• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN KEGIATAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT MEMIMPIN SEMINAR GEREJA DAN MAKNA BERGEREJA DI GKJ NEHEMIA, ONLINE, 7 OKTOBER 2021

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "LAPORAN KEGIATAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT MEMIMPIN SEMINAR GEREJA DAN MAKNA BERGEREJA DI GKJ NEHEMIA, ONLINE, 7 OKTOBER 2021"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

LAPORAN KEGIATAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

MEMIMPIN SEMINAR GEREJA DAN MAKNA BERGEREJA DI GKJ NEHEMIA, ONLINE, 7 OKTOBER 2021

Gereja-gereja Kristen Jawa Jemaat Nehemia mengadakan kursus teologi untuk mempersiapkan warga gereja dalam tema-tema teologis tertentu. Kursus ini diberi nama SINAU, dan mengambil beberapa sesi dengan dua orang pembicara di tiap sesi.

Peserta yang berjumlah 120 orang mendapatkan penjelasan mengenai tantangan pandemi bagi cara bergereja. Pengetahuan seperti ini perlu diberikan agar orang tidak menjadi eksklusif dan menganggap kebenaran hanya miliknya sendiri.

Demikianlah laporan ini saya berikan.

Jakarta, 10 Oktober 2021

Binsar J. Pakpahan, Ph.D

(4)

TANTANGAN DAN PELUANG PELAYANAN DI MASA COVID-19 DAN PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI

Binsar Jonathan Pakpahan

b.pakpahan@sttjakarta.ac.id | @binsarjpakpahan

Abstrak:

Artikel ini ditulis untuk menjelaskan tantangan yang dibawa oleh era pandemi covid-19, revolusi industri 4.0, Society 5.0., dan masuknya gereja ke dalam pelayanan di ruang digital. Kehadiran virtual, yaitu kehadiran yang melibatkan unsur “melihat” dan

“mendengar” namun tidak melibatkan unsur “menyentuh” telah diterima sebagai definisi pertemuan. Sementara, perjumpaan di ruang virtual yang melibatkan ide dan tujuan yang sama telah membuat orang-orang merasa terlibat dalam sebuah komunitas.

Makalah juga menggunakan pembahasan komunitas serta persekutuan dari

pemahaman World Council of Churches yang membuka tantangan bahwa pertemuan di ruang virtual akan dirasa cukup untuk membentuk sebuah komunitas. Gereja ditantang untuk mendefinisikan ulang apa itu perjumpaan, spiritualitas dan religiusitas, dan fungsi penggunaan teknologi dalam ibadah.

Kata-Kata Kunci: virtual, Revolusi industri 4.0, persekutuan, komunitas, pertemuan, religiusitas, spiritualitas

Pengantar

Dalam Pandemi Covid-19, kita dihadapkan pada beberapa tantangan terbaru mengenai kehidupan peribadahan dan cara kita berinteraksi satu dengan yang lain.

Saya masih ingat ketika ibadah di beberapa gereja mainstream di Indonesia harus memindahkan ibadahnya ke ruang digital1(dalam bentuk live atau rekaman, di media Whatsapp, Youtube, Facebook, atau Instagram), perdebatan utama adalah apakah kita

1Saya memahami digital sebagai ketersediaan dan penggunaan alat-alat untuk berkomunikasi melalui Internet, baik dalam bentuk alat-alat pintar, digital, dan teknologi lainnya. Beberapa mungkin memahaminya juga sebagai virtual. Namun, karena keterbatasan bahasa dan pemaknaan kata “virtual”

dalam Bahasa Indonesia yang akan ditampilkan di bawah, artikel ini akan tetap menggunakan kata digital dengan pemahaman di atas. Sementara itu arti digital menurut KBBI online adalah “berhubungan dengan angka-angka untuk sistem perhitungan tertentu; berhubungan dengan penomoran.”

(5)

sedang hadir dalam ibadah tersebut?2Apa makna kehadiran ketika kita semua tidak berada dalam ruang fisik yang sama, yaitu gereja?3Apakah keikutsertaan kita dalam ibadah online sudah mengindikasikan bahwa kita hadir dalam ibadah tersebut?4

Perkembangan teknologi komunikasi sebenarnya telah memungkinkan kita untuk berhubungan dengan orang lain yang secara fisik tidak berada dalam ruang fisik yang sama dengan kita. Beberapa perguruan tinggi misalnya sudah memulai distance learning, dan beberapa gereja bahkan sudah mengadakan ibadah dengan

pembicara/pengkhotbah yang berada di ruang berbeda.

Meski demikian, ada pertanyaan yang belum terjawab, yaitu apa sebenarnya yang dimaksud dengan kehadiran. Kehadiran yang akan kita selidiki bukan hanya bicara mengenai bukti dan tanda kehadiran, namun juga mengenai makna kehadiran. Apakah kita bisa memberi petunjuk mengenai kehadiran yang bermakna dalam ruang digital?

Penjelasan definisi mengenai kehadiran menjadi penting karena dalam dunia yang memiliki berbagai cara untuk komunikasi, kita memiliki beberapa pemahaman yang berbeda mengenai istilah yang sama.

Kita diajak untuk berpikir mengenai apa makna persekutuan, kehadiran, masalah etika, dan sejauh mana teknologi bisa kita gunakan? Kemajuan teknologi juga dimulai dengan perubahan paham dunia mengenai dirinya dan masuknya filsafat postmodern. Filsafat postmodern bersama kemajuan teknologi informasi mengantar kita dalam sebuah masa yang membuat kita mempertanyakan segalanya, yaitu masa pascakebenaran. Makalah ini akan mencoba menjelaskan efek yang dibawa oleh perubahan bergereja dan berteologi di masa pandemi sebagai pengantar dari keseluruhan Viveka seri 9.

2Beberapa diskusi terkini bisa ditemukan dalam karya Erik Champion, ed., The Phenomenology of Real and Virtual Places (Abingdon, Oxon: Routledge, 2019); Bernd Blobaum, ed., Trust and Communication in a Digitized World. Models and Concepts of Trust Research (London; New York: Springer, 2016).

3Diskusi mengenai peribadahan dalam ruang virtual sudah dibahas dalam karya Emmanuel B.

Olusola, “Digital Church and E-Culture in the New Media Age: The Spectrum of Nigeria,” African Ecclesial Review 57, no. 3 & 4 (2015): 206–24; Teresa Berger, “Participatio Actuosa in Cyberspace? Vatican II’s Liturgical Vision in a Digital World,” Worship 87 (2013): 533–47; Erling Hope, “Between God and Google:

Reflections on the Technology Project of the Society for the Arts, Religion and Contemporary Culture,”

CrossCurrents 62, no. 2 (2012): 235–59, https://doi.org/10.1111/j.1939-3881.2012.00232.x; Ryan Panzer, “Overcoming Digital Division: Digital Sacramentality as a Source of Healing,” Journal of Religious Leadership 19, no. 1 (2020): 49–69.

4Lihat berbagai diskusi yang sudah ada mengenai kehadiran peribadahan di ruang digital, dalam Daniella Zsupan-Jerome, “Virtual Presence as Real Presence? Sacramental Theology and Digital Culture in Dialogue,” Worship 89, no. 6 (2015): 526–42.

(6)

Revolusi Industri 4.0 (I4)

Perubahan adalah keniscayaan, sama seperti era Revolusi Industri 4.0 (I4) yang sedang berlangsung pada saat ini. Era I4 ditandai dengan berbagai disrupsi yang menggugat cara-cara bekerja yang dianggap normal serta kemajuan teknologi yang berpusat kepada sistem Artificial Intelligence, pengumpulan Big Data, perubahan fokus dari analog ke digital, kepemilikan aset intangible (jejaring, kekuatan sistem, dan potensi) daripada tangible (aset harta, tanah, bangunan), dan perubahan hard-labour menjadi operator. Ketika kita masih banyak berkutat di I4, sekarang bahkan sudah ada pembicaraan mengenai Revolusi Industri 5.0 – yang merupakan era personalisasi dan penggabungan peran manusia dan mesin. Menurut saya perpindahan tema ini

merupakan ciri generasi sekarang yang biasanya belum selesai membahas satu hal tetapi sudah pindah ke pembahasan yang lain. Saya tidak melihat Revolusi Industri 5.0 sebagai suatu hal yang berdiri sendiri, melainkan pengembangan dari I4 dan Society 5.0.

Istilah yang digunakan di Jepang Society 5.0 menunjuk kepada masyarakat yang resilient dalam inovasi yang selalu membongkar kebuntuan dengan penyataan antara ruang tiga dimensi dan ruang virtual (Cabinet Office Website 2018).

Kata revolusi industri dipinjam dari bidang teknologi untuk menggambarkan sistem yang digunakan untuk memproduksi barang. Revolusi industri menjadi penanda perubahan karena setiap aspek kehidupan kemudian dipengaruhi oleh cara manusia memproduksi barang-barang. Perubahan ini akan mempengaruhi aspek ekonomi, perputaran informasi dan ide, transportasi, dan penggunaan tenaga mesin yang menggantikan manusia.

Revolusi industri keempat, atau “Industry 4.0” atau “I4” pertama kali digunakan di Hannover Fair pada 2011 yang mempromosikan produksi berbasis komputer dan kecerdasan buatan (artificial intelligence). Ciri utama dari I4 ada 4:

1) Kesempatan yang berkembang melalui data besar.

a) Kekuatan sebuah organisasi atau perusahaan bukan lagi di jumlah produksi yang mereka miliki, melainkan jaringan yang mereka punya.

b) Internet mengubah definisi mengenai waktu, jarak, dan teknik komunikasi manusia dengan mesin.

2) Terbukanya informasi

a) Informasi menjadi transparan, tidak ada lagi rahasia, yang pada akhirnya membawa pertanyaan soal privasi.

b) Data yang terbuka ternyata lebih banyak digunakan oleh pihak marketing, yang dengan efektif berhasil mempromosikan produknya kepada konsumen yang datanya tersimpan secara digital.

c) Algoritma otomatis yang diatur oleh AI dalam berbagai mesin pencari dan media sosial membuat keterpisahan antarkelompok berdasarkan minat.

(7)

3) Optimisasi produksi.

a) Koneksi membuat sebuah perusahaan bisa membuat sebuah produk tanpa perlu membuat semua komponen yang diperlukan untuk produk tersebut. Mode demikian menghasilkan metode outsourcing.

b) Logistik menjadi bisnis yang penting daripada produksi, karena semua orang bisa memproduksi. Proses penyimpanan dan penyaluran barang menjadi produk pada dirinya sendiri.

c) Sebuah industri kecil bahkan bisa membuat prototipe dari produknya tanpa perlu berkonsultasi dengan perusahaan besar dengan printer 3D, dan market bisa ditemukan melalui internet.

4) Proses pengambilan keputusan.

a) Pertemuan fisik tidak lagi diperlukan, karena “tatap muka” betul-betul hanya membutuhkan tatap muka via skype, facetime, whatsapp video call, atau google hangout.

b) Artificial Intelligence membantu manusia dalam proses pengambilan keputusan (autonomous car, autopilot, algoritma media sosial).

c) Keputusan tidak lagi sentral pada satu pihak melainkan pada beberapa aktor Dampak dari era I4 adalah disrupsi, atau perubahan pola kerja, produksi, komunikasi.

Pandemi Covid-19 mengakselerasi perubahan yang sampai akhir 2019 masih diskusi dalam tatanan teori, menjadi kenyataan.

Menghadapi Era Digital

Era digital telah membawa beberapa peluang dan tantangan dalam kehidupan gereja. Beberapa hal yang mesti kita hadapi adalah perubahan pola pikir dan

pemahaman mengenai penggunaan teknologi dalam gereja, dan pola dari generasi yang berubah. Dalam menghadapi perubahan , ada beberapa pesan yang disebut oleh WCC dalam buku Virtual Christianity (2004) telah mencoba melihat berbagai tantangan yang akan muncul dalam zaman internet. Sikap yang harus dimiliki tiap gereja adalah

menerima dengan pragmatis, praktis, juga berhati-hati karena perubahan adalah keniscayaan (Bazin & Cottin 2004, 4). Gereja juga diminta untuk bisa menemukan pesannya sendiri, dan memberikan warna ideologinya sehingga tidak tenggelam dalam pesan dunia maya yang penuh dengan ideologi komersial dan teknologi.

Dalam relasi antara agama dan sains, kita bisa menggunakan tipologi Ian Barbour (2000). Keempat pola ini adalah: konflik, mandiri, dialog, dan integrasi.

Pertama tipologi konflik. Dalam pola pertama ini, Barbour mengatakan bahwa agama tidak bisa disatukan dengan sains. Agama dianggap lebih menggunakan perasaan dan sains lebih menggunakan logika. Kedua, agama dan sains berdiri masing-masing

(8)

secara independen. Dalam tipologi ini, agama tidak berurusan dengan sains dan sains tidak perlu mencampuri agama. Kedua bidang memiliki metodologi sendiri dalam bidang keilmuannya. Tipologi ketiga adalah model dialog, sehingga kedua bidang bisa saling bertanya dan melengkapi. Kelemahan dalam tipologi ini, kedua jawaban yang diberi oleh masing-masing pihak pasti datang dari asumsi yang berbeda. Sains akan menjawab bahwa kemunculan AI itu adalah perkembangan yang tak terhindarkan, sementara agama akan mengingatkan sains untuk tidak bermain peran Tuhan. Tipologi terakhir adalah integrasi, di mana agama akan menggunakan penjelasan sains untuk fenomena keilahian. Ada tiga jenis teologi yang berkembang untuk mengintegrasikan sains ke dalam pemahaman teologi: teologi natural yang dimulai dari pertanyaan tentang Allah dan menjelaskan keberadaan-Nya di dunia, teologi alam yang memulai dari segala hasil ciptaan dan menyimpulkan kehadiran Allah, dan teologi sintesis sistematis yang menggabungkan sains dan agama (Barbour 1990, 23-30).

Beberapa Isu Kehadiran

Beberapa isu yang menjadi pembahasan bisa dilihat dari berbagai pendekatan.

Tantangan pertama adalah soal makna kehadiran. Tidak bisa kita pungkiri bahwa kehadiran secara fisik menghabiskan uang dan waktu. Biaya perjalanan dan efektivitas sebuah pertemuan bisa dipangkas dengan menggunakan teleconference. Di beberapa perguruan tinggi di Indonesia, ruang kelas virtual sudah mendapat pengakuan melalui proses akreditasi. Seseorang disebut hadir bukan karena kehadiran fisiknya, melainkan karena “presence” atau berada dalam ruang virtual dan engage dengan pembicaraan yang dilakukan di dalamnya. Pemahaman baru mengenai kehadiran menantang gereja untuk memberi fokus baru kepada arti kehadiran, komunitas, dan persekutuan. Apakah komunitas dibentuk dari sekadar kehadiran, atau sebuah tagar (hashtag #) sudah cukup memperlihatkan kesamaan ide? Lebih lanjut, dalam cara apa kita bisa membayangkan Allah hadir bersama kita? Beberapa gereja sekarang sedang bergumul mengenai makna kehadiran dalam pemberkatan nikah, ketika seorang pengantin justru berada di lokasi yang berbeda dengan pasangannya pada hari pernikahannya.

Dalam KBBI, kehadiran berarti "ada", sementara kehadiran berarti "adanya (seseorang, atau sekumpulan orang) pada suatu tempat.”5Dalam Oxford Dictionary, di bahasa Inggris, presence berarti "the fact of being in a particular place." Lawan kata dari hadir adalah absen. Absen berarti tidak masuk, dan tidak hadir. Kembali kita melihat

5KBBI Online, “hadir”

(9)

bahwa pada arti pertama, absen berarti tidak masuk - dalam asumsi saya - ke dalam sebuah ruangan, dan tidak hadir juga dalam sebuah ruangan. Sementara itu dalam Bahasa Inggris, absence berarti "the fact that somebody being away from a place where they are usually expected to be; the occasion or period of time when somebody is away.”6

Dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, baik kata hadir maupun absen terikat kepada ruang/tempat. Kalimat “berada pada sebuah tempat” tidak memberi definisi yang cukup jelas mengenai apa tempat yang dimaksud, apakah dia sebuah ruang tiga dimensi, atau ruang digital, atau bahkan apakah seseorang perlu ada secara tiga dimensi dalam ruang digital, atau ruang tiga fisik.

Untuk dapat melanjutkan diskusi ini, kita juga harus memberi definisi kepada apa yang dimaksud dengan ruang dan apa yang dimaksud dengan ruang tiga dimensi serta ruang digital. Dalam beberapa definisi tempat dan ruang di KBBI, kita menemukan bahwa kata “tempat” selalu merujuk kepada sesuatu yang memiliki bentuk tiga dimensi:

wadah; bidang, rumah, daerah, negara, kota, desa,” yang bisa digunakan untuk

“menyimpan, melakukan sesuatu, mengumpulkan, didiami (ditinggali) atau ditempati.”7 Sementara itu definisi ruang adalah: “n sela-sela antara dua (deret) tiang atau antara empat tiang (di bawah kolong rumah); n Fis rongga yang berbatas atau terlingkung oleh bidang; n Fis rongga yang tidak berbatas, tempat segala yang ada; n Fis petak dalam buah (durian, petai); pangsa.”8Definisi Bahasa Indonesia mengenai tempat dan ruang masih tergantung kepada sesuatu yang memiliki bentuk tiga dimensi (panjang, lebar, tinggi) yang menjadi tempat untuk melakukan kegiatan atau menyimpan sesuatu.

KBBI menggunakan kata virtual untuk definisi digital yang kita lihat di atas.

Definisi virtual dalam KBBI justru lebih bermasalah, yaitu, “a(secara) nyata;amirip atau sangat mirip dengan sesuatu yang dijelaskan;atampil atau hadir dengan

menggunakan perangkat lunak komputer, misalnya di internet.”9Kita tidak menemukan dengan jelas apa yang dimaksud dengan virtual. Sepertinya UU RI No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik lebih memberikan gambaran mengenai apa itu ruang virtual. Penjelasan Bagian I Umum, paragraf kedua menyatakan,

“Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of information technology), hukum dunia maya (virtual world law), dan hukum mayantara. Istilah- istilah tersebut lahir mengingat kegiatan yang dilakukan melalui jaringan sistem komputer dan sistem komunikasi baik dalam lingkup lokal maupun global (Internet)

6Oxford Dictionary Online, “presence”

7KBBI Online, “tempat”

8KBBI Online, “ruang”

9KBBI Online, “virtual”

(10)

dengan memanfaatkan teknologi informasi berbasis sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara virtual.”10

Dalam Bahasa UU RI No. 11 tahun 2018 tentang ITE, “virtual” disamakan dengan

“maya,” yang justru menjadi membawa kita kepada masalah lain. “Maya” dalam KBBI berarti, “a hanya tampaknya ada, tetapi nyatanya tidak ada; hanya ada dalam angan- angan; khayalan; n Komp merujuk pada fitur atau peranti yang tidak benar-benar ada, disimulasikan oleh komputer dan dapat digunakan oleh pengguna seolah-olah memang ada.” Maya berarti sesuatu yang terlihat ada padahal tidak ada. Jika kita menggunakan pemahaman ini kepada kehadiran di “virtual” vis-à-vis “maya,” kita akan menghadapi masalah yang lebih besar lagi. Kehadiran di dunia maya adalah kehadiran khayalan, atau simulasi yang membuat sesuatu yang tidak ada seolah-olah memang ada. Saya rasa penjelasan ini akan membawa kita kepada kesulitan yang baru dalam mendefinisikan kehadiran virtual. Perlu kita catat, kata “maya” sudah dihapus dalam UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008.

Dalam Bahasa Hukum, ruang virtual lebih memiliki kepastian yang tidak ada dalam pemahaman “maya” di atas. UU ITE No. 11 Tahun 2008, Bab 1 Pasal 1 poin 20 menyatakan bahwa,

“Nama Domain adalah alamat internet penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat, yang dapat digunakan dalam berkomunikasi melalui internet, yang berupa kode atau susunan karakter yang bersifat unik untuk menunjukkan lokasi tertentu dalam internet.”11

Lokasi dalam internet atau nama domain bisa dimiliki dengan registrasi yang berarti ruang-ruang tersebut bukan tak bertuan. Kemudian, ada juga kode unik Internet Protocol Address/IP Address yang bisa menunjukkan lokasi tertentu berdasarkan provider internet yang kita gunakan. Provider juga mencatatkan tiap IP address-nya melalui berbagai regulasi. Lokasi dalam internet dalam nama domain dan cara kita mengaksesnya melalui provider internet memperlihatkan koneksi yang tidak “maya”

dalam pemahaman di KBBI, melainkan bisa ditelusuri melalui adanya berbagai aturan.

Dalam bagian penjelasan bagian umum Paragraf 7, ditambahkan klausul seperti ini,

“Kegiatan melalui media sistem elektronik, yang disebut juga ruang siber (cyber space), meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan hukum yang nyata… Kegiatan dalam ruang siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik.”12

10UU RI No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Penjelasan Bagian I Umum, paragraf 2.

11UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang ITE, Bab 1 Pasal 1 poin 20

12UU RI No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Penjelasan Bagian I Umum, paragraf 7.

(11)

Kegiatan dalam ruang virtual ternyata dianggap resmi berdampak nyata, yang kita artikan dengan bukti kegiatan virtual bisa digunakan sebagai alat untuk menyatakan kehadiran. Undang-Undang RI No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

memperkuat keabsahan berbagai peristiwa yang terjadi di ruang virtual yang memengaruhi ruang tiga dimensi. Bagian penjelasan Bab I Umum mencantumkan pemahaman ini,

“Ketiga, karakteristik virtualitas ruang siber memungkinkan konten ilegal seperti Informasi dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik, pemerasan dan/atau pengancaman, penyebaran berita bohong dan menyesatkan sehingga mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik, serta perbuatan menyebarkan kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan, dan pengiriman ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi dapat diakses, didistribusikan, ditransmisikan, disalin, disimpan untuk didiseminasi kembali dari mana saja dan kapan saja.”13

Dari Bahasa Hukum, kita bisa juga mengambil kesimpulan bahwa ruang virtual adalah

“suatu lokasi tertentu di Internet yang terikat dalam nama domain yang digunakan untuk berkomunikasi, yang kegiatan di dalamnya berdampak sangat nyata bagi ruang tiga dimensi.” Ruang “virtual” dalam definisi ini kita kemudian namai ruang digital.

Dengan definisi sedemikian, kita kemudian bisa kembali kepada definisi

kehadiran yang telah kita bahas sebelumnya. Jika kehadiran berarti "adanya (seseorang, atau sekumpulan orang) pada suatu tempat” dan tempat berfungsi menjadi “wadah atau tempat” untuk “menyimpan atau melakukan sesuatu,” tempat digital dan kehadiran di tempat digital tersebut secara hukum bisa kita artikan sebagai kehadiran.

Meski demikian, kehadiran dalam ruang digital memiliki tantangannya tersendiri ketika kita bicara mengenai makna kehadiran dalam pemahaman teologis, terutama dalam kehidupan peribadahan. Apakah kehadiran akun seseorang pada dunia digital menyatakan kehadirannya?

Dalam ruang digital, dan berdasarkan pemikiran Heidegger dan Derrida mengenai metaphysics of presence, kita menemukan bahwa setiap subjek (Dasein dalam Bahasa Heidegger) harus menyadari mengapa dia ada dalam ruang itu, membangun relasi yang bermakna melalui kesadaran antarsubjek yang saling

menemukan tanda kehadiran yang lain. Kehadiran berarti datangnya bentuk atau tanda objek kepada subjek. Untuk membuat subjek bisa mengenali subjek lainnya, mereka

13UU RI No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Bagian Penjelasan Bab I Umum, paragraf 9.

(12)

harus bisa saling mengenali tanda kedatangan. Tanda kehadiran dalam ruang digital adalah video (gambar), dan suara. Ketika subjek saling mengenali kehadiran yang lain, dalam ruang digital, mereka bisa menyepakati kehadiran satu dengan yang lain.

Kehadiran demikian akan kita beri nama kehadiran dengan relasi antarsubjek yang bermakna.

Kesimpulan di atas membawa kita kepada mode ruang digital yang menuntut kehadiran antarsubjek yang bermakna dengan syarat keterlemparan yang disadari dan relasi antarsubjek yang saling mengenal tanda kehadiran yang lain dalam ruangan tersebut. Beberapa aplikasi teleconference bisa menunjukkan kehadiran yang membuat semua subjek mampu berelasi yaitu berbagai aplikasi video call seperti Zoom, Skype, BlueJeans, Cisco, Google Meet, Facebook Group Call, Whatsapp Video Call, dsb.). Namun demikian, kehadiran yang tidak membutuhkan relasi antarsubjek yang bermakna, dalam pemahaman Derrida – teks: penanda kehadiran yang melampaui batas waktu – bisa ditemui dalam aplikasi Youtube, media sosial, dan aplikasi pengantar pesan lainnya.

Komunitas

Persoalan soal komunitas virtual dan real menjadi tantangan terbesar di kemudian hari. Ketika seseorang merasa nyaman berada di balik komputernya dan masuk ke dalam forum atau kelompok-kelompok di internet, apakah dia sedang berada dalam komunitas? Apa makna komunitas? Dalam level gereja, komunitas juga menjadi semakin tersegmentasi. Orang akan mencari gereja yang sesuai dengan hatinya, dan dia akan pergi ke gereja yang hanya sesuai dengan keinginannya.

Beberapa studi yang membicarakan virtual community, dan juga

mempertanyakan kekuatan dari perseku¬tuan gereja yang terancam oleh bentuk baru tidak memberikan terobosan yang berarti. Salah satu contoh adalah penelitian yang dilakukan oleh Dyikuk. Baginya, gereja harus mengatasi budaya digital yang baru.

Definisi budaya digital adalah,

In this study, Digital Culture is understood as the contemporary explosion of Information and Communication Technologies and how they affect the gathering and processing of information as well as human interactions, worldviews, beliefs and opinions. By placing Inter Mirifica (Decree on Mass Media) on the front burner at the first session of the Second

Vatican Council, the Council Fathers set the Church in motion for embracing the digital culture (Sanders, 2015). (Dyikuk 2017, 45)

Dyikuk kemudian memprediksi bagaimana gereja bergumul menyesuaikan diri dengan budaya digital tersebut meski tanpa data lapangan atau analisis. Budaya digital akan membawa gereja kepada godaan untuk terlibat dalam pelayanan gereja online.

Namun, menurut Dyikuk, efek negatif dari gereja online adalah: penurunan kehadiran di

(13)

Gedung gereja, individu menggantikan komunitas, gawai tanpa interaksi manusia, subjektivitas dan relativisme, dan tantangan koneksi internet. Pada akhirnya Dyikuk tidak memberikan pandangan teologis yang berarti mengenai bagaimana jemaat harus merespons perubahan ini dalam level teologis. Dyikuk memberi beberapa saran yang termasuk menciptakan gereja online dalam bentuk forum yang melengkapi gereja on- site. Yang Dyikuk juga belum antisipasi bahwa akan ada gereja yang sepenuhnya memberikan pelayanan online tanpa memiliki tempat fisik.

Dalam bentuk online, gereja juga dipengaruhi oleh syarat yang berbeda akan para pelayan penuh waktu dalam pemahaman tradisional. Jika tadinya para pelayan firman dan mereka yang menjadi teladan adalah mereka yang menempuh pendidikan akademik, professional dan menginspirasi (Olusola 2015, 210), sekarang menjadi

mereka yang memiliki konten relevan dan memiliki kepribadian menarik. Perubahan ini juga datang dari kebutuhan masyarakat untuk komunikasi dua arah yang dimungkinkan di media sosial dibandingkan satu arah yang sering terjadi dalam ibadah (McIntosh 2015, 141).

Perlu kita catat juga bahwa pemahaman mengenai komunitas ruang virtual telah menjadi semakin positif seiring dengan perkembangan teknologi dan semakin

seringnya kita menggunakan fasilitas tersebut. Misalnya, Cheryl di 2006 mengatakan,

In particular, I argue that cyberspace is a uniquely appropriate medium for the enactment of religious ritual, for it returns ritual to its fundamental relationship with the virtual. By offering virtual presence from inside a virtual realm, ritual, as enacted symbol in cyberspace, is all the more effective at pointing beyond itself to the divine or the sacred. (Cheryl 2006, 76)

Dalam tulisannya mengenai kemungkinan pelayanan perjamuan kudus secara online, Cheryl sudah melihat bahwa kita perlu memikirkan ulang makna ritus karena simbol kehadiran di ruang virtual menunjuk ke simbol yang sama dengan ruang fisik.

Meski demikian, saya juga berargumen bahwa Cheryl sepertinya melupakan faktor penting mengenai makna real presence dalam teologi yang menjadi perdebatan panjang karena berkaitan dengan roti dan anggur dan perubahan setelah konsekrasi. Di samping kesimpulan yang Cheryl ajukan yang masih memiliki kelemahan, reaksinya yang positif mengenai komunitas online perlu kita catat.

Setelah teknologi berkembang, dan komunitas online semakin menjamur, dalam tulisannya di 2011, Campbell berargumen bahwa komunitas virtual adalah sebuah komunitas yang terbatas pada teknologi yang berbeda dengan komunitas onsite/ruang fisik (Campbell 2011, 57). Baginya, komunitas dunia virtual baru bisa terbentuk Ketika sebelumnya mereka sudah mengalami perjumpaan di dunia fisik. Ruang virtual hanya berfungsi untuk menguatkan komunitas yang sudah ada. Menurut Campbell, teknologi

(14)

tidak dapat menciptakan komunitas orang percaya, karena Allah yang akan

mengumpulkan orang percaya dalam Roh Kudus (Campbell 2011, 59; Wise 2014, 43).

Misi di Dunia Digital

Lalu, bagaimana gereja bisa terlibat aktif dalam pekerjaan missio Dei melalui media? Setiap gereja sekarang memiliki media sosial dan juga website untuk

menyebarkan kabar baik melalui internet. Apakah pekerjaan misi di masa depan adalah membuat orang percaya melalui internet? Misi membuat orang percaya akan sebuah pesan agama bisa kita lihat buktinya melalui gerakan radikalisasi yang terjadi melalui internet. Jika demikian, bagaimana gereja bisa memiliki misi dalam dunia digital? Proses komunikasi dapat terbantu melalui internet. Dalam sebuah studi oleh Gabel terhadap komunitas Yahudi di Israel (2006), dia menemukan bahwa baik grup keagamaan maupun sekuler sama-sama menggunakan media menurut keperluan mereka. Grup religius cenderung melihat teknologi media sebagai sebuah alat yang harus digunakan dengan baik, daripada sebagai sebuah musuh yang jahat (dalam Cohen 2012, 10).

Pemahaman misi memang tidak bisa kita pecah dari pesan keseluruhan Injil, terutama bahwa seluruh Alkitab berisi firman Allah dan misi Allah yang memperli- hatkan inisiatif Allah dalam relasinya dengan makhluk ciptaan (Wright 2006). Namun, jika kita mencoba literary interpretation dalam pemahaman pemberitaan di Markus dan Lukas, penggunaan media sosial membuat pemberitaan ke seluruh dunia menjadi efektif. Meski demikian, kita juga harus mengingat bahwa perintah untuk pergi ke seluruh dunia dipahami Yesus sebagai perintah literer secara fisik, pergi ke ujung dan batas dari keyahudian dan menuju bangsa-bangsa di luar Israel. Perintah pergi ke seluruh dunia bisa kita terjemahkan entah sebagai pergi secara fisik ke tempat-tempat yang belum mendengar Firman Allah, atau bisa juga dengan memberi kampanya media sosial yang baik untuk menjangkau mereka yang belum mendengar kabar baik. Meski demikian, kelemahan dari penggunaan media teknologi untuk mencapai pendengar pertama, karena dia tidak lagi personal, dan sulit untuk diukur karena apa yang disebut sebagai media bubble.14Lebih sulit lagi, kita sekarang berada dalam genggaman media sosial yang cenderung menyensor apa yang kita tampilkan berdasarkan aturan yang

14Media bubble adalah “an environment in which one’s exposure to news, entertainment, social media, etc., represents only one ideological or cultural perspective and excludes or misrepresents other points of view” (Dictionary.com s.v. “media bubble”). Media bubble membuat kita hanya membaca apa yang kita ingin baca, karena algoritma media sosial atau berita bahkan mesin pencari disesuaikan dengan apa yang mereka [baca: AI dari mesin pencari atau media sosial] pikir sesuai dengan kebutuhan kita berdasarkan terminologi yang kita masukkan di mesin pencari atau media sosial. Bahkan media nasional di Amerika Serikat juga diduga berdasarkan media bubble mereka sendiri sehingga polaritas antara pendukung Demokrat dan Republikan di Amerika Serikat akan semakin luas. Lihat Jack Shafer and Tucker Doherty, “The Media Bubble Is Worse Than You Think,” Politico, 2017, https://www.politico.com/magazine/story/2017/04/25/media-bubble- real-journalism-jobs-east-coast-215048.

(15)

mereka umumkan (Gillespie 2018, 5-9) dan kepentingan yang ada di balik organisasi mereka. Seringkali kepentingan yang mereka miliki dipengaruhi oleh politik mereka dalam pemahaman,

Rather, politics is understood in more general terms, as ways of world-making—the practices and capacities entailed in ordering and arranging different ways of being in the world. Drawing on insights from Science and Technology Studies (STS), politics here is more about the making of certain realities than taking reality for granted (Mol, 2002; Moser, 2008;

Law, 2002). (Bucher 2019, 3)

Dengan pemaparan di atas, kita bisa memahami bahwa media sosial yang dimiliki untuk mengabarkan Kabar Baik akan banyak tergantung kepada jenis media, apa kebijakan media tersebut, dan media bubble para pembacanya. Akibatnya, besar kemungkinan orang yang membaca pemberitaan kabar baik adalah mereka yang memang terekspos terhadap kata-kata kunci yang berhubungan dengan kekristenan.

Dengan kata lain, siapa yang menjadi pembaca/viewer/reader/subscriber/member adalah mereka yang memang mencarinya.

Meski demikian, Paus Benediktus sudah memahami pentingnya jejaring dalam penginjilan, sehingga dengan jejaring kita bisa saling menguatkan.

Social networks, as well as being a means of evangelization, can also be a factor in human development. As an example, in some geographical and cultural contexts where Christians feel isolated, social networks can reinforce their sense of real unity with the worldwide community of believers. The networks facilitate the sharing of spiritual and liturgical resources, helping people to pray with a greater sense of closeness to those who share the same faith. (Benedictus XVI 2013)

Jejaring yang dimaksud Paus Benediktus XVI bisa kita bentuk melalui media sosial. Karena pemahaman demikian, Egere, melihat media sebagai sebuah “alat” untuk melakukan penginjilan.

The Church, therefore, “Sees these media as ‘gifts of Cod’ which, in accordance with Ids providential design, unite men in brotherhood and so help them to cooperate with his plan of salvation.” This vision of the Church calls for urgent application of the social media stratagem in the evangelization vista (Egere 2015, 192).

Lebih lanjut, Egere juga melihat pentingnya pengembangan model penginjilan berdasarkan strategi pemasaran dengan pendekatan dan teknik psikologis. Egere melihat media sosial sebagai cara yang sangat efektif untuk berkomunikasi dengan dunia yang semakin terintegrasi dalam web. Menurutnya, gereja harus mereorientasi programnya dengan cara terkini untuk menyesuaikan diri dengan metode terbaru (Egere 2015, 203; Olusola 2015, 220-222).

Reimann, memandang bahwa kepentingan untuk penginjilan di ruang media sosial adalah kebutuhan, dan sekarang saatnya untuk bicara mengenai cara untuk menampilkan diri sebagai sebuah gereja (Reimann 2017, 73-74). Beberapa hal yang dia khawatirkan adalah persona online yang tidak sama dengan apa yang adad alam dunia

(16)

nyata, dan aturan yang berbeda yang ditampilkan oleh dunia media sosial. Karena berbagai tantangan, Reimann membedakan agama online dan agama di ruang online Reimann 2017, 77). Baginya, agama harus muncul di ruang online namun tidak menjadi agama online (agama yang dipraktikkan murni di ruang online). Kita bisa

menyimpulkan bahwa misi di ruang online adalah pelengkap dari pelayanan yang gereja lakukan di ruang tiga dimensi.

Umumnya, para tokoh agama memandang teknologi komunikasi melalui internet sebagai hal yang positif dalam pengembangan komunitasnya (Cheong 2013, 79). Meski demikian, pengetahuan bahwa kompleksitas algoritma pemilihan (masalah potensi dan promosi), kekuatan persona online (masalah otoritas), serta otentisitas

pembicara/influencer (masalah originalitas) menjadi tantangan yang perlu dieksplor gereja dalam keterlibatannya untuk melakukan pekerjaan misi (konten misi) di dunia media sosial.

Etika dan Privasi

Pertanyaan lain yang muncul adalah soal privasi. Karena keterbukaan data, kita dengan mudah menemukan informasi mengenai orang yang ingin kita cari di Internet.

Banyak pihak HRD perusahaan sudah menggunakan teknologi informasi untuk mencari tahu tentang orang yang melamar untuk bekerja di perusahaannya. Orang juga bisa dengan mudah mencari informasi mengenai gereja yang akan diikutinya melalui internet. Pada akhirnya, kita menjadi lebih khawatir mengenai privasi. Orang Asia dan Afrika memiliki tendensi untuk lebih membagi informasi mengenai dirinya

dibandingkan orang Eropa Barat dan Amerika Serikat. Over-information juga menjadi ciri dari zaman sekarang, ketika orang tahu lebih banyak dari yang dia ingin tahu. Dalam gereja, kita juga bertanya soal privasi perkunjungan ke orang sakit, foto orang

meninggal, pengumuman pasangan yang sedang konseling oleh pendeta di media sosialnya, berbagi gambar yang dinilai orang tidak pantas untuk dibagi, dsb. Privasi dan ruang publik menjadi agak sumir. Ketika seseorang berbagi informasi di media

sosialnya, apakah dia sedang berbagi di ruang publik? Para pendeta juga terlihat gagap dalam menggunakan keterbukaan ini, sehingga sebuah pelatihan mengenai penggunaan media sosial perlu dilakukan oleh gereja.

Di sisi lain, public shaming dan public bullying semakin merajalela. Rakyat bisa dengan cepat mempermalukan atau membully seseorang yang dianggapnya melakukan perbuatan tercela. Anonimitas dan adanya jarak sebenarnya di media sosial membuat seseorang tidak berpikir lagi mengenai konsekuensi tindakannya kepada orang yang dihinanya (Görzig 2013). Mungkin orang gereja juga ada yang ikut melakukan ini dalam berbagai kasus yang ada. Dalam sisi lain, public shaming juga bisa mendorong

(17)

perubahan sikap dari tokoh publik yang melakukan tindakan memalukan. Di sisi lain, public shaming menambah kehancuran korban tindakan tersebut.

Usul Respons Teologis

Setelah melihat beberapa isu yang harus dihadapi di atas, saya akan mengajak kita untuk fokus kepada tiga hal yang menjadi isu konkret teologis yang harus dihadapi oleh gereja-gereja.

1) Gereja, Pertemuan, dan Makna Persekutuan

Dalam beberapa dekade belakangan, makna persekutuan telah diguncang oleh televangelisasi. Jemaat beribadah di depan televisinya. Kita bisa dengan cepat

mengatakan bahwa ibadah seperti itu lebih bersifat egois karena tidak menyertakan persekutuan di dalamnya. Mereka yang beribadah di depan layer televisinya tidak akan pernah mengenal saudara-saudara dalam persekutuan. Namun, bagaimana jika dia memang mengenal orang-orang yang beribadah dengannya, dan dia juga bisa ikut berinteraksi serta merasa lebih dekat dengan teman-temannya melalui persekutuan internet daripada persekutuan nyata yang ada di sekitarnya. Kita harus memiliki batasan dan definisi yang jelas mengenai persekutuan. Apakah persekutuan itu adalah soal kehadiran atau soal perasaan?

Pertama, apa arti perjumpaan? Syarat sebuah persekutuan adalah jemaat yang berjumpa dalam sebuah ruang yang sama. Dalam banyak diskusi, makna persekutuan selalu merujuk kepada perkataan Yesus, “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat. 18:20). Dalam

perkataan ini ada tiga hal yang perlu kita telaah bersama. Pertama faktor manusia, dua pihak atau lebih. Kedua faktor perkumpulan dari para manusia tersebut. Ketiga, faktor kehadiran Kristus, yang kemudian terikat dengan waktu.

Kita akan mencoba menjawab pertanyaan pertama mengenai faktor manusia, dua orang atau lebih. Sebuah persekutuan menuntut adanya beberapa orang yang memiliki kesamaan minat. Dalam hal ini, perkumpulan pengikut Kristus disatukan oleh nama Kristus.

Kedua adalah soal perkumpulan. Kita memiliki pertanyaan apakah berkumpul selalu mengasosiasikan beberapa pihak tersebut berada dalam ruang yang sama? Tentu pertanyaan ini tidak bisa kita samakan dengan konteks Tuhan Yesus, karena mereka tidak memiliki pertanyaan yang sama dengan kita. Bagi mereka, perkumpulan adalah pertemuan dalam sebuah ruang tiga dimensi. Namun bagi kita, dengan perbedaan definisi mengenai ruang, ruang cyber, dengan IP (Internet Protocol) address juga menjadi sebuah “ruang” di mana orang bisa berkumpul dalam suatu forum.

(18)

Perkumpulan mensyaratkan perjumpaan antarmanusia. Seiring dengan kemajuan teknologi, perjumpaan didefinisikan ketika kita melakukan percakapan sambil saling “melihat” dan “mendengar.”15Dengan definisi perjumpaan adalah saling melihat dan mendengar, tanpa sentuhan fisik, seorang mahasiswa akan dianggap hadir ketika dia bisa memperlihatkan diri dan mendengar/bicara dalam ruang belajar virtual.

Oleh karena itu, diskusi teologis yang menjadi fokus utama adalah apa makna kehadiran? Dalam Bahasa Indonesia, kehadiran berarti “adanya (seseorang, sekumpulan orang) pada suatu tempat” (KBBI s.v. “kehadiran”). Jika ruang virtual adalah “tempat”, maka kehadiran virtual – dalam bentuk melihat dan mendengar – juga adalah kehadiran.

Dengan pemahaman demikian, persekutuan virtual, selama mereka berkumpul di satu ruang, dan bisa saling melihat dan mendengar, bisa kita definisikan sebagai persekutuan yang sepenuhnya. Inilah tantangan bagi gereja nanti. Apakah virtual presence bisa kita samakan dengan real presence (secara 3 dimensi)?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya akan menggunakan pendekatan filosofis dalam diskusi hiperrealitas dan realitas. Kenyataan masyarakat di abad XXI tentu tidak bisa lepas dari budaya virtual reality. Manuel Castells seorang sosiolog dan ahli kultur urban, melihat kedekatan antara budaya real dan virtual dan mengatakan bahwa,

Reality (that is, people’s material / symbolic existence) is entirely captured, fully immersed in a virtual image setting, in the world of make believe, in which appearances are not just on the screen through which experience is communicated, but they become the experience.

(Castells 1996, 373)

Definisi Cartells mengenai realitas memperlihatkan bahwa simulasi dan simbol yang tadinya menjadi alat yang menggambarkan dan menjelaskan kenyataan ternyata bergerak untuk menggantikan kenyataan itu sendiri (Bell 2007, 83). Dengan kata lain, sebuah tanda yang digunakan untuk menjelaskan kenyataan pada akhirnya menjadi kenyataan itu sendiri.

Satu hal yang menjadi ganjalan juga dalam teori Baudrillard adalah klaim bahwa Allah juga bisa dijelaskan sebagai simulacrum dari keinginan manusia yang tidak

terpenuhi, dan akhirnya simbol itu menjadi yang utama. Baudrillard menulis, “...God never existed, that only the simulacrum ever existed... If they could have believed that these images only obfuscated or masked the Platonic Idea of God, there would have been no reason to destroy them.” (Baudrillard 1994, 4-5). Karena itu, pertanyaan kita adalah apakah betul yang real itu adalah real dan bukan simulacrum dari yang real?

15Definisi ini menjadi problematis ketika dihadapkan pada mereka yang buta dan tuli.

(19)

Dalam dunia modern, mereka yang mengetahui soal simulacrum kemudian bergerak untuk menguasainya sebagai cara untuk mengubah kenyataan dan mengarahkan orang ke persepsi yang ingin ditampilkannya. Beberapa studi yang dilakukan lebih lanjut adalah dalam topik marketing dan desain mal dan supermarket.

Desain produk juga bisa membuat seseorang melupakan bahwa produk tersebut sebenarnya sedang merepresentasikan sesuatu, dan pada akhirnya bisa membuat sebuah produk menjadi real pada dirinya sendiri. Misalnya, sebuah boneka jeruk dibuat untuk menggambarkan produk sunquist yang sebenarnya adalah representasi dari jeruk. Yang menjadi masalah adalah ketika orang melihat representasi boneka jeruk tersebut dan justru mengingat produk sunquist dan bukan jeruk.

Media memiliki kekuatan yang besar dalam masalah representasi yang kita gambarkan di atas (Ritzer dan Smart 2003). Baudrillard melihatnya sebagai sebuah kenyataan yang membawa masalah. Ada beberapa filosof yang melihat simulacrum sebagai kesempatan untuk mengubah persepsi masyarakat akan hal-hal yang nantinya membawa kebaikan.

Tantangan kemudian yang kita hadapi adalah untuk mengetahui apa yang real.

Strategi hyperreality adalah nilai yang mengambang sehingga nilai bukan lagi

tergantung kepada apa yang suatu kenyataan itu tawarkan melainkan bagaimana kita memersepsikan sesuatu itu, atau lebih buruk lagi, bagaimana pihak yang memiliki kekuatan mengendalikan dunia melalui simulacrum yang mereka ciptakan. Menurut Baudrillard, cara melawan hiperrealitas adalah dengan menciptakan hiperrealitas lain yang akan mengalahkannya (Baudrillard 2001, 123). Jika demikian, apakah yang real itu ketika persaingan yang muncul adalah antara hyperreal vs hyperreal?

Dengan belajar dari pengalaman Baudrillard, Bartholomew & Goheen menyatakan bahwa konsumerisme yang mendominasi dunia kita memperlihatkan pentingnya kita kembali kepada realitas (Bartholomew & Goheen 2013, 187-188).

Tradisi kekristenan memahami arti kehadiran yang melampaui tiga dimensi.

Dalam iman, kita bisa mengatakan bahwa Allah adalah omnipresent, dan Kristus selalu hadir dalam Gereja, meski kita tidak bisa melihat-Nya secara fisik. Melalui ikon, simbol, peristiwa liturgis, kita bisa menghayati kehadiran yang sesungguhnya dari Yang Ilahi.

Jika demikian, kehadiran kemudian kita definisikan melalui perasaan akan keberadaan, bukan karena kehadiran. Kita menyatakan bahwa Allah benar-benar hadir ketika perasaan kita, yang diperkuat oleh ibadah, ritus, simbol, dsb., mengatakan bahwa Dia hadir. Unsur perasaan, melihat, dan mendengar yang sudah terpenuhi melalui kemajuan teknologi komunikasi menantang gereja untuk mendefinisikan ulang makna perseku- tuan.

(20)

Satu hal yang pasti tidak bisa dilaksanakan dalam persekutuan online adalah pelayanan sakramen. Persekutuan yang mewujud dalam bentuk daging (Yoh. 1:14) juga membuat Allah merasa perlu untuk hadir di tengah manusia dalam Kristus meski dia juga bisa bersama dengan kita dalam Roh. Kehadiran personal dan sentuhan fisik membedakan kunjungan Yesus ke tengah-tengah orang sakit, miskin, dan

membutuhkan, dibandingkan perintah-Nya yang cukup menyembuhkan. Menurut saya, relasi interpersonal yang sesungguhnya bisa dicapai melalui persekutuan yang

berjumpa dalam ruang tiga dimensi. Namun, perjumpaan untuk pengajaran kemudian bisa dilakukan dalam ruang virtual. Karena itu, live streaming pengajaran dan ibadah harus dilihat sebagai alternatif bagi gereja untuk menjangkau audiens yang lebih luas (kesaksian), namun bukan dalam rangka menumbuhkan persekutuan.

2) Ibadah & Teknologi

Penggunaan projector LCD dalam ibadah dimulai oleh gereja pentakostal dan karismatik. Pada mulanya mereka perlu membebaskan tangan mereka dari tugas memegang teks agar jemaat bertepuk tangan sambil bernyanyi. Ilustrasi dalam bentuk video dan gambar juga membantu orang lebih fokus kepada pesan yang ingin

disampaikan. Meski, tampilan multimedia yang buruk dapat menjadi batu sandungan bagi jemaat yang kritis. Teknologi mempunyai tiga wajah bagi teologi. Pertama, teknologi membantu menyebarluaskan pesan teologi. Kedua, teknologi mengganggu teologi. Dan ketiga, teknologi menjadi alat bagi teologi. Monsma pernah memprediksi penggunaan teknologi bagi masa kita,

Technology and its results are so much with us that, like the air we breathe, their presence and effects go unnoticed and unanalyzed. As a result modern technology and all it entails are often accepted by default, with few questioning what life would be like if humankind

performed tasks and attained goals by other means. (Monsma 1986, 1)

Saya sendiri melihat gereja lebih mudah menerima penggunaan teknologi pada tahun 2015-an hingga sekarang daripada sebelumnya. Beberapa gereja bahkan pernah menolak penggunaan LCD karena dianggap mengganggu konsentrasi orang dari ibadah.

Sementara itu, tata ibadah yang diproyeksikan ke multimedia menolong pengurangan penggunaan kertas dalam ibadah. Teknologi multimedia pada akhirnya memang membantu bagi jemaat yang bisa menggunakannya secara maksimal.

Selanjutnya, muncul pertanyaan di mana posisi yang sakral dalam ibadah? Dalam era teknologi, batasan mengenai yang sakral dan profan menjadi hilang. Kekritisan kita akan kebenaran informasi juga membuat kita mempertanyakan segala hal. Generasi baru juga tidak lagi melihat barang-barang yang dulu dianggap sakral sebagai hal yang sakral. Contohnya, apakah kita masih melihat Alkitab sebagai buku yang berisi Firman

(21)

Allah atau sebagai Firman Allah. Ada sebuah masa di mana Alkitab hanya bisa disebarkan melalui format buku. Namun, di era digital, buku bukan lagi kebutuhan karena kita sudah menemukan berbagai format lain yang memudahkan pembacaan konten (e-book misalnya). Karena Alkitab dulu susah ditemukan, dan buku adalah format yang memungkinkan kita membaca Alkitab, dia menjadi penting bagi kita. Tidak jarang kita menemui jenazah yang dikuburkan bersama Alkitabnya, meski saya belum pernah melihat orang yang dikubur bersama tabletnya. Bentuk elektronik membawa kemudahan tapi memerlukan diskusi lebih lanjut. Pada akhirnya, perubahan format adalah keniscayaan. Pertanyaannya adalah apakah kita siap ketika semua format akan berubah?

Dalam situasi demikian, kita bisa memegang pedoman, ketika semua dilakukan untuk kemuliaan nama Allah (1Kor. 10:33), dan jemaat menyetujuinya dalam kerangka kesatuan tubuh Kristus (Ef. 4), teknologi bisa membantu pelayanan dalam peribadahan.

3) Spiritualitas vs Religiusitas

Di masa perkembangan teknologi, kita membedakan spiritualitas dan

religiusitas. Meski berhubungan keduanya tidak otomatis saling membutuhkan. Nancy Ammerman dalam Spiritual but not Religious? Beyond Binary Choice in the Study of Religion mengungkapkan bahwa spiritualitas adalah partisipasi terhadap kegiatan- kegiatan keagamaan, etika atau cara hidup, mengalami kehadiran Tuhan, tujuan hidup, kepercayaan kepada Tuhan, dan sesuatu yang berorientasi pada batin seseorang (Ammerman 2013, 263-264; Hardjana 2005). Sementara, religiusitas merujuk kepada keterikatan kepada sebuah organisasi keagamaan yang memiliki aturan baku, hari keagamaan, aturan/tata peribadahan, dsb.

Pada era I.4, istilah spiritualitas lebih disukai daripada religiusitas karena beberapa hal. Pertama, spiritualitas dipandang sebagai sepertinya lebih bersifat individual dan religiusitas bersifat komunal (Harvey 2016, 129). Karena bersifat individu, pengembangan spiritualitas juga bisa dilakukan dalam berbagai model (Pakpahan 2014, 141–43). Karena itu, spiritualitas dilihat sebagai pengembangan diri sendiri yang lebih otentik karena terhubung kepada individu. Ammerman mengatakan,

“spirituality as “more authentic” than organized religion because they themselves have created it” (Ammerman 2013, 259). Lalu, faktor pengalaman buruk umat beragama terhadap para pemimpin agama membuat orang lebih memilih spiritualitas yang membuat seseorang berhubungan langsung kepada Allah daripada pemimpin organisasi (Fuller 2001, 6).

Sementara itu, spiritualitas tidak bisa lepas dari religiusitas karena tujuan dari agama adalah membangun spiritualitas umat. Graham Harvey menulis istilah SBNR

(22)

(Spiritual But Not Religious) untuk mencoba memisahkan kedua istilah tersebut.

Baginya, spiritualitas tidak harus terikat kepada sebuah organisasi atau unsur agama (Harvey 2016, 164). Spiritualitas tidak melulu terikat kepada apa yang institusi religius definisikan. Media dan budaya kontemporer yang dipopulerkan oleh teknologi turut membentuk definisi spiritualitas (Ammerman 2006, 71-72).

Sebagai lembaga religius, gereja juga ditantang untuk memikirkan ulang definisi spiritualitas yang mereka tawarkan, terutama dalam menyebutkan bagaimana

seseorang membangun spiritualitasnya. Dalam kecenderungan kebutuhan gereja di milenium ketiga mengenai pertumbuhan spiritualitas pribadi, yang otentik, menantang gereja untuk menyediakan persekutuan yang juga memfasilitasi perjumpaan personal antara individu dengan Allah. Gereja harus hati-hati dalam menimbang faktor komunal dan individual bagi spiritualitas jemaat.

Daftar Acuan

Ammerman, Nancy T. 2006. Everyday religion: Observing modern religious lives. New York: Oxford University Press

______________. 2013. Spiritual but not religious? Beyond binary choice in the study of religion. Journal for The Scientific Study of Religion: 258-278.

Barbour, Ian G. 1990. Religion in an age of science. London: SCM Press Ltd.

Bartholomew, Craig G. & Michael W. Goheen. 2013. Christian philosophy: A systematic and narrative introduction. Ada Michigan: Baker Academic.

Baudrillard, Jean. 2001. Simulacra and simulation. Transl. Sheila Faria Glaser. Ann Arbor, Michigan: The University of Michigan Press.

Bazin, Jean-Nicolas & Jérôme Cottin. 2004. Virtual Christianity: Potential and challenge for the churches. Geneva: WCC Publications.

Borowik, Claire. 2018. “From radical communalism to virtual community: The digital transformation of the Family International.” Nova religio 22, no. 1: 59–86.

https://doi.org/10.1525/nr.2018.22.1.59.

Campbell, Heidi A. 2011. When religion meets new media. London; New York: Routledge.

Castells, Manuel. 1996. The rise of the network society. Oxford: Blackwell.

Cheryl, Casey. 2006. “Virtual ritual, real faith: The revirtualization of religious ritual in cyberspace.” Journal of religions on the internet 2, no. 1: 73–90.

https://doi.org/10.11588/rel.2006.1.377.

Christensen, Clayton M. 2016. Competing against luck: The story of innovation and customer choice. New York: Harper Business.

(23)

Cohen, Yoel. 2012. God, Jews and the media: Religion and Israel’s media. Abingdon, UK:

Routledge.

Dyikuk, Justine John. 2017. “Christianity and the digital age: Sustaining the online

church.” International journal of journalism and mass communication 3, no. 1: 43–

49. http://hdl.handle.net/123456789/2890.

Fuller. Robert C. 2001. Spiritual, but not religious: Understanding unchurch America.

New York: Oxford University Press.

Görzig, Anke, dan Lara A. Frumkin. 2013. “Cyberbullying experiences on-the-go: When social media can become distressing.” Cyberpsychology: Journal of psychosocial research on cyberspace 7, no. 1. https://doi.org/10.5817/CP2013-1-4.

Hardjana, Agus M. 2005. Religiositas, agama, dan spiritualitas. Yogyakarta: Kanisius.

Harvey, Graham. 2016. If “spiritual but not religious” people are not religious what difference do they make? Journal for the study of spirituality (Oktober): 128-141.

Ito, Joi & Jeff Howe. 2016. Whiplash: How to survive our faster future. New York: Grand Central Publishin.

Japan Cabinet Office Website. 2018. Society 5.0.

https://www8.cao.go.jp/cstp/english/society5_0/index.html. Diakses 9 November 2020.

Libert, Bary, Megan Weck, dan Jerry Wind. 2016. The network imperative: How to survive and grow in the age of digital business models. Boston: Harvard Business Review Press.

McIntosh, Esther. “Belonging without believing: Church as community in an age of digital media.” International journal of public theology 9, no. 2 (2015): 131–55.

https://doi.org/10.1163/15697320-12341389.

Monsma, Stephen V. 1986. Responsible technology: A Christian perspective. Grand Rapids: Williams B. Eerdmans.

Olusola, Emmanuel B. 2015. “Digital church and e-culture in the new media age: The spectrum of Nigeria.” African ecclesial review 57, no. 3 & 4: 206–24.

https://www.scribd.com/document/368083171/Inaku-K-Egere-Social-Media- and-Mission-based-Marketing-Approach-for-New-Evangelization-in-the-Digital- Age.

Pakpahan, Binsar J. 2014. Menuju model-model ibadah yang membangun: Sebuah telaah relasi pertumbuhan spiritualitas dan ibadah dalam dunia postmodern. Dalam Robinson Butarbutar, ed. Spiritualitas ekologis: Buku pengucapan syukur ulang

(24)

tahun ke-50 Pdt. Dr. Victor Tinambunan, 127–47. Jakarta: Yayasan Darma Mahardika.

Webb, Amy. 2016. The signals are talking: Why today’s fringe is tomorrow mainstream.

New York: PublicAffairs.

Wise, Justin. 2014. The Social Church a Theology and Digital Communication. Chicago:

Moody Publisher.

Tentang Penulis

Binsar Jonathan Pakpahan adalah pendeta Huria Kristen Batak Protestan yang diutus menjadi dosen di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, menjabat sebagai Wakil Ketua 4 Bidang Relasi Publik, pengampu matakuliah Filsafat, Etika, dan Teologi Publik.

Memperoleh gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) dari Fakultas Teologi Vrije Universiteit, Amsterdam (2011) dalam bidang Teologi Sistematika. Publikasi utamanya adalah God Remembers: Towards a Theology of Remembrance as a Basis of Reconciliation in

Communal Conflict (Amsterdam: VU University Press, 2012). Telah menerbitkan

berbagai artikel di jurnal internasional dan Indonesia. Sekarang sedang menyelesaikan disertasi habilitasi di Evangelisch-Theologische Fakultät, Westfälische Wilhelms- Universität (WWU) Münster, Jerman (sejak 2016), atas tema peran rasa malu dan hormat di komunitas Kristen Indonesia dalam praktik pengampunan dan kontribusinya terhadap pembentukan norma masyarakat Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Aktiva adalah sumber daya yang dimiliki oleh suatu perusahaan (Kieso et al., 2018 Dalam Undang-Undang No 28 Tahun 2007 Pasal 1, pajak merupakan kontribusi wajib kepada

Pelaksanaan pelatihan elektronika yang diikuti oleh para siswa, akan diberikan sebuah file word, dimana berisikan penjelasan dari sistem “Smart Home Security” sederhana

Sekolah sebagai institusi pendidikan merupakan salah satu tempat yang memiliki resiko terjadinya kecelakaan dan resiko henti jantung karena di sekolah siswa

Dalam menjalankan aktivitas usaha seringkali pengelola UMKM merasa kesulitan dalam melakukan pencatatan terhadap apa yang terjadi pada operasional usahanya (Shonhadji et

Dengan pelaksanaan penyuluhan akuntansi dasar ini kepada para siswa pihak mitra maka diharapkan kegiatan ini terus dapat berlangsung sehingga kegiatan ini dapat

a. Aspek media; misalnya dalam penggunaan kata istilah dan kalimat yang konsisten, bentuk dan ukuran huruf serasi, format halaman vertical/horizontal mudah digunakan

Solusi atas masalah yang dihadapi oleh guru SMK Santo Leo adalah memberikan pelatihan pelaksanaan penelitian tindakan kelas dengan analisis statistik menggunakan

Pendidikan dan pelatihan (diklat) berbasis kompetensi pada dasarnya memberi layanan pembelajaran secara individu. Oleh karena itu, penyelenggaraan SMK akan berhasil efektif