1 GAMBARAN STATUS GIZI ANAK SEKOLAH DASAR DAERAH
EKS-TRANSMIGRASI DAN PENDUDUK LOKAL DI KECAMATAN PELAWAN KABUPATEN SAROLANGUN PROVINSI JAMBI TAHUN 2012
(The description nutritional status of the primary school children of the ex-transmigration area and local people in Pelawan Subdistrict Sarolangun Distric Province of Jambi in 2012)
Darmawan Siagian1, Albiner Siagian2, Zulhaida Lubis 2
1 Alumni Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat USU
2 Staf pengajar Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ABSTRACT
Nutritional status of school children is determined by balanced food consumption as well as role of parents, and the awareness of the primary school children. The eating habit of the primary school children is influenced by their culture and the condition of their family income. The purpose of this descriptive study with cross-sectional design was to find out the description of the nutritional status of the primary school children of the ex-transmigration area and local people in Pelawan Subdistrict The population of this study was all of the 3,933 primary school children of the ex-transmigration area and local people, and 184 of them were selected to be the samples for this study through purposive sampling technique with proportion estimation formula. The data for this study were obtained through measuring body weight and body height and food- recal and food-frequency based interviews. The result of this study showed that, based on the IMT, by age, most of the nutritional status of the primary school children in the ex- transmigration area and in the local people area was in normal category; but 11.0% of the primary school children in the ex-transmigration area and 20.4% in the local people area were in thin category, whereas 4.4% of the primary school children in the ex-transmigration area and 2.2% in the local people area were in overweight category. Based on Body Height, by age, most of the nutritional status of the primary school children in the ex-transmigration area and in the local people area were in normal category; but 26.4% of the primary school children in the ex- transmigration area and 40.9% in the local people area were in short and very short category.
Based on the energy level, 75.9% of the primary school children in the ex-transmigration area and 87.1% in the local people area were in inadequate category. Based on the protein consumption level, 65.9% of the primary school children in the ex-transmigration area and 80.7% in the local people area were in inadequate category. It is suggested that the food consumption, especially for energy and protein consumption be better improved that the nutritional status becomes normal then make an education or counseling about the balanced nutrition in schools and in community, and for the government should pay more attention and make a policy related to the use of agricultural land for food crops as well as the improvement of community’s economy.
Keywords: Nutritional Status, Primary School Children, Ex-Transmigration Community, Local People
PENDAHULUAN
Pangan sebagai sumber zat gizi menjadi landasan manusia untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan. Pangan dan gizi dianggap sebagai kebutuhan dan modal dasar pembangunan
serta dijadikan indikator atas keberhasilan pembangunan. Konsumsi makanan oleh masyarakat atau oleh keluarga bergantung pada jumlah dan jenis pangan yang dibeli, pemasakan, distribusi dalam keluarga, dan kebiasaan makan secara perorangan. Hal ini
2 bergantung pula pada pendapatan, agama,
dan adat kebiasaan di masyarakat. Konsumsi pangan yang keliru akan mengakibatkan timbulnya gizi salah (malagizi), baik gizi kurang maupun gizi lebih (Fakultas Teknologi Pertanian IPB, 2001).
Anak sekolah dasar baik laki-laki dan perempuan sedang mengalami masa pertumbuhan adalah modal dasar dan asset yang sangat berharga bagi pembangunan bangsa di masa depan. Status gizi anak sekolah sangat ditentukan oleh konsumsi pangan yang seimbang, selain peran orang tua, kesadaran anak sekolah dasar juga sangat diperlukan (Devi, N, 2001).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2010, prevalensi anak yang kurus pada anak umur 6-12 tahun sebesar 12,2% yang terdiri dari 4,6% sangat kurus dan 7,6% kurus. Sedangkan prevalensi kegemukan pada anak umur 6-12 tahun masih tinggi yaitu sebesar 9,2% atau masih diatas 5,0%. Prevalensi anak yang pendek pada anak umur 6-12 tahun sebesar 35,6%
yang terdiri dari 15,6% sangat pendek dan 20% pendek. Terdapat sebanyak 20 provinsi mempunyai prevalensi anak yang pendek diatas prevalensi nasional, termasuk juga diantaranya provinsi Jambi yaitu sebesar 14,5% sangat pendek dan 22,6% pendek.
Anak sekolah yang kekurangan gizi disebabkan oleh kurangnya konsumsi gizi yang seimbang dalam makanannya sehari- hari dan sebagai akibat dari kurang gizi pada masa balita serta tidak adanya pencapaian perbaikan pertumbuhan yang sempurna pada masa berikutnya. Anak yang menderita kekurangan gizi akan mengakibatkan daya tangkapnya berkurang, penurunan konsentrasi belajar, pertumbuhan fisik tidak optimal cenderung postur tubuh anak pendek, anak tidak aktif bergerak, lemah daya tahan tubuhnya sehingga mudah terkena penyakit dan berpengaruh terhadap kapasitas kerja pada saat dewasa. Kondisi gizi yang tidak seimbang, baik kekurangan atau kelebihan gizi akan memengaruhi tumbuh kembang anak dan pengembangan potensinya.
Gizi dibutuhkan anak sekolah untuk pertumbuhan dan perkembangan, energi, berpikir, beraktivitas fisik, dan daya tahan tubuh. Zat gizi yang dibutuhkan anak adalah
seluruh zat gizi yang terdiri dari zat gizi makro seperti karbohidrat, protein, lemak serta zat gizi mikro seperti vitamin dan mineral. Kebutuhan energi golongan umur 10-12 tahun relatif lebih besar dari pada golongan umur 7-9 tahun, karena pertumbuhan relatif cepat, terutama penambahan tinggi badan (Devi, N, 2012).
Kabupaten Sarolangun merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jambi yang memiliki pemukiman masyarakat eks- transmigrasi selain penduduk lokal atau masyarakat setempat yang telah turun temurun menetap di Kabuapaten Sarolangun.
Pemukiman masyarakat eks-transmigrasi adalah program transmigrasi di Kabupaten Sarolangun yang dilakukan oleh pemerintah pusat dalam hal ini dikelola oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dimulai secara bertahap sejak tahun 1975 sampai dengan tahun 1992 yang terdapat di enam kecamatan dan diserahterimakan secara bertahap pula sejak tahun 1982 sampai dengan 1996 kepada pemerintah daerah Kabupaten Sarolangun dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2010).
Kecamatan Pelawan adalah salah satu dari sepuluh kecamatan yang ada di Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi.
Wilayah kerja Kecamatan Pelawan terdiri dari empat belas desa, selain penduduk lokal atau masyarakat setempat yang menetap sejak turun temurun, juga terdapat empat desa eks-transmigrasi yang penduduknya adalah dominan Suku Jawa berasal dari Pulau Jawa (Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat). Penduduk lokal atau masyarakat setempat pada umumnya kurang rajin memanfaatkan lahan pekarangannya dengan menanam sayur-sayuran, umbi-umbian, dan buah-buahan serta memelihara unggas dan memelihara ternak. Dan mempunyai pola makan yang banyak mengkonsumsi lemak dari santan kelapa dan memiliki makanan khas gulai tempoyak (durian yang diasamkan dimasak dengan ikan) serta kurang mengkonsumsi sayuran, karena sayuran pada umumnya banyak dipasok dari daerah eks- transmigrasi ke pasar dan warung tradisional didaerah penduduk lokal dan tidak setiap hari
3 makan tahu dan tempe. Kesadaran Penduduk
lokal atau masyarakat setempat yang masih rendah tentang kesehatan dapat dilihat dari partisipasi masyarakat yang masih kurang di posyandu. Sementara masyarakat eks- transmigrasi mempunyai kebiasaan rajin memanfaatkan lahan pekarangannya dengan menanam sayur-sayuran, umbi-umbian, dan buah-buahan serta memelihara unggas dan memelihara ternak. Masyarakat eks- transmigrasi hampir setiap hari mengkonsumsi sayuran-sayuran, buah- buahan dan mereka hampir setiap hari mengkonsumsi tempe dan tahu (selain protein hewani) yang diproduksi oleh penduduk eks-transmigrasi sendiri. Mereka mempunyai kebiasaan setiap pagi memberi sarapan pagi bagi keluarganya. Kesadaran yang baik tentang kesehatan dapat dilihat dari partisipasi masyarakat yang baik di Posyandu.
Kecamatan Pelawan Kabupaten Sarolangun memiliki 21 sekolah dasar dari 14 desa yang ada di wilayah Kecamatan Pelawan. Data tentang status gizi anak sekolah dasar belum ada. survey awal yang dilakukan berdasarkan pengukuran antropometri tinggi badan menurut umur dan indeks massa tubuh menurut umur yang dilakukan pada salah satu anak SD di wilayah pemukiman penduduk lokal, ditemukan 3 orang anak status gizinya kurus, 1 orang anak status gizinya sangat kurus dan 6 orang anak status gizinya normal berdasarkan IMT menurut umur dan 2 orang anak sangat pendek, 4 orang anak pendek dan 4 orang anak status gizinya normal berdasarkan tinggi badan menurut umur dari 11 orang anak sekolah dasar kelas IV. Dan pada salah satu anak SD di wilayah pemukiman masyarakat Eks-Transmigrasi, didapatkan 2 anak status gizinya gemuk dan 10 orang anak status gizinya normal berdasarkan IMT menurut umur dan 12 orang anak status gizinya normal berdasarkan tinggi badan menurut umur dari 12 orang anak sekolah dasar kelas IV dan V.
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran status gizi anak sekolah dasar daerah eks- transmigrasi dan penduduk lokal di
Kecamatan Pelawan Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi Tahun 2012.
Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran status gizi (IMT, TB, tingkat konsumsi energi dan protein anak sekolah dasar daerah eks-transmigrasi dan penduduk lokal di Kecamatan Pelawan Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi Tahun 2012.
Adapun manfaat penelitian ini adalah menjadi masukan bagi masyarakat khususnya orang tua agar senantiasa menjaga status gizi anaknya dengan memperbaiki pola makan keluarga dengan mengkonsumsi makanan bergizi dan seimbang sesuai dengan kemampuan keluarga dan sebagai bahan masukan bagi pemerintah, terutama Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi dalam upaya penanggulangan masalah gizi anak sekolah dasar dengan melakukan pengukuran status gizi anak sekolah secara berkala.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain cross-sectional. Penelitian ini di lakukan di wilayah kerja Kecamatan Pelawan yaitu SD nomor 48/7 Pelawan 2 Desa Pelawan dan SD nomor 118/7 Batu Putih Desa Batu Putih. Populasi penelitian ini adalah semua anak sekolah dasar daerah masyarakat eks-transmigrasi sebanyak 1519 dari 7 SD dan penduduk lokal sebanyak 2414 orang anak dari 14 SD di Kecamatan Pelawan Kabuapaten Sarolangun Propinsi Jambi. Besar sampel di tentukan dengan menggunakan rumus estimasi proporsi (Notoatmodjo, 2010).
Setelah dilakukan perhitungan sampel dengan rumus di atas, maka dari kedua populasi diperoleh sampel sebanyak 93 anak sekolah dasar untuk masyarakat penduduk lokal dan 91 anak sekolah dasar untuk masyarakat eks-transmigrasi.
Sampel dipilih dengan menggunakan cara purposive sampling dengan kriteria anak sekolah dasar kelas IV, V, dan kelas VI yang dapat berkomunikasi dengan baik dan tidak ada cacat bawaan. Untuk menentukan jumlah sampel tiap kelasnya ditetapkan dengan menggunakan metode alokasi sebanding
4 (proporsional alocation method), (Gaspersz,
1991 dalam Lusiana, 2008).
Pengumpulan data status gizi anak sekolah dilakukan dengan cara pengukuran Berat badan dengan menggunakan alat timbangan injak dan tinggi badan dengan menggunakan alat microtoise pada anak sekolah dasar dari kelas IV sampai dengan kelas VI serta data pola konsumsi makanan anak sekolah dasar dilakukan wawancara pada anak sekolah dasar dari kelas IV sampai dengan kelas VI dengan menggunakan formulir food recall 24 jam dan food frequency.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kecamatan Pelawan adalah salah satu dari sepuluh kecamatan yang ada di Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi, dengan luas wilayah 346 km². Kecamatan Pelawan mempunyai jumlah penduduk sebanyak 28.439 jiwa, terdiri dari 14.357 jiwa laki-laki dan 14.082 jiwa perempuan serta jumlah kepala keluarga sebanyak 6.888 KK. Wilayah kerja
Berdasarkan data yang diperoleh, Kecamatan Pelawan terdiri dari 14 desa, di daerah Penduduk Lokal terdiri dari 10 (sepuluh) desa yaitu, Desa Pelawan, Penegah, Pulau Aro, Bukit, Lubuk Sepuh, Muara Danau, Rantau Tenang, Pasar Pelawan, Pelawan Jaya, dan Lubuk Sayak.
Sedangkan di daerah Eks-Transmigrasi berjumlah 4 (empat) desa yaitu, Desa Pematang Kulim, Batu Putih, Sungai Merah, dan Mekar Sari. Pada awalnya jumlah desa di daerah Eks-Transmigrasi sejumlah delapan desa dan di daerah Penduduk Lokal sebanyak tujuh desa. Salah satu desa di daerah Eks- Transmigrasi, yaitu Desa Singkut 1, terdapat pasar yang perkembangan dan keramaiannya tidak berbeda dengan pasar yang ada di ibukota kabupaten (pasar Sarolangun), maka pada tahun 2009 Kecamatan Pelawan dimekarkan menjadi 2 kecamatan yaitu, Kecamatan Pelawan dan Kecamatan Singkut.
Tiga desa di daerah Eks-Transmigrasi tetap masuk kedalam Kecamatan Pelawan, hanya lima desa yang masuk kedalam Kecamatan Singkut, dan desa-desa yang jumlah penduduknya layak untuk dimekarkan, telah dimekarkan serta di ibukota kecamatan
singkut telah dijadikan Kelurahan. Saat ini Kecamatan Singkut memiliki delapan desa dan satu kelurahan. Jarak antara daerah Eks- Transmigrasi menuju Pasar Singkut lebih kurang berjarak 500 meter sampai dengan 4 kilometer. Suatu jarak yang mudah dijangkau Masyarakat Eks-Transmigrasi untuk mengakses dan menjual komoditi pangan.
Sementara jarak antara daerah Penduduk Lokal ke Pasar Sarolangun desa terdekat 2,5 kilo meter desa terjauh sampai dengan 20 kilometer. Sedangkan jarak antara daerah Penduduk Lokal ke Pasar Singkut berjarak paling dekat 5 kilometer, yang paling jauh sekitar 20 kilometer.
Jumlah pemeluk agama yang ada di Kecamatan Pelawan adalah, beragama Islam sebanyak 26.528 orang (98,8%), beragama Kristen Protestan sebanyak 272 orang (0,9%), Kristen Katolik sebanyak 73 orang (0,3%), Hindu dan Budha sebanyak 45 orang (0,2%) (Kecamatan Pelawan Dalam Angka, 2012).
Masyarakat Eks-Transmigrasi penduduknya adalah dominan Suku Jawa berasal dari Pulau Jawa (Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat) yang telah tinggal dan menetap dipemukiman eks-transmigrasi selama lebih kurang tiga puluh empat tahun.
Penduduk lokal atau masyarakat setempat merupakan gabungan antara Suku Melayu Jambi, Suku Minang (Sumatera Barat) dan Suku Melayu Palembang (Sumatera Selatan) yang sudah turun temurun telah bermukim di kecamatan pelawan. Komunitas pemukiman ini terpisah, pemukiman Masyarakat Eks- Transmigrasi adalah hutan Negara yang dikelola oleh pemerintah yang jaraknya lebih kurang 7 kilometer dari pemukian Penduduk Lokal. Selain perbedaan pemukiman yang terpisah juga dalam hal suku dan bahasa sehari-hari, Penduduk Lokal sehari-hari berbahasa melayu minang dan Masyarakat Eks-Transmigrasi sehari-hari berbahasa jawa.
Sebagian besar Masyarakat Eks- Transmigrasi memiliki lahan perkebunan dan lahan untuk perumahan yang diberikan oleh pemerintah melalui program transmigrasi, dengan luas lebih kurang tiga sampai lima hektar untuk lahan perkebunan dan setengah hektar untuk lahan perumahan. Oleh karena itu sebagian besar Masyarakat Eks-
5 Transmigrasi bekerja sebagai petani karet,
dan tidak sedikit masyarakat ini yang menambah lahan pertaniannya diluar pemukiman mereka atau sampai diluar Kecamatan Pelawan.
Sebahagian besar Masyarakat Eks- Transmigrasi memelihara unggas dan ternak, untuk ternak kambing dari 1.042 ekor kambing 49,9% dipelihara di daerah Penduduk Lokal dan 50,1% dipelihara di daerah Masyarakat Eks-Transmigrasi.
Kebiasaan Masyarakat Eks-Transmigrasi dalam perikanan darat, terbawa kedaerah mereka yang baru, yaitu membuat beberapa kolam ikan yang terdapat pada setiap dusunnya, dan juga usaha kolam pemancingan ikan. Sebanyak 53,5 ha kolam ikan terdapat di Masyarakat Eks- Transmigrasi, sedangkan pada Penduduk Lokal atau masyarakat setempat dari sepuluh desa hanya 7 (tiga) rumah tangga saja yang mempunyai kolam ikan atau sebanyak 25 ha (Kecamatan Pelawan Dalam Angka, 2012).
Selain itu, kesadaran yang baik tentang kesehatan dapat dilihat dari tingkat partisipasi masyarakat yang baik di Posyandu dengan tingkat partisipasi masyarakat sebesar 35%, sementara tingkat partisipasi masyarakat Penduduk Lokal hanya 16%.
Siswa anak sekolah dasar di kecamatan pelawan pada komunitas SD Penduduk Lokal yaitu sebanyak 2414 orang dan pada komunitas SD Masyarakat Eks- Transmigrasi yaitu sebesar 1519. Pada Desa Wilayah Eks-Transmigrasi terdapat 7 (tujuh) unit SD dan pada Desa Wilayah Penduduk Lokal terdapat 14 (empat belas) unit SD.
Sampel di Desa Wilayah Eks-Transmigrasi sejumlah 91 orang dan di Desa Wilayah Penduduk Lokal sejumlah 93 orang. Jenis kelamin pada SD Eks-Transmigrasi untuk jenis kelamin laki-laki sejumlah 46 orang (49,5%) dan jenis kelamin perempuan sebanyak 45 orang (50,5%). Sedangkan pada SD Penduduk Lokal jenis kelamin laki-laki sejumlah 49 orang (52,7%), dan jenis kelamin perempuan sebanyak 44 orang (47,3%).
1. Jenis dan Frekuensi Bahan Makanan Pangan dikonsumsi oleh seseorang atau sekelompok orang karena disukai, tersedia dan terjangkau, factor social dan
alasan kesehatan. Faktor-faktor dasar yang mempengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi rasa lapar atau kenyang, selera atau cita rasa, motivasi, ketersediaan pangan, suku bangsa, agama, status social ekonomi dan pendidikan (Riyadi, 1996 dalam Lusiana, 2008).
Sebagian besar anak sekolah dasar mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok dengan frekuensi ≥ 1 kali/hari sebanyak 91 orang (100%) anak sekolah dasar di daerah Eks-Transmigrasi dan sejumlah 93 orang (100%) anak sekolah dasar di daerah Penduduk Lokal. Sedangkan untuk jenis makanan pokok lainnya dengan frekuensi 1-6 kali/minggu pada anak sekolah dasar di daerah Eks-Transmigrasi paling banyak yaitu makanan ubi, dengan jumlah 31 orang (34%), sedangkan anak sekolah dasar di daerah Penduduk Lokal mengkonsumsi makanan mie, dengan jumlah 21 orang (23%).
Jenis lauk pauk yang dikonsumsi anak sekolah dasar di daerah Eks- Transmigrasi dan di daerah Penduduk Lokal pada umumnya adalah lauk pauk jenis ikan, tempe, tahu dan telur, dengan frekuensi makan ≥ 1 kali/hari. ikan, tempe, dan tahu adalah jenis makanan yang lebih banyak dikonsumsi setiap harinya dengan frekuensi makan ≥ 1 kali/hari sebesar 60 orang (66%), 25 orang (27%), 15 orang (16%) anak sekolah dasar di desa SD Eks-Transmigrasi dan 47 orang (51%), 12 orang (13%) dan 5 orang (5,4%) anak sekolah dasar di desa Penduduk Lokal. Sedangkan untuk frekuensi makan 1-6 kali/minggu paling dominan dikonsumsi adalah telur sebanyak 76 orang (84%) anak sekolah dasar di desa SD Eks- Transmigrasi, dan sebanyak 89 orang (96%) anak sekolah dasar di desa Penduduk Lokal.
Anak sekolah dasar di desa SD Eks- Transmigrasi lebih banyak mengonsumsi jenis sayuran bayam sebanyak 82 orang (90%), kangkung sebanyak 78 orang (86%), daun ubi sebanyak 61 orang (67%) dan kacang panjang sebanyak 59 orang (65%) dengan frekuensi 1-6 kali/minggu.
Sedangkan anak sekolah dasar di desa Penduduk Lokal lebih banyak mengonsumsi jenis sayuran kangkung sebanyak 74 orang (80%), bayam sebanyak 67 orang (72%) dan
6 kol sebanyak 41 orang (45%) dengan
frekuensi 1-6 kali/minggu.
Anak sekolah dasar di desa SD Eks- Transmigrasi lebih banyak mengonsumsi buah pisang sebanyak 69 orang (76%), pepaya sebanyak 61 orang (67%), dan mangga sebanyak 54 orang (59%) dengan frekuensi 1-6 kali/minggu. Sedangkan anak sekolah dasar di desa Penduduk Lokal lebih banyak mengonsumsi buah pisang sebanyak 59 orang (63%), mangga sebanyak 55 orang (59%), pepaya sebanyak 36 orang (39%), dan pepaya sebanyak 36 orang (38,7%) dengan frekuensi 1-6 kali/minggu. Sementara anak sekolah dasar di desa SD Eks-Transmigrasi yang mengonsumsi buah dengan frekuensi makan ≥ 1 kali/hari adalah buah mangga sebesar 12 orang (13%). Buah Apel, Kelengkeng dan Semangka jarang dikonsumsi dikedua komunitas. Buah durian lebih banyak dikonsumsi oleh anak sekolah dasar di desa Penduduk Lokal karena buah ini lebih banyak ditanami diselingi kebun karet masyarakat, disekitar rumah penduduk dan diantara pohon buah duku yang banyak tumbuh ditepi sungai besar maupun kecil.
Pada umumnya anak sekolah dasar SD Eks-Transmigrasi mengonsumsi makanan jajanan kerupuk, gorengan dan cilok dengan frekuensi ≥ 1 kali/hari sejumlah 18 orang (20%), 9 orang (9,9%) dan 4 orang (4,4%) dan 1-6 kali/minggu sejumlah 69 orang (80%), 71 orang (78%) dan 69 orang (80%), Sedangkan anak sekolah dasar di desa Penduduk Lokal pada umumnya mengonsumsi makanan jajanan, kerupuk, gorengan dan cilok dengan frekuensi ≥ 1 kali/hari sejumlah 21 orang (23%), 2 orang (2,2%) dan 4 orang (4,4%) dan frekuensi makanan jajanan 1-6 kali/minggu adalah pempek sebanyak 75 orang (80,6%), kerupuk sejumlah 63 orang (80%), gorengan sebanyak 40 orang (43%) dan cilok sebanyak 38 orang (40,9%).
2. Konsumsi Energi dan Protein
Tingkat konsumsi energi anak sekolah dasar pada kategori defisit tingkat berat yaitu sebanyak 24 orang (26,4%) pada anak SD di daerah Masyarakat Eks- Transmigrasi dan sebanyak 47 orang
(50,5%) pada anak SD di daerah Penduduk Lokal. Sedangkan tingkat
konsumsi energi kategori defisit tingkat sedang pada anak sekolah dasar pada anak SD di daerah Masyarakat Eks-Transmigrasi ialah sebesar 25 orang (27,5%) dan pada anak SD Penduduk Lokal sebanyak 20 orang (21,5%) dan kategori defisit tingkat ringan pada anak sekolah dasar pada anak SD di daerah Masyarakat Eks-Transmigrasi ialah sebesar 20 orang (22%) dan pada anak SD Penduduk Lokal sebanyak 14 orang (15,1%).
Berdasarkan uji statistik untuk melihat perbedaan tingkat konsumsi energi anak sekolah dasar di daerah Masyarakat Eks-Transmigrasi dan di daerah Penduduk Lokal yang dilakukan dengan uji t diperoleh nilai t = 3,336 dengan p= 0,001 p ˂ α (0,05), artinya ada perbedaan yang bermakna antara tingkat konsumsi energi anak sekolah dasar di daerah Masyarakat Eks-Transmigrasi dan di daerah Penduduk Lokal.
Tingkat konsumsi protein anak sekolah dasar pada kategori defisit tingkat berat pada anak sekolah dasar pada anak SD di daerah Masyarakat Eks-Transmigrasi ialah sebesar 26 orang (28,6%) dan pada anak SD Penduduk Lokal sebanyak 44 orang (47,3%) dan kategori defisit tingkat sedang pada anak sekolah dasar pada anak SD di daerah Masyarakat Eks-Transmigrasi ialah sebesar 18 orang (19,8%) dan pada anak SD Penduduk Lokal sebanyak 22 orang (23,7%).
Sedangkan tingkat konsumsi energi kategori defisit tingkat ringan yaitu sebanyak 16 orang (17,6%) pada anak SD di daerah Masyarakat Eks-Transmigrasi dan sebanyak 9 orang (9,7%) pada anak SD di daerah Penduduk Lokal.
Berdasarkan uji statistik untuk melihat perbedaan tingkat konsumsi protein anak sekolah dasar SD Eks-Transmigrasi dan anak sekolah dasar SD Penduduk Lokal yang dilakukan dengan uji t diperoleh nilai t = 3,343 dengan p= 0,001 p ˂ α (0,05), artinya ada perbedaan yang bermakna antara tingkat konsumsi protein anak sekolah dasar di daerah Masyarakat Eks-Transmigrasi dan di daerah Penduduk Lokal.
7 3. Status Gizi Anak SD Berdasarkan
IMT Menurut Umur
Tabel 4.12 Distribusi Status Gizi Anak SD di daerah Eks-Transmigrasi dan Penduduk Lokal Berdasarkan IMT Menurut Umur di Kecamatan Pelawan Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi Tahun 2012.
No
Status Gizi Berdasarkan IMT Menurut
Umur
Sekolah Dasar Eks-
Transmigrasi
Penduduk Lokal
n % n %
1 Sangat gemuk 1 1,1 0 0,0
2 Gemuk 4 4,4 2 2,2
3 Normal 76 83,5 72 77,4
4 Kurus 9 9,9 17 18,2
5 Sangat kurus 1 1,1 2 2,2
Jumlah 91 100,0 93 100,0
Sebagian besar anak sekolah dasar memiliki IMT normal sejumlah 76 orang (83,5%) pada anak sekolah dasar SD Eks- Transmigrasi dan sejumlah 72 orang (77,4%) pada anak sekolah dasar SD Penduduk Lokal.
Sementara anak sekolahdasar yang berstatus gizi kurus dan sangat kurus sebanyak 9 orang (9,9%) dan 1 orang (1,1%) pada anak sekolah dasar SD Eks-Transmigrasi dan sebanyak 17 orang (18,3%) dan 2 orang (2,2%) pada anak sekolah dasar SD Penduduk Lokal. Untuk anak sekolahdasar yang berstatus gizi gemuk dan sangat gemuk sebanyak 4 orang (4,4%) dan 1 orang (1,1%) pada anak sekolah dasar SD Eks-Transmigrasi dan sebanyak 2 orang (2,2%) dan tidak ada yang berstatus gizi sangat gemuk pada anak sekolah dasar SD Penduduk Lokal. Berdasarkan uji statistik untuk melihat perbedaan status gizi IMT menurut umur anak sekolah dasar SD Eks- Transmigrasi dan anak sekolah dasar SD Penduduk Lokal yang dilakukan uji t diperoleh nilai t=2,064 dengan p=0,04 atau p<α (0,05), artinya ada perbedaan yang bermakna antara status gizi IMT menurut umur anak sekolah dasar daerah Eks- Transmigrasi dan anak sekolah dasar daerah Penduduk Lokal.
4. Status Gizi Anak SD Berdasarkan Tinggi Badan Menurut Umur
Tabel 4.13 Distribusi Status Gizi Anak SD di daerah Eks-Transmigrasi dan Penduduk Lokal Berdasarkan Tinggi Badan Menurut Umur di Kecamatan Pelawan Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi Tahun 2012.
No
Status Gizi Berdasarkan TB Menurut
Umur
Sekolah Dasar Eks-
Transmigrasi
Penduduk Lokal
n % n %
1. Normal 67 73,6 55 69,1
2. Pendek 22 24,2 32 34,4
3. SangatPendek 2 2,2 6 6,5 Jumlah 91 100,0 93 100,0
Sebagian besar anak sekolah dasar memiliki status gizi normal sejumlah 67 orang (73,6%) pada anak sekolah dasar SD Eks-Transmigrasi dan sejumlah 55 orang (69,1%) pada anak sekolah dasar SD Penduduk Lokal. Sementara anak sekolah dasar yang berstatus gizi pendek dan sangat pendek sebanyak 22 orang (24,2%) dan 1 orang (2,2%) pada anak sekolah dasar SD Eks-Transmigrasi dan sebanyak 32 orang (34,4%) dan 6 orang (6,5%) pada anak sekolah dasar SD Penduduk Lokal.
Berdasarkan uji statistik untuk melihat perbedaan status gizi tinggi badan menurut umur anak sekolah dasar SD Eks-Transmigrasi dan anak sekolah dasar SD Penduduk Lokal yang dilakukan uji t diperoleh nilai t= 2,256 dengan p=0,025 p<α (0,05), artinya ada perbedaan yang bermakna status gizi tinggi badan menurut umur anak sekolah dasar daerah Eks-Transmigrasi dan anak sekolah dasar daerah Penduduk Lokal.
5. Status Gizi Berdasarkan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Anak Sekolah Dasar di daerah Masyarakat Eks-Transmigrasi dan di daerah Penduduk Lokal
Tingkat konsumsi zat gizi merupakan faktor yang tidak dapat dilupakan turut mempengaruhi status gizi anak. Berat badan anak lebih menggambarkan keadaan gizi saat ini dan merupakan indikator yang paling mudah dipengaruhi oleh perubahan situasi seperti konsumsi makanan yang berkaitan dengan musim dan penyakit infeksi, karena itu sifatnya sangat labil (Basuni dan Abunain, 1986, dalam Delly, 1999).
8 5.1 Status Gizi Berdasarkan Tingkat
Konsumsi Energi
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi status gizi berdasarkan indeks masa tubuh menurut umur (IMT/U) anak sekolah dasar SD Eks- Transmigrasi dan anak sekolah dasar SD Penduduk Lokal, tingkat konsumsi energi pada kategori defisit tingkat berat dengan status gizi kurus pada anak sekolah dasar Eks-Transmigrasi sebesar 29,2% dan pada anak sekolah dasar SD Penduduk Lokal sebesar 34,0%.
Distribusi status gizi berdasarkan tinggi badan menurut umur (TB/U) anak sekolah dasar SD Eks-Transmigrasi dan anak sekolah dasar SD Penduduk Lokal, tingkat konsumsi energi pada kategori defisit tingkat berat dengan status gizi sangat pendek pada anak sekolah dasar Eks-Transmigrasi sebesar 0% dan pada anak sekolah dasar SD Penduduk Lokal sebesar 12,8%, tingkat konsumsi energi pada kategori defisit tingkat berat dengan status gizi pendek pada anak sekolah dasar Eks-Transmigrasi sebesar 37,5% dan pada anak sekolah dasar SD Penduduk Lokal sebesar 44,7%.
Energi dalam tubuh berfungsi untuk metabolisme basal, yaitu energi yang dibutuhkan untuk aktivitas jasmani, berpikir, pertumbuhan dan istirahat. Kekurangan energi pada asupan makanan anak sekolah akan menghambat semua aktivitas jasmani, berfikir, serta aktivitas yang terjadi didalam tubuh sendiri, bila hal ini terus berlanjut, maka anak tampak kurus karena lemak tubuhnya akan terpakai sebagai sumber energi (Devi, N, 2012).
5.2 Status Gizi Berdasarkan Tingkat Konsumsi Protein
Distribusi status gizi berdasarkan indeks masa tubuh menurut umur (IMT/U) anak sekolah dasar SD Eks-Transmigrasi dan anak sekolah dasar SD Penduduk Lokal, tingkat konsumsi protein pada kategori defisit tingkat berat dengan status gizi sangat kurus pada anak sekolah dasar Eks- Transmigrasi sebesar 3,8% dan pada anak sekolah dasar SD Penduduk Lokal sebesar 4,5% dan pada kategori defisit tingkat berat dengan status gizi kurus pada anak sekolah dasar Eks-Transmigrasi sebesar 23,1% dan
pada anak sekolah dasar SD Penduduk Lokal sebesar 36,4%.
Distribusi status gizi berdasarkan tinggi badan menurut umur (TB/U) anak sekolah dasar SD Eks-Transmigrasi dan anak sekolah dasar SD Penduduk Lokal, tingkat konsumsi energi pada kategori defisit tingkat berat dengan status gizi sangat pendek pada anak sekolah dasar Eks-Transmigrasi sebesar 0% dan pada anak sekolah dasar SD Penduduk Lokal sebesar 13,6% dan tingkat konsumsi energi pada kategori defisit tingkat berat dengan status gizi pendek pada anak sekolah dasar Eks-Transmigrasi sebesar 34,6% dan pada anak sekolah dasar SD Penduduk Lokal sebesar 40,9%.
Anak yang mengalami kekurangan asupan protein dalam makanannya dalam waktu yang lama akan dapat menghambat pertumbuhannya. Protein diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan dalam masa pertumbuhan serta memelihara jaringan tubuh (Almatsier, 2011). Menurut Waterlow yang dikutip oleh Supariasa (2002), kekurangan protein pada anak dalam jangka waktu lama, akibat yang ditimbulkan pada balita adalah anak menjadi pendek (stunting) menurut umurnya.
Rendahnya konsumsi energi dan protein pada anak sekolah dasar, dimungkinkan karena riwayat gizi dan riwayat penyakit masa sebelum anak masuk sekolah (masa balita) yang kurang baik yang juga disebabkan oleh pendapatan keluarga yang rendah dan pengetahuan serta kepedulian keluarga yang rendah tentang gizi keluarga sehingga mempengaruhi akses pangan dalam keluarga. Hal ini sesuai dengan pendapat Suhardjo (2003), yang menyatakan bahwa pendapatan yang rendah menyebabkan daya beli yang rendah pula, sehingga tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan, keadaan ini sangat berbahaya untuk kesehatan keluarga dan akhirnya dapat berakibat buruk terhadap keadaan status gizi anak sekolah. Dalam kaitannya dengan status gizi, pendapatan mempunyai hubungan yang erat dengan perubahan dan perbaikan konsumsi pangan, tetapi pendapatan yang tinggi belum tentu menjamin keadaan gizi yang baik (Isdaryanti, C. 2007). Untuk itu perlunya dilakukan
9 penyuluhan kepada masyarakat tentang
pentingnya gizi seimbang dan cara memilih makanan jajanan yang baik bagi anak sekolah oleh petugas kesehatan. Untuk peningkatan pendapatan masyarakat penduduk lokal perlu adanya tindakan dan kebijakan dari pemerintah daerah dengan peningkatan dibidang pertanian dan perikanan darat.
KESIMPULAN
1. Jenis dan frekuensi makanan anak sekolah dasar di daerah Eks- Transmigrasi dan di daerah Penduduk Lokal untuk makanan pokok pada umumnya adalah nasi dengan frekuensi
≥ 1 kali/hari, jenis lauk pauk yang banyak dikonsumsi di kedua komunitas adalah ikan, tempe, tahu dan telur, persentasenya lebih tinggi pada daerah Masyarakat Eks-Transmigrasi daripada daerah Penduduk Lokal. Anak sekolah dasar dikedua komunitas masyarakat dalam mengonsumsi sayuran pada umumnya adalah sayur bayam, kangkung, daun ubi, dan kacang panjang, sedangkan untuk sayuran daun katu kurang diminati. Pada umumnya anak sekolah dasar dikedua komunitas mengonsumsi buah-buahan Mangga, Pisang, Pepaya, Jeruk, dan jambu dengan frekuensi 1-6 kali/minggu, terkecuali buah durian lebih banyak dikonsumsi oleh anak sekolah dasar di daerah Penduduk Lokal dengan frekuensi yang sama. Untuk jenis makanan jajanan yang dikonsumsi anak sekolah dasar dikedua komunitas umumnya sama seperti jenis kerupuk, gorengan dan cilok, terkecuali makanan jajanan mpek-mpek lebih banyak dikonsusmsi anak sekolah dasar di daerah Penduduk Lokal.
2. Tingkat konsumsi energi dan protein anak sekolah dasar di daerah Eks- Transmigrasi lebih baik daripada daerah Penduduk Lokal. Tingkat konsumsi energi anak sekolah dasar di daerah Eks- Transmigrasi lebih tinggi pada kategori normal, sedangkan tingkat konsumsi energi anak sekolah dasar kategori defisit tingkat sedang dan defisit tingkat
berat lebih tinggi di daerah Penduduk Lokal.
3. Status gizi berdasarkan indeks masa tubuh menurut umur anak sekolah dasar lebih baik di daerah Eks-Transmigrasi daripada di daerah Penduduk Lokal.
4. Status gizi berdasarkan tinggi badan menurut umur antara anak sekolah dasar lebih baik di daerah Eks-Transmigrasi daripada di daerah Penduduk Lokal.
SARAN
1. Dari kebiasaan makan anak sekolah dasar di daerah Masyarakat Eks- Transmigrasi dan daerah Penduduk Lokal dapat dilihat bahwa kebiasaan makan kedua komunitas masih belum tercukupi secara kualitas dan kuantitas, oleh karena itu perlu peningkatan konsumsi pangan energi dan protein yang lebih baik agar status gizi menjadi normal dengan penyuluhan tentang perlunya gizi seimbang untuk anak sekolah dan cara memilih makanan jajanan yang bergizi dan sehat oleh petugas kesehatan di sekolah dan di masyarakat kedua komunitas tersebut serta perlu dilakukan penimbangan BB dan pengukuran TB secara berkala pada anak sekolah dasar di Kecamatan Pelawan.
2. Masih banyaknya tanah garapan yang belum dimanfaatkan dan digarap untuk lahan pertanian produksi pangan oleh masyarakat, diperlukan perhatian dan kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun untuk memberikan dukungan kepada masyarakat untuk mau mengolah dan memanfaatkan lahan garapan tersebut untuk penganekaragaman pangan masyarakat dan diharapkan untuk peningkatan tingkat ekonomi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Almatsier, S, dkk. 2011. Gizi Seimbang Dalam Daur Kehidupan. PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
10 Badan Pusat Statistik Kabupaten Sarolangun.
2012. Kecamatan Pelawan Dalam Angka
Devi, N. 2012. Gizi Anak Sekolah. PT.
Kompas Media Nusantara, Jakarta.
Delly, D. 1999. Kebiasaan Makan dan Status Gizi Murid SD Kelas 1 Sekolah Dasar di Daerah IDT dan Non IDT (Kasus di Kecamatan Mandonga dan Kecamatan Poasia, Kotamadya Kendari, Propinsi Sulawesi Tenggara). Skripsi Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Diunduh dari:
http://repository.ipb.ac.id/handle/123 456789/
21488, Pdf. diakses tanggal 3 Februari 2013.
Isdaryanti, C. 2007. Asupan Energi, Status Gizi, dan Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar Arjowinangun I Pacitan. Skripsi Program Studi Gizi Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Diunduh dari:
http://muslimpinang.files.wordpress.c om/2010/10/christien-publikasi, Pdf.
diakses tanggal 4 juli 2012.
Ilmu Teknologi Industri Dan Perdagagangan Internasional. 2001. Pangan dan Gizi. CV. Sagung Seto, Jakarta.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Riset Kesehatan Dasar tahun 2010. Laporan Nasional Riskesdas tahun 2010. Diunduh dari:
http://www.riskesdas.litbang.depkes.g o.id/2010. Pdf. diakses pada 5 juli 2012.
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, 2010. UPT Menjadi Pusat Pemerintahan 2010;
Program Pemberdayaan Transmigrasi. Diunduh dari:
http://www.depnakertrans.go.id/pusda tin.html,114,501,ptrans. Diakses tanggal 9 Juli 2012.
Lusiana, SA. 2008. Status Gizi, Konsumsi Pangan dan Usia Menarche Anak Perempuan Sekolah Dasar di Bogor. Skripsi Program Studi Gizi
Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga Fakultas Pertanian Institute Pertanian Bogor. Diunduh dari:
http://journal.ipb.ac.id/index.php/jgizi pangan/article/viewFile/4427/2979, Pdf. diakses tanggal 7 Maret 2013.
Notoatmodjo, S. 2010. Metode Penelitian Kesehatan. PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Taharuddin, 2012. Masalah Stunting (Anak Pendek) Di Dunia. Diunduh dari:
http:// thaharuddin.com.html. diakses tanggal 5 juli 2012.
UPTD Pendidikan Kecamatan Pelawan Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi, 2012. Daftar Keadaan Murid dan Tenaga Pendidik Sekolah Dasar (SD) Menurut Jenis Kelamin Tahun Pelajaran 2011/2012.
GAMBARAN POLA KONSUMSI PANGAN PADA MASA PANEN DAN MASA TANAM SERTA STATUS GIZI PADA ANAK BALITA DI DUSUN LAU GUNUNG
KECAMATAN TANAH PINEM KABUPATEN DAIRI TAHUN 2012
(The description of the food consumption pattern in the harvest and planting seasons and nutritional status of under five children in the Lau Gunung at
Tanah Pinem subdistrict Dairi district) Jenni Wati Ginting1, Ernawati Nasution², Albiner Siagian²
1 Alumni Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat USU
² Staf Pengajar Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ABSTRACT
The pattern of food consumption is a factor that has a direct impact to the nutritional status of under five children. The purpose of this research is to know the description the food comsumption pattern during the harvest and the planting seasons and nutritional status of under five children in the Lau Gunung. This research is descriptive with cross secsional design. Taking the sampel by total sampling of 64 under five children. The results of the research showed in the planting season that energy intake was categorized good 48.4%, moderate 28.1%, low 18.8%, deficit 4,7% and when during harvest time energy intake was good categorized 68.8%, moderate 25.0%, less 6.3%. Meanwhile, intake of proteins when post harvest good category 32.8, moderate, 40.6%, less 20.3%, deficit 6.3% and when during harvest time good category 78.1%, moderate 18.8% and less 3,1%. Nutritional status for the under five children in the planting and during harvest seasons accoding by index weight for age is 78.1% and 85.9%, accoding by index height for age is 84,4% and 84,4% and accoding by index weight for height is 73.4% and 87.5%, mostly in normal category. The recommended that to the housewife noticed provision in accordance with the pattern of food menu balanced diet and to the local healthcare providers to more focus for counseling on nutrition balanced the mothers with the under five children to improving the pattern of food consumption and nutrional status of under five children.
Keywords: food pattern consumption, nutritional status, under five children, the planting, harvest.
PENDAHULUAN
Pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling esensial untuk dapat bertahan hidup, pangan juga merupakan landasan utama bagi manusia untuk hidup sehat dan sejahtera disepanjang hidupnya. Setiap manusia membutuhkan pangan yang memenuhi syarat gizi untuk memenuhi kebutuhan.
Konsumsi pangan seseorang akan berpengaruh langsung terhadap status gizi orang tersebut. Pola konsumsi yang seimbang akan menghasilkan status gizi yang baik.
Begitu juga sebaliknya, bila pola konsumsi pangan tidak seimbang akan menghasilkan status gizi yang tidak baik. Pola konsumsi pangan yang baik perlu dibentuk sebagai upaya untuk memenuhi kecukupan gizi
(Mitayani & Sartika, 2010). Masalah gizi akan muncul apabila tubuh menerima jenis makanan yang sama setiap hari, atau makan makanan dalam porsi makan yang kecil yang tidak sesuai dengan usia pertumbuhan (Adiningsih, 2010). Oleh karena itu, dibutuhkan pengetahuan dalam cara penyediaan pangan baik dari segi jumlah, jenis dan frekuensi dalam mengonsumsi pangan untuk menghindari terjadinya masalah gizi khususnya balita yang masih sangat tergantung pada orang tuanya atau orang yang mengasuhnya.
Masa balita merupakan periode yang penting dalam tumbuh kembang manusia.
Pertumbuhan dan perkembangan pada masa balita menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak pada
periode selanjutnya. Oleh karena itu, balita membutuhkan status gizi yang baik dalam pangan yang dikonsumsinya. Pola konsumsi pangan yang tidak seimbang pada balita akan menimbulkan masalah gizi.
Masalah gizi merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia sampai dengan saat ini. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) tahun 2010 di Indonesia, status gizi balita menurut indikator BB/U 17,9% yang terdiri dari 4,9% gizi buruk dan 13,0% gizi kurang (Litbang, 2010). Dari data Dinas Kesehatan Sumatera Utara tahun 2010 juga ditemukan balita yang mengalami gizi lebih sebanyak 1,42% dari 1.337.008 balita yang ada di Sumatera Utara. Sedangkan dari Bank Data Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Departemen Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan angka prevalensi gizi buruk pada balita di Kabupaten Dairi Tahun 2008 mencapai 1,08% dan yang berada di bawah garis merah sebesar 11,62%.
Permasalahan gizi pada anak balita sekarang ini merupakan masalah ganda yaitu ditemukannya masalah kekurangan gizi dan masalah kelebihan zat gizi. Permasalahan gizi yang terjadi pada anak balita disebabkan karena pola konsumsi pangan yang tidak seimbang (Sulistyoningsih, 2011).
Keluarga yang bertanggungjawab dalam menyediakan makanan pada anak balita mempunyai peranan yang sangat besar dalam memengaruhi pola konsumsi pangan anak balita. Secara umum faktor yang memengaruhi terbentuknya pola konsumsi pangan pada seseorang adalah faktor ekonomi, sosial budaya, agama, pendidikan dan pengetahuan akan gizi dan lingkungan (Sulistyoningsih, 2011)
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran pola konsumsi pangan pada masa panen dan masa tanam serta status gizi pada anak balita di Dusun Lau Gunung Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi Tahun 2012.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pola konsumsi pangan pada masa panen dan masa tanam serta status gizi pada anak balita di Dusun Lau Gunung Kecmatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi Tahun 2012.
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan informasi bagi tenaga kesehatan dalam menyusun program gizi masyarakat yang berkaitan dengan peningkatan status gizi pada anak balita di Dusun Lau Gunung Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi dan bagi ibu atau keluarga untuk memberikan informasi tentang status gizi anak balita mereka.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan desain cross-sectional. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober dan Desember Tahun 2012 di Dusun Lau Gunung Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi Tahun 2012. Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga yang mempunyai anak balita yaitu ada sebanyak 49 Kepala Keluarga.
Pengambilan sampel dilakukan secara total sampling yaitu dari 49 Kepala Keluarga, memiliki anak balita sebanyak 64 orang dengan ibu atau pengasuh sebagai responden.
Pengumpulan data terdiri dari data primer dan data sekunder, data primer meliputi karakteristik responden (Umur, pendidikan, pekerjaan, dan jumlah penghasilan), karakteristik anak balita (Umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan), data konsumsi pangan yang terdiri dari jenis pangan, tingkat konsumsi energy dan protein didasarkan pada food recall 24 jam. Untuk data frekuensi makan diperoleh dengan wawancara dengan memakai formulir food frequency. Sedangkan data sekunder meliputi data demografis (Jumlah Kepala Keluarga) dan data gambaran umum yang diperoleh dari kantor Kepala Desa.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini yang menjadi responden adalah ibu dari anak balita. Adapun karakteristik Ibu anak balita pada penelitian ini meliputi umur ibu, pendidikan, pekerjaan, jumlah anak dan pengahsilan keluarga dapat dilihat pada tabel 1 yang menunjukkan bahwa, sebagian besar ibu anak balita yang ada di Dusun Lau Gunung mempunyai umur 23-26 tahun dan 35-38 tahun masing-masing berjumlah 12 orang (24,5%).
Dari tabel 1, juga dapat kita lihat bahwa, sebagian besar ibu anak balita di
Dusun Lau Gunung memiliki pendidikan terahir SMA sebanyak 28 orang (57,1%) dan pekerjaan Ibu anak balita yang paling banyak adalah Ibu Rumah Tangga (IRT) sebanyak 19 orang (38,8%) serta sebanyak 31 ibu (63,3%) yang memiliki anak 1-2 orang.
Dusun Lau Gunung merupakan daerah pertanian, dimana sebagian besar penduduk memiliki mata pencaharian sebagai petani dan penduduk yang tidak memiliki lahan untuk pertanian akan bekerja sebagai buruh tani dengan upah harian Rp. 50.000/hari dengan jam kerja dari jam 08.00 pagi sampai 16.00 sore.
Hasil pertanian yang dihasilkan dari Dusun Lau Gunung adalah jagung, padi, coklat, kemiri. Jagung merupakan hasil pertanian yang paling banyak dari Dusun Lau Gunung, akan tetapi jagung bukan merupakan makanan pokok melainkan jagung hanya untuk dijual saat sudah panen. Masa panen jagung setiap tahun biasanya 2-3 kali panen, tergantung cuaca yang ada.Masa panen jagung sangat memengaruhi perekonomian masyarakat Dusun Lau Gunung, hal ini dapat dilihat dari pendapatan masyarakat yang bertambah saat masa panen jagung tiba.
Pendapatan keluarga mengalami perubahan pada masa tanam dan masa panen dimana pada masa tanam sebagian besar keluarga memiliki pendapatan Rp. 500.000 – Rp.750.000 sebanyak 28 keluarga (57,1%) sedangkan pada masa panen sebagian besar keluarga anak balita memiliki pendapatan >
Rp 1.000.000 sebanyak 33 orang (67,3%).
Berdasarkan pendapatan pada masa panen dan masa tanam dapat dilihat peningkatan pendapatan pada masa panen.
Siti Mudanijah mengatakan dalam buku Pengantar Pangan Dan Gizi Tahun 2010, perubahan pendapatan secara langsung akan memengaruhi perubahan konsumsi pangan keluarga. Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Sebaliknya, penurunan pendapatan akan menyebabkan penurunan dalam hal kuantitas dan kualitas pangan yang dibeli.
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Ibu Anak Balita di Dusun Lau Gunung Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi Tahun 2012.
No Karakteristik Responden
Jumlah (Orang)
n %
1 Umur :
19 – 22
23 – 26
27 – 30
31 – 34
35 – 38
39 – 42
7 12 11 5 12 2
14,3 24,5 22,4 10,2 24,5 4,1
Jumlah 49 100,0
2 Pendidikan :
SD
SMP
SMA
D1-S1
3 16 28 2
6,1 32,7 57,1 4,1
Jumlah 49 100,0
3 Pekerjaan :
IRT
Bertani
Buruh Tani
Wiraswasta
Pegawai
19 15
8 5 2
38,8 30,6 16,3 10,2 4,1
Jumlah 49 100,0
4 Jumlah Anak :
1 – 2 Orang
3 – 4 Orang
> 4 Orang
31 14 4
63,3 28,6 8,2
Jumlah 49 100,0
5 Pendapatan Pad Masa Tanam :
<Rp. 500.000
Rp.500.000- Rp.750.000
>Rp.750.000-Rp.
1.000.000
>Rp1.000.000
14 28
6
1
28,6 57,1
12,2
2,0
Jumlah 49 100,0
6 Pendapatan Pada Masa Panen :
<Rp. 500.000
Rp.500.000-Rp.
750.000
>Rp.750.000- Rp.1.000.000 >Rp.1.000.000
- -
16
33
- -
32,7
67,3
Jumlah 49 100,0
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Anak Balita di Dusun Lau Gunung Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi Tahun 2012.
No Karakteristik Anak Balita
Jumlah (Orang)
n %
1 Umur pada Masa Tanam :
12 – 23 Bulan
24 – 35 Bulan
36 – 47 Bulan
48 – 59 Bulan
19 16 10 19
29,7 25,0 15,0 29,7
Jumlah 64 100,0
2 Umur Pada Masa Panen :
12 – 23 Bulan
24 – 35 Bulan
36 – 47 Bulan
48 – 59
15 18 11 20
23,4 28,1 17,2 31,3
Jumlah 64 100,0
3 Jenis Kelamin :
Laki-laki
Perempuan
28 36
43,8 56,3
Jumlah 64 100,0
3 Masih Mendapat ASI :
Ya
Tidak
15 49
23,4 76,6
Jumlah 64 100,0
Pada tabel 2 yang dilihat adalah karakteristik anak balita. Adapun karakteristik anak balita dari tabel 2 dapat dilihat bahwa pada masa tanam anak balita yang paling banyak berumur 12 – 23 bulan dan 48 – 59 bulan yaitu masing – masing berjumlah 19 orang (29,7%), sedangkan pada masa tanam terjadi perubahan umur yaitu anak balita yang paling banyak berusia 48-59 bulan sebanyak 20 orang (31,1%) dan berdasarkan jenis kelamin yang paling banyak adalah anak balita yang memiliki jenis kelamin perempuan sebanyak 36 orang (56,3%) serta anak balita yang masih mendaptkan ASI sebanyak 49 orang (76,6%).
Masa balita merupakan periode yang penting dalam tumbuh kembang manusia karena balita merupakan sumber daya manusia yang sangat potensial pada masa yang akan datang. Pertumbuhan dan perkembangan pada masa balita menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak pada periode selanjutnya.
Oleh karena itu, balita membutuhkan status gizi yang baik dalam makanan yang
dikonsumsinya. Masa balita sering juga disebut juga dengan “Golden Age” atau masa keemasan, dimana masa itu berlalu dengan cepat dan tidak akan pernah terulang lagi (Sutomo & Anggraini, 2010).
Tabel 3 Distribusi Status Gizi Anak Balita Berdasarkan Berat Badan Menurut Umur Pada Masa Tanam Dan Masa Panen
No
Status Gizi Anak Balita
(BB/U)
Masa Tanam Masa Panen
n % n %
1 Baik 50 78,1 55 85,9
2 Kurang 10 15,6 6 9,4
3 Sangat Kurang
3 4,7 2 3,1
4 Gizi Lebih 1 1,6 1 1,6
Jumlah 64 100,0 64 100,0
Pada masa tanam dan masa panen ada juga ditemukan anak balita dengan status gizi sangat kurang 4,7% dan 3,1%, hal ini disebabkan karena konsumsi pangan yang kurang bahkan defisit, menu makanan yang kurang bervariasi serta kurangnya perhatian ibu terhadap makanan balita dan bertambahnya aktivitas pada anak balita.
Berat badan memberikan gambaran tentang massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan keadaan yang mendadak, misalnya ada terserang infeksi, kurang nafsu makan dan menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Indeks berat badan menurut umur menggambarkan status gizi sekarang dan bersifat stabil (suparisa, dkk, 2001).
Menurut Hariani Silistyoningsih Tahun 2011 keadaan gizi yang salah disebabkan oleh pola makan yang salah. Asupan makan yang melebihi kebutuhan tubuh akan menyebabkan terjadinya gizi lebih dan asupan makan yang kurang dari yang dibutuhkan akan menyebabkan kurang gizi sehingga rentan terhadap berbagai penyakit. Kedua keadaan inilah yang disebut gizi yang salah.
Pada masa tanam dan masa panen status gizi anak balita berdasarkan indeks TB/U dapat dilihat ditabel 3, yaitu sebagian besar anak balita memiliki status gizi normal 84,4
% dan status gizi pendek ada 14,1% dan 15,6%, serta ada 1,6% yang memiliki status gizi sangat pendek, hal ini dapat
menggambarkan bahwa status gizi anak balita pada masa lampau tidak baik.
Bengoa dan Beaton tahun 1973 yang dikutip oleh Suparissa tahun 2001 mengatakan bahwa indeks pengukuran berat badan menurut umur selain memberikan status gizi masa lampau, juga erat kaitannya dengan status ekonomi.
Tabel 4 Distribusi Status Gizi Anak Balita Berdasarkan Tinggi Badan Menurut Umur Pada Masa Tanam Dan Masa Panen No
Status Gizi Anak Balita
(TB/U)
Pasca Panen Masa Panen
n % n %
1 Normal 54 84,4 54 84,4
2 Pendek 9 14,1 10 15,6
3 Sangat pendek
1 1,6 0 0
Jumlah 64 100,0 64 100,0
Status gizi anak balita menurut indeks BB/TB yang merupakan status gizi pada masa sekarang dan masa lampau. Berdasarkan hasil penelitian yang ada di tabel 4 menunjukkan bahwa berdasarkan indeks BB/TB pada masa tanam dan masa panen, anak balita dengan status gizi kurus masing-masing sebesar 21,9% dan 9,4%, tetapi terdapat juga status gizi normal berdasarkan BB/TB masing- masing ada 73,4% dan 87,5%.
Pada umumnya berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan.
Dalam keadaan yang normal, pertumbuhan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan (Suparissa, dkk, 2001).
Tabel 5 Distribusi Status Gizi Anak Balita Berdasarkan Berat Badan Menurut Tinggi Badan Pada Masa Tanam Dan Masa Panen
No Status Gizi Anak Balita
(BB/TB)
Masa Tanam Masa Panen
n % n %
1 Normal 47 73,4 56 87,5
2 Kurus 14 21,9 6 9,4
3 Sangat Kurus 1 1,6 0 0
4 Gemuk 1 1,6 1 1,6
5 Sangat Gemuk
1 1,6 1 1,6
Jumlah 64 100,0 64 100,0
Berdasarkan tabel 6 dapat dilihat bahwa pada masa tanam tingkat konsumsi energi dan protein yang baik 48,4% dan
32,8% dan tingkat konsumsi energi dan protein yang defisit 4,7% dan 6,3%.
Sedangkan pada masa panen tingkat konsumsi energi dan protein yang baik 68,8% dan 78,1% dan tingkat konsumsi energi dan protein yang kurang 6,3% dan 3,1%. Hal ini terjadi karena adanya perubahan pola konsumsi pangan pada anak balita pada masa panen dan masa tanam. Dimana pada masa panen ibu selalu menyediakan daging untuk lauk pada waktu- makan sehingga meningkatka selesar makan anak balita.
Tabel 6 Tingkat Konsumsi Energi Dan Protein Anak Balita Pada “Masa Tanam” Dan
“Masa Panen” di Dusun Lau Gunung Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi Tahun 2012
N o
Tingkat Konsumsi
MASA TANAM MASA PANEN
Konsumsi Energi
Konsumsi Protein
Konsumsi Energi
Konsumsi Protein
n % n % n % n %
1 Baik 31 48,4 21 32,8 44 68,8 50 78,1 2 Sedang 18 28.1 26 40,6 16 25,0 12 18,8
3 Kurang 12 18,8 13 20,3 4 6,3 2 3,1
4 Defisit 3 4,7 4 6,3 0 0 0 0
Jumlah 64 100 64 100 64 100 64 100,0
Konsumsi energi yang kurang bila dibiarkan secara terus menerus akan menimbulkan defisiensi (kekurangan energi) sehingga akan terjadi Kekurangan Energi Kronis (KEK). Konsumsi energi sangat dibutuhkan oleh tubuh, karena energi dibutuhkan untuk proses metabolisme basal dan Spesific Dynamic Action (SDA) dalam tubuh. Untuk itu apabila terjadi kekurangan energi akan menyebabkan terganggunya proses metabolisme dalam tubuh (Devi. N, 2012).
Menurut Suhardjo, tahun 2003, kurangnya protein dapat menyebabkan pertumbuhan anak menjadi terlambat dan tampak tidak sebanding dengan usianya, bahkan pada keadaan yang lebih buruk dapat menyebabkan terjadinya perhentian pertumbuhan pada anak.
KESIMPULAN
1. Pola konsumsi pangan pada anak balita di Dusun Lau Gunung mengalami perubahan pada masa tanam dan masa panen. Dimana pada masa tanam sebagian besar anak balita mengonsumsi telur dan ikan serta konsumsi makan dikurangi sedangkan pada masa panen
sebagian besar anak balita mengonsumsi daging setiap hari. Menurut masyarakat daging merupakan makanan yang berkelas dan mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh sehingga bila sudah mengonsumsi daging tidak perlu mengonsumsi makanan yang lain. Hal ini dapat kita lihat dari tingkat konsumsi energi dan protein pada pasca panen dan masa panen.
2. Pola menu makan anak balita pada masa tanam berbeda dengan masa panen, dimana pada pasca panen menu yang disediakan tidak memenuhi dalam jumlah yang dibutuhkan sedangkan pada masa panen menu yang disediakan memenuhi jumlah yang dibutuhkan akan tetapi baik pada masa tanam dan masa panen, menu yang disediakan tidak memenuhi syarat menu seimbang, karena hanya mementingkan protein hewani dan jarang sekali mengonsumsi sayuran dan buah.
3. Pola konsumsi pangan yang berubah pada masa tanam dan masa panen mengakibatkan adanya perubahan status gizi pada anak balita. Status gizi anak balita meningkat pada masa panen.
Sedangkan pada masa tanam status gizi anak balita cenderung turun. Dari hasil penelitian ditemukan pada masa tanam ditemukan ada 15,6% gizi kurang sedangkan pada masa panen ditemukan hanya 9,4% gizi kurang.
4. Adanya perubahan pola konsumsi panga di Dusun Lau Gunung sehingga ditemukan ada dua masalah gizi yaitu masalah gizi lebih dan gizi kurang.
SARAN
1. Untuk ibu-ibu anak balita yang ada di Dusun Lau Gunung disarankan agar memperhatikan penyiapan dan penyediaan makanan dengan pola menu seimbang kepada keluarga khususnya anak balita serta tidak mengonsumsi makanan yang sama setiap hari.
Sebaiknya keluarga menyisihkan atau menabung sebagian uang yang ada pada masa panen untuk memenuhi kebutuhan pada masa tanam. Keluarga/ibu juga diharapkan dapat membawa anak balita
ke posyandu setiap bulan untuk diukur pertumbuhan dan perkembangannya.
2. Untuk petugas kesehatan yang ada di Dusun Lau Gunung agar meningkatkan pelayanan kesehatan dengan mengadakan penyuluhan-penyuluhan tentang gizi seimbang dan dalam memilih makanan yang baik bagi anak balita terutama makanan sumber protein dan energi serta bagaimana cara menyediakan makanan pada anak balita.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi.
Jakarta : PT. Gramedia pustaka Utama.
Almatsier. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Baliwati. Khomsan & Dwiriani. 2010.
Pengantar Pangan Dan Gizi. Jakarta : Swadaya
Budianto. Dr. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Gizi.
Malang : UMM Press.
Depkes RI, 2010. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010. Jakarta : Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan.
FKM UI. 2007. Gizi Dan Kesehatan
Masyarakat. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Mitayani & Sartika. W. 2010. Buku Saku Ilmu Gizi. Jakarta Timur : CV. Trans Info Media.
Notoadmojo. S. 2005. Metode
Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Sajogyo, dkk, 1994. Menuju Gizi Baik Yang Merata di Pedesaan dan di Kota.
Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Sastroasmoro & Ismael. Sofyan. 1995. Dasar- Dasar Metodologi Penelitian Klinis.
Sulistyoningsih. H. 2011. Gizi Untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Sutomo. B. & Anggraini. D. 2010. Menu Sehat Alami Untuk Batita & Balita. Jakarta : PT Gramedia Pustaka.
Supariasa. Bakr. B. & Fajar, I. 2002.
Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC.
Suhardjo, 2003. Perencanaan Pangan Dan Gizi, Jakarta : Bumi Aksara.