak kapal penangkap ikan), sebagai mata pencaharian. Merujuk pada pengertian tersebut, rumah tangga yang kegiatan utamanya bukan menangkap ikan, tetapi menggunakan ikan sebagai bahan proses produksi bukan dikategorikan sebagai rumah tangga nelayan.

Demikian para pedagang ikan sekalipun hidup di tepi pantai juga tidak tergolong dalam kategori nelayan. Nelayan berbeda dengan petani tambak. Perbedaan yang mendasar adalah nelayan memanfaatkan wilayah pesisir sebagai tempat bekerja, sedangkan petani tambak menelola daerah rawa, sungai, sawah, dan sejenisnya untuk mengelola ikan dan produk perikanan lainnya. (Mulyadi 2005: 171)

2.1.2 Klasifikasi Nelayan

Nelayan bukanlah suatu entitas tunggal, mereka terdiri dari beberapa kelompok.

1. Dilihat dari segi kepemilikan alat tangkap, nelayan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu:

a. Nelayan buruh adalah nelayan yang bekerja dengan alat tangkap milik orang lain.

b. Nelayan juragan, adalah nelayan yang memiliki alat tangkap yang dioperasikan oleh orang lain.

c. Nelayan perorangan adalah nelayan yang memiliki peralatan tangkap sendiri, dan dalam pengoperasiannya tidak melibatkan orang lain.

(Mulyadi, 2005:7)

(27)

2. Ditjen Perikanan (2002) mengklasifikasikan nelayan berdasarkan waktu yang digunakan dalam melakukan pekerjaan operasi penangkapan/

pemeliharaan, yaitu:

a. Nelayan/Petani ikan penuh, yaitu nelayan/petani ikan yang seluruh waktu pekerjaannya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan/pemeliharaan ikan/binatang air lainnya ditanaman air.

b. Nelayan/petani ikan sambilan utama, yaitu nelayan/petani ikan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan/ pemeliharaan ikan/ binatang air lainnya/ tanaman air.

c. Nelayan/ petani ikan sambilan tambahan yaitu nelayan atau petani ikan yang sebagian kecil waktu kerjanya digunkan untuk melakukan pekerjaan penangkapan/ pemeliharaan ikan/ binatang air lainnya/

tanaman air. (satria, 2015: 27).

3. Berdasarkan kepemilikan sarana penangkapan ikan, nelayan diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Nelayan Penggarap : Nelayan penggarap adalah orang yang sebagai kesatuan menyediakan tenaganya turut serta dalam usaha penangkapan ikan laut, bekerja dengan sarana penangkapan ikan milik orang lain.

b. Juragan/Pemilik : orang atau badan hukum yang dengan hak apapun berkuasa/memiliki atas sesuatu kapal/perahu dan alat-alat penangkapan ikan yang dipergunakan dalam usaha penangkapan ikan, yang dioperasikan oleh orang lain. Jika pemilik tidak melaut maka disebut

(28)

juragan/pengusaha. Jika pemilik sekaligus bekerja melaut menangkap ikan maka dapat disebut sebagai nelayan yang sekaligus pemilik kapal.

4. Penggolongan nelayan dilihat dari kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada), orientasi pasar, dan karakteristik hubungan produksi, yaitu:

a. peasant-fisher atau nelayan tradisional yang bersifat sub-sistem, alokasi hasil tangkapan yang dijual lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari (khususnya pangan) bukan diinvestasikan kembali untuk pengembangan skala usaha. (Satria, 2001)

b. post-peasant fisher, nelayan yang telah menggunakan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju seperti motor tempel atau kapal motor, beroperasi di wilayah pesisir, dan mulai berorientasi pasar. ABK tidak bergantung pada tenaga kerja keluarga.

c. Commercial fisher (nelayan komersil), nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan, teknologi penangkapan modern dan membutuhkan keahlian tersendiri untuk mengoperasikannya, dan

d. Industrial fisher, nelayan industri dengan ciri-ciri menurut Pollnac (1988) mengorganisasikan sisten agribisnis yang modern, relatif padat modal, kontribusi pendapatan yang lebih tinggi kepada pemilik dan awak, daripada yang didapat oleh nelayan tradisional, dan memproduksi ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor. (Satria, 2015: 29)

5. Berdasarkan perahu/kapal kapal penangkap yang digunakan nelayan dapat dibedakan menjadi:

a. Nelayan berperahu tak bermotor, terdiri dari:

1. Nelayan jukung

(29)

2. Nelayan perahu papan (kecil, sedang, dan besar) b. Nelayan berperahu motor tempel

c. Nelayan berkapal motor, menurut GT (Gross Ton) terdiri dari:

1. Kurang dari 5 GT 2. 5-10 GT

3. 10-20 GT 4. 20-30 GT 5. 30-50 GT 6. 50-100 GT 7. 100-200 GT 8. 200-500 GT 9. Diatas 500 GT

2.2 Karakteristik Sosial Masyarakat Pesisir

Karakteristik masyarakat pesisir dapat diuraikan secara singkat dari berbagai aspek, yaitu:

1. Sistem Pengetahuan

Pengetahuan tentang teknik penangkapan ikan umumnya didapatkan dari warisan orang tua atau pendahulu berdasarkan pengalaman empiris. Juwono dalam (Satria, 2015:16) menggambarkan penggunaan dugo-dugo oleh masyarakat nelayan di Desa Kirdowono, yaitu seutas tali dengan batu pemberat untuk mengetahui arah dan kekuatan arah dan aliran arus sekaligus kedalaman laut.

Demikian dengan sistem kalender dan penunjuk arah menggunakan rasi-rasi bintang tertentu. Juwono dalam (Satria, 2015:16) menggambarkan mereka

(30)

mengenal enam buah rasi bintang yang muncul secara bergantian sepanjang tahun, yakni: Lintang Lumbung, Lintang Waluku, lintang Wuluh, Lintang Gubuh, dan lintang Lanjar.

Pengetahuan lokal (indigenous knowledge) tersebut merupakan kekayaan intelektual mereka yang hingga kini terus dipertahankan. Dalam beberapa literatur ekonomi sumber daya, indigenous knowledge tersebut sebagai tempat sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan, seperti dalam metode RAPFISH (Rapid Appraisal for Fisheries). (Satria, 2015: 16-17)

2. Sistem Kepercayaan

Secara teologis, nelayan masih memiliki kepercayaan cukup kuat bahwa laut memiliki kekuatan magis, sehingga diperlukan perlakuan khusus dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan agar keselamatan dan hasil tangkapan semakin terjamin. Seperti tradisi sowan ke suhu atau dukun-dukun dalam rangka mendapatkan keselamatan saat melaut dan memperoleh hasil tangkapan yang baik (along). Suhu menganjurkan sebelum menangkap ikan ABK (anak buah kapal) harus menyalakan dupo atau menyan (wewangian) di sekitar kapal. Pada saat menebar jaring ke laut nelayan harus menebarkan bunga-bunga disekitar jaring.

Mereka yakin suhu berkontribusi bagi kesuksesan mereka menangkap ikan, tanpa sowan ke suhu mereka seolah-olah kurang percaya diri untuk melaut. Sebagai penghargaan pada suhu mereka memberi biasanya satu bagian pada suhu.

Demikian di Kirdowono, perawatan perahu dilakukan secara magis.

Juwono dalam (Satria, 2015: 19) menggambarkan, perahu telah dipersonifikasi seperti manusia yang bisa sakit dan harus diobati. Pengobstsn perahu dilakukan melalui kosokan atau penggoosokan melalui tahap-tahap sebagai berikut:

(31)

1. Badan perahu dan palka di dalamnya dibersihkan, dan lumut-lumut yang menempel digodok dengan sabut kelapa atau pasir hingga bersih;

2. Perahu dicuci dengan air cucian beras atau banyu leri yang direndami daun pinang (areca cathecu), alang-alang (Impererata cylindrica), dan klayu, daun galing (Vitis trifolia), abu merang padi ketan hitam, dan berlian;

3. Badan perahu dilumuri dengan sambetan, yaitu rampan rempah-rempah yang terbuat dari lempuyang, kunir adas pulasari, dan jahe. Air cucian beras dan sambetan ini didapatkan dari dukun;

4. Pemilik perahu mengadakan selamatan kecil di perahu dengan sesajian dan kemenyan disertai doa agar perahunya membawa rezeki yang besar dan terlindung dari bahaya.

Sistem kepercayaan tersebut hingga kini masih mencirikan kebudayaan nelayan. namun seiring perkembangan teologis berkat meningkatnya tingkat pendidikan atau intensitas pendalaman terhadap nilai-nilai agama, upacara-upacara tersebut bagi sebagian kelompok nelayan hanyalah sebuah ritualisme. Maksudnya suatu tradisi yang terus dipertahankan meskipun telah kehilangan makna yang sesungguhnya. Jadi, tradisi tersebut dijalankan hanya sebagai salah satu instrumen stabilitas sosial dalam komunitas nelayan. (Satria, 2015: 18-19)

3. Peran Perempuan

Aktivitas ekonomi perempuan merupakan gejala yang sudah umum bagi kalangan masyarakat strata bawah, tak terkecuali perempuan yang berstatus sebagai istri nelayan. Pollnac dalam (Satria, 2015:20) mengungkapkan pembagian kerja keluarga nelayan adalah pria menangkap ikan dan anggota keluarga yang perempuan menjual ikan hasil tangkapan tersebut. Peran perempuan ini menjadi

(32)

faktor penting dalam menstabilkan ekonomi pada beberapa masyarakat penangkap ikan karena pria mungkin menangkap ikan hanya kadang-kadang sementara perempuan bekerja sepanjang tahun. Sejalan dengan hasil penelitian Andriati dalam Kusnadi (2000), mengungkapkan salah satu stategi adaptasi yang ditempuh oleh rumah tangga nelayan dalam mengatasi kesulitan ekonomi rumah tangga adalah dengan mendorong istri mereka untuk ikut mencari nafkah. Yang lebih menarik lagi istri nelayan dominan dalam mengatur pengeluaran rumah tangga sehari-hari. (Satria, 2015: 21)

4. Posisi Sosial Nelayan

Posisi sosial nelayan menarik untuk dicermati baik secara kultural maupun struktusal. Disebabkan di kebanyakan masyarakat nelayan memiliki status yang relatif rendah. Di India, nelayan tergolong berkasta rendah Pollnac dalam (Satria, 2015: 22). Di Jepang posisi nelayan mengalami degradasi status sehingga mengalami problem regenerasi nelayan.

Rendahnya posisi sosial nelayan diakibatkan keterasingan nelayan.

Keterasingan tersebut menyebabkan masyarakat nonnelayan tidak mengetahui lebih jauh bagaimana dunia nelayan serta sedikitnya waktu dan kesempatan nelayan berinteraksi dengan masyarakat lainnya. Diakibatkan banyaknya alokasi waktu nelayan untuk kegiatan penangkapan ikan dari pada untuk bersosialisi dengan masyarakat nonnelayan yang secara geografis relatif jauh dari pantai.

Posisi sosial nelayan dapat dilihat secara politik. Sebuah tesis oleh Goodwin dalam Staria (2001), yaitu salah satu ciri nelayan kecil adalah ketidak mampuan untuk mempengaruhi kebijakan publik, akibatnya nelayan terus daam posisi dependen dan marjinal. Kapital sangat dominan dalam menentukan posisi

(33)

nelayan. semakin besar penguasaan kapital, maka semakin besar kekuasaan untuk memengaruhi proses politik. Kekuatan ekonomi atau kapital mempunyai peranan yang sangat penting dalam menentukan kehidupan politik, hukum dan sosial.

Selain tidak bisa berbuat banyak terhadap produk kebijakan yang diambil pemerintah, secara empiris nelayan juga tidak mampu berbuat banyak menghadapi praktik-praktik perikanan dan non perikanan di wilayah pesisir yang ternyata sangat mengganggu aktivitas mereka. Beberapa contoh praktik yang hingga saat ini masih terus mengganggu antara lain, praktik trawl, praktik kapal asing, dan penambangan pasir. Di Indonesia dengan mayoritas nelayan yang masih tradisional, praktik trawl masih sulit diterima, kecuali pada wilayah-wilayah tertentu yang fomasi sosialnya sudah modern, seperti di Pekalongan dan Pesisir Jawa lainnya. Terbukti dengan berkembangya cothok atau arad yang hingga saat ini relatif tak bermasalah. Berbeda dengan di Jawa, diluar Jawa (khususnya di wilayah kepulauan) kehadiran trawl sangat merugikan nelayan tradisional.

Penghasilan nelayan secara signifikan menurun seiring berkembangnya mini trawl dan sejenisnya. Namun nelayan tersebut tidak mampu menolah kehadiran trawl karena lemahnya posisi sosial mereka. (Satria, 2015: 25)

2.3 Sosial Ekonomi

Sosial ekonomi adalah kedudukan atau posisi seseorang dalam kelompok masyarakat yang ditentukan oleh jenis aktivitas ekonomi, pendidikan serta pendapatan. Dalam pembahasannya sosial dan ekonomi sering menjadi objek pembahasan yang berbeda. Dalam konsep sosiologi manusia sering disebut dengan makhluk sosial yang artinya manusia tidak dapat hidup wajar tanpa

(34)

adanya bantuan dari orang lain, sehingga arti sosial sering diartikan sebagai hal yang berkenaan dengan masyarakat. Ekonomi barasal dari bahasa Yunani yaitu oikos yang berarti keluarga atau rumah tangga dan nomos yang berarti peraturan.

Ada beberapa faktor yang dapat menentukan tinggi rendahnya keadaan sosial ekonomi seseorang dalam masyarakat yaitu :

1. Tingkat pendidikan.

2. Jenis pekerjaan.

3. Tingkat pendapatan.

4. Keadaan rumah tangga.

5. Tempat tinggal.

6. Kepemilikan kekayaan.

7. Jabatan dalam Organisasi.

8. Aktivitas ekonomi ( anonim, 2017: 1)

2.3.1 Permukiman Nelayan

Permukiman secara fisik dapat diartikan sebagai kelompok bangunan hunian dengan seluruh infrastruktur dan fasilitas pelayanan lingkungan. Untuk melangsungkan hidup, manusia berada dan tinggal dalam permukiman pada hampir seluruh waktu yang di jalani. Dalam suatu permukiman nelayan, terdapat paling sedikit wisma, karya, marga dan rekreasi. Dalam memilih tempat tinggal masyarakat tidak selalu terfokus pada kondisi rumah, tetapi lebih memperhatikan kelengkapan dari fasilitas kegiatan dan sosial di lingkungan tempat tinggal serta kemudahan aksesibilitasnya. Pola permukiman membicarakan sifat dari persebaran permukiman dengan kata lain pola permukiman secara umum

(35)

merupakan susunan sifat berbeda dari hubungan faktor-faktor yang menentukan persebaran permukiman (Djemabut dalam Lukman, 2008: 27)

Menurut Imron (2003) dalam menempati wilayahnya, masyarakat pesisir tidak berbeda dengan masyarakat yang hidup dalam kosentrasi lingkungan yang lain, yang akan menuntut tiga kebutuhan utama, yaitu sebagai berikut:

1. Suatu tempat untuk hidup, yang dapat terlindungi dari gangguan alam sekitar.

2. Tempat untuk melaksanakan kegiatan kerjanya untuk mencari nafkah guna menjamin eksistensi kelangsungan hidupnya.

3. Tempat yang dapat dipenuhi kebutuhan kehidupannya sehari hari.

Penelitian tentang permukiman nelayan pernah dilakukan oleh Poedjiastoe dan Karmilah (2007) di kawasan permukiman nelayan Bandengan Kabupaten Kendal. Hasil penelitian rnenunjukkan bahwa pemenuhan terhadap sarana sanitasi dasar tergolong masih buruk. Hal ini dapat dilihat dari kondisi rumah yang belum memenuhi kriteria rumah sehat, kebiasaan masyarakat dalam buang air besar masih di sungai atau laut karena tidak memiliki jamban, pengelolaan limbah cair belum dilakukan dengan baik karena masih banyak penggenangan air limbah dari rumah tangga di pekarangan rumah dan saluran drainase permanen tertutup sampah, sampah rumah tangga juga belum dikelola dengan baik, karena sampah masih dibuang di sembarang tempat, di selokan, di pekarangan rumah dan di sungai. (Lukman, 2008:29)

Penelitian lain adalah penelitian yang dilakukan oleh Marwasta dan Priyono (2007) dengan judul Analisis Karakteristik Permukiman Desa-desa Pesisir di Kabupaten Kulonprogo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

(36)

karakteristik permukiman berhubungan secara signifikan dengan kondisi sosial ekonomi penduduk dan kondisi fisik lingkungan permukiman, dimana semakin tinggi kondisi sosial ekonomi semakin baik tipe permukimannya. (Lukman, 2008:

30)

2.3.2 Pendapatan Nelayan

Pendapatan adalah jumlah penghasilan yang diterima oleh penduduk atas prestasi kerjanya selama satu periode tertentu, baik harian, mingguan, bulanan ataupun tahunan.

Menurut teori Milton Friedman bahwa pendapatan masyarakat dapat digolongkan menjadi dua, yaitu pendapatan permanen dan pendapatan sementara.

Pendapatan permanen diartikan sebagai pendapatan yang selalu diterima pada periode tertentu dan dapat diperkirakan sebelumnya, sebagai contoh adalah pendapatan dan upah, gaji.

Pendapatan merupakan variabel yang secara langsung mempengaruhi apakah seseorang atau sekelompok orang akan mampu atau tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya agar dapat hidup secara layak sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat. Anggapan tersebut mudah dipahami bahkan diterima, mengingat pendapatan dapat digunakan sebagai alat untuk memperoleh barang dan jasa yang dibutuhkan agar seseorang atau sekelompok orang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. (Siagian, 2012:69)

Pendapatan nelayan tradisional cukup bervariasi, pendapatan Nelayan tradisional di Riau rata-rata setahunnya dapat mencapai enam juta rupiah. Jumlah pendapatan ini dikeluarkan untuk memenuhi beberapa kebutuhan rumah

(37)

tangganya. Hampir 70% nelayan tradisional mempunyai utang kepada tengkulak/toke. (Mulyadi, 2007: 155)

2.3.3 Pendidikan Nelayan

Nelayan tradisional adalah salah satu kelompok masyarakat pesisir yang memiliki kerentanan ekonomi dan secara relatif paling tertinggal. Seperti penduduk desa pantai yang lain, hampir semua nelayan tradisional umumnnya kurang berpendidikan. (Dahuri, dalam Suyanto, 2013)

Pada usia meningkat remaja anak nelayan mulai diajak berlayar dan ikut melaut, sehingga mereka jarang yang sekolah. Pendidikan orang tua yang rendah akan mempengaruhi pendidikan anak, khususnya pada warga pesisir. Pendidikan yang dimiliki anak nelayan pada umumnya rendah. Hal tersebut dipengaruhi oleh pendidikan dan persepsi orangtua terhadap pendidikan tinggi tidak ada. Nelayan menganggap pendidikan bukanlah merupakan kebutuhan yang paling utama.

Sebagai seorang nelayan yang dibutuhkan hanya keterampilan dan kerja keras, bagaimana cara memperoleh jumlah tangkapan yang melimpah, serta menjualnya dengan harga tinggi. Padahal sesungguhnya, pendidikan sangat diperlukan nelayan sebagai contoh di saat melaut seorang nelayan harus mengetahui arah angin, proses jual beli ikan, dan mengawetkan ikan. Bagi nelayan, berlatih dan belajar dari kebiasaan orangtua, dianggap sudah cukup untuk berlayar (Ono, 2015:29).

2.3.4 Interaksi Sosial

Interaksi merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antar orang-orang perorangan, antar kelompok-kelompok

(38)

manusia, maupun antar orang perorangan dengan kelompok manusia. Apabila dua orang bertemu, interaksi sosial di mulai pada saat itu. Mereka saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara atau bahkan mungkin berkelahi. Dari pernyataan tersebut, jelas bahwa syarat untuk melakukan interaksi adalah: adanya kontak sosial (social-contact) dan komunikasi. Dimana kontak sosial dalam bahasa latin yaitu : con atau cum yang artinya bersama-sama dan tango yang artinya menyentuh. Jadi kontak sosial dapat diartikan sebagai bersama-sama menyentuh.

Sedangkan komunikasi merupakan pembicaraan, gerak-gerah badaniah atau sikap, perasaan-perasaan apa yang ingin di sampaikan oleh orang tersebut. (Soekanto dalam Monica, 2016:25)

2.4 Kemiskinan Nelayan

Menurut (Cambers 1983) Dalam kondisi kemiskinan nelayan, komunitas nelayan sendiri tidak memiliki sumber daya akibat kurangnya apresiasi terhadap eksistensi hak dan kelembagaan lokal mereka. Dalam berbagai program pemberdayaan, nelayan hanya merasa menjadi objek suatu kegiatan, berakhirnya sebuah kegiatan maka berakhir juga partisipasi nelayan sehingga kondisinya tetap miskin.

Peran aspek sosial juga turut menentukan derajat kesejahteraan nelayan.

Di masyarakat pesisir, stratifikasi sosial sangat menentukan akses dan kontrol terhadap sumber daya (Allisaon dan Ellis 2001). Makin rendah kelas sosial seorang nelayan, makin sedikit akses dan kontrol yang dimilikinya terhadap suatu sumber daya. Di sisi lain, kuatnya peran institusi tradisional ekonomi seperti

(39)

patron-klient di masyarakat pesisir menyebabkan kebanyakan nelayan terjerat ke dalam sistem kelembagaan tradisional tersebut.

Kemiskinan yang diderita oleh masyarakat nelayan Indonesia (Kusnadi, Wiber, 2009) disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:

1. Susasana alam yang keras menyebabkan timbulnya ketidakpastian bagi nelayan dalam menjalankan aktivitas sosial ekonomi yang terus-menerus dalam menjaga konsistensi produksi hasil tangkapan.

2. Kualitas sumber daya manusia nelayan yang rendah yaitu rendahnya tingkatan pendidikan, rendahnya budaya kewirausahaan, kurangnya partisipasi dalam usaha produktif, pola kehidupan yang konsumtif, dan gaya hidup yang dipandang boros.

3. Keterbatasan modal usaha menyulitkan nelayan untuk meningkan kegiatan ekonominya. Nelayan sulit mendapatkan permodalan usaha mereka.

Lembaga keuangan seperti lembaga perbankan sangat tidak tertarik dalam membantu pemberian kredit untukmodal usaha mereka. Hal tersebut disebabkan selain tidak memiliki jaminan kebendaan yang merupakan persyaratan mutlak bagi lembaga perbankan dalam pemberian kredit, juga usaha mereka menangkap ikan dianggap sebagai bukan usaha yang layak dibiayai sehingga nelayan kesulitan dalam melakukan diversifikasi usaha perikanan.

4. Pemasaran hasil perikanan yang lebih menguntungkan perantara karena nelayan harus menjual ikan kepada tengkulak dengan harga dibawah harga pasar.

(40)

5. Program pemerintah yang belum memihak nelayan. Sejauh ini program pemerintah hanya menjadikan masyarakat nelayan sebagai objek, bukan subjek sehingga akan meningkatkan pola kebergantungan masyarakat nelayan itu sendiri.

Menurut kajian Kementerian Kelautan dan Perikanan (Basuki, Pedum PEMP 2008), penyebab kemiskinan nelayan dikelompokkan menjadi empat bagian, yaitu:

1. Terbatasnya akses teknologi dan informasi, 2. Terbatasnya akses permodalan,

3. Terabaikannya institusi dan hak tradisional masyarakat akan jaminan profesi kenelayanan, serta

4. Kuatnya peran institusi tradisional yang mendominasi permodalan dan permodalan hasil perikanan.

2.5 Akar Kemiskinan Nelayan

Menurut (Craig dan Mayo, Charles 2001) modal (capital) alami yang dimiliki oleh komunitas nelayan, seperti kapital sosial (social capital), kapital sumber daya alam (natural resources capital), kapital sumber daya manusia (human resources capital), kapital pengetahuan alami (traditional knowledge capital) tidak akan mampu berperan secara maksimal jika tidak di dukung oleh aliran atau asupan informasi dan teknologi kenelayanan. Permodalan merupakan fondasi penting bagi nelayan dalam melakoni pekerjaannya. Hal itu disebabkan makin sulitnya pencarian hasil tangkapan dan yang memadai dan meningkatnya

(41)

jumlah pemanfaat sumber daya perikanan, sehingga dibutuhkan sarana yang mampu menjangkau wilayah penangkapan ikan.

Pemerintah melalui program PEMP (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir) menyediakan bantuan permodalan permodalan (berasal dari program pengurangan dana subsidi BBM) dengan sistem bergulir. Namun program tersebut tidak menjamin persoalan permodalan komunitas nelayan teratasi; mentalitas nelayan dan pemerintah lokal masih dominan menganggap program ini hanya peluang mencari keutungan. (Basuki, Bogar dalam Andi dkk 2013: 79).

Menurut (Cambers 1983) Dalam kondisi kemiskinan nelayan, komunitas nelayan sendiri tidak memiliki sumber daya akibat kurangnya apresiasi terhadap eksistensi hak dan kelembagaan lokal mereka. Dalam berbagai program pemberdayaan, nelayan hanya merasa menjadi objek suatu kegiatan, berakhirnya sebuah kegiatan maka berakhir juga partisipasi nelayan sehingga kondisinya tetap miskin.

Peran aspek sosial juga turut menentukan derajat kesejahteraan nelayan.

Di masyarakat pesisir, stratifikasi sosial sangat menentukan akses dan kontrol terhadap sumber daya (Allisaon dan Ellis 2001). Makin rendah kelas sosial seorang nelayan, makin sedikit akses dan kontrol yang dimilikinya terhadap suatu sumber daya. Di sisi lain, kuatnya peran institusi tradisional ekonomi seperti patron-klient di masyarakat pesisir menyebabkan kebanyakan nelayan terjerat ke dalam sistem kelembagaan tradisional tersebut.

(42)

2.6 Pengertian Kemiskinan

Kemiskinan adalah suatu konsep yang cair, serba tidak pasti dan bersifat multidimensional. Disebut cair karena kemiskinan bisa bermakna subjektif, tetapi sekaligus juga bermakna objektif. Secara objektif bisa saja masyarakat tidak dapat dikatakan miskin karena pendapatannya sudah berada di atas batas garis kemiskinan, yang oleh ahli diukur menurut standar kebutuhan pokok berdasarkan atas kebutuhan beras dan gizi. Akan tetapi apa yang tampak secara objektif tidak miskin itu, bisa saja dirasakan sebagai kemiskinan oleh pelakunya karena adanya perasaan tidak mampu memenuhi kebutuhan ekonominya atau bahkan dengan membandingkan dengan kondisi yang dialami oleh orang lain, yang pendapatannya lebih tinggi darinya. Imron dalam (Mulyadi 2005:47)

Terdapat beberapa pendapat mengenai batasan-batasan dalam memahami kemiskinan, sebagai berikut:

1. Mercher (dalam Matias 2012:5) kemiskinan adalah gejala penurunan kemampuan seseorang atau sekelompok orang atau wilayah sehingga mempengaruhi daya dukung hidup seseorang atau sekelompok orang tersebut, dimana pada suatu titik waktu secara nyata mereka tidak mampu mencapai kehidupan yang layak.

2. Pearce (dalam Matias 2012:6) kemiskinan merupakan produk dari interaksi teknologi, sumber daya alam dan modal, dengan sumber daya manusia serta kelembagaan. Dalam hal ini kemiskinan itu merupakan suatu produk dari proses interaksi yang tidak seimbang atau interaksi yang bersifat timpang di antara berbagai elemen yang ada dalam suatu

(43)

ekosistem, sehingga pada gilirannya berdampak negatif terhadap kehidupan manusia.

3. Departemen Pertanian mendefinisikan kemiskinan yang ditujukan kepada petani atau nelayan kecil yang pendapatannya dibawah garis kemiskinan, yaitu dibawah 320 kg setara dengan beras per tahun per kapita. Sayogyo, dalam Iskandar 2012: 2

4. Departemen Sosial mendefenisikan keluarga miskin sebagai keluarga yang tidak memiliki mata pencaharian, atau penghasilan rendah, penghasilan sangat rendah, kondisi rumah dan lingkungan tidak memenuhi syarat kesehata, serta pendidikan terbatas.

5. Suparlan (2004: 315) kemiskinan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang rendah ini secara langsung nampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral dan rasa harga diri mereka yang tergolong sebagai orang miskin.

Begitu banyak pengertian tentang kemiskinan, tetapi secara umum dapat dikatakan bahwa istilah kemiskinan selalu menunjuk pada sebuah kondisi yang serba kekurangan. Dalam kaitan itu, kondisi serba kekurangan bisa saja diukur secara objektif, dirasakan secara subjektif, atau secara relatif didasarkan pada perbandingan dengan orang lain sehingga melahirkan pandangan objektif, subjektif dan relatif tentang kemiskinan. Selain itu, kondisi serba kekurangan bukan hanya dilihat dari sisi ekonomi, tetapi juga dari sisi sosial budaya. Nugroho dalam Mulyadi (2005:48)

(44)

2.7 Indikator Kemiskinan

Untuk dapat hidup secara layak, manusia berhadapan dengan kebutuhan minimum yang harus dipenuhi. Dengan kata lain, jika seseorang atau sekelompok orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan minimum tersebut maka mereka dikategorikan sebagai miskin. Sebaliknya jika seseorang atau sekelompok orang tersebut mampu memenuhi kebutuhan minimum, akan dikategorikan sebagai tidak miskin.

Jika dikaji secara mendalam, indikator kemiskinan yang beraneka ragam dihasilkan melalui tiga pendekatan, yaitu:

1. Pendekatan Pendapatan

Berdasarkan pendekatan pendapatan, kemiskinan dapat diukur dari besaran jumlah nominal angka pendapatan atau nominal uang yang dihabiskan sebagai alat pemenuhan kebutuhan. Sajogyo dalam (Siagian, 2012: 69) menjelaskan indikator kemiskinan didasarkan pada ketidakmampuan memenuhi kebutuhan minimum yang dapat diukur dari pendapatan.

Indikator kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik dalam bentuk pendapatan rata-rata secara nasional untuk tahun 2011 adalah sebesar Rp 233.174,-/bulan per orang. sementara pemeritah Vietnam pada tahun 2010 telah menetapkan indikator kemiskinan dengan hasil jika dikonvensikan ke dalam nilai rupiah adalah sebesar Rp 450.000,-/bulan per orang. BPS dalam Kristanto, (dalam Siagian, 2012: 72).

Bank dunia juga turut menetapkan angka minimal untuk pengukuran kemiskinan sebesar US$ 2 per hari per orang. Kondisi yang benar-benar miskin adalah apabila pendapatan US$ 1 per hari per orang. The World Bank, dalam (Siagian, 2012: 72).

(45)

2. Pendekatan Konsumsi

Dalam pendekatan konsumsi hal utama yang menjadi pokok pengukuran adalah jumlah asupan kalori yang dapat dipenuhi. Menurut BPS (dalam Siagian, 2012: 73) manusia hanya akan dapat hidup layak jika mengonsumsi makanan dan minuman dengan kandungan minimal 2.100 kalori perkapita perhari.

Sedangkan menurut PBB yang membidangi makanan dan pertanian (FAO) memperkirakan kebutuhan minimum jumlah kalori yang diperlukan tubuh dalam cakupan kelayakan adalah sebesar 2.150 kalori perhari. (The World Bank, dalam Siagian, 2012: 73). Penetapan FAO ternyata lebih besar dibandingkan dengan penetapan BPS.

Hasil penelitian Dandekar dan Rath (India) menetapkan kebutuhan minimal kalori per orang adalah 2.250 kalori. Sedamgkam Sukhame (India) menyimpulkan kebutuhan kalori per orang mencapai 2.350 kalori per hari. Hasil dari kedua penelitian tersebut menyimpulkan bahwa kebutuhan yang diperlukan lebih besar dari standarisasi BPS dan PBB. (Siagian, 2012: 73).

3. Pendekatan Multi Aspek

Tidak mampunya mengukur kemisikinan melalui satu indikator kemiskinan dalam merepresentasikan kebutuhan hidup manusia secara menyeluruh merupakan alasan penggunaan pendekatan multi aspek. Terdapat berbagai komponen yang melandasi seseorang atau keluarga itu miskin.

Departemen sosial merumuskan indikator yang merefleksikan suatu kondisi seseorang atau keluarga dalam masyarakat tergolong miskin dalam beberapa aspek yaitu:

(46)

1. Penghasilan rendah atau berada dalam kategori sangat miskin yang diukur dari tingkat pengeluaran perbulan berdasarkan standat BPS per wilayah Provinsi dan kabupaten/kota.

2. Ketergantungan akan bantuan dari program pemerintah maupun non pemerintah sangat tinggi.

3. Keterbatasan pemilikan pakaian untuk setiap anggota keluarga pertahun (hanya mampu memiliki satu stel pakaian lengkap peroeang per tahun).

4. Tidak mampu membiayai pengobatan jika ada salah satu anggota keluarga yang sakit.

5. Tidak mampu membiayai pendidikan dasar sembilan tahun bagi anak- anaknya.

6. Tidak memiliki harta (asset) yang dapat dimanfaatkan hasilnya atau dijual untuk membiayai kebutuhan hidup selama tiga bulan atau dua kalibatas garis sangat miskin.

7. Ada anggota keluarga yang meninggal dalam usia muda atau kurang dari 40 tahun akibat tidak mampu mengobati penyakit sejak awal.

8. Ada anggota keluarga usia 15 tahun keatas yang buta huruf.

9. Tinggal dirumah yang tidak layak huni.

10. Luas rumah kurang dari empat meter persegi.

11. Kesulitan air bersih.

12. Sanitasi lingkungan yang kumuh (tidak sehat). Departemen sosial (dalam Siagian, 2012: 82)

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan antara kontrol orang tua, pengaruh teman sebaya dan media massa terhadap perilaku seksual remaja Penelitian

PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA Jalan Jenderal Gatot Subroto Kaveling 51, Jakarta Selatan 12950 Telepon 5255733 Pesawat 644, Faksimile (021)

Terkadang kita pernah mengalami atau bahkan sering mengalami kesulitan dalam mencari sebuah file atau beberapa file pada komputer kita yang didalamnya telah tersimpan begitu

Perihal Penetapan Perusahaan yang lulus dalam evaluasi daftar pendek Seleksi Umum Pengadaan Barang/Jasa untuk pekerjaan Sistem Informasi Manajemen Pencegahan dan

Playback multimedia audio-video yang dibangun dan dibuat oleh para programmer pada umumnya menggunakan bahasa yang sulit pada setiap komponen dan button yang digunakan, maka dari

Panitia Pengadaan Bar ang/ Jasa pada Direktorat Pencegahan dan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Indu strial, Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan

Penulisan Ilmiah ini bertujuan untuk memberikan tambahan informasi mengenai beberapa objek wisata di Jawa Barat khususnya di kota Kuningan yang memliki fasilitas-fasilitas