• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Kurikulum Pendidikan Di Lembaga Pesantren al Khoziny Buduran Sidoarjo. Nur Syahid IAI Al-Khoziny Buduran Sidoarjo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Pengembangan Kurikulum Pendidikan Di Lembaga Pesantren al Khoziny Buduran Sidoarjo. Nur Syahid IAI Al-Khoziny Buduran Sidoarjo"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

122 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume I Nomor 2 September 2018

e-ISSN 2620-5114

Pengembangan Kurikulum Pendidikan Di Lembaga Pesantren al Khoziny

Buduran Sidoarjo

Nur Syahid

IAI Al-Khoziny Buduran Sidoarjo nur_nursyahid@yahoo.com

Abstract: Islamic boarding schools are one of the Islamic educational institutions that have existed since the Dutch colonial era and are a place to form a cadre of Muslims who have spread to various levels of society. The existence of Islamic boarding schools is a stronghold of Muslims from various situations and conditions faced by the Indonesian people, from the colonial period to the present. The twists and turns of the struggles carried out by the alumni began from the struggle to let go of the clutches of colonialism, hold revolutions, form sovereign governments, carry out development until they finally took part in carrying out reforms. The presence of Islamic boarding schools cannot be separated from the demands of the people. Therefore, Islamic boarding schools as educational institutions always maintain a harmonious relationship with the surrounding community, so that their existence in the midst of society does not become alienated. In the same time all of his activities also received support and appreciation from the surrounding community. Curriculum development at the Al Khoziny Islamic Boarding School answers these needs which include the development of curriculum objectives and material.

Keywords: Development of Education Curriculum, LP Al Khoziny

Abstrak : Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang telah ada sejak zaman penjajahan Belanda dan merupakan suatu wadah tempat penggodokan kader umat Islam yang telah tersebar di berbagai lapisan masyarakat. Keberadaan pesantren merupakan benteng umat Islam dari berbagai situasi dan kondisi yang dihadapi bangsa Indonesia, sejak dari masa penjajahan hingga masa sekarang. Liku-liku perjuangan yang dilakukan oleh para alumninya mulai dari perjuangan melepaskan dari cengkeraman penjajahan, mengadakan revolusi, membentuk pemerintahan yang berdaulat, melaksanakan pembangunan sampai pada akhirnya ikut berperan dalam mengadakan reformasi. Kehadiran pesantren tidak dapat dipisahkan dari tuntutan umat. Karena itu, pesantren sebagai lembaga pendidikan selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat di sekitarnya, sehingga keberadaannya di tengah-tengah masyarakat tidak

(2)

123 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume I Nomor 2 September 2018

e-ISSN 2620-5114

menjadi terasing. Dalam waktu yang sama segala aktivitasnya pun mendapat dukungan dan apresiasi dari masyarakat sekitarnya.

Pengembangan kurikulum di Lembaga Pesantren Al Khoziny menjawab kebutuhan tersebut yang meliputi pengembangan tujuan dan materi kurikulum.

Kata Kunci : Pengembangan Kurikulum Pendidikan, LP Al Khoziny

Pendahuluan

Sebagai lembaga pendidikan berbasis agama, pesantren pada awal mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam. Dengan menyediakan kurikulum yang berbasis agama (religion-based curriculum), pesantren diharapkan mampu melahirkan alumni yang kelak diharapkan mampu menjadi figur agamawan yang demikian tangguh dan mampu memainkan dan membiasakan peran propetiknya pada masyarakat secara umum.

Artinya, akselerasi mobilitas vertikal dengan penjajahan materi-materi keagamaan menjadi prioritas -untuk tidak mengatakan satu-satunya prioritas- dalam pendidikan pesantren. Akibatnya, pemberian ruang yang demikian besar pada ilmu-ilmu keagamaan telah menciptakan penghalang mental untuk melakukan perubahan di tubuhnya sendiri.

Padahal, di tengah gegap gempita dan kompetisi sistem pendidikan yang ada, pesantren -sebagai lembaga pendidikan tertua yang masih bertahan hingga kini- tentu saja harus sadar bahwa penggiatan diri melulu pada wilayah keagamaan tidak lagi memadai.

Pesantren dituntut untuk senantiasa apresiatif sekaligus selektif dalam menyikapi dan merespon perkembangan. Pragmatisme budaya yang kian menggejala sejatinya bisa dijadikan pertimbangan lain bagaimana seharusnya pesantren menyiasati fenomena tersebut. Bukannya malah menutup diri, pesantren sejatinya membuka diri sekaligus menjajaki perubahan, dan pada saat yang sama, pesantren harus pro aktif dan memberikan ruang bagi perubahan.1

Apalagi dewasa ini, pesantren yang dulu dipandang sebelah mata oleh sebagian masyarakat, selalu berada di wilayah pinggiran, bahkan pernah dipandang sebagai simbol keterbelakangan, kekolodan, kebodohan, kejumudan, kekumuhan dan seterusnya, akhir-akhir ini

1 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren : Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta:

LP3ES, 2000), hal. 7-9.

(3)

124 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume I Nomor 2 September 2018

e-ISSN 2620-5114

banyak menjadi sorotan, baik yang datang dari dalam maupun luar Islam, bahkan dari luar negeri yang non Islam, yang bertujuan untuk mencari alternatif sistem pendidikan. Hal ini karena di dorong dari adanya suatu anggapan bahwa sistem pendidikan yang ada sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman, bahkan dirasa tidak benar sehingga perlu dicari sistem pengganti dan perlu dicobanya, dan hal itu dicari dalam pondok pesantren.2

Lebih-lebih pada saat ini, pesantren yang dulu hanya sebagai bagian dari sistem pendidikan Nasional, kini pemerintah sudah memberikan ruang khusus dan dimasukkan dalam sistem pendidikan Nasional. Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia NO: 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 30 ayat 4 yang berbunyi : “Pendidikan keagamaan berbentuk ajaran diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk yang sejenis”.3

Dengan begitu, pengembangan pesantren di samping dituntut untuk memasukkan pengetahuan non-agama ke dalam kurikulum pengajarannya, juga agar lebih efektif dan signifikan, praktek pengajaran di pesantren harus menerapkan metodologi yang lebih baru dan modern. Sebab, ketika didaktik-metodik yang diterapkan masih berkutat pada cara-cara lama yang ketinggalan zaman alias kuno, maka selama itu pula pesantren sulit untuk berkompetisi dengan institusi pendidikan lainnya

II Tinjauan Tentang Pengembangan Kurikulum A. Langkah-langkah

Pengembangan kurikulum dapat menempuh langkah-langkah sebagai berikut :

1. Menentukan tujuan. Rumusan tujuan dibuat berdasarkan analisis terhadap berbagai tuntutan, kebutuhan dan harapan. Oleh karena itu tujuan dibuat dengan mempertimbangkan faktor-faktor masyarakat, siswa itu sendiri, serta ilmu pengetahuan (budaya).

2. Menentukan isi. Isi kurikulum merupakan pengalaman yang akan diberikan kepada siswa selama mengikuti proses pendidikan atau proses belajar mengajar. Pengalaman belajar ini dapat berupa mempelajari mata- mata pelajaran atau kegiatan sekitar masalah kehidupan sesuai dengan

2 A. Wahid Zaini, Dunia Pemikiran Kaun Santri, (Jogjakarta: LKM,: 1995), hal. 85.

3 UU RI NO: 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasioanal, (Bandung: Citra Umbara, 2003), hal: 20.

(4)

125 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume I Nomor 2 September 2018

e-ISSN 2620-5114

bentuk kurikulum yang digunakan. Oleh karenanya organisasi isi atau bahan dapat berbentuk subject matter (decipline centered-berpusat pada mata-mata pelajaran) atau integrated (terpadu) –menembus mata-mata pelajaran.

3. Merumuskan bentuk kegiatan atau penyelenggaraan belajar mengajar.

Hal ini harus juga disesuaikan dengan bentuk kurikulum, dengan mengacu kepada tujuan yang hendak dicapai.

4. Penilaian Kurikulum. Evaluasi banyak tergantung kepada tujuan yang hendak dicapai. Hal ini sangat penting sebagai balikan untuk mengadakan perbaikan. Oleh karena itu evaluasi harus dilakukan terus menerus.4 B. Bentuk-bentuk Pengembangan Kurikulum.

Adapun bentuk dalam pengembangan kurikulum dapat digolongkan menjadi dua bentuk yaitu pengembangan atas dasar sistem (system based development) dan pengembangan atas dasar mata pelajaran (subject matter based development).5

1-Pengembangan atas dasar sistem (system based development)

Pengembangan atas dasar sistem bermula dari pembaharuan organisasi suatu sitem pendidikan, seperti pembaharuan kurikulum SD atau SLTP.

Kurikulum tersebut ditelaah secara menyeluruh atau sebagai suatu sistem, bukan bagian-bagian dari kurikulum, misalnya pembaharuan pada metode atau pada evaluasinya saja.

2. Setelah diadakan kajian secara menyeluruh, maka langkah selanjutnya adalah merumuskan dan merefleksikan tujuan-tujuan khusus dari tujuan umum tersebut. Dalam merumuskan tujuan-tujuan harus menggambarkan jenis-jenis pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai yang diharapkan untuk dimilki siswa setelah menyelesaikan program pendidikan pada masing-masing sekolah.

Dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan, maka perlu diupayakan kesamaan bobot antara domain kognetif, afektif dan psikomotorik-nya. Sehingga sekolah dapat melaksanakan fungsinya, apakah menyiapkan siswanya ke jenjang sekolah yang lebih tinggi atau kah sebagai penyiapan anak untuk memasuki lapangan kerja di masyarakat, atau kah untuk mencapai kedua-duanya.

4 Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta: Rajawali, 2001), 55.

5 Hendyat Soetopo dan Wasty Soemanto, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum, (Jakarta: Bina aksara, 2006), hal. 18.

(5)

126 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume I Nomor 2 September 2018

e-ISSN 2620-5114

3. Pendekatan atas dasar mata pelajaran (subject matter based development). Pengembangan atas dasar mata pelajaran adalah bertitik tolak dari usaha untuk meningkatkan kualitas belajar dalam suatu bidang pengetahuan tertentu. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka pengembangan lebih dipusatkan pada peningkatan bagian tertentu dari kurikulum, misalnya pembaharuan bidang studi matematika.

Pada awalnya, pengembangan dimulai dari isi (contain) mata pelajaran dan tujuan-tujuan yang lebih sempit dari pada pengembangan tadi. Langkah berikutnya, membuat persiapan-persiapan untuk menguji cobakan di lapangan (try out) dengan cara menerapkan jenis materi kurikulum baru. Dari uji coba tersebut secara bertahap dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui sejauh mana kurikulum baru itu dapat diterapkan sebagai suatu kurikulum di sekolah. Dari hasil penelitian itu, kurikulum diadakan pengembangan lebih lanjut. Kemudian akhirnya dilakukan penyebaran (difusi) terhadap sekolah-sekolah yang akan dikenakan pembaruan kurikulum tadi.

Pengembangam kurikulum semacam ini kurang begitu memperhatikan adanya inservice training atau latihan lanjutan dari para guru. Menurut pandangan ini bahwa materi pelajaran sudah dianggap mampu untuk mentransfer perubahan-perubahan yang dianjurkan dalam pendekatan pengajaran.6

C. Orientasi Pengembangan Kurikulum

Sesuatu yang menjadi orientasi dalam pengembangan kurikulum biasanya dijadikan arah dalam pengembangan masalah. Karena dengan adanya orientasi tersebut, maka didapatlah cara kerja secara jelas dan tegas. Ada tiga orientasi pengembangan kurikulum yang pernah dilaksanakan di Indonesia, yaitu :

1. Orientasi pada Bahan Pelajaran

Dalam orientasi ini, bahan pelajaran dijadikan titik tolak dalam pengembangan kurikulum. Langkah yang diambil ; pertama, menentukan garis-garis besar bahan pelajaran, dan kedua, menjabarkan ke dalam pokok-pokok dan sub pokok-pokok bahasan. Pertimbangan yang dipakai dalam menentukan bahan pelajaran didasarkan atas pentingnya suatu bahan untuk jenis, tingkat sekolah tertentu, dan juga alasan dan manfaat atau relevansinya dengan kebutuhan anak setelah

6 A. Hamid Syarif, Pengenalan Kurikulum Sekolah dan Madrasah (Bandung: Citra Umbara, 2005), hal. 77-78.

(6)

127 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume I Nomor 2 September 2018

e-ISSN 2620-5114

hidup di masyarakat. Dalam orientasi pengembangan kurikulum ini, bahan atau materi merupakan hal yang sangat pokok sehingga tujuan diletakkan pada langkah berikutnya. Bahan pelajaran yang menentukan tujuan, bukan tujuan yang menentukan bahan pelajaran. Pengembangan kurikulum yang berorientasi pada bahan pelajaran tersebut terdapat pada kurikulum 1968. Kelebihan dari model pengembangan tersebut adalah adanya kebebasan atau keluwesan dalam menentukan bahan pelajaran yang akan diajarkan kepada murid, tanpa terikat dengan tujuan.

Kelemahannya terletak pada kekurang jelasan arah dan tujuan terhadap penyusunan dalam pelajaran, tidak adanya pegangan yang sesuai dalam penentuan metode penyajian materi pelajaran, dan segi penilaian terhadap murid setelah kegiatan pengajaran tidak jelas.

2. Orientasi pada Tujuan

Pengembangan yang orientasi pada tujuan ini, menempatkan tujuan- tujuan pendidikan yang akan dicapai dalam posisi sentral, sebab tujuan adalah pemberi arah dalam pelaksanaan proses belajar mengajar.

Berdasarkan rumusan tujua-tujuan pendidikan itu, disusunlah bahan pelajaran yang meliputi pokok-pokok dan sub pokok-pokok bahasan yang akan diajarkan di sekolah. Dengan demikian, semua bahan pelajaran yang dipilih untuk diajarkan itu benar-benar sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Pengembangan kurikulum yang berorientasi pada tujuan di Indonesia adalah kurikulum 1975.

Ada beberapa kelebihan dari pengembangan kurikulum yang berorientasi pada tujuan ini antara lain :

o Tujuan yang ingin dicapai dalam kegiatan belajar-mengajar sudah jelas dan tegas, sehingga akan memberikan arah yang jelas dalam penetapan bahan dan metode, jenis-jenis kegiatan, serta media yang diperlukan untuk mencapai tujuan.

o Adanya tujuan yang jelas akan memudahkan penilaian untuk mengukur hasil kegiatan belajar-mengajar yang telah ditetapkan.

o Hasil penilian yang terarahkan membantu para pengembang kurikulum untuk mengadakan perbaikan-perbaikan atau perubahan- perubahan penyesuaian yang diperlukan.

3. Orientasi pada Keterampilan Proses

Dalam orientasi ini, kegiatan proses belajar siswa sebagai suatu hal yang pokok dan utama. Sebab, dalam pengembangan kurikulum ini titik beratnya adalah untuk memikirkan, merencanakan, dan melaksanakan bagaimana siswa harus belajar, cara dan langkah-langkah apa yang akan dilakukan siswa agar menguasai keterampilan-keterampilan dalam

(7)

128 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume I Nomor 2 September 2018

e-ISSN 2620-5114

proses mendapatkan sendiri ilmu pengetahuan. Pendekatan yang berorientasi pada keterampilan proses ini dipakai dalam kurikulum1984.

Pengembangan kurikulum yang berorientasi pada keterampilan proses menuntut adanya proses belajar-mengajar yang bersifat timbal balik.

Adanya komunikasi dua arah, artinya guru dan murid sama-sama aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Murid dituntut untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan sendiri serta mengelola, mempergunakan dan mengkomunikasikan hal-hal yang telah ditemukan sendiri. Sedangkan guru juga dituntut secara aktif untuk merencanakan, memilih, menentukan, membimbing dan mengevaluasi barbagai kegiatan murid. Dengan demikian, proses belajar-mengajar dapat menyeimbangkan cara belajar untuk mendapatkan, mengelola, menggunakan, menilai dan mengkomunikasikan perolehannya (hasil belajar). itulah sebabnya, pendekatan ini selalu mengacu kepada bagaimana siswa belajar (proses), juga apa yang telah dipelajari siswa (produk).

Kelebihan-kelebihan dari orientasi pada keterampilan proses ini terletak pada pendekatan terhadap kebutuhan siswa dan mempersiapkan kemampuan murid memperoleh sendiri mengenai suatu yang telah direncanakan atau diprogramkan sekolah.7

Namun begitu dari sekian bentuk kurikulum yang pernah diberlakukan di Indonesia masih mengalami banyak kelemahan-kelemahan yang perlu untuk diadakan suatu pembenahan. Kurikulum 1975 misalnya dirasakn amat membengkak dan sangat gemuk. Kurikulum tersebut dikatakan terlalu berorientasi pada produk belajar, bukannya pada proses belajar, dan akhirnya kurikulum itu direvisi dengan munculnya kurikulum 1984 yang konon telah mementingkan proses belajar dan perampingan.

Namun perampingan itu pun tidak tuntas, sehingga muncul komentar bahwa kurikulum 1984 itu “ramping” tetapi “montok”. Akibatnya sama yaitu mengandung rendahnya daya serap peserta didik. Dan kemudian kurikulum ini pun direvisi dengan munculnya kurikulum 1994, yang juga memilki kelemahan yang sama.

Dari berbagai kelemahan yang ada pemerintah berusaha untuk selalu dan terus mengadakan pengembangan kurikulum. Sebagaimana hasil studi Bank Dunia (1999), menyimpulkan bahwa salah satu komponen pendidikan yang ikut menentukan baik buruk system pendidikan adalah

7 Ibid, 74-77.

(8)

129 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume I Nomor 2 September 2018

e-ISSN 2620-5114

“ kurikulum” yang diberlakukan. Badan moneter ini juga mensyaratkan system pendidikan sebuah negara dapat baik jika : Pertama, kurikulum memenuhi sejumlah kompetensi untuk menjawab tuntutan dan tantangan arus globalisasi; Kedua, Kurikulum yang dibuat bersifat lentur dan adaptif terhadap perubahan; dan Ketiga, Kurikulum tersebut harus berkorelasi dengan pembangunan sosial dan kesejahteraan masyarakat.8 Berdasarkan hal tersebut akhir-akhir ini pemerintah sangat antusias menggodok bahkan telah melakukan uji coba kurikulum baru yang yang berbasis “kompotensi dasar” untuk menggantikan kurikulum yang selama ini lebih menitik beratkan pada materi. Dalam kurikulum baru ini terjadi pemangkasan jumlah jam pelajaran yang semula 242 hari per- tahun menjadi sekitar 200 hari per-tahun, dan sistem pembelajaran dan evaluasinya lebih menekankan pada metode praktek atau dengan penalaran konstruktivisme.9

Namun begitu dalam rangka melaksanakan pengembangan serta mewujudkan kurikulum yang berkualitas menurut Totok Ariyanto seperti yang dikutip oleh Hujair AH. Sanaky bahwa paling tidak ada lima hal yang perlu dipertimbangkan, yaitu : Pertama, perlu mengeliminasi segala persoalan yang muncul jika kurikulum kompetensi diberlakukan.

Kedua, kurikulum tersebut harus mampu mengantarkan guru sebagai pengajar yang mandiri dan tidak tergantung pada kurikulum. Artinya, kurikulum tersebut harus merupakan sebuah kurikulum pembelajaran yang dapat mendorong guru memilki kreativitas dan flekssibilitas, serta siap menghadapi perubahan dari waktu ke waktu; Ketiga, upaya merekonstruksi kurikulum harus berangkat dari hasil observasi pembelajaran di kelas. Sebagai kurikulum formal, kurikulum tidak akan berarti jika tidak dapat diterjemahkan ke dalam kurikulum intruksional, operasional, dan eksperensial, yang ketiganya hanya dapat ditemukan dalam pembelajaran di ruang-ruang kelas; Keempat, dalam kurikulum jangan hanya terjebak pada nafsu bongkar-pasang kebijakan, atau sekedar menambah, menyisipi, mengurangi dan menghapus mata pelajaran. Tetapi perbaikan kurikulum didasarkan pada hasil upaya pada pengembangan atas konteks (termasuk filsafat pendidikan), konten (isi), dan populasi sasaran atau orientasi pendidikan; Kelima, sesuai dengan dinamika zaman, peserta didik tidak banyak dituntut cerdas dalam

8 Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta: Safiria Insania Press, 2003), hal. 117.

9 Ibid, hal.120.

(9)

130 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume I Nomor 2 September 2018

e-ISSN 2620-5114

konteks inteligensi semata, melainkan juga cerdas dalam emosi dan spritual (agama).10

III. TINJAUAN TENTANG PONDOK PESANTREN A. Pengertian Pondok Pesantren

Menurut Etimologi (arti bahasa) perkataan pesantren berasal dari kata santri dengan awalan pe dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri.11 Selain itu, menurut Wahjoetomo sebagaimana dikutip oleh oleh A. Syafi’i Noer menjelaskan bahwa asal kata pesantren adalah gabungan dari kata sant (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong) sehingga kata pesantren dapat berarti ”tempat pendidikan manusia baik-baik”.12

Sedangkan pesantren secara terminologi adalah lembaga pendidikan tradisional islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati dan mengamalkan ajaran islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Perkataan “tradisional”

disini menunjukkan bahwa lembaga ini sudah berdiri sejak ratusan tahun yang lalu, sekitar 300 – 400 tahun yang lalu dan telah menjadi bagian yang mendalam dari sistem kehidupan sebagian umat islam di Indonesia, dan telah mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perjalanan hidup umat.13 Tradisional ini tidak berarti statis tanpa mengalami perubahan dan perkembangan, tetapi mempunyai makna yang dinamis. Dengan kata lain, tradisional lebih merupakan lawan modern. Oleh Noer Cholis Madjid istilah ini diperhalus, untuk tidak menyebutkan salafiyah dengan istilah penganut sistem nilai ahlus sunnah waljama’ah.14

Sementara itu Sudjoko Prasodjo, memberikan definisi bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara non klasikal, dimana seorang kiyai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa arab oleh

10 Ibid, hal. 173.

11 Hasyim Munip, Pondok Pesantren Berjuang, (Surabaya: Sinar Wijaya, 2002, hal. 16.

12 Achmad Syafi’I Noer, Pesantren : Asal Usul dan Pertumbuhan Kelembagaan, dalam Sejarah Pertumbuhan dan perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia, 2001), hal. 104.

13 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 2004), hal. 105.

14 Noer Cholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta:

Paramadina, 2001), hal. 31.

(10)

131 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume I Nomor 2 September 2018

e-ISSN 2620-5114

ulama’ abad pertengahan, dan para santri biasanya tingal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut.15

Meskipun sistem pendidikan pesantren pada awalnya bercorak tradisional, dalam perkembangan berikutnya ia lebih bersifat dinamis, adaptif, emansipatif, dan responsip terhadap perkembangan dan kemajuan zaman.

Agaknya pesantren tidak membiarkan dirinya dalam ketradisionalan yang berkepanjangan, tetapi lebih pada adaptasi dan adopsi nilai-nilai baru, baik secara langsung maupun tidak langsung ke dalam sistem pendidikannya.

Melihat dinamika ini, pesantren dalam bentuknya yang sudah terpoles oleh nilai-nilai baru itu tidak menampakkan karakteristiknya yang asli, seperti masa awal perkembangannya. Maka akhir-akhir ini sulit ditemukan sebuah pesantren yang bercorak tradisional murni. Karena pesantren sekarang telah mengalami transformasi sedemikian rupa sehingga menjadi corak yang berbeda-beda.16

B. Karakteristik Pendidikan Pesantren

Karakteristik pendidikan pesantren dapat diketahui dari bebagai segi yang meliputi keseluruhan sistem pendidikan : Materi Pelajaran dan Metode Pengajaran, prinsip-prinsip pendidikan, sarana dan tujuan pendidikan pesantren, kehidupan kiyai dan santri serta hubungan keduanya.17

- Materi Pelajaran dan metode Pengajaran

Sebagai lembaga pendidikan islam, pesantren pada dasarnya mengajarkan agama, sedangkan sumber kajian atau mata pelajarannya ialah kitab-kitab dalam bahasa arab. Pelajaran yang dikaji di pesantren ialah al Qur’an dengan tajwidnya dan tafsirnya, aqaid dan ilmu kalam, fiqh dan ushul fiqh, hadits dan musthalah al hadits, bahasa arab dengan ilmu alatnya seperti nahwu, sharaf, bayan, ma’ani, badi’ dan arudh, tarikh, mantiq dan tasawuf. Kitab yang dikaji di pesantren umumnya kitab-kitab yang ditulis dalam abad pertengahan, yaitu antara abad ke- 12 sampai dengan abad ke- 15 atau lazim disebut dengan « kitab kuning ».

Adapun metode yang lazim digunakan dalam pendidikan pesantren ialah Wetonan, sorogan, dan hafalan. Metode wetonan adalah metode kuliah

15 Sudjoko Prasodjo, Profil Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 2002), hal. 6.

16 Hasan Basri, Pesantren : Karakteristik dan unsur-unsur Kelembagaan, dalam Sejarah Pertumbuhan dan perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia, , 2001), hal. 96.

17 Ibid, hal. 101.

(11)

132 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume I Nomor 2 September 2018

e-ISSN 2620-5114

dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kiai yang menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing-masing dan mencatat jika perlu. Istilah weton dari kata wektu (jawa) yang berarti waktu; karena pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan atau sesudah melakukan salat fardlu (lima waktu). Di Jawa Barat, metode ini disebut dengan bandongan; sedangkan di Sumatra disebut dengan halaqah.

Sistem ini juga dikenal dengan sebutan balaghan, yaitu belajar dengan kelompok (group) yang diikuti oleh seluruh santri. Biasanya kiai menggunakan bahasa daerah setempat dan langsung menerjamahkan kalimat demi kalimat dari kitab yang dipelajarinya.

Metode Sorogan ialah suatu metode dimana santri menghadap guru atau kiyai seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya.

Kiai membacakan dan menerjamahkannya kalimat demi kalimat; kemudian menerangkan maksudnya. Santri menyimak bacaan kiai dan mengulanginya sampai memahaminya, kemudian kiai mengesahkan (jawa: ngesahi), jika santri sudah benar-benar mengerti, dengan memberikan catatan pada kitabnya untuk mensahkan bahwa ilmu itu telah diberikan oleh kiai kepadanya. Istilah sorogan berasal darikata sorog (jawa) yang berarti menyodorkan kitab ke depan kiai atau asistennya. Zamakhsyari Dzoefir mengatakan bahwa metode sorogan ini merupakan bagian yang paling sulit dari keseluruhan metode pendidikan islam tradisional; sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi santri.18 Kendati pun demikian metode seperti ini diakui paling intensif, karena dilakukan seorang demi seorang dan ada kesempatan untuk tanya jawab langsung.19 Metode hafalan ialah suatu metode dimana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinya. Biasanya cara menghafal ini diajarkan dalam bentuk syair atau nadzom. Dengan cara ini memudahkan santri untuk menghafal, baik ketika sedang belajar maupun di saat berada diluar jam belajar. Namun begitu metode ini mengandung sisi kelemahan, antara lain santri cenderung mengikuti saja apa yang dikatakan oleh kiainya, tanpa ada penalaran dan analisis yang cermat.

Dari sekian pesantren tradisional yang ada sampai sekarang masih menggunakan ketiga metode tersebut dalam sistem pengajarannya. Dengan begitu pesantren masih mempertahankan keunikannya.

18 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren …., hal. 7.

19 Kafrawi, Pembaharuan Sistem Pendidikan Pondok Pesantren, (Jakarta: Cemara Indah, 1978 ), hlm 20.

(12)

133 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume I Nomor 2 September 2018

e-ISSN 2620-5114

C. Pola Pengembangan Kurikulum Pondok Pesantren

Kurikulum merupakan salah satu instrumen dari suatu lembaga pendidikan termasuk lembaga pendidikan pesantren. Kurikulum merupakan pengantar materi yang dianggap efektif dan efisien dalam menyampaikan misi dan mengoptimalisasikan sumber daya manusia (santri) dalam upaya mencapai tujuan pendidikan.

Pondok pesantren lama memang belum mengenal bentuk kurikulum, namun demikian dapat dinyatakan bahwa kurikulum pesantren sebenarnya meliputi seluruh kegiatan yang dilakukan di pesantren selama sehari semalam.20

Kurikulum yang berkembang di Pesantren selama ini memperlihatkan sebuah pola yang tetap. Pola itu dapat diringkas kedalam pokok-pokok berikut : (a) kurikulum ditujukan untuk « mencetak » ulama’ di kemudian hari, (b) struktur dasar kurikulum itu adalah pengajaran pengetahuan agama dalam segenap tingkatannya dan pemeberian pendidikan dalam bentuk bimbingan kepada santri secara pribadi oleh kiai / guru, dan (c) secara keseluruhan kurikulum yang ada berwatak lentur / fleksibel, dalam artian setiap santri berkesempatan menyusun kurikulumnya sendiri sepenuhnya atau sebagian sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, bahkan pada pesantren yang memiliki sistem pendidikan berbentuk sekolah sekalipun.21

Dengan demikian dapat diketahui bahwa apa yang dapat dianggap sebagai kurikulum dalam pesantren adalah sangat bervariasi, dengan pengertian satu pesantren berbeda dari pesantren lainnya. Adapun yang membedakannya adalah keistimewaannya yang dimiliki oleh masing-masing pesantren dalam vak-vak pengetahuan tertentu.

Hampir semua pesantren pertama-tama mengajarkan pelajaran tingkat dasar tulisan dan fonetik arab, agar santri muda dapat membaca dan mengulang tulisan-tulisan arab klasik. Bagi para santri adalah penting untuk pada permulaan menguasai pengetahuan yang cukup tentang bahasa arab klasik, sebagai syarat untuk mendalami ayat-ayat keagamaan, filsafat, hukum dan ilmiah.22

Kurikulum pesantren yang statusnya sebagai lembaga pendidikan non formal hanya mempelajari kitab klasik yang meliputi : tauhid, tafsir, hadits, fiqh, ushul fiqh, tasawuf, bahas arab (nahwu, sorof, balaghah, tajwid), mantiq,

20 Ibid, hal. 52.

21 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, (Yogyakarta: Lkis, 2001), hal. 109.

22 Manfried Ziemiek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, (Jakarta: Paramadina, 2007), hal.

162.

(13)

134 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume I Nomor 2 September 2018

e-ISSN 2620-5114

akhlak. Pelaksanaan kurikulum pendidikan pesantren ini berdasarkan kemudahan dan kompleksitas ilmu dan masalah yang dibahas dalam kitab, jadi ada tingkat awal, menengah, dan lanjutan. Gambaran naskah agama yang harus dibaca dan dipelajari oleh santri, menurut Zamakhsyari Dzofier mnencakup kelompok nahwu dan shorof, fiqh, ushul fiqh, hadits, tafsir, tauhid, tasawuf, cabang-cabang yang lain seperti tarikh dan balaghah.23

Dengan formasi pengajaran kitab-kitab klasik, jelaslah bahwa dalam bentuk aslinya, pesantren memang tidak mengajarkan ilmu pengetahuan umum. Hal ini juga terbukti, misalnya pada zaman penjajahan Belanda, sementara anak- anak elit penguasa disediakan lembaga pendidikan umum model Eropa.

Putra-putri rakyat biasa yang mayoritas muslim bersekolah di pesantren dan madrasah dengan pengajaran pokok tentang agama islam semata. Maka wajarlah dengan watak tradisionalitasnya, pesantren tradisional mempertahankan berbagai tradisi masa lalu untuk sekedar memberikan ilmu pengetahuan di bidang agama islam kepada para santrinya.

Sebagaimana kurikulum pendidikan pada umumnya, kurikulum pesantren mempunyai komponen-komponen sebagai berikut : (1) Tujuan, (2) Bahan / materi, (3) Metode, dan (4) Evaluasi.

1). Komponen tujuan

Seperti yang telah penulis sebutkan, bahwa sampai sekarang belum ada suatu rumusan yang definitif tentang tujuan pesantren, walaupun ada sebagian pakar yang telah memberikan beberapa batasan tentang tujuan pesantren seperti yang telah dikutip oleh penulis diatas. Antara pesantren yang satu dengan pesantren yang lain terdapat tujuan yang berbeda. Hal itu sangat tergantung sekali atas para pengelola pesantren dalam hal ini kiyai sebagai satu-stunya orang yang punya otoritas dan sekaligus pemegang kebijakan dalam pondok pesantren atau para ustadz yang telah mendapat kepercayaan dan restu dari kiai. Akan tetapi pada dasarnya pondok pesantren bertujuan untuk mencetak muslim agar memiliki dan menguasai ilmu-ilmu agama (tafaqquh fiddin) secara mendalam serta menghayati dan mengamalkannya dengan ihklas semata-mata ditujukan untuk pengabdiannya kepada Allah dalam hidup dan kehidupannya.24 Hal ini sesuai dengan apa yang telah dititahkan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an surat al bayyinah ayat 4, yaitu :

: ةنيبلا( .... ءافنح نيدلا هل نيصلخم الله اودبعيل لاا اورمأ امو 4

)

23 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren ….., hal. 15.

24 Departemen Agama RI, Pola pembelajaran Pesantren, (Jakarta: Depag, 2001), hal. 20.

(14)

135 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume I Nomor 2 September 2018

e-ISSN 2620-5114

Artinya :” Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah SWT dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus (QS: Al Bayyinah: 4)

2). Bahan / Materi

Materi yang dikaji di pesantren pada umumnya terdiri dari kitab-kitab klasik yang telah dikarang oleh ulama’ salaf. Materi itu pun hanya terbatas pada madzhab Syafi’i dalam bidang fiqh, al Ghozali dalam bidang tasawuf, al Asy’ari dan al Maturidi dalam bidang teologi. Sedikit – kalau tidak dikatakan tidak ada – pesantren yang mengadopsi pengajaran kitab dari beberapa madzhab dan membandingkannya ketika memutuskan suatu masalah (hukum). Sehingga para santri cenderung bersikap eksklusif ketika berhadapan dengan realitas yang menurutnya sudah tidak sesuai dan tidak cocok dengan apa yang telah ia ketahui.

Hampir seluruh pesantren di tanah air mengajarkan mata aji (materi pembelajaran) yang sama, yang dikenal dengan ilmu-ilmu keislaman sebagaimana penulis telah sebutkan diatas.Mata aji ilmu-ilmu ini diajarkan di pesantren melalui kitab-kitab standart yang disebut al kutub al qadimah, karena kitab-kitab tersebut dikarang lebih dari seratus tahun yang lalu. Ada juga yang menyebutkannya sebagai al kutub al shafra ‘atau « kitab kuning » karena biasanya kitab-kitab itu dicetak diatas kertas berwarna kuning, sesuai kertas yang tersedia pada wak itu. Ciri lain dari kitab-kitab yang diajarkan di pesantren itu ialah beraksara arab gundul (huruf tanpa harakat atau syakal).

Keadaannya yang gundul pada sisi lain ternyata merupakan bagian dari pembelajaran, sehingga keberhasilan menemukan harakat-harakat yang benar merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan pembelajaran di pesantren.25

3). Metode pendidikan di pesantren

Dalam penjelasan terdahulu penulis telah menyebutkan bahwa metode yang lazim digunakan dalam pendidikan pesantren ialah Wetonan (Bandongan) , sorogan, dan hafalan. Ketiga model metode tersebut masih tetap eksis sampai sekarang walaupun di sebagian pesantren sudah mengadopsi mertode- metode modern akan tetapi masih tetap mempertahankan ketiga model metode tersebut. Disamping tiga metode pengajaran yang umum digunakan di pesantren diatas ada metode yang juga dipakai dalam pesantren, yaitu : Mudzakarah / musyawarah, dan majlis Ta’lim.

25 Ibid, hal. 51.

(15)

136 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume I Nomor 2 September 2018

e-ISSN 2620-5114

a). Mudzakarah / musyawarah yaitu pertemuan ilmiah yang secara khusus membahas persoalan agama pada umumnya. Metode ini digunakan dalam dua tingkatan, pertama, diselenggarakan oleh sesama santri untuk membahas suatu masalah agar terlatih memecahkan masalah dengan menggunakan rujukan kitab-kitab yang tersedia. Kedua, mudzakarah yang dipimpin oleh kiai, dimana hasil mudzakarah santri diajukan untuk dibahas dan dinilai seperti dalam seminar. Biasanya dalam mudzakarah ini berlangsung tanya jawab dengan menggunakan bahasa arab. Kelompok mudzakarah ini diikuti oleh santri senior dan memilki penguasaan kitab yang cukup memadai, karena mereka harus mempelajari sendiri kitab-kitab yang ditetapkan kiai.

Metode ini merupakan bentuk realisasidari apa yang disinyalir oleh Allah SWT dalam al Qur’an surat As Syuura ayat 38, yaitu :

مهانقزر اممو مهنيب يروش مهرمأو ةلاصلا اوماقأو مهبرل اوباجتسا نيدلاو : ىروشلا( . نوقفني

38 )

Artinya: “Juga mereka yang suka mematuhi seruan Tuhannya, mengerjakan sholat, menyelesaikan setiap persoalan antara sesamanya secara bermusyawaro, menafkahkan rezerki yang telah kami berikan kepadanya”.

(QS: As Syuura: 38)

b). Majlis Ta’lim, yaitu suatu media penyampaian ajaran islam secara umum dan terbuka. Diikuti oleh jamaah yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang berlatar belakang pengetahuan bermacam-macam dan tidak dibatasi oleh tingkatan usia atau perbedaan kelamin.26

Dari sekian metode yang digunakan di pesantren diatas secara teoritis pendidikan, metode sorogan sebenarnya termasuk metode modern, karena antara kiai – santri dapat saling mengenal, kiai memperhatikan perkembangan belajar santri, sementara santri belajar aktif dan selalu mempersiapkan diri sebelum ngesahi kitab. Disamping itu, kiai telah mengetahui materi dan metode yang sesuai untuk santrinya. Dalam belajar dengan metode ini tidak ada unsur paksaan, karena timbul dari kebutuhan santri sendiri. Demikian dalam metode mudzakarah, unsur kesadaran santri cukup tertantang, disamping itu pelaksanaan pembelajarannya berlangsung secara dialogis, tidak seperti dalam pengajian weton. Mengenai pengajian weton untuk pengembangan ranah kognetif, relatif kurang efektif karena tidak ada sistem kontrol terhadap kehadiran santri dan penilaian terhadap hasil belajar kemampuan mereka. Disamping itu mereka tidak mempunyai kesempatan untuk mengemukakan ide, bahkan mengemukakan kritik terhadap apa yang disampaikan kiai. Namun bila metode ini diposisikan sebagai salah satu rangkaian dari metode pembelajaran yang ada di pesantren

26 Djunaidatul Munawaroh, “Pembelajaran Kitab kuning di Pesantren”, hal. 177-178.

(16)

137 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume I Nomor 2 September 2018

e-ISSN 2620-5114

dan mesti dilalui oleh setiap santri, maka out put pesantren akan benar- bemnar menguasai materi secara keseluruhan dan kaya akan informasi ilmu agama.

c). Evaluasi pendidikan di pesantren.

Pendidikan pesantren yang belum mengadopsi sistem pendidikan modern belum mengenal atau memang tidak perlu mengenal sistem penilaian (evaluasi). Kenaikan tingkat cukup ditandai dengan bergantinya kitab yang dipelajari. Santri sendiri yang menilai, yaitu ia cukup menguasai bahan yang lalu dan mampu untuk mengikuti pengajian kitab berikutnya. Masa belajar dan waktu tamat tidak ditentukan dan tidak dibatasi, sehingga memberikan kelonggaran pada santri untuk meninggalkan pesantren. Setelah pesantren puas terhadap ilmu yang telah diperolehnya dan merasa siap terjun di masyarakat. Dan kalau santri belum puas tidak salah baginya untuk pindah ke pondok lain dalam rangka mendalami ilmunya. Jadi keberhasilan seorang santri ditentukan oleh kemampuannya mengajar kitab-kitab atau ilmu-ilmu yang telah diperolehnya kepada orang lain. Dengan kata lain potensi lulusan pendidikan pesantren langsung ditentukan oleh masyarakat konsumen.

Namun demikian, tampaknya penilaian yang seperti itu sulit dikembangkan dan dibudayakan dalam dunia modern ini mengingat akan dunia modern ini mengingatkan akan produk pendidikan yang semakin massive dan formal.

Dalam situasi demikian dunia pesantren menjadi amat penting untuk membuktikan dan mengembangkan sistem penilaian yang komprehensip, baik yang menyangkut domain kognetif, afektif dan psikomotorik.

IV Pengembangan Kurikulum Pesantren

A. Latar Belakang Pengembangan Kurikulum Lembaga Pesantren Al Khoziny

Pelaksanaan pengembangan kurikulum Lembaga Pesantren Al Khoziny Buduran Sidoarjo yang menjadi obyek penelitian ini sangat komplek, dalam arti semua komponen kurikulum berupaya dikembangkan.

Dari realita ini diperoleh sebuah indikasi akan kuatnya motivasi dan keinginan untuk melaksanakan kegiatan tersebut.

Dari hasil wawancara dengan semua unsur pesantren, serta observasi di lokasi penelitian, maka diperoleh gambaran mendasar bahwa latar belakang pengembangan kurikulum tersebut ada kaitannya dengan beberapa faktor. Adapun faktor-faktor yang sangat relevan dengan penelitian ini dapat diklasifikasikan menjadi dua faktor : -Faktor Internal -Faktor Eksternal

(17)

138 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume I Nomor 2 September 2018

e-ISSN 2620-5114

Adapun yang dimaksud dari kedua hal diatas yaitu bahwa faktor internal adalah faktor yang muncul yang berasal dari dalam lingkungan pesantren (pengasuh, ustadz, pengurus, dll). Sedang faktor eksternal adalah faktor- faktor yang datangnya dari luar (budaya, masyarakat, ilmu pengetahuan, tekhnologi, dll)

o Faktor internal meliputi :

a). Keinginan pengasuh untuk meningkatkan pengetahuan santri.

Secara historis pada awalnya Lembaga Pesantren Al Khoziny hanya mengelola jenis pendidikan pesantren pada umumnya. Kemudian sistem pendidikannya dikembangkan dengan menggunakan metode klasikal dengan mendirikan madrasah non formal dari tingkat Ibtidaiyah Diniyah dan Madrasah Tsanawiyah Diniyah. Hal ini berjalan hingga sekian tahun. Selang beberapa tahun kemudian ada inisiatif untuk mendirikan pendidikan formal, semisal madrasah atau sekolahan yang kurikulumnya beraviliasi ke Departemen Agama. Maka berdirilah pendidikan formal dari tingkat Ibtidaiyah (MI), Tsanawiya (MTs) sampai tingkat aliyah (MA) dan ada rencana akan mendirikan Perguruan Tinggi. Keinginan ini muncul dari pengasuh Lembaga Pesantren Al Khoziny sendiri sebagaiman diutarakan oleh Pengasuh :

“Didirikannya pendidikan formal mulai dari MI, MTs dan MA semata- mata bertujuan untuk meningkatkan kualitas para santri, selain itu juga untuk mengentas para kalangan masyarakat yang taraf ekonominya menengah ke bawah agar sama-sama mengenyam serta mendapatkan pendidikan dan ijazah formal sebagaimana pendidikan di luar pesantren.”27 Dengan demikian, kehadiran jenjang pendidikan formal di Pesantren Nurul Huda sebagai mitra pendidikannya dalam rangka meningkatkan mutu dan kualitas santri di masa depan. Karena kalau hanya mengandalkan sistem pendidikan yang ada, kemungkinan upaya tersebut sangat sulit sekali dicapai, karena disamping terbatasnya sistem yang ada juga zaman sudah berubah yang mengharuskan adanya pengembangan semacam diatas.

Keinginan para pengelola pesantren Nurul Huda Kembang Jeruk untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pengajaran di pesantren.

Sebagaimana pesantren pada umumnya, sistem pendidikan dan pengajaran yang dilaksanakan masih tergolong klasik, baik dari aspek materi, strategi pengajarannya, dan evaluasinya. Hal ini menimbulkan proses pendidikannya

27 Hasil Wawancara dengan KHR Abd Salam Mujib pada 25 September 2015

(18)

139 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume I Nomor 2 September 2018

e-ISSN 2620-5114

kurang efektif dan efisien, kondisi seperti ini pernah dialami oleh Lembaga Pesantren Al Khoziny Buduran Sidoarjo.

Berangkat dari kondisi diatas, maka Lembaga Pesantren Al Khoziny berusaha untuk mengembangkan sistem pendidikannya ke arah sistem yang lebih efektif dan efisien. Perubahan tersebut ditempuh dengan cara mendirikan sekolah-sekolah formal yang berkurikulum ke Departemen Agama sebagaimana di atas.

Dengan memasukkan pengajaran-pengajaran umum ke Lembaga Pesantren Al Khoziny diharapkan nantinya para santri tidak hanya mendalami tentang agama saja akan tetapi juga mendalami tentang pengajaran umum serta ketrampilan-ketrampilan khusus yang nantinya bisa laku di dunia kerja.

Keinginan agar alumni Lembaga Pesantren Al Khoziny Kembang Jeruk Banyuates siap pakai di masyarakat.

Seperti telah dibahas dalam kajian terdahulu, bahwa pada umumnya pesantren hanya mengajarkan ilmu agama saja, sehingga out put pendidikan pesantren akan menjadi orang yang eksklusif, yakni hanya mampu dalam bidang keagamaan saja.

Realita diatas memancing Lembaga Pesantren Al Khoziny untuk berbenah diri agar supaya lulusan dari pesantren tersebut betul-betul bermanfaat bagi masyarakat. Upaya yang dilakukan dengan membekali santrinya dengan berbagai ilmu yang nantinya bisa siap pakai di masyarakat, yakni santri di samping belajar ilmu agama juga ditekankan belajar ilmu umum serta beberapa keterampilan.

Sebagai konsekwensinya, Lembaga Pesantren Al Khoziny mendirikan sekolah-sekolah formal serta training-training yang dianggap penting seperti kursus komputer, bahasa inggris, bahasa Arab dan lain-lain. Kenyataan akan hal ini seperti diungkapkan oleh salah seorang pengurus :

“Semua santri yang mondok di sini wajib mengikuti sekolah baik yang formal atau yang non formal, Hal itu karena diharapkan agar kelak santri setelah pulang ke kampung halamannya benar-benar mampu dan berguna serta tidak menjadi beban masyarakat. Dan kenyataannya, bahwa semua santri semuanya antusias dengan sistem ini. Rata-rata dari sekian santri yang datang untuk mondok disamping mempunyai tujuan untuk belajar agama, juga untuk belajar pendidikan umum serta keterampilan- keterampilan yang lain.”28

o Faktor Eksternal

28 Hasil wawancara dengan Pengasuh pada 25 September 2015.

(19)

140 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume I Nomor 2 September 2018

e-ISSN 2620-5114

Sebagaimana dijelaskan dimuka bahwa faktor eksternal adalah faktor yang datang dari luar pesantren Nurul Huda yang meliputi manusia atau kondisi sosial budaya. Faktor eksternal yang menyebabkan adanya pengembangan kurikulum pesantren adalah sebagai berikut :

(a). Perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.

Pada era sekarang, di era globalisasi informasi juga era kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi telah menuntut semua dimensi dari kehidupan yang ada untuk merespek dan mengantisipasinya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi telah banyak memberikan dampak positif dan negatif bagi seluruh kehidupan umat manusia.

Pesantren sebagai salah satu dari lembaga pendidikan yang mencetak sumber daya manusia tidak terlepas dari tuntutan diatas, dimana pesantren dituntut untuk mampu menghasilkan SDM yang mumpuni dalam ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Sehingga di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, pesantren akan tetap mewarnai dinamika perkembangan tersebut, melalui aktivitas dan out put pendidikannya. Hal tersebut diungkapkan oleh ketua umum Lembaga Pesantren Al Khoziny :

“Bahwa pengembangan kurikulum dengan memasukkan pendidikan umum ke dalam pesantren merupakan suatu bentuk antisipatif dan respon atas perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi sehingga diharapkan agar nantinya para alumni Lembaga Pesantren Al Khoziny bisa optimal dalam berjuang, karena memasuki era globalisasi ini santri ke depan dituntut untuk tidak hanya mahir dalam ilmu agama, akan tetapi juga pandai dalam ilmu umum serta mempunyai life skil yang memadai.”29

(b). Dinamika Sistem Pendidikan Nasional

Bila menelaah secara jeli, maka dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa sistem pendidikan nasional yang ada adalah mengarah kepada pembentukan manusia yang siap pakai. Mengarah kepada sistem pendidikan nasional tersebut Lembaga Pesantren Al Khoziny Kembang jeruk Banyuates, sudah mempunyai inisiatif untuk mengembangkan pendidikannya ke arah pendidikan yang sesuai dengan sistem pendidikan nasional.

Pengembangan kurikulum yang dilaksanakan oleh Lembaga Pesantren Al Khoziny adalah sebagai jawaban dan respon dari perkembangan sistem pendidikan yang ada. Hal ini semata-mata dilakukan dengan harapan sistem pendidikan pesantren tetap sesuai dan dapat seiring dengan sistem pendidikan nasional.

29 Hasil wawancara dengan Ketua Pesantren Imam Syafii pada 27 September 2015.

(20)

141 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume I Nomor 2 September 2018

e-ISSN 2620-5114

Sebagaimana tujuan lembaga pendidikan ini, adalah untuk ikut serta mewujudkan kesejahteraan masayarakat, bangsa dan negara melalui lembaga pendidikan yang dilaksanakan.

c). Adanya tuntutan masayarakat dan alumni

Pada halaman terdahulu telah dijelaskan bahwa Lembaga Pesantren Al Khoziny Buduran Sidoarjo disamping menyelenggarakan kegiatan pendidikan, juga melakukan aktivitas sosial, yakni turut serta memberikan penyuluhan dan penerangan terhadap masyarakat. Juga dijelaskan bahwa Lembaga Pesantren Al Khoziny mempunyai organisasi alumni yang bernama ISMU (Ikatan Santri - Alumni Al Muntahy), yang aktivitas organisasi ini salah satunya adalah memberikan pelayanan terhadap masyarakat dalam bidang keagamaan juga sebagai wahana silaturrahmi antar alumni.

Dari aktivitas sosial serta pertemuan-pertemuan yang sering diadakan sebagaimana diatas muncul beberapa pemikiran dari masyarakat dan para alumni agar Lembaga Pesantren Al Khoziny lebih mengembangkan lagi pendidikannya. Mereka menghimbau agar pesantren Nurul Huda tidak hanya melaksanakan model dan sistem pendidikan yang sifatnya masih salaf (ortodok). Mereka mengharap model dan sistem pendidikannya sudah mulai dibenahi dengan mengadopsi sistem dan model serta strategi pendidikan ala modern dalam melaksanakan proses belajar mengajar, evaluasi dan lain sebagainya. Hal itu karena mereka mengharap agar kelak para santri bisa bermutu dan berkualitas serta senantiasa eksis di tengah-tengah perubahan.

Beberapa latar belakang diatas baik yang sifatnya intrernal ataupun yang eksternal merupakan sebuah kesatuan yang utuh yang menjadi faktor dan penyebab atas pengembangan kurikulum pendidikan Lembaga Pesantren Al Khoziny. Dengan adanya hal diatas, Lembaga Pesantren Al Khoziny terinspirasi dan termotifasi untuk secepatnya membenah diri dan mengadakan perubahan, sehingga nantinya diharapkan menjadi sebuah lembaga pendidikan yang mampu mencetak insan yang bermutu dan berkualitas sebagaimana yang telah diharapkan bersama.

B. Pengembangan Kurikulum Pendidikan di Lembaga Pesantren Al Khoziny.

Seperti telah diketahui, bahwa kurikulum merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan dalam proses kegiatan belajar mengajar dalam lembaga pendidikan, keberadaannya sangat menentukan berhasil atau tidaknya tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena itu, kurikulum merupakan salah satu faktor yang senantiasa diperhatikan dan dikembangkan sesuai dengan tuntutan yang ada.

(21)

142 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume I Nomor 2 September 2018

e-ISSN 2620-5114

Berangkat dari pemikiran diatas, maka Lembaga Pesantren Al Khoziny Kembang Jeruk Banyuates sebagai lembaga pendidikan islam mempunyai tanggung jawab moral di dalam menyelenggarakan pendidikannya dan senantiasa memperhatikan kurikulum pendidikannya, dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan pesantren. Adapun upaya yang ditempuh Lembaga Pesantren Al Khoziny adalah dengan mengadakan pengembangan kurikulum pesantren.

Adapun bentuk-bentuk pengembangan kurikulum yang dilaksanakan oleh Lembaga Pesantren Al Khoziny Buduran Sidoarjo sebagaimana kurikulum pada umumnya, meliputi beberapa komponen kurikulum, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Pengembangan Tujuan Pendidikan Pesantren

Seperti yang telah penulis sebutkan bahwa pada dasarnya pondok pesantren bertujuan untuk mencetak muslim agar memiliki dan menguasai ilmu-ilmu agama (tafaqquh fiddin) secara mendalam serta menghayati dan mengamalkannya dengan ihklas semata-mata ditujukan untuk pengabdiannya kepada Allah dalam hidup dan kehidupannya.

Dari rumusan diatas, sudah barang tentu bahwa tujuan pendidikan pesantren sangat sekali menekankan pentingnya penegakan dinul islam di tengah- tengah masyarakat dan akhlakul karimah serta mementingkan dimensi keikhlasan pada setiap aspek kehidupan.

Konskwensinya dari konsep diatas, maka out put pendidikan pesantren sangat ekslusif (bersifat tertutup) dalam kehidupannya, disebabkan hanya berorientasi pada bidang keagamaan.

Maka dari itu Lembaga Pesantren Al Khoziny di dalam rangka meningkatkan kualitas santri dan pendidikannya, melakukan pengembangan tujuan pendidikannya dengan harapan di kemudian hari mampu meningkatkan kualitas pendidikannya.

Adapun bentuk pengembangan dari tujuan pendidikan Lembaga Pesantren Al Khoziny Buduran Sidoarjo adalah :

Lembaga Pesantren Al Khoziny bertujuan mewujudkan peribadatan, pendidikan dan dakwah islamiyah menurut faham ahlussunnah wal jama’ah serta mewujudkan kesejahteraan sosial pada umumnya dengan berdasarkan pancasila dan UUD 1945.30

Dari rumusan tujuan pendidikan Pesantren Nurul Nuda diatas, menunjukkan bahwa tujuan pendidikan Pesantren Nurul Huda telah mengarah kepada tujuan pendidikan yang lebih universal, di mana seorang santri dituntut harus

30 Buku pedoman pesantren, no 12 th 2014.

(22)

143 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume I Nomor 2 September 2018

e-ISSN 2620-5114

memiliki keahlian dalam bidang ilmu agama sesuai dengan tujuan pesantren pada umumnya, akan tetapi tujuan diatas sudah dikembangkan kepada upaya membentuk santri yang ahli dalam bidang agama, juga mempunyai kualitas di bidang pendidikan yang lain.

2. Pengembangan Isi atau Materi Pendidikan Pesantren

Isi yaitu materi yang diprogramkan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.31 Dari pengertian diatas, Lembaga Pesantren Al Khoziny dalam memberikan materi pendidikannya melakukan pengembangan dan pembaharuan. Materi yang diberikan tidak lepas dari materi kitab-kitab klasik yang dikarang oleh ulama-ulama salaf. Beberapa kitab tersebut disesuaikan dengan kurikulum pendidikannya yakni sesuai dengan tingkat pendidikan yang ada di lembaga pendidikan tersebut.

Kitab-kitab yang diajarkan sebagai tambahan dan pengembangan dari khazanah keilmuan kitab klasik adalah diambil dari beberapa kitab bahasa arab yang mana kitab-kitab tersebut tergolong kitab yang baru yang ditulis oleh ulama mutaakhirin. Untuk lebih jelasnya mengenai kitab yang dilaksanakan dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

TINGKAT PENGGUNAAN KITAB DI LEMBAGA PESANTREN AL KHOZINY

NO Tingkatan Nama Kitab

01 Dasar

1.

ةيهقفلا ئدابم 2

ةيمورجلا نتم .

2.

يطيرمع 4 ةيملاكلا رهاوج .

5 ينلايكلا . 6 عاجش يبأ .

7 .نيعبرأ ثيدح . 8

سيفانلا ةوقايلا . 02 Mutawassith

1.

ةممتم 2 بيرقلا حتف .

2.

تاقرو 4 ملعتلما ميلعت .

5 بيهرتلاو بيغرثلا . 6

نيزلا ةياهن .

03 Al-A’la

1 كلام نبا ةيفلأ . 2

نيعلما حتف .

3.

نيللاجلا ربسفت 4

نونكلما رهاوج .

5 باهولا حتف . 6

عانقلاا .

31 Subandijah, “Pengembangan dan Inovasi Kurikulum” (Jakarta: PT. Raja Grafinda Persada, 2002), hal. 5.

(23)

144 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume I Nomor 2 September 2018

e-ISSN 2620-5114

Disamping beberapa kitab diatas, santri juga diberikan materi pelajaran umum, yang hal itu ditempuh di sekolah formal mulai dari tingkat Ibtidaiyah (MI), Tsanawiyah (MTs) dan Aliyah (MA).

Dari gambaran diatas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Lembaga Pesantren Al Khoziny dalam menyusun materi pembelajarannya sudah mengarah pada konsep generalisasi universalisasi dimana materi yang ada merupakan gabungan dari beberapa bahan yang berbeda, akan tetapi saling berkesinambungan. Konsep ini adalah konsep yang ideal, dikarenakan dengan materi yang luas tersebut, out put pesantren akan lebih fleksibel serta dapat mengikuti perkembangan pendidikan yang ada.

Hanya saja dari sekian materi (khususnya materi agama) yang diajarkan di Lembaga Pesantren Al Khoziny masih berorientasi pada bidang fiqh saja (Fiqh Oriented), itu pun juga terbatas pada kitab-kitab fiqh yang dikarang oleh ulama as Syafi’iyah saja. Di sana belum mengadopsi kitab-kitab karangan dari ulama’ yang selain dari madzhab as syafi’i , seperti Imam maliki, Hanafi dan Hambali. Walaupun dari satu sisi santri ditekankan untuk tidak fanatik terhadap salah satu madzhab. Jadi tidak bisa tidak out put dari para santri masih Syafi’i sentries dari segi agama khususnya tentang hukum fiqh.

3. Pengembangan Strategi Pengajaran di Lembaga Pesantren Al Khoziny

Strategi adalah usaha untuk menerjemahkan bahan yang tercantum dalam kurikulum agar dapat menjadi pengalaman siswa.32 Seperti dijelaskan terdahulu bahwa kurikulum masih merupakan rancangan, ide atau harapan yang harus diwujudkan secara nyata di lembaga pendidikan baik sekolah maupun di pesantren. Sehingga akhirnya mampu mengantarkan santri untuk mencapai tujuan pendidikan.

Strategi pengajaran merupakan salah satu komponen kurikulum yang senantiasa harus diperhatikan agar pengajaran berjalan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Dalam mencapai tujuan pendidikan, Lembaga Pesantren Al Khoziny memakai beberapa metode atau cara pengajaran yang efektif dan efisien, tepat guna dan operasional. Dengan beberapa metode tersebut diharapkan mampu menyajikan materi pendidikan agama, umum dan keterampilan.

Adapun metode pengajaran yang digunakan sebagaimana pesantren pada umumnya, misalnya metode wetonan dan sorogan, akan tetapi disamping

32 Hamid Syarief, Pengembangan Kurikulum, (Surabaya: Bina Ilmu, 2006), hal 90.

(24)

145 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume I Nomor 2 September 2018

e-ISSN 2620-5114

metode diatas juga menerapkan beberapa metode yang diharapkan menunjang dalam penyampaian materi pendidikan pesantren.

Beberapa metode yang digunakan dalam melaksanakan aktivitas pendidikan dan pengajaran di Lembaga Pesantren Al Khoziny adalah sebagai berikut : a. Metode wetonan

Metode wetonan adalah sistem pengajaran dengan jalan kiyai membaca suatu kitab dalam waktu tertentu dan santri dengan membawa kitab yang sama mendengarkan dan menyimak bacaan kiyai.33 Di Lembaga Pesantren Al Khoziny, sistem pengajian ini ada yang dilaksanakan oleh kiyai, saudara dan putra-putranya serta diadakan oleh ustadz senior.

b. Metode Sorogan

Metode sorogan adalah pengajian kitab kuning dengan jalan santri yang biasanya pandai menyorongkan sebuah kitab kepada kiyai untuk dibaca di hadapan kiyai itu. Dan kalau ada salahnya kesalahan itu langsung dihadapi oleh kiyai itu.34

c. metode Munadzoroh

Istilah munadloroh ini berasal dari fiil madhi “Naadhoro” yang bermakna

“Jaadala” berdebat atau bertukar pikiran.35 Istilah lain yang sering dipakai dalam aktivitas ini adalah musyawaroh, mudzakaroh, muhawaroh.

Munadloroh merupakan suatu pertemuan ilmiah yang secara spesifik membahas masalah-masalah diniyah ibadah (ritual) dan aqidah (teologi) serta masalah-masalah agama pada umumnya.36

Dalam kaitannya dengan aktivitas santri di Lembaga Pesantren Al Khoziny Buduran Sidoarjo, munadloroh ini dapat dibedakan menjadi dua bagian, :

1). Munadloroh yang diadakan antara sesama santri yang setingkat dalam kelas di pendidikan non formal untuk mengkaji ulang pelajaran yang telah diterima dari ustadznya. Munadloroh seperti ini lebih difokuskan pada pengulangan materi pelajaran dari suatu kitab yang telah diterima oleh mereka di bangku madrasah. Persoalan yang dibahas hanya berkisar pada materi-materi kitab yang belum dipahami oleh mereka. Dalam pelaksanaanya mereka dibantu oleh seorang pembimbing dari ustadz atau santri senior.

33 M. Bahri Ghazali, Pendidikan Pesantren Berwawasan Lingkungan, Pedoman Ilmu Jiwa, (Surabaya: Bina Ilmu, 2001), hal. 29.

34 Ibid, hal. 29.

35 A. Warson, al Munawwir; Kamus Arab -Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hal. 145.

36 Imron Arifin, Kepemimpinan Kiyai ...., hal. 119.

(25)

146 | Qudwatunâ : Jurnal Pendidikan Islam Volume I Nomor 2 September 2018

e-ISSN 2620-5114

Kegiatan munadloroh ini dilaksanakan pada pukul 20.00 sampai dengan 21.30

2). Munadloroh yang diadakan antara sesama santri untuk membahas masalah-masalah agama, dengan tujuan melatih para santri agar terbiasa memecahkan suatu masalah atau persoalan yang dihadapi dengan jalan musyawaroh dan mempergunakan kitab-kitab atau keterangan yang tersedia.

Munadloroh seperti ini biasanya difokuskan untuk membahas masalah- masalah yang baru muncul di masyarakat dengan menggunakan referensi kitab-kitab yang sudah disepakati dan diakui keabsahannya. Munadloroh seperti ini biasanya dikenal dengan istilah “Bahtsul Masail”. Dalam pelaksanaannya melibatkan semua santri mulai dari tingkat tsanawiyah sampai tingkat asatidz. Kegiatan munadloroh macam ini dilaksanakan setiap satu bulan satu kali pada malam senin terakhir.

d. Metode Muhafadzoh

Muhafadzoh merupakan satu kegiatan yang diwajibkan kepada para santri untuk menghafalkan bait-bait kitab yang sedang dipelajari. Kegiatan ini disesuaikan dengan tingkat kelas masing-masing santri. Biasanya kegiatan muhafadzoh ini merupakan syarat mutlak bagi kenaikan kelas atau kelulusan santri dalam masa belajar di suatu kelas.

Selain beberapa metode diatas, Lembaga Pesantren Al Khoziny juga menggunakan metode sebagaimana lembaga pendidikan lainnya atau yang biasanya disebut metode secara umum, yakni :

1) Metode Tanya jawab.

2) Metode ceramah 3) Metode demonstrasi 4) Metode penugasan

Dari depenelitian beberapa metode diatas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Lembaga Pesantren Al Khoziny Buduran Sidoarjo dalam melaksanakan pengajarannya telah menggunakan beberapa metode yang sangat variatif. Dimana metode tersebut telah disesuaikan dengan tuntutan yang ada. Juga apabila diamati, maka sistem yang digunakan telah mengarah kepada cara belajar siswa aktif, dimana semua siswa atau santri yang ada dilibatkan secara aktif dalam proses belajar mengajar. Hal tersebut diatas, akan sangat berbeda sekali dengan apa yang dilakukan oleh pesantren- pesantren pada umumnya, yang hanya menerapkan cara belajar yang tradisional, misalnya wetonan dan sorogan.

4. Pengembangan sistem Evaluasi Pengajaran di LP Al Khoziny

Sebagaimana telah dijelaskan pada bab terdahulu bahwa evaluasi (penilaian) merupakan kegiatan untuk mengetahui berhasil tidaknya anak

Referensi

Dokumen terkait

Disini saya mengamati bahawa fenomena judi online sangat mudah mempengaruhi para mahasiswa karena mereka melihat nominal uang yang dikalikan dalam judi online

Memahami pentingnya profesi hakim dalam penegakan hukum dan keadilan, cara pengawasan Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal, berfokus pada pengawasan

Peraturan Menteri Pertanian No. 44/Permentan/OT.140/5/2007 tentang Pedoman Berlaboratorium Veteriner Yang Baik. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur No. 3 Tahun 2018 tentang

Tugas akhir ini berjudul “PERHITUNGAN STRUKTUR BANGUNAN ATAS JEMBATAN SEI ULAR KECAMATAN PANTAI LABU” dimaksudkan sebagai syarat untuk menyelesaikan matakuliah Tugas Akhir

Oleh karena itu, dalam penulisan skripsi ini penulis tertarik untuk meneliti lembaga pendidikan pesantren, yaitu Pondok Pesantren Al-Ittifaqiah, karena pondok

(4) Pengaruh pembaharuan pemikiran hukum Islam yang di laksanakan oleh para mujtahid baik tingkat internasional ataupun nasional. Pembaharuan hukum Islam adalah upaya

Secara keseluruhan penulis menyimpulkan bahwa transparansi yang dilakukan oleh dinas bina marga dari beberapa indikator mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan

Metode cascade ROA yang dimaksud adalah pengunaan sejumlah ROA sekaligus pada satu serat optik dengan tujuan untuk mendapatkan penguatan yang rata dan