• Tidak ada hasil yang ditemukan

EARLY WARNING SYSTEM BENCANA BANJIR DAN SISTEM PENYEBARAN INFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN KOMUNIKASI RADIO LINK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "EARLY WARNING SYSTEM BENCANA BANJIR DAN SISTEM PENYEBARAN INFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN KOMUNIKASI RADIO LINK "

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

DISERTASI

EARLY WARNING SYSTEM BENCANA BANJIR DAN SISTEM PENYEBARAN INFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN KOMUNIKASI RADIO LINK

FLOOD EARLY WARNING SYSTEM AND DISTRIBUTION OF INFORMATION COMMUNICATION USING RADIO LINK

UMAR KATU P0800311007

PROGRAM STUDI S3 TEKNIK SIPIL SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2017

(2)

EARLY WARNING SYSTEM BENCANA BANJIR DAN SISTEM PENYEBARAN INFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN KOMUNIKASI RADIO LINK

Disertasi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Doktor

Program Studi

TEKNIK SIPIL

Disusun dan diajukan oleh

UMAR KATU P0800311007

Kepada

PROGRAM STUDI S3 TEKNIK SIPIL SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2017

(3)
(4)

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama :Umar Katu Nomor Mahasiswa : P0800311007 Program Studi : Teknik Sipil

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa disertasi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain.

Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan disertasi ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, Oktober 2017

Yang membuat pernyataan

Umar Katu

(5)

DAFTAR TIM PENGUJI

Promotor : Prof. Dr. Ir. H. Muhammad Tola, M.Eng Co-Promotor : (1) Prof. Dr. Ir. H. Muh. Saleh Pallu, M.Eng (2) Dr. Ir. H. Zulfajri Basri Hasanuddin,M.Eng

Anggota : Prof. Ir. Syamsir Abduh, MM., Ph.D (External) Prof. Dr. H. M.Wihardi Tjaronge, ST., M.Eng

Prof. Dr. H.M. Ansar Suyuti, MT Dr. Eng. H. Farouk Maricar, MT Dr. Ir. Zahir Zainuddin, M.Sc

(6)

PENGANTAR

Dengan Asma Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, atas Kasih Sayang-Nya penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Untuk itu penulis ucapkan rasa syukur kehadirat-Nya seraya mengucapkan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, dengan terselesaikannya disertasi ini yang merupakan salah satu persyaratan akademik guna memperoleh gelar Doktor dalam Program Studi Teknik Sipil Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin

Proses penyusunan disertasi ini sempat mengalami ke-vacumm-an, akan tetapi berkat motivasi istri tercinta, saudara-saudara dan sahabat-sahabat terdekat serta nasehat dan saran para pembimbing maka dengan menekankan kembali semangat ketekunan, kesabaran dan percaya diri, penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penyelesaian disertasi ini telah melibatkan berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung, perorangan maupun lembaga yang telah memberikan kontribusi dalam penyelesaian penyusunan disertasi ini. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang penulis hormati:

Pertama, Bapak Prof.Dr Ir. H. Muhammad Tola, M.Eng, selaku promotor,

Bapak Prof.Dr. Ir. H. Muh. Saleh Pallu, M.Eng dan bapak Dr. Ir. H. Zulfajri Basri Hasanuddin, M.Eng selakuk Co-promotor, melalui beliau bertiga dengan kesabaran, perhatian dan keikhlasannya telah memberikan dorongan, koreksi dan saran baik dari aspek metodologi penelitian maupun penyajian isi disertasi secara keseluruhan. Penulis benar-benar merasakan melalui beliau bertiga telah membuka cakrawala/pandangan, untuk itu sekali lagi penulis menghaturkan penghormatan dan penghargaan yang setinggi-tingginya serta mengucapkan terima kasih dengan iringan doa “semoga amal baik beliau diterima dan mendapat balasan dari Allah SWT Yang Maha Kasih, Maha Sayang dan Maha Pemurah”.

Kedua, Ibu rektor Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A., Dekan Fakultas Teknik Unhas, Ketua Jurusan Teknik Sipil Unhas, Ketua Program Studi S3 Teknik Sipil, para Dosen Teknik Sipil yang telah memberikan memberikan bekal

(7)

ilmu dan wawasan bagi penulis untuk menyelesaikan disertasi ini. Demikian juga kepada seluruh karyawan Tata Usaha PPS Unhas yang telah memberikan pelayanan kemudahan administrasi sejak penulis masuk kuliah hingga terselesaikannya penyusunan disertasi ini.

Ketiga, Direktur Politeknik Negeri Ujung Pandang Dr. Ir. Hamzah Yusuf, M.S,

Ketua Jurusan Teknik Elektro, Ketua Program Studi yang telah memberikan dukungan dan bantuan izin kepada penulis untuk melanjutkan studi.

Keempat, ayahanda Katu almarhum (1990/usia 60 tahun) dalam kesempatan ini

penulis iringkan dan panjatkan doa kepada beliau. “Robbighfirlii waliwaalidaiya warkhamhumaa kamaa robbayaanii shoghiiroo” dan ibunda Hj.Rasima, kakak kaka

penulis H Rawasia, Sahura, Drs. Muh Saleh, Drs.Djodding, Drs. Lahamuddin, MM serta adik adik Herman, Sumiati, S.Ag, Jusman dan Kadaruddin, S.E, penulis betul-betul menghaturkan terima kasih, atas dorongan/dukungan yang tiada henti serta doanya, sehingga penulis berhasil menyelesaikan studi.

Kelima, teman-teman mahasiswa S3 seangkatan pada program studi Teknik Sipil

PPS Unhas, kepada teman teman terima kasih atas motivasinya serta saling memberi kabar dan dorongan terhadap kemajuan dan terselesaikannya studi ini.

Keenam, semua handai taulan yang tidak dapat penulis sebutkan nama mereka

satu persatu yang ikut andil memberikan kontribusi baik langsung maupun tidak langsung berupa dorongan moril maupun materiel, sehingga penyusunan penulisan disertasi ini dapat terwujud.

Penulis menyadari bahwa penyusunan penulisan disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga apabila para pembaca sudi memberikan kritik, saran dan masukan dalam rangka penyempurnaan dan hanya dengan doa semoga Allah SWT membalas kebaikan semua pihak. Akhir kata penulis berbesar hati semoga disertasi ini dapat sedikit memberikan manfaat perkembangan ilmu pengetahuan.

Makassar, September 2017

Penulis

(8)
(9)
(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERSETUJUAN PRAKATA

ABSTRAK DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR

I Ii Iii Iv V Vi Vii

BAB I PENDAHULUAN 1

A Latar Belakang ………...…... 1

B Rumusan Masalah ……….……...……. 4

C Tujuan Penelitian ……….…... 4

D Manfaat Penelitian ………..……...……. 4

E Ruang Lingkup Penelitian ……….……... 5

F Sistematika Penulisan ……….….……… 6

G Kebaruan Penelitian ………...……… 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8 A Definisi Banjir ………...…… 7

B Faktor-Faktor yang Memengaruhi Banjir ….………...… 12

1. Curah Hujan ……….………....………. 12

2. Kelerengan (Kemiringan Lahan) ………...… 15

3. Elevasi (Ketinggian Lahan) ……….……... 16

(11)

4. Tingkat Permeabilitas Tanah ………....… 18

5. Aktivitas Manusia ………...……… 18

6. Penggunaan Lahan ………..……….. 19

7. Drainase ………...….…………. 20

8. Daerah Aliran Sungai (DAS) ………...…… 24

C Pemetaan Daerah Rawan Banjir Kota Makassar 26 D Penyebab Banjir ... 32

E Sistem Deteksi Dini Banjir ... 33

1. Spektrum Frekuensi Radio dan Panjang Gelombang 36 2. Frekuensi UHF ... 38

3. Sensor ... 43

4. Pemrosesan Data ... 50

5. Media Pengirim Data ... 55

6. Program Pendukung ... 56

7. Mekanisme Sistem Automatic Link Establisment (ALE) 58 8. Karakteristik Permukaan Dataran 61 BAB III METODE PENELITIAN ……….………….…. 64

A Waktu Penelitian ... 64

B Jenis Penelitian ... 64

C Lokasi Penelitian ... 64

D Penjabaran Garis Besar Penelitian ... 65

1. Studi pendahuluan ... 65

2. Perumusan Masalah ... 65

(12)

3. Tinjauan Pustaka ... 66

4. Pengumpulan Data ... 66

5. Data Primer ... 66

6. Data Sekunder ... 66

7. Analisa Data ... 66

8. Penarikan Kesimpulan dan Saran ... 67

9. Kerangka Penelitian ... 68

10. Metode Rancangan Penelitian ………..…… 70

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN……… 74

A Pemetaan Wilayah Kota Makassar……….. 74

B Pemetaan Wilayah Rawan Banjir……… 76

C Rancangan dan Pengujian……… 81

D Hasil dan Pembahasan……… 87

1. Pengujian Sistem Sensor Level Air ... 87

2. Pengujian Sistem Transmisi ... 95

3 Titik zona awal banjir……….. 101

4. Sistem Informasi………. 106

BAB V PENUTUP……… 108

A Kesimpulan……….. 108

B Saran……….. 109 Daftar Pustaka

Lampiran A. Analisa Pathloss transmisi Frekuensi Lampiran B. Analisa Model Propagasi

Lampiran C. Pemetaan kontur permukaan Kota Makassar Lampiran D. Hasil Uji Sensor

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Tabel 1 Beberapa penyebab banjir ... 10

2. Tabel 2 Klasifikasi KemiringanLahan ... 16

3. Tabel 3 Pemberian Skor Parameter Kelerengan ... 17

4. Tabel 4 Pemberian skor parameter Elevasi ... 18

5. Tebel 5 Kelompok lebar pita ITU ...38

6. Tabel 6 Daftar Kelurahan berdasarkan Kecamatan tergolong zona rawanbanjir 2014...64

7. Tabel 7. Daerah Aliran Sungai (DAS) ...75

8. Tabel. 8. Daerah Rawan banjir ...77

9. Tabel 9. Penyebab banjir per kecamatan ...78

10. Tabel 10. pengukuran pada kondisi pemantul dianggap diam ….90 11. Tabel 11. pengukuran pada kondisi pemantul bergelombang ...92

12. Tabel 12 pengukuran pada kondisi pemantul bergelombang naik ...94

13. Tabel 13. . Pengukuran sinyal terima ...99

14. Tabel 14. Perbandingan Path Loss Okumura dan RF Field Strength Analyzeruntuk titik ukur A ...99

15. Tabel 15. Pengukuran Rx Level (dBm) menggunakan RF Field Strength Analyzeruntuk titik ukur B ...100

16. Tabel 16. Perbandingan Path Loss Okumura dan RF Field Strength Analyzeruntuk titik ukur B ...100

17. Tabel 17. . Pengukuran Rx Level (dBm) menggunakan RF Field Strength Analyzeruntuk titik ukur C ...101

(14)

18. Tabel 18. Perbandingan Path Loss Okumura dan RF Field

Strength Analyzeruntuk titik ukur C ...101 19. Tabel 19. Pengkuran kontur permukaan daratan ...102 20. Tabel 20. Informasi Banjir ...106

(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Gambar 1 Hirarki Susunan Saluran... 23

2. Gambar 2. Peta lokasi Rawan banjir dengan ketinggian 0-50 cm ...27

3. Gambar 3. Peta Lokasi Rawan Banjir dengan Ketinggian 50-100 cm ... 28

4. Gambar 4. Peta Lokasi Rawan Banjir dengan Ketinggian 100-150 cm ...29

5. Gambar 5. Wilayah Rawan Banjir dengan ketinggian 150 Hingga 200 dan >200 cm ...30

6. Gambar 6.Peta wilayah banjir pada bantaran Sungai di Kota Makassar...32

7. Gambar 7. Sistem deteksi dini banjir ... 35

8. Gambar 8. Panjang gelombang radio di udara ... .36

9. Gambar 9. Jaringan komunikasi radio line-of-sight... .39

10. Gambar 10. Sistem telekomunikasi radio ... .40

11. Gambar 11 Kurva Amu ...44

12. Gambar 12. Diagram Waktu HC-SR04. ... .49

13 Gambar 13. Model sensor deteksi level air ... .50

14 Gambar 14. PIN AT Mega 8535 ... .53

15. Gambar 15. Diagram blok mikrokontroler AT Mega 8535 ... .55

16, Gambar 16. Sistem jaringan seleluler ... .56

17. Gambar 17. Ilustrasi mekanisme kerja sistem ALE ... .59

18. Gambar 18. (a) Sitem ALE menggunakan PC dan TNC ...60

(16)

20, Gambar 19. Model Permukaan dataran ...62

21. Gambar 20. Tampilan google earth ...63

22. Gambar 21. Bentuk kontur hasil tampilan google earth ...63

23. Gambar 22. Peta kota Makassar ... 67

24. Gambar 23. Bagan Alir studi awal Penelitian ... 68

25. Gambar 24. Bagan Alir Metodologi Penelitian ... 69

26. Gambar 26. Model Rancangan ... 70

27. Gambar 27. Pengujian transmitter ... 71

28. Gambar 28 Pengujian Receiver ... 71

29. Gambar 29 Pengujian perangkat sensor level air pada permukaan air rata ... 72

30. Gambar 30 Pengujian perangkat sensor level air pada permukaan air bergelombang ... 72

31. Gambar 31. Bagan perangkat sensor level air ...73

32. Gambar 32. Peta Daerah Aliran Sungai (DAS) ...75

33. Gambar 33. Peta Rawan Banjir Kota Makassar ...76

34. Gambar 34.. Grafik rawan banjir ...78

35. Gambar 35 Bentuk sensor HC-SR04 ...82

36. Gambar 36. Sistem sensor ultrasonik HC-SR04 ...83

37. Gambar 37. Pengujian perangkat sensor level air pada permukaan air bergelombang ...84

39. Gambar 38. Card sistem proses data ...86

40. Gambar 39 Media transmisi radio Halfduplex ...86

41. Gambar 40. Media transmisi radio GSM ...87

42. Gambar 41. . Diagram Waktu HC-SR04 ...88

(17)

43. Gambar 42. Kurva nilai kesalahan dari setiap pengukuran

pada air diam ... 91

43. Gambar 43. Kurva nilai kesalahan dari setiap pengukuran pada air bergelombang ... 93

44. Gambar 44. Kurva nilai kesalahan dari setiap pengukuran pada air bergelombang naik ...95

45. Gambar 45. Pengujian transmitter ...96

46. Gambar 46. Sinyal keluaran media transmisi pemancar ...96

47. Gambar 47. Pengujian Receiver ...96

48. Gambar 48. Sinyal informasi pada media transmisi penerima...94

49. Gambar 49. Daya pada media transmisi penerima -85 dBm ...97

50. Gambar 50. Pola pengujian media transmisi frekuensi 412 MHz ...98

51. Gambar 51. Titik zona penempatan alat deteksi dini banjir ...106

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Banjir merupakan bencana yang disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain faktor topografi wilayah, curah hujan, intensitas curah hujan dan dalam banjir limpasan kapasitas sungai yang tidak memadai. Semakin rendah daerah maka akan semakin berpotensi untuk terdampak banjir dan sebaliknya. Semakin tinggi curah hujan dan intensitas hujan maka debit banjir akan semakin besar, jika sungai tidak mampu menampung debit maka akan meluap atau melimpas kedaerah yang lebih rendah dan menjadi genangan ataupun aliran yang merusak.

Penanggulangan banjir dapat dilakukan dalam skala regional, lokal, atau bahkan spesifik pada satu unit bangunan saja. mengantisipasi penurunan muka tanah dan banjir dengan cara menimbun halaman dan membuat tanggul-tanggul sederhana. Antisipasi banjir per unit bangunan, meskipun tampak lebih murah, namun akan mengurangi estetika kota dan tidak menyelesaikan masalah secara tuntas. Di sisi lain, ide pembuatan bangunan air dalam skala regional memerlukan investasi yang besar dan penyelesaian yang cukup lama. Pilihan lain yang diduga cukup rasionall adalah dengan membuat polder baru, membuat pintu-pintu air atau tanggul penahan yang dapat mencegah terjadinya banjir pada lokasii tertentu saja menurut skala prioritas. Prioritas tertinggi tentu saja diberikan

(19)

pada lokasi yang memang didominasi oleh pemukiman padat atau sentra industri.

Upaya-upaya untuk mengatasi banjir telah dilakukan antara lain dengan melakukan pengerukan sedimen, merehabilitasi tanggul sungai untuk menambah kapasitas tampung debit sungai, peningkatan kemampuan meresapnya air hujan dari setiap penggunaan lahan baik daerah hulu maupun hilir dan menghindari daerah rawan banjir atau bantaran sungai sebagai tempat pemukiman.

Dalam upaya mengatasi permasalahan akibat terjadinya banjir, ada beberapa cara yaitu salah satunya mengetahui sebab-sebab terjadinya banjir dan daerah sasaran banjir, yang tergantung pada karakteristik klimatologi, hidrologi, dan kondisi fisik wilayah.

Kota Makassar termasuk daerah yang rawan bahaya banjir dan genangan air. Selain karena wilayahnya terletak di tepian laut yang mempunyai garis pantai sepanjang 20 km yang memanjang dari selatan ke utara dan relatif datar dengan ketinggian tanah antara 0 - 2 m , juga terdapat dua buah sungai yaitu Sungai Jeneberang yang mengalir melintasi Kabupaten Gowa bermuara di bagian selatan Kota Makassar dan Sungai Tallo yang bermuara di bagian utara kota.

Secara geografis, kawasan pantai Kota Makassar memanjang dengan posisi utara ke selatan. Di sepanjang pantai dijumpaii pendangkalan delta dan lidah pasir yang terbentuk akibat proses sedimentasi. Delta tersebut terletak di antara dua muara sungai, dan Iidah pasirnya berkembang ke arah utara sampai ke pantai Losari.

(20)

Bencana banjir hampir setiap tahun di Makassar terjadi pada setiap datangnya musim penghujan. Sebanyak 24 Kelurahan di 6 Kecamatan yang luas wilayahnya mencapai 7749, 56 Ha sering menjadi langganan banjir pada musim penghujan tiba. Beberapa kecamatan di Kota Makasar yang sering dilanda banjir terutama saat musim penghujan yaitu : Kecamatan Biringkanaya, Kecamatan Tallo, Kecamatan Tamalanrea, Kecamatan Manggala, Kecamatan Rappocini, dan Kecamatan Panakukang. Tidak sedikit kerugian yang di taksir akibat bencana banjir ini, baik itu secara fisik, sosial dan ekonomi.

Berdasarkan uraian di atas, maka salah satu cara untuk mengurangi dampak dari adanya banjir adalah adanya sistem informasi deteksi dini tentang akan datangnya banjir. Dengan mengaplikasikan frekuensi Very High Frequency (VHF) dan Ultra High Frequency (UHF) sebagai media transmisi, sistem akan mampu bekerja secara otomatis untuk memberikan informasi secara dini bahaya banjir dengan memanfaatkan teknologi sensor level air dan mikrokontroler sebagai prosesing data.

Untuk tujuan tersebut direncanakan untuk mengadakan penelitian fisik laboratorium terhadap; 1) Melakukan karakterisasi geografi wilayah kota Makassar. 2) Melakukan identifikasi wilayah kota Makassar berdampak banjir. 3) Mendesain sistem prosesing data sensor berbasis mikrokontroler. 5) Menganalisis implementasi frekuensi VHF dan UHF sebagai media transmisi informasi data dan voice.

Hasil data pengujian akan menerjemahkan tiga kondisi peringatan bahaya banjir yaitu: kondisi aman, siaga, dan bahaya.

(21)

B. Rumusan Masalah

Dalam upaya pelaksanaan penelitian yang lebih terarah, maka disusun beberapa rumusan masalah berikut ini:

1. Bagaimana melakukan identifikasi wilayah Kota Makassar berdampak banjir.

2. Bagaimana melakukan desain penyebaran informasi sistem deteksi dini banjir.

3 Bagaimana mendesain sistem prosesing data sensor berbasis mikrokontroler.

4. Bagaimana menganalisis implementasi frekuensi UHF sebagai media transmisi informasi data dan voice.

C. Tujuan Penelitian

Untuk melanjutkan dan menindaklanjuti rumusan masalah di atas, maka ditentukanlah tujuan penelitian ini sebagai berikut:

1. Melakukan identifikasi wilayah Kota Makassar berdampak banjir.

2. Melakukan desain penyebaran informasi sistem deteksi dini banjir.

3 Mendesain sistem prosesing data sensor berbasis mikrokontroler.

4. Menganalisis implementasi frekuensi UHF sebagai media transmisi informasi data dan voice.

D. Manfaat Penelitian

Seiring dengan berjalannya penelitian ini, maka diharapkan dapat memperoleh manfaat sebagai berikut:

(22)

1. Dengan teknologi water level sensor, maka dapat memberikan informasi dini tentang wilayah/daerah yang berpotensi banjir

2. Mengurangi korban bencana banjir baik korban jiwa, maupun harta benda.

3. Dapat memberikan informasi dan pemanfaatan peta kerawanan banjir yang digunakan dalam antisipasi terhadap bahaya banjir.

4. Sebagai bahan petimbangan pemerintah dalam mengantisipasi dan membuat strategi pengendalian banjir.

5. Memberi kontribusi dalam menambah wawasan penelitian dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dibatasi pada hal-hal sebagai berikut:

1. Penelitian dilaksanakan dengan perancangan peralatan di laboratorium, mengambil lokasi deteksi banjir di wilayah Kota Makassar yang dapat mewakili daerah-daerah rawan banjir.

2. Penelitian ini dilaksanakan dengan pengujian alat di laboratorium, yaitu perancangan peralatan dini peringatan banjir menggunakan frekuensi UHF.

3. Beberapa kondisi bahaya banjir yang diperoleh dari water level sensor yang akan diterjemahkan oleh mikrokontroler yaitu kondisi aman, kondisi siaga, dan kondisi bahaya melalui alarm dan atau sinyal.

4. Pengiriman informasi kondisi bahaya banjir menggunakan frekuensi UHF dengan metode wireless (nirkabel).

(23)

F. Sistimatika Penelitian

Penelitian dimulai dengan melakukan penelusuran pustaka dan telaah penelitian yang terdahulu, selanjutnya dilakukan pengambilan data sekunder dari instansi terkait khususnya daerah-daerah yang berpotensi banjir. Setelah itu penelitian akan dilanjutkan dengan tahapan desain kemudian merancang bangun, menguji sistem dan pengambilan data di laboratorium dan di lapangan serta melakukan analisis

Penelitian ini akan disusun dalam lima (5) bab, yaitu terdiri atas: Bab I, Pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, dan sistimatika penelitian. Bab II, tinjauan pustaka yang beisi definisi banjir, faktor yang mempengaruhi banjir, elevasi (ketinggian lahan), water level sensor, mikrokontroler, ADC (analog to digital converter), timer, frekuensi UHF. Bab III, metode penelitian yang berisi tentang rancangan penelitian, lokasi dan waktu penelitian, perancangan alat, pengukuran dan pengambilan data pengujian, serta analisis dan validasi data. Bab IV, hasil dan pembahasan yang berisi tentang deskripsi hasil penelitian, analisis data, pembahasan, serta Bab V, merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

G. Kebaruan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan temuan baru di bidang teknologi sistem peringatan dini khususnya berkenaan dengan penyebaran informasi melaui implementasi frekuensi UHF sebagai pilihan

(24)

sistem peringatan dini dan meminimalkan korban jiwa dan material pada bencana banjir.

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Banjir

Banjir adalah suatu kondisi dimana tidak tertampungnya air dalam aluran pembuang atau terhambatnya aliran air di dalam saluran pembuang, (Suripin, ”Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan").

Banjir merupakan peristiwa alam yang dapat menimbulkan kerugian harta benda penduduk serta dapat pula menimbulkan korban jiwa. Dikatakan banjir apabila terjadi luapan atau jebolan dan air banjir, disebabkan oleh kurangnya kapasitas penampang saluran pembuang.Banjir di bagian hulu biasanya arus banjirnya deras,daya gerusnya besar,tetapi durasinya pendek. Sedangkan di bagian hilir arusnya tidak deras karena landai, tetapi durasi banjirnya panjang.

Beberapa karakteristik yang berkaitan dengan banjir, diantaranya : - Banjir dapat datang secara tiba - tiba dengan intensitas besar namun

dapat langsung mengalir.

- Banjir datang secara perlahan namun dapat menjadi genangan yang lama, berhari - hari atau bahkan berminggu - minggu di daerah depresi.

- Banjir datang secara perlahan namun intensitas hujannya sedikit.

- Pola banjirnya musiman.

- Akibat yang ditimbulkan adalah terjadinya genangan erosi dan sedimentasi. Sedangkan akibat lain terisolasinya daerah pemukiman

(26)

dan diperlukan evakuasi penduduk.

Banjir dan genangan yang terjadi di suatu lokasi diakibatkan antara lain oleh sebab -sebab berikut ini:

- Perubahan tata guna lahan atau land use di Daerah Aliran Sungai (DAS)

- Pembuangan sampah - Erosi dan sedimentasi

- Kawasan kumuh di sepanjang sungai / drainase - Perencanaan sistem pengendalian banjir tidak tepat - Curah hujan

- Pengaruh fisiografi / geofisik sungai

- Kapasitas sungai dan drainase yang tidak memadai - Pengaruh air pasang

- Penurunan tanah dan rob (genangan akibat pasang air laut) - Drainase lahan

- Bendung dan bangunan air

- Kerusakan bangunan pengendali banjir

Dalam skala perkotaan, faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya banjir adalah:

1. Topografi, kelandaian lahan sangat mempengaruhi timbulnya banjir terutama pada lokasi dengan topografi dasar dan kemiringan rendah, seperti pada kota-kota pantai. Hal ini menyebabkan kota-kota pantai memiliki potensi/peluang terjadinya banjir yang besar disamping dari ketersediaan saluran drainase yang kurang memadai, baik saluran utama maupun saluran yang lebih kecil.

(27)

2. Areal terbangun yang luas biasanya pada kawasan perkotaan dengan tingkat pembangunan fisik yang tinggi, sehingga bidang peresapan tanah semakin mengecil.

3. Kondisi saluran drainase yang tidak memadai akibat pendangkalan, pemeliharaan kurang, dan kesadaran penduduk untuk membuangan sampah pada tempatnya masih belum memasyarakat (Utomo 2004).

Kodoatie dan Sugiyanto (2002) menyebutkan bahwa banjir terdiri atas dua peristiwa, pertama banjir terjadi di daerah yang tidak biasa terkena banjir, dan kedua banjir terjadi karena limpasan air dari sungai karena debitnya yang besar sehingga tidak mampu dialirkan oleh alur sungai.

Apabila suatu peristiwa terendamnya air di suatu wilayah yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis maka banjir tersebut dapat disebut Bencana Banjir (Reed, 1995).

Menurut Kodoatie dan Sugiyanto (2002), banjir dapat disebabkan oleh beberapa hat diantaranya adalah dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Beberapa penyebab banjir

No Penyebab banjir Alam Manusia

1. Perubahan land-use V

2. Pembuangan sampah V

3. Erosi dan sedimentasi VV V

4. Kawasan kumuh di sepanjang sungai/drainase V

(28)

5. Perencanaan sistem pengendalian banjir tidak tepat

V

6. Curah Hujan V

7. Pengaruh Fisiografi/ geofisik sungai VV V 8. Kapasitassungai/drainaseyangtidak memadai V VV

9. Pengaruh air pasang (rob) V

10. Penurunan tanah V V

11. Drainase lahan V V

12. Bendung dan bangunan air V

13. Kerusakan bangunan pengendali banjir V Sumber: Kodoatie dan Sugiyanto, 2002

Keterangan: tanda V menunjukkan penyebab banjir,W menunjuk kan dominan penyebab.

Secara umum penyebab terjadinya banjir di berbagai belahan dunia adalah (Smith and Ward, 1998):

1. Keadaan iklim; seperti masa turun hujan yang terlalu lama, dan mengakibatkan banjir sungai. Banjir di daerah muara pantai umumnya disebabkan karena kombinasi dari kenaikan pasang surut, tinggi muka air laut dan besarnya ombak yang di asosiasikan dengan terjadinya gelombang badai yang hebat.

2. Perubahan tata guna lahan dan kenaikan populasi; perubahan tataguna lahan dari pedesaan menjadi perkotaan sangat berpotensi menyebabkan banjir. Banyak lokasi yang menjadi subjek dari banjir terutama daerah muara. Perencanaan penanggulangan banjir merupakan usaha untuk menanggulangi banjir pada lokasi industri,

(29)

komersial dan pemukiman. Proses urbanisasi, kepadatan bangunan, kepadatan populasi memiliki efek pada kemampuan kapasitas drainase suatu daerah dan kemampuan tanah menyerap air, dan akhirnya menyebabkan naiknya volume limpasan permukaan.

Meskipun luas area perkotaan lebih kecil dari 3% dari permukaan bumi, tapi sebaliknya efek dari urbanisasi pada proses terjadinya banjir sangat besar.

3. Land subsidence; adalah proses penurunan level tanah dari elevasi sebelumnya. Ketika gelombang pasang datang dari laut melebihi aliran permukaan sungai maka area land subsidence akan tergenangi.

B. Faktor Faktor yang Memengaruhi Banjir 1. Curah Hujan

Curah hujan adalah unsur iklim yang sangat dominan memengaruhi aliran permukaan dan erosi di darah tropis.Sifat hujan yang penting mempengaruhi erosi dan sedimentasi adalah energi kinetik hujan yang merupakan penyebab pokok dalam penghancuran agregat - agregat tanah (Hillel 1971).

Curah hujan merupakan salah satu komponen pengendali dalam sistem hidrologi.Secara kuantitatif ada dua karakteristik curah hujan yang penting, yaitu jeluk atau depth dan distribusinya atau distibution menurut ruang atau space dan waktu atau time. Pengukuran jeluk hujan di lapangan umumnya dilakukan dengan memasang penakar dalam jumlah

(30)

yang memadai pada posisi yang mewakili (representatif) (Arianty 2000, diacu dalam Utomo 2004).

Curah hujan dibatasi sebagai tinggi air hujan (dalam mm) yang diterima di permukaan sebelum mengalami aliran permukaan, evaporasi dan peresapan/ perembesan ke dalam tanah. Jumlah hari hujan umumnya dibatasi dengan jumlah hari dengan curah hujan 0,5 mm atau lebih.

Jumlah hari hujan dapat dinyatakan per minggu, dekade, bulan, tahun atau satu periode tanam (tahap pertumbuhan tanaman).Intensitas hujan adalah jumlah curah hujan dibagi dengan selang waktu terjadinya hujan (Handoko 1993).

Intensitas curah hujan netto (setelah diintersepsi oleh vegetasi) yang melebihi laju infiltrasi mengakibatkan air hujan akan disimpan sebagai cadangan permukaan dalam tanah, apabila kapasitas cadangan permukaan terlampaui maka akan terjadi limpasan permukaan (surface run-off) yang pada akhirnya terkumpul dalam aliran sungai sebagai debit sungai. Limpasan permukaan yang melebihi kapasitas sungai maka kelebihan tersebut dikenal dengan istilah banjir.

Sifat hujan yang berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi adalah jumlah, intensitas, dan lamanya hujan.Dari hal-hai tersebut yang paling erat hubungannya dengan energi kinetik adalah intensitas.Kekuatan dan daya rusak hujan terhadap tanah ditentukan oleh besar kecilnya curah hujan. Bila jumlah dan intensitas hujan tinggi maka aliran permukaan dan erosi yang akan terjadi lebih besar dan demikian juga sebaliknya (Wischmeler dan Smith 1978, diacu dalam Utomo 2004).

(31)

Hujan yang jatuh ke bumi akan mengalami proses intersepsi, infiltrasi, dan perlokasi. Sebagian hujan yang diintersepsi oleh tajuk tanaman menguap, sebagian mencapai tanah dengan melalui batang sebagai aliran batang (streamfall) dan sebagian lagi mencapai tanah secara langsung yang disebut air tembus (throughfall). Sebagian air hujan yang mencapai permukaan tanah terinfiltrasi dan terperkolasi ke dalam tanah (Utomo, 2004).

Hujan selain merupakan sumber air utama bagi wilayah suatu DAS (Daerah Aliran Sungai), juga merupakan salah satu penyebab aliran permukaan bila kondisi tanah telah jenuh, maka air yang merupakan presipitasi dari hujan akan dijadikan aliran permukaan. Sedangkan karakteristik hujan yang mempengaruhi aliran permukaan dan distribusi aliran DAS adalah intensitas hujan, lama hujan dan distribusi hujan di area DAS tersebut (Arsyad, 2000 dalam Abdul Wahid, 2009).

a. Klasifikasi Curah Hujan

Secara umum, Indonesia terbagi kedalam tiga pola iklim, yaitu:

1) Pola ekuatorial, yang ditandai dengan adanya dua puncak hujan dalam setahun. Pola ini terjadi karena letak geografis Indonesia yang dilewati DKAT (Daerah Konvergensi Antar Tropik) dua kali setahun (Farida 1999, diacu dalam Primayuda 2006). DKAT ini merupakan suatu daerah yang lebar dengan suhu udara sekitarnya adalah yang tertinggi yang menyebabkan tekanan udara di atas daerah itu rendah. Untuk keseimbangan, udara dari daerah yang bertekanan tinggi bergerak ke daerah yang bertekanan rendah. Gerakan ini diikuti pula dengan

(32)

gerakan udara naik sebagai akibat pemanasan,kemudian terjadi penurunan suhu, sehingga uap air jatuh, dan terjadilah hujan.

2) Pola musiman, yang ditandai oleh adanya perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan musim kemarau. Umumnya musim hujan terjadi pada periode Oktober - Maret dan kemarau pada periode April - September. Cakupan wilayah yang terkena pengaruh pola iklim ini secara langsung adalah 35o LU sampai 250 LS dan 300 BB sampai 1700 BT.

3) Pola lokal, yang sangat dipengaruhi oleh kondisi geografi dan topografi setempat serta daerah sekitarnya. Umumnya daerah dengan pola lokal ini mempunyai perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dengan periode musim hujan,namun waktunya berlawanan dengan pola musiman

2. Kelerengan (Kemiringan Lahan)

Kelerengan atau kemiringan lahan merupakan perbandingan persentase antara jarak vertikal (tinggi lahan) dengan jarak horizontal (panjang lahan datar).Kelerengan merupakan parameter DAS yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap besar kecilnya kejadian banjir. Kemiringan lahan semakin tinggi maka air yang d items Ran semakin tinggi. Air yang berada pada lahan tersebut akan diteruskan ke tempat yang lebih rendah semakin cepat jika dibandingkan dengan lahan yang kemiringannya rendah (landai), sehingga kemungkinan terjadi penggenangan atau banjir pada daerah yang derajat kemiringan lahannya tinggi semakin kecil. Semakin curam suatu DAS maka semakin cepat air

(33)

mengalir dari DAS tersebut dan semakin pendek waktu pengakumulasian debit banjir di DAS tersebut (Richard, 1955 dalam Asriningrum dan Gunawan, 1998).

Kemiringan lereng, yaitu suatu derajat ketinggian permukaan lahan yang jugaakanmempengaruhipadalajuinfiltrasi.Kemiringan lereng tersebut diklasifikasikan sebagai berikut pada tabel 2 :

Tabel 2. Klasifikasi Kemiringan Lahan

Kelerengan Keterangan

0-8% merupakan daerah datar dan landai

8-15% merupakan daerah bergelombang sampai berbukit 15-25% merupakan daerah berbukit

25-40% merupakan daerah berbukit sampai bergunung

>40% merupakan daerah bergunung Sumber: Utomo (2004)

Daerah yang berpotensi rawan banjir adalah daerah yang mempunyaitopografi datar sampai dengan daerah yang bertopografi landai dengan kemiringan lereng antara 0-8 %.

Kemiringan lahan semakin tinggi maka air yang diteruskan semakin tinggi. Air yang berada pada lahan tersebut akan diteruskan ke tempat yang lebih rendah semakin cepat jika dibandingkan dengan lahan yang kemiringannya rendah (landai). Dengan demikian, maka semakin besar derajat kemiringan lahan maka skor untuk kerawanan banjir semakin kecil.

Pemberian skor untuk parameter kemiringan lahan.lihat pada Tabel 3

(34)

Tabel 3. Pemberian Skor Parameter Kelerengan No. Kelas Kelerengan Skor

1. 0-8 % 9

2. 8-15% 7

3. 15-25% 5

4. 25-40 % 3

5. >40 % 1

Sumber: Utomo (2004)

3. Elevasi (Ketinggian Lahan)

Elevasi (Ketinggian Lahan) adalah ukuran ketinggian lokasi di atas permukaan laut. Lahan pegunungan berdasarkan elevasi dibedakan atas dataran medium (350-700 meter di atas permukaain laut disingkat mdpl) dan dataran tinggi (>700 mdpl). Elevasi berhubungan erat dengan jenis komoditas yang sesuai untuk mempertahankan kelestarian lingkungan (Anonim, 2012).

Elevasi mempunyai pengaruh terhadap terjadinya banjir.

Berdasarkan sifat air yang mengalir mengikuti gaya gravitasi yaitu mengalir dari daerah tinggi ke daerah rendah. Dimana daerah yang mempunyai elevasi yang lebih tinggi lebih berpotensi kecil untuk terjadi banjir.Sedangkan daerah dengan elevasi rendah lebih berpotensi besar untuk terjadinya banjir.Pemberian skor pada kelas ketinggian yang lebih tinggi lebih kecil daripada skor untukkelas ketinggian yang rendah. Pada tabel 4 disusun pemberian skor untuk parameter elevasi.

(35)

Tabel 4. Pemberian Skor Parameter Elevasi

No Kelas Skor

1 0- 12,5m 9

2 12,6 -25m 7

3 26 - 50 m 5

4 51 -75 m 3

5 76 -100m 1

6 >100m 0

Sumber: Asep Purnama (2008)

4. Tingkat Permeabilitas Tanah

Permeabilitas atau daya rembesan adalah kemampuan tanah untuk dapat melewatkan air.Air dapat melewati tanah hampir selalu berjalan linier, yaitu jalan atau garis yang ditempuh air merupakan garis dengan bentuk yang teratur. Permeabilitas diartikan sebagai kecepatan bergeraknya suatu cairan pada media berpori dalam keadaan jenuh atau didefinisikan juga sebagai kecepatan air untuk menembus tanah pada periode waktu tertentu. Permeabilitias juga didefinisikan sebagai sifat bahan berpori yang memungkinkan aliran rembesan dari cairan yangberupa air atau minyak mengalir lewat rongga porinya.Daerah-daerah yang mempunyai tingkat permeabilitas tanah rendah, mempunyai tingkat infiltrasi tanah yang kecil dan runoff yang tinggi.

(36)

5. Aktivitas Manusia

Faktor aktivitas manusia juga berpengaruh terhadap kerawanan banjir pada suatu daerah tertentu. Aspek-aspek yang mempengaruhi diantaranya:

a. Belum adanya pola pengelolaan dan pengembangan dataran banjir b. Permukiman di bantaran sungai

c. Sistem drainase yang tidak memadai d. Terbatasnya tindakan mitigasi banjir

e. Kurangnya kesadaran masyarakat di sepanjang alur sungai f. Penggundulan hutan di daerah hulu

g. Terbatasnya upaya pemeliharaan bangunan pengendali banjir

6. Penggunaan Lahan

Jenis penggunaan lahan suatu wilayah sangat mempengaruhi laju dan volume aliran permukaan, penggunaan lahan hutan dapat menunjukkan laju aliran permukaan di bandingkan penggunaan lahan padang rumput atau jenis tanah terbuka (Arsyad dan Rustiadi, 2008).

Pengaruh aktivitas tataguna lahan tersebut di atas dapat memberikan akibat nyata pada volume aliran permukaan dan waktu tercapainya debit puncak aliran sebagai respon DAS terhadap curah hujan pada tingkat awal. Sejalan bertambah besar dan lama waktu hujan, pengaruh

(37)

kombinasi tanaman-tanah terhadap aliran permukaan menjadi berkurang.Oleh karenanya, pengaruh vegetasi hutan terhadapterjadinya aliran permukaan adalah kecil untuk curah hujan besar (Asdak, 2002).

Pengaruh tata guna lahan pada aliran permukaan dinyatakan dalam koefisien aliran permukaan (C), yaitu bilangan yang menunjukkan perbandingan antara besarnya aliran permukaan dan besarnya curah hujan. Angka koefisien aliran permukaan ini merupakan salah satu indikator untuk menentukan kondisi fisik suatu DAS. Nilai C berkisar antara 0 sampai 1. Nilai C = 0 menunjukkan bahwa semua air hujan terinsepsi atau terinfiltrasi ke dalam tanah, sebaliknya untuk nilai C = 1 menunjukkan bahwa semua air hujan mengalir sebagai aliran permukaan.

Pada DAS yang masih baik harga C mendekati nol, semakin rusak suatu DAS, harga C makin mendekati satu (Asdak, 2002).

7. Drainase

Drainase merupakan salah satu fasilitas dasar yang dirancang sebagai sistem guna memenuhi kebutuhan masyarakat dan merupakan komponen penting dalam perencanaan kota (perencanaan infrastruktur khususnya). Berikut beberapa pengertian drainase :

Menurut (Suripin, 2004) drainase mempunyai arti mengalirkan, menguras, membuang, atau mengalihkan air. Secara umum, drainase didefinisikan sebagai serangkaian bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi dan/atau membuang kelebihan air dari suatu kawasanatau lahan, sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal. Drainase juga diartikan sebagai usaha untuk mengontrol kualitas air tanah dalam

(38)

kaitannya dengan Salinitasi. Drainase yaitu suatu cara pembuangan kelebihan air yang tidak diinginkan pada suatu daerah, serta cara-cara penangggulangan akibat yang ditimbulkan oleh kelebihan air tersebut.

(Suhardjono 1948:1)

Dari sudut pandang yang lain, drainase adalah salah satu unsur dari prasarana umum yang dibutuhkan masyarakat kota dalam rangka menuju kehidupan kota yang aman, nyaman, bersih, dan sehat.

Prasarana drainase disini berfungsi untuk mengalirkan air permukaan ke badan air (sumber air permukaan dan bawah permukaan tanah) dan atau bangunan resapan. Selain itu juga berfungsi sebagai pengendali kebutuhan air permukaan dengan tindakan untuk memperbaiki daerah becek, genangan air dan banjir. Kegunaan dengan adanya saluran drainase ini antara lain : Mengeringkan daerah becek dan genangan air sehingga tidak ada akumulasi air tanah. Menurunkan permukaan air tanah pada tingkat yang ideal. Mengendalikan erosi tanah, kerusakan jalan dan bangunan yang ada. Mengendalikan air hujan yang berlebihan sehingga tidak terjadi bencana banjir. Sebagai salah satu sistem dalam perencanaan perkotaan, maka sistem drainase yang ada dikenal dengan istilah sistem drainase perkotaan.Berikut definisi drainase perkotaan.

- Drainase perkotaan yaitu ilmu drainase yang mengkhususkan pengkajianpada kawasan perkotaan yang erat kaitannya dengan kondisi lingkungansosial-budaya yang ada di kawasan kota.

- Drainase perkotaan merupakan sistem pengeringan dan pengaliran air dari wilayah perkotaan yang meliputi:

a. Permukiman.

(39)

b. Kawasan industri dan perdagangan c. Kampus dan sekolah

d. Rumah sakit dan fasilitas umum e. Lapangan olahraga

f. Lapangan parkir

g. Instalasi militer, listrik, telekomunikasi h. Pelabuhan udara

Sistem jaringan drainase perkotaan umumnya dibagi atas 2 bagian,yaitu :

a. Sistem Drainase Makro

Sistem drainase makro yaitu sistem saluran/ badan air yang menampung dan mengalirkan air dari suatu daerah tangkapan air hujan (Catchment Area). Pada umumnya sistem drainase makro ini disebut juga sebagai sistem saluran pembuangan utama (major system) atau drainase primer.Sistem jaringan ini menampung aliran yang berskala besar dan luas seperti saluran drainase primer, kanal-kanal atau sungai-sungai.Perencanaan drainase makro ini umumnya dipakai dengan periode ulang antara 5 sampai 10 tahun dan pengukuran topografi yang detail mutlak diperlukan dalam Perencanaan system drainase ini.

b. Sistem Drainase Mikro

Sistem drainase mikro yaitu sistem saluran dan bangunan pelengkap drainase yang menampung dan mengalirkan air dari daerah tangkapan hujan. Secara keseluruhan yang termasuk dalam sistem drainase mikro adalah saluran di sepanjang sisi jalan,

(40)

saluran/ selokan air hujan di sekitar bangunan, gorong gorong, saluran drainase kota dan lain sebagainya dimana debit air yang dapat ditampungnya tidak terlalu besar. Pada umumnya drainase mikro ini direncanakan untuk hujan dengan masa ulang 2, 5 atau 10 tahun tergantung pada tata guna lahan yang ada.Sistem drainase untuk lingkungan permukiman lebih cenderung sebagai sistem drainase mikro.

Bila ditinjau dari segi fisik (hirarki susunan saluran) sistem drainase perkotaan diklasifikasikan atas saluran primer, sekunder, tersier dan seterusnya. Seperti pada gambar 2.

a. Saluran Primer

Saluran yang memanfaatkan sungai dan anak sungai.Saluran primer adalah saluran utama yang menerima aliran dari saluran sekunder.

b. Saluran Sekunder

Saluran yang menghubungkan saluran tersier dengan saluran primer (dibangun dengan beton/ plesteran semen).

c. Saluran Tersier

Saluran untuk mengalirkan limbah rumah tangga ke saluran sekunder,berupa plesteran, pipa dan tanah.

d. Saluran Kwarter

Saluran kolektor jaringan drainase lokal.

(41)

Gambar 1. Hirarki Susunan Saluran

(Tiurma Elite Saragi, 2007,Tinjauan Manajemen Sistem Drainase Kota Pematang Siantar 11)

Keterangan

a = Saluran primer b = Saluran sekunder c = Saluran tersier d = Saluran kwarter

8. Daerah Aliran Sungai (DAS)

Daerah aliran sungai (DAS) didefinisikan sebagai hamparan wilayah yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada satu titik

Menurut (Asdak 2002), ekosistem DAS biasanya dibagi menjadi daerah hulu, tengah, dan hilir. Secara biogeofisik, daerah hulu merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, dengan kemiringan lereng lebih besar dari 15%, bukan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase, dan jenis vegetasi umumnya tegakan hutan. Sementara daerah hilir DAS merupakan daerah pemanfaatan dengan kemiringan lereng kecil (kurang dan JB%), pada beberapa tempat merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air

(42)

ditentukan oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasi didominasi oleh tanaman pertanian kecuali daerah estuaria yang didominasi hutan gambut/bakau.

DAS bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik biogeofisik DAS yang berbeda tersebut di atas. Perubahan tataguna lahan dibagian hulu DAS seperti reboisasi, pembalakan hutan, deforestasi, budidaya yang mengabaikan kaidah-kaidah konservasi akan berdampak pada bagian hilirnya, sehingga DAS bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan dari segi tata air. Oleh karena itu yang menjadi fokusperencanaan pengelolaan DAS sering kali DAS bagian hulu, mengingat adanya keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi.

Pengelolaan DAS merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai unit pengembangannya. Ada tiga aspek utama yang selalu menjadi perhatian dalam pengelolaan DAS yaitu jumlah air (wateryield), waktu penyediaan (water regime) dan sedimen.

DAS dapat dipandang sebagai suatu sistem hidrologi yang dipengaruhi oleh peubah presipitasi (hujan) sebagai masukan ke dalam sistem.Disamping itu DAS mempunyai karakteryang spesifik serta berkaitan erat dengan unsur-unsur utamanya seperti jenis tanah, topografi, geologi, geomorfologi, vegetasi dan tataguna lahan.

Karakteristik DAS dalam merespon curah hujan yang jatuh di tempat tersebut dapat member! pengaruh terhadap besar kecilnya evapotranspirasi, infiltrasi, perkolasi, aliran permukaan, kandungan air tanah, dan aliran sungai (Seyhan, 1995).

(43)

Dalam hal ini air hujan yang jatuh di dalam DAS akan mengalami proses yang dikontrol oleh sistem DAS menjadi aliran permukaan (surface runoff), aliran bawah permukaan (interflow) dan aliran air bawah tanah (groundwater flow). Ketiga jenis aliran tersebut akan mengalir menuju sungai, yang tentunya membawa sedimen dalam air sungai tersebut.

Selanjutnya, karena daerah aliran sungai dianggap sebagai sistem, maka perubahan yang terjadi disuatu bagian akan mempengaruhi bagian yang lain dalam DAS (Grigg, 1996).

Bagian hilir dari DAS pada umumnya berupa kawasan budidaya pertanian, tempat pemukiman (perkotaan), dan industri, serta waduk untuk pembangkit tenaga listrik, perikanan dan lain-lain. Daerah bagian hulu DAS biasanya diperuntukkan bagi kawasan resapan air.Dengan demikian keberhasilan pengelolaan DAS bagian hilir adalah tergantung dari keberhasilan pengelolaan kawasan DAS pada bagian hulunya. Kerusakan DAS dapat ditandai oleh perubahan perilaku hidrologi, seperti tingginya frekuensi kejadian banjir (puncak aliran) dan meningkatnya proses erosi dan sedimentasi. Kondisi ini disebabkan belum tepatnya sistem penanganan dan pemanfaatan DAS (Brooks et al, 1989).

C. Pemetaan Daerah Rawan Banjir Kota Makassar

Kota Makassar termasuk kota besar dengan jumlah penduduk yang terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal ini yang membawa dampak kepada peningkatan kebutuhan lahan dan permintaan akan pemenuhan kebutuhan pelayanan dan prasarana kota yang dapat berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan seperti degradasi

(44)

lingkungan dan bencana alam. Salah satu permasalahan yang sering terjadi setiap tahunnya adalah masalah banjir.Hampir setiap tahun bencana banjir di Makassar terjadi pada setiap datangnya musim penghujan.Sebanyak 24 Kelurahan di 6 Kecamatan yang luas wilayahnya mencapai 7749, 56 Ha sering menjadi langganan banjir pada musim penghujan tiba. Beberapa kecamatan di Kota Makasar yang sering dilandah banjir terutama saat musim penghujan yaitu : Kecamatan Biringkanaya, Kecamatan Tallo, Kecamatan Tamalanrea, Kecamatan Manggala, Kecamatan Rappocini, dan Kecamatan Panakukang. Tidak sedikit kerugian yang di taksir akibat bencana banjir ini, baik itu secara fisik, sosial dan ekonomi. Seperti yang pernah terjadi di salah satu wilayah di Sulawesi Selatan, lebih dari 200 korban meninggal dan puluhan korban dinyatakan hilang akibat banjir yang disertai tanah longsor (data BAKORNAS, 23 Juni), bencana banjir juga sangat berpengaruh ke sektor–sektor lainnya yang mampu menghambat kegiatan pembangunan kota. Salah satunya yang paling berpengaruh pada sektor trasportasi, yang berdampak pada terjadinya kerusakan struktur jalan, jembatan, dan mengakibatkan kemacetan sehingga mengganggu roda perekonomian.

(45)

(Sumber : Data BPBD Makassar, setelah diolah dan hasil analisa SIG, 2014)

Gambar 2. Peta lokasi Rawan banjir dengan ketinggian 0-50 cm

Peta tersebut di atas menunjukkan wilayah-wilayah yang tinggi muka air yang mencapai batas 50 cm, tersebar di beberapa lokasi antara lain :

a. Kecamatan Biringkanaya ( Kelurahan Paccerakkang, Kelurahan Sudiang)

b. Kecamatan Tallo ( Kelurahan Tallo, Kelurahan Lakkang) c. Kecamatan Tamalanrea (Kelurahan Tamalanrea, Kelurahan Tamalanrea Indah, Kelurahan Parangloe)

d. Kecamatan Manggala (Kelurahan Antang)

e. Kecamatan Rappocini (Kelurahan Kassi-kassi, Kelurahan Gunung Sari, Kelurahan Karunrung)

f. Kecamatan Panakukang (Kelurahan Panaikang, Kelurahan Paropo, Kelurahan Tello Baru).

(46)

(Sumber : Data BPBD Makassar, setelah diolah dan hasil analisa SIG, 2014)

Gambar 3. Peta Lokasi Rawan Banjir dengan Ketinggian 50-100 cm

Peta diatas, menunjukkan Ketinggian banjir yang mencapai 50 hingga 100 cm terdapat di sejumlah Kelurahan, Meliputi :

a. Kecamatan Biringkanaya (Kelurahan Sudiang) b. Kecamatan Tallo (Kelurahan Buloa)

c. Kecamatan Tamalanrea (Kelurahan Tamalanrea, Kelurahan Tamalanrea Indah, Kelurahan Kappasa, Kelurahan Bira) d. Kecamatan Manggala (Kelurahan Bangkala, Kelurahan Batua, Kelurahan Tamangapa)

e. Kecamatan Rappocini ( Kelurahan Kassi-Kassi, Kelurahan Gunung Sari, Kelurahan Karunrung)

f. Kecamatan Panakukang (Kelurahan Panaikang)

(47)

(Sumber : Data BPBD Makassar, setelah diolah dan hasil analisa SIG, 2014)

Gambar 4. Peta Lokasi Rawan Banjir dengan Ketinggian 100-150 cm Wilayah dengan Ketinggian Banjir yang mencapai 100 hingga 150 cm, meliputi beberapa lokasi, yaitu :

a. Kecamatan Biringkanaya (Kelurahan Paccerakkang)

b. Kecamatan Tamalanrea (Kelurahan Tamalanrea, Kelurahan Tamalanrea Jaya, Kelurahan Kapasa, Kelurahan, Parangloe) c. Kecamatan Manggala ( Kelurahan Manggala)

d. Kecamatan Panakukang (Kelurahan Panaikang, Kelurahan Tello Baru, Kelurahan Pampang)

(48)

(Sumber : Data BPBD Makassar, setelah diolah dan hasil analisa SIG, 2014)

Gambar 5. Wilayah Rawan Banjir dengan ketinggian 150 Hingga 200 dan

>200 cm

Sedangkan Wilayah Rawan banjir di Kota Makassar dengan tinggi muka air 150-200 dan 200 keatas (warna merah pada gambar) Meliputi : a. Kecamatan Biringkanaya (Kelurahan Sudiang Raya)

b. Kecamatan Tamalarea (Kelurahan Tamalanrea, Kelurahan Tamalanrea Jaya)

c. Kecamatan Manggala (Kelurahan Bangkala, Keluraha Batua, Kelurahan Tamangapa)

Ketinggian muka air banjir dengan ketinggian diatas 200 cm berada di Kelurahan Antang, Kecamatan Manggala.

(49)

Besarnya luas dan tinggi banjir di beberapa lokasi di Kota makassar, dipengaruhi oleh sebagian besar wilayah yang merupakan daerah lahan terbangun dengan kepadatan tinggi, baik pemukiman, pertokoan maupun perkantoran yang menyebabkan air tertampung dan tertahan pada suatu wilayah selain itu Kota Makassar yang terletak pada kemiringan lahan 0-2º datar dan kemiringan lahan 3-15º bergelombang sangat berpotensi tergenang oleh aktivitas pasang air laut, terutama pada saat pasang mencapai titik tertinggi. Menurut Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin (2006), tipe pasang surut di Kota Makassar adalah campuran yang condong ke harian tunggal (mixed tide prevailing diurnal), yaitu dalam satu hari terdapat satu kali air tinggi dan satu kali air rendah yang tidak beraturan dengan perbedaan air tinggi dan air rendah rata-rata saat purnama adalah 140 cm. Faktor kemiringan lereng yang kecil menyebabkan naiknya air pasang dengan cepat menggenangi sebagian wilayah Kota Makassar yang berakibat pada banjir di Kota Makassar.

D. Penyebab Banjir

Berdasarkan hasil survei di beberapa lokasi di kota Makassar (Ikmal Mahardy-Unhas 2014 ) penyebab banjir di kota Makassar disebabkan oleh masalah drinase dan meluapnya air sungai.

(50)

(Sumber : Hasil Olah data)

Gambar 6. Peta wilayah banjir pada bantaran Sungai di Kota Makassar.

Wilayah terdampak banjir yang di sebabkan oleh pengaruh luapan air sungai meliputi Kecamatan Panakukang yang berada pada bibir sungai yang berada pada elevasi 3 hingga 7 m dari permukaan air sungai dengan ketinggian banjir mencapai 50 hingga 100 cm, Kecamatan Tamalanrea yang berada pada elevasi 4 hingga 6 meter dari permukaan air kanal dengan ketinggian banjir mencapai >200 cm daerah sepanjang jalan Bitoa Lama dan jalan Makio Baji yang berada pada Kecamatan Manggala dengan elevasi 3 hingga 5 m dari permukaan air kanal dengan ketinggian banjir 50 hingga 200 cm, sedangkan pada wilayah antang dan sekitarnya, yang memiliki elevasi terendah dari kabupaten Gowa yang menyebabkan aliran air mengarah pada

(51)

wilayah tersebut sehingga terjadi peluapan dan didukung oleh kecilnya saluran yang menyebabkan banjir pada daerah tersebut sulit dihindari.

Mengingat begitu besarnya dampak banjir yang dapat ditimbulkan maka diperlukan suatu sistem yang dapat mengurangi resiko dan dampak dari adanya banjir, salah satunya adalah sistem informasi dini akan adanya banjir, sehingga masyarakat dapat segera menghindarinya untuk mengurangi kerugian yang ditimbulkan.

E. Sistem Deteksi Dini Banjir

Mengingat bahwa mengatasi banjir bukan hal yang gampang, maka sistem peringatan dini ini menjadi penting, setidaknya agar kita dapat bersiap-siap jika banjir akan datang, sehingga dapat meminimalkan kerugian yang potensial akan terjadi. Untuk mengetahui secara lebih cepat datangnya banjir maka di perlukan suatu sistem peringatan dini bencana banjir yang bisa membaca tanda-tanda datangnya banjir. Di Tempo (2 Mei 2012), Pemerintah sedang mengembangkan sistem peringatan dini untuk banjir nasional. Sistem mengkombinasikan pemakaian radar pemantau awan milik BPPT untuk memprediksi hujan.

Selain itu sistem dikembangkan oleh Pusair Kementerian PU bersama Deltares, lembaga penelitian serupa di Belanda, bersama BMKG.

Republika (07 Des 2012), Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus menyempurnakan sistem peringatan dini dan sudah lama memiliki flood early warning system. Saat ini sudah ada tujuh wilayah yang sudah mempunyai alat ketinggian banjir atau Peil Schaal. Kompas (15 Jan 2013), Pengembangan sistem prakiraan dan peringatan dini banjir yang

(52)

lebih akurat sedang dipersiapkan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memulai dengan mengadakan pelatihan pembuatan pemodelan dampak banjir dan cara penggunaan Integrated Flood Analysis System (IFAS) dengan melibatkan pemangku kepentingan di setiap daerah dan diselenggarakan atas kerja sama International Hydrological Programme UNESCO, Asia Pacific Centre for Ecohydrology (APCE), dan International Centre for Water Hazard Risk Management (ICHARM) yang mengembangkan IFAS, yang merupakan aplikasi yang bisa diperoleh secara gratis. Sistem peringatan bencana

Sistem Peringatan dini Meteorologi sendiri telah dibangun BMKG untuk memantau awan yang berpotensi menimbulkan hujan lebat, angin kencang, dan naiknya tinggi gelombang laut dalam lingkup regional dan lokal.BMKG telah mengoperasikan TCWC (Tropical Cyclone Warning Center) sejak April 2008. Untuk tujuan serupa BPPT menggandeng lembaga riset Jepang-Jamstec membangun sistem radar doppler C Band di Serpong dan beberapa wilayah lain di Indonesia, seperti di Pontianak dan Samarinda. Lalu untuk menghadapi banjir di beberapa sungai di Pulau Jawa, seperti Ciliwung dan Cimanuk, pihak Departemen Pekerjaan Umum juga merintis uji coba sistem peringatan dini banjir.Departemen Kehutanan melibatkan lembaga riset terkait, seperti Lapan, BPPT, BMKG, dan Deptan, mengembangkan sistem peringatan dan pengawasan kebakaran dalam lingkup nasional. Ditetapkan potensi tingkat kemudahan penyulutan api atau fine fuel moisture code (FFMC). Peringkat numerik dari kandungan kadar air bahan bakaran halus ini digunakan sebagai indikator tersebarnya api atau kebakaran. Peringkat FFMC tinggi biasanya

(53)

terjadi pada rerumputan dan bahan bakaran halus lain yang kering atau mati di wilayah terbuka. Penerapan alat deteksi dini bahaya kebakaran hutan juga dilaksanakan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah bekerja sama dengan CARE International, International Research Institute for Climate and Society (IRI), dan Institut Pertanian Bogor.

Bagus Tjahjono Kapusdiklat Penanggulangan Bencana Nasional, dalam paparannya kepada Tim Komisi VIII DPR menyatakan bahwa alat deteksi dini masih kurang sehingga masih mengharapkan kearifan lokal dalam saling membantu dimasyarakat jika terjadi bencana.(Viva News 2014).

Secara umum suatu sistem deteksi dini banjir dapat dikategorikan menjadi tiga bagian penting, yakni bagian sensor sebagai input yang berfungsi mebaca kondisi level air, kemudian bagian proses data yang mengolah data sensor dan bagian penampil atau output seperti pada gambar 1 di bawah ini.

Gambar 7. Sistem deteksi dini banjir

Beberapa parameter dari kinerja sistem yang perlu dipertimbangkan adalah seperti sensitif, selektif, waktu respon, waktu

(54)

penyampaian berita, kestabilan sistem, ketahanan secara mekasis dan jangkauan serta sumber catu daya. (Utami, 2008)

1. Spektrum Frekuensi Radio dan Panjang Gelombang

Panjang gelombang adalah siklus satu periode dari gelombang radio. Notasi panjang gelombang ditulis dengan huruf Yunani (dibaca alfa). Persamaan panjang gelombang dinyatakan dengan persamaan

r

g f

c

  

(1) dimana: c = 3 x108 m/dtk (kecepatan cahaya)

f = frekuensi dalam Hz (detik-1)

r = konstanta dielektrik medium yang dirambati oleh gelombang.

udara

1

r

Gambar 8. Panjang gelombang radio di udara

(55)

Dari (1) disimpulkan bahwa panjang pendeknya sebuah gelombang ditentukan oleh frekuensi kerja dan konstanta dieleketrik médium rambatan.

Lembaga telekomunikasi dunia, ITU (International Telecommunication Union) membagi spektrum frekuensi berdasarkan rentang panjang gelombang atau rentang frekuensi. Pada awal perkembangan telekomunikasi radio, frekuensi 3 – 30 MHz sering disebut sebagai gelombang pendek (short wave). Hingga kini istilah tersebut masih digunakan, sekalipun telah diketahui bahwa istilah tersebut sudah tidak sesuai lagi. Sebab diluar band frekuensi tersebut, masih ada gelombang radio yang lebih pendek seperti pada rentang frekuensi VHF (Very High Frequnecy) atau UHF (Ultra High Frequency). Pengistilahan lain yang agak menyimpang seperti gelombang mikro (microwave), sekalipun pajang gelombang sesungguhnya dalam centimeter.

ITU membagi frekuensi dalam rentang (band) frekuensi tertentu.

Tiap band dibagi dalam kelompok kecil berdasarkan aplikasi. Contoh:

untuk pemancar (broadcasting) FM pada band VHF (Very High Frequency) ditetapkan pada frekuensi: 88 – 108 MHz. Komunikasi radio amatir pada band VHF untuk panjang gelombang 2 meter adalah: 144 – 148 MHz dan seterusnya. (wikipedia.org/wiki/ITU-R)

Tabel 5 memperlihatkan pembagian spektrum frekuensi menurut ITU (International Telecommunication Union). Frekuensi dikelompokkan kedalam pita (band) frekuensi berdasarkan kemiripan sifat rambatan.

(56)

Tabel 5. Kelompok lebar pita ITU Nama Band Frekuensi Radio

Nama Frekuensi Penggunaan

Very Low Frequency (VLF) 3 kHz – 30 kHz Kapal selam (Submarines)

Low Frequency (LF) 30 kHz – 300 kHz Beacons (transmisi sinyal radio secara periodik)

Medium frequency (MF) 300 kHz – 3000 kHz Pemancar AM (AM Broadcast) High Frequency (HF) 3 – 30 MHz Amateur Radio, Pemancar SW (short wave), Radio konsesi

Very High Frequency (VHF) 30 – 300 MHzTV, FM, Amateur Radio, Navigasi Penerbangan

Ultra High Frequency (UHF) 300 – 3000 MHz TV, LAN, Amateur Radio, Sellular, GPS, Satelit Amateur Radio

Super High Frequency (SHF) : 3 – 30 GHzRadar, GSO satellites, Data, dan lainnya

Extra High Frequency (EHF) : 30 GHz - 300 GHz radar, Automotive, data daln lainnya.

2. Frekuensi UHF

(57)

Sifat perambatan gelombang radio pada band frekuensi UHF (Ultra Hight Frequency) relatif berbentuk “lintasan garis lurus dan saling melihat”

atau sering disebut Line-of-Sight (LOS) antara pemancar dan penerima.

Artinya antena disebuah base station ke base station atau station repeater harus dalam keadaan ‘saling melihat’ satu sama lain (Rappaport, T.S.

1996)

Keberadaan penghalang (obstacle) diantara pemancar (transmitter) dan penerima (receiver) dapat menyebabkan terjadinya rugi-rugi lintasan (path-loss) tambahan pada jaringan komunikasi. Umumnya penghalang berupa gunung, pepohonan, atau gedung tinggi. Lintasan gelombang radio yang melintasi penghalang akan mengalami redaman sebagian atau seluruhnya dari daya yang dipancarkan. Batasan frekuensi kerja untuk microwave dibatasi pada frekuensi pembawa (carrier frequency) 900 MHz keatas.

Gambar 9. Jaringan komunikasi radio line-of-sight.

Rugi – rugi ruang bebas

Sistem komunikasi dapat dibedakan atas dua jenis berdasarkan media transmisi, yaitu: melalui kawat (on-wire) dan tanpa kawat (wireless).

Media transmisi sering juga disebut kanal transmisi dan digunakan

(58)

sebagai penghantar sinyal yang memuat informasi dari pemancar ke penerima.

Penerima Radio Stasiun Induk

Di Ibukota Stasion Pemancar Radio

Gambar 10. Sistem telekomunikasi radio.

Selama dalam perambatannya, gelombang radio akan mengalami:

 Redaman (attenuation) dalam medium seperti pepohonan, gunung, gedung dan benda penghalang lainnya.

 Pemantulan (reflection) oleh permukaan bumi, gedung, gunung,

pesawat terbang yang sedang melintas atau benda logam lainnya yang berada dijalur lintasan gelombang radio.

 Dibelokkan/ dibiaskan (refraction) yang terjadi akibat perbedaan indeks bias lapisan ionosfir yang dilewati oleh gelombang radio.

Umumnya terjadi pada band HF (3 – 30 MHz).

 Difraksi (defraction), yang terjadi ketika gelombang radio membentur

penghalang tajam dan keras, seperti puncak gunung atau benda- benda lain seperti gedung bertingkat.

 Penyerapan (absorbtion) yang disebabkan oleh gas atmosfir bumi.

 Cacat (distortion) amplitudo, cacat frekuensi dan fasa.

 Gangguan frekuensi lain (interference).

(59)

 Derau (noise) dari alam semesta atau sumber radiasi lainnya seperti

pengapian pada kendaaraan bermotor atau stasiun radio lainnya yang tidak bekerja secara linier.

Jika dimisalkan bahwa tidak terjadi pantulan oleh benda sekitar antena atau penyerapan energi diruang bebas, maka rapat daya akan seragam disetiap titik dipermukaan antena. Rapat daya dipermukaan antena penerima dinyatakan dengan persamaan

(2) Jika antena penerima memiliki luas penampang efektif sebesar AR, maka total daya yang diterima adalah

(3) Jika luas penampang efetif antena pemancar adalah AT , maka penguatan antena pemancar dibandingkan terhadap radiator iostropis

(4)

dimana

adalah panjang gelombang dari sinyal emisi. Bila persamaan (3) disubsititusi kedalam (4), maka daya total yang diterima adalah

(5) Atau

(60)

(6) dimana gR4AR/2 penguatan antena penerima mengacu pada antena isotropis. Dalam satuan decibel :

(7)

Besaran jarak dan frekuensi pada persamaan disebut rugi-rugi ruang bebas (free-space loss) antara dua sumber isotropis. Free space loss (FSL) dalam satuan decibel (ECE 5325/6325: Wireless Communication Systems)

(8) Dengan rumus yang sama tetapi frekuensi dalam GHz,

GHz km

dB D F

FSL 92,4520log 20log (9)

Rumus FSL sangat berguna untuk menghitung jaringan point-to-point dengan asumsi bahwa tidak ada penghalang dan cuaca bersih. Aturan ITU-R dalam P.525-2 memberikan rumus untuk menghitung kuat medan listrik untuk jaringan point-to-point sebagai berikut:

(10)

dimana E adalah squre mean root (nilai rata-rata) dari kuat medan (field strength) dalam satuan volt/meter, dan p adalah daya yang diradiasikan secara iostropis (EIRP = Effective Isotropic Radiated Power) dalam satuan watt, dan D adalah jara antara pemancar dan titik pengukuran dalam satuan meter.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Modalitas epistemik ’keharusan’ dalam bahasa Minangkabau dialek Pariaman dinyatakan dengan keterangan menjelaskan verba, atau inti dari predikat, seperti kata aruih

Biro tersebut adalah biro riset infobank yang mengamati kinerja keuangan perusahaan asuransi umum dengan 10 faktor yaitu : Risk Bask Capital (RBC), likuiditas, investasi

Jadi dari penjabaran diatas kita dapat menyimpulkan bahwa Pengolahan data elektronik (PDE) adalah memanipulasi dari data ke dalam bentuk yang berarti berupa suatu

lingkungan keluarga, jika lingkungan keluarga harmonis maka akan tercipta pendidikan yang baik juga, sebaliknya jika orang tua terlalu sibuk dengan pekerjaannya

Atas dasar keterbatasan tersebut, penelitian selanjutnya diharapkan dapat menambah variabel yang menjadi faktor-faktor yang dapat dikelola oleh bank untuk menghindari ancaman

Skripsi ini membahas tentang Perjanjian Pengikatan Jual Beli menurut UU No.20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun khususnya Pasal 43 ayat (2) huruf c, dimana dalam pasal ini

Menyampaikan informasi secara lisan dengan lafal yang tepat dalam kalimat sederhana sesuai konteks yang mencerminkan kecakapan berbahasa yang santun dan

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan Pantai di Kabupaten Tulungagung memiliki tingkat kesesuaian untuk wisata pantai pada tingkat S1 (sesuai) yang